Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS SEPUTAR AGAMA. Show all posts
Showing posts with label ABNS SEPUTAR AGAMA. Show all posts

Masa Muda, Sebuah Keutamaan Yang Terabaikan


Masa-masa muda memiliki urgensitas dan nilai tersendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan satupun masa dari usia kehidupan seorang manusia. Masa-masa inilah yang dikatakan sebagai masa-masa emas kehidupan setiap individu, tidak banyak dipahami dan tidak banyak diperhatikan. Imam Ali as mengisyaratkan persoalan penting ini seraya bersabda sebagai berikut:

«شَیْئَانِ لَا یَعْرِفُ فَضْلَهُمَا إِلَّا مَنْ فَقَدَهُمَا: الشَّبَابُ وَ الْعَافِیَه»

Artinya, “Ada dua sesuatu yang tidak diketahui nilai dan urgensinya kecuali tatkala kehilangan kedua-duanya, yaitu: Masa muda dan masa sehat.”[1]


Ada banyak riwayat yang menjelaskan tentang urgensi dan bernilainya masa-masa muda dan disini akan disebutkan beberapa diantaranya:


1. Masa muda adalah masa termanis bagi makhluk dan ciptaan Allah Swt.

Dalam hadits dijelaskan seperti berikut:

«قَالَ ابْنُ أَبِی لَیْلَى لِلصَّادِقِ (علیه السلام) أَیُّ شَیْ‏ءٍ أَحْلَى مِمَّا خَلَقَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ؟ فَقَالَ الْوَلَدُ الشَّابُّ. فَقَالَ: أَیُّ شَیْ‏ءٍ أَمَرُّ مِمَّا خَلَقَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ؟ قَالَ: فَقْدُهُ. فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّکُمْ حُجَجُ اللَّهِ عَلَى خَلْقِهِ.»

Artinya, “Telah bertanya Ibnu Abi Laili kepada Imam Shadiq as, “Ciptaan Allah Swt yang mana yang paling manis? Imam Shadiq as menjawab, “Anak yang muda,” Dia bertanya, “Ciptaan Allah Swt yang mana yang paling pahit?” Imam Shadiq as menjawab, “Kehilangan anak muda itu.” Dia berkata, “Saya bersaksi bahwa anda adalah hujjah Allah Swt atas hamba-hamba-Nya.”[2]


2. Nilai ibadah dikala masih muda


Dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:

«حَدَّثَنِی مَالِکٌ عَنْ أَبِی عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِی سَعِیدٍ الْخُدْرِیِّ أَوْ عَنْ أَبِی هُرَیْرَهَ قَالَ: قَالَ: رَسُولُ اللَّهِ ص سَبْعَهٌ یُظِلُّهُمُ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ فِی ظِلِّهِ یَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ، إِمَامٌ عَادِلٌ وَ شَابٌّ نَشَأَ فِی عِبَادَهِ اللَّهِ عَزَّوَجَل‏…»

Artinya, “Telah berkata kepadaku Malik dari Abu Abdurrahman dari Hafsh bin Ashim dari Abi Sa’id al-Khudri atau dari Abi Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Ada tujuh kelompok manusia yang Allah Swt berikan perlindungan pada mereka di hari dimana tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya: Imam yang adil, Pemuda yang tumbuh besar dengan ibadah kepada Allah Swt…”[3]


Dalam hadits lain juga disebutkan seperti berikut ini:

«أن رسول الله صلى الله علیه وسلم قال: ما من شباب یدع لذه الدنیا ولهوها ویستقبل بشبابه طاعه الله تعالى إلا أعطاه الله تعالى أجر اثنین وسبعین صدیقا، ثم قال: یقول الله تعالى: أیها الشاب التارک شهوته من أجلی، المبتذل شبابه لی، أنت عندی کبعض ملائکتی.»

Artinya, “Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada (balasan) bagi seorang pemuda yang meninggalkan kelezatan dan permainan dunia dan dengan kemudaannya dia menyambut ketaatan kepada Allah Swt kecuali Allah Swt akan memberinya imbalan pahala senilai tuju puluh dua Shiddiqin (orang-orang yang memiliki kedudukan shiddiqin)”, lalu kemudian Allah Swt berfirman kepadanya, “Wahai pemuda yang telah meninggalkan kelezatan hawa nafsu dan telah menghabiskan masa muda demi Diri-Ku, engkau disisi-Ku seperti sebagian malaikat-Ku.”[4]


Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:

«فضل الشّابّ العابد الّذی یعبد فی صباه على الشّیخ الّذی یعبد بعد ما کبرت سنّه، کفضل المرسلین على سایر النّاس.»

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Keutamaan seorang pemuda yang ahli ibadah yang masa mudanya digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt atas seorang orang tua yang setelah menginjak usia tua baru lebih giat beribadah, sama seperti keutamaan para nabi dan utusan Allah Swt atas seluruh umat manusia.”[5]


3. Nilai keberagamaan pemuda

Dalam sebuah hadits dijelaskan seperti berikut:

«قَالَ رَسُولُ اللَّه‏ إِنَّ أَحَبَّ الْخَلَائِقِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى شَابٌ‏ حَدَثُ‏ السِّنِ‏ فِی‏ صُورَهٍ حَسَنَهٍ جَعَلَ شَبَابَهُ وَ جَمَالَهُ فِی طَاعَهِ اللَّهِ تَعَالَى ذَاکَ الَّذِی یُبَاهِی اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مَلَائِکَتَهُ فَیَقُولُ هَذَا عَبْدِی حَقّا»

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara makhluk yang paling dicintai Allah Swt adalah seorang pemuda tampan yang masa muda dan ketampanannya dihabiskan untuk mentaati Allah Swt, seorang yang Allah Swt membangga-banggakannya di tengah-tengah para malaikat seraya berfirman, “Inilah hamba-Ku yang sebenarnya.”[6]

 
4. Peran amal di masa muda untuk masa tua

Dalam hadits diungkapkan seperti berikut:

«عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ ع قَالَ قَالَ النَّبِیُّ ص إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا غَلَبَهُ ضَعْفُ الْکِبَرِ أَمَرَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ الْمَلَکَ أَنْ یَکْتُبَ لَهُ فِی حَالِهِ تِلْکَ مِثْلَ مَا کَانَ یَعْمَلُ وَ هُوَ شَابٌّ نَشِیطٌ صَحِیحٌ…»

Artinya, “Imam Shadiq as bersabda, “Rasulullah saw telah bersabda bahwa, “Sesungguhnya apabila kelemahan masa tua telah mendominasi kaum Muslimin, maka Allah Swt menyuruh dan memerintahkan malaikat untuk menuliskan pahala amal untuk orang itu sebagaimana ia beramal di masa mudanya.”[7]


5. Kesiapan dan potensi pemuda untuk menerima dan mempelajari

Dalam riwayat diungkapkan seperti berikut ini:

«…وَ إِنَّمَا قَلْبُ‏ الْحَدَثِ‏ کَالْأَرْضِ الْخَالِیَهِ مَا أُلْقِیَ فِیهَا مِنْ شَیْ‏ءٍ قَبِلَتْهُ فَبَادَرْتُکَ بِالْأَدَبِ قَبْلَ أَنْ یَقْسُوَ قَلْبُک‏…»

Artinya, “Amirul Mukminin Ali as bersabda, “Hati para pemuda ibarat tanah kosong dan berpotensi dimana bibit apapun yang ditaburkan diatasnya pasti akan diterimanya (tumbuh), maka aku pun segera mendidik kamu (hati muda) sebelum hati kamu menjadi keras…”[8]


6. Nilai mempelajari al-Qur’an di masa muda

Dalam sebuah riwayat dipaparkan seperti berikut:

«عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ: مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَ هُوَ شَابٌّ مُؤْمِنٌ اخْتَلَطَ الْقُرْآنُ‏ بِلَحْمِهِ‏ وَ دَمِهِ وَ جَعَلَهُ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ مَعَ السَّفَرَهِ الْکِرَامِ الْبَرَرَهِ وَ کَانَ الْقُرْآنُ حَجِیزاً عَنْهُ یَوْمَ الْقِیَامَهِ یَقُولُ یَا رَبِّ إِنَّ کُلَّ عَامِلٍ قَدْ أَصَابَ أَجْرَ عَمَلِهِ غَیْرَ عَامِلِی فَبَلِّغْ بِهِ أَکْرَمَ عَطَایَاک‏»

Artinya, “Dari Abu Abdillah as (Imam Shadiq as), beliau bersabda, “Barang siapa yang membaca al-Qur’an dan dia adalah seorang pemuda Mukmin, maka al-Qur’an telah menyatu dengan dagingnya, dengan darahnya dan Allah Swt menjadikannya kelak bersama malaikat pembawa wahyu yang sama sekali tidak pernah berbuat dosa dan al-Qur’an akan menjadi tameng yang melindunginya dari api neraka pada hari Kiamat. Pada hari itu (Kiamat) al-Qur’an berkata (kepada Allah Swt), “Wahai Tuhanku! Setiap pengamal telah mendapatkan imbalan amalnya, kecuali para pengamal-ku (pengamal al-Qur’an)! Karena itu hendaklah Engkau anugerahkan yang terbaik kepadanya!”[9]


7. Masa-masa muda kelak akan ditanyakan

Dalam sebuah riwayat dipaparkan seperti berikut:

«قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع کَانَ فِیمَا وَعَظَ بِهِ لُقْمَانُ ابْنَهُ یَا بُنَیَّ … وَ اعْلَمْ أَنَّکَ سَتُسْأَلُ غَداً إِذَا وَقَفْتَ بَیْنَ یَدَیِ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ عَنْ أَرْبَعٍ شَبَابِکَ فِیمَا أَبْلَیْتَهُ‏ وَ عُمُرِکَ‏ فِیمَا أَفْنَیْتَهُ وَ مَالِکَ مِمَّا اکْتَسَبْتَهُ وَ فِیمَا أَنْفَقْتَه‏…»

Artinya, “Imam Shadiq as bersabda, “Diantara nasehat Luqman kepada putranya adalah, “Wahai anakku! Kelak disisi Allah Swt akan ditanyakan kepada kamu empat hal: masa muda engkau gunakan untuk apa? Usia kamu dihabiskan untuk apa? Dari mana engkau peroleh harta dan digunakan untuk apa?…”[10]


Bahan Bacaan: 

1. A’lâm al-Dîn fî Shifât al-Mu’minîn, Dailami, Hasan bin Muhammad, Muassasah âli al-Bait (as), Qom, cet. 1, 1408 H.
2. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir, jilid 9, hal. 33, riset: Ali Syiri, cet. 1, 1408 H – 1988 M, Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabî, Beirut.
3. Tuhaf al-‘Uqûl ‘an Âli al-Rasûl (saw), Ibnu Syu’bah Harani, Hasan bin Ali, Jâmi’ah Mudarrisîn, Qom, cet. 2, 1404 H – 1363 Syamsi.
4. Al-Jâmi’ al-Shaghîr, Jalaluddin Suyuti, 1, 1401 H – 1981 M, Dâr al-Fikr liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut.
5. Al-Khishâl, Muhammad bin Ali, Ibnu Babwaih, Jâmi’ah Mudarrisîn, Qom, cet. 1, 1362 Syamsi.
6. Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi Amidi, Dâr al-Kitâb al-Islâmî, Qom, cet. 2, 1410 H.
7. Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Manawi, riset dan revisi: Ahmad Abdussalam, cet. 1, 1415 H – 1994 M, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
8. Al-Kâfî, Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. 1, 1429 H.
9. Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, riset: Syaikh Bakri Hayani/revisi dan daftar isi: Syaikh Shafwah al-Saqa, 1409 H – 1989 M, Muassasah al-Risâlah, Beirut.
10. Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh, Muhammad bin Ali, Ibnu Babwaih, Daftar Intisyârât Islâmî (di bawah naungan) Jâmi’ah Mudarrisîn Hauzah Qom, Qom, cet. 1, 1413 H.
11. Nahjul Balaghah (Shubhi Shaleh), Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Hijrat, Qom, cet. 1, 1414 H.



Catatan Kaki:

[1] Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi Amidi, hal. 414, hadits 11.
[2] Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh, Muhammad bin Ali, Ibnu Babwaih, jilid 1, hal. 188, hadits 569.
[3] Al-Khishâl, Muhammad bin Ali, Ibnu Babwaih, jilid 2, hal. 343, hadits 7.
[4] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir, jilid 9, hal. 33.
[5] Al-Jâmi’ al-Shaghîr, Jalaluddin Suyuti, jilid 2, hal. 213, hadits 5856; Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 15, hal. 776, hadits 43059; Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Manawi, jilid 4, hal. 566, hadits 5856.
[6] Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 15, hal. 785, hadits 43103; A’lâm al-Dîn fî Shifât al-Mu’minîn, Dailami, Hasan bin Muhammad, hal. 120.
[7] Al-Kâfî, Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, jilid 5, hal. 307.
[8] Tuhaf al-‘Uqûl, Ibnu Syu’bah Harani, Hasan bin Ali, hal. 70; Nahjul Balaghah, Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Surat 31.
[9] Al-Kâfî, Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, jilid 2, hal. 603.
[10] Al-Kâfî, Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, jilid 2, hal. 134.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hakikat Sedekah Menurut Perspektif Al-Quran


Al-Qur’an al-Karim menegakkan konsep infak atau sedekah di atas pondasi kemanusiaan dan keimanan, di mana manusia akan sampai kepada level merasakan begitu dalamnya tanggung jawab kemanusiaannya.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ / الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(QS. al-Baqarah:267-268.)

Al-Qur’an al-Karim menegakkan konsep infak atau sedekah di atas pondasi kemanusiaan dan keimanan, di mana manusia akan sampai kepada level merasakan begitu dalamnya tanggung jawab kemanusiaan tersebut. Al-Qur’an telah memberikan contoh yang tinggi untuk tingkatan tersebut, ketika menceritakan tentang Ahlulbayt as di saat mereka memberikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkannya dengan niat bersedekah, juga demi mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedekah tersebut bukan dari seluruh harta yang mereka miliki, melainkan mereka menyedekahkan hal yang ada yang mereka cintai.

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا…

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. al-Insan [76]:8.)

Ini adalah sebuah contoh yang begitu indah nan mulia, disampaikan agar manusia dapat mengetahui bagaimana semestinya bersedekah. Dalam pandangan Islam sedekah hendaknya terfokus pada kualitas harta yang disedekahkan dan haruslah sampai pada yang berhak menerimanya.

Dengan mencermati nuansa ayat-ayat di atas maka kita akan menemukan bahwa konsep al-Qur’an dalam sedekah memfokuskan pada pentingnya manusia memilih yang terbaik dari apa yang dimiliki, baik yang ia peroleh dengan susah payah melalui bekerja atau melalui produksi atau dari hasil bumi dari pertanian atau buah-buahan.

Alhasil, di dalam memberi hendaknya dari sesuatu yang baik kualitasnya dan bersumber dari yang baik pula. Ini adalah esensi dari kemanusiaan di dalam mencurahkan dan memberikan sedekah, ketika seseorang mau untuk berbagi dengan saudaranya yang lain dari kebaikan yang ia miliki.

Hendaknya seseorang tidak memperhatikan barang-barang rusak, usang dan kotor yang dimiliki untuk diberikan kepada orang lain dengan niat untuk melepaskan diri darinya dengan berkedok infaq atau sedekah. Hendaknya ia memosisikan dirinya sebagaimana orang yang butuh. Apakah ia akan berkenan untuk menerima sesuatu yang busuk dan rusak atau sesuatu yang sudah tidak layak lagi dipergunakan untuk menutupi kebutuhan?

Ayat-ayat di atas menggambarkan sebuah contoh dari keadaan manusia yang berusaha memilih apa yang akan mereka sedekahkan dengan cara yang demikian. Akan tetapi, Allah swt ingin menjelaskan kepada mereka bahwa perbuatan semacam itu bukanlah termasuk dari keimanan, sesungguhnya itu tidak mencerminkan jiwa dermawan yang bernuansa nilai-nilai Islami, melainkan itu mencerminkan sebuah tingkah laku melepaskan diri dari apa-apa yang sudah tidak ia butuhkan, membungkusnya dengan kemasan sedekah, sungguh itu adalah bentuk mempermainkan nilai-nilai agama dan menipu diri.


Apa sumber penipuan tersebut?

Inilah yang menjadi bahasan ayat tersebut. Bahwa sumber infak semacam ini tidak lain adalah karena takut miskin dan dan butuh di masa yang akan datang. Terutama di saat-saat lemah, oleh karenanya Allah swt menyeru wahai manusia jangan kalian mendengar dan terbuai oleh seruan dan bisikan setan, sesungguhnya dia menyelinap ke dalam jiwa dengan menginspirasikan untuk tidak bersedekah serta menakut-nakutinya dengan kefaqiran dan kemiskinan.

Jika bersedekah dan memberi maka hasilnya ia akan hidup dalam kemiskinan, lantas buat apa sedekah yang itu juga tidak dilakukan oleh orang lain, kenapa dan kenapa? Dan masih ada serentetan pertanyaan-pertanyaan yang muncul untuk melemahkan semangat dan menciptakan keadaan untuk mengedepankan dirinya sendiri dari pada orang lain.

Lantas apa yang ditimbulkan oleh perasaan semacam ini yang terus menerus menghantui seseorang?

Sesungguhnya dominasi perasaan dan keadaan semacam ini secara alamiah menghasilkan meluasnya kemiskinan di dalam tubuh masyarakat melalui:
1. Kotornya jiwa dan menjauhi kemanusiaan. 
2. Penderitaan sekelompok masyarakat akibat kebutuhan dan kemiskinan. 
3. Merebaknya kejahatan dan kriminalitas sebagai dampak dari kemiskinan dan kekurangan tersebut.

Kelemahan yang menyeluruh di tengah masyarakat. Sedekah dapat menggerakkan perputaran roda ekonomi di dalam tubuh masyarakat juga menggiatkan seluruh persendiannya sehingga tersebarlah kebaikan bagi semua. Sementara enggan untuk bersedekah menjadikan kemandekan kekuatan ekonomi yang menyebabkan lemahnya ekonomi dan lemahnya kondisi sosial.

Ketika Allah swt menyeru hamba-hambanya untuk bersedekah, sebenarnya Dia menyeru pada kebaikan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat, di dunia ia akan hidup dalam kebaikan dan kesejahteraan, tersebarnya keselamatan sosial dan jiwa-jiwa menjadi suci dengannya, serta menambah erat hubungan-hubungan yang ada. Sementara di akhirat manusia akan mendapatkan kemenangan, ampunan dan keridhaan serta keselamatan dari keterjerumusan ke dalam panasnya api neraka.

Allah swt Dzat yang Maha Kaya nan terpuji, Dia sama sekali tidak butuh pada apa yang disedekahkan oleh seorang hamba, Dia adalah sumber segala kebaikan dan anugerah, Dia selalu memberi lebih pada hamba-hamba-Nya, hendaknya setiap insan yang mengaku beriman dan yakin hendaknya ia berakhlak dengan akhlak Allah swt, mau untuk memberikan dari kecukupannya kepada mereka yang membutuhkan, akan tetapi perlu diingat bahwa setan senantiasa menyelinap di dalam kedalaman diri manusia sembari membisikkan tipuan-tipuannya khususnya di saat lemahnya seseorang.

(Ikmal-Online/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ya’juj dan Ma’juj Dalam Quran


Ya’juj dan Ma’juj adalah sebuah kelompok tiran. Tirani dan kezaliman mereka berakhir seiring dengan dibangunnya Tembok Kaukasia (Caucasian Wall) yang dibangun oleh Dzulqarnain di antara dua gunung.
Dari sekumpulan ayat al-Qur’an dan beberapa penjelasan Taurat dalam hal ini serta bukti-bukti sejarah dapat disimpulkan bahwa kelompok ini hidup pada daerah Asia Utara.

Dengan adanya invasi liar dari kelompok ini ke daerah-daerah Selatan dan Barat, mereka banyak menimbulkan bencana. Dengan tertutupnya tanggul Dzulqarnain serangan mereka terhenti untuk beberapa lama tetapi pada akhirnya tanggul tersebut akan terbuka kembali. Sebagian berpendapat bahwa kembalinya mereka adalah karena serangan bangsa Mongol. Sebagian yang lain menyebutkan kembalinya mereka adalah hidupnya mereka kembali di akhir zaman yang hingga kini belum terjadi.


Sumber utama informasi terkait dengan Ya’juj dan Ma’juj (Gog and Magog) adalah al-Qur’an dan kitab Perjanjian Lama juga menyinggung ihwal kaum ini. Para penafsir dan sejarawan dengan memanfaatkan dua sumber utama ini dan mengkaji bukti-bukti sejarah mereka sampai pada beberapa asumsi terkait dengan kaum atau kaum-kaum ini.

Pada dua tempat Al-Qur’an menyebutkan Ya’juj dan Ma’juj, Hingga tatkala dia (Dzulqarnain) telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan (dan mereka memiliki bahasa khusus). Mereka berkata, “Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’jûj dan Ma’jûj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Maka mungkinkah kami menyediakan biaya untukmu supaya kamu membuat dinding penghalang antara kami dan mereka?” (QS. Al-Kahf [18]:93&94).

Setelah al-Qur’an menjelaskan tentang bagaimana tembok ini dibuat kemudian sebagai kelanjutannya menyatakan, Akhirnya dia membuat sebuah tembok yang kokoh sehingga) mereka (Ya’jûj dan Ma’jûj) tidak bisa mendakinya dan tidak bisa (pula) melubanginya.” (QS. Al-Kahf [18]:97) Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah sebuah kelompok tiran. Tirani dan kezaliman mereka berakhir seiring dengan dibangunnya Tembok Kaukasia (Caucasian Wall)[1] yang dibangun oleh Dzulqarnain di antara dua gunung.

Pada ayat lainnya Al-Qur’an menandaskan, Hingga apabila dibukakan Ya’jûj dan Ma’jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan kedatangan janji yang benar (kiamat) telah dekat…” (QS. Al-Anbiya [21]:96-97) Ayat ini menubuatkan bahwa pada akhir zaman Ya’juj dan Ma’juj akan turun dengan cepat dari tempat-tempat ketinggian. Apa yang dapat dipahami dari kaum ini terbatas dengan beberapa ayat al-Qur’an ini.

Namun pada kitab-kitab Perjanjian Lama (Old Testament) terdapat beberapa matlab terkait dengan masalah ini; dalam kitab Kejadian,[2] Yehezkiel,[3] dan sebagainya disebutkan beberapa hal yang menunjukkan bahwa Ma’juj atau Juj dan Ma’juj adalah satu umat atau beberapa umat yang tinggal di Asia Timur dan menghabiskan waktunya dengan berperang, menebar fitnah dan merampok.[4] Selain ayat-ayat pasti al-Qur’an dan teks-teks Taurat (Perjanjian Lama) yang menyebutkan kaum ini, terdapat beberapa hal yang disebutkan oleh para sejarawan dan penafsir seluruhnya merupakan bukti-bukti sejarah dan tidak bersandar pada sandaran yang definitif.

Allamah Thabathabai dalam tafsir al-Mizân menuturkan, “Para penafsir dan sejarawan dalam pembahasan terkait dengan kisah ini mereka sangat teliti dan banyak menelusuri. Mereka banyak bercerita tentang hal ini dan memandang bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah sebuah umat yang sangat besar yang hidup di Asia Timur.”[5]

Sebagian lainnya berkata, “Ya’juj dan Ma’juj merupakan sebuah umat yang tinggal di belahan Timur Asia dan daerah-daerah mereka terbentang semenjak Tibet, Cina hingga Samudra Arktik, dan dari Barat hingga belahan bumi Turki. Ucapan ini dikutip dari Fâkihat al-Khulâfah dan Tahdzib al-Akhlâq karya Ibnu Miskawaih serta Rasâil Ikhwân al-Shafâ.[6]

Dalam kitab Ma’âd Syinâsi-nya Allamah Husaini Tehrani mencocokkan asli kalimat Ya’juj dan Ma’juj dengan nukilan-nukilan yang ada tentang mereka. Dalam kitab tersebut, Allamah Husaini Tehrani menyimpulkan, “Aslinya dua kalimat China ini, “Mungug” atau “Muncug” dan tranliterasinya dalam bahasa Ibrani dan Arab menjadi “Ya’juj” dan “Ma’juj.” Dalam bahasa Yunani berubah menjadi “Gog” dan “Magog.” Karena ada kemiripan “Magog” dan “Munggug” maka dapat dihukumi bahwa kalimat ini mengalami perkembangan dalam bahasa Cina “Munggug.” Sebagaimana “Mongol” dan “Mogol” merupakan perkembangan dari kalimat tersebut.

Karena itu, Ya’juj dan Ma’juj adalah suku Mongol yang bermukim di Timur Laut Asia semenjak masa lampau dan komunitas besar ini terkadang melakukan invasi ke wilayah Cina dan terkadang menyerang Armenia dan Iran Utara melalui Daryal Kaukakus, dan terkadang setelah berdirinya Tembok Kaukakus (Wall of Dzulqarnain) mereka menyerang ke Eropa Utara dan dikenal sebagai “Syth” di kalangan mereka. Sekelompok dari mereka menyerang Roma dan akibatnya pemerintahan Roma jatuh dan orang-orang Yunani menyebutnya sebagai “Scythians” dan nama ini disebutkan dalam prasasti Darius.[7]

Dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara lugas dan tegas ihwal kehancuran mereka melainkan apa yang dapat disimpulkan dari al-Qur’an bahwa dengan tertutupnya Tembok Kaukasia, maka jalan mereka untuk merampok dan menjarah tertutup. Adapun terkait dengan apakah mereka sekarang masih hidup, kita tidak dapat menyimpulkannya dari ayat dan riwayat, melainkan berdasarkan kesimpulan Ibnu Abbas dari ayat 96 surah al-Anbiya bahwa mereka telah mati. Lantaran menurut Ibnu Abbas, redaksi “ha-da-bin” yang bermakna tempat ketinggian telah dibaca “ja-da-tsin” yang bermakna kuburan. Dalam hal ini, makna ayat 96 surah al-Anbiya seperti ini: “Sehingga kaum Ya’juj dan Ma’juj dengan cepat keluar dari kuburan mereka.”[8]

Pada sebagian riwayat juga dalam menafsirkan ayat ini disebutkan bahwa pada akhir zaman, Ya’juj dan Ma’juj kembali akan memasuki dunia[9] yang hal ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa mereka sekarang ini tidak berada di dunia dan akan kembali di masa mendatang.

Akan tetapi, penyerangan mereka kembali juga menjadi bahan perbincangan dan perdebatan para alim. Sebagian periset, berita al-Qur’an yang mewartakan bahwa, “Pada akhir zaman Ya’juj dan Ma’juj akan keluar dan membuat kerusakan di muka bumi,” mencocokkan serangan bangsa Mongol atas Asia Barat pada medio pertama abad ketujuh Hijriah, lantaran tatkala mereka keluar, sedemikian mereka menumpahkan darah, membuat onar, kerusakan, menghancurkan kota-kota dan membunuh secara massal, merusak kota-kota, menjarah harta benda umum sehingga sejarah kemanusian tidak pernah melihat bandingannya. Mereka menaklukkan Cina, Turki, Iran, Irak, Suriah dan Kaukasus hingga Asia Minor dan setiap kota dan laut yang bertempur melawan mereka akan hancur dan penduduknya akan binasa.”[10]

Di hadapan sebagian peneliti ini, dapat disebutkan bahwa apabila Ya’juj dan Ma’juj, setelah tertutupnya Tembok Kaukakus, telah mati semenjak lampau dan di masa datang akan kembali ke dunia, maka tentu saja Ya’juj dan Ma’juj ini bukanlah bangsa Mongol karena keluarnya mereka dari kuburan tidak dapat dibenarkan.

Pada akhirnya harus dikatakan bahwa apa yang telah disebutkan di atas adalah beberapa kemungkinan yang tidak dapat diyakini dan kita harus mencukupkan diri dengan seluruh kepastian yang disebutkan dalam al-Qur’an.


Referensi:

[1]. Juga disebut sebagai Tembok Alexander, yang dibangun oleh Dzulqarnain atau Cyrus The Great. Ada juga yang memberikan kemungkinan bahwa Tembok Dzulqarnain itu tidak lain adalah Great Wall di Cina. Namun berdasarkan beberapa dalil, Tembok Dzulqarnain ini adalah Tembok Kaukasia. Silahkan lihat, Indeks: Dzulqarnain, Pertanyaan 5214F.
[2]. “Keturunan Yafet ialah 10:2.
[3]. “Wahai anak manusia, tujukanlah mukamu kepada Gog di tanah Magog, yaitu raja agung negeri Mesekh dan Tubal dan bernubuatlah melawan dia. Dan katakanlah: Beginilah firman Tuhan: Lihat, Aku akan menjadi lawanmu, hai Gog raja agung negeri Mesekh dan Tubal.” Yehezkiel 38:2-3.
[4]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ma’âd Syinâsi, jil. 4, hal. 85, Site Muassasah Tarjameh wa Nasyr Daureh Ulum wa Ma’arif Islami.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, terjemahan Persia, Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 13, hal. 542, Daftar-e Intisyarat Islami, 1374 S.
[6]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ma’âd Syinâs, jil. 4, hal. 86.
[7]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ma’âd Syinâs, jil. 4, hal. 86.
[8]. Silahkan lihat, Muhammad Jawad Najafi Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 12, hal. 366, Intisyarat-e Islamiyah, 1398 H.
[9]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 12, hal. 179, al-Wafa, 1404 H.
[10]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, terjemahan Persia, Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 13, hal. 542, Daftar-e Intisyarat Islami, 1374 S.

(Al-Shia/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Makna Makar Tuhan Dalam Al-Qur'an


Banyak ayat yang menyandarkan "makar" kepada Tuhan maksudnya adalah bahwa pemilik pengaturan universal adalah Tuhan dan tidak satu pun yang berada di luar pengaturan-Nya. Atas alasan ini, Allah Swt berada di atas seluruh pengatur. Dan ayat pada surah al-Ra'ad secara tegas menunjukkan bahwa pengaturan universal adalah milik Tuhan dan pengaturan yang lain tidak dapat terlaksana di hadapan pengaturan Ilahi.

"Makar" bermakna pengaturan (perencanaan) dan pencarian alternatif dalam perbuatan-perbuatan baik atau buruk. Dan atas alasan ini penggunaan redaksi ini dalam al-Qur'an disebutkan beserta ajektif (sifat) "as-sayyi’u."

Makar Ilahi: Terdapat banyak ayat yang menyandarkan "makar" kepada Tuhan dan maksud ayat-ayat tersebut adalah pengaturan universal Ilahi. Lantaran Dia merupakan pemilik pengaturan dan tiada satu pun pengaturan yang ada di luar pengaturan-Nya. Oleh karena itu, Allah Swt di atas seluruh pengatur sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, "Allah sebaik-baik pembuat makar." Dan berfirman, "Dan sungguh orang-orang kafir yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, tetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri, dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik dan buruk) di dunia sana itu." (Qs. Al-Ra'ad [13]:54)

Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa pengaturan universal adalah milik Tuhan dan pengaturan yang lain tidak dapat terlaksana di hadapan pengaturan Ilahi.

Makna "makar" secara leksikal bermakna pengaturan. Termasuk pengaturan yang baik atau yang buruk. Atau pengaturan ini dalam perbuatan buruk atau perbuatan baik. Kendati sebagian makar diartikan sebagai tipu daya dan jika disandarkan kepada Tuhan, maka maknanya adalah ganjaran dan hajaran tipu daya dan kelicikan.

Adapun makar Ilahi dengan memperhatikan ayat-ayat yang menggunakan redaksi makar akan kita jumpai bahwa yang dimaksud dengan makar adalah pengaturan dan pencarian alternatif. Namun terkadang baik, juga kadang-kadang buruk. Sebagai contoh pada ayat, " Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Qs. Al-Anfal [08]:30)

Maksud dari redaksi yamkurun di sini adalah tipu daya dan pengaturan kaum musyrikin yang ingin membunuh Nabi Muhammad Saw atau memenjarakannya. Adapun maksud "yamkurullah" adalah pengaturan Ilahi yang menitahkan Nabi Saw untuk hijrah. Dan apa yang kita lihat pada redaksi "makar" disertai dengan ajektif (sifat) "al-sayyi'u" yang digunakan dalam al-Qur'an adalah dalil bahwa "makar" terkadang digunakan untuk perbuatan buruk dan terkadang untuk perbuatan baik.

Oleh karena itu banyak ayat yang menyandarkan "makar" kepada Tuhan maksudnya adalah bahwa pemilik pengaturan universal adalah Tuhan dan tidak satu pun yang berada di luar pengaturan-Nya. Atas alasan ini, Allah Swt berada di atas seluruh pengatur. Dan ayat pada surah al-Ra'ad secara tegas menunjukkan bahwa pengaturan universal adalah milik Tuhan dan pengaturan yang lain tidak dapat terlaksana di hadapan pengaturan Ilahi.


Referensi:

1. Lihat, Sayid Ali Akbar Qarasyi, Qamus Qur'an, jil. 6, hal. 265
2. Lihat, Muhammad Bandar Riki, terjemahan, al-Munjid, jil. 20, hal. 1820
3. Misalnya pada Qs. Al-A'raf (7):99&123; Qs. Al-Ra'ad (13):33 & 42, Qs. Saba (34):33; Qs. Ali Imran (3):54; Qs. Al-Nahl (16):26 & 45; Qs. Al-Naml (27):50 & 51; Qs. Nuh (71):22; Qs.Ibrahim (14):46; Yusuf (12):13; Qs. Al-Ghafir (40):45.
4. Lihat Qs. Fatir (35):43.
5. Qs. Ali Imran (3):54.
6. Lihat Qs. Al-Ra'ad (13):42.
7. Lihat, Allamah Sayid Husain Thaba-thabai, al-Mizan, terj. Musawi Hamadani, jil. 12, hal. 355.

(Al-Shia/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perang Dengan Siapa?


Ahlul kitab artinya kaum non muslim yang dikaitkan dengan kitab-kitab samawi, seperti Yahudi dan Nasrani. Mengenai kaum ini Alquran menyuruh perangi mereka “yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar..” Sampai mereka itu membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS: at-Taubah 29) Setelah itu, jangan diperangi!


Satu soal terkait kalimat dalam ayat ini; apakah yang dimaksud

 قاتِلُوا الَّذينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ; 

“Perangilah orang-orang yang telah diberikan Alkitab yang tidak beriman kepada Allah..” adalah perang ibtidâ`an (mendahului perang), ataukah perangi mereka jika mereka bertindak melampaui batas?

Dengan kata lain dalam istilah ilmu ushul, apakah ayat suci ini mutlak, ataukah ada ayat lain yang mensyaratkannya (menjadi muqayad bagi yang mutlak)?


Kaidah Mutlak dan Muqayad

Sebuah perintah atau hukum (sekalipun dari manusia yang memerintah) terkadang mutlak dan terkadang muqayad (bersyarat). Yang mengeluarkan perintah mempunyai satu maksud dari dua hal ini. Jadi, kita simpulkan mutlak kemudian kita katakan muqayad dengan alasan tertentu, ataukah kita simpulkan muqayad setelah mutlak kita predikatkan padanya?

Contoh sederhananya: pemilik perintah yang dihormati perintahnya, jika ia menyampaikan perintah dalam dua masa dengan dua ungkapan; pertama dia mengatakan: “Hormati si fulan!” Perkataan ini mutlak, yakni tanpa satu syarat pun. Kemudian dia berkata, “Hormati dia jika hadir dalam pertemuan kita!” Kata “jika” ini berarti dia tidak mengatakan mutlak.

Perkataan pertama adalah mutlak, maknanya bahwa fulan hadir atau tidak hadir dalam pertemuan kita, “Saya harus menghormati dia.” Sedangkan perkataan kedua, jika fulan tidak hadir maka “Saya tidak menghormati dia.”

Kaidah ini menuntut kita predikatkan yang mutlak pada yang muqayad. Mutlak yang disampaikan, maksudnya adalah muqayad.


Ayat-ayat Terkait Jihad

Di antara yang mutlak dan yang muqayad dalam Alquran terdapat ayat di atas yang menyebutkan ciri-ciri mereka yang harus diperangi. Tetapi kita dapati ayat lainnya (QS: al-Baqarah 190) mengatakan:

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ;

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu..” Apakah maksudnya ini juga mutlak, bahwa perangi mereka, baik mereka itu hendak memerangi kalian ataupun tidak, dan mereka itu bertindak melampaui batas terhadap kalian ataupun tidak?


Di sini mungkin ada dua pandangan:

Yang pertama, maksudnya adalah mutlak. Karena mereka (Ahlulkitab) bukanlah orang-orang Islam, dibolehkan kita memerangi mereka. Siapapun yang non muslim kita perangi sampai kita menundukkan mereka. Jika non muslim bukan seorang Ahlulkitab, kita perangi sampai dia menjadi muslim atau terbunuh. Jika dia seorang Ahlulkitab maka kita perangi sampai dia menjadi muslim, atau tidak menjadi muslim tapi tunduk kepada kita dan membayar pajak. Demikian apabila ayat itu dipandang mutlak.

Yang kedua, tidak demikian jika dikatakan bahwa yang mutlak dipredikatkan pada yang muqayad. Dengan bantuan ayat-ayat lainnya, yang menerangkan masalah legalitas jihad, maka dipahami maksudnya bukan mutlak. Lalu, manakah legalitas jihad itu?

Misalnya, satu pihak ingin memerangi Anda atau menghalangi publikasi dakwah dalam arti menolak kebebasan berdakwah, dan kenyataannya dia membuat suatu penghalang. Islam menyerukan agar mendobraknya. Atau mereka berbuat aniaya terhadap satu kaum, maka mereka harus diperangi untuk menyelamatkan kaum yang tertindas. Mengenai hal ini Alquran mengatakan:

وَما لَكُمْ لا تُقاتِلُونَ في‏ سَبيلِ اللهِ وَ الْمُسْتَضْعَفينَ مِنَ الرِّجالِ وَ النِّساءِ وَ الْوِلْدانِ

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik kaum laki-laki, kaum wanita maupun anak-anak..?”. (QS: an-Nisa 75)

Harus dikaji setelah menghimpun semua ayat terkait jihad untuk mencapai kesimpulan.

Kembali pada Ahlulkitab bahwa ayat di atas (QS: at-Taubah 29) tidak menyerukan perang kecuali dengan mereka yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan seterusnya. Apakah maksudnya adalah yang mengaku beriman tetapi berdusta? Boleh jadi dikatakan, mengenai kaum Nasrani mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan atau putra-Nya, atau mengenai kaum Yahudi, apa yang mereka katakan bukanlah tentang Tuhan yang hakiki. Mereka tidak beriman kepada Allah, ketika mengatakan: يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ; “Tangan Allah terbelenggu.” (QS: al-Maidah 64) Jika demikian, Alquran tidak mengakui keimanan seorang non muslim. Dari sisi apa hal tidak mengakui keimanannya?

Dari sisi bahwa terjadi kecacatan dalam keimanan mereka. Nasrani meyakini Tuhan Yang Mahaesa, tetapi pada saat yang sama keyakinan mereka tentang al-Masih dan Maryam mencemari ketauhidan. Sebagian mufasir berpendapat bahwa semua Ahlulkitab yang disebutkan kriterianya dalam ayat itu harus diperangi. Menurut kelompok ini, kata “rasûl” dalam ayat tersebut adalah Rasulullah saw, dan “dîn al-haqq” (agama yang benar) yang dimaksud adalah agama zaman ini yang harus diterima, bukan di zaman tertentu.

Berbeda dengan pendapat sebagian mufasir lainnya, bahwa Ahlulkitab terbagi dua golongan; salah satunya ialah mereka yang beriman kepada Allah, hukum-Nya dan hari kiamat. Sedangkan golongan lainnya, sebutan mereka adalah Ahlulkitab. Tetapi keimanan mereka kepada Allah dan hari kiamat, menyimpang, dan mereka tidak mengharamkan apa yang Allah haramkan. Dengan mereka inilah perang diperintahkan!.


Referensi:

1. Jihad/Syahid Mutahari.

(Ikmal-Online/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Seputar Malaikat Harut dan Marut


Imam Askari As bersabda, "Para malaikat Tuhan berkat kemurahan Ilahi mereka terjaga daan maksum dari kekufuran dan perbuatan tidak terpuji."

Para malaikat merupakan makhluk dan eksisten mulia dan pemurah yang memiliki tipologi kebaikan yang melimpah – yang dijelaskan dalam al-Qur'an – di antaranya tiadanya sifat-sifat dan tipologi bumi dan hewan pada wujud mereka dan pada dasarnya mereka sama sekali tidak memiliki kecendrungan dan kekuasaan untuk mengerjakan perbuatan dosa dan maksiat. Atas alasan ini mereka suci dan terjauhkan dari segala jenis dosa dan maksiat.

Harut dan Marut keduanya datang ke tengah masyarakat tatkala pasaran sihir sedang banyak diminati dan masyarakat terjerat kesulitan para penyihir. Mereka diutus oleh Tuhan untuk mengajarkan masyarakat bagaimana mengalahkan dan menundukkan sihir para penyihir.

Karena itu, pengajaran sihir kepada manusia pada waktu itu adalah untuk mengeliminir sihir para penyihir dan pengajaran sedemikian tidak termasuk sebagai perbuatan dosa dan maksiat sehingga mengemuka keraguan (syubha) bahwa apabila para malaikat itu maksum dan tidak terjerembab perbuatan dosa lalu pengajaran sihir yang dilakukan oleh Harut dan Marut bagaimana dapat dijelaskan dan dijustifikasi.


Penjelasan Detail:

Kemaksuman para malaikat

Para malaikat merupakan makhluk dan eksisten mulia dan subtil yang memiliki tipologi kebaikan yang melimpah – yang dijelaskan dalam al-Qur'an – di antaranya tiadanya sifat-sifat dan tipologi bumi dan hewan pada wujud mereka dan pada dasarnya mereka sama sekali tidak memiliki kecendrungan dan kekuasaan untuk mengerjakan perbuatan dosa dan maksiat. Atas alasan ini mereka suci dan terjauhkan dari segala jenis dosa dan maksiat. Karena itu, apabila kemaksuman semata-mata tidak bermakna terjerembabnya seseorang dalam perbuatan dosa dan maksiat maka dapat dikatakan bahwa para malaikat itu maksum. Karena mereka sekali-kali terjauhkan dari segala jenis perbuatan dosa dan maksiat.[1]

Imam Askari As bersabda, "Para malaikat Tuhan berkat kemurahan Ilahi mereka terjaga daan maksum dari kekufuran dan perbuatan tidak terpuji."[2]


Keharaman sihir

Sihir merupakan perbuatan luarbiasa yang terkadang merupakan sebuah perbuatan olah-tangan dan sulap, dan juga terkadang memiliki sisi kejiwaan, fantastis, dan sugesti. Dan terkadang dengan menggunakan benda-benda tertentu non-fisikal dan kimiawi sebagian benda-benda dan unsur-unsur, dan terkadang dilakukan atas bantuan setan. Para penyihir merupakan orang-orang yang tersesat dan penyembah dunia dimana dasar perbuatan mereka adalah untuk menyelewengkan kebenaran. Pada kebanyakan perkara menjadi perhatian melebihi batasan sebagian memanfaatk pelbagai khurafat dan delusi, mereka lebarkan kesederhanaan kedua hal ini. Jelas bahwa seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat merupakan jalan yang terbaik untuk berhadapan dengan pelbagai masalah seperti ini. Dalam hadis-hadis para maksum disebutkan bahwa sihir merupakan perbuatan tercela dan terlarang.[3]


Peristiwa malaikat Harut dan Marut

Dari hadis-hadis dinukil bahwa pada masa Nabi Sulaiman As terdapat sekelompok masyarakat yang bekerja sebagai tukang sihir dan ilmu magik. Nabi Sulaiman memerintahkan supaya tulisan-tulisan dan lembaran-lembaran mereka dikumpulkan dan disimpan di satu tempat khusus. Penyimpanan ini disebabkan karena terdapat hal-hal yang berguna untuk menolak sihir para tukang sihir dari lembaran-lembaran tersebut. Setelah wafatnya Nabi Sulaiman As terdapat sekelompok masyarakat yang mengeluarkan lembaran dan tulisan tersebut lalu memulai menyebarkan dan mengajarkan sihir, sebagian orang memanfaatkan kondisi seperti ini dan berkata bahwa Sulaiman sebenarnya bukan seorang nabi, melainkan dengan bantuan sihir dan ilmu magik ini ia menguasai negerinya dan mengerjakan perkara-perkara luar biasa!

Sekelompok Bani Israel mengikuti kelompok ini dan terikat hatinya untuk mempelajari ilmu sihir sedemikian sehingga mereka telah meninggalkan kitab Taurat.

Tatkala Nabi Muhammad Saw muncul dan mengumumkan lewat ayat-ayat al-Qur’an bahwa Nabi Sulaiman As merupakan nabi Allah, sebagian rahib dan pendeta Yahudi berkata, “Kalian tidak perlu kaget kalau Muhammad berkata bahwa Sulaiman adalah nabi karena ia juga adalah seorang penyihir!?

Perkataan rahib Yahudi ini di samping hal ini tergolong sebuah tudingan dan bohong besar terhadap Nabi, ucapan ini juga meniscayakan tentang pengkafiran Sulaiman As; karena sesuai dengan ucapan mereka bahwa Sulaiman adalah tukang sihir yang berdusta menyebut dirinya sebagai nabi dan perbuatan ini telah menyebabkan kekufurannya. Ayat berikut ini menjawab tudingan dan ucapan mereka: “Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh seta-setan pada masa kerajaan Sulaiman (untuk masyarakat dan mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir.

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu). Oleh sebab itu, janganlah kau kafir (dan jangan kau menyalahgunakan pelajaran ini).” (Akan tetapi), mereka (menyalahgunakan hal itu dan) hanya mempelajari dari kedua malaikat itu apa dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka (ahli sihir) tidak akan dapat mendatangkan mudarat dengan sihir itu bagi seorang pun kecuali dengan izin Allah. Mereka (hanya) mempelajari sesuatu yang dapat mendatangkan mudarat bagi (diri) mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka meyakini bahwa barang siapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu, ia tidak akan mendapatkan keuntungan di akhirat, dan amat jeleklah perbuatan mereka menjual diri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:102)

Dua malaikat ini datang kepada manusia tatkala pasaran ilmu sihir banyak diminati dan masyarakat terjerat para penyihir. Kedua malaikat ini mengajarkan masyarakat bagaimana menolak sihir para penyihir, namun karena untuk menjinakkan satu masalah (seperti menjinakkan sebuah bom) bergantung pada bahwa manusia pertama-tama harus mengetahui masalah ini setelah itu belajar bagaimana menjinakkan masalah tersebut, maka mau-tak-mau keduanya harus mengajarkan ilmu sihir dan bagaimana menjungkalkan sihir. Namun kaum Yahudi menyalahgunakan ilmu ini. Mereka malah menyebarkan ilmu ini sedemikian sehingga mereka menuduh Nabi Sulaiman sebagai tukang sihir dimana apabila faktor-faktor natural ikut kepada perintahnya, atau jin dan manusia mentaati titahnya semuanya karena Nabi Sulaiman pandai ilmu sihir.

Karena itu, lantaran di negeri Babil telah merebak sihir dan ilmu magik sedemikian luar dan menyebabkan terganggunya masyarakat, Allah Swt mengutus dua malaikat dalam bentuk manusia untuk mengajarkan sihir dan bagaimana menolak sihir kepada manusia sehingga mereka dapat menjaga diri mereka dari bahaya sihir.

Namun pengajaran ini pada akhirnya dapat disalahgunakan. Karena kedua malaikat ini terpaksa harus menjelaskan cara sihir untuk menolak sihir para penyihir sehingga mereka dapat mengatasi situasi ini dan masalah ini telah menjadi sebab sekelompok orang setelah mengetahui cara menyihir, memposisikan diri mereka sebagai tukang sihir, kendati kedua malaikat tersebut telah memperingatkan mereka bahwa pengajaran ini merupakan ujian Ilahi bagi kalian dan bahkan disebutkan bahwa: “Penyalahgunaan ilmu sihir ini merupakan sebuah kekufuran.”[4]

Sebagai kesimpulannya pengajaran sihir kepada manusia pada masa itu adalah untuk melenyapkan sihir para penyihir dan pengajaran seperti ini tidak termasuk sebagai perbuatan dosa dan haram, sehingga mengemuka keraguan (syubha) bahwa apabila para malaikat itu maksum dan tidak terjerembab perbuatan dosa lalu pengajaran sihir yang dilakukan oleh Harut dan Marut bagaimana dapat dijelaskan dan dijustifikasi!?[5]


Referensi:

[1] Indeks No. 1740 (Site: 2139)
[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 56, hal. 321; Silahkan lihat Indeks No. 1749 (Site: 2021)
[3] Silahkan lihat, Indeks, No. 2022 (2068)
[4] Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 369-275, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran.
[5] Silahkan rujuk ke indeks no. 2022 (Site: 2068)

(Al-Shia/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Akal Perempuan Dalam Hadis


Ada riwayat-riwayat yang melarang para pria bermusyawarah dengan para perempuan, apakah riwayat-riwayat ini shahih? Kita mempunyai hadis-hadis yang melarang bermusyawarah dengan para perempuan. Dan sebagian mengatakan, apabila kamu ragu dalam urusan, maka bermusyawarahlah dengan perempuan dan lakukanlah kebalikannya.

Sebuah hadis yang berhubungan dengan hal ini bahwasanya diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as, “Janganlah engkau bermusyawarah dengan para perempuan kecuali mereka yang sudah dibuktikan kesempurnaan akalnya karena pendapat mereka menarik manusia kepada kelemahan dan keinginan mereka kepada sesuatu yang tak berdaya.” (Bihâr Al-Anwâr, jld. 100, hlm. 250)

Mungkin kita memiliki hadis-hadis seperti ini sekitar sepuluh atau dua belas yang berkenaan dengan hal ini.

Perlu kami ingatkan beberapa poin:

Pertama: Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa setiap hadis bukan otentik melainkan hanya hadis-hadis yang shahih, muwatstsaq atau hasan yang otentik. Namun hadis-hadis dha’if, mursal, marfu’ majhul dan semisalnya bukan hujjah. Diantara hadis-hadis ini sebagian adalah dha’if dan tidak otentik. Yang pasti ada hadis-hadis yang juga benar di dalamnya. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak bisa diambil qath’î (pasti) disebabkan jumlahnya.

Kedua: di antara riwayat-riwayat yang bukan Qath’î Al-Shudûr kita menganggapnya muktabar bila membawa satu hukum taklif bagi kita, bukan hadis-hadis yang misalnya memberitahukan suatu realitas seperti hadis yang mengatakan: “Janganlah kalian bermusyawarah dengan para perempuan karena bila kalian bermusyawarah dengan mereka maka mereka akan menarik kalian kepada kelemahan. Maksud riwayat-riwayat ini tidka bisa dikatakan menjelaskan suatu hukum syar’i dan ta’abbudi, tetapi bentuk persoalan-persoalan irsyâdi (instruksi).


Permasalahan lain adalah sebagian hadis-hadis ini merupakan mutlak dan yang lain adalah muqayyad (terikat) seperti memberi pengecualian, “Kecuali mereka yang sudah dibuktikan kesempurnaan akalnya.” Yaitu janganlah kamu bermusyawarah kecuali dengan seseorang yang terbukti kesempurnaan akalnya. Di saat kita ingin mengumpulkan diantara riwayat-riwayat, secara kaidah kita harus berkata seperti ini pada mulanya janganlah engkau terima perkataan para perempuan -karena pendapat mereka lemah dan cenderung kepada kelemahan- kecuali mereka yang sudah teruji kelayakannya. Maka menjadi jelas, pendapat para perempuan yang berakal bisa dilaksanakan dan bisa bermusyawarah dengan mereka. Berkenaan dengan para pria, kita juga mempunyai persoalan ini. Ada riwayat-riwayat yang memerintahkan supaya kalian bermusyawarah dengan orang-orang berakal dan janganlah kalian bermusyawarah dengan orang-orang yang tidak mempunyai akal yang sehat. Maka berkaitan dengan para pria juga dikatakan seperti itu.

Dari sini bisa dikatakan bahwa manusia yang ingin bermusyawarah dengan siapapun apabila laki-laki atau perempuan, maka dia harus mengetahuinya, manusia yang berkeinginan baik, berakal, dan orang baik. Dan tidak ada perbedaan dalam sisi ini antara perempuan dan pria.

Nabi Saw. dan para Imam as juga bermusyawarah dengan para perempuan dalam beberapa hal. Misalnya dalam Shulh Hudaibiyah pada saat Nabi Saw. menulis perjanjian dengan kaum Musyrikin. Para sahabat dan Nabi Saw. sendiri sudah berpakaian ihram untuk pergi ziarah dan thawaf di Mekkah. Namun berdasarkan perjanjian Shulh (perdamaian) diputuskan bahwa pada tahun itu kaum muslimin tidak pergi untuk melaksanakan haji. Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “Bertahallulah kalian dan keluarlah dari ihram.” Bagi para sahabat keputusan ini sangat berat. Karena seseorang yang berihram bisa bertahallul (keluar dari ihram) bila telah melakukan tawaf. Keluar dari ihram tanpa melakukan tawaf bagi mereka tidak bisa diterima. Oleh karena itu, walaupun Nabi Saw. secara jelas bersabda, “Bertahallulah kalian”, mereka para sahabat tidak patuh kepada beliau. Nabi Saw. kembali ke kemah khususnya. Ummu salamah -istri beliau Saw.- bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau bersedih?” Beliau Saw. menjawab, “Aku memutuskan suatu keputusan namun orang-orang tidak mendengarkan.” Ummmu Salamah mengusulkan, “Wahai Rasulullah, engkau sendiri yang menyembelih kambing, dan memotong rambut dan bertahallul. Jangan engkau perdulikan mereka.” Nabi Saw melakukan pekerjaan ini di hadapan para sahabat lalu mereka bertahallul.

Di banyak tempat kita menyaksikan Ali as bermusyawarah dengan Fatimah as Bagaimanapun juga diantara para Imam as juga bermusyawarah dengan para perempuan. Namun dengan kondisi yang ada pada zaman itu karena para perempuan lebih sedikit berada dalam masyarakat dan memiliki pengalaman intelektual yang lebih sedikit, dari sisi inilah diperintahkan supaya “Janganlah kalian bermusyawarah dengan para perempuan karena mereka tidak sempurna (akalnya).” Namun mereka mengatakan: “Janganlah kalian membawa para perempuan ke dalam mayarakat.” Hadirnya para perempuan dalam masyarakat menyebabkan mereka sempurna dalam akalnya dan pandangan musyawarah mereka juga lebih tepat sasaran.

Poin lainnya adalah apabila kita mengatakan bahwa pengecualian mempunyai konotasi, maka disaat riwayat melarang bermusyawarah dengan para perempuan kecuali dengan mereka yang sudah teruji kesempurnaan akalnya, bisa disimpulkan bahwa bermusyawarah dengan para perempuan yang dari sisi akal diakui tidak hanya tidak ada larangan tetapi pekerjaan ini justru diperintahkan dalam riwayat.

Bagaimanapun juga, Islam menekankan dan menganjurkan bermusyawarah. Dan manusia yang bermusyawarah dengan setiap orang yang ahlinya maka bermanfaat. Disamping itu dalam sebagian riwayat-riwayat dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan para perempuan sendiri dan anak-anaknya, maka bermusyawarahlah kalian dengan mereka karena mereka lebih mengetahui permasalahan-permasalahan. Pada dasarnya, berkenaan dengan riwayat-riwayat ini dan juga riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kurang akal, apabila kita ingin, supaya dikaji dengan baik, maka harus satu persatu riwayat tersebut diteliti.

(Studi-Syiah/Tebyan/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Aktifitas Sosial Perempuan Dalam Hadis


Imam Bâqir as yang berkata, “Tidak ada kewajiban bagi para perempuan azan, iqamah, shalat jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, mengucapkan nyaring talbiyah (Ucapan labbaik di saat ihram), berjalan dengan cepat diantara Shafâ dan Marwah, mencium Hajar Aswad dan masuk ke dalam Ka’bah.”

Aktifitas Sosial Perempuan dalam Hadis Dalam riwayat-riwayat ada beberapa hal tentang tidak diinginkan hadirnya para perempuan di shalat jum’at, shalat berjemaah, mengiringi jenazah dan hal-hal tersebut dilarang secara mutlak atau riwayat-riwayat seperti ini melihat kondisi zaman tertentu? Hadis-hadis yang kita miliki berkenaan dengan hal ini biasanya menafikan kewajiban sebagian perbuatan-perbuatan yang terkadang menyulitkan dan memberatkan bagi para perempuan.

Misalnya dalam sebuah riwayat, Jabir Ju’fi meriwayatkan dari Imam Bâqir as yang berkata, “Tidak ada kewajiban bagi para perempuan azan, iqamah, shalat jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, mengucapkan nyaring talbiyah (Ucapan labbaik di saat ihram), berjalan dengan cepat diantara Shafâ dan Marwah, mencium Hajar Aswad dan masuk ke dalam Ka’bah.”[119] Kalian lihat bahwa riwayat ini mengatakan pekerjaan-pekerjaan seperti azan, iqamah, hadir dalam shalat jum’at dan berjemaah, membesuk orang sakit, mengiringi jenazah, mengucapkan nyaring talbiyah disaat ihram, berjalan cepat diantara shafâ dan marwah, menyentuh dan mencium Hajar Aswad, dan masuk ke dalam ka’bah tidak menganggap wajib bagi para perempuan. Kalimat mayoritas riwayat-riwayat seperti ini.

Saya mengambil kesimpulan dari hadis-hadis seperti ini adalah dengan memperhatikan bahwa para perempuan biasanya menghadapi persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan seperti mempunyai anak dan mendidik anak dan semisalnya, Islam menghendaki kelonggaran terhadap hak mereka. Oleh karena itu, Islam menghilangkan kewajiban sebagian pekerjaan dari mereka, bukan pekerjaan itu sendiri. Misalnya menghilangkan kewajiban shalat jum’at, bukan pokok shalat jum’at. Dan ini adalah kelonggaran berkenaan dengan para perempuan. Kelonggaran bukan batasan.

Tidak mengatakan janganlah kalian pergi tetapi mengatakan pergi bagi kalian tidak wajib. Disaat kalian bisa dan sesuai maka pergilah kalian. Yang pasti, sebagian hadis-hadis mungkin tidak mempunyai ungkapan seperti ini namun mengatakan misalnya shalat perempuan di rumah mempunyai keutamaan. Diantara kumpulan riwayat-riwayat ini menginginkan untuk menyenangkan para perempuan supaya jangan merasa dirugikan, karena sangat dianjurkan untuk ikut serta dalam shalat berjemaah. Jika riwayat-riwayat tersebut mengatakan janganlah kalian ikut dalam shalat berjamaah niscaya mereka akan sedih karena mereka terikat untuk melaksanakan shalat dengan berjemaah.

Riwayat ini ingin menenangkan hati dimana pada saat kalian memiliki uzur atau masalah, maka jika kalian melakukan shalat kalian di rumah, Allah akan memberikan kalian keutamaan seperti shalat berjemaah. Kesimpulan saya secara keseluruhan dari hadis-hadis ini adalah demikian. Yang jelas, saya tidak menganggap mustahil riwayat-riwayat ini didasarkan atas situasi dan syarat-syarat adanya permasalahan di masyarakat dengan hadirnya para perempuan. Riwayat-riwayat yang juga mengatakan: Para perempuan lebih baik melaksanakan shalat di ruangan dalam.

Pertama: sanad riwayat-riwayat ini harus dikaji apakah shahih hadis yang mengatakan bahwa “Shalat perempuan lebih baik di dalam rumah dan di rumahnya sendiri” bisa didasarkan atas kondisi dimana perempuan tidak bisa hadir dalam shalat berjemaah supaya dia tidak sedih dari kehilangan keutamaan dan pahala berjemaah. Dengan memperhatikan secara seksama pembahasan-pembahasan ini, maka hadirnya para perempuan di pusat-pusat kebudayaan politik, seperti masjid-masjid, berbagai asosiasi dan lain-lain dan peran serta mereka dalam aktifitas-aktifitas sosial adalah hal yang diinginkan dan dianjurkan serta tidak ada masalah bahkan juga tugas mereka. Karena setiap individu harus melakukan pekerjaan dalam masyarakat. Mereka harus melakukan aktifitas-aktifitas seperti ini dengan menjaga syariat-syariatnya yang contohnya adalah ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi sosial dan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dibalik front.

(Studi-Syiah/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Takbir Idul Adhha


Takbîr yang berkenaan dengan ‘Îdul Adhhâ dibaca di belakang sepuluh (10) shalat fardhu, dimulai dari setelah shalat zhuhur (pada hari raya) dan berakhir setelah shalat shubuh pada 12 Dzulhijjah, tetapi bagi orang yang wuquf di Mina, membaca takbîr itu setelah lima belas (15) kali shalat; yang pertamanya setelah zhuhur pada hari raya dan yang kelima belasnya setelah shalat shubuh pada 13 Dzulhijjah.


Kalimat Takbîr-nya

اَللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ, اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا, وَ اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا رَزَقَنَا مِنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ, وَ الْحَمْدُ ِللهِ عَلَى مَا أَبْلاَنَا

Allâhu akbaru allâhu akbar, lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, allâhu akbaru walillâhil hamd, allâhu akbaru ‘alâ mâ hadânâ, wallâhu akbaru ‘alâ mâ razaqanâ min bahîmatil an‘âm, walhamdu lillâhi ‘alâ mâ ablânâ.

Allah Maha besar, Allah Maha besar, tidak ada tuhan selain Allah dan Allah Maha besar, Allah Maha besar dan segala puji bagi Allah, Allah Maha besar atas petunjuk-Nya kepada kami, Allah Maha besar atas rezeki-Nya kepada kami dari hewan ternak, dan segala puji bagi Allah atas bala-Nya kepada kami.[1]


Catatan Kaki:

[1] Dari Mu‘âwiyah bin ‘Ammâr, dari Abû ‘Abdillâh as berkata, "Takbîr pada hari-hari tasyrîq adalah dari (setelah) shalat zhuhur pada hari memotong hewan qurbân hingga shalat fajar (shubuh) pada hari-hari tasyrîq jika kamu bermukim di Mina, dan apabila kamu keluar dari mina, maka tidak ada takbîr atasmu, dan ucapan takbîr itu ialah: Allâhu akbaru allâhu akbar, lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, allâhu akbaru walillâhil hamd, allâhu akbaru ‘alâ mâ hadânâ, wallâhu akbaru ‘alâ mâ razaqanâ min bahîmatil an‘âm, walhamdu lillâhi ‘alâ mâ ablânâ. " [Tahdzîb Al-Ahkâm 5/269].

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Inilah 12 Tipe Hati ‘Sakit’ Menurut Al-Qur’an


Dari An Nu’man bin Basyir ra, Nabi SAW bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Berdasarkan hadis di atas, kita ketahui betapa pentingnya keberadaan dan peranan hati bagi jasad. Maka agar jasad menjadi baik, mungkin ada baiknya kita kenali apa yang dimaksud dengan hati yang rusak, lalu berupaya terhindar dari kerusakan jasad sehingga kita bisa menjaga jasad tetap dalam kondisi baik.


Apa saja yang dimaksud dengan hati rusak atau sakit menurut Al-Qur’an? Berikut 12 tipe di antaranya.

1. Hati yang berpenyakit

Yaitu hati yang tertimpa penyakit seperti keraguan, kemunafikan dan suka memuaskan syahwat dengan cara yang haram.

فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

“Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS.al-Ahzab: 32)


2. Hati yang buta

Yaitu hati yang tidak dapat melihat dan menemukan kebenaran.

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS.al-Hajj: 46)


3. Hati yang alpa

Yaitu hati yang lalai dari Al-Qur’an. Karena terlalu disibukkan dengan hal-hal duniawi dan syahwat yang menyesatkan.

لَاهِيَةً قُلُوبُهُم

“Hati mereka dalam keadaan lalai.” (QS.al-Anbiya’: 3)


4. Hati yang berdosa

Yaitu hati yang menutupi kesaksian atas sebuah kebenaran.

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُه

“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS.al-Baqarah: 283)


5. Hati yang sombong

Yaitu hati yang congkak dan enggan mengakui Ke-Esa-an Allah.

Ia semena-mena melakukan kezaliman dan permusuhan.

كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS.Ghafir: 35)


6. Hati yang kasar

Yaitu hati yang tidak memiliki kasih sayang dan belas kasihan.

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِك

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS.Ali Imran: 159)


7. Hati yang terkunci

Yaitu hati yang tidak mau mendengarkan hidayah dan enggan merenungkannya.

وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِه

“Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya.” (QS.al-Jatsiyah: 23)


8. Hati yang keras

Yaitu hati yang tidak dapat diluluhkan oleh keimanan.

Tak dapat terpengaruh oleh nasehat dan peringatan.

Dan ia berpaling dari mengingat Allah.

وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً

“Dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.” (QS.al-Ma’idah: 13)


9. Hati yang lalai

Yaitu hati yang menolak untuk mengingat Allah dan mendahulukan hawa nafsu dibanding ketaatan kepada-Nya.

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (QS.al-Kahfi: 38)


10. Hati yang tertutup

Yaitu hati yang tertutup rapat sehingga tidak dapat ditembus oleh ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Nabi.

وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ

Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup”. (QS.al-Baqarah: 88)


11. Hati yang jauh (dari kebenaran)

Yaitu hati yang melenceng jauh dari cahaya kebenaran.

فأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan.” (QS.Ali Imran: 7)


12. Hati yang ragu

Yaitu hati yang selalu diombang-ambingkan oleh keraguan.

انَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُون

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian,

Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya. (QS.at-Taubah: 45)


Inilah 12 tipe hati yang sakit menurut Al-Qur’an.

Semoga hati kita terhindar dari 12 tipe ini. Karena itu perbanyaklah berdoa,

يَامُقَلِّبَ الْقُلُوْبُ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ

Duhai yang membolak-balikkan hati… Tetapkan hati kami di atas agama-Mu…

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Penyesalan (Nadamah)


Penyesalan itu biasanya akan datang kemudian, yaitu setelah seseorang mendapatkan penderitaan yang dahsyat, dan kesengsaraan yang hebat sebagai akibat dari amalnya yang jahat. Dan terlebih-lebih setelah datangnya maut atau kematian yang waktu itu bukan lagi waktu untuk bertobat ataupun waktu untuk memperbaiki diri. Dan penyesalan itu sama sekali tidak berguna.

Banyak riwayat yang mengungkapkan penyesalan manusia-manusia yang lalai yang diungkapkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Al-Quran dan dalam sunnah-sunnah Rasûl-Nya.

Ketika orang melihat Malakul Maut menampakkan dirinya dari balik tirai keghaibannya karena hendak mencabut nyawanya, dia menyesal dan ketakutan, terutama orang yang punya uang banyak yang tidak sempat dibagi-bagikan dan tidak mengamalkan Islam dengan benar, dia minta waktu untuk memperbaiki diri.


قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْ لاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيْبٍ فَأَصَدَّقَ وَ أَكُنْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ

Allah yang maha tinggi berfirman, Dan infâq -kanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, karena nanti dia berkata: Wahai Tuhanku, mengapakah Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat supaya aku dapat bersedekah dan supaya aku menjadi di antara orang-orang yang saleh.

Pada hari kiamat, orang yang berdosa yang mendapatkan kesempitan hidup sangat menyesal dan berangan-angan seandainya bisa menebus keselamatan dengan taruhan anak dan keluarganya sekali pun, akan dilakukannya.


قَوْلُهُ تَعَالَى : وَ لاَ يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُونَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِي تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ

Firman-Nya yang maha tinggi, Dan tidak seorang teman akrab pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat. Orang yang berdosa itu ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari siksa hari itu dengan anak-anaknya, istrinya, saudaranya, kaum familinya yang (suka) melindunginya (di dunia), dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya, kemudian tebusan itu dapat menyelamatkan dirinya.

Pada hari kiamat, seluruh rakyat ketika melihat azab, mereka menyesal dengan penyesalan yang sangat karena telah mengikuti para pemimpin yang tidak menegakkan hukum-hukum Allah, dan mereka berangan-angan ingin kembali ke dunia akan memperbaiki diri dan akan menentang para penguasa yang tidak adil.


قَوْلُهُ تَعَالَى : إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَ رَأَوُا الْعَذَابَ وَ تَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأَسْبابُ.وَ قَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَ مَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنَ النَّارِ

Firman-Nya yang maha tinggi, Ingatlah ketika manusia-manusia yang diikuti itu (para penguasa atau para ulama) berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya (rakyat dan manusia yang awam), dan mereka melihat siksa; dan segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah manusia-manusia yang mengikuti (rakyat dan manusia kebanyakan), "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka telah berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya sebagai sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari neraka.

Di dalam neraka, pada hari rakyat dan ummat manusia dipanggang di dalam api neraka, mereka sangat menyesal; karena tidak taat kepada Allah dan Rasûl, dan malah taat kepada para sayyid dan para pembesar (ulama dan umara) yang menyesatkannya dari jalan yang lurus.


قَوْلُهُ تَعَالَى : يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يا لَيْتَنا أَطَعْنَا اللَّهَ وَ أَطَعْنَا الرَّسُولاَ. وَ قالُوا رَبَّنا إِنَّا أَطَعْنا سَادَتَنا وَ كُبَراءَنا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ. رَبَّنا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذابِ وَ الْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً

Firman-Nya yang maha tinggi, Pada hari ketika muka-muka mereka dibulak-balikkan di dalam api neraka, mereka berkata, "Duhai alangkah baiknya seandainya kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul." Dan mereka berkata, "Wahai Tuhan kami sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada mereka siksa dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar."

Orang-orang yang menghina para nabi dan rasûl shalawâtullâh ‘alaihim akan sangat menyesal mati dan seterusnya dengan penyesalan yang tidak berujung.


قَوْلُهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى : يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Firman-Nya yang maha berkah lagi maha tinggi, Betapa besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasûl pun kepada mereka melainkan mereka memperolok-olokkannya.

Orang-orang yang tidak memenuhi seruan Allah ‘azza wa jalla akan sangat menyesal pada hari kiamat, dan dalam penyesalannya berangan-angan seandainya mereka mempunyai segala sesuatu yang ada di bumi beserta semisalnya lagi, mereka ingin menebus dirinya dari kesengsaraan buruknya hisâb (perhitungan) di pengadilan Allah.


قَوْلُهُ تَعَالَى : لِلَّذِينَ اسْتَجابُوا لِرَبِّهِمُ الْحُسْنى وَ الَّذِينَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا وَ مِثْلَهُ مَعَهُ لاَفْتَدَوْا بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ سُوءُ الْحِسَابِ وَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَ بِئْسَ الْمِهَادُ

Firman-Nya yang maha tinggi, Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya (disediakan pahala) yang sangat baik, dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya seandainya mereka mempunyai kekayaan seisi bumi dan (ditambah) sebanyak itu pula, niscaya mereka menebus dirinya dengannya, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hisâb yang buruk dan tempat tinggal mereka Jahannam dan seburuk-buruk tempat tinggal.


وَ قَوْلُهُ تَعَالَى : وَ لَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا وَ مِثْلَهُ مَعَهُ لاَفْتَدَوْا بِهِ مِنْ سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيامَةِ وَ بَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

Dan firman-Nya yang maha tinggi, Dan sekiranya manusia-manusia yang zalim itu mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu bersamanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat, dan jelaslah bagi mereka (siksa) dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.

Orang-orang yang sekarang melihat, namun tidak bersyukur kepada Allah yang maha tinggi dan melupakan ayat-ayat-Nya, nanti akan dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan buta matanya dan menyesal sekali atas kelalaiannya.


قَالَ رَبِّ لِمَا حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَ قَدْ كُنْتُ بَصِيْرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيْتَهَا وَ كَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

Dia berkata, "Wahai Tuhanku mengapakah Engkau mengumpulkanku dalam keadaan buta, padahal aku pernah melihat?" Dia berfirman, Begitulah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, lalu kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.

Setiap orang yang zalim menyesali dirinya dan berangan-angan ingin menebus kesengsaraan dirinya dengan segala yang ada di muka bumi.


وَ قَوْلُهُ تَعَالَى : وَ لَوْ أَنَّ لِكُلِّ نَفْسٍ ظَلَمَتْ مَا فِي اْلأَرْضِ لافْتَدَتْ بِهِ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُوْنَ

Dan firman-Nya yang maha tinggi, Dan kalaulah setiap diri yang zalim itu mempunyai segala yang ada di bumi, pasti mereka menebus dirinya dengannya, dan mereka menyembunyikan penyesalan tatkala mereka melihat siksa, dan diputuskan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dianiaya.

Orang yang shâlih dan yang thâlih sama-sama menyesal saat matinya; yang saleh menyesal mengapa tidak beramal saleh yang lebih banyak, dan yang tidak saleh (thâlih) sangat menyesal mengapa tidak menjadi orang yang saleh. Hal ini telah diungkapkan dalam ayat pertama dalam bab ini.


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ : يَا ابْنَ مَسْعُودٍ أَكْثِرْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَ الْبِرِّ فَإِنَّ الْمُحْسِنَ وَ الْمُسِيْ‏َءَ يَنْدَمَانِ, يَقُولُ الْمُحْسِنُ يَا لَيْتَنِي ازْدَدْتُ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَ يَقُولُ الِمُسِيْ‏ءُ قَصَّرْتُ, وَ تَصْدِيْقُ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى وَ لاَ أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Rasûlullâh saw berkata, "Wahai Ibnu Mas‘ud, perbanyaklah amal saleh dan kebaikan, karena orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat salah akan sama-sama menyesal. Berkatalah orang yang melakukan kebaikan, 'Duhai sekiranya aku bisa menambah kebaikan-kebaikan itu.' Dan orang yang tidak baik mengatakan, 'Aku telah mengabaikan kewajiban-kewajiban.' Dan pembenaran yang demikian itu adalah firman Allah, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)."


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ : مَا مِنْ أحَدٍ يَمُوْتُ إِلاَّ نَدِمَ, إِنْ كَانَ مُحْسِنًا نَدِمَ أَنْ لاَ يَكُونَ ازْدَادَ, وَ إِنْ كَانَ مُسِيْئًا نَدِمَ أنْ لاَ يَكُونَ نَزَعَ

Rasûlullâh saw berkata, "Tidak seorang pun yang mati, melainkan dia menyesal. Jika dia orang yang berbuat kebaikan, dia sesali mengapa tidak dia tambah kebaikannya, dan apabila dia orang yang melakukan dosa, dia sesali mengapa dia tidak tinggalkan dosa itu."


Penyesalan yang Sangat Buruk 

Penyesalan atas dosa dan keburukan sebelum datang kematian bisa diperbaiki dengan cara bertobat dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wa jalla serta memperbaiki diri, yaitu merubah sifat buruk dengan sifat yang baik, amal yang buruk baik dengan amal yang saleh, ‘aqîdah, syari‘ah dan akhlak yang salah dengan ‘aqîdah, syari‘ah dan akhlak yang benar dan perbuatan yang bid‘ah dengan yang sunnah. Tetapi penyesalan setelah mati tidaklah berguna.


عَنِ الصَّادِقِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَنْ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ أَنَّهُ قَالَ : وَ شَرُّ النَّدَامَةِ نَدَامَةُ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dari Al-Shâdiq as dari Rasûlullâh saw bahwa beliau telah berkata, "…dan seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat."


قَالَ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : عِنْدَ مُعَايَنَةِ أَهْوَالِ الْقِيَامَةِ تَكْثُرُ مِنَ الْمُفْرِطِيْنَ النَّدَامَةُ

Amîrul Mu`minîn as berkata, "Ketika melihat keguncangan-keguncangan hari kiamat, banyaklah penyesalan dari kalangan orang-orang yang mengabaikan kewajiban."


نَسْأَلُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَنْ يَجْعَلَنَا وَ إِيَّاكُمْ مِمَّنْ لاَ تُبْطِرُهُ نِعْمَةٌ وَ لاَ تُقَصِّرُ بِهِ عَنْ طَاعَةِ رَبِّهِ غَايَةٌ وَ لاَ تَحُلُّ بِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ نَدَامَةٌ وَ لاَ كَآبَةٌ

Kita memohon kepada Allah maha suci Dia supaya Dia menjadikan kami dan kamu di antara orang yang tidak dibikin lupa diri oleh kenikmatan, tidak mengurangi ketaatan kepada Tuhannya, dan tidak mendapatkan penyesalan dan kesedihan setelah kematian.


Penyesalan Orang yang Mati ketika Diantarkan ke Kuburnya

Ingatlah wahai manusia! Orang yang telah mati itu ketika mayyitnya diangkat hendak diantarkan ke kuburnya sedang ruhnya berada di depan jenazahnya; baru saja dibawa melangkah tiga langkah oleh para pemikulnya, dia menjerit yang jeritannya itu didengar oleh makhluk-makhluk yang dikehendaki Allah.


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ : مَا مِنْ مَيِّتٍ يُوضَعُ عَلَى سَرِيْرِهِ فَيُحْطَى بِهِ ثَلاَثَ حُطًى إِلاَّ نَادَى بِصَوْتِ يَسْمَعُهُ مَنْ يَشَاءُ اللهُ : يَا إِخْوَتَاهُ! يَا حَمَلَةَ نَعْشَاهُ! لاَ تَغُرَنَّكُمُ الدُّنْيَا كَمَا غَرَّتْنِي, وَ لاَ يَلْعَبَنَّ بِكُمُ الزَّمَانُ كَمَا لَعِبَ بِي, أَتْرُكُ مَا تَرَكْتُ لِذُرِّيَتِي وَ لاَ يَحْمِلُونِي خَطِيئَتِي, وَ أَنْتُمْ تُشَيِّعُونِي ثُمَّ تَتْرُكُونِي وَ الْجَبَّارُ يُخَاصِمُنِي

Rasûlullâh saw telah bersabda, "Tidak satu mayyit pun yang diletakkan di atas usungan, lalu dibawa melangkah tiga langkah melainkan dia berteriak dengan suara yang didengar oleh makhluk yang dikehendaki Allah, 'Wahai saudara-saudara! Wahai para pemikul usungan jenazah! Janganlah sekali-kali kalian tertipu oleh dunia ini sebagaimana ia telah menipu diriku! Janganlah sekali-kali kalian dapat dipermainkan oleh waktu sebagaimana ia telah mempermainkan diriku! Kini aku telah tinggalkan apa yang aku tinggalkan untuk keturunanku (keluargaku), namun mereka tidak akan memikul beban dosaku dariku, kalian sekarang mengantarkanku, kemudian kalan meninggalkanku sendirian sedang Tuhan yang maha perkasa akan memperhitungkan segala perbuatanku!'"

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Sesal dahulu yang bertuah, sesal kemudian yang celaka.

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Berbuat Baik kepada Manusia Yang Sudah Wafat


عَنْ عُمَرَ بْنِ يَزِيدَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع نُصَلِّي عَنِ الْمَيِّتِ فَقَالَ نَعَمْ حَتَّى إِنَّهُ لَيَكُونُ فِي ضِيقٍ فَيُوَسِّعُ اللَّهُ عَلَيْهِ ذَلِكَ الضِّيقَ ثُمَّ يُؤْتَى فَيُقَالُ لَهُ خُفِّفَ عَنْكَ هَذَا الضِّيقُ بِصَلَاةِ فُلَانٍ أَخِيكَ عَنْكَ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ فَأُشْرِكُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فِي رَكْعَتَيْنِ قَالَ نَعَمْ

Dari 'Umar bin Yazîd berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Apakah kami bisa shalat atas nama mayyit?" Beliau berkata, "Ya, hingga jika dia berada di dalam tempat yang sempit, maka Allah meluaskannya tempat yang sempit itu, kemudian didatangkan lalu dikatakan kepadanya: Telah diringankan dari kamu tempat yang sempit ini dengan shalat si Fulân saudaramu atas namamu." Saya bertanya, "Apakah saya bisa sertakan di antara dua orang dalam dua raka'at?" Beliau berkata, "Ya." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2598].


وَقَالَ ع إِنَّ الْمَيِّتَ لَيَفْرَحُ بِالتَّرَحُّمِ عَلَيْهِ وَ الِاسْتِغْفَارِ لَهُ كَمَا يَفْرَحُ الْحَيُّ بِالْهَدِيَّةِ تُهْدَى إِلَيْهِ

Dan beliau as berkata, "Sesungguhnya mayyit itu gembira dengan disayangai atasnya dan dimintakan ampunan baginya sebagaimana orang yang hidup gembira dengan hadiah yang diberikan kepadanya." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2599].


وَ قَالَ ع يَدْخُلُ عَلَى الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ الصَّلَاةُ وَ الصَّوْمُ وَ الْحَجُّ وَ الصَّدَقَةُ وَ الْبِرُّ وَ الدُّعَاءُ وَ يُكْتَبُ أَجْرُهُ لِلَّذِي يَفْعَلُهُ وَ لِلْمَيِّتِ

Dan beliau as berkata, "Masuk kepada mayyit di dalam kuburnya shalat, puasa, haji, sedekah, kebaikan dan doa, dan dituliskan pahalanya bagi orang yang melakukannya dan bagi mayyit." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2600].


وَ قَالَ ع مَنْ عَمِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مَيِّتٍ عَمَلًا صَالِحاً أَضْعَفَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَهُ وَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ الْمَيِّتَ

Dan beliau as berkata, "Siapa yang mengamalkan amal yang saleh dari muslimîn atas nama mayyit, Allah lipat-gandakan baginya pahalanya, dan dengannya Allah jadikan manfaat bagi mayyit." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2601].


قَالَ ع مَا يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ أَنْ يَبَرَّ وَالِدَيْهِ حَيَّيْنِ وَ مَيِّتَيْنِ يُصَلِّي عَنْهُمَا وَ يَتَصَدَّقُ عَنْهُمَا وَ يَصُومُ عَنْهُمَا فَيَكُونَ الَّذِي صَنَعَ لَهُمَا وَ لَهُ مِثْلُ ذَلِكَ فَيَزِيدُهُ اللَّهُ بِبِرِّهِ خَيْراً كَثِيراً

Beliau as telah berkata, "Apa yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya baik masih hidup atau telah mati, dia shalat atas namanya, dia bersedekah atas namanya, dan dia puasa atas namanya, maka dia telah berbuat bagi mereka berdua dan baginya seperti itu, lalu Allah menambahnya dengan kebaikannya itu kebaikan yang banyak." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2602].


عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَمَّارٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع مَا يَلْحَقُ الرَّجُلَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَقَالَ سُنَّةٌ سَنَّهَا يُعْمَلُ بِهَا بَعْدَ مَوْتِهِ فَيَكُونُ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ يَعْمَلُ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْ‏ءٌ وَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ تَجْرِي مِنْ بَعْدِهِ وَ الْوَلَدُ الطَّيِّبُ يَدْعُو لِوَالِدَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا وَ يَحُجُّ وَ يَتَصَدَّقُ وَ يُعْتِقُ عَنْهُمَا وَ يُصَلِّي وَ يَصُومُ عَنْهُمَا فَقُلْتُ أُشْرِكُهُمَا فِي حَجَّتِي قَالَ نَعَمْ

Dari Mu'âwiyah bin 'Ammâr berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Apa yang bisa menyusul seseorang setelah matinya?" Beliau berkata, "Sunnah (cara) yang dia sunnahkan yang diamalkan setelah matinya, maka baginya semisal pahala orang yang mengamalkannya tanpa berkurang dari pahala mereka sedikit pun, sedekah jâriyah mengalir setelahnya, anak yang baik yang berdoa bagi kedua orang tuanya setelah mereka meninggal, dia haji, dia sedekah, dan memerdekakan hamba atas namanya, dan dia shalat, dia puasa atas namanya." Saya bertanya, "Apakah saya bisa menyertakan mereka di dalam hajiku?" Beliau berkata, "Ya." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2603].


قَالَ ع إِذَا تَصَدَّقَ الرَّجُلُ بِنِيَّةِ الْمَيِّتِ أَمَرَ اللَّهُ جَبْرَئِيلَ أَنْ يَحْمِلَ إِلَى قَبْرِهِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَلَكٍ فِي يَدِ كُلِّ مَلَكٍ طَبَقٌ فَيَحْمِلُونَ إِلَى قَبْرِهِ وَ يَقُولُونَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا وَلِيَّ اللَّهِ هَذِهِ هَدِيَّةُ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ إِلَيْكَ فَيَتَلَأْلَأُ قَبْرُهُ وَ أَعْطَاهُ اللَّهُ أَلْفَ مَدِينَةٍ فِي الْجَنَّةِ وَ زَوَّجَهُ أَلْفَ حَوْرَاءَ وَ أَلْبَسَهُ أَلْفَ حُلَّةٍ وَ قَضَى لَهُ أَلْفَ حَاجَةٍ

Beliau as berkata, "Apabila orang bersedekah dengan niat orang yang telah mati, Allah perintahkan Jabrâ`il untuk membawa ke kuburnya tujuh puluh ribu malak yang pada tangan setiap malak ada baki, lalu mereka membawanya ke kuburnya dan mereka berkata, 'Salâm bagimu wahai wali Allah, ini hadiah Fulân bin Fulân kepadamu, maka bersinarlah kuburnya dan Allah memberinya seribu kota di dalan surga, dan Dia menikahkannya dengan seribu bidadari, dan Dia memberinya seriibu potong busana, dan Dia menunaikan baginya seribu kebutuhan." [Al-Wasâ`il 2/444, hadîts 2606].

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keluhan Sebagian Orang Yang Sudah Mati


Sebagian mautâ (orang-orang yang telah mati) mengeluh dan menyesal dengan penyesalan yang sangat, karena selama hidupnya di dunia tidak menyempatkan diri untuk membelanjakan hartanya di jalan taat kepada Allah.

Ketika tubuhnya kekar, mereka giat mengumpulkan harta dengan bekerja keras, banting-tulang dan memerah keringat seakan-akan waktu 24 jam siang dan malam tidaklah cukup. Wailun likulli humazatin lumazah, alladzî jama'a mâlahu wa 'addadah, yahsabu anna mâlahu akhladah... (Neraka wail bagi humazah lumazah, yaitu orang yang mengumpulkan hartanya dan menghitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu akan melanggengkannya... ).

Ketika beranjak tua sejumlah harta telah terkumpul dari hasil jerih payahnya, namun badan mulai lemah karena organ tubuh sudah banyak yang aus, dan penyakit mulai berdatangan sedang mereka sudah tidak bisa menikmati kakayaannya.

Kini Malakul Maut sudah mengepak-ngepakkan sayapnya di atas kepalanya untuk mencabut nyawanya, kemudian dicabutlah nyawa mereka dalam keadaan lalai. Alhâkumut takâtsur hattâ zurtumul maqâbir... (Pencarian kekayaan telah melalaikanmu hingga kamu masuk lubang kubur... )

Kini penyesalan datang beruntun, karena usia telah dihabiskan, tenaga telah terkuras habis demi pencarian harta sedang ibadah sosial dengan hartanya sangatlah sedikit.

Kini yang selalu bersamanya di dalam kuburnya adalah dosa-dosanya dan akibat buruk dari permuatannya berupa penderitaan kubur, kegelapan kubur, tekanan atau himpitan kubur dan temannya yang menyertainya yang sangat menjijikkan.

Kini yang menikmati harta peninggalannya dari hasil jerih payahnya adalah anak-anaknya, kerabatnya atau bahkan orang lain yang justru tidak peduli kepadanya baik selama hidupnya maupun setelah matinya. Dan orang yang paling rakus kepada warisannya, biasanya ahli warisnya yang tidak sayang kepadanya!

وَ قَالَ ص إِنَّ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ تَأْتِي كُلَّ جُمُعَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا بِحِذَاءِ دُورِهِمْ وَ بُيُوتِهِمْ يُنَادِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِصَوْتٍ حَزِينٍ بَاكِينَ يَا أَهْلِي وَ يَا وُلْدِي وَ يَا أَبِي وَ يَا أُمِّي وَ أَقْرِبَائِي اعْطِفُوا عَلَيْنَا يَرْحَمْكُمُ اللَّهُ بِالَّذِي كَانَ فِي أَيْدِينَا وَ الْوَيْلُ وَ الْحِسَابُ عَلَيْنَا وَ الْمَنْفَعَةُ لِغَيْرِنَا وَ يُنَادِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِلَى أَقْرِبَائِهِ اعْطِفُوا عَلَيْنَا بِدِرْهَمٍ أَوْ بِرَغِيفٍ أَوْ بِكِسْوَةٍ يَكْسُوكُمُ اللَّهُ مِنْ لِبَاسِ الْجَنَّةِ ثُمَّ بَكَى النَّبِيُّ ص وَ بَكَيْنَا مَعَهُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ النَّبِيُّ ص أَنْ يَتَكَلَّمَ مِنْ كَثْرَةِ بُكَائِهِ ثُمَّ قَالَ أُولَئِكَ إِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ فَصَارُوا تُرَاباً رَمِيماً بَعْدَ السُّرُورِ وَ النَّعِيمِ فَيُنَادُونَ بِالْوَيْلِ وَ الثُّبُورِ عَلَى أَنْفُسِهِمْ يَقُولُونَ يَا وَيْلَنَا لَوْ أَنْفَقْنَا مَا كَانَ فِي أَيْدِينَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَ رِضَائِهِ مَا كُنَّا نَحْتَاجُ إِلَيْكُمْ فَيَرْجِعُونَ بِحَسْرَةٍ وَ نَدَامَةٍ وَ يُنَادُونَ أَسْرِعُوا صَدَقَةَ الْأَمْوَاتِ

Dan (Rasûlullâh) saw berkata, "Sesungguhnya arwâh orang-orang yang beriman datang pada setiap Jumat ke langit dunia yang bertepatan dengan kampung mereka dan rumah-rumah mereka (yang telah dihuni ahli warisnya). Masing-masing dari mereka memanggil-manggil dengan suara yang sedih dalam keadaan menangis, 'Wahai keluargaku, wahai anak-anakku, wahai ayahku, wahai ibuku dan karib kerabatku, kasihanilah kami---semoga Allah merahmatimu---dengan harta yang pernah ada pada tangan-tangan kami. Dan kecelakaan serta perhitungan (mengenai harta) atas kami sedang manfaatnya dirasakan oleh orang lain.' Dan masing-masing dari mereka memanggil-manggil kerabatnya, 'Sayangilah kami dengan uang satu dirham (saja) atau dengan sepotong roti atau dengan sehelai pakaian (yang kalian sedekahkan atas nama kami)---semoga Allah memberimu pakaian surga.'"

Kemudian Nabi saw menangis dan kami pun menangis bersamanya, dan Nabi saw tidak kuasa melanjutkan perkataannya karena saking banyak tangisannya. Kemudian beliau berkata, "Mereka itu saudara-saudara kalian seagama yang tubuh-tubuhnya telah menjadi tanah dan tulang-belulangnya telah hancur setelah gembira dan mereguk kenikmatan (ketika hidupnya di dunia), lalu mereka menyerukan dengan kecelakaan (wail) dan penderitaan atas diri-diri mereka, mereka berkata, 'Duhai celakalah kami, seandainya kami telah meng-infâq-kan harta yang ada pada tangan kami dalam taat kepada Allah dan mencari rido-Nya, tentulah kami tidak butuh kepada kalian.' Kemudian mereka kembali dengan kesedihan dan penyesalan seraya mereka berseru, 'Segerakanlah oleh kalian sedekah bagi orang-orang yang telah mati!' [Mustadrak Al-Wasâ`il 2/484]

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: