Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS FILM. Show all posts
Showing posts with label ABNS FILM. Show all posts

Gambaran Sang Penyelamat di Film-film Animasi


Sosok sang penyelamat yang ditampilkan dalam film-film animasi adalah sosok pemalas dan buruk, sebagai contoh pada film “Kungfu Panda” sosok yang ditampilkan sebagai penyelamat adalah Panda.

Shabestan News Agency, berbagai animasi khususnya yang bertema akhir zaman bukan hanya untuk hiburan semata dan pasti ada pesan dan misi tersembunyi dibalik ini semua. Dan dalam film-film animasi terkadang ada pesan-pesan kuat dan dalam lebih dari film-film sinema. Sebagai contoh pada film “Avatar” atau serial “Kungfu Panda” terdapat konsep penting di dalamnya.

Salah satu konsep asli dalam animasi-animasi ialah tema “akhir zaman”, di mana sebagian animasi menamakan tema akhir zaman dengan “New Age” dan sebagian lainnya dengan akhir zaman yang terdapat dalam ketuhanan Yahudi dan Nasrani.
Meskipun pada kelompok pertama yakni “New Age” menampilkan tentang tema penyelamat akhir zaman namun konsep mereka sedikit berbeda, namun yang akan kita bahas ialah konsep akhir zaman melalui pandangan ketuhanan Yahudi dan Nasrani.

Selain itu, sosok penyelamat yang digambarkan dalam setiap animasi ialah mereka seolah-olah ingin menggambarkan bahwa sang penyelamat dunia itu seperti kalian, sekalipun ia sosok yang malas dan lebih buruk lagi tidak jadi masalah.

Seperti animasi “Kungfu Panda”, di mana dalam film tersebut panda digambarkan sebagai sosok penyelamat dunia, namun pada awalnya penyelamat ini adalah sosok yang tidak dianggap, namun tiba-tiba berubah menjadi penyelamat yang memiliki kemampuan luar biasa, dengan begitu, kriteria pertama yang digambarkan dalam diri animasi ialah bahwa sang penyelamat seperti manusia umumnya, sekalipun lebih rendah.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keluarga KH Ahmad Dahlan Jadi Contoh Majunya Perempuan


Pemeran KH Ahmad Dahlan di Nyai Dahlan The Movie, David Chalik, mengungkapkan kekaguman terhadap keluarga pendiri Muhammadiyah tersebut. Ia menilai, keluarga KH Ahmad Dahlan merupakan contoh adanya dukungan besar bagi perempuan untuk maju.

"Sudah memberikan peran memajukan kaum perempuan saat itu, menampilkan Islam yang memang membebaskan," kata David saat gala premiere Nyai Ahmad Dahlan di Empire XX1 Yogyakarta, Rabu (23/8).

Ia menilai, selama ini sebagian besar orang yang mengenal KH Ahmad Dahlan, hanya jadi sosoknya saja sebagai pahlawan nasional dan pendiri Muhammadiyah. Padahal, David berpendapat, seorang KH Ahmad Dahlan menjadi besar tentu salah satunya merupakan hasil besarnya dukungan keluarga.

David melihat, KH Ahmad Dahlan merupakan wujud itikad seorang anak bangsa, yang memiliki kemauan sangat besar untuk memajukan bangsa, dengan segala keterbatasannya. Hal itu dirasa telah menginspirasi anak bangsa agar selalu dapat memberikan faedah untuk masyarakat. "Bahkan, seratus tahun lebih masanya terlewat kita masih bisa merasakan manfaatnya," kata David.

Terkait proses pembuatan film, ia menuturkan, cukup banyak romantisme KH Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah (Nyai Dahlan) yang ditampilkan. Tentunya, wujud romantisme itu banyak ditampilkan melalui beberapa tindakan, seperti tatapan mata dan perhatian yang diberikan.

"Karenanya, dari film ini semoga kita sadar kalau umat Islam itu tidak pernah membedakan kaum perempuan, malah memberikan tempat khusus bagi perjuangan perempuan," kata David.

Nyai Dahlan The Movie sendiri diproduseri Dyah Kalsitorini dan Widiyastuti, disutradarai Olla Adonara, dan dikemas aransemen lagu Tya Subiyakto. Film produksi Iras Film ini akan tayang serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada 24 Agustus 2017.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Terbesar Tentang Masjidil Haram Tayang September


Film dokumenter berdurasi 90 menit berjudul "One Day in the Haram," akan diluncurkan pada September. Film ini merinci kondisi di Masjidil Haram Makkah dari pandangan para pekerja dan ulama.

Film yang ditulis, produseri dan sutradarai oleh Abrar Hussain asal Inggris ini akan menjadi proyek media terbesar dalam sejarah tentang Masjidil Haram. Cuplikan resmi film telah diunggah di YouTube sejak minggu lalu dan menjadi viral.

"Film ini dirancang untuk menarik penonton non-Muslim, untuk menunjukkan betapa pentingnya Makkah," kata Hussain dilansir Arab News, Jumat (11/8). Menurutnya, sangat penting untuk menunjukkan sisi indah Islam melalui salah satu tempat sakral umat Muslim ini.

"Kami ingin non-Muslim dapat mengatakan, 'Baiklah, betapa indah dan damainya agama ini'," kata dia. Hussain menambahkan, film tersebut dibuat memang untuk menyampaikan pesan kepada sebanyak mungkin orang, terutama di Barat. Ia juga berusaha agar film tersebut bisa tayang di Netflix dan stasiun TV lain yang berbeda.

Masjidil Haram adalah masjid yang terbesar di dunia yang di dalamnya ada situs tersuci umat Islam, Ka'bah. Muslim di seluruh dunia menghadap ke arahnya saat berdoa.

Ada sejumlah film tentang masjid ini dari sudut pandang pemuja dan pengunjung. Namun, belum pernah ada film tentang kehidupan sehari-hari para pekerjanya.

Hussain mengatakan, bahwa dia ingin menunjukkan seberapa berhasil masjid ini, bagaimana mengatur departemennya, dan seberapa serius para pekerjanya menjalankan pekerjaan mereka. Ia mengakui proyek ini sangat menantang.

Masjidil Haram tidak pernah kosong. Hussain mengatakan, butuh satu tahun penelitian sebelum ia akhirnya bisa mulai pengambilan gambar. Ia menjamin dokumenternya sangat rinci.

Film tersebut menyedot anggaran sebesar 266.652 dolar AS. Produser eksekutifnya, Abdulelah Al-Ahmary juga mengelola perusahaan produksi Arabian Pictures. Penayangan perdana akan berlangsung di Makkah pada bulan September, namun tanggal rilisnya belum diumumkan.

(Arab-News/Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Harimau Tjampa: Kelindan Pencak Silat Dengan Islam


Dari filosofi pencak silat hingga kontroversi adegan syur

JAUH sebelum Merantau dan The Raid, film silat sudah diproduksi di Indonesia. Salah satunya adalah Harimau Tjampa karya Djadoeg Djajakusuma di tahun 1953. Sutradaranya, Djajakusuma, adalah salah satu pendiri Perfini bersama Usmar Ismail di tahun 1950, yang dianggap perintis pembuatan film-film dengan kru dan cerita khas Indonesia. Ia acap mengangkat tema tradisional dan kedaerahan, seperti di Tjambuk Api (1958), Lahirnya Gatot Kaca (1960), Bima Kroda (1967), dan Malin Kundang (1971). Karena itu, di sini banyak terselip budaya Minang, dari budaya oralnya (petatah-petitih) hingga upacara pernikahan. Dan jika dalam The Raid ada Iko Uwais yang menang beberapa kejuaraan silat, di film ini ada Malin Maradjo yang juara silat PON II 1951. Berikut cuplikannya:


Film berdurasi 97 menit ini penting dalam beberapa hal: pertama, banyak akademisi meyakini bahwa film ini adalah salah satu yang pertama yang serius mengangkat budaya dan tradisi Minangkabau—khususnya lewat silat dan nilai-nilai filosifi keislaman yang dikandungnya. Dan kedua, kontroversi seputar adegan sensual yang dilakukan aktrisnya, Nurnaningsih, yang dianggap sebagai adegan sensual pertama dalam film nasional. Mari kita bahas yang pertama dulu.

Film yang banyak pertarungan Silek Kumango ini dipercantik dengan paduan suara tanpa alat musik, seperti nasyid, yang menjadi narator pembuka.

“kisah lama, kami ulangi, masa kumpeni nan berkuasa… Keras perintah pajak dan rodi, harimau tjampa, nama cerita… Hamba sujud memohon kami…Mohon kami tuan ajari…oh sengsaranya hidupku…” .

Musik tradisional di film ini begitu ciamik, sehingga penata musiknya, GRW Sinsu, mendapat penghargaan di Festival Film Asia 1955.

Berlatar tahun 1930an, film peraih Citra untuk Skenario Terbaik (oleh Surjosumanto) di FFI 1955 itu bercerita tentang Lukman, yang berniat balas dendam terhadap kematian ayahnya dengan cara mencari dan belajar guru silat. Awalnya, ia mendatangi Datuk Langit, tapi rupanya sang Kepala Negeri itu meminta imbalan yang tak bisa ia jangkau. Akhirnya, ia bertemu dengan Saleh dan berguru padanya.

Padepokan silat di Kampung Pauh itu terasa sangat islami dan menjunjung akhlak dan nilai keislaman. Mereka berkumpul di masjid, selalu shalat berjamaah, dan belajar untuk rendah hati. Karena itu, dari awal, sang guru mempertanyakan movitasi Lukman belajar. “ Kalau tidak ada berada, tak kan tempua bersarang rendah,” ujarnya. Ia menasehati agar ilmunya tidak digunakan sembarangan, hanya untuk pertahanan diri.

Dan di sinilah perkara dimulai. Lukman orangnya temperamental dan mudah terpancing, hingga beberapa kali janjinya dilanggar. “Apa yang aku katakan? Mandi di bawah-bawah, menyauk di hilir-hilir. Ingat Lukman, masih belum ada kata putus lagi. Kau masih ingat akan janjimu atau tidak, Man?”, tegas Saleh. Lukman menjelaskan bahwa ia dituduh mencuri air dan pertarungan itu tidak disengaja, dan berjanji takkan silat lagi.

Setelah beberapa kali terjebak dalam “tobat sambal”, kali ini melawan teman seperguruannya, ia pun diusir dari padepokan. Karena frustasi, ia berjudi dan akhirnya berkelahi lagi: kali ini alasannya adalah karena lawannya berupaya menghalang-halangi percintaannya dengan Kiah. Sang lawan pun tertusuk pisaunya sendiri. Ia pun, lagi-lagi, minta tolong ke gurunya. Gurunya menolak dan menasehati agar ia menyerahkan diri. “Tangan mencecang, bahu memikul. Kamu tak usah lari, Lukman. Supaya kamu mendapat pelajaran yang lebih baik, “ ujarnya. Maka Lukman pun dipenjara. Masalah baru muncul: di penjara ia mendapat info soal pembunuh ayahnya, di samping berita kalau Kiah akan dikawin paksa oleh orang yang sama, dan ia pun bertekad kabur dan membalas dendam.

Saya sepakat dengan David Hanan (akademisi film dari Universitas Monash, Melbourne) yang menggarisbawahi bahwa Harimau Tjampa bukan sekadar cerita balas dendam, tapi menjelajahi praktik dan filsafat pencak silat dan hubungannya dengan nilai-nilai keislaman. Di film itu digambarkan bahwa Lukman mudah terprovokasi, kurang bisa mengendalikan emosi. Karena itu, kata Hanan, ia juga harus berlatih diri untuk mendapatkan nilai ketekunan dan pengekangan diri serta, yang terpenting: “tunggu sabar”.

Film yang dibuat kala Usmar kuliah di UCLA itu dipenuhi dengan adegan laga ciamik, serta peribahasa khas Minang. Misalnya : telah kering sumur kau timba” atau “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai”. Yang menarik, ada adegan “Asyrokol”, ritual berdiri menyambut “Rasulullah” saat upacara maulid nabi, yang biasa dilakukan saat shalawatan oleh kaum “Islam tradisionalis”. Hal ini menarik, karena dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat yang biasanya diasosiasikan dengan “Islam pembaharuan”.

Sayangnya, nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan sang sutradara terganggu oleh adegan Kiah (Nurnaningsih) setengah bugil selama beberapa detik. Sehingga, sebagian penonton lebih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk protes terhadap adegan itu, dan tak ambil peduli dengan cerita dan hal lainnya. Karena keterbatasan bahan dan data, saya belum menemukan protes terhadap Perfini, Djajakusuma, atau Usmar Ismail (produser), atau lembaga sensor yang meluluskannya. Reaksi penonton lebih menyoroti sang aktris yang dianggap melanggar nilai kepatutan. Mungkin juga, karena Nur, nama panggilannya, melawan balik pandangan masyarakat tahun 1950an itu dengan opini-opini liberal yang sebelumnya belum pernah ada.

Nur yang asli Wonokromo, Surabaya itu menyatakan: “Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.”

Akibatnya, banyak penonton protes. Seorang penggemar, misalnya menulis surat pembaca di majalah Kencana eidisi no. II./1954, yang menyatakan keprihatinannya dan menyuruhnya sadar. Tulisnya:

Achirul kalam saya anjurkan kepada saudari bahwa perjuangan saudari yang sedemikian itu menurut keyakinan saya akan menjatuhkan kepopuleran saudari sebagai bintang film. Saya berdo’a moga-moga saudari insyaf pada apa yang telah saudari perjuangkan itu, sehingga mengakibatkan kegemparan masyarakat

Tak lama setelah itu, beberapa majalah memuat foto seronoknya. Bahkan foto bugil seleb yang juga main di film Krisis karya Usmar Ismail itu, tersebar di berbagai kalangan, bersama gambar Titien Sumarni dan Netty Herawati. Namun, kemudian diketahui bahwa itu adalah hasil teknik montage saja, padahal kala itu belum ada photoshop atau software lain yang canggih atau budaya viral internet.

“Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”? Untungnya tidak. Dalam konteks hari ini, film ini tetap dihormati dan diapresiasi sebagai film klasik yang berharga. Bahkan, beberapa akademisi dengan serius mengulasnya. David Hanan, misalnya, melestarikannya untuk kepentingan pendidikan, memberikan subtitles, dan mengulasnya dalam kertas kerja akademik dan sedang menyusun buku yang diantaranya menganalisa film ini. Salah satunya lewat kuliah umum.


*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri sekaligus redaktur rumahfilm.org itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Memperingati Pembantaian Umat Muslim Srebrenica


Acara peringatan genosida muslim Srebrenica ke 22 diselenggarakan di Bosnia dan Herzegovina.

Menurut laporan IQNA, kantor perwakilan IRIB di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina memproduksi dan memublikasikan sebuah film dalam acara ini, dan di situ anak kecil Bosnia menyanyikan lagu Srebrenica.

Bersamaan dengan penyelenggaraan acara peringatan kejahatan terkeji ke 22 di Eropa setelah Perang Dunia II, umat muslim Bosnia dan Herzegovina melakukan pemakaman 71 jasad yang baru ditemukan dari insiden memilukan Srebrenica.

Acara mengenang para korban Srebrenica diselenggarakan Selasa (11/7), dengan dihadiri sejumlah delegasi komunitas internasional, para pejabat Bosnia dan Herzegovina, sejumlah tamu dari pelbagai negara, seperti negara Irak dan para tamu Iran, keluarga para korban, para pejabat kebudayaan, politik, religi, sosial dan sejumlah umat muslim negara ini. Duta Besar dan para pejabat kedutaan Iran dan demikian juga atase kebudayaan negara Iran hadir dalam acara ini.


Simak Videonya:


(IRIB/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

GP Ansor: Film “Kau adalah Aku Yang Lain” Sarat Pesan Toleransi


Wakil Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Abdul Haris Ma’mum tidak sependapat bila Film pendek “Kau adalah Aku yang Lain” tersebut melecehkan Islam. Pemenang Police Movie Festival 2017 ini, menurut Haris, justru merupakan karya bagus, edukatif, karena sarat dengan pesan toleransi.

“Film bagus memang selalu memiliki dimensi dialektika,” katanya dalam rilis dan dilansir CNNIndonesia, 30 Juni.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, Haris bilang, jika ingin menilai sebaiknya ditonton seksama dan utuh, tidak sepotong-sepotong. “Sebab, ya nanti jadinya hanya bisa berkomentar miring bahwa film ini melecehkan Islam. Justru saya melihat film ini sarat pesan toleransinya,” katanya.

Menurut Haris, kontroversi terhadap tafsir sebuah karya, sebenarnya sah-sah saja. Karena itu, seperti karya seni lainnya, film ini terbuka untuk dikritisi.

Bagi Haris, film tersebut justru menunjukkan kebesaran Islam sebenarnya yang memayungi keberadaan agama dan keyakinan lain. “Saya apresiasi benar film ini. Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda, begitu juga dengan agama dan keyakinannya. Film ini dengan jernih menggambarkan Islam yang memberi rahmat bagi semesta, Islam yang rahmatan lilalamin,” katanya.

Ia tak menampik bahwa penganut agama yang terlalu fanatik dan berpikiran sempit di semua agama juga ada, baik itu Islam, Kristen, Buddha, maupun Hindu.

Sebelumnya, Kau Adalah Aku yang Lain keluar sebagai pemenang pertama ajang kompetisi Police Movie Festival 2017. Police Movie Festival ini merupakan ajang lomba film pendek dan animasi yang disenggelarakan Kepolisian Republik Indonesia untuk masyarakat Indonesia. Untuk tahun ke empat ini, Polri mengusung tema ‘Unity in Diversity‘, yang berarti persatuan dalam keberagaman.

Menurut laporan IndoPress.id, peserta Police Movie Festival tahun ini banyak mengangkat isu keberagaman bangsa Indonesia, khususnya suku, ras, dan agama. Beberapa film dan animasi yang masuk sepuluh besar nominasi bahkan menyindir aksi bela Islam dan kasus penistaan agama yang belakangan sempat membuat ramai masyarakat.

Anggota DPR Fraksi PKS Nasir Djamil berpendapat, film pemenang festival ini sangat menyudutkan Islam dan umatnya karena ditampilkan intoleran. Bahkan, menurutnya sangat wajar jika film tersebut mengundang reaksi dan kecaman dari masyarakat dan sejumlah tokoh umat Islam “Wajar kalau kemudian menimbulkan reaksi dan kecaman dari masyarakat dan sejumlah tokoh umat Islam,” ujar Nasir seperti dikutip republika.co.id, 29 Juni.

Berikut Film “Kau adalah Aku yang Lain”:

Simak Videonya:


(CNN-Indonesia/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Menyudutkan Islam Disebut Ditumpangi Provokasi


Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, film Kau adalah Aku yang Lain bukanlah karya seni sejati, melainkan telah ditumpangi provokasi. Itu tak lain karena film tersebut telah menimbulkan resistansi dan keberatan dari sebagian komunitas.

"Sebuah karya seni, termasuk film Kau adalah Aku yang Lain yang menimbulkan resistensi, dan menimbulkan kesan keberatan dari sebuah komunitas, maka dapatlah dikatakan itu bukan karya seni sejati. Melainkan seni yang telah ditumpangi provokasi," kata Fickar kepada Republika.co.id, Kamis (29/6).

Padahal, lanjut Fickar, sebuah film sejatinya menjadi karya seni yang realistis. Dimana, cerita dalam sebuah film harus didekatkan pada perspektif seni, dimana basis seni itu adalah estetika atau keindahan. "Estetika atau keindahan itu bersifat universal, tidak terikat ruang dan waktu," kata Fickar.

Film Kau adalah Aku yang Lain menjadi pemenang dalam festival film pendek yang digagas Mabes Polri atau Police Movie Festival IV 2017. Film ini diunggah ke Youtube, kemudian link-nya dibagikan melalui akun Facebook dan Twitter Divisi Humas Polri pada hari Kamis, (23/6), lalu.

Film ini menjadi kontroversi di media sosial. Warganet menilai isi film ini mendiskreditkan dan menyudutkan Islam. Youtube pun memutuskan menghapus video film tersebut dari lamannya.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Tilawah Al-Baqarah: Paling Viralnya Surah Ramadhani di Youtube


Menurut laporan yang baru-baru ini dipublikasikan di sosial media, film tentang tilawah surah Al-Baqarah dengan lebih dari 730 ribu pengunjung di sepanjang bulan suci Ramadhan, merupakan surah yang paling banyak dilihat dan didengar di sosmed Youtube.

Menurut laporan IQNA seperti dikutip dari harian elektronik al-Watan Mesir, laporan pertama Qurani setiap tahun pada bulan Ramadhan di Youtube menunjukkan statistik mendengarkan dan melihat film-film tilawah al-Quran di sosial selama Ramadhan lebih dari 4 juta hal.

Dalam laporan ini demikian juga dikemukakan, fim tilawah surah Al-Baqarah dengan 732 pengunjung termasuk paling banyak dilihat dan didengar di antara seluruh surah-surah al-Quran yang ada dan di peringkat kedua ditempati surat Al-Kahfi dengan 262 juta pengunjung, kemudian surah Yusuf dengan 208 juta pengunjung, surah Ar-Rahman dengan 186 juta pengunjung dan yang terakhir adalah surah Yasin dengan 182 juta pengunjung.

Menurut laporan, para qori yang sering dilihat adalah: Abdul Basit Abdus Samad dengan 755 juta pengunjung, Maher al-Muaiqily dengan 598 juta pengunjung, Abdul Rahman al-Sudais dengan 369 juta pengunjung, Sa’ad al-Ghamidi dengan 288 juta pengunjung, Muhammad Siddiq al-Minshawi dengan 232 juta pengunjung, Yassir al-Dosari dengan 172 juta pengunjung, Ahmed al-‘Ajami dengan 362 juta pengunjung, Khalid al-Jalil dengan 166 juta pengunjung dan Faris Eyad dengan 85 juta pengunjung.

(Al-Watan/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sepertiga Negara Dunia Dalam Festival Film Islam Kazan

Ilustrasi

Sepertiga negara-negara dunia berpartisipasi dalam festival film Islam Kazan, yang diselenggarakan pada bulan Agustus mendatang.

Menurut laproan IQNA, atase kebudayaan Iran di Moskow dalam sebuah berita dilansir dari m.islam-today.ru, di edisi 85 Masyarakat dan Kebudayaan Rusia saat ini dikemukakan, dalam festival internasional film muslim Kazan, Tatarstan, yang diselenggarakan bulan Agustus nanti, sejumlah filmmaker dari beberapa negara seperti Azerbaijan, Albania, Armenia, Aljazair, Bosnia, Bangladesh, Belarus, Australia, Nigeria, Tajikistan, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Filipina, Azerbaijan, Albania, Armenia, Aljazair, Bosnia, Bangladesh, Belarus, Australia , Nigeria, Tajikistan, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Filipina, Turki dan Iran akan berpartisipasi.

1 Juni 2017 batas akhir permintaan partisipasi dalam festival internasional sinema muslim Kazan dan 782 permintaan dari 61 negara sudah dicatat. Anggota komite pemilihan sedang mengkaji dan mengidentifikasi film-film yang ada.

Orang-orang seperti Shahrbanoo Sadat, direksi terkenal dan produser rejama Afgan pemenang hadiah film pada tahun 2016, Wan Soibo dan Chan Wai, produser Cina serta Sharafat Arab Ava, produsen Tajik mengirimkan karyanya ke festival ini.

Mengkaji nomor dan para partisipan dalam festival dalam 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan kridebil dan tingkat festival. Jumlah sukarelawan partisipan festival film ini dan negara-negara peserta mengalami peningkatan; pada tahun 2013, terdapat 300 permintaan dari 30 negara dan tahun 2015, 600 permintaan dari 53 negara untuk berpartisipasi dalam festival tersebut; sementara pada tahun 2017, lebih dari 60 negara dengan mengirimkan sekitar 800 permintaan, hendak berpartisipasi dalam festival ini dan ini menunjukkan peningkatan tingkat dan kredibilitasnya. Albina Nofinggo, direktur program festival internasional sinema muslim Kazan ke 8 mengungkapkan, peningkatan menonjol ini sangat menggembirakan, kami tidak merencanakan dapat memikat 193 negara dunia untuk berpartisipasi dalam festival ini. Ini tidak mungkin. Karena sinema tidak maju di semua tempat dan disamping itu, makna festival belum terefleksikan dalam gegografinya. Peningkatan sejumlah permintaan ini menunjukkan peningkatan kredibilitas dan popularitas festival film Islam Kazan di masyarakat dan ini adalah hal yang istimewa.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Program Melawan Islamofobia di Festival Film Seattle


Sekelompok aktifis media dan perfilman memproklamirkan program dalam rangka membela warga muslim dan bangsa Arab serta memerangi Islamofobia pada festival film Seattle Amerika.

Aktifis tersebut berjumlah tujua orang warga negara Amerika Serikat. Di samping memerangi usaha-usaha anti warga muslim, ketujuah warga Amerika ini juga membeberkan beberapa hakikat yang dimiliki oleh agama Islam.

Menurut pengakuan pihak penyelenggaran festival film Seattle, tahun ini banyak film dari Iraq, Iran, dan Suriah memperoleh perhatian khusus. Padahal warga ketiga negara ini dilarang oleh Donald Trump untuk memasuki tanah Amerika.

Pihak penyelenggaran juga menekankan, film-film yang diproduksi oleh warga muslim Amerika juga akan ditayangkan dalam festival film Seattle ini. Hal ini supaya tujuan utama festival; yaitu memerangi Islamofobia, terwujud secara nyata.

Menurut berita yang dirilis oleh koran Amerika Capital Times, festival film Seattle ini akan berlanjut selama bulan Mei ini. Sebanyak 53 aula di berbagai negara bagian telah dikhususkan untuk menayangkan 24 film dari negara-negara Arab dan Islam.

Menurut pengakuan salah seorang anggota pihak penyelenggara festival film Seattle, festival ini tidak hanya menayangkan film-film yang bertemakan perang dan imigrasi. Festival ini juga mempersiapkan lahan untuk berbagai jenis film asalkan mengupas tema tentang bangsa Arab atau Muslimin.

(Capital-Times/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Beda Sikap MUI dan LSF Soal Propaganda LGBT Dalam Film Beauty and the Beast


Film Beauty and the Beast yang telah tayang serentak pada 17 Maret 2017 di Indonesia, masih menuai kontroversi. Pasalnya, film arahan sutradara Bill Condon itu dianggap telah mempropagandakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Seperti diketahui, Beauty and the Beast memuat adegan seksual tentang salah satu aktor laki-laki bernama Le Fou. Yang digambarkan memiliki ketertarikan pada atasan sekaligus kawannya, Gaston.

“Tidak terlihat ada adegan, dialog yang menunjukkan gay. Fakta dan kontennya yang kita lihat, tidak menyampaikan aktivitas gay,” kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki belum lama ini.

Yani pun memaparkan regulasi film untuk bisa mendapatkan surat keterangan lolos sensor dari LSF. Pertama, dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahagunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Selanjutnya, tidak menonjolkan pornografi, memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, suku, ras, dan golongan serta tidak menistakan, melecehkan, dan atau menodai agama.

“Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum. Dan terakhir, merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Yani.

Menurutnya, regulasi penyensoran suatu film itu harus adil serta pasti ketentuannya. Dan film Beauty and the Beast, kata Yani, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada tindakan homoseksual seperti yang sempat heboh diberitakan.

Salah satu tokoh agama Islam, Ustaz Erick Yusuf mengutarakan, kekecewaanya pada LSF yang telah meloloskan film Beauty and the Beast dari sensor. ”Saya kira jelas harus menjaga agar propaganda ini tidak menyebar. Hindari apa yang bisa mempengaruhi perilaku LGBT,” katanya.

Erick menyebutkan, seharusnya jangan sampai ada keteledoran sedikit pun. Karena apabila nilai film tersebut sudah mengarah ke perilaku menyimpang, lebih baik dihentikan saja pemutaran filmnya.

Senada, Ketua Komisi Seni dan Budaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habbiburrahman El-Shirazi atau biasa disapa Kang Abik, juga menguratakan hal yang sama. Menurut Kang Abik, film yang dinilai memiliki nilai menyimpang lebih baik disensor. “Semestinya pas adegan itu disensor,” katanya.

LSF Indonesia, bersikukuh pihaknya telah melakukan penyensoran sesuai undang-undang dan norma yang berlaku di masyarakat. LSF, kata Yani, akan tetap menjunjung prinsip melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Angkat Kisah AR Fachruddin, Muhammadiyah Rilis Film ‘Meniti 20 Hari’


Setelah masyarakat Indonesia menikmati ‘Sang Pencerah’ sejak 7 tahun lalu, film dengan latar belakang tokoh sentral dalam sejarah Muhammadiyah kembali akan dirilis pada 18 Maret. Kali ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah era 60 hingga 80-an – Abdu Rozak Fachruddin – akan diangkat kisah masa mudanya.

“Film ini menceritakan mereka yang tergabung dalam kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah yang melakukan perjalanan menaiki sepeda dari Palembang ke Medan untuk menghadiri kongres ke-28,” kata Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah Sukriyanto AR seperti dilansir Republika.co.id , (10/3).

Ia menerangkan, para pemuda yang menaiki sepeda harus berjalan hingga 20 hari lamanya untuk menghadiri kongres ke-28. Perjalanan tersebut dipimpin langsung oleh Abdul Razak Fachruddin (saat muda) yang juga merupakan ketua Umum PP Muhammadiyah.

Tak heran jika film ini diberi judul Meniti 20 Hari. Tentunya, bagi sang sutradara, film ini mengandung pendidikan karakter dan menampilkan anak-anak muda yang mempunyai mental baja serta karakter yang baik.

Jika tak ada hambatan, karya ini akan diluncurkan secara langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada 18 Maret 2017 di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Sukriyanto menyampaikan, film Meniti 20 Hari yang disutradarai oleh Arimus Barianto mengandung banyak pesan moral. Pesan moral yang tertuang dalam film ini juga sesuai dengan janji dan undang-undang kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah.

“Yaitu dapat dipercaya, artinya mereka jujur, setia kawan dan saling membantu,” ujarnya.

Seperti diketahui, K. H Abdul Rozak Fachruddin akrab disapa dengan ‘Pak AR’. Ia lahir di Pakualaman Yogyakarta, 14 Februari 1915 dan wafat di Solo di usia 80 tahun. Dalam sejarahnya, Pak AR populer dikenal sebagai Ketua Umum Muhammadiyah yang menjabat dari 1968 sampai tahun 1990.

Ayahnya sendiri adalah seoarang tokoh agama bernama K.H. Fachruddin. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran.

Setelah ayahnya tidak lagi menjadi penghulu dan usaha dagang batiknya juga jatuh, maka ia pulang ke Bleberan. Pada tahun 1925, ia pindah ke Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede dan setamat dari sana tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Setelah dua tahun belajar di Muallimin, ayahnya memanggil dia untuk pulang dan belajar kepada beberapa kiai. Pada tahun 1934, ia dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) selama sepuluh tahun.

Dan ketika Jepang datang, ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah, memimpin dan melatih Hizbul Wathan, dan barulah ia pulang ke kampung halaman.[]

(Republika/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film The Salesman Karya Sutradara Iran Jadi Tren di Medsos

Film The Salesman

Hashtag film The Salesman (TheSalesman#), film Iran peraih Oscar menjadi tren di laman sosial Twitter dunia.

IRNA Sabtu (28/2) melaporkan, gambar Asghar Farhadi, sutradara dan Taraneh Alidoosti serta Shahab Hosseini aktor film The Salesman termasuk hashteg tren di jejaring Twitter.

Banyak tokoh terkemuka dunia yang memberikan twitt untuk film Iran peraih Oscar ini termasuk Sadiq Khan, walikota London dan berbagai media internasional.

Asghar Farhadi di Festival Film Cannes 2016 juga meraih hadiah penulis naskah film terbaik untuk film The Salesman.

Film The Salesman di acara penghargaan piala Oscar menyabet juara untuk kategori film terbaik non Inggris. Farhadi untuk kedua kalinya meraih juara untuk kategori film asing di Piala Oscar.

Sutradara Iran bersama kru film The Salesman menolak hadir di acara pemberian penghargaan yang digelar Senin dini hari waktu Tehran sebagai bentuk protes atas keppres anti imigran Donald Trump.

(IRNA/Pars-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Nasional Rasa "Asing"

Dengan proses restorasi, kita bisa menikmati film lama tanpa harus kehilangan citarasa.


Sepasang kakinya melangkah, menyusuri kegelapan, di tengah gerimis hujan. Iskandar bergeming saat langkah bertemu genangan air, tak menghindar. Tapi selembar kertas pengumuman di dinding berhasil menarik perhatiannya. Langkahnya terhenti. Sehelai kertas itu berisi pengumuman jam malam yang diberlakukan tentara pada 1950-an di Bandung.

Usia membaca, dia lanjut melangkah. Tak lama, bunyi serupa suara lonceng terdengar. Enam anggota Corp Polisi Militer (CPM) yang tengah berpatroli menghentikannya. Dia berlari ketakutan. Ternyata sudah lewat jam malam. Dia lolos dari kejaran. Saat memasuki sebuah rumah, tunangannya sudah menunggunya. “Is...,” sapa Norma, mesra.

Tayangan tersebut menjadi prolog film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Latar ceritanya mengambil lokasi di Bandung, di masa revolusi. Secara fisik, film ini rusak cukup parah karena termakan usia. Minimnya perawatan memperparah kerusakan.

“Setelah tahun 1995 atau 1996, saat terjadinya perubahan kebijakan dari pemerintah, kita sudah tak menerima dana bantuan. Dulu masih mendapat bantuan melalui Dewan Film. Sekarang jangankan untuk restorasi, untuk biaya operasional perawatan saja kita tak punya dana,” kata Berthy Ibrahim, kepala Sinematek.

Lewat sebuah program restorasi, film ini “diselamatkan” Museum Nasional Singapura bekerjasama dengan Konfiden, Sinematek, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan World Cinema Foundation –lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorcese. Lewat Djam Malam dipilih karena dianggap sebagai film terbaik sepanjang masa. “Film ini bernilai tinggi bukan hanya karena nilai estetiknya, tapi juga nilai kesejarahannya,” tulis JB Kristanto dalam pengantar buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, diterbitkan Sahabat Sinematek tahun 2012.

Restorasi dilakukan di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Proses restorasi memakan waktu tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai. Hasilnya, luar biasa. Untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah restorasi, Anda bisa melihatnya di Youtube.

Hasil restorasi penuh ditayangkan kali pertama pada Festival Film Cannes, 17 Mei 2012, dalam acara Cannes Classic. Setelah itu barulah film tersebut bisa dinikmati penonton di dalam negeri.


Proyek Patungan

Lewat Djam Malam sejatinya dipersiapkan untuk festival. Pada 1953, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik bertandang ke Jepang untuk mengikuti konferensi para produser se-Asia. Saat konferensi, muncul wacana untuk menggelar Festival Film Asia yang pertama di Tokyo.

Karena tak ada film yang layak tampil, Djamaludin meminta Usmar memproduksi film, sementara dia mencari dana. Asrul Sani menulis cerita dan skenario. Sayangnya, setelah rampung, rencana ikut festival batal. Pemerintah melarang. Gara-garanya, negosiasi pampasan perang dengan Jepang belum menemukan titik temu.

Film ini akhirnya diputar di dalam negeri pada 1954. Untuk mengobati kegagalan ikut festival di Tokyo, kata Misbach, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia pertama pada 1955. Di ajang ini, Lewat Djam Malam meraih Film Terbaik, berbagi piala dengan Tarmina.

Film ini berkisah tentang Iskandar (AN Alcaff), bekas pejuang yang berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar. Ternyata zaman sudah berubah. Bahkan teman-teman seperjuangannya bukan orang yang sama seperti dulu. Rata-rata bergaya hidup hedonis dan korup.

Sementara dia terus dihantui perasaan bersalah lantaran telah membunuh banyak orang, termasuk satu keluarga yang dianggap mata-mata NICA, atas perintah komandannya, Gunawan (Rd Ismail). Beruntung masih ada Norma (Netty Herawati), tunangannya, yang sedikit bisa menenangkan gundahnya.

Berkat calon mertuanya, dia bekerja di kantor gubernuran. Tak puas dengan kerja Iskandar, kepala bagian menghinanya: “Dasar, bekas pejuang tak berguna!” Keributan pun terjadi dan Iskandar dipecat. Iskandar harus mencari pekerjaan lain.

Dia menemui kawan lamanya, Gafar (Awaludin), seorang arsitek. Gafar menyarankannya istirahat barang dua minggu sebelum bekerja. Tapi Iskandar tak bisa menunggu selama itu. Dia mendatangi Gunawan yang sudah jadi pengusaha. Gunawan, yang sedang bermasalah dengan bos perusahaan asing, menawarinya menghabisi orang itu dengan imbalan uang. Iskandar menolak dan pergi.

Iskandar berjalan tak tentu hingga bertemu Pudja, yang juga frustasi karena sulit beradaptasi. Pudja hanya menjadi centeng (tukang pukul) dan menghabiskan hari dengan berjudi. Dari Pudja-lah, Iskandar tahu bahwa Gunawan mendirikan perusahaan dengan modal dari harta rampasan satu keluarga yang dibantainya. Marah, Iskandar memutuskan menghabisi Gunawan.

Semua adegan itu terjadi dalam waktu sehari. Usmar Ismail menampilkan pandangan masing-masing tokoh mengenai masa setelah revolusi. Iskandar dan Gafar melihat revolusi telah selesai dan mesti mengisinya. Iskandar berusaha kerja kantoran meski akhirnya gagal. Gafar kembali ke lapangan keahliannya, membangun rumah, meski dengan cara tak jujur. Sebaliknya, Pudja menganggap perang harus tetap berkobar agar dirinya tetap berguna. Sedangkan Gunawan, merasa tetap idealis, melanjutkan revolusi dengan target perusahaan-perusahaan asing.

Usmar juga menghadirkan pandangan masyarakat terhadap mantan pejuang. Ayah Norma, misalnya, melihat pemuda-pemuda bekas pejuang mesti dibimbing agar tak sesat jalan. Sedangkan lainnya, seperti kepala bagian dan rekan kerja Iskandar, melihat mantan pejuang tak lebih dari sampah masyarakat.

Menarik relevansi film ini dengan keadaan masa kini sepertinya tak perlu jauh-jauh berbicara soal korupsi atau gaya hidup hedonis. Tarik saja garis besar kisah hidup sang tokoh utama, Iskandar, dengan sang sutradara, Usmar Ismail. Mereka toh sama-sama dikecewakan. Iskandar oleh komandannya, Usmar Ismail oleh pemerintah negerinya yang membiarkan karya-karyanya menua dan rapuh.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Seputar Sejarah: Boikot Film

Dari alasan monopoli hingga demoralisasi, dari ketidakberesan peredaran hingga pajak, aksi boikot-memboikot mewarnai perjalanan sejarah film di Indonesia.


Film-film impor, Hollywood maupun non-Hollywood, tak tayang lagi di bioskop-bioskop di Indonesia. Ini bagian dari ptotes Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) terhadap kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor.

Kebijakan pemerintah itu menuai polemik. Ada yang menganggap kualitas film Indonesia masih jauh dari harapan, dan adanya film impor justru bisa membuat para insan film nasional belajar dari segi ide maupun teknik. Sebagian menilai selama ini pajak film impor terlalu kecil; cuma Rp 2 juta per kopi. Sementara besar pajak produksi film nasional saat ini sekira 10% dari keseluruhan pagu anggaran produksi sebuah film. Misalnya, film berbiaya produksi Rp 5 milyar, kena pajak Rp 500 juta. Jadi, ada masalah ketidakadilan, yang sudah lama menghimpit perfilman nasional.

Apa lacur, beberapa hari ini film-film Hollywood menghilang dari layar gedung-gedung bioskop di Indonesia.

Ketiadaan film-film Hollywood pernah terjadi pada awal 1960-an. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang disebut-disebut organisasi mantel Partai Komunis Indonesia (PKI), mengumandangkan aksi boikot film AS. Bahkan, pada Juli 1961, Lekra dalam sidang plenonya mencetuskan resolusi yang mendesak pemerintah untuk membubarkan American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI). Alasannya, AMPAI memonopoli masuknya film-film AS dan Eropa serta memonopoli bioskop-bioskop di Indonesia.

Menurut liputan Tempo, “Mampusnya AMPAI”, 29 Juni 1991, kehadiran AMPAI pada 1950-an tak terlepas dari MPEAA (Motion Picture Export Association of America) yang berdiri pada 1945 –kemudian ganti nama jadi Motion Picture Association (MPA) pada 1994. MPEAA bertugas membantu merancang perjanjian internasional mengenai pemasaran, penjualan, penyewaan, pemajakan, maupun penyaluran film AS. AMPAI hadir berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan MPEAA, yang mengizinkan peredaran film-film produksi anggotanya: MGM, United Artists, Universal, Paramount, Warner Brothers, 20th Century-Fox, Columbia/Tri Star, Buena Vista/Touchstone, Orion, dan Carolco. Selain film AS, film produksi Inggris juga masuk berkat negosiasi AMPAI dengan studio film terbesarnya, J. Arthur Rank Organisation.

Pada 1950-an sampai 1960-an, AMPAI merajai film Indonesia. Ia menguasai bioskop-bioskop dan distribusi film. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sampai-sampai, seperti diulas Tempo, 29 Juni 1991, untuk masuk bioskop kelas satu, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI. Dengan begitu, film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I. Tapi pelaksanaan wajib putar kurang lancar.

Tantangan bagi film nasional sebenarnya juga datang dari film non-AS. Kementerian Perdagangan juga didesak untuk membendung film Malaya dan Filipina. Tekanan bertambah ketika film India memenuhi bioskop-bioskop kelas II, pasar utama film Indonesia. Berkat desakan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Menteri Perekonomian setuju menurunkan kuota impor film India.

Selain masalah monopoli, Lekra mengganyang film AS karena film-film Hollywood itu mengakibatkan demoralisasi. Padahal film bukan semata untuk kepentingan hiburan, tapi juga alat perubahan, pendidikan, dan penyadaran. Bachtiar Siagian, tokoh perfilman Lekra, menekankan, sebagaimana dimuat Harian Rakjat, 19 Maret 1964, bahwa sikap Lekra tidak membabi-buta mendukung film Uni Soviet dan menghajar film apapun yang datang dari AS. Dia menyebut film-film progresif seperti This is Our America atau film-film Charlie Chaplin yang progresif serta bagus secara isi dan bentuk. Di sisi lain, dia juga tak abai jika ada film Soviet yang jelek seperti The Flaming Years, yang diputar di Jakarta.

Dunia film, meski terpecah dua karena arus politik, sebenarnya punya sikap sama terhadap kehadiran AMPAI: tak suka karena menguasai peredaran film di Indonesia. Gelombang demonstrasi menjebol produksi film-film AS dilangsungkan secara massif. Bahkan Willaim (Bill) Palmer, bos AMPAI, dituduh sebagai agen Badan Intelijen Amerika (CIA). Tuduhan itu juga datang dari suratkabar prokomunis di India dan Ceylon, serta dinas rahasia Cekoslowakia.

Pada 9 Mei 1964, tak lama setelah Festival Film Asia Afrika digelar di Bandung, terbentuklah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan mengupas keberadaan Papfias dalam Lekra Tak Membakar Buku. Program Papfias, selain mendorong kemajuan dan kelembagaan perfilman nasional, juga menuntut prosedur film impor lewat cara pembayaran dengan rupiah atau barter 1-1, dengan kredit tiga tahun. Mereka juga menuntut AMPAI dilikuidasi.

Ada sejumlah organ yang bergabung dan menyokong aksi-aksi Papfias, yang mewakili golongan pelajar/mahasiswa, pendidik, buruh tani, perempuan, wartawan, seniman, pekerja film, angkatan ‘45, dan sebagainya. Dari Pemuda Rakyat hingga Pemuda Katolik. Dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) hingga Muslimat NU (Nahdlatul Ulama). Partai Indonesia (Partindo), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan PKI merupakan partai-partai yang mendukung Papfias.

Dalam Musyawarah Besar, Oktober 1964, Papfias menegaskan perlunya melikuidasi AMPAI. Musyawarah itu juga membuat keputusan soal politik impor film, antara lain perlunya penghapusan segala macam agensi dan impor film harus berada di tangan importir nasional. Sementara mengenai politik perbioskopan, mereka menekankan perlunya perubahan dari “bioskop menjadi sumber keuangan pajak menjadi tempat untuk meningkatkan pendidikan, kebudayaan, dan kecerdasan Rakyat.”

Aksi boikot film-film AS mula-mula dilancarkan pada 9 Mei 1964 di Jakarta tatkala muncul “Keputusan 16 Organisasi”. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah daerah. Puncaknya, pada 1 Mei 1965, Gedung AMPAI diambil-alih. Begitu juga Rank Film Organization, perusahaan film Inggris di Indonesia. Lalu, pada 1 April 1965, mereka mengambil-alih vila-vila AMPAI di Cisarua. AMPAI kemudian diambil-alih oleh pemerintah. Impor film dari AS dihentikan. Bill Palmer sendiri, yang selalu jadi sasaran demo, dipulangkan.

Penutupan AMPAI berimbas pada film-film Inggris, Malaya, dan India. Akibatnya, ratusan gedung bioskop gulung tikar, dari sekira 800 tinggal 350-an bioskop. Sedangkan produksi film nasional cuma 1-2 judul setahun. Film-film Soviet dan China, yang berusaha mengisi kekosongan, tak memadai. Perfilman nasional kacau.

Di masa Orde Baru, film-film Hollywood datang lagi dan merajai bioskop-bioskop di Indonesia. Bahkan pada akhir 1980-an, mereka memasukkan dan mendistribusikan sendiri produk-produk mereka ke Indonesia melalui MPEAA. Lucunya, ini dilakukan setelah MPEAA menuntut dan melakukan aksi boikot dengan mendongkrak harga jual film ke Indonesia hingga 400%. Alasannya, mereka mencium ketidakberesan peredaran film AS di Indonesia. Aksi ini berakibat bioskop hanya menayangkan film AS murahan dan bermutu rendah dari perusahaan film non-anggota MPEAA. Bahkan, sebagaimana liputan Tempo, “Hollywood Datang, Pribumi Minggir”, 29 Juni 1991, delegasi United States Trade Representative (USTR) atau Departemen Perdagangan AS datang untuk merundingkan komoditas film ini dengan pihak Departemen Perdagangan. Sutradara Asrul Sani pun khawatir sepak terjang MPEAA akan mengulang sejarah AMPAI yang menghalangi perkembangan film nasional.

Kini, MPEAA kembali melakukan boikot, menarik peredaran film-filmnya, sebagai alasan kenaikan pajak? Penarikan film-film Hollywood, meski untuk sementara, menjadi tantangan bagi insan film nasional. Sayangnya, hingga kini produksi film nasional masih minim. Muatannya pun tak jauh dari unsur seks dan horor. Sejarah perfilman nasional belum juga bergerak maju.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ketika Film India dan Malaya Bersaing Dengan Film Indonesia

Terancam film India dan film Malaya, insan film Indonesia meminta pemerintah menerapkan kuota film impor.

Adegan dalam film "Raja Harishchandra." Dadasaheb Phalke membuat film cerita pertama di India ini pada 1913. (Foto: starfilminstitute.com).

Hari Film Nasional tiba. Bioskop menggelar promo nonton film Indonesia dan insan film nasional menyeru masyarakat agar lebih sering menonton film Indonesia. Sepanjang sejarah perfilman nasional, film Indonesia kerap kalah pamor dari film impor. Sebabnya tak selalu berpangkal pada soal mutu film Indonesia lebih rendah daripada film impor. Ini misalnya terjadi pada kasus film India.

Bioskop Indonesia sudah menayangkan film India pada 1948. Menurut Johan Tjasmadi, dalam 100 Tahun Bioskop di Indonesia, terdapat lima film India masuk ke Indonesia kala itu. Apa judul film India pertama di bioskop Indonesia? “Chandraleka,” jawab Djamaludin Malik, pengusaha film nasional, dalam Aneka, No. 27, 1955. Film itu bertutur tentang konflik antar anak raja di sebuah kerajaan dongeng.

Masyarakat menyambut hangat kehadiran film India. Mereka terhibur dengan nyanyian dan tarian dalam film. Importir film pun terdorong mengimpor film India lebih banyak lagi pada 1949, menjadi 34 film.

Pengusaha film nasional tak mau kalah bersaing. Mereka menggenjot produksi dan mutu film. Strategi mereka berhasil. “Para pengusaha bioskop berebutan untuk memutar film Indonesia,” tulis Aneka, 1 Januari 1956, mengkilas balik perkembangan film.

Film India terhantam oleh film Indonesia. Masa putarnya jauh lebih sedikit ketimbang film Indonesia. Dari segi jumlah, hanya ada 12 dan 8 film India pada 1950 dan 1951. Peningkatan impor film India terjadi pada 1952, menjadi 22 film. Saat bersamaan film Indonesia kalah pamor oleh film-film impor dari Filipina, Amerika Serikat, dan, terutama sekali, Malaya.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, kelahiran Kwitang 77 tahun lalu, punya kenangan tentang film Malaya. “Bahkan anak-anak muda kenalnya juga dengan bintang film Malaya ketimbang Indonesia,” kata Alwi. Tema cerita film Malaya mencakup keseharian hidup manusia dan segala hal remeh-temeh seputar perceraian, perselingkuhan, dan roman picisan. Film bersih dari muatan politik dan pesan-pesan berat.

Hampir semua bioskop kelas dua dan tiga di Jakarta memutar film Malaya. “Waktu itu bioskop ada tiga: kelas satu, kelas dua, dan kelas tiga. Tergantung dari harga tiket dan bagus atau jeleknya gedung. Kebanyakan film AS dan Barat ada di bioksop kelas satu. Sedangkan Malaya di bioskop kelas dua dan tiga,” ujar Alwi.

Pengusaha bioskop dan importir mendulang rupiah dari film Malaya. Sedangkan pengusaha film nasional terpaksa gigit jari. Film mereka tak laku sehingga mengancam keberlanjutan usaha perfilman nasional.

Menyadari film Indonesia terancam, Usmar Ismail, sutradara serta pengusaha film, dan Djamaludin Malik menggagas agar pemerintah menerapkan kuota film impor. Pemerintah menyetujui gagasan mereka pada 1954. “…Yaitu peraturan yang dinamakan 1 : 3. Artinya, tiap 3 buah film kita yang diimpor ke Malaya, Malaya boleh memasukkan 1 buah filmnya ke Indonesia,” tulis Kentjana, 1 Februari 1955.

Kebijakan pemerintah berhasil menahan peredaran film Malaya, tapi sama sekali tak membantu usaha perfilman nasional. Sebab lawan tangguh berikutnya muncul: film India.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Film Indonesia Digoyang Film India

Senjata pamungkas film India adalah nyanyian dan tarian. Film nasional pernah di ambang kehancuran.

Poster film India terbitan Galiga Films Ltd dan Harapan Trading Coy.

Pengusaha bioskop kelas dua dan tiga mengisi kekosongan slot penayangan film Malaya dengan film India. Bukan dengan film nasional. Alasan mereka sederhana. Film India memiliki kedekatan dengan film Malaya, baik dari segi cerita maupun nyanyian.

Menurut Usmar Ismail dalam “Sari Soal dalam Film Indonesia” termuat di Usmar Ismail Mengupas Film, film India gabungan antara cerita gaib, ajaib, takhayul, nyanyian, dan tarian yang dikemas secara spektakuler. Banyak film India di Indonesia berlawanan dengan akal sehat. Tapi orang Indonesia hirau soal demikian. Mutu teknis, pencapaian estetis, dan logika cerita dalam film bukanlah soal utama bagi penonton Indonesia. Maka film India lekas merebut hati khalayak.

Menurut Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia, peredaran film India di Indonesia sepanjang 1954 mencapai 150 kopi dari 22 judul. Lalu meningkat drastis pada 1955, menjadi 311 kopi.

Kebanyakan film India berasal dari Bombai. Film India masuk Indonesia melalui sejumlah perusahaan film seperti Geliga Films, NV Ifdil, Harapan Trading Coy, Persari (milik Djamaludin Malik), dan Perfini (milik Usmar Ismail). Apa alasan mereka ikut mengimpor film India?

“Ini sekadar politik dagang mengenai distribusi film belaka. Tegasnya, dengan menawarkan film India yang komersial, akan sangat menguntungkan, disampingnya ditawarkan film Indonesia buatan sendiri untuk dijadikan goncangan supaya diputar pula,” kata Djamaludin Malik, dikutip Ramadhan KH dan Nina Pane dalam Djamaludin Malik Melakat di Hati Banyak Orang.

Usmar Ismail juga bertindak seperti Djamaludin. Dia hanya mengimpor film-film India berbobot seperti Awara dan Adhikar. Tayang di semua bioskop kelas satu, dua film itu meraih sorotan elite masyarakat. Mereka menilai dua film itu berbeda dari kebanyakan film India di bioskop kelas dua dan tiga.

Pengusaha dan importir lain enggan mengikuti jejak Djamaludin Malik dan Usmar Ismail. Mereka berkiblat pada keuntungan semata. “... daripada 300.000 rupiah dikeluarkan untuk pembuatan film, lebih enak dibelikan saja hak pertunjukan bagi film-film India. Dari yang 300.000 itu bisa didapatkan sedikitnya 3 film india yang peredarannya sudah pasti akan terjamin, kata seorang pengusaha film kepada Aneka, 10 Januari 1956.

Terbukti, jumlah penonton film India di bioskop Indonesia dari kurun 1952-1960 mencapai 135 juta penonton, sedangkan film Indonesia hanya meraup 45 juta penonton

Film India murahan terus membanjiri bioskop Indonesia hingga 1957. Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel, menyebut stok film India saat itu cukup untuk masa putar selama tiga tahun ke depan. Industri film nasional di ambang kehancuran.

Usmar dan Djamaludin pun mengambil langkah ekstrem. Mereka menutup studio dan berhenti memproduksi film pada Maret 1957. Pemerintah mengalah dan mulai membatasi film India. Tahun-tahun setelahnya peredaran film India berkurang. Bahkan sempat menghilang pada 1965 karena boikot Pengusaha Bioskop Jakarta sebagai jawaban atas sikap India mendukung negara Malaya.

Tapi film India tak mau lama-lama dalam kubur. Mereka kerap kembali ke tanah air dan bikin demam sesaat.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS) 

Pengenalan Hijab Dalam Film Para Pelajar Amerika


Hijab Nur Isa telah memunculkan banyak pertanyaan untuk para temannya tentang Islam, sampai-sampai beberapa teman kelas Nur menjadikannya sebagai subyek proyek pembuatan filmnya.

Menurut laporan IQNA seperti dikutip dari Flyer Group, Nur Isa, pelajar muslim yang sekolah di kota Dalton propinsi Georgia mengetahui akan menempuh jalan baru dengan mulai mengenakan hijab.

Isa mengatakan, hijab adalah pilihan saya, namun ketika kalian memulai hal ini, maka kalian harus lanjutkan. Pengenaan hijab sebagai petunjuk pilihan kesederhanaan dan rasa malu dan pilihan agama Islam.

Hijab Nur Isa telah memunculkan banyak pertanyaan untuk teman-teman sekelasnya dan teman sekolahnya tentang Islam dan hijab, sampai-sampai beberapa teman kelas Nur menjadikannya sebagai subyek proyek pembuatan filmnya.

Film dengan topik Kawasan Bebas ini, selanjutnya dipilih sebagai bagian dari dokumenter Masyarakat Amerika Baru cannel PBS (Public Broadcasting Service).

Film Kawasan Bebas yang dibuat dengan kerjasama Isa dan keluarganya menjadi atensi para pelajar dan sejumlah pengajar sekolah dan menciptakan sebuah kesempatan untuk berbicara dan menunjukkan kehidupan sejati kaum muslim.

"Penayangan film ini di tingkat nasional menyebabkan saya dapat meunjukkan kepada orang lain bahwa saya sangat bangga menjadi muslim dan merasa memiliki kekuatan dan kemampuan lebih dan film ini dapat menghilangkan banyak kesalahpahaman yang ada,” ucap Isa.

(Flyer-Group/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Trailer Bid’ah Cinta Dapat Komentar ‘Pedas’, Ini Kata Dimas Aditya


Setelah merilis trailernya, film Bid’ah Cinta mendapat sambutan pro dan kontra, khususnya di akun Youtube Kaninga Pictures. Hal ini karena sejumlah persoalan terkait Bid’ah bagi umat Islam Indonesia masih dipandang sensitif meski film ini juga berkisah soal cinta dua sejoli.

Salah satu aktor film ini, Dimas Aditya, tak menafikan ragam komentar atas trailer Bid’ah Cinta.

“Seru sih beragam, ada yang suka ada juga yang berkomentar sedikit pedas. Intinya nonton dulu jangan setengah-setengah. Nonton trailernya terus langsung menilai,” kata Dimas santai seperti dirilis viva.co.id

Ia menjelaskan, film ini sebenarnya sudah ditulis sejak tahun 2015, jauh sebelum situasi ibu kota memanas seperti sekarang. Saat syuting pun, Dimas menceritakan, para kru dan aktor melakukannya dengan santai sesuai dengan arahan sutradara dan penulis naskah.

Namun Dimas berharap, film ini punya pesan yang lebih dari apa yang akan ditampilkan.

“Film ini mungkin akan menjadi buah pikiran baru tentang bagaimana kita bisa hidup damai, rukun, dan tenteram karena masih adanya cinta,” jelasnya.

Tak hanya Dimas Aditya, Yoga Pratama, salah satu pemain Bid’ah Cinta ikut menambahkan bahwa film ini bukan hanya tentang perbedaan, tapi tentang cinta dan kasih sayang.

“Mudah-mudahan penonton setelah nonton ini bisa lebih terbuka lagi pandangannya. Film ini akan menumbuhkan toleransi beragama,” kata Yoga.

Seperti diberitakan sebelumnya, film yang disutradarai Nurman Hakim ini direncanakan beredar mulai 16 Maret 2017 . Cuplikan trailer tersebut mengisahkan hubungan asmara yang dibalut dengan latar persoalan pemahaman agama yang berbeda.

Kisah kasih antara Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya) yang terbentur restu oleh kedua orang tua masing-masing. Masalah yang dihadapi karena adanya cara pandang mengenai ajaran agama yang sedikit bertentangan di antara kedua keluarga mereka. Bahkan tidak jarang konflik yang terjadi juga meluas ke masyarakat di sekitar perkampungan tempat mereka tinggal.

“Trailer ini diharapkan memberikan gambaran bahwa cinta akan meluruhkan semua perbedaaan, termasuk perbedaan dalam beragama,” kata Nurman Hakim seperti dilansir JawaPos.com, Jumat (3/2).

Menurut sutradara, film Bid’ah Cinta yang dibintangi oleh Ayushita Nugraha dan Dimas Aditya adalah potret realitas yang terjadi saat ini. Selain dua bintang di atas, film ini juga didukung oleh sederetan aktor dan aktris kenamaan lain seperti Ibnu Jamil, Dewi Irawan Alex Abbad, Jajang C.Noer, Tanta Ginting, Karlina Inawati, Khiva Iskak, Fuad Idris, Ronny P.Tjandra hingga Yoga Pratama.[]


Simak Videonya:


(Viva-News/Jawa-Pos/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kemenag Rilis Film 'Lebah Dalam Perspektif Alquran dan Sains'


Lajnah Pentashihan Mushaf AlQuran (LPMQ) Balitbang-Diklat Kementerian Agama, merilis film pendek bertajuk "Lebah dalam Perspektif AlQuran dan Sains". Film berdurasi sekitar 30 menit itu, kini bisa dinikmati masyarakat pada chanel youtube Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran.

Pjs Kepala LPMQ Muchlis M Hanafi mengatakan, bahwa film tentang 'Lebah dalam Perspektif Alquran dan Sains' ini merupakan rintisan pengembangan hasil kajian terhadap ayat-ayat Alquran yang mengandung isyarat ilmiah berbasis multimedia. Menurut beberapa pakar, lanjut Muchlis, jumlahnya mencapai 750 ayat, bahkan ada yang mengatakan 1.000 ayat.

"Sebagian besar ayat-ayat tersebut sudah dikaji oleh sebuah tim yang dibentuk LPMQ Balitbang Kemenag, bekerja sama dengan LIPI. Bahkan, telah terbit dalam bentuk ensiklopedia tafsir ilmi/sains sebanyak 19 jilid," ujar Muchlis di Jakarta, Kamis (23/02).

Menyadari jangkauan buku yang masih sangat terbatas, ditambah dengan tingkat baca masyarakat yang masih rendah, LPMQ bekerja sama dengan LIPI berusaha menghadirkan hasil kajiannya dalam bentuk film-film pendek. (untuk melihat filmnya, sila klik: Lebah Dalam Perspektif Alquran dan Sains)

"Ini menjadi salah satu upaya kami untuk membuka wawasan umat beragama tentang keagungan kitab suci. Agama dan sains bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan. Keduanya bisa saling menopang dalam mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan umat manusia," ujarnya.

"Kita berharap, terutama pada generasi muda, siswa/i sekolah dan madrasah dapat lebih mencintai kitab suci," tambahnya.

Pada tahun 2017, LPMQ berencana untuk memproduksi lima film pendek lainnya. Setelah Lebah, produksi film berikutnya adalah Burung, Laba-Laba, serta Semut dalam Perspektif Alquran dan Sains, serta Firaun dalam Perspektif Alquran dan Sains.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: