Salah satu faktor utama yang membuat langgengnya sebuah pernikahan adalah cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Contoh terbaik kehidupan seperti ini dapat disaksikan pada pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Pernikahan yang terjadi pada 1 Dzulhijjah 2 Hijriah Qamariah.
Pernikahan yang langgeng dan hakiki ketika dibangun di atas fondasi cinta dan kasih sayang. Allah Swt telah meletakkan hakikat tak ternilai bernama cinta dan kasih sayang ini dalam diri pria dan wanita.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[1]
Oleh karenanya, bila suami dan istri ingin sampai pada ketenangan, kehangatan rumah tangga dan pengokohannya, maka harus menyatakan dan menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang, agar hubungan keduanya lebih akrab dari sebelumnya. Sebaliknya, pernyataan cinta dan kasih sayang ini bakal mencegah terjadinya gesekan dan munculnya kemarahan di antara keduanya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ketika seorang hamba bertambah keimanannya, pada saat yang sama bertambah pula kecintaannya kepada istrinya.”[2]
Sekaitan dengan hal ini, Imam Ridha as berkata, “Ketahuilah bahwa wanita itu beragam dan dari mereka ada yang berupa raihan tak ternilai dan kompensasi. Wanita seperti ini sangat mengasihi suaminya dan mencintainya.”[3]
Dari penjelasan di atas, poin pentingnya adalah menyampaikan rasa cinta kepada istri. Sekalipun cinta itu urusan hati, tapi tidak boleh berhenti hanya pada rasa cinta yang terpendam dalam hati. Cinta yang ada di hati harus disampaikan baik lewat lisan atapun perilaku, sehingga hasil yang diinginkan dapat diraih.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ucapan suami kepada istrinya ‘Aku mencintaimu’ tidak akan pernah hilang dari hatinya.”[4]
Contoh paling tepat dari kehidupan penuh cinta dan kasih sayang dapat ditemukan dalam pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan dilanjutkan dengan kasih sayang dan cinta.
Dalam merajut kehidupan rumah tangganya dengan Sayidah Fathimah, Imam Ali as berkata, “Kami berdua bak pasangan merpati di sarang.”[5]
Kasing sayang dan cinta suami dan istri ini sedemikian eratnya, sehingga Imam Ali as menyebut keberadaan Fathimah mampu menenangkan hatinya. Beliau berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah marah dan membencinya dikarenakan sesuatu, sehingga Allah mengambilnya dariku. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan menentangku. Ketika aku melihatnya, maka tersingkap seluruh kegalauan dan kesedihanku.”[6]
Dalam riwayat disebutkan:
“Pada suatu pagi, Imam Ali as berkata kepada Fathimah as, ‘Apakah ada makanan?’
Sayidah Fathimah menjawab, ‘Tidak. Demi kebenaran Allah yang mengutus ayahku sebagai nabi dan engkau sebagai penggantinya! Tidak ada sesuatu di rumah. Sudah dua hari kami belum makan. Ada sedikit makanan di rumah yang kusisihkan untukmu dan anak-anak.’
Ali as berkata, ‘Wahai Fathimah! Mengapa engkau tidak memberitahuku agar aku menyiapkan makanan?’
Fathimah menjawab, ‘Wahai Abu al-Hasan! Aku malu di hadapan Allah meminta sesuatu darimu yang tidak dapat engkau lakukan.’[7]
Istri yang tidak menuntut, membantu urusan rumah, memanggil dengan penghormatan, berkorban dan lain-lain merupakan contoh lain dari cinta dan kasih sayang dari Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Demikianlah, sekalipun banyak masalah yang dihadapi rumah tangga keduanya, tapi dapat dihadapi dengan tenang. Karena rumah tangga itu dipenuhi dengan ketenangan dan keakraban yang berangkat dari cinta dan kasih sayang.
Referensi:
[1] . QS. Ar-Rum: 21.
[2] .
کُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ إِیمَاناً ازْدَادَ حُبّاً لِلنِّسَاء.
Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 228, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.
[3] .
وَ اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ شَتَّی فَمِنْهُنَ الْغَنِیمَةُ وَ الْغَرَامَةُ وَ هِیَ الْمُتَحَبِّبَةُ لِزَوْجِهَا وَ الْعَاشِقَةُ لَه.
Nuri, Husein bin Muhammad Taqi, Mustadrak al-Wasail wa Mustanbath al-Masail, jilid 14, hal 161, Moasseseh Alu al-Bait, Qom, 1408 HQ.
[4] .
قَوْلُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ إِنِّی أُحِبُّکِ لَا یَذْهَبُ مِنْ قَلْبِهَا أَبَداً.
Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq, al-Kafi, jilid 5, hal 569, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1407 HQ.
[5] .
کُنَّا کَزَوْجِ حَمَامَةٍ فِی أَیْکَة.
Meibadi, Hossein bin Moeinuddin, Diwan Amir al-Mukminin as, hal 86, Dar Nida al-Islam Lin-Nasyr, Qom.
[6] .
فَوَاللَّهِ مَاأَغْضَبْتُهَا وَ لَاأَکْرَهْتُهَا عَلَی أَمْرٍ حَتَّی قَبَضَهَا اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ إِلَیْهِ وَ لَاأَغْضَبَتْنِی وَ لَاعَصَتْ لِی أَمْراً وَ لَقَدْ کُنْتُ أَنْظُرُ إِلَیْهَا فَتَنْکَشِفُ عَنِّی الْهُمُومُ وَ الْأَحْزَانُ.
Arbali, Ali bin Isa, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jilid 1, hal 363, Tabriz, 1381 HQ.
[7] .
یَا أَبَاالْحَسَنِ إِنِّی لَأَسْتَحْیِی مِنْ إِلَهِی أَنْ أُکَلِّفَ نَفْسَکَ مَا لَاتَقْدِرُ عَلَیْهِ.
Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 330, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.
(Hajij/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)