Apakah ada suatu waktu Sang Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya?
Pertanyaan:
Apakah ada suatu waktu Sang
Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya? Dengan kata
lain, apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di situ dan
tiada satu pun yang ada? Dengan kata lain, apakah kondisi seperti ini
dulunya ada dalam satu rentang waktu tertentu atau di masa akan datang?
Apabila jawabannya positif, apakah kita akan berbicara tentang sebuah
waktu dimana sifat-sifat seperti rahmat, kepenciptaan, keadilan, ihsan
belum lagi ada untuk Tuhan pada waktu itu. Atau kita katakan sifat ini
dulunya ada namun belum lagi teraktualisasikan. Lantas bagaimana pemilik
sifat ini yang kita anggap sebagai jawad (maha pemberi) namun hampa
sifat pemberian (jud) dan pencipta tanpa penciptaan? Apabila jawabannya
negatif maka dalam hal ini apakah sifat azali dan abadi tidak dapat kita
sandarkan pada makhluk-makhluk lainnya?
Jawaban Global:
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas kiranya Anda perlu
mengkaji beberapa poin seperti esensi waktu, huduts zamani alam semesta,
sifat fi’il dan emanasi permanen Ilahi.
- Apa esensi zaman itu?
Zaman atau waktu: adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu
benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah
satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi. Karena itu apa
yang Anda tanyakan apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di
situ dan tiada satu pun yang ada? Sejatinya, Anda berasumsi tentang
waktu sebelum (adanya) waktu; karena waktu itu merupakan sebuah ekstensi
yang melintas yang terdapat pada setiap benda dan materi. Di samping
itu, awal dan akhir waktu itu merupakan urusan waktu dan tiada satu pun
entitas yang berada di atas ufuk waktu. Hubungan waktu, kini, dulu dan
akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang
sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
- Apakah alam kontingen dan materi itu memiliki huduts zamani?
Sehubungan dengan huduts zamani alam materi harus dikatakan bahwa pada
dasarnya kita tidak memiliki argumen rasional atas keterbatasan ruang
atau waktu di alam semesta dan juga tidak ada dalil aqli atas
tidak terbatasnya ruang dan waktu di alam semesta. Karena itu kita hanya
dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga
kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di
atas.
- Apa sifat fi’il dan sifat zat itu?
Sifat-sifat yang disandarkan kepada Tuhan atau konsep-konsep yang
diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan
eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya
yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan
makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan
ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan
alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat zatiyah
dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah. Hal yang patut
diperhatikan adalah bahwa sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada
hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu ini terdiri dari dua
persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk
dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu.
Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas
dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq)
kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta
bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal
ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiya-Nya.
- Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Terkait dengan hal ini kita katakan: Sifat Allah Swt adalah identik
dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber
perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain
sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif
dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri
pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya. Ilmu terhadap
sistem yang lebih sempurna, mencakup sistem alam penciptaan; karena itu
emanasi Tuhan senantiasa bersifat permanen.
- Apabila permanen, azali dan abadi, apakah itu selaras dengan keesaan Tuhan?
Dalam menjawab pertanyan ini harus kita katakan bahwa meski emanasi
Tuhan itu bersifat permanen, abadi dan azali namun keazalian dan
keabadian-Nya tidak bersifat esensial (zati) melainkan sebuah zhill
dan bayangan; artinya sebagaimana pada zat-Nya memerlukan Tuhan dalam
sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada
kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu
hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan bahkan penegas dan
penyokong tauhid.
Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
- Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
- Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
- Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
- Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang
waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua: Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.
Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?
Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]
Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
- Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain, huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain, huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.
Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]
Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.
Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]
Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
- Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]
Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.
Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
- Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra
dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan
emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling
lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala
kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya
seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan
zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan
sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna
yang identik dengan zat-Nya.[8]
Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]
Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan bahkan penegas dan penyokong tauhid.
[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang Isthilâhi Falsafi Shadrâ, jil. 1, hal. .251.
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.
[4]. Mulla Sadra dalam AsrĆ¢r al-ĆyĆ¢t, hal. 91 berkata,
“
Ų§ŁŁŲŖŲØ Ų§ŁŲ„ŁŁŁŲ© Ł Ų§ŁŲ¢ŁŲ§ŲŖ Ų§ŁŁŁŲ§Ł
ŁŲ© ŁŲ§Ų¦ŁŲ© بأ٠اŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŲ£Ų³Ų±Ł
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ ŁŲ£Ł Ų§ŁŲŗŲ±Ų¶ Ł
Ł Ų®ŁŁ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŁŁŲ³ ŁŁŲ³Ł ŲØŁ ŁŁ أؓر٠Ł
ŁŁ ŁŲ„Ł Ų§ŁŲ·ŲØŲ§Ų¦Ų¹
Ų§ŁŲ¬Ų³Ł
Ų§ŁŁŲ© Ł Ł
Ų§ ŁŁ ŲŁŁ
ŁŲ§ ŁŲ§ ŁŁ
ŁŁ Ų£Ł ŁŁŁŁ ŁŁ Ų§ŁŲŗŲ§ŁŲ© Ų§ŁŲ£ŁŲµŁ ŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŲÆ ŲØŁ
Ų§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł Ų§ŁŲŁŁ
Ł ŁŲ§ŁŲ¶ Ų¹ŁŁ Ų£Ł ŁŁŲ·ŲØŲ§Ų¦Ų¹ ŲŗŲ§ŁŲ§ŲŖ Ų£Ų®Ų±Ł ŁŁ Ų£Ų¹ŁŁ Ł
ŁŁŲ§ Ł ŁŁŁ
Ų§ ŁŁ
Ų£Ų¹ŁŁ Ł
Ł Ų§ŁŲ·ŲØŁŲ¹Ų© Ų§ŁŁŁŁŁŲ© ŁŲ§ ŁŁŁŁ ŁŲ¬ŁŲÆŁ ŁŁ ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŁ ŁŁ Ų¹Ų§ŁŁ
Ų¢Ų®Ų±. ŁŲ«ŲØŲŖ
ŲØŲ§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł أ٠ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
بأسر٠ŁŲ§ŁŲ¹ ŲŖŲŲŖ Ų§ŁŁŲ³Ų§ŲÆ Ł ŁŁŲŁŁ Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲ§ŁŁŲ±Ų§Ų¶ Ł
Ł
Ų§ ŁŁŲŁŁ Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲ§ŁŁŲ±Ų§Ų¶ ŁŁŁ ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ ŁŲ§ Ł
ŲŲ§ŁŲ© ŁŲ§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
Ł ŁŁ Ł
Ų§ ŁŁŁ
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ.
[5]. Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.
[6]. Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.
Ų§Ų¹ŁŁ
أ٠جŁ
Ų§Ų¹Ų© Ł
Ł Ų§ŁŁ
ŲŖŁŲ§ŁŲ³ŁŁ Ų§ŁŲ®Ų§Ų¦Ų¶ŁŁ ŁŁŁ
Ų§ ŁŲ§ ŁŲŗŁŁŁŁ
Ų²Ų¹Ł
ŁŲ§ Ų£Ł Ų„ŁŁ
Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŁŲ§Ł ŁŁ أز٠اŁŲ¢Ų²Ų§Ł Ł
Ł
Ų³ŁŲ§ ع٠جŁŲÆŁ Ł Ų„ŁŲ¹Ų§Ł
Ł ŁŲ§ŁŁŲ§ Ų¹Ł ŁŁŲ¶Ł Ł Ų„ŲŲ³Ų§ŁŁ
Ų«Ł
Ų³ŁŲ ŁŁ ŁŁ Ų£Ł ŁŁŲ¹Ł ŁŲ“Ų±Ų¹ ŁŁ Ų§ŁŁŲ¹Ł Ł Ų§ŁŲŖŁŁŁŁ Ł Ų§ŁŲŖŁŁŁŁ
ŁŲ®ŁŁ ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ®ŁŁ
Ų§ŁŲ¹ŲøŁŁ
Ų§ŁŲ°Ł ŲØŲ¹Ų¶Ł Ł
ŁŲ“ŁŁ ŲØŲ§ŁŲŲ³ Ł Ų§ŁŲ¹ŁŲ§Ł Ł ŲØŲ¹Ų¶Ł Ł
Ų¹ŁŁŁ
ŲØŲ§ŁŁŁŲ§Ų³ Ł Ų§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł. Ł
ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ±Ų£Ł Ł
Ł Ų³Ų®ŁŁ Ų§ŁŲ¢Ų±Ų§Ų” Ł Ł
Ł ŁŲØŁŲ Ų§ŁŲ£ŁŁŲ§Ų” ŁŲ„Ł ŲµŁŲ§ŲŖ Ų§ŁŲŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ
Ł ŁŁ
Ų§ŁŲ§ŲŖŁ Ų§ŁŁŲ¹ŁŁŲ© Ų§ŁŲŖŁ ŁŁ Ł
ŲØŲ§ŲÆŁ Ų£ŁŲ¹Ų§ŁŁ ŁŲ§ŁŁŲÆŲ±Ų© Ł Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ł Ų§ŁŲ„Ų±Ų§ŲÆŲ© Ł
Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ų© Ł Ų§ŁŲ¬ŁŲÆ ŁŁŁŲ§ ŲŗŁŲ± Ų²Ų§Ų¦ŲÆŲ© Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ł ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲŗŲ§ŁŲ© ŁŁ ŁŁŲ¶Ł Ł Ų¬ŁŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲÆŲ§Ų¹Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ ŁŁŲ³ Ų„ŁŲ§ ŁŁŲ³ Ų¹ŁŁ
Ł ŲØŲ§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŲ£ŁŁ
Ł Ų§ŁŲ°Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ
ŁŲ„Ł Ų°Ų§ŲŖŁ ŁŁ Ų§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŁ
Ų¹ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ§Ų¬ŲØŁ Ų§ŁŲ°Ł ŁŲŖŲØŲ¹Ł Ų§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŁ
ŁŲ¬ŁŲÆ Ų§ŁŁ
Ł
ŁŁŁ ŁŲ§
ŁŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§ŁŲ¶ŁŲ” ŁŁŁ
Ų¶ŁŲ” Ł Ų§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§ŁŲ³Ų®ŁŁŲ© ŁŁŲ¬ŁŁŲ± Ų§ŁŲŲ§Ų±. Ł Ų§ŁŲ°Ł ŲÆŲ¹Ų§ŁŁ
Ų„ŁŁ ŁŲ°Ų§
Ų§ŁŲøŁ Ų§ŁŁŲØŁŲ Ų§ŁŁ
Ų³ŲŖŁŁŲ± Ł
Ų§ ŲŖŁŁŁ
ŁŲ§ أ٠ŲŲÆŁŲ« Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲŲ³ŲØŁ
Ų§ Ų§ŲŖŁŁ Ų¹ŁŁŁ Ų£ŁŁ
Ų§ŁŲ“Ų±Ų§Ų¦Ų¹ Ų§ŁŲŁŲ© Ł
Ł Ų§ŁŁŁŁŲÆ Ł Ų§ŁŁŲµŲ§Ų±Ł Ł Ų§ŁŁ
Ų³ŁŁ
ŁŁ ŲŖŲØŲ¹Ų§ ŁŲ„Ų¬Ł
Ų§Ų¹ Ų§ŁŲ£ŁŲØŁŲ§Ų” Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ŁŲ³ŁŲ§Ł
ŁŲ³ŲŖŲÆŲ¹Ł Ų°ŁŁ Ł ŁŲ§ ŁŲ³ŲŖŲµŲ Ų„ŁŲ§ ŲØŁŲ³ŲØŲ© Ų§ŁŲ„Ł
سا٠ع٠اŁŲ¬ŁŲÆ Ł ŲŖŲ¹Ų·ŁŁ Ų§ŁŁŁŲ¶
Ų„ŁŁ Ų§ŁŁّŁ Ų§ŁŁ
Ų¹ŲØŁŲÆ. Ł ŁŲÆŲ§ ŁŲ¶ŲŁŲ§ Ų§ŁŲ³ŲØŁŁ Ł Ų£ŁŁ
ŁŲ§ Ų§ŁŲÆŁŁŁ ŁŁ
Ų§ Ų³ŲŖŁŁ Ų„Ł Ų“Ų§Ų”
Ų§ŁŁّŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŲŲ³ŲØŁ
Ų§ ŁŲµŁŁŲ§ ŁŁ ŁŲŖŲØŁŲ§ Ł Ų±Ų³Ų§Ų¦ŁŁŲ§ Ų¹ŁŁ أ٠اŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŁŁŁ Ł Ų¬Ų²Ų¦Ł
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ Ł Ų°ŁŁ ŁŲ§ ŁŁŲ§ŁŁ ŁŁŁŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŁŲ§Ų¦Ł
Ų§ ŲØŲ§ŁŁŲ³Ų· Ł Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ Ł Ų§ŁŲ¬ŁŲÆ Ł
Ų§ŁŁŲ±Ł
Ų£Ų²ŁŲ§ Ł Ų£ŲØŲÆŲ§ .
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-Isyârat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).
[10]. Nihâyah al-Hikmah, hal. 326.
ŁŲÆ ŲŖŲØŁŁ ŁŁ Ų§ŁŲ£ŲØŲŲ§Ų« Ų§ŁŲ³Ų§ŲØŁŲ© أ٠ŁŲÆŲ±ŲŖŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŁŁ Ł
ŲØŲÆŲ¦ŁŲŖŁ
ŁŁŲ„ŁŲ¬Ų§ŲÆ Ł Ų¹ŁŁŲŖŁ ŁŁ
Ų§ Ų³ŁŲ§Ł Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ°Ų§ŲŖ Ų§ŁŁ
ŲŖŲ¹Ų§ŁŁŲ© Ł ŁŲ§Ų²Ł
Ų°ŁŁ ŲÆŁŲ§Ł
Ų§ŁŁŁŲ¶ Ł
Ų§Ų³ŲŖŁ
Ų±Ų§Ų± Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ų© Ł Ų¹ŲÆŁ
Ų§ŁŁŲ·Ų§Ų¹ Ų§ŁŲ¹Ų·ŁŲ©. Ł ŁŲ§ ŁŁŲ²Ł
Ł
Ł Ų°ŁŁ ŲÆŁŲ§Ł
Ų¹Ų§ŁŁ
Ų§ŁŲ·ŲØŁŲ¹Ų©
ŁŲ£Ł Ų§ŁŁ
Ų¬Ł
ŁŲ¹ ŁŁŲ³ Ų“ŁŲ¦Ų§ ŁŲ±Ų§Ų” Ų§ŁŲ£Ų¬Ų²Ų§Ų” Ł ŁŁ Ų¬Ų²Ų” ŲŲ§ŲÆŲ« Ł
Ų³ŲØŁŁ ŲØŲ§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł ŁŲ§ ŲŖŁŲ±Ų±
ŁŁ ŁŲ¬ŁŲÆ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
Ų¹ŁŁ Ł
Ų§ ŁŲ±Ų§Ł Ų§ŁŁŲ§Ų¦ŁŁŁ ŲØŲ§ŁŲ£ŲÆŁŲ§Ų± Ł Ų§ŁŲ£ŁŁŲ§Ų± ŁŲ¹ŲÆŁ
Ų§ŁŲÆŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ.
[11]. Ibid, hal. 315.
Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak
memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu
menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam
semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
- Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
- Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
- Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
- Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang
waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua: Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.
Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?
Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]
Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
- Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain, huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain, huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.
Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]
Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.
Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]
Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
- Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]
Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.
Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
- Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra
dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan
emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling
lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala
kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya
seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan
zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan
sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna
yang identik dengan zat-Nya.[8]
Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]
Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan bahkan penegas dan penyokong tauhid.
[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang Isthilâhi Falsafi Shadrâ, jil. 1, hal. .251.
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.
[4]. Mulla Sadra dalam AsrĆ¢r al-ĆyĆ¢t, hal. 91 berkata,
“
Ų§ŁŁŲŖŲØ Ų§ŁŲ„ŁŁŁŲ© Ł Ų§ŁŲ¢ŁŲ§ŲŖ Ų§ŁŁŁŲ§Ł
ŁŲ© ŁŲ§Ų¦ŁŲ© بأ٠اŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŲ£Ų³Ų±Ł
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ ŁŲ£Ł Ų§ŁŲŗŲ±Ų¶ Ł
Ł Ų®ŁŁ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŁŁŲ³ ŁŁŲ³Ł ŲØŁ ŁŁ أؓر٠Ł
ŁŁ ŁŲ„Ł Ų§ŁŲ·ŲØŲ§Ų¦Ų¹
Ų§ŁŲ¬Ų³Ł
Ų§ŁŁŲ© Ł Ł
Ų§ ŁŁ ŲŁŁ
ŁŲ§ ŁŲ§ ŁŁ
ŁŁ Ų£Ł ŁŁŁŁ ŁŁ Ų§ŁŲŗŲ§ŁŲ© Ų§ŁŲ£ŁŲµŁ ŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŲÆ ŲØŁ
Ų§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł Ų§ŁŲŁŁ
Ł ŁŲ§ŁŲ¶ Ų¹ŁŁ Ų£Ł ŁŁŲ·ŲØŲ§Ų¦Ų¹ ŲŗŲ§ŁŲ§ŲŖ Ų£Ų®Ų±Ł ŁŁ Ų£Ų¹ŁŁ Ł
ŁŁŲ§ Ł ŁŁŁ
Ų§ ŁŁ
Ų£Ų¹ŁŁ Ł
Ł Ų§ŁŲ·ŲØŁŲ¹Ų© Ų§ŁŁŁŁŁŲ© ŁŲ§ ŁŁŁŁ ŁŲ¬ŁŲÆŁ ŁŁ ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŁ ŁŁ Ų¹Ų§ŁŁ
Ų¢Ų®Ų±. ŁŲ«ŲØŲŖ
ŲØŲ§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł أ٠ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
بأسر٠ŁŲ§ŁŲ¹ ŲŖŲŲŖ Ų§ŁŁŲ³Ų§ŲÆ Ł ŁŁŲŁŁ Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲ§ŁŁŲ±Ų§Ų¶ Ł
Ł
Ų§ ŁŁŲŁŁ Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲ§ŁŁŲ±Ų§Ų¶ ŁŁŁ ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ ŁŲ§ Ł
ŲŲ§ŁŲ© ŁŲ§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
Ł ŁŁ Ł
Ų§ ŁŁŁ
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ.
[5]. Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.
[6]. Ćmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.
Ų§Ų¹ŁŁ
أ٠جŁ
Ų§Ų¹Ų© Ł
Ł Ų§ŁŁ
ŲŖŁŲ§ŁŲ³ŁŁ Ų§ŁŲ®Ų§Ų¦Ų¶ŁŁ ŁŁŁ
Ų§ ŁŲ§ ŁŲŗŁŁŁŁ
Ų²Ų¹Ł
ŁŲ§ Ų£Ł Ų„ŁŁ
Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŁŲ§Ł ŁŁ أز٠اŁŲ¢Ų²Ų§Ł Ł
Ł
Ų³ŁŲ§ ع٠جŁŲÆŁ Ł Ų„ŁŲ¹Ų§Ł
Ł ŁŲ§ŁŁŲ§ Ų¹Ł ŁŁŲ¶Ł Ł Ų„ŲŲ³Ų§ŁŁ
Ų«Ł
Ų³ŁŲ ŁŁ ŁŁ Ų£Ł ŁŁŲ¹Ł ŁŲ“Ų±Ų¹ ŁŁ Ų§ŁŁŲ¹Ł Ł Ų§ŁŲŖŁŁŁŁ Ł Ų§ŁŲŖŁŁŁŁ
ŁŲ®ŁŁ ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ®ŁŁ
Ų§ŁŲ¹ŲøŁŁ
Ų§ŁŲ°Ł ŲØŲ¹Ų¶Ł Ł
ŁŲ“ŁŁ ŲØŲ§ŁŲŲ³ Ł Ų§ŁŲ¹ŁŲ§Ł Ł ŲØŲ¹Ų¶Ł Ł
Ų¹ŁŁŁ
ŲØŲ§ŁŁŁŲ§Ų³ Ł Ų§ŁŲØŲ±ŁŲ§Ł. Ł
ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ±Ų£Ł Ł
Ł Ų³Ų®ŁŁ Ų§ŁŲ¢Ų±Ų§Ų” Ł Ł
Ł ŁŲØŁŲ Ų§ŁŲ£ŁŁŲ§Ų” ŁŲ„Ł ŲµŁŲ§ŲŖ Ų§ŁŲŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ
Ł ŁŁ
Ų§ŁŲ§ŲŖŁ Ų§ŁŁŲ¹ŁŁŲ© Ų§ŁŲŖŁ ŁŁ Ł
ŲØŲ§ŲÆŁ Ų£ŁŲ¹Ų§ŁŁ ŁŲ§ŁŁŲÆŲ±Ų© Ł Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ł Ų§ŁŲ„Ų±Ų§ŲÆŲ© Ł
Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ų© Ł Ų§ŁŲ¬ŁŲÆ ŁŁŁŲ§ ŲŗŁŲ± Ų²Ų§Ų¦ŲÆŲ© Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ł ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲŗŲ§ŁŲ© ŁŁ ŁŁŲ¶Ł Ł Ų¬ŁŲÆŁ
Ł Ų§ŁŲÆŲ§Ų¹Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ ŁŁŲ³ Ų„ŁŲ§ ŁŁŲ³ Ų¹ŁŁ
Ł ŲØŲ§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŲ£ŁŁ
Ł Ų§ŁŲ°Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų°Ų§ŲŖŁ
ŁŲ„Ł Ų°Ų§ŲŖŁ ŁŁ Ų§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŁ
Ų¹ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ§Ų¬ŲØŁ Ų§ŁŲ°Ł ŁŲŖŲØŲ¹Ł Ų§ŁŁŲøŲ§Ł
Ų§ŁŁ
ŁŲ¬ŁŲÆ Ų§ŁŁ
Ł
ŁŁŁ ŁŲ§
ŁŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§ŁŲ¶ŁŲ” ŁŁŁ
Ų¶ŁŲ” Ł Ų§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§ŁŲ³Ų®ŁŁŲ© ŁŁŲ¬ŁŁŲ± Ų§ŁŲŲ§Ų±. Ł Ų§ŁŲ°Ł ŲÆŲ¹Ų§ŁŁ
Ų„ŁŁ ŁŲ°Ų§
Ų§ŁŲøŁ Ų§ŁŁŲØŁŲ Ų§ŁŁ
Ų³ŲŖŁŁŲ± Ł
Ų§ ŲŖŁŁŁ
ŁŲ§ أ٠ŲŲÆŁŲ« Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲŲ³ŲØŁ
Ų§ Ų§ŲŖŁŁ Ų¹ŁŁŁ Ų£ŁŁ
Ų§ŁŲ“Ų±Ų§Ų¦Ų¹ Ų§ŁŲŁŲ© Ł
Ł Ų§ŁŁŁŁŲÆ Ł Ų§ŁŁŲµŲ§Ų±Ł Ł Ų§ŁŁ
Ų³ŁŁ
ŁŁ ŲŖŲØŲ¹Ų§ ŁŲ„Ų¬Ł
Ų§Ų¹ Ų§ŁŲ£ŁŲØŁŲ§Ų” Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ŁŲ³ŁŲ§Ł
ŁŲ³ŲŖŲÆŲ¹Ł Ų°ŁŁ Ł ŁŲ§ ŁŲ³ŲŖŲµŲ Ų„ŁŲ§ ŲØŁŲ³ŲØŲ© Ų§ŁŲ„Ł
سا٠ع٠اŁŲ¬ŁŲÆ Ł ŲŖŲ¹Ų·ŁŁ Ų§ŁŁŁŲ¶
Ų„ŁŁ Ų§ŁŁّŁ Ų§ŁŁ
Ų¹ŲØŁŲÆ. Ł ŁŲÆŲ§ ŁŲ¶ŲŁŲ§ Ų§ŁŲ³ŲØŁŁ Ł Ų£ŁŁ
ŁŲ§ Ų§ŁŲÆŁŁŁ ŁŁ
Ų§ Ų³ŲŖŁŁ Ų„Ł Ų“Ų§Ų”
Ų§ŁŁّŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŲŲ³ŲØŁ
Ų§ ŁŲµŁŁŲ§ ŁŁ ŁŲŖŲØŁŲ§ Ł Ų±Ų³Ų§Ų¦ŁŁŲ§ Ų¹ŁŁ أ٠اŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŲØŁŁŁ Ł Ų¬Ų²Ų¦Ł
ŲŲ§ŲÆŲ« Ų²Ł
Ų§ŁŁ Ł Ų°ŁŁ ŁŲ§ ŁŁŲ§ŁŁ ŁŁŁŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŁŲ§Ų¦Ł
Ų§ ŲØŲ§ŁŁŲ³Ų· Ł Ų§ŁŲ¹ŲÆŁ Ł Ų§ŁŲ¬ŁŲÆ Ł
Ų§ŁŁŲ±Ł
Ų£Ų²ŁŲ§ Ł Ų£ŲØŲÆŲ§ .
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-Isyârat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).
[10]. Nihâyah al-Hikmah, hal. 326.
ŁŲÆ ŲŖŲØŁŁ ŁŁ Ų§ŁŲ£ŲØŲŲ§Ų« Ų§ŁŲ³Ų§ŲØŁŲ© أ٠ŁŲÆŲ±ŲŖŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ ŁŁ Ł
ŲØŲÆŲ¦ŁŲŖŁ
ŁŁŲ„ŁŲ¬Ų§ŲÆ Ł Ų¹ŁŁŲŖŁ ŁŁ
Ų§ Ų³ŁŲ§Ł Ł ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ°Ų§ŲŖ Ų§ŁŁ
ŲŖŲ¹Ų§ŁŁŲ© Ł ŁŲ§Ų²Ł
Ų°ŁŁ ŲÆŁŲ§Ł
Ų§ŁŁŁŲ¶ Ł
Ų§Ų³ŲŖŁ
Ų±Ų§Ų± Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ų© Ł Ų¹ŲÆŁ
Ų§ŁŁŲ·Ų§Ų¹ Ų§ŁŲ¹Ų·ŁŲ©. Ł ŁŲ§ ŁŁŲ²Ł
Ł
Ł Ų°ŁŁ ŲÆŁŲ§Ł
Ų¹Ų§ŁŁ
Ų§ŁŲ·ŲØŁŲ¹Ų©
ŁŲ£Ł Ų§ŁŁ
Ų¬Ł
ŁŲ¹ ŁŁŲ³ Ų“ŁŲ¦Ų§ ŁŲ±Ų§Ų” Ų§ŁŲ£Ų¬Ų²Ų§Ų” Ł ŁŁ Ų¬Ų²Ų” ŲŲ§ŲÆŲ« Ł
Ų³ŲØŁŁ ŲØŲ§ŁŲ¹ŲÆŁ
Ł ŁŲ§ ŲŖŁŲ±Ų±
ŁŁ ŁŲ¬ŁŲÆ Ų§ŁŲ¹Ų§ŁŁ
Ų¹ŁŁ Ł
Ų§ ŁŲ±Ų§Ł Ų§ŁŁŲ§Ų¦ŁŁŁ ŲØŲ§ŁŲ£ŲÆŁŲ§Ų± Ł Ų§ŁŲ£ŁŁŲ§Ų± ŁŲ¹ŲÆŁ
Ų§ŁŲÆŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ.
[11]. Ibid, hal. 315.






Post a Comment
mohon gunakan email