Di dunia ini ada hal-hal yang bersifat materi dan ada yang bersifat spiritual. Yang materi, dapat dihitung dan dikalkulasi dengan tolak ukur materi juga, sedang yang spiritual kita tidak bisa mengukurnya sebagaimana kita mengukur materi.
Manusia dari berbagai aspek dapat dikategorikan dengan bermacam pengkategorian. Secara materi misalnya, dari sisi warna kulit manusia ada yang berkulit putih, kuning, hitam, merah dan seterusnya. Dari sisi jenis kelamin, ada yang laki-laki dan perempuan. Dari sisi golongan darah, ada yang A, B, AB dan O.
Adapun dari sisi spiritual, misalnya keyakinan, kita tidak bisa mengukurnya dengan ukuran materi, selain itu juga kita tidak bisa mengukurnya sesuka hati. Misalnya seseorang mengaku beragama Islam, kita tidak bisa mengukur seberapa imannya. Ya, dalam agama kita telah dijelaskan tolak ukur ke-Islaman seseorang, yakni ketika dia menyebut dua syahadat: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah, maka dia adalah Islam. Sedangkan apakah ia munafik, seberapa imannya, kita sama sekali “tidak diperbolehkan” untuk tahu-menahu; yang artinya kita tidak bisa menunjuk seseorang muslim fulan adalah munafik, adalah begini dan begitu, apalagi menuduhnya “kafir”! Karena hal tersebut adalah perkara non materi yang tak bisa kita ukur oleh diri kita sendiri. Hanya Allah yang tahu, dan hanya Dia yang akan menghukuminya. Adapun kita, kita telah diperintahkan untuk menyikapi orang lain berdasarkan “dhahir” atau “apa yang nampak” saja. Sedangkan apa yang tak nampak, apa urusan kita?
Bukankah kita diperintahkan untuk tak memata-matai, memburu aib orang lain dan seterusnya.
Sebagian kelompok yang mengaku Muslim sejati, yang tentunya diorganisir oleh suatu kekuatan yang sudah pasti “musuh Islam”, berusaha menebar fitnah di kalangan umat Islam sendiri. Saya sendiri heran atas dasar dan tolak ukur apa mereka menilai si fulan adalah kafir, si fulan adalah sesat…
Ya, yang saya bicarakan tentang Syiah. Ada seorang Wahabi yang memusuhi Syiah, mungkin karena melihat “pengikut” faham Syiah yang pernah ia lihat “melakukan keburukan”, lalu saat melihat tetangga di dekatnya adalah Syiah, ia secara spontan menilai tetangganya itu sama saja dengan Syiah yang pernah ia lihat sebelumnya: dia ini sama dengan dia yang itu. Atas dasar apa penilaian tersebut?
Masalah spiritual, keyakinan, pemahaman, tidak bisa dijuristifikasi oleh orang lain seenaknya saja.
Ketika ada orang tersesat yang menganggap Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan di satu belahan bumi, lalu di belahan bumi yang lain ada orang yang mencintai Ali bin Abi Thalib dan mengunggulkannya dari sahabat-sahabat nabi lainnya, bijakkah jika kita nilai kedua orang itu sama?
Syiah adalah sebuah paham dan keyakinan, pemeluknya adalah jutaan orang. Jika separuh dari jutaan tersebut Syiah yang salah, apakah salah juga separuh yang lainnya?
Jika ada orang kafir sekalipun, lalu kagum dengan pemikiran Syiah dan berbicara di depan umum baha ia mendukung pemikiran Syiah, bisakah dia disebut Syiah?
Apakah orang yang bertahun-tahun menggeluti pemikiran Syiah dan mempelajari ajaran-ajarannya, apakah disebut Syiah?
Apa tolak ukur anda?
Ke-Syiah-an seseorang bukan golongan darah yang bisa dites di laboratorium. Oleh karena itu anda selalu berputar-putar dalam kebodohan, menuding seseorang sebagai Syiah, lalu ketika orang itu tidak mengaku anda menyebutnya bertaqiyah. Bagaimana jika istri anda, ibu atau ayah anda adalah Syiah?
Dari mana anda tahu dia bukan Syiah?
Barangkali mereka bertaqiyah?
Dari mana anda tahu?
Tidak ada laboratorium yang bisa mengecek ke-Syiah-an seseorang. Orang yang mengaku Syiah sendiripun dalam ajaran Syiah belum tentu diterima sebagai Syiah, lalu bagaimana anda menuduhkan ke-Syiah-an kepada seseorang dan menumpahkan darahnya?
(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email