Pesan Rahbar

Home » , , , , , » Ada Suatu Waktu Sang Pencipta Tidak Dapat Meangaktualkan Sifat Penciptanya

Ada Suatu Waktu Sang Pencipta Tidak Dapat Meangaktualkan Sifat Penciptanya

Written By Unknown on Wednesday, 21 January 2015 | 21:04:00


Apakah ada suatu waktu Sang Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya?
 
Pertanyaan:
Apakah ada suatu waktu Sang Pencipta tidak dapat meangaktualkan sifat penciptanya? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di situ dan tiada satu pun yang ada? Dengan kata lain, apakah kondisi seperti ini dulunya ada dalam satu rentang waktu tertentu atau di masa akan datang? Apabila jawabannya positif, apakah kita akan berbicara tentang sebuah waktu dimana sifat-sifat seperti rahmat, kepenciptaan, keadilan, ihsan belum lagi ada untuk Tuhan pada waktu itu. Atau kita katakan sifat ini dulunya ada namun belum lagi teraktualisasikan. Lantas bagaimana pemilik sifat ini yang kita anggap sebagai jawad (maha pemberi) namun hampa sifat pemberian (jud) dan pencipta tanpa penciptaan? Apabila jawabannya negatif maka dalam hal ini apakah sifat azali dan abadi tidak dapat kita sandarkan pada makhluk-makhluk lainnya?
 
Jawaban Global:
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas kiranya Anda perlu mengkaji beberapa poin seperti esensi waktu, huduts zamani alam semesta, sifat fi’il dan emanasi permanen Ilahi.
  1. Apa esensi zaman itu?
Zaman atau waktu: adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi. Karena itu apa yang Anda tanyakan apakah ada suatu waktu dimana hanya ada Allah Swt di situ dan tiada satu pun yang ada? Sejatinya, Anda berasumsi tentang waktu sebelum (adanya) waktu; karena waktu itu merupakan sebuah ekstensi yang melintas yang terdapat pada setiap benda dan materi. Di samping itu, awal dan akhir waktu itu merupakan urusan waktu dan tiada satu pun entitas yang berada di atas ufuk waktu. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Apakah alam kontingen dan materi itu memiliki huduts zamani?
Sehubungan dengan huduts zamani alam materi harus dikatakan bahwa  pada dasarnya kita tidak memiliki argumen rasional atas keterbatasan ruang atau waktu di alam semesta dan juga tidak ada dalil aqli atas tidak terbatasnya ruang dan waktu di alam semesta. Karena itu kita hanya dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.
  1. Apa sifat fi’il dan sifat zat itu?
Sifat-sifat yang disandarkan kepada Tuhan atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat zatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu ini terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiya-Nya.
  1. Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau  tidak?
Terkait dengan hal ini kita katakan: Sifat Allah Swt adalah identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya. Ilmu terhadap sistem yang lebih sempurna, mencakup sistem alam penciptaan; karena itu emanasi Tuhan senantiasa bersifat permanen.
  1. Apabila permanen, azali dan abadi, apakah itu selaras dengan keesaan Tuhan?
Dalam menjawab pertanyan ini harus kita katakan bahwa meski emanasi Tuhan itu bersifat permanen, abadi dan azali namun keazalian dan keabadian-Nya tidak bersifat esensial (zati) melainkan sebuah zhill dan bayangan; artinya sebagaimana pada zat-Nya memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.

Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?

Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
  1. Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
  1. Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
  2. Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
  3. Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua:  Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.

Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?

Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]

Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain,  huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.

Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]

Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.

Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]

Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
  1. Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]

Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.

Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
  1. Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya.[8]

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]

Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.
 

[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang IsthilĆ¢hi Falsafi ShadrĆ¢, jil. 1, hal. .251.  
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.  
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.  
[4]. Mulla Sadra dalam AsrĆ¢r al-ƂyĆ¢t, hal. 91 berkata, 
 
Ų§Ł„ŁƒŲŖŲØ Ų§Ł„Ų„Ł„Ł‡ŁŠŲ© و Ų§Ł„Ų¢ŁŠŲ§ŲŖ Ų§Ł„ŁƒŁ„Ų§Ł…ŁŠŲ© قائلة بأن العالم بأسره Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ لأن الغرض من خلق العالم Ł„ŁŠŲ³ نفسه ŲØŁ„ Ł‡Łˆ أؓرف منه ف؄ن الطبائع Ų§Ł„Ų¬Ų³Ł…Ų§Ł†ŁŠŲ© و Ł…Ų§ في Ų­ŁƒŁ…Ł‡Ų§ لا ŁŠŁ…ŁƒŁ† أن ŁŠŁƒŁˆŁ† Ł‡ŁŠ Ų§Ł„ŲŗŲ§ŁŠŲ© الأقصى في Ų§Ł„ŁˆŲ¬ŁˆŲÆ ŲØŁ„ البرهان Ų§Ł„Ų­ŁƒŁ…ŁŠ ناهض على أن للطبائع غايات أخرى Ł‡ŁŠ أعلى منها و ŁƒŁ„Ł…Ų§ Ł‡Łˆ أعلى من Ų§Ł„Ų·ŲØŁŠŲ¹Ų© Ų§Ł„ŁƒŁˆŁ†ŁŠŲ© لا ŁŠŁƒŁˆŁ† ŁˆŲ¬ŁˆŲÆŁ‡ في هذا العالم ŲØŁ„ في عالم Ų¢Ų®Ų±. فثبت بالبرهان أن هذا العالم بأسره ŁˆŲ§Ł‚Ų¹ ŲŖŲ­ŲŖ الفساد و ŁŠŁ„Ų­Ł‚Ł‡ العدم و الانقراض و Ł…Ų§ ŁŠŁ„Ų­Ł‚Ł‡ العدم و الانقراض ŁŁ‡Łˆ Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ لا محالة فالعالم و ŁƒŁ„ Ł…Ų§ ŁŁŠŁ‡ Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ‏.
 
[5]. Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.  
[6]. Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.

اعلم أن جماعة من Ų§Ł„Ł…ŲŖŁƒŲ§ŁŠŲ³ŁŠŁ† Ų§Ł„Ų®Ų§Ų¦Ų¶ŁŠŁ† ŁŁŠŁ…Ų§ لا ŁŠŲŗŁ†ŁŠŁ‡Ł… Ų²Ų¹Ł…ŁˆŲ§ أن ؄له العالم ŁƒŲ§Ł† في أزل الآزال Ł…Ł…Ų³ŁƒŲ§ عن Ų¬ŁˆŲÆŁ‡ و ؄نعامه ŁˆŲ§Ł‚ŁŲ§ عن ŁŁŠŲ¶Ł‡ و ؄حسانه Ų«Ł… سنح له في أن ŁŠŁŲ¹Ł„ فؓرع في الفعل و Ų§Ł„ŲŖŁƒŁˆŁŠŁ† و Ų§Ł„ŲŖŁ‚ŁˆŁŠŁ… فخلق هذا الخلق Ų§Ł„Ų¹ŲøŁŠŁ… Ų§Ł„Ų°ŁŠ بعضه Ł…ŁƒŲ“ŁˆŁ بالحس و Ų§Ł„Ų¹ŁŠŲ§Ł† و بعضه Ł…Ų¹Ł„ŁˆŁ… ŲØŲ§Ł„Ł‚ŁŠŲ§Ų³ و البرهان.  Łˆ هذا Ų§Ł„Ų±Ų£ŁŠ من سخيف الآراؔ و من Ł‚ŲØŁŠŲ­ Ų§Ł„Ų£Ł‡ŁˆŲ§Ų” ف؄ن صفات الحق تعالى Ų¹ŁŠŁ† ذاته و ŁƒŁ…Ų§Ł„Ų§ŲŖŁ‡ Ų§Ł„ŁŲ¹Ł„ŁŠŲ© Ų§Ł„ŲŖŁŠ Ł‡ŁŠ Ł…ŲØŲ§ŲÆŁŠ أفعاله ŁƒŲ§Ł„Ł‚ŲÆŲ±Ų© و العلم و ال؄رادة و الرحمة و Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ ŁƒŁ„Ł‡Ų§ غير Ų²Ų§Ų¦ŲÆŲ© على ذاته تعالى و كذا Ų§Ł„ŲŗŲ§ŁŠŲ© في ŁŁŠŲ¶Ł‡ و Ų¬ŁˆŲÆŁ‡ و Ų§Ł„ŲÆŲ§Ų¹ŁŠ له على Ų°Ł„Łƒ Ł„ŁŠŲ³ ؄لا نفس علمه بالنظام Ų§Ł„Ų£ŁƒŁ…Ł„ Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ł‡Łˆ Ų¹ŁŠŁ† ذاته ف؄ن ذاته Ł‡Łˆ النظام Ų§Ł„Ł…Ų¹Ł‚ŁˆŁ„ Ų§Ł„ŁˆŲ§Ų¬ŲØŁŠ Ų§Ł„Ų°ŁŠ ŁŠŲŖŲØŲ¹Ł‡ النظام Ų§Ł„Ł…ŁˆŲ¬ŁˆŲÆ Ų§Ł„Ł…Ł…ŁƒŁ†ŁŠ لا كاتباع Ų§Ł„Ų¶ŁˆŲ” Ł„Ł„Ł…Ų¶ŁŠ‏Ų” و Ų§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§Ł„Ų³Ų®ŁˆŁ†Ų© Ł„Ł„Ų¬ŁˆŁ‡Ų± الحار. و Ų§Ł„Ų°ŁŠ دعاهم ؄لى هذا الظن Ų§Ł„Ł‚ŲØŁŠŲ­ Ų§Ł„Ł…Ų³ŲŖŁ†ŁƒŲ± Ł…Ų§ ŲŖŁˆŁ‡Ł…ŁˆŲ§ أن حدوث العالم Ų­Ų³ŲØŁ…Ų§ اتفق Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ أهل الؓرائع الحقة من Ų§Ł„ŁŠŁ‡ŁˆŲÆ و النصارى و Ų§Ł„Ł…Ų³Ł„Ł…ŁŠŁ† ŲŖŲØŲ¹Ų§ ل؄جماع Ų§Ł„Ų£Ł†ŲØŁŠŲ§Ų” Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ł… السلام يستدعي Ų°Ł„Łƒ و لا يستصح ؄لا بنسبة Ų§Ł„Ų„Ł…Ų³Ų§Łƒ عن Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ و ŲŖŲ¹Ų·ŁŠŁ„ Ų§Ł„ŁŁŠŲ¶ ؄لى اللّه Ų§Ł„Ł…Ų¹ŲØŁˆŲÆ. و قدا ŁˆŲ¶Ų­Ł†Ų§ Ų§Ł„Ų³ŲØŁŠŁ„ و أقمنا Ų§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ ŁƒŁ…Ų§ ستقف ؄ن Ų“Ų§Ų” اللّه تعالى Ų­Ų³ŲØŁ…Ų§ فصلنا في ŁƒŲŖŲØŁ†Ų§ و رسائلنا على أن العالم ŲØŁƒŁ„Ł‡ و جزئه Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ و Ų°Ł„Łƒ لا ŁŠŁ†Ų§ŁŁŠ ŁƒŁˆŁ†Ł‡ تعالى قائما بالقسط و العدل و Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ و Ų§Ł„ŁƒŲ±Ł… أزلا و Ų£ŲØŲÆŲ§ .  
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-IsyĆ¢rat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.  
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).  
[10]. NihĆ¢yah al-Hikmah, hal. 326.  

قد ŲŖŲØŁŠŁ† في الأبحاث السابقة أن قدرته تعالى Ł‡ŁŠ Ł…ŲØŲÆŲ¦ŁŠŲŖŁ‡ Ł„Ł„Ų„ŁŠŲ¬Ų§ŲÆ و Ų¹Ł„ŁŠŲŖŁ‡ لما Ų³ŁˆŲ§Ł‡ و Ł‡ŁŠ Ų¹ŁŠŁ† الذات Ų§Ł„Ł…ŲŖŲ¹Ų§Ł„ŁŠŲ© و لازم Ų°Ł„Łƒ ŲÆŁˆŲ§Ł… Ų§Ł„ŁŁŠŲ¶ و Ų§Ų³ŲŖŁ…Ų±Ų§Ų± الرحمة و Ų¹ŲÆŁ… انقطاع Ų§Ł„Ų¹Ų·ŁŠŲ©. و لا ŁŠŁ„Ų²Ł… من Ų°Ł„Łƒ ŲÆŁˆŲ§Ł… عالم Ų§Ł„Ų·ŲØŁŠŲ¹Ų© لأن Ų§Ł„Ł…Ų¬Ł…ŁˆŲ¹ Ł„ŁŠŲ³ ؓيئا وراؔ الأجزاؔ و ŁƒŁ„ Ų¬Ų²Ų” Ų­Ų§ŲÆŲ« Ł…Ų³ŲØŁˆŁ‚ بالعدم و لا تكرر في وجود العالم على Ł…Ų§ ŁŠŲ±Ų§Ł‡ Ų§Ł„Ł‚Ų§Ų¦Ł„ŁˆŁ† ŲØŲ§Ł„Ų£ŲÆŁˆŲ§Ų± و Ų§Ł„Ų£ŁƒŁˆŲ§Ų± لعدم Ų§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡.  
 
[11]. Ibid, hal. 315. 
  
Jawaban Detil:
Nampaknya untuk memperoleh jawaban atas pertanyan di atas kita tidak memiliki cara lain kecuali sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu menjawab pertayaan-pertanyaan yang relevan dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah esensi waktu itu? Apakah alam semesta mengalami huduts zamani? Apa itu sifat fi’il? Apakah emanasi Tuhan itu bersifat permanen atau tidak?
Harap diketahui bahwa meski untuk menjawab secara utuh dan sempurna masing-masing pertanyaan di atas memerlukan penyusunan beberapa jilid buku namun pada kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa pembahasan yang dapat membantu menyodorkan jawaban atas pertanyaan Anda.
  1. Apa esensi zaman itu?
Apa itu zaman dan apa esensinya?
Defisini yang makruf tentang zaman dan waktu adalah kuantitas bersambung yang berdiam pada satu benda melalui perantara gerak. Artinya zaman atau waktu itu adalah satuan gerak dan ruang lingkup geraknya pada alam materi.
Ringkasan penelitian Mulla Sadra di hadapan pelbagai pendapat dalam ini adalah sebagai berikut:
  1. Gerak dalam segala jenisnya adalah keluarnya potensi menjadi aksi.
  2. Waktu dari sisi esensinya adalah satuan gerak.
  3. Gerak dan waktu keduanya merupakan entitas. Barang siapa menganggap gerak dan waktu sebagai fantasi maka sejatinya ia tidak tahu tentang makna wujud dan entitas.[1]
Dengan kata lain, Mulla Sadra yang menyebutkan dua tipologi tentang waktu menerima hal ini secara global. Dua tipologi itu adalah:
Pertama: Waktu adalah sesuatu yang dapat dibagi dan bagian dari kuantitas
Kedua: Waktu dan gerak keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Akan tetapi ia pada dua hal asasi berbeda pendapat dengan para pendahulunya terkait dengan waktu:
Pertama: Waktu dan gerak yang dinilai sebagai aksiden-aksiden luaran merupakan aksiden-aksiden analitik entitas materi yang hanya dapat dibagi secara analitik dalam pikiran.
Kedua:  Gerak ganda masa yang dinilai sebagai gerak dalam kategori aksiden dan khususnya gerak orbit dipandang sebagai gerak substansial benda-benda. Atas dasar itu, Mulla Sadra menilai waktu itu sebagai bagian dari esensi benda-benda. Hakikat waktu menurut Mulla Sadra adalah dimensi dan ekstensi transient yang dimiliki setiap benda pada zatnya di samping esktensi-ekstensi non transient, yang memiliki panjang, lebar dan ketebalan.

Mulla Sadra tidak menilai eksistensi waktu dan gerak sebagai dua hal sehingga satunya menjadi sebab atas yang lain dan menilai ada gerak mediasi yang menghubungkan antara benda-benda dan waktu lalu muncul pertanyaan terkait dengan jenis mediasi yang ada, apakah ia mediasi pada urudh (kuiditas) atau pada tsubut (entitas)?
Mulla Sadra tidak memandang gerak sebagai bagian dari kuiditas dan kategori sehingga harus ditanya kategori apakah gerak itu? Ia menilai bahwa gerak adalah sebuah konsep rasional dan diabstraksikan dari entitas-entitas materi sebagiamana konsep stabilitas diabstraksikan dari entitas non materi.[2]

Karena itu apa yang mengemuka dalam pertanyaan Anda apakah ada suatu waktu dimana sifat kepenciptaan sang pencipta tidak teraktualisasi? Dengan kata lain, apakah ada suatu waktu dimana waktu itu hanya ada Tuhan dan tiada sesuatu yang lain? Pada dasarnya Anda berasumsi adanya waktu sebelum waktu; karena waktu merupakan sebuah ekstensi yang berlalu yang dimiliki setiap benda. Di samping itu, awal dan akhir zamani itu terkhusus urusan waktu dan entitas yang lebih unggul di atas waktu terkait dengan waktu sama sekali tidak akan pernah mengada. Hubungan waktu, kini, dulu dan akan datang itu adalah sama bagi-Nya. Entitas-entitas lainnya yang sifatnya menyebar dalam satuan waktu akan berkumpul di hadapannya.
  1. Kejadian alam materi
Apakah alam materi itu memiliki huduts zamâni?
Yang dimaksud sebagai huduts zamani adalah sesuatu yang sebelumnya tiada pada satu waktu dan kebalilkannya adalah huduts dzati bermakna sesuatu yang memiliki sebab dan didahului oleh ketiadaan.[3] Dengan kata lain,  huduts zamani, yakni sesuatu ditinjau dari segi zaman ia didahului oleh ketiadaan. Ia dalam zaman sebelumnya tidak ada, kemudian sesudah zaman itu ia menemukan keberadaan. Misalnya huduts (terjadinya) hari ini yang pada zaman kemarin ia tidak ada.

Masalah huduts zamâni (temporal origination) dunia materi merupakan salah satu masalah kontroversial filsafat yang senantiasa menjadi obyek polemik khususnya kaum teologi yang berkukuh ingin menetapkannya dan menilai huduts zamâni ini sebagai keniscayaan sebuah akibat atau keakibatan (kausalitas). Sekelompok dari filosof juga meski mengkritik sebagian argumen teolog namun pada akhirnya menerima huduts zamani alam materi.[4]

Dari sisi lain, sebelummya kebanyakan filosof meyakini akan qidam zamani dunia materi dan menyodorkan dalil-dalil untuk menyokong pendapat ini; misalnya salah satu dalil yang mereka sodorkan qidam zamâni dunia adalah azalinya emanasi Ilahi. Namun harus dikatakan bahwa meski emanasi Ilahi tidak ada batasannya namun untuk dapat memperoleh emanasi Ilahi bergantung pada kapasitas dan kapabilitas penerimanya dan boleh jadi alam materi tidak memiliki kapasitas untuk dapat menerima emanasi azali dan abadi sebagaimana filosof tidak meyakini akan terbatasnya volume dunia sehingga tidak selaras dengan keluasan emanasi Ilahi. Mereka beranggapan bahwa terbatasnya waktu tidak boleh dianggap tidak sejalan dengan permanennya emanasi Ilahi.

Karena itu sebagian berkata hakikatnya adalah kita belum menemukan argumen rasional atas terbatasnya ruang dan waktu (zaman) alam dan juga tidak terbatasnya. Karena itu, kita dapat memberikan probabilitas dan kemungkinan atas masalah itu hingga kita menemukan argumen definitif atas masing-masing dari dua sisi di atas.[5]

Kesimpulannya, bahkan apabila keterbatasan waktu alam semesta tidak diterima maka sekali lagi jenis hubungan sifat Allah Swt dengan peristiwa-peristiwa waktu harus dipikirkan dan hal ini dapat dipecahkan dengan menjelaskan sifat fi’liyah Tuhan.
  1. Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?
Sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep-konsep yang diabtraksikan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khaliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[6]

Yang patut diperhatikan adalah bahwa pelbagai fenomena material memiliki batasan ruang dan waktu. Batasan ini berpengaruh dalam relasi dan hubungan antara fenomena tersebut dan Allah Swt dan sebagai hasilnya perbuatan-perbuatan yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut. Artinya dapat dikatakan dalam satu kata bahwa hubungan itu terikat dan terangkum dalam ikatan ruang dan waktu misalnya disebutkan bahwa Allah Swt menciptakan satu entitas dan makhluk tertentu pada satu tempat dan waktu tertentu namun batasan dan ikatan ini pada dasarnya kembali kepada makhluk dan sebagai ruang bagi terciptanya makhluk bukan meniscayakan hubungan ruang dan waktu kepada Allah Swt.

Dengan kata lain, sifat-sifat perbuatan Ilahi mengacu pada hal-hal yang berada dalam ruang dan waktu itu terdiri dari dua persepektif. Pertama perspektif yang disandarkan pada makhluk-makhluk dan dari sudut pandang ini tersifatkan dengan ikatan ruang dan waktu. Perspektif kedua penyandaran kepada Allah Swt dan karena itu terlepas dari ruang dan waktu. Apabila kita menilik sifat fi’liyah itu dari sudut pandang sumbernya dan sebagai contoh pencipta (khaliq) kita maknai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mencipta bukan sebagai seorang pencipta yang melakukan penciptaan dan dalam hal ini sifat pencipta ini akan kembali dan berujung kepada sifat dzatiyanya.[7]
  1. Permanennya Emanasi Ilahi
Apakah emanasi Ilahi itu bersifat permanen atau tidak? Mulla Sadra dengan menolak pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan secara azali menahan emanasi-Nya. Katanya, pendapat ini merupakan pendapat yang paling lemah. Sifat Allah Swt itu identik dengan zat-Nya dan segala kesempurnaan perbuatan-Nya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatann-Nya seperti kodrat, ilmu, hayat dan lain sebagainya tidak berbeda dengan zat-Nya. Demikian juga tujuan dan motif dalam memberikan emanasi dan sifat pemurah-Nya adalah ilmu-Nya sendiri pada sistem lebih sempurna yang identik dengan zat-Nya.[8]

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata:
“Kodrat Tuhan adalah karena Dia sumber bagi penciptaan dan kausalitas-Nya bagi selain-Nya. Kodrat ini adalah identik (a’in) dengan zat Ilahi dan kemestiannya adalah emanasi yang permanen dan rahmat yang berterusan serta tidak terputusnya anugerah Ilahi namun dari sifat permanen ini tidak memestikan alam natural;[9] karena keseluruhan sesuatu tidak terpisah dari bagian-bagiannya dan setiap bagian dari alam semesta ini dimulai dari ketiadaan.[10] Alam kontingen tidak terbatas pada alam materi semata karena telah ditetapkan bahwa alam kontingen terbagi menjadi alam materi dan non materi. Alam non materi terbagi lagi menjadi non materi rasional (aqli) dan non materi imaginal (mitsali).”[11]

Kesimpulannya adalah bahwa meski emanasi Ilahi itu bersifat permanen, azali dan abadi namun sifat azali dan abadi ini tidak bersifat esensial melainkan sebuah sifat bayangan dan siluet; artinya sebagaimana pada zat memerlukan Tuhan dalam sifat-Nya, dalam keazalian dan keabadian juga membutuhkan Tuhan. Pada kenyataannya kebutuhan terhadap-Nya bersifat azali dan abadi. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan keesaan Tuhan  bahkan penegas dan penyokong tauhid.
 

[1]. Tafsir Ayat Nur, hal. 144, Silahkan lihat, Farhang IsthilĆ¢hi Falsafi ShadrĆ¢, jil. 1, hal. .251.  
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 149-151, Cetakan Kedua, Sazeman Tablighat Islami, 1366 H.  
[3]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 231-233, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum.  
[4]. Mulla Sadra dalam AsrĆ¢r al-ƂyĆ¢t, hal. 91 berkata, 
 
Ų§Ł„ŁƒŲŖŲØ Ų§Ł„Ų„Ł„Ł‡ŁŠŲ© و Ų§Ł„Ų¢ŁŠŲ§ŲŖ Ų§Ł„ŁƒŁ„Ų§Ł…ŁŠŲ© قائلة بأن العالم بأسره Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ لأن الغرض من خلق العالم Ł„ŁŠŲ³ نفسه ŲØŁ„ Ł‡Łˆ أؓرف منه ف؄ن الطبائع Ų§Ł„Ų¬Ų³Ł…Ų§Ł†ŁŠŲ© و Ł…Ų§ في Ų­ŁƒŁ…Ł‡Ų§ لا ŁŠŁ…ŁƒŁ† أن ŁŠŁƒŁˆŁ† Ł‡ŁŠ Ų§Ł„ŲŗŲ§ŁŠŲ© الأقصى في Ų§Ł„ŁˆŲ¬ŁˆŲÆ ŲØŁ„ البرهان Ų§Ł„Ų­ŁƒŁ…ŁŠ ناهض على أن للطبائع غايات أخرى Ł‡ŁŠ أعلى منها و ŁƒŁ„Ł…Ų§ Ł‡Łˆ أعلى من Ų§Ł„Ų·ŲØŁŠŲ¹Ų© Ų§Ł„ŁƒŁˆŁ†ŁŠŲ© لا ŁŠŁƒŁˆŁ† ŁˆŲ¬ŁˆŲÆŁ‡ في هذا العالم ŲØŁ„ في عالم Ų¢Ų®Ų±. فثبت بالبرهان أن هذا العالم بأسره ŁˆŲ§Ł‚Ų¹ ŲŖŲ­ŲŖ الفساد و ŁŠŁ„Ų­Ł‚Ł‡ العدم و الانقراض و Ł…Ų§ ŁŠŁ„Ų­Ł‚Ł‡ العدم و الانقراض ŁŁ‡Łˆ Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ لا محالة فالعالم و ŁƒŁ„ Ł…Ų§ ŁŁŠŁ‡ Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ‏.
 
[5]. Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 251 dan 255.  
[6]. Ƃmuzesy Falsafah, jil. 2, hal. 373.
[7]. Shadr al-Muta’allihin, hal. 72, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, Tehran, 1360 S.

اعلم أن جماعة من Ų§Ł„Ł…ŲŖŁƒŲ§ŁŠŲ³ŁŠŁ† Ų§Ł„Ų®Ų§Ų¦Ų¶ŁŠŁ† ŁŁŠŁ…Ų§ لا ŁŠŲŗŁ†ŁŠŁ‡Ł… Ų²Ų¹Ł…ŁˆŲ§ أن ؄له العالم ŁƒŲ§Ł† في أزل الآزال Ł…Ł…Ų³ŁƒŲ§ عن Ų¬ŁˆŲÆŁ‡ و ؄نعامه ŁˆŲ§Ł‚ŁŲ§ عن ŁŁŠŲ¶Ł‡ و ؄حسانه Ų«Ł… سنح له في أن ŁŠŁŲ¹Ł„ فؓرع في الفعل و Ų§Ł„ŲŖŁƒŁˆŁŠŁ† و Ų§Ł„ŲŖŁ‚ŁˆŁŠŁ… فخلق هذا الخلق Ų§Ł„Ų¹ŲøŁŠŁ… Ų§Ł„Ų°ŁŠ بعضه Ł…ŁƒŲ“ŁˆŁ بالحس و Ų§Ł„Ų¹ŁŠŲ§Ł† و بعضه Ł…Ų¹Ł„ŁˆŁ… ŲØŲ§Ł„Ł‚ŁŠŲ§Ų³ و البرهان.  Łˆ هذا Ų§Ł„Ų±Ų£ŁŠ من سخيف الآراؔ و من Ł‚ŲØŁŠŲ­ Ų§Ł„Ų£Ł‡ŁˆŲ§Ų” ف؄ن صفات الحق تعالى Ų¹ŁŠŁ† ذاته و ŁƒŁ…Ų§Ł„Ų§ŲŖŁ‡ Ų§Ł„ŁŲ¹Ł„ŁŠŲ© Ų§Ł„ŲŖŁŠ Ł‡ŁŠ Ł…ŲØŲ§ŲÆŁŠ أفعاله ŁƒŲ§Ł„Ł‚ŲÆŲ±Ų© و العلم و ال؄رادة و الرحمة و Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ ŁƒŁ„Ł‡Ų§ غير Ų²Ų§Ų¦ŲÆŲ© على ذاته تعالى و كذا Ų§Ł„ŲŗŲ§ŁŠŲ© في ŁŁŠŲ¶Ł‡ و Ų¬ŁˆŲÆŁ‡ و Ų§Ł„ŲÆŲ§Ų¹ŁŠ له على Ų°Ł„Łƒ Ł„ŁŠŲ³ ؄لا نفس علمه بالنظام Ų§Ł„Ų£ŁƒŁ…Ł„ Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ł‡Łˆ Ų¹ŁŠŁ† ذاته ف؄ن ذاته Ł‡Łˆ النظام Ų§Ł„Ł…Ų¹Ł‚ŁˆŁ„ Ų§Ł„ŁˆŲ§Ų¬ŲØŁŠ Ų§Ł„Ų°ŁŠ ŁŠŲŖŲØŲ¹Ł‡ النظام Ų§Ł„Ł…ŁˆŲ¬ŁˆŲÆ Ų§Ł„Ł…Ł…ŁƒŁ†ŁŠ لا كاتباع Ų§Ł„Ų¶ŁˆŲ” Ł„Ł„Ł…Ų¶ŁŠ‏Ų” و Ų§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų§Ł„Ų³Ų®ŁˆŁ†Ų© Ł„Ł„Ų¬ŁˆŁ‡Ų± الحار. و Ų§Ł„Ų°ŁŠ دعاهم ؄لى هذا الظن Ų§Ł„Ł‚ŲØŁŠŲ­ Ų§Ł„Ł…Ų³ŲŖŁ†ŁƒŲ± Ł…Ų§ ŲŖŁˆŁ‡Ł…ŁˆŲ§ أن حدوث العالم Ų­Ų³ŲØŁ…Ų§ اتفق Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ أهل الؓرائع الحقة من Ų§Ł„ŁŠŁ‡ŁˆŲÆ و النصارى و Ų§Ł„Ł…Ų³Ł„Ł…ŁŠŁ† ŲŖŲØŲ¹Ų§ ل؄جماع Ų§Ł„Ų£Ł†ŲØŁŠŲ§Ų” Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ł… السلام يستدعي Ų°Ł„Łƒ و لا يستصح ؄لا بنسبة Ų§Ł„Ų„Ł…Ų³Ų§Łƒ عن Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ و ŲŖŲ¹Ų·ŁŠŁ„ Ų§Ł„ŁŁŠŲ¶ ؄لى اللّه Ų§Ł„Ł…Ų¹ŲØŁˆŲÆ. و قدا ŁˆŲ¶Ų­Ł†Ų§ Ų§Ł„Ų³ŲØŁŠŁ„ و أقمنا Ų§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ ŁƒŁ…Ų§ ستقف ؄ن Ų“Ų§Ų” اللّه تعالى Ų­Ų³ŲØŁ…Ų§ فصلنا في ŁƒŲŖŲØŁ†Ų§ و رسائلنا على أن العالم ŲØŁƒŁ„Ł‡ و جزئه Ų­Ų§ŲÆŲ« Ų²Ł…Ų§Ł†ŁŠ و Ų°Ł„Łƒ لا ŁŠŁ†Ų§ŁŁŠ ŁƒŁˆŁ†Ł‡ تعالى قائما بالقسط و العدل و Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲÆ و Ų§Ł„ŁƒŲ±Ł… أزلا و Ų£ŲØŲÆŲ§ .  
[8]. Dalam hal ini silahkan lihat, Ibnu Sina, Syarh al-IsyĆ¢rat, jil. 3, hal. 317, Cetakan Kedua, Daftar Nasyr al-Kitab, 1403 H.  
[9]. Karena tentu saja alam itu besifat temporal (dalam skop waktu dan zaman).  
[10]. NihĆ¢yah al-Hikmah, hal. 326.  

قد ŲŖŲØŁŠŁ† في الأبحاث السابقة أن قدرته تعالى Ł‡ŁŠ Ł…ŲØŲÆŲ¦ŁŠŲŖŁ‡ Ł„Ł„Ų„ŁŠŲ¬Ų§ŲÆ و Ų¹Ł„ŁŠŲŖŁ‡ لما Ų³ŁˆŲ§Ł‡ و Ł‡ŁŠ Ų¹ŁŠŁ† الذات Ų§Ł„Ł…ŲŖŲ¹Ų§Ł„ŁŠŲ© و لازم Ų°Ł„Łƒ ŲÆŁˆŲ§Ł… Ų§Ł„ŁŁŠŲ¶ و Ų§Ų³ŲŖŁ…Ų±Ų§Ų± الرحمة و Ų¹ŲÆŁ… انقطاع Ų§Ł„Ų¹Ų·ŁŠŲ©. و لا ŁŠŁ„Ų²Ł… من Ų°Ł„Łƒ ŲÆŁˆŲ§Ł… عالم Ų§Ł„Ų·ŲØŁŠŲ¹Ų© لأن Ų§Ł„Ł…Ų¬Ł…ŁˆŲ¹ Ł„ŁŠŲ³ ؓيئا وراؔ الأجزاؔ و ŁƒŁ„ Ų¬Ų²Ų” Ų­Ų§ŲÆŲ« Ł…Ų³ŲØŁˆŁ‚ بالعدم و لا تكرر في وجود العالم على Ł…Ų§ ŁŠŲ±Ų§Ł‡ Ų§Ł„Ł‚Ų§Ų¦Ł„ŁˆŁ† ŲØŲ§Ł„Ų£ŲÆŁˆŲ§Ų± و Ų§Ł„Ų£ŁƒŁˆŲ§Ų± لعدم Ų§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡.  
 
[11]. Ibid, hal. 315.   
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: