Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS KELUARGA. Show all posts
Showing posts with label ABNS KELUARGA. Show all posts

Lindungi Keluarga Dari Fitnah Akhir Zaman


Imam Shadiq as berkata “pada akhir zaman nanti fitnah-fitnah bagaikan gelap malam yang akan menutupi kalian, dan tidak ada satupun rumah kaum muslimin baik dari timur maupun barat yang akan terhindar dari fitnah-fitnah tersebut.”

Hal ini disampaikan Hujjatul Islam Mahdi Nailipour saat menjelaskan tentang pentingnya peran keluarga pada masa kegaiban Imam Zaman afs.

Dijelaskannya, terdapat riwayat-riwayat yang berhubungan dengan akhir zaman, dimana pada masa itu keluarga akan mengalami keguncangan dan rentan terkena kerusakan akhir zaman, dan itu tidak hanya menimpa anak-anak di dalam keluarga saja akan tetapi semua anggota keluarga.

Mengenai hal ini Imam Shadiq as berkata “pada akhir zaman nanti fitnah-fitnah bagaikan gelap malam yang akan menutupi kalian, dan tidak ada satupun rumah kaum muslimin baik dari timur maupun barat yang akan terhindar dari fitnah-fitnah tersebut.”

Pada akhir zaman nanti, kezhaliman, kejahatan dan berbagai fitnah yang luar baisa akan merajalela, banyak kerugian yang terjadi saat itu, namun demikian hati kita harus tetap fokus terhadap kerugian-kerugian akhir zaman tersebut sehingga kita dapat menemukan motivasi, dapat juga memperoleh pelajaran penting di akhir zaman, dan kita juga dapat belajar bertanggung jawab sehingga kita dapat mengetahui tentang tugas dan kewajiban pada masa tersebut.

Di antara solusi untuk menghadapi fitnah akhir zaman ialah perhatian kita kepada keluarga, mengenai hal ini Imam Jawad as berkata “sebelum tiba masa kemunculan akan terjadi banyak fitnah, dimana pada saat itu keimanan seseorang cepat berubah, pada pagi hari seseorang bisa menjadi kafir dan kemudian menjadi mukmin lagi dan tiba-tiba pada malam harinya ia kembali menjadi kafir, dan jika seseorang mengalami masa seperti ini maka bertakwalah kepada Allah swt dan menjadi pelana bagi keluarganya.”

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keluarga, Dasar Dalam Persiapan Kemunculan Imam Zaman afs


Dasar dalam membangun sebuah keluarga Islami harus terpengaruh dari keluarga Ahlul Bait as. Dengan kata lain harus sesuai dengan aturan sebuah keluarga yang Rasulullah saww mencontohkannya dengan keluarga Imam Ali as dan Sayiidah Zahra sa.

Hal ini disampaikan Hujjatul Islam Muhammad Ridhai saat menjelaskan tentang hubungan keluarga Mahdawi dan penanti Imam Zaman afs dengan persiapan kemunculan Imam Zaman afs.

Dijelaskannya, dasar dalam membangun sebuah keluarga Islami harus terpengaruh dari keluarga Ahlul Bait as. Dengan kata lain harus sesuai dengan aturan sebuah keluarga yang Rasulullah saww mencontohkannya dengan keluarga Imam Ali as dan Sayiidah Zahra sa.

Adapun masa ketika Imam Zaman sedang dalam keadaan ghaibah seperti masa sekarang adalah masa kekosongan. Masa kekosongan tersebut harus kita isi dengan sebaik-bainya karena masa seperti sekarang ini adalah masa transisi peradaban islam. Dengan kekosongan ini, perdaban islam murni di pegang oleh kaum muslim semua. Tinggal apakah mereka menggunakan kesempatan ini dengan baik atau tidak.

Al-Qur’an menyebutkan tentang pembuatan ka’bah dan baytul haram yang merupakan peran dari sebuah keluarga yang saleh, dalam surat Al-Baqarah ayat 127 disebutkan “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan (baca : membangun) pondasi Ka’bah (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (ini) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Tidak diragukan lagi bahwasanya peran keluarga dalam berbagai hal sangatlah penting, begitu juga dalam masalah Mahdawiyat dimana untuk membangin masyarakat penanti Imam Zaman afs harus dimulia dari keluarga sehingga kita kelak bisa menyaksikan menyebarnya mahdawiyat dan berporos pada tauhid.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pentingnya Menguatkan Pembahasan Keluarga di Masyarakat


Untuk menguatkan pembahasan akhlaq di dalam masyarakat memerlukan peran serta semua pihak di dalam keluarga khususnya kedua orang tua.

Hal ini disampaikan Ayatullah Taha Muhammadi saat menjelaskan tentang pentingnya menguatkan pondasi di dalam keluarga. Dijelaskannya juga, mengenal kerusakan yang terjadi di dalam keluarga dan cara untuk menghadapi konspirasi musuh juga tidak kalah pentingnya.

Ia menambahkan, melembagakan budaya keagamaan dan upaya untuk menguatkan budaya keagamaan dan Islami di tengah generasi muda ddalam masyarakat merupakan langkah yang sangat penting untuk menaikkan akhlaq Islami.

Tidak hanya itu, untuk menguatkan pembahasan akhlaq di dalam masyarakat memerlukan peran serta semua pihak di dalam keluarga khususnya kedua orang tua, terangnya.

Lebih lanjut Ayatullah Muhammadi menuturkan, menerapkan takwa dan tauhid di dalam semua segi kehidupan merupakan solusi terbaik untuk melembagakan akhlaq Islami di dalam kehidupan individu maupun sosial.

Kitab suci Al-Qur’an merupakan guru akhlaq semua umat manusia dalam semua dimensi kehidupan yang dijalankan manusia, dengan demikian anjuran dan pelajaran-pelajaran yang ada di dalam Al-Qur’an harus dipraktekan dalam setiap kehidupan manusia.

“Al-Qur’an Karim merupakan paling baiknya tuntunan dan pedoman untuk kehidupan manusia”, dengan memanfaatkan Al-Qur’an dan pemahaman yang ada di dalamnya akan membawa manusia ke kebahagiaan dan kemenangan, dan tidak hanya di dunia saja di akhiratpun akan mendapatkannya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ali dan Fathimah; Rumah Tangga Penuh Cinta


Salah satu faktor utama yang membuat langgengnya sebuah pernikahan adalah cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Contoh terbaik kehidupan seperti ini dapat disaksikan pada pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Pernikahan yang terjadi pada 1 Dzulhijjah 2 Hijriah Qamariah.

Pernikahan yang langgeng dan hakiki ketika dibangun di atas fondasi cinta dan kasih sayang. Allah Swt telah meletakkan hakikat tak ternilai bernama cinta dan kasih sayang ini dalam diri pria dan wanita.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[1]

Oleh karenanya, bila suami dan istri ingin sampai pada ketenangan, kehangatan rumah tangga dan pengokohannya, maka harus menyatakan dan menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang, agar hubungan keduanya lebih akrab dari sebelumnya. Sebaliknya, pernyataan cinta dan kasih sayang ini bakal mencegah terjadinya gesekan dan munculnya kemarahan di antara keduanya.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ketika seorang hamba bertambah keimanannya, pada saat yang sama bertambah pula kecintaannya kepada istrinya.”[2]

Sekaitan dengan hal ini, Imam Ridha as berkata, “Ketahuilah bahwa wanita itu beragam dan dari mereka ada yang berupa raihan tak ternilai dan kompensasi. Wanita seperti ini sangat mengasihi suaminya dan mencintainya.”[3]

Dari penjelasan di atas, poin pentingnya adalah menyampaikan rasa cinta kepada istri. Sekalipun cinta itu urusan hati, tapi tidak boleh berhenti hanya pada rasa cinta yang terpendam dalam hati. Cinta yang ada di hati harus disampaikan baik lewat lisan atapun perilaku, sehingga hasil yang diinginkan dapat diraih.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ucapan suami kepada istrinya ‘Aku mencintaimu’ tidak akan pernah hilang dari hatinya.”[4]

Contoh paling tepat dari kehidupan penuh cinta dan kasih sayang dapat ditemukan dalam pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan dilanjutkan dengan kasih sayang dan cinta.

Dalam merajut kehidupan rumah tangganya dengan Sayidah Fathimah, Imam Ali as berkata, “Kami berdua bak pasangan merpati di sarang.”[5]

Kasing sayang dan cinta suami dan istri ini sedemikian eratnya, sehingga Imam Ali as menyebut keberadaan Fathimah mampu menenangkan hatinya. Beliau berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah marah dan membencinya dikarenakan sesuatu, sehingga Allah mengambilnya dariku. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan menentangku. Ketika aku melihatnya, maka tersingkap seluruh kegalauan dan kesedihanku.”[6]


Dalam riwayat disebutkan:
“Pada suatu pagi, Imam Ali as berkata kepada Fathimah as, ‘Apakah ada makanan?’

Sayidah Fathimah menjawab, ‘Tidak. Demi kebenaran Allah yang mengutus ayahku sebagai nabi dan engkau sebagai penggantinya! Tidak ada sesuatu di rumah. Sudah dua hari kami belum makan. Ada sedikit makanan di rumah yang kusisihkan untukmu dan anak-anak.’

Ali as berkata, ‘Wahai Fathimah! Mengapa engkau tidak memberitahuku agar aku menyiapkan makanan?’

Fathimah menjawab, ‘Wahai Abu al-Hasan! Aku malu di hadapan Allah meminta sesuatu darimu yang tidak dapat engkau lakukan.’[7]

Istri yang tidak menuntut, membantu urusan rumah, memanggil dengan penghormatan, berkorban dan lain-lain merupakan contoh lain dari cinta dan kasih sayang dari Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Demikianlah, sekalipun banyak masalah yang dihadapi rumah tangga keduanya, tapi dapat dihadapi dengan tenang. Karena rumah tangga itu dipenuhi dengan ketenangan dan keakraban yang berangkat dari cinta dan kasih sayang.


Referensi:

[1] . QS. Ar-Rum: 21.

[2] .

کُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ إِیمَاناً ازْدَادَ حُبّاً لِلنِّسَاء. 

Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 228, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.

[3] .

وَ اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ شَتَّی فَمِنْهُنَ‏ الْغَنِیمَةُ وَ الْغَرَامَةُ وَ هِیَ الْمُتَحَبِّبَةُ لِزَوْجِهَا وَ الْعَاشِقَةُ لَه. 

Nuri, Husein bin Muhammad Taqi, Mustadrak al-Wasail wa Mustanbath al-Masail, jilid 14, hal 161, Moasseseh Alu al-Bait, Qom, 1408 HQ.

[4] .

قَوْلُ‏ الرَّجُلِ‏ لِلْمَرْأَةِ إِنِّی‏ أُحِبُّکِ‏ لَا یَذْهَبُ مِنْ قَلْبِهَا أَبَداً. 

Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq, al-Kafi, jilid 5, hal 569, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1407 HQ.

[5] .

کُنَّا کَزَوْجِ‏ حَمَامَةٍ فِی أَیْکَة. 

Meibadi, Hossein bin Moeinuddin, Diwan Amir al-Mukminin as, hal 86, Dar Nida al-Islam Lin-Nasyr, Qom.

[6] .

فَوَاللَّهِ مَاأَغْضَبْتُهَا وَ لَاأَکْرَهْتُهَا عَلَی أَمْرٍ حَتَّی قَبَضَهَا اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ إِلَیْهِ وَ لَاأَغْضَبَتْنِی وَ لَاعَصَتْ لِی أَمْراً وَ لَقَدْ کُنْتُ أَنْظُرُ إِلَیْهَا فَتَنْکَشِفُ عَنِّی الْهُمُومُ وَ الْأَحْزَانُ. 

Arbali, Ali bin Isa, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jilid 1, hal 363, Tabriz, 1381 HQ.

[7] .

یَا أَبَاالْحَسَنِ إِنِّی لَأَسْتَحْیِی مِنْ إِلَهِی أَنْ أُکَلِّفَ‏ نَفْسَکَ‏ مَا لَاتَقْدِرُ عَلَیْهِ. 

Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 330, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.

(Hajij/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mu’asyarah Bil Ma’ruf Dalam Rumah Tangga


Allah Swt berfirman: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa`: 19).

Allah Swt memberikan hak-hak tertentu kepada pasangan suami dan istri. Keduanya diwajibkan untuk menjaga hubungan suami istri dengan baik sehingga jika keduanya memiliki hubungan yang harmonis maka akan tercipta kehidupah keluarga yang sehat dan harmonis. Bagaimana Islam menjaga dan mengatur hubungan antara suami istri?

Allah Swt berfirman:

وَ عاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسى‏ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَ يَجْعَلَ اللهُ فيهِ خَيْراً كَثيراً

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa`: 19).

Mu’asyirat adalah bab mufa’alah merupakan kata yang memiliki makna peran aktif antara kedua belah pihak yaitu kedua-keduanya merupakan fail ataukah maf’ul. Oleh itu entah laki-laki maupun perempuan antara yang satu dengan yang lainnya harus bersikap patut.

Allamah Thabatthabai menjelaskan bahwa makna ma’ruf dengan menyandarkan pada firman Allah yang lain yaitu yang ada dalam surah al-Baqarah ayat 228, adalah semua amalan yang dikenal oleh masyarakat umun, yang lazim dilakukan oleh semua golongan manysarakat.

Bergaul dengan patut adalah hak paling penting yang harus ditunaikan oleh suami istri. Beliau menambahka bahwa ma’ruf yang mereka lakukan harus sesuai dengan urf masyarakat kebanyakan di daerah dan tempat serta waktu seseorang. Cara berkomunikasi antara suami dan istri harus berdasarkan kebiasaan masyarakat yang bisa diterima antara kaum muslimin. Perempuan adalah amanah Allah yang ada di rumah seorang suaminya, suami harus memenuhi segala kebutuhan istrinya. Dan sebaik-baik seorang mukmin adalah sebagaimana yang dijelaskan pada sabda nabi: “Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik sikapnya kepada istrinya.”

Menurut pandangan al-Quran ma’ruf mengandung hal-hal yang harus dijalankan dan mengandung larangan-larangan yang harus ditinggalkan dan juga mengandung hukum-hukum fikih.

”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228).

Karena itu, dibutuhkan sikap toleransi dan lapang dada untuk mempermudah peran masing-masing suami dan istri dalam rumah tangga dalam membentuk keluarga yang mulia.

Yang dimaksud dengan menggauli dengan baik adalah: akhlak yang baik, lembut, bicara pelan dan tidak kasar, mengakui kesalahan dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah melakukannya.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku orang yang paling baik kepada keluargaku” juga “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Adh-Dhahhak ketika menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Swt dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Tafsir Ath-Thabari, jil. 2, hal. 466)

Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)


Contoh-contoh bergaul dengan patut

Ibnu Katsir: Bergaul dengan patut adalah santun ketika berbicara dengan istri, sebagaimana Anda suka diperlakukan oleh istri anda, maka perlakukan juga istri anda sebagaimana yang anda sukai. Hubungan seksual antara suami dan istri adalah kebutuhan bersama

Qurthubi: Bergaul dengan patut adalah memberikan hak-haknya dengan sempurna: Membayar mahar, memberikan nafkah, tidak berkata-kata kasar.

Zamakhsyari dan Fahr Razi memberikan nafkah, bertutur kata yang baik merupakan misdak ma’asyirul bil ma’ruf.

Thabarsi: Memberikan nafkah, berlaku secara sopan dan berutur kata yang baik, tidak mengucapkan perkataan-perkataan yang bisa menyebabkan tersakiti hati perempuan

Syaikh Thusi: Menunaikan kewajiban-kewajiban suami atas istrinya. Termasuk kebutuhan seksual, jika suami memiliki lebih dari satu istri maka tentu harus diperhatikan keadilan diantara mereka.

Ishak bin Ammar: Dari Imam Shadiq: Apakah hak-hak istri yang jika ditunaikan bisa disebut dengan ma’asyiral bil ma’ruf? Memberikan pakaian baginya, tidak bermuka masam. Termasuk pula memenuhi kebutuhan pangan dan keperluan-keperluan merawat dan mempercantik diri. Bahkan dari riwayat Imam Shadiq ini diisyaratkan tentang mewarnai atau mengecat rambut setiap 6 bulan sekali, pakaian 4 potong setiap tahun.

Contoh-contoh yang digambarkan dalam hadis dan para mufassir ini tentu tidak bermakna pembatasan hanya pada apa yang dicontohkan di atas, namun urf dan kebiasaan masyarakat pada saat dan di mana ia hidup juga harus diperhatikan. Bagaimana gaya hidup mereka, model makanan, dan lainnya tentunya akan berbeda-beda tergantung tempat dan zamannya. Oleh itu akan sangat baik jika bergaul dengan patut ini kita sesuaiakn dengan standar-standar yang berlaku pada masyarakat dan zamannya.

Batasan-batasan makna ma’ruf dan parameter-parameter ma’ruf itu sendiri.

Batasan-batasan ma’ruf adalah suatu perbuatan itu memiliki sisi kebaikan, sesuai dengan jiwa manusia, terdapat ketengan di dalamnya, terdapat keseimbangan antara akli dan syar’ dan ketaatan sebagai kebalikan dari munkar yaitu kemaksiatan. Ringkasnya, ma’ruf adalah segala perbuatan yang bisa diterima oleh akal dan syara’.

Terkait dengan parameter ma’ruf, apakah akal ataukah urfi? Maka harus dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh suami bisa diterima oleh istri dan tida berlawanan dengan urf (kebiasaan masyarakat pada masa dan waktu tertentu), dalam hal nafkah, maka harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana ia tinggal, memperhatikan kedudukan keluarga artinya apabila suami dan istri berasal dari golongan yang memiliki kedudukan dalam masyarakat cara memperlakukannya tentu berbeda dari kalangan keluarga menengah.

Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa ma’ruf segala sesuatu yang dikenal masyarakat dan tidak ditolak. Karena ma’ruf berkaitan dengan mu’asyirat yang merupakan bab mufa’alah maka kedua belah pihak pada dasarnya harus melakukan mu’asyarah bil ma’ruf. Dalam ajaran agama Islam, laki-laki dan perempuan dua manusia yang memiliki kedudukan yang sama dalam masyarakat. Masyarakat memerlukan kehadiran perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan kalangan perempuan sendiri.

Suami akan memiliki sikap yang welas asih terhadap istrinya dan sebaliknya istrinya juga memiliki sikap rahmah dan hormat kepada suaminya yang akan menghasilkan hubungan timbal balik yang seimbang. Jika ada permasalahan yang dijumpainya, keduanya saling memuliakan, keduanya akan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Jika keadaan rumah tangga sudah demikian,maka Allah akan memberi banyak karunia kepada keluarganya.

(ICC-Jakarta/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Metode Ahlulbait as Dalam Mendidik Pengikut Setia


Imam Al-Baqir a.s. berkata: “Demi Allah, kita tidak memiliki keterlepasan dari Allah SWT. Namun, tidak juga ada qarabah (kekeluargaan) antara kita dengan Allah. Kita juga tidak memlliki hujjah (argumentasi atas kebaikan yang telah kita lakukan untuk Allah SWT, penj). Allah tidak didekati kecuali dengan ketaatan. Untuk mereka yang taat di antara kalian, wilayah (kepemimpinan) kami akan berguna baginya. Mereka yang membangkang, wilayah kami tak berguna baginya”

Para Imam Ahlul-Bait sangat memperhatikan kualitas sahabat, pengikut, dan murid-murid yang mereka didik dari sisi akidah, akhlak, hukum-hukum, serta pemahaman mereka tentang agama.

“Aku sangat membenci jika ada seorang meninggal, sementara ada perkara dari Rasul SAWW yang belum ia laksanakan”.

Para Imam Ahlul-Bait sangat memperhatikan kualitas sahabat, pengikut, dan murid-murid yang mereka didik dari sisi akidah, akhlak, hukum-hukum, serta pemahaman mereka tentang agama.

Mereka mengarahkan yang demikian demi mewujudkan manusia muslim seutuhnya seperti yang dikehendaki oleh kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya SAWW; agar manusia dapat menggenggam obor hidayah dan ajakan menuju Islam; dapat menyinari manusia-manusia lain, dengan sinar ilmu dan amal; memimpin, untuk kembali memegang erat hukum-hukum Allah SWT.

Sehingga terwujud sebuah arus Islam bangkit untuk mengubah dan melakukan perbaikan sosial, setelah periode ketika oknum-oknum tertentu telah beraksi sewenang-wenang dalam merusak dan menyelewengkan agama.

Kita dapat melihat dengan jelas hakikat ini dalam sikap dan akhlak mereka, as. Itu dapat kita lihat pada wasiat, pesan, dan pendidikan ~misalnya Abi’l Ja’far Muhammad Al-Baqir a.s.terhadap murid-muridnya. Beliau menepis subhah yang muncul pada zaman beliau yang menyatakan bahwa cukuplah kecintaan terhadap AhlulBait as. bagi seorang muslim. Ia tidak perlu lagi mengerjakan kewajiban dan taklif yang ada.

Beliau menjelaskan standar yang sesungguhnya menjadi ajaran Ahlul-Bait as. bahwa umat Islam wajib mengikuti mereka dijalan itu. Jalan itu adalah jalan ilmu, akidah akhlaq, dan penerapan apa yang dihidangkan oleh Al-Qur‘an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAWW.


Imam Al-Baqir a.s., menjelaskan demikian:
“Demi Allah, kita tidak memiliki keterlepasan dari Allah SWT. Namun, tidak juga ada qarabah (kekeluargaan) antara kita dengan Allah. Kitajuga tidak memlliki hujjah (argumentasi atas kebaikan yang telah kita lakukan untuk Allah SWT, penj). Allah tidak didekati kecuali dengan ketaatan. Untuk mereka yang taat di antara kalian, wilayah (kepemimpinan) kami akan berguna baginya. Mereka yang membangkang, wilayah kami tak berguna baginya”

‘Amr bin sa’id bin Hilal meriwayatkan:
“Kukatakan kepada Abi Ja’far:
“Semoga aku dijadikan jaminan bagimu. Sesungguhnya aku tidak akan melihatmu kecuali dalam beberapa tahun. Maka, berpesanlah kepadaku, niscaya aku laksanakan pesanmu itu”.

Beliau berkata:
“Aku wasiatkan kepadamu ketakwaan kepada Allah, wara’ (menjauhi hal yang subhat) dan ijtihad (berusaha mencari ilmu agama). Ketahuilah, tanpa ijtihad, wara’ tiada berguna”

Imam J a’far bin Muhammad ash-Shadiq berpesan kepada salah seorang sahabat beliau bemama aba Usamah. Kami membawakan cuplikan dari pesan tersebut:
“..Maka, bertakwalah kepada Allah. Jadilah kalian hiasan (bagi kami Ahlul-B ait), bukan corengan. Sambungkanlah kepada kami segala rasa kasih sayang. Iauhkan dari kami segala keburukan. Tidak semua yang diucapkan tentang kami, (kami) seperti itu adanya. Bagi kami, terdapat hak dalam kitab Allah. Kami berkeluarga dengan Nabi SAWW.

Kami disucikan oleh Allah. Baik dan bersih kelahiran kami. Tiada yang mengaku seperti itu selain kami, kecuali pendusta Perbanyaklah mengingat Allah, mengingat kematian, membaca Al-Qur’an, dan bershalawat atas Nabi SAWW. Sesungguhnyabagi setiap shalawat atas Nabi, ada sepuluh hadanah”.

Imam Ash-Shadiq a.s., berpesan kepada seorang sahabat bernama Ismail bin Ammar:
“Aku berpesan kepadamu tentang ketakwaan kepada Allah SWT, wara’, kejujuran dalam bertutur mengembalikan amanat, beretika dengan tetangga, dan memperbanyak sujud. Tentang itulah Muhammad SAWW memerintah kami”.

Hisyam bin Salim berkata: “Aku mendengar Aba ‘Abdillah berkata kepada Hamran:
“Lihatlah ke arah mereka yang berada di bawahmu. J angan engkau melihat mereka yang berada di atasmu. Itu akan menyebabkan engkau merasa cukup (qand ‘ah) dengan apa yang telah dibagikan untukmu. Itu juga mengurangi rasa ingin meminta tambahan dan’ Allah SWT. Ketahuilah, amalan bersambung yang didasari keyakinan lebih baik dari amalan bersambung yang tidak didasari keyakinan.

“Ketahuilah, tiada wara’ yang lebih berguna dari pada menjauhi apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah SWT dan menjauhi penganiayaan terhadap muslim’m, atau mengumpat mereka Tiada hal lebih layak diucapkan kecuali dengan akhlak yang balk. Tiada harta lebih bermanfaat dari pada perasaan cukup dengan sedikit yang sudah mencukupi, Dan, tiada kebodohan lebih pahit dari pada ujub”.

Imam Shodiq meriwayatkan dari Rasulullah saww tentang sifat orang-orang beriman:
“Orang beriman adalah orang yang keburukannya membuat ia sedih, sementara kebaikannya mebuat ia senang”.,

Ahlul-Bait ingin mewujudkan dan mengembangkan sifat-sifat ini pada masing-masing orang Islam. Inilah standar mereka dalam mendidik masyarakat muslim Inilah ajakan mereka bagi umat Muhammad SAWW, yaitu komitmen terhadap Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAWW.

Lalu, apakah yang menahan seorang muslim hingga tidak mau benaung di bawah panji mereka, mengikuti pesan mereka, atau mendengarkan peringatan mereka?


Referensi:

Buku “Ahlulbait, Nama-nama yang terlupakan: Telaah atas Fenomena, Metode dan Posisi Kesejahteraan Keluarga Nabi Muhammad saww” oleh Lajnah At Ta’lif Muassasah Al-Balagh

(Syiah-Menjawab/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mencetak Anak Hafidz Al-Qur'an Sejak Dalam Kandungan


Profesor Kathy Hirsh-Pasik, Kepala Laboratorium Bahasa Bayi di Universitas Temple di Philadeplhia, mengatakan, “Proses pertama perkembangan bahasa terjadi ketika bayi masih dalam kandungan, karena mereka mendengar pembicaraan ibunya, ” masih kata beliau “bayi kadang-kadang dapat mengingat beberapa kata yang mereka dengar”.

Sebagaimana fakta yang kita ketahui bahwa bayi yang masih dalam kandungan dapat mendengar suara yang ada disekitarnya. Proses pembentukan indera pendengaran bayi dimulai saat janin berusia 8 minggu. Pembentukannya terus berkembang sampai usia janin berusia 24 minggu, dan saat usia janin 25 minggu ia sudah bisa mendengar suara-suara yang ada disekitarnya termasuk suara kedua orang tuanya. Maka dianjurkan bagi kedua orang tuanya untuk mulai berkomunikasi pada bayinya walaupun masih satu arah. Dan saat inilah proses pembelajaran bahasa pada bayi untuk pertama kalinya, Para peneliti berpendapat kemampuan bahasa pada bayi mulai berkembang sejak mereka masih di dalam rahim. Profesor Kathy Hirsh-Pasik, Kepala Laboratorium Bahasa Bayi di Universitas Temple di Philadeplhia, mengatakan, “Proses pertama perkembangan bahasa terjadi ketika bayi masih dalam kandungan, karena mereka mendengar pembicaraan ibunya, ” masih kata beliau “bayi kadang-kadang dapat mengingat beberapa kata yang mereka dengar”.

Selain mengajak bayi berkomunikasi, mendengarkan musik klasik pada janin juga dianggap baik oleh orang-orang barat karena mampu meningkatkan kecerdasan anak. Tapi mereka masih bingung mencari komposisi yang pas dari musik klasik yang bagus untuk perkembangan otak anak. Dan alhamdulillah, kita sebagai muslim tidak perlu bingung mencari musik klasik yang pas tersebut karena kita telah mempunyainya, Al Qur’an, mu’jizat terbesar umat Islam. Dan Ternyata mendengarkan Al-Quran Lebih mencerdasan anak dibanding mendengarkan musik klasik. Inilah hasil penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. Nurhayati dari Malaysia yang mengemukakan hasil penelitian ini dalam sebuah seminar konseling dan psikoterapi Islam. Setiap suara atau sumber bunyi memiliki frekuensi dan panjang gelombang tertentu. Dan bacaan Al Qur’an yang dibaca dengan tartil yang bagus dan sesuai dengan tajwid memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang mampu mempengaruhi otak secara positif dan mengembalikan keseimbangan dalam tubuh.

Sedangkan mendengar musik klasik oleh janin yang dianggap bisa meningkatkan kecerdasan anak mulai diragukan kebenarannya, karena penelitian terbaru ini yang dilakukan oleh Jakob Pietschnig, Martin Voracek dan Anton K. Formann dari University of Vienna, Austria dalam riset mereka yang diberi judul Mozart Effect mengemukakan kesalahan besar dari hasil penelitian musik yang melegenda ini. Pietschnig dan kawan-kawannya mengumpulkan semua pendapat dan temuan para ahli terkait dampak musik Mozart terhadap tingkat intelegensi seseorang. Mereka membuat riset yang melibatkan 3000 partisipator, hasil penelitiannya adalah tidak ada stimulus atau sesuatu yang mendorong peningkatan kemampuan inteligensi seseorang setelah mendengarkan musik Mozart. Hal yang sama juga diungkapkan oleh tim peneliti dari Jerman yang terdiri atas ilmuwan, psikolog, filsuf, pendidik, dan ahli musik juga mengadakan penelitian yang serupa, mereka mengumpulkan berbagai literatur dan fakta mengenai efek mozart ini. Dan hasil penelitiannya adalah sangat tidak mungkin mozart dapat membuat seorang anak menjadi jenius.

Saatnya kita kembali pada Al Qur’an. Selain mendengarkan bacaan Al Qur’an baik untuk perkembangan otak janin, juga sebagai pembiasaan terhadap anak agar terbiasa mendengar Al Qur’an sehingga anak nantinya dalam usia dini mampu menghafal Al Qur’an dengan mudah. Nah, disinilah kunci untuk menjadikan anak-anak kita para hafidz Al Quran pada usia sedini mungkin, karena hafalan anak pada usia dini akan terekam kuat dan melekat pada otak sehingga mereka tidak akan mudah lupa apa yang telah dihafalnya.

Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mulai mendengarkan bacaan Al Qur’an kepada anak sejak dalam kandungan. Yang pertama, membacakan secara langsung dekat ke arah perut sang ibu. Mulailah dengan surat-surat pendek, bacalah secara tartil dan perlahan serta diulang-ulang sebanyak tiga kali. Kegiatan ini bisa dilakukan secara bergantian dengan sang ibu, lakukanlah secara rutin dan bertahap. Untuk lebih mempermudah, aturlah jadwal yang disepakati bersama antara ayah dan ibu. Bacalah dengan sungguh-sungguh seolah-olah kita mengajari anak membaca Al Qur’an, karena ini adalah madrasah yang pertama bagi sang anak. Selanjutnya, kita bisa menggunakan rekaman mp3 murattal Al Qur’an dari para syaikh atau qori’ ternama. Pilihlah murattal yang dibaca secara perlahan, aturlah volume suaranya agar tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lemah. Putarlah sesering mungkin, terutama saat setelah shalat atau saat hendak tidur.

Dan yang tidak kalah pentingnya untuk menjadikan anak kita hafidz Al Qur’an adalah adanya niat dan azam yang kuat dalam diri sang ayah dan ibu untuk menjadikan anaknya hafidz Al Qur’an, disertai dengan doa kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menurunkan Al Qur'an. Interaksi dengan Al Qur’an juga hendaknya dibangun secara intens terlebih dahulu oleh kedua orang tua, melazimkan tilawah, membaca tafsirnya, dan mengamalkan apa yang ada didalamnya menjadi sangat penting sehingga anak mendapat teladan yang nyata dari orang tuanya dan ini semakin menumbuhkan rasa cinta anak terhadap Al Qur’an.

(Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dua Pribadi Yang Menikah Dengannya Tidak Diridhai


Ia pandai dalam mengelabui orang lain, jika berbuat baik atau ramah kepada yang lainnya maka itu hanyalah tikaman yang dilancarkannya bukan karena perasaan sebenarnya.

Shabestan News Agency, ada dua macam pribadi yang jika menikah dengannya tidak mendapat ridha, dimana jika salah satu di antara mereka yang belum menikah mendapatkan dua pribadi seperti ini maka cepat-cepatlah untuk menjauhinya.

Kedua pribadi tersebut ialah dia yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain, baginya kebutuhan orang lain tidaklah penting, ia adalah orang yang tidak memiliki perasaan dan kasih sayang, menghina dan mengecilkan orang lain adalah kenikmatan baginya, ia merasa hanya dirinyalah yang berakal.

Ia pandai dalam mengelabui orang lain, jika berbuat baik atau ramah kepada yang lainnya maka itu hanyalah tikaman yang dilancarkannya bukan karena perasaan sebenarnya.

Jika ia memiliki ikatan dengan seorang perempuan maka semuanya harus sesuai dengan kehendaknya, ia tidak memiliki kasih sayang dan bahkan jika kemauannya tidak dituruti maka ia akan memukulnya, orang seperti ini tidak akan pernah punya teman dan tidak ada sedikitpun yang dinilai darinya.

Mereka adalah orang-orang yang sangat mengherankan dan perlahan-lahan dimanapun mereka berada pasti akan terlihat sifat aslinya, mereka tidak pernah bekerja dan untuk menyambung hidupnya mereka bergantung kepada orang lain, mereka memiliki angan-angan yang tinggi namun mereka tidak akan sanggup menggapainya karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Gaya Hidup Islami Dalam Keluarga


Terkadang pasangan suami istri saling mengeluhkan kekurangan pasangannya, dan mereka melakukan ini tanpa berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut.

Shabestan News Agency, keteladanan yang dipraktekkan oleh para imam suci demi tersebarnya gaya hidup Islami sungguh sangat berpengaruh. Yaitu kemampuan mendatangkan cinta dan kasih sayang melalui akhlak mulia.

Dalam kehidupan bersama antara suami dan istri harus saling memperhatikan sifat-sifat baik satu sama lainnya, jika suami Istri hanya perhatian pada sifat-sifat yang tidak layak saja maka secara tidak langsung sifat-sifat baik akan terabaikan, jika demikian maka berbagai permasalahan dan problematika akan bertambah.

Terkadang pasangan suami istri saling mengeluhkan kekurangan pasangannya, dan mereka melakukan ini tanpa berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut.

Masing-masing pasangan harus memperhatikan bahwa jangan sampai menambah keluhan kepada pasangannya, yang seharusnya dilakukan ialah harus sehidup sepenanggungan dalam meniti jalan Ilahi serta dalam menghadapi masalah yang ada.

saat ini pembahasan akhlaqul karimah di masyarakat harus dikampanyekan dengan baik, seperti menghormati kedua orang tua, penghormatan istri kepada suaminya dan menghormati orang lain, dalam masalah ini juga mengenai gaya hidup kaum wanita di masyarakat harus diperhatikan dengan baik serta dalam mengatur rumah tangganya.

Sangat disayangkan bahwasanya pada era sekarang ini beberapa di antara budaya-budaya yang keliru banyak tersebar di masyarakat kita, misalnya budaya yang tersebar di antara para ibu yang mengatakan bahwa memiliki banyak anak adalah hal yang tidak baik, hal seperti ini yang harus diperbaiki.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keluarga Faktor Terpenting Dalam Penyebaran Budaya Hijab


Tidak ada faktor yang paling besar pengaruhnya dalam penyebaran budaya hijab dan kesucian selain keluarga.

Hujjatul Islam wal Muslimin, Mas’ud Lanjarudi dalam wawancaranya dengan Shabestan News Agency tentang budaya hijab dan kesucian mengatakan bahwa keluarga merupakan faktor paling penting dalam menegakkan budaya hijab dan menjaga kesucian. Jika keluarga melakukan tugasnya dengan baik dan benar pada persoalan hijab ini maka itu akan membuahkan hasil melebihi pusat-pusat pendidikan dan pengajaran.

Dijelaskan Lanjarudi, perlunya dilakukan penjelasan tema-tema khusus terkait hijab dan kesucian ini dengan berbagai metode yang memungkinkan. Misalnya kemeterian pendidikan dan pengajaran bisa berperan dengan cara berbentuk cerita yang menjelaskan bahaya hijab tidak benar serta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Dengan medote yang berbagai macam tersebut diharapkan agar upaya menjaga hijab dan kesucian itu dapat dikampanyekan dan disebarkan.

Pengamat masalah keagamaan ini menjelaskan, pribadi-pribadi yang secara umur sama dapat memberi pengaruh langsung kepada sesamanya mengingat kesamaan tersebut. Dengan itu, penyebaran budaya hijab itu dapat dijadikan contoh teladan oleh perempuan-perempuan lainnya.

Lanjarudi menambahkan bahwa media massa dan media sosial juga memiliki pengaruh besar dari menyebar dan mengkampanyekan masalah ini, terutama radio dan televisi. Jika media-media ini melakukan tugasnya dengan benar maka itu akan berpengaruh dalam upaya menjaga hijab dan kesucian tersebut.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keluarga Mahdawi Terbentuk Dari Ketakwaan dan Ketenteraman


Jika ayat “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” diaplikasikan ke dalam keluarga, maka kehidupan mereka akan bisa saling menenteramkan.

Seorang pakar permasalahan keluarga dan mahdwiyat, Hujjatul Islam Ali Shaduqi, saat menjelaskan ciri-ciri keluarga mahdawi beliau mengatakan bahwa jika seharusnya pembahasan keluarga dianalisa dan diteliti dengan serius, maka seudah sepatutnya kita memiliki rangkaian sumber-sumber yang dengan sanad-sanad sumber tersebut kita bisa memaparkan analisa yang baik sehubungan dengan keluarga.

Menurutnya, di samping sumber-sumber tersebut kita juga harus mendeskripsikan parameter tersebut yang berfungsi sebagai tolak ukur kita untuk membantu dalam mengevaluasi keluarga.

Dalam agama kita meyakini bahwa dalam keluarga memiliki nilai-nilai khusus di dalamnya, dimana ketika laki-laki dan perempuan menikah maka harus mencari 3 tujuan dasar, yaitu menenangkan, melengkapi dan mendidik, jelas Hujjatul Islam Shaduqi.

Yang pertama ialah “menenangkan” bermakna ketenteraman, dimana sehubungan dengan ini Al-Qur’an Karim mengatakan “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya”, ketenteraman ini bisa didapat dengan mengikuti jalan-jalan Allah swt dan dengan kita meminta juga kepada Allah swt supaya membalikan hati kita ke arah yang bernilai.

Yang kedua ialah “melengkapi”, yakni maksudnya ialah sepsang suami istri harus bisa saling melengkapi, sebagaimana Al-Qur’an mengatakan “perempuan adalah pakaian untuk laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian untuk perempuan”, yakni laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai pakaian bagi masing-masing.

Dan yang ketiga dari tujuan pernikahan ialah “mendidik”, namun tidak bermakna mempelajari ilmu pengetahuan, akan tetapi bermakna sebuah kehidupan yang akan dibentuk harus memiliki tujuan dan hasil yang baik, yakni anak-anak yang saleh dan salehah, oleh karena itu orang tua yang baik akan dapat mendidik anak-anaknya dengan baik, pungkasnya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

5 Hal Yang Ternyata Memicu Pertengkaran Dalam Rumah Tangga

Ilustrasi suami istri bertengkar. (Foto: Merdeka.com/shutterstock.com/Creativa)

Pertengkaran dalam sebuah rumah tangga memang tidak dapat dihindari. Baik suami maupun istri pasti pernah sama-sama menjadi pemicu api perdebatan di dalam rumah. Pertengkaran bisa jadi merupakan bumbu untuk kehidupan asmara pasangan, namun bukan berarti dia tidak bisa membawa kehancuran juga. Berikut ini adalah beberapa hal perlu Anda waspadai yang dapat memicu pertengkaran, yang dilansir Woman's Day.


1. Komunikasi tidak langsung

Zaman sekarang komunikasi jarak jauh memang menjadi sangat mudah. Itulah yang bisa membahayakan kelangsungan rumah tangga. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim psikolog dari Oxford University membuktikan bahwa pasangan yang lebih sering berkomunikasi lewat SMS, telepon, Facebook maupun Twitter ternyata memiliki resiko lebih tinggi untuk bercerai karena keterikatan emosi yang kurang.


2. Terlalu terhanyut dalam cerita romantis di film ataupun sinetron serial

Banyak wanita yang tersihir oleh sebuah cerita film, sinetron maupun drama serial yang menghadirkan romantisme semu. Ternyata, hal ini bisa membuat mereka menjadi tidak bahagia apabila tidak mendapatkan romantisme yang sama dalam kehidupan mereka. Pendeknya, wanita yang terlalu terhanyut dalam cerita romantis fiksi bisa merasa pesimis akan cinta, meyakini bahwa tidak ada kenyataan seindah yang di layar kaca, dan akhirnya mereka pun berhenti mengusahakan kebahagiaan cinta dengan pasangannya.


3. Kurang tidur

Kualitas tidur yang buruk bisa membuat seseorang lebih mudah marah. Hal ini disebabkan oleh urat-urat yang menegang pada tubuh membuat sistem peredaran darah kurang lancar dan membuat kerja jantung jadi lebih berat. Pasangan yang tidak mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang cukup bisa jadi lebih memancing pertengkaran dalam rumah tangga.


4. Tidak pernah bertengkar

Jika memang ada perbedaan pendapat di antara Anda dan pasangan, sebaiknya hal tersebut segera dibicarakan dan dicari jalan tengahnya. Sebuah survei yang dilakukan oleh Michigan University menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan yang jarang bertengkar malah banyak menyembunyikan rahasia dari satu sama lain. Pasangan yang memilih untuk hidup adem-ayem selalu ternyata menyembunyikan lebih banyak unek-unek agar cekcok tidak terjadi.


5. Meminta maaf tanpa menyelesaikan masalah

Tiap kali salah satu dari Anda melakukan hal yang mengecewakan bagi yang satu sama lain, meminta maaf saja tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, bagaimana jalan keluarnya? Anda berdua harus mau berkompromi untuk kebahagiaan bersama, misalnya dengan berusaha mengubah kebiasaan buruk masing-masing yang mengganggu.

Jangan sampai Anda terlalu fokus pada diri sendiri dan mengesampingkan apa yang dirasakan pasangan, ya.

(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengatasi Pertengkaran Suami Istri


Di dalam perjalanan berumah tangga, terkadang muncul berbagai konflik atau perbedaan kepentingan yang memicu pertengkaran. Pertengkaran kecil yang bisa diatasi dengan segera, tentu baik sebagai bumbu romantika keluarga. Namun bila masalah yang ada tetap muncul dan kekesalan menumpuk dalam diri suami-istri, justru akan memicu masalah yang lebih besar di kemudian hari. Berikut ini adalah beberapa teknik untuk menghadapi konflik dan pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga.


Tenangkan Pikiran

Ketika terjadi sebuah pertengkaran, pikiran seseorang akan menjadi kalut serta kacau, di saat seperti ini orang tidak akan dapat menggunakan akal sehatnya dengan baik. Dalam kondisi seperti ini, segeralah cari cara supaya tenang, jangan mengeluarkan kata-kata dalam kondisi marah, apalagi mengambil suatu keputusan. Segera ambil wudhu dan ubah posisi (dari duduk, menjadi berdiri, jalan-jalan ke kebun belakang, dll).

Tenangkan pikiran Anda, stop pertengkaran anda untuk sesaat, dan setelah tenang, diskusikan masalah yang ada dengan tenang.


Fokus Pada Masalah

Saat mendiskusikan masalah, sangat wajar bila muncul perdebatan. Jagalah agar perdebatan itu logis dan tidak melebar kemana-mana. Jangan mengaitkannya dengan hal-hal di luar masalah yang ada, apalagi mengungkit persoalan masa lalu pasangan. Memperlebar persoalan justru akan mempersulit mendapatkan solusi terbaik dari permasalahan yang sedang dihadapi.


Gunakan Cara Bicara yang Konstruktif

Dalam studi yang menguji “gaya bertengkar” dari 373 pasangan selama 16 tahun, Kira Birditt, Ph. D mengungkapkan, pola pertengkaran yang dilakukan pasangan suami istri yang usia pernikahannya lebih dari 10 tahun, adalah menggunakan “teknk konstruktif” saat berargumen (berbicara dengan tenang, mendengarkan, dan memasukkan humor di dalamnya). Artinya, pernikahan bisa langgeng (lewat 10 tahun), jika pasangan melakukan gaya bertengkar yang konstruktif saat bertengkar; tidak mengumbar emosi, apalagi berkata-kata yang tidak sepantasnya.

“Menghadapi problem adalah cara terbaik, tapi,sangat penting untuk tidak menggunakan nada meremehkan,” kata Birditt.

Contoh gaya konstruktif adalah, misalnya, suami menolak menjemput anak, padahal istri besok juga ada keperluan penting sehingga tidak bisa menjemput anak. Dalam hatinya, istri yang kesal ingin berteriak, “Kamu selalu saj mendahulukan kantor, kau egois, kamu tidak mau memahami kesulitanku!”

Tapi, ia memilih berkata tenang, “Aku tahu kamu sibuk bekerja. Aku bisa menjemput besok, tapi bisakah kamu mengantar anak di pagi hari sehingga aku bisa datang ke kantor lebih pagi, dan pulang kantor lebih cepat.” Dengan cara ini, istri tidak menyalahkan, tapi memberi saran, apa yang sebaiknya dilakukan suami

(Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Membangun Keluarga Harmonis


Dalam islam, posisi keluarga berada di bawah prinsip kesucian, kehormatan dan kemuliaan. Jadi selama posisi atau prinsip ini tidak benar dan tidak bernilai maka semuanya juga akan menjadi seperti ini.

Shabestan News Agency melaporkan dari Isfahan, madrasah Sayidah Fathimah sa menggelar pelatihan yang bertemakan keterampilan memperkuat hubungan keluarga, yang dihadiri oleh Hujjatul Islam Mehran Ghulami, ketika mendefinisikan keluarga beliau menjelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia ialah seperti segalanya untuk Allah swt, yakni dalam sifat kita seperti Allah, dan cara terbaik untuk mencapai tujuan suci ini ialah keluarga.

Pada dasarnya keluarga memiliki kesakralan yang artinya kesakralan primer dalam keluarga berdasarkan pada keyakinan terhadap Tuhan, Hujjatul Islam Ghulami juga menambahkan bahwa dalam islam, posisi keluarga berada di bawah prinsip kesucian, kehormatan dan kemuliaan. Jadi selama posisi atau prinsip ini tidak benar dan tidak bernilai maka semuanya juga akan menjadi seperti ini.

Lebih lanjut pengajar di hauzah ilmiah ini mengatakan bahwa faktor penyebab hilangnya kesakralan keluarga ialah humanisme, dan dalam hal ini humanisme dapat merubah arah tujuan.

Faktor utama penyebab perselisihan dalam keluarga adalah karena hal tersebut, dan faktor-faktor untuk memperkuat keluarga ialah hubungan antara suami dan istri, di mana ini semua kembali pada karakter sebelum menikah dan setelah menikah, jelas Hujjatul Islam Ghulami.

Di akhir pembicaraannya beliau juga menyinggung tentang berbagai kedekatan emosional antara suami dan istri merupakan salah satu bagian penting untuk memperkuat hubungan dalam keluarga.

Di antaranya ialah kasih sayang, kejujuran, saling menghias diri dan menerima keputusan, dan lain sebagainya. Dan jika semua ini dapat diterapkan dalam sebuah keluarga, maka keluarga tersebut layak disebut keluarga sejahtera, pungkasnya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

3 Dasar Penting Dalam Mendidik Anak-anak


Banyak dari para orang tua yang tidak melakukan tindakan khusus untuk mengenali permasalahan anak-anaknya, ada 3 dasar penting dalam mendidik anak-anak, yaitu pengawasan, pendampingan dan kebersamaan.

Hujjatul Islam Daud Nejad dalam sebuah pertemuan menyebut, sebagaimana “Hur” di usia 60 tahun bisa berubah, yang tadinya berada di pasukan bathil mendapat hidayah untuk berpindah ke pasukan hak.

Menurutnya, para orang tua harus memulai perubahan dari dirinya sendiri sehingga dengan sendirinya anak-anak juga akan mengalami perubahan. Ia menambahkan “para orang tua dengan melakukan tindakan adalah cara efektif untuk mengajarkan anak-anaknya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

Lebih lanjut Hujjatul Islam Daud Nejad mengingatkan, untuk mengajarkan shalat kepada anak-anak, para orang tua harus menjelaskan manisnya shalat dengan melakukan shalat juga, dan dalam permasalahan akidah jangan sampai memaksa dan menekan anak-anak, karena hasilnya menjadi tidak efektif.

Saat ini, banyak para orang tua yang tidak memahami dengan jelas permasalahan anak-anaknya. Konseling keluarga ini juga menjelaskan bahwa “menuntut kemampuan anak” merupakan salah satu kekeliruan yang hingga saat ini ada dalam pikiran kita, karena kemampuan tiap anak itu berbeda-beda, sehingga mungkin saja anak tersebut tidak mampu untuk sampai ke keinginan tersebut.
Banyak dari para orang tua yang tidak melakukan tindakan khusus untuk mengenali permasalahan anak-anaknya, ada 3 dasar penting dalam mendidik anak-anak, yaitu pengawasan , pendampingan dan kebersamaan orang tua terhadap anak-anaknya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Feminisme, Paham yang Menghilangkan Kemuliaan Peran Istri dan Ibu


Modernisasi adalah salah satu perubahan penting dan berpengaruh besar pada hak-hak wanita di barat. Modernisasi memiliki tafsir dan posisi yang baru di benak para wanita barat, namun memiliki sisi negatif dalam pandangan kemanusiaan dan agama.

Wanita di Eropa hingga sebelum abad ke 20 mengalami kondisi yang sangat buruk. Meskipun pada sekitar abad ke 17 dan seterusnya telah dimulai gemuruh hak asasi hingga dikeluarkan putusan tersebut pada tahun 1688 di Inggris, 1776 di Amerika dan 1789 di Perancis. Akan tetapi dikarenakan anggapan sosok yang hina atau bahkan bukan manusia yang disematkan pada wanita maka yang dimaksud dari hak asasi manusia disini hanyalah pria. Perihal hak asasi wanita terhadap pria pertama kali dicetuskan pada abad ke 20 yang kemudian diterapkan oleh pemerintah Eropa dan Amerika. Walaupun pada dasarnya kemuliaan manusia dalam paham barat tidak bermakna baik bagi wanita maupun pria karena falsafah dan pemikiran barat mengingkari wujud ruh dan keabadiannya serta beranggapan bahwa manusia dan hewan tidaklah berbeda. Manusia adalah hewan yang memiliki akal, tidak lebih.

Dalam wawancara dengan Hujjatul Islam wal muslimin Sayyid Ibrahim Husaini terdapat beberapa kerancuan Feminisme yaitu:

Persamaan derajat wanita terhadap pria: keyakinan ini hampir terdapat di seluruh pergerakan Feminisme akan tetapi bagaimana caranya menghilangkan perbedaan antara pria dan wanita, apakah dengan mengingkari perbedaan jenis mereka atau dengan beranggapan bahwa mereka sama tetapi berbeda.

Ikut serta dalam kegiatan sosial dan ilmiah: dengan adanya sisi negatif dalam pergerakan feminisme bukanlah alasan untuk mengingkari adanya sisi positif didalamnya. Dengan adanya perlindungan hak ini para wanita dapat ikut serta dalam kegiatan ekonomi, politik dan budaya. Akan tetapi dengan ketiadaan norma akhlak dan agama serta kesalahan pada dasar pemikiran feminisme telah menjadikan kemuliaan dan tingginya derajat wanita ternodai.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Prinsip Utama dalam Pembentukan Keluarga Mahdawi


Setiap keluarga yang memiliki tujuan besar dalam menjalani kehidupan haruslah melalui tahapan-tahapan kecil dan masalah-masalah selama prosesnya sehingga penting bagi semua keluarga untuk memahami skema dan hukum alam agar bisa melalui problema-problema kehidupan untuk mencapai tujuan yang lebih mulia.

Islam melihat sebuah keluarga adalah cabang terkecil dari masyarakat yang memiliki peranan pertama dan utama dalam pembentukannya. Keluarga adalah tempat pembentukan kasih sayang dalam masyarakat masa depan. karena itulah dalam keluarga harus ditanamkan sejak dini proses pembentukan budaya kasih sayang, pembelajaran politik, dan penerapan aturan-aturan agama yang benar.

Setiap keluarga yang ingin bisa melewati tujuan-tujuan kecil untuk sampai pada tujuan hakikinya haruslah mengetahui ushul atau aturan mendasar dalam berkeluarga sehingga setiap masalah yang dihadapi dapat segera diselesaikan dengan baik.

Hal pertama yang harus dipahami setiap keluarga muslim adalah mengetahui apakah semua permasalahan kehidupan berkeluarga hanya terbatas masalah fisik dan materi saja atau tidak? tentu saja tidak, karena keluarga muslim di zaman ini memahami bahwa masalah yang mereka hadapi tidak hanya masalah materi saja namun juga masalah spiritual atau maknawi.

Hal kedua yang harus diketahui adalah apakah penciptaan manusia dan semesta yang penuh keteraturan ini memiliki tujuan atau tidak, apakah alam semesta dan isinya memiliki pemimpin yang ditunjuk oleh penciptaya atau tidak? jika msalah masalah ini telah diketahui dan dijawab dengan benar maka sebuah keluarga telah memiliki pondasi kuat untuk melangkah pada tujuan yang hakiki.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hak Anak Kecil


Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata, "Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk perkembangannya."

Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia. Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi senyuman dan nada pembicaraan yang baik.

Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat keji.

Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.

Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.

Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri. Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, "Orang yang memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya."

Dalam hadis lain beliau bersabda, "Semoga Allah merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak."

Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia.

Di akhir pembahasan ini kita simak doa Imam Sajjad berikut ini, "Ya Allah bantulah kami dalam mendidik anak kami dengan pendidikan yang baik."

(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tanggung Jawab Ibu di Rumah; Manajemen Emosi Hingga Ekonomi


Allah Swt telah meletakkan sejumlah keistimewaan dalam karakter perempuan untuk mendidik anak dan mengelola institusi keluarga dalam bentuknya yang terbaik. Pengalaman dan studi yang dilakukan tentang masalah ini telah terbukti. Karena bila seorang perempuan menolak untuk membentuk keluarga dan reproduksi, dengan sendirinya ia lebih tidak sehat dan lebih banyak masalah, ketimbang perempuan yang membentuk keluarga dan melahirkan anak. Perempuan yang tidak memiliki anak dari sisi kejiwaan dan fisik lebih lemah dibandingkan perempuan yang memiliki anak. Bahkan perempuan yang menolak untuk menyusui anaknya sendiri tidak tampak ceria dan cenderung lebih cepat tua dan tampak rapuh.

Dengan demikian, sangat salah bila ada perempuan yang ingin memiliki sifat laki-laki dan atau tidak mau melakukan tanggung jawab alaminya. Dari sisi rasio dan sains, sangat penting setiap seseorang melakukan aktivitasnya dalam kerangka sarana yang telah diciptakan untuknya dan berusaha untuk melangkah dengan karakter dan potensi yang dimilikinya. Dengan dasar ini, berharap memiliki sifat atau menjadi laki-laki serta memiliki tanggung jawab laki-laki bagi perempuan atau sebaliknya adalah kesalahan dan dari sisi kejiwaan itu sebuah penyakit.

Masyarakat yang normal dan seimbang dapat tercipta ketika anggota masyarakat memanfaatkan potensi aslinya, bukannya menampakkan wajah palsunya, sehingga perempuan, sesuai dengan karakter dan syariat memiliki kewajiban utama dan prinsip yang lebih urgen dibandingkan kewajiban yang lain dan itu adalah mendidik anak.


Ibu dan manajemen rumah

Dalam menjalankan tugasnya mendidik anak, ibu membutuhkan lingkungan yang aman dan tenang. Lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya ini harus memiliki segala fasilitas sesuai dengan kemampuan, tidak harus berwujud kantor atau bengkel. Ibu membutuhkan suara dan kewenangan untuk mendidik anak dengan baik dan sudah pasti suara dan kewenangan ini tidak ada hubungannya dengan politik dan masyarakat.

Perempuan di lingkungan rumahnya dapat mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kebutuhan ini dan mendidik anaknya dengan penuh ketenangan. Dalam kondisi yang demikian, manajemen dan tanggung jawab rumah akan berada di tangannya. Rumah yang baik mengikuti kekuatan yang mengaturnya dan kekuatan itu ada pada perempuan. Seorang perempuan di rumah harus seorang yang kuat, memiliki hak suara dan punya pengaruh yang besar. Rumah bagi seorang perempuan merupakan wilayah kekuasaannya. Penduduk rumah ini adalah suami dan anak-anak serta siapa saja yang tinggal di sana. Seorang istri mengatur urusan rumah dengan kesucian pribadinya dan akal sehatnya, sehingga oranag yang tinggal di dalamnya tetap sehat dan bahagia.

Pengertian manajemen perempuan di rumah ini diakui oleh Islam dan dengan dasar ini, Islam memberikan perhatian serius terkait pengakuan terhadap mereka dan kemandiriannya. Sekaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Ibu menjadi kepala di rumahnya. Ia yang bertanggung jawab memimpin urusan rumah dan mereka yang tinggal di dalamnya."


Tanggung jawab ekonomi dan emosi rumah

Seorang istri menghargai kerja keras suami dengan mengatur urusan ekonomi rumah tangga. Istri berusaha mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga dengan penuh kejujuran, empati, tanggung jawab, perhitungan dan pemikiran. Upaya istri mengatur ekonomi keluarga ini dapat memperbaiki kualitas hidup dan lebih baik dalam memenej rumah.

Sekaitan dengan masalah emosional, ibu merupakan jantung sebuah rumah, simbol kasih sayang, cinta dan perasaan. Emosi ibu sangat berperan penting dalam menciptakan kebahagian anak. Emosi ibu dapat menjadi penentu kebahagiaan anggota keluarga, atau sebaliknya membuat mereka rusak, frustasi dan melakukan kefasadan. Ibu merupakan sumber keutamaan dan menjadi pelajaran nyata dari ketakwaan, pembimbing dan menguasai hati anggota keluarga. Seorang ibu mampu menyeimbangkan kepribadian anggota keluarga.


Perempuan dan kondisi umum rumah

Manajemen kondisi umum rumah merupakan bagian dari sekumpulan kewajiban perempuan. Jelas, seorang ibu akan berusaha keras untuk menciptakan lingkungan rumah yang sesuai dan dipenuhi dengan kedamaian dan keceriaan. Bila terjadi kerusuhan atau masalah di rumah, maka kesepahaman seluruh anggota keluarga dapat menyelesaikannya, sekalipun secara lahiriah masalah itu berasal dari luar rumah, tapi berhubungan dengan anggota keluarga. Di sini, ibu harus mencari solusi dan dengan ketegasan, obyektif dan kesabaran menyelesaikan masalah yang ada.

Seorang ibu membutuhkan ketenangan untuk menjaga keseimbangan kondisi rumah dan mendidik anak-anaknya dengan benar. Untuk itulah Islam memberikan pahala yang besar kepada amal ibadah perempuan yang memperhatikan masalah ini. Islam mengecualikan perempuan dari sebagian ibadah yang penting dilakukan oleh laki-laki. Dalam wasiat Nabi Muhammad Saw kepada Imam Ali as kita membaca, "Wahai Ali! Perempuan tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jumat dan jamaah, azan dan iqamah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menjadi hakim, dan urusan pernikahan."

(IRIB-Indonesia/Erfan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Islam dan Kedudukan Istimewa Ibu


Salah satu institusi sosial yang paling penting adalah keluarga. Keluarga memikul sejumlah tanggung jawab penting seperti mendidik generasi masa depan dan menyalurkan kasih sayang antar sesama anggota. Oleh karena itu, institusi keluarga perlu menyusun sebuah program yang bisa menjamin pemenuhan kebutuhan material dan spiritual anggota serta menciptakan keseimbangan di tengah masyarakat. Di antara buah penting perkawinan adalah melahirkan keturunan di dunia. Sekarang, pertanyaannya adalah siapakah sosok yang paling layak untuk membesarkan dan mendidik anak-anak?

Dalam perspektif agama Islam, pendidikan anak merupakan sebuah tugas berat dan sosok yang paling tepat untuk menunaikan tanggung jawab ini adalah perempuan. Dalam masalah ini, peran perempuan tampak lebih penting dari laki-laki. Jelas bahwa salah satu prioritas seorang perempuan adalah menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Agama Islam memiliki pandangan yang luas dan mendalam terhadap peran ibu bagi seorang perempuan, sebab Islam menilai masa depan masyarakat ada di tangan para ibu. Mereka dianggap sebagai unsur utama pertumbuhan dan kemajuan manusia di masyarakat.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Harga diri, kehormatan, kelembutan fitrah, dan kegiatan perempuan sebagai kelebihan yang ada pada perspektif Islam dalam masalah perempuan. Allah Swt telah menciptakan perempuan sedemikian rupa sehingga sebagian urusan emosi, pendidikan, dan bahkan manajemen di dalam rumah tangga hanya bisa ditangani dengan kelembutan jiwa perempuan."

Menurut Ayatullah Khamenei, penguatan pondasi rumah tangga dan penghormatan kepada perempuan di lingkungan rumah sebagai dua hal penting yang sangat mendesak dan diperlukan oleh masyarakat. Beliau menambahkan, "Seluruh anggota keluarga harus memperlakukan perempuan dengan hormat dan penuh penghargaan. Lingkungan keluarga harus dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak mencium tangan ibu mereka. Jika budaya menghormati perempuan sudah mengakar kuat, maka banyak persoalan di tengah masyarakat akan teratasi dan perempuan tidak lagi menjadi korban penindasan."

Kata ibu biasanya mengisyaratkan perhatian dan pengawasan terhadap anak-anak, pemenuhan kebutuhan material dan emosional, dan rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugas itu. Faktor utama yang membuat perempuan memikul peran sebagai seorang ibu adalah kodrat dan karakteristik fisik mereka. Menurut pandangan Islam, dari sisi penciptaan, masing-masing dari laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan yang khusus. Tapi, persepsi yang benar dalam masalah perempuan adalah dengan memandangnya sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan dan mengenal nilai-nilai mulia yang bisa meninggikan derajatnya.

Perempuan dari segi biologis memiliki potensi untuk mengandung dan menjaga janin sampai melahirkan dan kemudian memberi asupan gizi kepada bayi setelah ia lahir. Ibu tidak hanya membesarkan fisik seorang bayi, tapi juga membentuk jiwa dan psikisnya. Kondisi dan perilaku ibu pada masa-masa itu sangat berpengaruh pada karakter anak di masa sekarang dan di masa depan. Tujuan utama Islam adalah mendidik umat manusia, sementara tugas utama perempuan adalah berperan sebagai seorang ibu dan mendidik anak-anak sebelum melakukan kegiatan lain. Imam Khomeini ra mengatakan, "Tahapan pertama pendidikan adalah mendidik anak di pangkuan seorang ibu agar cinta seorang anak terhadap ibunya melebihi dari kecintaan kepada yang lain dan tidak ada cinta yang lebih tinggi dari cinta di antara keduanya."

Ibu adalah sumber yang memberi kekuatan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Seorang perempuan diciptakan memiliki karakter yang siap untuk menerima tanggung jawab mendidik anak. Motivasi keibuan yang merupakan motivasi paling lembut dan sekaligus kuat hanya diletakkan dalam diri perempuan. Itulah mengapa perempuan menjadi simbol kelembutan, kesenangan, perhatian dan, cinta bagi anak. Ibu adalah pribadi yang mewarnai kepribadian anaknya, bahkan ia pembuatnya. Perbuatan seorang ibu begitu indah sekaligus sensitif. Dengan tangannya, ia mengelus sang anak dan dengan hatinya yang penuh kasih sayang, ia menciptakan pertumbuhan dan revolusi dalam hati sang anak.

Allah Swt telah menanamkan sedikit pancaran sifat rahman dan rahim-Nya di dalam hati seorang ibu. Dengan sepercik kasih sayang itulah berbagai keajaiban terjadi. Sifat keibuan ini tercermin dalam perilaku kasih sayang dan penuh perhatian seorang ibu kepada anak dan keluarganya. Setelah melahirkan seorang anak dan menjadi seorang ibu, perempuan otomatis langsung memiliki kepedulian dan sangat memperhatikan bayinya yang baru lahir. Menurut para peneliti dari Rockefeller University di New York, nampaknya ada sebuah gen yang bertanggung jawab memotivasi para ibu untuk melindungi, memberi makan, dan membesarkan bayi yang telah dikandungnya. Gen ini disebut gen ibu atau dalam bahasa ilmiah disebut dengan ER alpha atau estrogen receptor alpha.

Pada dasarnya, proses pemberian ASI kepada bayi merupakan sebuah bentuk interaksi mesra dan penuh kasih sayang antara ibu dan anak. Perilaku dan sifat-sifat ibu akan tertular secara intensif kepada anak melalui cara ini. Oleh karena itu, Rasul Saw bersabda, "Tidak ada susu yang lebih baik bagi anak dari susu ibu." Dalam pendidikan akhlak, Islam memberi kedudukan istimewa kepada ibu dan mengingatkan manusia tentang jerih payah yang mereka tanggung sepanjang hidupnya. Surat Luqman ayat 14 berbunyi, "Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusuinya), dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."

Kasih sayang dan kehangatan tak terbatas untuk seorang bayi bersumber dari ibu. Seorang bayi senantiasa membutuhkan sebuah sumber kekuatan agar ia merasa aman, nyaman, dan kuat. Sumber itu terutama hingga tiga tahun usia balita adalah ibu. Kebanyakan pakar psikologi percaya bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh seorang anak di kemudian hari kembali pada masa-masa sebelum usia tiga tahun, khususnya jika ia hidup terpisah dari ibunya. Sebagian dari gangguan fisik dan mental anak-anak seperti, perasaan minder, penakut, dan suka menyendiri, sebenarnya berhubungan dengan ketidakamanan yang dirasakan tempo dulu. Oleh sebab itu, ibu memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian seimbang anak.

Peran penting lain seorang ibu adalah mentransfer nilai-nilai dan moralitas. Sebagian besar proses pengajaran anak terjadi dengan meniru perilaku kedua orang tuanya, terutama ibu. Orang-orang yang memiliki interaksi dengan anak, mereka akan menjadi teladan bagi anak tersebut. Anak-anak akan menyesuaikan perilakunya dengan orang-orang di sekitar mereka. Untuk itulah, kehadiran seorang ibu mendampingi anaknya akan membantu mereka untuk meraih cita-citanya di masa depan.

Pendidikan manusia sedemikian penting dalam Islam sehingga memilih seorang ibu sebagai pemain kunci dalam pendidikan itu. Islam juga memberikan kedudukan istimewa kepada kaum ibu atas segala dedikasi mereka dalam membangun sebuah masyarakat yang sehat. Ada tiga macam kepayahan yang dipikul oleh seorang ibu, pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah. Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadis, "Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi menjawab, ‘Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, ‘Ibumu!' Orang itu bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Orang tersebut masih juga bertanya, ‘Kemudian siapa lagi,' Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'"

(IRIB-Indonesia/Erfan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: