Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS TASAWUF - IRFAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS TASAWUF - IRFAN. Show all posts

Jihad Melawan Diri


Obat terbaik menyembuhkan penyakit moral yang dianjurkan para ahli hikmah adalah memusatkan perhatian kita pada masing-masing watak buruk yang kita dapati dalam diri dan bertekad bulat melawannya selama-lamanya. Bertindak tanpa kenal lelah untuk menepis semua keinginan dan tuntutan yang didesakkan oleh semua watak keji dan hina itu. Tentunya, dalam jihad al-nafs ini (jihad melawan diri sendiri), kita seharusnya meminta bantuan kepada Allah sedemikian sehingga setan beserta pasukannya kabur dari dalam diri kita.

Sebagai contoh, salah satu penyakit moral yang dapat menghancurkan manusia, menyebabkan kesempitan alam kubur dan membuat manusia tersiksa dunia-akhirat adalah perlakuan buruk atas keluarga, tetangga, kawan-kawan dan orang-orang dekat. Jika seorang mujahid (orang yang berjihad) telah bertekad untuk memperbaiki dan meninggikan derajatnya, manakala menghadapi kejadian pahit yang membakar api amarah dalam batinnya untuk bertindak kejam dan berkata kasar, ia mesti melawan dorongan itu dengan berlaku lemah-lembut dan mengingat akibat buruk dari tindakan seperti itu.

Jika seseorang bersikap seperti ini dengan terus-menerus, menurut para ahli hikmah, ia akan mendapati dirinya berubah dan kebiasan-kebiasaan baik akan menggantikan kebiasaan-kebiasaan buruk di alam batinnya. Namun, jika ia bersikap sesuai dengan kecondongan egonya, amatlah mungkin bahwa ia akan melahap dirinya di dunia ini.

Amarah, misalnya, bahkan bisa mendorongnya untuk membunuh seseorang. Mungkin juga dengan amarah ini, seseorang nekat melawan aturan Ilahi, sebagaimana sering kita lihat adanya sebagian orang yang karena marah berani meninggalkan imannya. Para ahli hikmah mengatakan bahwa kemungkinan selamat dari amukan badai laut dalam kapal yang tiak memiliki nakhoda jauh lebih besar daripada kemungkinan selamatnya seoran yang terperangkap oleh amarahnya.

Contoh lain, bila kita termasuk orang yang suka berdebat kuris dalam forum diskusi ilmiah, sekali-kali kita bertindak yang berlawanan dengan keinginan diri kita untuk terus berdebat. Jika kita melihat pihak lain berkata benar, kita akui kesalahan kita dan benarkan pendapat pihak lain. Dalam banyak kasus, dengan cara seperti di atas, kebiasaan hina akan segara hilang dari diri kita.

Walhasil, manusia harus memusatkan perhatiannya pada masing-masing sifat burukya dan melawannya habis-habisan agar dapat lenyap dari kerajaan ruhnya. Sekali sifat yang sebenarnya asing bagi jiwa manusia itu terusir, penghuninya yang sah akan siap untuk selamanya tanpa susah-susah.

Dalam sejarah, ketika Rasul Saw melihat pasukan yang kembali dari sebuah peperangan, beliau bersabda, “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tersa bagi mereka jiad akbat.” Ketika orang-orang bertanya tentang makna jihad akbar it, Rasul Saw menjawab, “Jihad al-nafs”

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hijrah Spiritual






Semua suluk (perjalanan ruhani) sesungguhnya bertujuan menemukan mulianyaRubûbiyyah (Ketuhanan) dan hinanya ‘ubûdiyyah (kehambaan). Ini merupakan tahap awal sekaligus puncak suluk, sehingga kadar suluk setiap orang dapat diukur dengan penghayatannya atas hakikat ini. Bahkan, ukuran kesempurnaan dan kekurangan manusia terletak di sini.

Egoisme, keakuan, pengagungan dan kecintaan pada diri berbanding terbalik dengan kesempurnaan perikemanusiaan seseorang dan akan menjauhkannya dari maqam kedekatan dengan Rubûbiyyah. Sungguh, hijab yang dihasilkan dari keadaan mengagungkan dan menyembah diri ini sangatlah tebal dan gelap. Mengoyak hijab ini lebih sulit daripada mengoyak semua hijab lainnya. Bahkan, pengoyakan semua hijab lain merupakan pengantar untuk mengoyak hijab ini, lantaran pengoyakan hijab (egoisme) ini merupakan kunci induk untuk membuka alam gaib dan alam tampak (syahâdah) serta pintu utama untuk memasuki kesempurnaan ruhaniah mausia.

Selagi seorang hamba masih saja memandang pada dirinya, kesempurnaan dan keindahannya yang palsu, maka dia akan tetap terhijab dan terjauhkan dari Keindahan Mutlak dan Kesempurnaan Sejati Allah. Keluar dari penjara ini adalah syarat pertama untuk bersuluk menuju Allah. Bahkan, neraca keaslian dan kepalsuan suatu riyâdhah(pengolahan ruhaniah) terletak di sini. Maka itu, langkah yang diayunkan pesuluk dengan sikap keakuan dan pengagungan diri dalam selubung egoisme dan cinta-diri pastilah tidak akan berguna karena suluk yang demikian itu tidak akan menuju kepada Allah tetapi kembali kepada ego dan dirinya sendiri. “Sumber segala berhala ada dalam dirimu sendiri.” (Jalaluddin Rumi).

Allah SWT berfirman, “…Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh pahalanya akan tetap ada di sisi Allah…” (an-Nisa’:100).

Hijrah secara formal berarti pergi dari rumah formal menuju Ka’bah atau tempat-tempat suci para kekasih (wali) Allah, sementara hijrah maknawi (substansial) berarti pergi dari rumah diri dan tempat-tinggal dunia menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah menuju Rasul dan para wali Allah adalah juga hijrah menuju Allah. Selagi seorang pesuluk masih cenderung pada dirinya dan belum beranjak dari keakuan dan egoismenya, maka dia tidak bisa disebut sebagai seorang musafir. Selagi ikatan keakuan masih dalam menjerat pesuluk, dinding-dinding kota ego dan tapal-batas cinta-dirinya masih belum lepas dari jiwanya, maka dia secara jelas bukanlah musafir atau muhajir (pelaku hijrah) yang sebenarnya.

Siapa pun yang melangkah dengan kaki ubudiyah dan menyematkan pada ubun-ubunnya lambang kehinaan ubudiyyah pasti akan sampai kepada kemuliaan Rububiyyah. Jalan menuju hamparan hakikat Rububiyyah mesti melalui pengembaraan tingkatan-tingkatan ubudiyyah. Apabila sikap keakuan dan egoisme dalam ubudiyyah seseorang sudah terbasmi habis, maka dia akan menemukan dirinya berada dalam naungan penjagaan Rububiyyah. Setelah itu, hamba ini akan sampai pada suatu maqam dimana Dzat Yang Mahabenar akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya―sebagaimana tertuang dalam hadis yang sahih dan masyhur dalam literatur semua mazhab Islam.

Apabila seorang hamba meninggalkan seluruh campur-tangan dirinya, menyerahkan kekuasaan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengembalikan rumah-dirinya pada Pemiliknya yang sejati dan sirna (fana’) dalam kemuliaan Rububiyyah, maka Pemilik Sejati rumah-diri ini akan mengatur segala urusan dalam rumah tersebut. Dengan demikian, jadilah semua perilaku hamba itu selalu seiring dengan Perilaku Ilahi; matanya akan menjadi mata Ilahi dan dia akan melihat dengan benar (al-haqq); telinganya akan menjadi telinga Ilahi dan dia akan mendengar dengan benar. Dan setiap kali rububiyyah egoistik meningkat, kemuliaan Rububiyyah (Ilahi) dalam dirinya akan menurun. Hal itu lantaran kedua hal ini, kehinaan hamba dan Kemuliaan Tuhan, saling berlawanan. “Dunia dan akhirat itu bagaikan dua wanita yang dimadu.” (Ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib).

Dengan demikian, sudah sewajarnya seorang pesuluk berupaya keras untuk senantiasa mematrikan sifat kehinaan ubudiyyah dan Kemuliaan Rububiyyah dalam sukmanya. Semakin kuat pandangan ini terpatri dalam sukma, semakin bertambah transenden ibadah seseorang dan semakin kuat ruh ibadah memancar dalam dirinya. Selanjutnya, dengan bantuan Dzat Yang Mahabenar dan para wali-Nya yang sempurna, seorang hamba akan sampai kepada esensi ubudiyah dan memperoleh sepercik sinar rahasia ibadah yang sesungguhnya.

Maqam Kemuliaan Rububiyyah yang merupakan inti dan maqam kehinaan ubudiyah yang merupakan kulitnya terlambangkan dengan jelas dalam seluruh ibadah ritual, terutama dalam shalat yang memiliki sifat yang mencakup dan menyeluruh. Kedudukan shalat di antara semua ibadah lainnya bagaikan kedudukan seorang insân kâmil atau kedudukan al-Ism al-A’zham (Nama Teragung Allah)―dan shalat memang adalah al-Ism al-A’zham. Qunut yang merupakan kegiatan sunah dan sujud yang merupakan kegiatan wajib memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri (dalam konteks di atas). Semua itu akan kami singgung dalam pembahasan mendatang, insya Allah.

Ketahuilah bahwa sikap ubudiyyah yang mutlak merupakan tingkat kesempurnaan yang tertinggi dan maqam kemanusiaan yang teratas. Tidak seorangpun mendapatkan kedudukan ini kecuali makhluk Allah yang paling sempurna, yakni Baginda Muhammad saw dan para wali-Nya yang juga sempurna. Nabi saw menempati maqam ini secara mandiri (bi al-ishâlah), sementara para wali lain yang sempurna menempati maqam ini berkat bantuan Nabi saw (bi al-thaba’iyyah). Adapun segenap hamba selain mereka yang sudah bersimpuh dalam ubudiyyah tetap akan memiliki cacat dan kekurangan. M’iraj yang benar-benar mutlak tidak akan dicapai melainkan dengan kaki ubudiyyah semacam ini.

Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya…” (al-Isra’: 1). Kaki ubudiyyah dan tarikan Rububiyyah yang mengantarkan makhluk suci itu menuju mi’raj kedekatan dan perjumpaan dengan Allah.

Dalam tasyahud shalat yang merupakan kembalinya Nabi saw dari fana’ mutlak yang beliau alami dalam sujudnya, beliau melakukan tawajuh pada ubudiyyah sebelum bertawajuh kepada kerasulannya. Hal ini mungkin merupakan isyarat bahwa maqam kerasulan pun pada hakikatnya adalah inti dari sikap ubudiyyah. Maka Nabi pun paling suka disebut sebagai Abdullah (hamba Allah) ketimbang gelar apapun selainnya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengetuk Pintu Surga


Al-Hasan meriwayatkan bahwa, “Suatu ketika Rasul Saw. pernah memberi nasihat kepada isteri tercintanya, Aisyah ra., ‘Biasakanlah mengetuk pintu syurga. Niscaya ia akan dibukakan untukmu.’ Aisyah pun tampak kebingungan dan bertanya, ‘Bagaimana kami bisa mengetuk pintu syurga?’ Beliau menjawab, ‘dengan rasa lapar dan haus.’”

Ibn Abbas berkata, “Rasul bersabda, ‘Orang yang kenyang perutnya lalu tertidur, hatinya akan mengeras.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bagi segala sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat bagi tubuh adalah rasa lapar.’”

Dalam hadis mursal dikatakan, “Sesungguhnya setan berjalan mengikuti aliran darah anak cucu Adam; karena itu, persempitlah jalan setan itu dengan cara menahan lapar dan haus.”

Nabi Saw. bersabda, “Orang beriman makan dengan satu usus, sedangkan orang munafik makan dengan tujuh usus.”

“Perangilah nafsumu dengan rasa lapar dan haus karena sesungguhnya pahala dalam hal itu seperti pahala berperang di jalan Allah. Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah kecuali rasa lapar dan haus.”

Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Rasul, “Siapakah manusia yang paling mulia?” Dan beliau menjawab, ‘Orang yang sedikit makan dan sedikit tertawa, serta ridha dengan pakaian sederhana yang menutupi auratnya.”

Al-Hasan berkata, “Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Berpikir adalah sebagian dari ibadah, sedangkan makan secukupnya adalah ibadah penuh.’”

Umar ra. Pernah berkata, “Hati-hatilah terhadap rasa kenyang. Sesungguhnya ia merupakan beban dalam kehidupan dan sumber malapetaka setelah kematian.”

Dan, masih banyak hadis dan riwayat sahabat lainnya yang membahas tentang keutamaan menahan hawa nafsu terkait mengenyangkan perut ini.


Lantas, lapar yang bagaimana yang dimaksud Al-Ghazali?

Dalam hadis panjang yang diriwayatkan oleh Usamah ibn Zaid dan Abu Hurairah disebutkan tentang lapar yang dimaksud Rasul Saw., “Sesunggunya orang yang paling dekat dengan Allah pada Hari Kiamat adalah orang yang sering merasa lapar dan haus di dunia ini, orang yang penuh kasih sayang dan bertakwa kepada Allah—yang ketika hadir mereka tidak dikenal, dan ketika pergi tidak dicari orang. Akan tetapi, bumi mengenal mereka dan para malaikat menolong mereka. Orang lain menyia-nyiakan amal dan akhlak para Nabi, sedangkan mereka melestarikannya. Mereka tidak tergiur pada dunia laksana anjing tergiur melihat bangkai. Mereka hanya makan seperlunya saja, sekadar dapat menyambung nyawa, memakai pakaian yang sederhana. Di kalangan penduduk dunia, terkadang ia dianggap gila, dan berjalan tanpa akal, tetapi justru merekalah yang berakal ketika akal manusia lainnya hilang.”

Dalam Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, Al-Ghazali berusaha menjelaskan makna hadis tersebut.

Menurutnya, mengetuk pintu syurga bisa dilakukan dengan hal-hal yang disebutkan, seperti menahan lapar, haus, bersikap sederhana, dan berakhlak mulia laiknya Rasul.

Menahan lapar dan haus yang dimaksud adalah saat kita mampu untuk makan dan minum sepuasnya, tapi kita justru memilih untuk tidak berlebihan dan tidak melupakan kewajiban kita kepada makhluk yang lainnya. Orang-orang di sekitar yang membutuhkan bantuan. Lebih khusus, Al-Ghazali menawarkan konsep lapar ini agar kita terhindar dari bahaya kekenyangan yang akan merusak hati, pikiran juga kesehatan.

Tidak berlebihan dalam perihal mengisi perut ini dapat dijadikan cara untuk mengetuk pintu syurga, sebab lapar memiliki sedikitnya sepuluh manfaat, di antaranya:

Pertama, menyucikan hati, menajamkan kecerdasan, dan menerangi jiwa. Rasul Saw. bersabda, “Cahaya kebijaksanaan berasal dari rasa lapar. Sedangkan menjauh dari Allah diakibatkan oleh rasa kenyang, dan kedekatan kepada Allah bersumber dari rasa cinta dan sikap penyantun terhadap orang-orang miskin. Oleh karena itu, janganlah engkau makan hingga kenyang karena dengan begitu engkau telah memadamkan cahaya hikmah yang ada di dalam hatimu.”

Kedua, melunakkan hati untuk mendatangkan rasa bahagia. Abu Sulaiman berkata, “Ketika hati lapar dan haus, ia menjadi jernih dan lunak. Tapi, saat kenyang, ia menjadi buta dan keras.”

Ketiga, tumbuhnya rasa malu, sikap rendah hati, dan memunculkan rasa saling berbagi pada sesama manusia. Sebab nafsu makan yang berlebihan merupakan pintu menuju neraka. Sebaliknya, sikap rendah hati dan menjaga perut merupakan pintu menuju syurga, dan modal dasarnya adalah rasa lapar.

Keempat, tidak lupa pada cobaan dan azab Allah, dan tidak menelantarklan orang-orang yang tertimpa musibah.

Kelima, menaklukkan segala nafsu berbuat maksiat, dan mengalahkan jiwa yang senantiasa memerintah berbuat kejahatan. Aisyah berkata, “Rasa lapar adalah salah satu perbendaharaan dari sekian banyak perbendaharaan Allah.”

Keenam, mencegah rasa ingin tidur yang berlebihan.

Ketujuh, mempermudah ketekunan dan menjalankan ibadah.

Kedelapan, kesehatan tubuh dan mencegah penyakit sebagai akibat tidak berlebihan dalam mengisi perut. Harun al Rasyid berkata, “Obat yang tidak mengandung efek samping adalah tidak makan kecuali lapar dam berhenti makan sebelum kenyang.”

Kesembilan, biaya hidup yang ringan. Orang yang tidak berlebihan dalam makanan akan merasa merdeka dan tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Kesepuluh, tumbuhnya kebiasaan mendahulukan kepentingan orang lain dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Inilah yang kemudian menjadi tabungan bagi manusia yang bisa diambil kelak di yaumil akhir.

Yang terpenting, inti dari tidak berlebihan dalam mengisi perut yang dimaksud Al-Ghazali ini tiada lain adalah untuk saling berbagi dan merasakan antar sesamanya. Sebab, bukankah Islam ini berada di titik tengah–Yang berarti mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu lapar, juga tidak terlalu kenyang?

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ngaji 12 Prinsip Hidup Islami Ala Kiai Semar Badranaya


Dalam sebuah kesempatan, Kiai Mbeling Emha Ainun Nadjib pernah menegaskan bahwa tokoh sentral dalam panakawan yakni Semar, bukanlah badut sebagaimana yang selama ini terlanjur dikenal banyak orang. Dan karena Semar bukan badut melainkan justru gagasan tentang Nabi Muhammad, maka dia bukanlah sosok yang layak dijadikan bahan tertawaan, melainkan sebaliknya mesti dijadikan panutan, terutama oleh manusia Muslim Jawa.

Jika kita telusuri, baik dari cerita tutur turun-temurun maupun transkrip kuno, manusia Jawa percaya bahwa Semar adalah kakek moyang pertama atau perwujudan dari manusis Jawa yang pertama. Dialah sosok yang mengemban “tugas khusus” dari Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Maha Esa, untuk terus hadir dengan keberadaannya pada setiap saat, kepada siapa saja dan kapan saja menurut apa yang dia kehendaki.

Konon salah satu di antara sekian makna nama Semar adalah haseming samar-samar. Disebut demikian karena Semar dianggap samar wujudnya; dia berwajah laki-laki, tapi perawakannya seperti perempuan dengan perut dan dada besar. Rambutnya putih dengan kerutan di wajah, menandakan dia sudah lanjut usia, namun sebaliknya, rambutnya juga berbentuk kuncung seperti umumnya ciri khas anak-anak. Bibir Semar tampak tersenyum, tapi matanya menandakan tangis. Pakaiannya sarung kawung khas para abdi, tapi di setiap saat krusial para Ksatria Pandawa, justru dari lisannya ditunggu pitutur tingkat tinggi berupa solusi.

Selain samar wujudnya, kadang samar pula pitutur dan piwulang Kiai Semar. Konon hanya manusia berakal atau mereka yang mau berpikir menggunakan akalnya lah yang akan mampu memahami, baik secara tersirat maupun tersurat setiap tuntunan yang disampaikan, baik melalui ucapan maupun tindakannya.

Di satu sisi, para mistikus Jawa menyebut Semar sebagai lambang gelap gulita, lambang misteri, lambang ketidaktahuan mutlak, yakni ketidaktahuan kita mengenai Tuhan. Namun di sisi lain, tokoh yang di kalangan para dalang juga dikenal dengan nama Kiai Lurah Semar Badranaya atau Nur Naya ini, dipercaya sebagai pemilik cahaya tuntunan khas seorang penuntun dan pemimpin, yang berkelayakan menjalankan tugas menuntun manusia dengan cahaya ilmunya, ke jalan yang benar, sesuai kehendak Tuhan.

Di antara sekian banyak tuntunan yang diajarkan Kiai Semar, berikut ini 12 prinsip hidup yang setidaknya dapat kita kaji dan ambil manfaatnya bagi kehidupan kita sebagai manusia Jawa, sekaligus umat Islam di Indonesia.


Pertama: Eling lan bekti marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Prinsip ini mengandung maksud bahwa manusia yang sadar akan dirinya hendaknya selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk hidup dan berkarya di alam yang indah ini.


Kedua: Percoyo lan bekti marang Utusane Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah sesuai dengan ajarannya masing-masing, karena sudah pasti bahwa semua konsep para Utusan Allah tersebut adalah anjuran pada kebaikan.


Ketiga: Setyo marang Khalifatullah lan Penggede Negoro.

Prinsip ini berarti bahwa setiap manusia yang tinggal di suatu wilayah, maka sudah selayaknya bahkan berkewajiban untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang dikeluarkan oleh para pemimpinnya yang baik, benar dan bijaksana.


Keempat: Bekti marang Bhumi Nusantoro.

Prinsip ini menekankan agar setiap manusia yang tinggal dan hidup di bumi Nusantara ini wajib dan wajar unuk merawat dan memperlakukan bumi Nusantara ini dengan baik, sebab bumi inilah yang telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya.


Kelima: Bekti marang Wong Tuwo.

Prinsip ini mengingatkan setiap manusia bahwa dirinya tidak serta-merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantaraan Ibu dan Bapaknya. Maka hendaknya hormatilah, muliakanlah keduanya yang telah memelihara dan membesarkan kita dengan kasih sayang dan pengorbanan tulusnya.


Keenam: Bekti marang Sedulur Tuwo.

Prinsip ini mengajak kita agar senantiasa sadar diri untuk menghormati saudara yang lebih tua dari sisi umur dan lebih mengerti daripada kita dari sisi ilmu, pengetahuan dan kemampuannya.


Ketujuh: Tresno marang kabeh Kawulo Mudo.

Prinsip ini mengajari kita agar selalu menyayangi mereka yang lebih muda, memberikan bimbingan dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kita kepada mereka, dengan harapan yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.


Kedelapan: Tresno marang Sepepadaning Manungso.

Prinsip ini mengajarkan satu pemahaman substansial bahwa sejatinya semua manusia itu sama, meski berbeda warna kulit, bahasa, budaya dan agamanya. Maka sudah selayaknya kita hormati sesama manusia dengan kesadaran bahwa mereka semua memiliki harkat dan martabat yang sama sebagaimana halnya kita juga.


Kesembilan: Tresno marang Sepepadaning Urip.

Prinsip ini menuntun kita agar tak hanya menghormati sesama manusia, melainkan juga semua makhluk ciptaan-Nya. Sebab semua makhluk yang diciptakan Allah adalah makhluk yang keberadaannya maujud karena kehendak Allah yang Kuasa. Maka dengan menghormati semua ciptaan Allah, sama artinya kita telah menghargai dan menghormati Allah sebagai penciptanya.


Kesepuluh: Hormat marang Kabeh Agomo.

Prinsip ini menekankan sikap toleransi, dalam artian hendaknya kita hormati semua agama atau aliran kepercayaan yang ada, dan otomatis termasuk juga para penganutnya.


Kesebelas: Percoyo marang Hukum Alam.

Prinsip ini menggugah kesadaran kita bahwa selain menurunkan kehidupan, Allah juga telah menurunkan Hukum Alam sebagai hukum sebab-akibat. Maka disini berlaku kaidah alamiah bahwa barang siapa yang menanam maka dia pula yang akan menuai hasilnya. Siapa yang berbuat kebaikan, pasti akan berbuah kebaikan, sebaliknya bagi mereka yang berbuat jahat, sudah pasti akan tertimpa laknat. Inilah yang dalam kepercayaan manusia Jawa kadang disebut sebagai Hukum Karma.


Keduabelas: Percoyo marang Kepribaden Dhewe tan Owah Gingsir.

Prinsip ini menanamkan keinsyafan bahwa setiap manusia ini pada dasarnya rapuh dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah setiap diri kita menyadarinya agar dapat menempatkan diri di hadapan Allah dan selalu mendapat perlindungan dan rahmat-Nya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.

***

Itulah 12 prinsip hidup yang diajarkan oleh Kiai Semar Badra Naya kepada manusia Jawa yang hidup di bumi Nusantara. Keduabelas prinsip hidup dan ajaran adiluhung yang kesemuanya dapat dirangkum ke dalam tiga konsep hubungan universal, yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan seluruh alam semesta ciptaan-Nya.

Dengan lebih memahami 12 prinsip hidup sebagaimana telah diuraikan di atas, semoga kita semua, baik sebagai manusia Jawa, manusia Indonesia, maupun manusia beragama yang hidup di bumi Nusantara, pada akhirnya dapat saling menghormati satu sama lain, karena kita sadar bahwa begitulah hendaknya kita bersikap dalam hidup. Hidup secara baik dan benar, yang didasari penghormatan, kepatuhan dan ketaatan kita kepada Sang Pemberi Hidup.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Spiritualitas Islam Untuk Kemanusiaan Universal

Foto: nedhardy.com

“Sendainya Aku (Allah) ingin tempat, maka langit dan bumi tidak cukup untuk-Ku. Jika cukup, maka qolbunya orang mukmin adalah tempat-Ku.” (Al Hadis)

Kehadiran tasawuf menjadi pro dan kontra, dari dulu hingga kini. Di satu sisi, tasawuf dianggap sebagai obat dan pelipur bagi jiwa manusia, terlebih di tengah-tengah gersangnya kondisi era modern. Tapi di satu sisi juga tasawwuf dianggap sebagai faktor penyebab kemunduran umat islam. Bahkan, ada pula yang menganggap bahwa tasawuf sebagai biang kepasifan dan kejumudan.

Hal ini wajar, mengingat tasawuf bukan hanya berbicara tentang hal bersifat lahir, tapi juga membahas apa-apa yang tidak dapat dilihat dan hanya bisa dirasakan. Pun begitu, dengan maraknya definisi tasawwuf yang beragam, baik secara bahasa maupun istilah.

Secara bahasa, istilah yang berasal dari tiga huruf Arab ini, (sha, wau dan fa), ada yang mengartikan sebagai kesucian, safwe yang berarti orang-orang terpilih, shafwe yang berarti baris atau deret, shuffa yang berarti serambi rendah terbuat dari tanah liat, dan ada pula yang menganggap shuf yang berarti bulu domba.

Sedangkan secara istilah, Imam al Ghazali mengartikannya sebagai budi pekerti. Artinya, jika seseorang memberikan budi pekertinya, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf. Orang yang layak disebut bertasawwuf adalah mereka yang berakhlak baik kepada semua makhluk, tak terkecuali.

Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.

Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan, “orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.

Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko, “Ilmu yang denganya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.

Dan, lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah, apa fungsi tasawuf, hingga memunculkan pro dan kontra tersebut?

Sebagaimana yang dikatakan Syekh Muhammad Al-Kurdi, bahwa tujuan tasawuf sesungguhnya adalah untuk lebih dekat dengan Tuhan. Caranya pun beragam. Tasawuf hanya merupakan salah satu jalan untuk menuju-Nya

Dalam tasawuf, menurutnya ada empat tingkatan yang harus dilalui oleh sufi, sebelum dirinya benar-benar dekat dengan Tuhan, yakni tingkatan syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat.

Keempat tingkatan ini, diaminkan pula oleh KH. Said Aqil Siradj dalam kuliah umumnya di Program Studi Aqidah Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam kuliah umum yang bertema, “Tasawwuf: Spiritualitas Islam untuk Kemanusiaan Universal”, Kiai Aqil menjelaskan bahwa tasawuf, adalah menggapai kebenaran dan menghilangkan kepalsuan.

Kiai Aqil menghimbau agar umat islam tidak terjebak oleh tipu daya yang terlihat seolah-olah jihad, syiar, ibadah, namun sesungguhnya merupakan kepalsuan yang dibungkus riya.

Menurutnya, tasawuf berarti menerapkan sifat dan nilai-nilai Allah dalam kehidupan kita sehari-hari tanpa perlu adanya pemikiran panjang ketika akan melakukan tindakan. Atau seperti apa yang disebut al Ghazali sebagai akhlak.

Misalnya, sifat maha rozzak-Nya, supaya kita bisa memberikan rezeki untuk kebaikan orang lain. Sifat maha rohman, supaya kita saling mengasihi. Sifat maha ghofur, supaya kita saling memaafkan. Sifat-sifat universal-Nya, supaya kita memberikan cinta untuk semua makhluk, dan sebagainya.

Orang yang mendahulukan kepentingan Allah, maka timbal baliknya Allah akan mendahulukan kepentingannya. Itulah tasawwuf. Masih menurut Kiai Aqil, orang yang bertasawuf tidak dikuasai siapapun dan tidak menguasai siapapun. Tidak merasa benar, dan tidak menyalahkan yang lain.

Sejarah mencatat bahwa, orang yang pertama kali dipanggil sufi bukan orang ahli ibadah, bukan ahli tafsir, bukan ahli hadis, tapi Jabir bin Hayya, yakni orang yang pertama kali menggagas ilmu matematik, al Jabar. Karena perilakunya lillaita’ala. Orang yang kebaikannya tidak mau dikenal oleh semua orang.

Bahkan, untuk menentukan keputusan, ia akan minta pendapat dari gurunya, yakni Ja’far Shodiq.

Perilaku atau akhlaknya yang demikian itulah yang mengantarkannya pada sebutan sufi. Tasawuf adalah revolusi spiritual. Dari yang buruk menjadi baik, dari yang sombong menjadi tawadlu. Dari yang pemarah menjadi penyabar. Hal ini bisa terwujud dengan melalui latihan batin yang terkadang setiap orang berbeda-beda jumlah waktunya.

Oleh karenanya, untuk mencapai dekat dengan Tuhan, kita harus khusyuk. Caranya melalui maqom. Maqom pertama itu taubat. Kata taubat sebetulnya hanya sebagai redaksi. Yang menjadi dasar adalah, sikap kita terhadap Tuhan yang ingin kita jumpai tersebut. Sehingga, pertanyaan ingat Allah berapa jam, lupa Allah berapa jam dalam sehari?, patut menjadi perhatian bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan ini.

Dan, untuk mencapai maqom selanjutnya, kita harus meninggalkan penyakit merasa. Karena sebenarnya kita ini tidak ada. Hanya kita ini diadakan oleh yang ADA, jadi yang ada hanyalah yang Ada. Kita ini hanya dipinjamkan, hak guna pakai.

Sehingga, ketika Rabiah al Adawiyah mengatakan bahwa ana anta huwa itu palsu, karena yang sebenar-benarnya aku itu adalah Allah. Ketika semua manusia di muka bumi ini kembali pada yang Punya, maka ketiga panggilan itu kembali pada yang punya. La ila ha illa ana, la ila ha illa anta, la ila ha illa hu, dan yang sebenar-benarnya aku itu adalah Allah, maka kita tidak berhak menyalahkannya.

Pengalaman spiritual yang dirasakan oleh pencetus tasawuf mahabbah ini tidak menjadi jaminan kesamaan bagi para penempuh jalan sufi yang lainnya. Masing-masing mereka memiliki pengalaman tersendiri ketika mendekati Tuhan.

Orang-orang seperti Rabiah ini telah mendapatkan apa yang dinamakan, “wa ma nazala minal hak”, manzilul hak.

Sementara orang-orang yang belum mendapatkan hak dalam hatinya, berpuluh kali pergi haji, memakai sorban sepanjang apa pun, atau hafal quran sekali pun, hatinya tetap mati.

Syariat ada dan penting sebagai aturan bagi manusia agar tidak melenceng dari perintah-Nya. Orang-orang yang sudah mendapatkan manzilul hak, sudah tidak membutuhkan lagi syariat. Karena tanpa syariat pun, ia akan meninggalkan semuanya demi Dia, yang paling dicinta, seperti apa yang dilakukan Rabiah ini.

Mereka sudah takwa, fa al hamaha fuju roha wa takwaha. Mereka sudah qod tabayyana minal rusd, sudah jelas betul mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka sudah wa hadaynahunajdain. Mereka sudah tidak butuh aturan.

Itu sebabnya dalam karya hebatnya Ihya Ulumddin, Imam Ghazali berusaha mengharmoniskan antara syariat dan hakikat.

Sehingga, tasawwuf menurut Kiai Aqil adalah bagaimana caranya agar kita melakukan apa-apa yang dapat mengantarkan pada Allah. Meski Allah sangat dekat dengan kita,

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [QS. Qaaf : 16].

“Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu” [QS. Al-Waqi’ah : 85].

“Sendainya Aku (Allah) ingin tempat, maka langit dan bumi tidak cukup untuk-Ku. Jika cukup, maka qolbunya orang mukmin adalah tempat-Ku.” (Al Hadis)

Namun, pertanyaannya, sampai kapan hati kita menjadi tempat bersemayamnya kebenaran?

“Allah ada di hati kita. Maka carilah Allah dalam hatimu, jangan cari di masjid, jangan cari di ka’bah, jangan cari di Quran, jangan cari di Mekkah atau Madinah. Cukup, gunakan hatimu untuk dapat mengasihi sesama seperti halnya sifat rahman dan rahim-Nya,” pungkasnya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tarekat Rumi


Diriwayatkan, suatu hari Jalaluddin Rumi berkata kepada putranya: “Kalau orang berkata kepadamu bagaimana tarekatmu? jawab saja, tarekatku adalah sedikit makan, tarekatku adalah ‘mati’ – dalam sinar Ilahi – sebelum mati.”

Keberatan yang muncul dari ‘mati-lah sebelum mati’ kadang muncul ketika memahami kematian sebagai ketiadaan. Padahal, kematian bukan ketiadaan, melainkan perkembangan dan perpindahan; musnah dari satu tingkat untuk memulai hidup di tingkat lain.

Dengan kata lain, kematian adalah ketiadaan (non-eksistensi) relatif, yakni non-eksistensi dari satu tahap demi eksistensi di tahap lain. Manusia tidak akan mengalami kematian mutlak, tetapi hanya akan kehilangan kondisi tertentu dan berlahir ke kondisi lain.

Di sini, kesirnaan itu bersifat relatif. Misalnya, tanah yang berubah menjadi tumbuhan, tidak mengalami kematian mutlak. Tanah itu hanya mengalami kematian relatif, karena forma dan ciri khas tanah sebelumnya sebagai benda mati telah lenyap.

Namun, ia mati dari satu kondisi dan keadaan untuk beroleh kehidupan dalam kondisi lain. Dalam konteks ini, penyair sufistik Jalaluddin Rumi mengungkapkan:

Aku mati dari (keadaan sebagai) benda mati, dan berubah menjadi tetumbuhan

Aku mati dari (keadaan sebagai) tetumbuhan, dan berubah menjadi binatang.

Aku mati sebagai binatang, dan kini berubah menjadi manusia.

Kalau begitu, mengapa aku mesti takut menjadi kurang akibat kematian?

Di tahap akhir, aku akan mati dari (keadaan sebagai) manusia untuk bisa berubah mejadi salah satu sayap malaikat.

Setelah jadi malaikat, aku akan terus mencari ufuk lain.

Karena “segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah-Nya”
[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Merenung, Syarat Utama Pesuluk Ruhani


Dalam kajian tasawuf, tahapan perjalanan ruhani merupakan bagian terpenting untuk diketahui. Catatan sejarah para sufi mencerminkan beragam bahasa bahkan pandangan yang mengekspresikan hakikat perjalanan maknawi ini. Di antara syarat pertama dan utama untuk berjuang melawan diri dan berjalan menuju Allah adalah ‘tafakkur’ atau yang umum dikenal dengan ‘perenungan diri’.

Dalam artikel sederhana ini, tafakkur digunakan dalam arti meluangkan waktu, berapa pun sedikitnya, untuk merenungkan tugas-tugas kita terhadap Sang Pencipta dan Penguasa kita – yang telah menghadirkan kita ke bumi, yang telah menganugerahkan kita seluruh sarana kenikmatan dan kesenangan hidup, yang telah melengkapi kita dengan tubuh yang baik serta pelbagai daya dan indra yang sempurna untuk beragam tujuan.

Semua itu membuat akal manusia terkagum-kagum. Di samping seluruh pemberian dan rahmat tersebut, Dia juga telah mengutus begitu banyak nabi dan menurunkan kitab suci-Nya untuk membimbing dan mengajak kita agar dapat memperoleh rahmat-Nya. Maka, apa kira-kira kewajiban kita teradap Allah, Raja dari segala raja ini?

Apakah semua ini dianugerahkan kepada kita sekedar untuk melayani kehidupan hewani kita dan memuaskan nafsu dan insting kita – yang juga dimiliki oleh seluruh binatang lain -ataukah ada tujuan yang lebih tinggi?

Apakah seluruh nabi Allah, orang-orang arif, para pemikir, dan orang-orang berilmu dari setiap bangsa yang telah mengajak manusia untuk mematuhi prinsip-prinsip rasional dan hukum-hukum Allah, serta meminta manusia untuk meninggalkan seluruh kecenderungan hewaninya dan melepaskan diri dari lingkungan yang fana dan musnah ini adalah musuh-musuh manusia? Ataukah mereka yang tidak mengetahui jalan penyelamatan kita, manusia-manusia yang tenggelam dalam aneka nafsu syahwat ini?

Jika kita merenung dengan akal kita sesaat, kita akan memahami bahwa tujuan dari seluruh rahmat dan anugerah yang ditanamkan ke dalam diri kita adalah sesutu yang lain, yang lebih unggul dan lebih tinggi daripada yang tampak oleh mata. Dunia ini adalah tahap perbuatan dan tujuannya adalah wilayah eksistensi yang lebih tinggi dan lebih agung.

Eksistensi hewani yang rendah ini bukanlah merupakan tujuan itu sendiri. Seorang manusia berakal mesti menilai dirinya sendiri dan merasa sedih atas ketakberdayaan dirinya. Dengan rasa kasihan, ia seharusnya berkata kepada dirinya sendiri.

“Wahai diri yang lalai! Kau telah menyia-nyiakan saat-saat yang berharga dalam hidup singkatmu untuk mengejar keinginan duniawi dan nafsumu. Dan yang bakal kau peroleh hanyalah penyesalan dan rasa kehilangan. Kau harus menyesali perbuatan-perbuatanmu pada masa lalu di hadapan Allah dan memulai perjalanan baru ke tujuan yang telah digariskan oleh-Nya; perjalanan yang akan membawamu kepada kehidupan yang kekal dan kebahagiaan abadi.”

“Kau tidak boleh menukar kenikmatan-kenikmatan singkat ini, yang bahkan sering kali sulit diperoleh, dengan kebahagiaan abadi. Berpikirlah untuk sesaat, wahai diri yang lalai! Kau harus memikirkan keadaan manusia sejak fajar peradaban hingga masa kini. Lihat dan bandingkan penderitaan dan siksaan yang mereka terima dengan kenikmatan dan kesenangan yang mereka perolah dan kau akan melihat bahwa penderitaan dan kesakitan mereka selalu melebihi dan menghilangkan kenikmatan dan kesenangan mereka.”

“Kenikmatan dan kesenangan bukanlah untuk setiap orang dalam kehidupan ini. Orang yang mengajak dan mendorongmu untuk mengejar kenikmatan duniawi dan perolehan materiil jelas adalah salah satu dari kelompok utusan iblis dalam bentuk manusia. Dia selalu mengajak manusia untuk bergabung dengannya dalam menyukai kenikmatan-kenikmatan dan menyatakan keyakinannya terhadap jalan ini.”

“Pada persimpangan jalan ini, wahai diri, kau harus berhenti untuk sesaat dan berpikir apakah utusan iblis itu telah merasa puas dan bahagia dengan keadaannya sendiri; ataukah ini semua hanya menunjukkan bahwa seseorang yang telah terjangkiti oleh sifat buruk itu ingin menularkannya kepada orang lain”

“Wahai diri! Kau mesti memohon keridhaan Allah bagi seluruh perbuatanmu dan terus mengejar keridhaan-Nya. Berdoalah agar seluruh perbuatanmu diridhai oleh-Nya. Di antara Dia dan engkau selalu ada sepercik harapan. Harapan itu akan menjadi nyata dalam niat teguhmu untuk bertempur melawan iblis dan jiwa rendahmu. Perjuangan melawan diri ini akan mengantarmu ke tingkat yang lebih tinggi dan upayakanlah dengan seluruh kemampuanmu untuk mencapainya melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.”

Seperti dinyatakan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadist, bahwa jihad diri adalah jihad akbar yang lebih unggul dibandingkan dengan jihad berperang di jalan Allah. Dalam tahap ini, jihad akbar berarti usaha manusia untuk mengendalikan seluruh daya dan kekuataan fisiknya untuk patuh pada semua perintah Allah dan dibersihkan dari seluruh unsur setan dan kekuatannya dalam diri kita. []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tekad Berhijrah Menuju Allah


Setelah mengurai tafakkur atau perenungan diri dalam perjalanan ruhani pada artikel sebelumnya, tulisan kali ini akan membahas sedikit soal urgensi ‘tekad’ – yang dalam bahasa Arab disebut ‘azm. Seperti diketahui, sejumlah ulama juga menyatakan, bahwa kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan dasar kebebasan manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan perbedaan tingkat tekad dan kesungguhan mereka.

Dalam perjalanan ruhani, kesungguhan diperlukan untuk meletakkan fondasi bagi bagi hidup yang baik; sebuah kesungguhan untuk memberishkan diri dari dosa dan melaksanakan seluruh kewajiban; sebuah kesungguhan untuk mengganti hari-hari yang hilang akibat perbuatan dosa; dan akhirnya kesungguhan untuk bersikap sebagaimana seharusnya sikap manusia yang berakal dan beragama.

Yaitu, seseorang harus berperilaku sesuai dengan aturan hukum agama, yang akan mengakuinya sebagai manusia sejati, manusia yang berakal. Dalam perbuatan lahiriahnya, ia harus mengikuti Rasul Saw sebagai model perilakunya, pilihan-pilihannya, dan penolakan-penolakannya. Ini sangat mungkin karena setiap hamba Allah memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan teladan yang diberiakan oleh pemimpin besar umat manusia ini.

Dalam jihad diri di dunia lahir misalnya, – dan para sufi pun mengatakan – tidak mungkin seseorang menempuh jalan makrifat Ilahiah kecuali ia memulai dengan melaksanakan perintah-perintah syariat yang bersifat lahiriah . Nilai-nilai tinggi moralitas tidak akan dicapai oleh manusia kecuali jika ia terlebih dahulu melengkapi dirinya dengan pengetahuan tentang syariat dan mengikutinya dengan bersungguh-sungguh.

Tanpa mengikuti ajaran-ajaran lahiriah Islam, cahaya pengetahuan Ilahi dan kearifan dari yang gaib mustahil mencapai hatinya, serta mistari dari hukum suci Allah tidak mungkin terungkap baginya.

Tidak benar pula aggapan bahwa kelak, setalah terungkap kebenaran hakiki serta terserapnya cahaya-cahaya makrifat di dalam hati seseorang, ia akan mulai melaksanakan etika syariat yang bersifat lahiriah. Ini menyangkal klaim sebagian dari orang yang mengku-aku sebagai kaum spritualis yang mengatakan bahwa kesempurnaan batin dapat diperoleh tanpa perbuatan-perbuatan lahir.

Atau bahwa setelah memperoleh kemuliaan batiniah tidak wajib lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban lahiriyah (syariat). Kaum arif percaya bahwa pemahaman ini salah dan muncul karena ketidaktahuan tentang tingkat-tingkat ibadah dan tahap-tahap kemajuan manusia.

Karena itu, seharusnya setiap Muslim menjadi manusia yang bertekad teguh dan bersungguh-sungguh sehingga mereka tidak akan meninggalkan dunia ini sebagai orang yang tanpa kesungguhan dan karenanya dibangkitkan pada Hari Kebangkitan sebagai makhluk yang tidak berakal, bukan dalam bentuk manusia. Bukankah dunia yang lain itu adalah tempat seluruh rahasia dibukakan dan seluruh yang tersembunyi disingkapkan?

Keberanian seseorang untuk berbuat dosa akan mengubahnya sedikit demi sedikit menjadi manusia tanpa tekad dan merampas esensi kemanusiaannya yang mulia. Dengan demikian, seharusnya kita menghindari diri dari pelanggaran dan bersungguh-sungguh berhijrah menuju Allah, sedemikian sehingga tampilan lahiriah kita merupakan tampilan manusia.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Makna Ta’wil


Istilah “ta’wil” populer di kalangan masyarakat, biasanya dalam kaitan dengan “tafsir mimpi.” Tidak salah, karena secara umum arti “ta’wil”adalah makna tersirat, makna tersembunyi. Artikel berikut menjelaskan tentang salah satu makna tasawuf dan kaitannya dengan ta’wil.

Dalam sebuah hadis disebutkan, “… ajarkan kepada orang-orang makna tersembunyi (ta’wil) Al-Quran yang sulit mereka pahami. Hanya Allah yang tahu hakikat Al-Quran, dan orang-orang yang diajariNya—yakni “orang-orang yang disucikan” (al-Muthaharun) dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi’l’ilmi).” Dalam Al-Quran, Allah berfirman: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (al-muthahharun)” (QS. 56:79). Juga, pada ayat yang lain: “Dialah yang menurunkan Al Kitab kepadamu. Di antaranya ayat-ayat muhkamaat. Itulah pokok-pokok Al-Qur’an. Selebihnya ayat-ayat mutasyabihat…..” ( QS 3:7)

Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang eksplisit dan jelas maksudnya, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat merupakan firman Allah Swt yang mengandung makna tersirat, makna tersembunyi—ta’wil. “… tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fil ‘ilmi). Mereka berkata: ‘Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari Tuhan kami’. Dan tak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal….” (QS. 3:7)

Menafsirkan ayat di atas, sebagian ahli tafsir memahami al-muthahharun sebagai orang-orang yang betul-betul beriman, sedang al-rasikhun fil ‘ilmi disebut mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat. Dan itulah antara lain dasar tasawuf.

Sufi sejati adalah orang-orang yang disucikan (jiwanya) dan mendalam ilmunya sehingga diberiNya kemampuan memahami ta’wil ayat-ayatNya. Ta’wil tentu saja bukan tafsir semaunya, atau sekadar menggunakan rasio. Ta’wil berarti mengembalikan pemahaman pada makna aslinya (awwala). Yakni makna batinnya.Seperti disampaikan dalam sebuah Hadis: “Sungguh Al-Qur’an punya lahir dan batin. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis.”

Maka ta’wil berusaha mengungkap lapis-lapis makna batiniah firman-firman Allah dalam Al-Quran ini. Dan ta’wil tidak boleh bertentangan dengan makna harfiahnya—keduanya mesti sejalan. Ta’wil juga menggunakan metode mawdhu’i (tematik), muqarin (perbandingan, komparasi), bil ma’tsur (mempertimbangkan ayat lain dalam Al-Quran, Hadis,ungkapan para sahabat dan para thabiin), dan sebagainya. Tafsir Sufi, biasa juga disebut Tafsir ‘Isyari.

Menurut Imam Ghazali, tafsir ‘Isyari adalah usaha menta’wilkan ayat-ayat Al-Quran bukan dengan makna zahirnya melainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat tersebut. Tafsir ‘Isyari mencoba menggunakan isyarat-isyarat implisit al-Quran, juga isyarat-isyarat yang datang lewat mukasyafah para Sufi. Dan mukasyafah kesufian dalam bentuk ilham itu hanya datang berkat ketaatan kepada syariah, baik dalam penunaian kewajiban, akhlak mulia, serta amal-amal saleh. Wallahu a’lam bishawwab. []

Ditulis ulang dari kultwit @Haidar_Bagir, 2013

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendekatkan Diri Kepada Allah Dengan Tafakkur


Dalam kajian tasawuf, tahapan perjalanan ruhani merupakan bagian terpenting untuk diketahui. Catatan sejarah para sufi mencerminkan beragam bahasa bahkan pandangan yang mengekspresikan hakikat perjalanan maknawi ini. Di antara syarat pertama dan utama untuk berjuang melawan diri dan berjalan menuju Allah adalah ‘tafakkur’ atau yang umum dikenal dengan ‘perenungan diri’.

Dalam artikel sederhana ini, tafakkur digunakan dalam arti meluangkan waktu, berapa pun sedikitnya, untuk merenungkan tugas-tugas kita terhadap Sang Pencipta dan Penguasa kita – yang telah menghadirkan kita ke bumi, yang telah menganugerahkan kita seluruh sarana kenikmatan dan kesenangan hidup, yang telah melengkapi kita dengan tubuh yang baik serta pelbagai daya dan indra yang sempurna untuk beragam tujuan.

Semua itu membuat akal manusia terkagum-kagum. Di samping seluruh pemberian dan rahmat tersebut, Dia juga telah mengutus begitu banyak nabi dan menurunkan kitab suci-Nya untuk membimbing dan mengajak kita agar dapat memperoleh rahmat-Nya. Maka, apa kira-kira kewajiban kita teradap Allah, Raja dari segala raja ini?

Apakah semua ini dianugerahkan kepada kita sekedar untuk melayani kehidupan hewani kita dan memuaskan nafsu dan insting kita – yang juga dimiliki oleh seluruh binatang lain -ataukah ada tujuan yang lebih tinggi?

Apakah seluruh nabi Allah, orang-orang arif, para pemikir, dan orang-orang berilmu dari setiap bangsa yang telah mengajak manusia untuk mematuhi prinsip-prinsip rasional dan hukum-hukum Allah, serta meminta manusia untuk meninggalkan seluruh kecenderungan hewaninya dan melepaskan diri dari lingkungan yang fana dan musnah ini adalah musuh-musuh manusia? Ataukah mereka yang tidak mengetahui jalan penyelamatan kita, manusia-manusia yang tenggelam dalam aneka nafsu syahwat ini?

Jika kita merenung dengan akal kita sesaat, kita akan memahami bahwa tujuan dari seluruh rahmat dan anugerah yang ditanamkan ke dalam diri kita adalah sesutu yang lain, yang lebih unggul dan lebih tinggi daripada yang tampak oleh mata. Dunia ini adalah tahap perbuatan dan tujuannya adalah wilayah eksistensi yang lebih tinggi dan lebih agung.

Eksistensi hewani yang rendah ini bukanlah merupakan tujuan itu sendiri. Seorang manusia berakal mesti menilai dirinya sendiri dan merasa sedih atas ketakberdayaan dirinya. Dengan rasa kasihan, ia seharusnya berkata kepada dirinya sendiri.

“Wahai diri yang lalai! Kau telah menyia-nyiakan saat-saat yang berharga dalam hidup singkatmu untuk mengejar keinginan duniawi dan nafsumu. Dan yang bakal kau peroleh hanyalah penyesalan dan rasa kehilangan. Kau harus menyesali perbuatan-perbuatanmu pada masa lalu di hadapan Allah dan memulai perjalanan baru ke tujuan yang telah digariskan oleh-Nya; perjalanan yang akan membawamu kepada kehidupan yang kekal dan kebahagiaan abadi.”

“Kau tidak boleh menukar kenikmatan-kenikmatan singkat ini, yang bahkan sering kali sulit diperoleh, dengan kebahagiaan abadi. Berpikirlah untuk sesaat, wahai diri yang lalai! Kau harus memikirkan keadaan manusia sejak fajar peradaban hingga masa kini. Lihat dan bandingkan penderitaan dan siksaan yang mereka terima dengan kenikmatan dan kesenangan yang mereka perolah dan kau akan melihat bahwa penderitaan dan kesakitan mereka selalu melebihi dan menghilangkan kenikmatan dan kesenangan mereka.”

“Kenikmatan dan kesenangan bukanlah untuk setiap orang dalam kehidupan ini. Orang yang mengajak dan mendorongmu untuk mengejar kenikmatan duniawi dan perolehan materiil jelas adalah salah satu dari kelompok utusan iblis dalam bentuk manusia. Dia selalu mengajak manusia untuk bergabung dengannya dalam menyukai kenikmatan-kenikmatan dan menyatakan keyakinannya terhadap jalan ini.”

“Pada persimpangan jalan ini, wahai diri, kau harus berhenti untuk sesaat dan berpikir apakah utusan iblis itu telah merasa puas dan bahagia dengan keadaannya sendiri; ataukah ini semua hanya menunjukkan bahwa seseorang yang telah terjangkiti oleh sifat buruk itu ingin menularkannya kepada orang lain”

“Wahai diri! Kau mesti memohon keridhaan Allah bagi seluruh perbuatanmu dan terus mengejar keridhaan-Nya. Berdoalah agar seluruh perbuatanmu diridhai oleh-Nya. Di antara Dia dan engkau selalu ada sepercik harapan. Harapan itu akan menjadi nyata dalam niat teguhmu untuk bertempur melawan iblis dan jiwa rendahmu. Perjuangan melawan diri ini akan mengantarmu ke tingkat yang lebih tinggi dan upayakanlah dengan seluruh kemampuanmu untuk mencapainya melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.”

Seperti dinyatakan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadist, bahwa jihad diri adalah jihad akbar yang lebih unggul dibandingkan dengan jihad berperang di jalan Allah. Dalam tahap ini, jihad akbar berarti usaha manusia untuk mengendalikan seluruh daya dan kekuataan fisiknya untuk patuh pada semua perintah Allah dan dibersihkan dari seluruh unsur setan dan kekuatannya dalam diri kita. []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tiga Nasihat Sang Burung


Nasihat merupakan nutrisi yang diperlukan bagi jiwa manusia. Dengan nasihat, manusia dapat diingatkan kembali akan maksud awal yang hendak ia tuju. Tak jarang, dengan nasihat pula manusia dapat selamat dari berbagai hal yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan dirinya.

Bahkan saking pentingnya nasihat, dari jauh hari Rasul pun mengingatkan dalam sabdanya, “Agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat. Para sahabat bertanya: ‘untuk siapa ya Rasulullah?’. Rasulullah menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan untuk seluruh kaum muslimin.” (HR. Muslim)

Sayangnya, tidak sedikit orang yang hanya memandang nasihat dengan sebelah mata. Kalau pun ia dengar, hanya berlalu melewati telinga. Nasihat tidak ia renungkan secara dalam. Sehingga, tak sampai ke hati dan tak dapat membuahkan manfaat sedikit pun karenanya.

Berikut terdapat kisah sufi yang diadaptasi dari karya Fariduddin Aththar (salah seorang guru Rumi) mengenai nasihat yang dicontohkan dengan seekor burung dan si penangkapnya.

Dikisahkan pada suatu hari, ada seekor burung tertangkap oleh seorang laki-laki. Burung itu bekata kepadanya, “aku tiada berguna bagimu sebagai tawanan. Tubuhku pun kecil, tak ada guna untuk kau santap. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri imbalan dengan tiga nasihat yang berguna untuk hidupmu.”

Si laki-laki itu pun merenung. Tak ingin hewan hasil tangkapannya itu terbuang sia-sia. Tapi juga ia paham akan pentingnya nasihat bagi hidupnya. Terlebih, sang burung menjanjikan tiga nasihat yang berguna. Sia-sia juga jika tidak ia mendapatkan nasihat berguna itu, yang mungkin juga bisa mengubah hidupnya yang serbakurang.

“Lepaskan saja aku. Nasihat pertama akan aku berikan ketika berada dalam genggamanmu. Yang kedua akan kuberikan kalau aku sudah berada di cabang pohon. Dan yang ketiga ketika aku sudah mencapai puncak bukit. Bagaimana?”, burung itu membujuk.

Tak lama kemudian, si laki-laki itu pun terbius akan janji si burung. Ia setuju. Lalu ia pun menagih nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal.

Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.

Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!

Sang burung menjawab, “Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan percaya dengan hal apa pun yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.”

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sayangi Yang Ada di Bumi, Yang di Langit Akan Menyayangimu

Foto ilustrasi: britannica.com

“Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama’”– Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.” —HR. Abu Dawud dan Timidzi.

Imam al-Ghazali, atau yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i ini dikenal dunia sebagai seseorang yang alim dan taat beragama. Namanya semakin besar, ketika ia menciptakan berbagai karya tulis yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Seperti Ihya Ulumuddin, Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Misykah al-Anwar, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah; Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul, Mi`yar al-Ilm; al-Qistas al-Mustaqim, Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq, dsb.

Berkat karya-karyanya ini pula, ia mendapat kepercayaan sebagai seorang cendekiawan muslim yang komplit. Sebagai ulama besar, ahli filsafat, ahli teolog, dan bahkan dikarenakan daya ingatnya yang kuat dan bijak dalam berhujjah, ia pun mendapat gelar Hujjatul Islam. Ia sangat dihormati karena keluasan ilmunya, hingga kini.

Namun di balik totalitas al-Ghazali terhadap keilmuan dan Islam, terselip satu kisah yang unik, menggelitik, dan bermakna. Betapa tidak, dalam kisah tersebut terungkap gambaran lain seorang ahli tasawuf ini—yang konon telah mengantarkannya ke Syurga. Seorang imam besar yang terselematkan dari panasnya api neraka dikarenakan seekor lalat.

Dalam Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menuliskan kisah tersebut. Konon pada suatu ketika ada seseorang berjumpa dengan Imam al-Ghazali dalam sebuah mimpi. Lantas ia pun bertanya, “Bagaimana Allah memperlakukanmu?.”

Imam al-Ghazali pun berkisah. Di hadapan Allah ia ditanya mengenai bekal apa yang hendak diserahkan kepada-Nya. Al-Ghazali menjawab dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.

Namun, Allah menolak semua itu. Kecuali, satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat. Dan, karena lalat itu pula Imam al-Ghazali diizinkan memasuki Syurga-Nya.

Dikisahkan pada suatu hari, Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab. Hal yang lazim dalam dunia kepenulisan adalah dengan menggunakan tinta dan sebatang pena. Pena itu harus dicelupkan dulu ke dalam tinta baru kemudian dipakai untuk menulis, jika habis dicelup lagi dan menulis lagi. Begitu seterusnya.

Di tengah kesibukan menulis itu, tiba-tiba terbanglah seekor lalat dan hinggap di mangkuk tinta Imam al-Ghazali. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya itu.

Dari kisah tersebut, kita tahu bahwa betapa luas kasih sayang Imam al-Ghazali terhadap sesama makhluk, termasuk lalat yang pada saat itu datang “mengganggu” kenikmatannya dalam kegiatan menulis.

Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa tidak ada hak bagi manusia untuk menilai besar kecilnya suatu ibadah. Apa yang kita anggap kecil, belum tentu menjadi kecil pula di hadapan Allah. Begitu pun sebaliknya, apa yang dianggap sebagai nilai ibadah besar dan bernilai tinggi, belum tentu memiliki nilai besar di mata Allah. Karena ternyata, penilaian ibadah manusia sepenuhnya milik-Nya, bukan milik manusia.

Hikmah lain dalam kisah ini adalah mengenai kasih sayang yang tiada batas. Kasih sayang manusia terhadap makhluk lain, sekali pun itu hewan. Tak menutup kemungkinan kasih sayang yang dianggap sepele ini dapat menghantarkan manusia menuju ke Syurga-Nya.

Sejatinya, Imam al-Ghazali hanya mempraktikkan apa yang diperintahkan dan diteladankan Muhammad Saw, “Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama”–Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.”

Pun begitu dengan balasan yang ia peroleh akibat kebaikan yang ia tanamkan, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. 99: 7-8), dan sungguh, “Tiada balasan kebaikan selain kebaikan pula.” (Qs. Ar-Rohman: 60)

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syariat, Tarekat, dan Hakikat


Ada pandangan khas yang dianut oleh kaum arif atau sufi tentang syariat, tarekat dan hakikat. Kaum arif sepakat bahwa aturan-aturan hukum Islam didasarkan pada kebenaran dan pemikiran yang baik, yang mengimplikasikan adanya berbagai manfaat dan keuntungan.

Mereka meyakini bahwa semua jalan mengarah kepada Allah dan semua kebenaran serta pemikiran yang baik juga bergerak maju untuk sampai kepada-Nya. Pemikiran-pemikiran ini adalah sejenis tahapan-tahapan dan yang mengantar manusia menuju kedudukan kedekatan dengan Allah serta membimbing guna meraih Kebenaran.

Kaum arif meyakini bahwa sisi batiniah hukum Islam adalah jalan spiritual yang disebut tarekat (thariqah) dan ujung jalan ini adalah Kebenaran, yakni keesaan Allah dalam artian khas yang tentunya membutuhkan artikel khusus untuk mengkajinya.

Menurut mereka, posisi ini bisa dicapai hanya dengan melenyapkan ‘diri’. Kaum arif percaya pada tiga hal: syariat (syari’ah), tarekat (thariqah), dan hakikat (haqiqah). Syariat adalah sarana untuk mencapai tarekat dan tarekat adalah sarana untuk mencapai hakikat.

Jadi, syariat adalah kulit jika dibandingkan dengan tarekat, dan tarekat adalah isi. Begitu pula, tarekat adalah kulit jika dibandingkan dengan hakikat, dan hakikat adalah isi.

Dari sudut pandang para ulama fiqih (fuqaha), ajaran-ajaran Islam terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terdiri atas dasar-dasar keimanan (‘aqa’id) yang dibahas dalam teologi skolastik.

Sejauh menyangkut berbagai persoalan yang bertalian dengan dasar-dasar keimanan itu, seseorang harus mempunyai keyakinan dan keimanan yang kuat pada dasar-dasar serta ajaran-ajaran dasar ini sekurang-kurangnya secara intelektual.

Bagian lainnya dari ajaran-ajaran Islam berkenaan dengan moralitas (akhlaq). Bagian ini membahas moralitas yang baik dan buruk yang dibicarakan dalam etika. Bagian ketiga dari ajaran-ajaran Islam berkenaan dengan berbagai aturan dan kaidah hukum yang disebutkan dalam fiqih Islam.

Semua bagian dari ajaran-ajaran Islam ini berdiri sendiri satu sama lain. Dasar-dasar keimanan berkaitan dengan akal dan pemikiran; moralitas bertalian dengan berbagai kebiasaan dan kecenderungan; dan berbagai aturan serta kaidah hukum berhubungan dengan berbagai cabang dan organ dalam amalan-amalan ibadah.

Sejauh menyangkut dasar-dasar keimanan, kaum arif tidak menganggap cukup hanya dengan sekadar keyakinan intelektual semata. Mereka mengatakan bahwa perlu kirannya merenungkan kebenaran-kebenaran yang diyakini manusia dan jua melakukan sesuatu untuk menghilangkan hijab atau tirai yang menghalangi antara dirinya dengan kebenaran-kebenaran ini.

Selain itu, kaum arif tidak memandang cukup sekadar moralitas yang baik saja. Alih-alih terikat pada moralitas filosofis dan ilmiah, mereka justru menyarankan agar melakukan perjalanan spiritual yang mempunyai berbagai karakteristik yang khasnya sendiri.

Sejauh menyangkut berbagai aturan dan kaidah hukum, kaum arif tidak bertentangan dengannya. Memang ada beberapa persoalan berkenaan dengan pandangan-pandangan mereka yang bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang sudah diterima.

Kaum arif menyebut tiga komponen dalam ajaran-ajaran Islam tersebut di atas dengan syariat (syari’ah), tarekat (thariqah), dan hakikat (haqiqah). Mereka berpandangan bahwa persis seperti halnya manusia terdiri atas tiga bagian – yakni raga, jiwa dan intelek – yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan mempunyai entitas yang tersendiri, maka begitu pulalah halnya dengan syariat, tarekat, dan hakikat.

Hubungan yang ada di antara ketiganya adalah hubungan ke luar dan ke dalam. Kaum arif juga meyakini bahwa eksistensi manusia mempunyai banyak tahap dan tingkatan serta bahwa sebagian dari tingkatan ini tidak bisa dipahami oleh manusia.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syariat Menurut Para Sufi


Kehadiran Ilahi (Divine Presence) mempunyai dua sisi penampakan atau manifestasi; Jalal (keagungan) dan Jamal (keindahan). Sang Penyiksa, Pemarah, Pemberi ancaman, Pembalas, Penghancur, dan Pembuat makar (khair al-makirin) adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jalaliyyah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah.

Sementara itu, sifat Pengasih-penyayang, Lathif (lembut), Penyabar, Pemberi ampun, dan Penerima doa adalah bagian dari manifestasi sifat-sifat Jamaliyyah yang menunjukkan keindahan dan kelembutan Allah.

Menurut pada sufi, kedua sisi ini sebenarnya tak terpisahkan, keduanya sama-sama bersumber dari Zat Mahasuci yang tunggal. Akan tetapi, keindahan Allah kerap tersembunyi di balik keagungan-Nya dan demikian pula sebaliknya. Dan keseimbangan kedua sisi kehadiran Ilahi ini adalah hakikat dari keadilan Ilahi menurut pandangan para sufi.

Dalam buku Jamal al Mar’ah wa Jalaluha (Keindahan dan Keagungan Perempuan), Syeikh Abdullah Jawadi Amuli memberikan contoh “keseimbangan” ini dengan ayat-ayat tentang qishash dan difa’ (pertahanan diri). Dalam ayat itu, menurut Amuli, Allah menegaskan bahwa keagungan Ilahi tak lain ialah sisi lain dari kasih sayang dan keindahan-Nya.

Sebagai ilustrasi, Allah berfirman:

“Pada qishash itu terdapat kehidupan bagi mereka yang berakal” (QS. Al Baqarah: 179).

Dengan ayat ini Allah hendak mengatakan bahwa pelaksanaan qishash (yang merupakan manifestasi dari sifat murka Allah) sebenarnya justru untuk memelihara kehidupan umat manusia (yang merupakan manifestasi dari sifat rahmat Allah).

Eksekusi fisikal pada ruang dan waktu yang amat terbatas ini sebenarnya mengandung revitalisasi moral, mental, spiritual, dan sosial bagi segenap manusia pada rentang ruang dan waktu yang tidak terbatas. Individu yang mati tereksekusi akan menjadi sekoci penyelamat kesinambungan kehidupan sosial.

Kematian spasio-temporal individu yang membawa berkah begitu banyak ini merupakan manifestasi kasih sayang dan Keindahan Ilahi yang tiada berhingga. Amarah Allah atas terbunuhnya manusia tak berdosa ini justru membawa rahmat yang terus menerus.

Hal yang sama juga ditunjukkan pada ayat yang berkonteks perintah berperang melawan agresi musuh. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan,” (Al-Anfal: 24)

Meski tampak sebagai manifestasi Keagungan Allah, bertempur melawan para agresor itu akan diikuti dengan kedamaian di atas prinsip kebenaran, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan individual dan sosial yang merupakan manifestasi Keindahan dan kelembutan Allah.

Bagi sufi, semua perintah Allah akan selalu membawa “kehidupan” bagi manusia. Kehidupan yang tidak saja bersifat material dan fisikal, melainkan lebih utama lagi ialah kehidupan yang berifat moral dan spiritual.

Ayat yang turun pada konteks pengorbanan dan perlawanan di jalan kebenaran itu menandaskan bahwa mengikuti perintah jihad akan menjamin kehidupan manusia. Setelah melaksanakan perintah pengorbanan dan peperangan di medan tempur menghadapi kezaliman, kehidupan dan rezeki yang berlimpah akan datang tanpa henti.

Allah berfiman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al Imran 169-170].

“Hukum keseimbangan” antara amarah dan rahmat, keagungan dan keindahan, penderitaan dan kesenangan tidak hanya berlaku pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan berlaku pada semua bagian dan perintah syariat.

Karenanya, menurut para sufi, semua iradah (kehendak) terselubung dalam karahah (kebencian) dan semua isytiaq (kerinduan) terselubung dalam istila’ (keengganan). Allah berfiman:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Ayat ini ingin menekankan bahwa perang (melawan agresi musuh) yang tampak menimbulkan kerusakan, justru menyimpan kebaikan bagi umat manusia. Mengemban berbagai kesulitan dalam mengarungi kehidupan keluarga memang tampak tidak menyenangkan, tapi di dalamnya terkandung kebaikan dan kebahagiaan yang tiada tara. Allah berfiman:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa 19).

Atas dasar itu, kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an menyatakan: Sesungguhnya Allah ingin mensucikan kalian, saat memerintah wudhu, mandi dan tayammum. Ini bermakna bahwa perintah wudhu secara zahir (yang tampak) tersebut berdampak pada penyucian ruhani yang melestarikan keindahan qalbu (hati).

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

Demikian juga halnya dengan zakat. Secara material hitung-hitungan ekonomis, zakat adalah pengurangan harta. Tetapi, secara spiritual, ia adalah sumber perkembangan dan pertumbuhan harta. Allah berfiman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah: 276)

Dalam ayat lain, Allah berfiman,

“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang mendapatkan kelipatgandaan” (QS. Ar Rum: 39)

Pendek kata, menurut para arif dan sufi, seluruh taklif (perintah) Ilahi yang memberatkan dan menyusahkan itu adalah manifestasi Keagungan Ilahi yang menyimpah ihya’ (penghidupan) sebagai manisfestasi KeindahanNya.

Karena yang hakiki menurut para sufi itu adalah apa yang di sisi Allah, maka apa yang tidak mulia di sisi-Nya adalah tidak mulia sebenar-benarnya.

Anggapan para sufi-palsu (pseudosufi) bahwa meninggalkan syariat dapat mempercepat pencapaian haqiqah dengan demikian terbentah. Karena, bagi sufi sejati, syariat adalah thariqah yang sesungguhnya. Untuk mencapai haqiqah atau hakikat, unsur keseimbangan antara cinta dan amarah, benci dan sayang, derita dan senang yang terdapat dalam syariat tidak bisa ditinggalkan.

Lebih dari itu, para penempuh jalan spiritual (salik) akan merasakan kebahagiaan puncak dalam penghambaan mereka kepada Sang Kekasih. Penyair sufi terkenal dari Persia, Sa’di, menulis:

“Harta karun dan ular, bunga dan duri, kebahagiaan dan kesedihan, adalah tak terpisahkan”

Penyair sufi lain melantunkan,

Gelak tawa adalah kabar kebaikan dan rahmatnya

Tangisan adalah keluhan murkanya

Dua nada alam yang bertentangan ini

(Sama-sama merupakan) nyanyian satu Penawan hati.

Gagasan serupa terkandung dalam syair berikut:

Ibarat pancaran sinar cahaya,

terpisah dari mentari padahal tidak terpisah

Begitu pulalah alam raya,

tanda Allah padahal bukan Allah

Lihatlah pantulan kalian di sebuah kaca cermin,

bakal tampak (gambar) kalian padahal bukan kalian

Ke arah mana pun kalian mengamati, pasti akan terkuak (kehadiran) Penyaksi nan tersembunyi.

Bagaimana bisa orang bertanya,

di manakah Dia ada dan di mana Dia tiada?

Darwis, sang raja di negeri orang-orang miskin

Tampak bagai pengemis di mata orang kebanyakan

Padahal, ia bukan pengemis dalam kenyataan

Ketiadaan ini (kehidupan dunia-pen.-) muncul bagai keberadaan

Yang punya ciri keabadian dalam pandangan daku dan kalian

nyatanya ia benar-benar tidak punya keabadian.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pandangan Dunia


Tidak sulit untuk membuktikan bahwa makna kehidupan amat bergantung pada pola pikir. Pola pikir ini lazim disebut dengan pandangan-dunia, weltanshauung atau jahan-bini. Secara sederhana pandangan-dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya.

Berbagai kejadian dan peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini. Kerangka pandangan-dunia ini mirip dengan sebuah skenario yang kita tulis untuk meletakkan setiap kejadian dan fenomena dalam alur cerita yang runtut dan congruent.

Tanpa keruntutan ini, berbagai kejadian dan fenomena alam akan tampak kacau balau, membingungkan, dan tak bermakna. Tanpa pandangan-dunia yang runtut, pemahaman kita tentang dunia akan menjadi kabur, berbagai peristiwa akan tampak berdiri sendiri-sendiri, tak saling berhubungan dan karena itu tidak bisa dimaknai dengan utuh.

Orang seperti ini sebenarnya sudah bisa dikatakan menderita suatu psikosis yang disebut dengan schizophrenia. Pandangan dunia akan mempengaruhi perilaku, sikap pilihan dan tujuan hidup seseorang. Perilaku, sikap, pilihan dan tujuan, pada gilirannya akan membentuk tipe kepribadian seseorang.

Berkenan dengan tipe kepribadian itu, Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Kumail bin Ziyad sebagai berikut;

“Wahai Kumail…! Ada tiga tipe manusia di dunia: rabbani yang berilmu, orang yang senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan, atau – selebihnya- adalah orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara – yang benar maupun yang batil – dan bergoyang bersama setiap angin yang mengembus, tiada bersuluh dengan cahaya ilmu dan melindungkan diri dengan pegangan yang kukuh-kuat.”

Jika digali maknanya, rabanni ialah seorang yang benar-benar mengenal Tuhannya dan selalu taat kepada-Nya sehingga ia memperoleh karunia hikmah dan makrifat dari-Nya.

Dari ketiga tipe manusia ini, kita menemukan bahwa tipe yang pertama adalah para penempuh jalan spiritual atau sufi, tipe kedua adalah pelajar di jalan menuju keselamatan (atau orang religius), dan tipe ketiga adalah kebanyakan orang yang tidak atau kruang mempedulikan kehidupan ruhaninya.

Kita menemukan jalan hidup yang diambil oleh tipe manusia yang pertama dan ketiga amatlah berbeda, sementara perbedaan antara yang pertama dan kedua hanya pada derajatnya. Salah satu perbedaan antara sufi dan “orang kebanyakan” adalah titik pijak (stand-point) sufi dalam melihat realitas kehidupan di dunia ini.

Sufi beranjak dari ketidakpastian umur (panjang-pendek usia) manusia dan kepastian (datangnya) ajal atau kematian. Karenanya, logis dan bijaksana bila lantas mereka bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk sesuatu yang pasti (kematian) tersebut.

Memanfaatkan bahkan juga mengorbankan sesuatu yang tidak pasti (umur) untuk kebaikan sesuatu yang pasti adalah tindakan yang dibenarkan oleh akal sehat. Sebaliknya menikmati durasi kehidupan yang tidak pasti dengan cara melupakan yang pasti adalah tindakan sia-sia.

Maka itu, segenap potensi kehidupan patut dikerahkan untuk “memastikan” bahwa kelak ia akan menjemput ajal itu dengan senyuman lega dan puas. Di sisi lain, orang pada umumnya lupa pada kepastian ajal. Yang selalu diingatnya adalah kehidupan dan bagaimana membuatnya berjalan dengan penuh kenikmatan dan kenyamanan.

Entah bagaimana ia mendapatkan semua keinganan itu, yang penting baginya adalah kehidupan ini bisa dilewatinya dengan penuh kepuasan (yang tentunya semu semuanya). Hasrat-hasratnya yang sudah bercampur dengan berbagai unsur imajinatif dan fantastik itu begitu rupa membuatnya merasa aman dengan yang tidak pasti, sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan sesuatu yang pasti akan terjadi (kematian).

Sama seperti halnya sufi, orang yang demikian ini juga akan mengerahkan segenap potensinya demi kehidupan yang tidak menentu ini. Kedua pandangan dunia ini lalu mengembangkan peradabannya masing-masing.

Yang pertama mengembangkan sebuah peradaban yang boleh jadi miskin secara material dan berpenampilan lemah, tapi kaya dan kuat secara spiritual. Sebaliknya, yang kedua, mengembangkan yang tampak megah-mewah tetapi kering kerontang dalamnya.

Jenis-jenis pengetahuan dan “teknologi” yang berbeda-beda pun mempunyai pengikutnya sendiri-sendiri. Ada Renaisans yang memicu revolusi industri, imprialisme, kolonialisme, dan kapitalisme.

Revolusi industri melahirkan terobosan-terobosan dalam bidang sains dan teknologi yang mencengangkan, terutama dalam bidang teknologi pembunuh massal. Dengan bekal teknologi ini kebudayaan imperial dan kolonial merambahi planet bumi.

Tidak mustahil, seperti yang berkembang dalam wacana science-fiction mereka, pada suatu saat nanti planet-planet lain pun akan dirambahinya. Sementara itu, di sisi lain, ada perabadan profetik yang berupaya menghidupakan potensi-potensi spiritual manusia, tanpa harus mengucilkan diri di dunia.

Bagi peradaban ini, kemajuan manusia tak bersifat fisikal-material. Karena itu, semua pengetahuan dan “teknologi” yang dihasilkan oleh peradaban ini tidak untuk menciptakan individu yang kaya dan jaya secara material, melainkan individu yang kaya dan jaya secara spiritual dan batin.

Kedua peradaban ini menelurkan pelbagai “produk” yang berbeda, untuk tujuan yang berbeda pula. Misalnya, produk-produk saintifik yang dihasilkan oleh peradaban ini tidak lain kecuali untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan fisik dan material manusia.

Sebaliknya, peradaban porfetik melahirkan berbagai produk saintifik yang bisa berperan untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan spritual manusia. Begitu pula halnya dengan berbagai produk penelitian, pendidikan, hukum pemerintah dan lain sebagainya yang dihasilkan oleh kedua perabadan ini.

Dalam lanjutan nasihat untuk Kumail tersebut, Ali bin Abi Thalib lebih jauh memaparkan konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing peradaban tersebut:

“Wahai Kumail, ilmu adalah lebih utama daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hargamu. Harta akan berkurang bila kau nafkahkan, sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan. Demikian pula budi yang ditimbulkan harta akan hilang dengan hilangnya harta…

Wahai Kumail, kaum penumpuk harta-benda telah “mati” di masa hidupnya, sedangkan orang-orang yang berilmu tetap “hidup” sepanjang masa. Sosok tubuh mereka hilang, namun kenangan kepada mereka tetap di hati.”[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ajaran Tasawuf Dalam Islam Jawa


Peneliti naskah-naskah Jawa kuno, Nancy K. Florida, tidak sependapat jika dikatakan corak mistis atau umum dikenal tasawuf dalam Islam Jawa itu bersumber dari ajaran Hindu. Dari 500 naskah di Kraton Surakarta misalnya, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya adalah Islam. Ia pun mencontohkan mengenai tahapan perjalanan ruhani di Islam Jawa yang dikenal suluk.

“Suluk itu lebih kuat karena pengaruh Islam, bukan Hinduisme,” kata Indonesianis berusia 67 tahun ini ketika diwawancarai Kompas beberapa waktu lalu.

Selain itu, pengajaran tasawuf-Islam di tanah Jawa sangat kuat dan sophisticated di abad ke- 18 dan ke -19. Dari sekian banyak tema tasawuf dalam Islam Jawa, Nancy mengaku tertarik pada konsep penyatuan badan dan jiwa.

Pada periode Kerajaan Islam Mataram, konsep penyatuan juga dikenal dalam istilah tradisi kraton sebagai hubungan integral antara hati (manusia), bumi (alam) dan Gusti (Tuhan). Konsep kesatuan (manuggaling) ini memang kompleks sebagaimana diakui oleh Nancy. Dan mungkin karena itu juga, Syekh Siti Jenar yang dikenal dengan ajaran ‘manunggaling kawulo Gusti’ ini merupakan sosok sufi kontroversial hingga kini.

Jika diteliti periode awal, Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental di Mataram (Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode kerajaan Islam sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat.

Jika dilirik ke belakang lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa itu, kata Konco Kaji Keraton Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi tentang Tuhan Yang Satu. Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan Islam yang bercorak tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan integral. Dalam analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa dan Islam bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.

“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial.

Jikapun ada pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.

Sedemikian kentalnya corak ini, konsep falsafah Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konteks ke-ilahiyah-an digambarkan dengan jelas dalam planologi kota Yogyakarta. Misalnya, garis imajiner dari Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggun Krapyak, hingga pantai selatan ditafsirkan sebagai manifestasi ke-Ilahiya-an (Jagad Ageng) yang harus diimbangi dengan hubungan dua sosok manusia sebagai manifestasi Jagad Alit yang diwujudkan dalam bentuk simbolik berupa Lingga (Tugu) – Yoni (Panggung Krapyak).

Dalam buku “Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX” (Wahyukismoyo, 2007), secara singkat, garis imajiner itu juga dapat dimaknai sebagai kirab perjalanan hidup seorang anak manusia yang tercipta dari plasma nutfah hingga suatu saat kelak nanti harus kembali kepada pangkuan-Nya.

Berbicara tentang berdirinya Kerajaan Islam Mataram ini, tidak lepas dari pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Griring, Ki Juru Mertani serta Sunan kalijaga. Dari Ki Ageng Pemanahan, lahirlah Panembahan Senopati. Dan dari Panembahan Senopati, terlahirlah para raja Mataram.

Sebelum Kerajaan Mataram berdiri pun dikabarkan murid-murid Syekh Siti Jenar telah menyebar hingga ke pedalaman selatan Jawa. Tokoh spiritual Ki Ageng Sela pun termasuk murid tidak langsung dari Syekh Siti Jenar.

Karena itu, para pendiri Mataram yang ajarannya diwarisi keraton masa ke masa itu, selaras dengan kecenderungan masyarakat di bagian selatan Jawa yang sebelumnya populer dengan ajaran mistis Syekh Siti Jenar.

Nah, apakah warisan ajaran para pendiri Mataram itu masih terjaga hingga kini? Ini memerlukan penelitian yang mendalam, apalagi mengingat periode kolonialisme Belanda yang menduduki keraton hingga alasan di balik perlawanan Pangeran Dipanegoro.

Senada dengan Nancy, menurut Prof. Dr. Abdul Hadi, dimensi mistis Islam Jawa tak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang menyentuh Jawa pertama kali. Hal ini, lanjut Sastrawan dan budayaan ini, karena sebagian besar penyebar Islam adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat. Bahkan, para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain.

Dengan proses akulturasi yang panjang, Islam Jawa semakin mendapatkan bentuknya yang khas, esoteris-kultural, ketika Islam masuk ke pedalaman Pajang lalu akhirnya Mataram. Sejak Mataram inilah, peradaban Islam Jawa mulai terbangun. Hal ini bisa juga dilihat dari tradisi keagamaan yang beraroma mistis, hingga terbentuk pola yang mengakar dengan dasar siklus penanggalan Jawa Islam – mulai dari Suro, Sapar, Maulud, dan seterusnya – karya monumental Sultan Agung. []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hubungan Batin Perempuan dan Laki-laki


“Perempuan selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan.” (Moriz Winternitz)

Dalam persoalan relasi gender, tidak sedikit pendapat yang memandang perempuan sebagai kelas lebih rendah dari laki-laki dari sudut pandang agama. Pandangan ‘negatif’ itu bahkan diklaim bersumber dari ayat Al-Qur’an, hadis termasuk Injil, sedemikian sehingga agama, khususnya Islam, diskriminatif terhadap perempuan

Belum lagi sejumlah kasus yang terjadi di dunia Islam telah mendukung keyakinan para pengkritik dan memperkuat kesan bahwa perempuan – khususnya dalam kelompok Islam garis keras – merupakan kelompok tertindas tanpa hak. Kajian mengenai peran perempuan selama perang pembebasan Turki awal 1920-an atau partisipasi aktif perempuan dalam gerakan kemerdekaan India dan perjuangan Pakistan 1940-an, adalah beberapa contoh yang menunjukkan hal sebaliknya.

Di dunia tasawuf, kalangan sufi menyebut maskulin, atau aspek ‘jalal’ (keagungan) adalah aspek ‘yang’ dan kecintaan, kecantikan, sifat feminin, atau aspek ‘jamal’ (keindahan) adalah aspek ‘yin’. Dengan penyatuan kedua prinsip inilah – yin dan yang – kehidupan terus ada.

“Kehidupan tak mungkin ada tanpa ‘systole’ dan ‘diastole’ detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik tanpa dua kutub,” kata pengkaji tasawuf Islam, Annemarie Schimmel.

Dahulu, lanjut Schimmel, kaum sufi menafsirkan perintah ilahi dalam penciptaan dengan ‘kun’ (jadilah!) – dalam bahasa Arab terdiri dari 2 huruf – dengan menunjuk pada “benang 2 warna” yang menyelubungi, seperti sehalai kain, kesatuan dasar Wujud Ilahi.

Maulana Jalaluddin Rumi secara khusus menggambarkan keadaan saling mempengaruhi yang konstan antara dua aspek kehidupan itu melalui prosanya yang terkenal ‘Fihi Ma Fihi’ dan menyebut-nyebut hal itu dalam begitu banyak versi lirisnya, Diwan dan Matsnawi.

“Dan bukankah interpretasi mistis dari huruf pertama abjad Arab, yang ramping dan tegak, alif, dengan nilai numerik satu, sebagai manifestasi pertama Keesaan Tuhan; dan huruf kedua, merupakan permulaan penciptaan alam semesta? Karena huruf pertama Al-Qur’an adalah ‘ba’ dalam kata bismillah, “Dengan nama Allah”.

Dengan adanya kecenderungan umum dalam Islam untuk mengorganisasikan segala sesuatu ke dalam dua kelompok serta melihat segala penciptaan berdasarkan kedua aspek ini, bagaimana mungkin sisi-sisi maskulin dan feminim dalam kehidupan tidak dianggap sama-sama penting?

“Karena tanpa kerja keduanya, tak akan ada kehidupan baru di muka bumi.”

Di sisi lain, seluruh kosmos berasal dari Tuhan, maka Tuhan mencintai alam semesta. Tujuan penciptaan selalu didasarkan pada keseimbangan dan kesatuan baik dalam alam lahiriah maupun batiniah. Esensi kehidupan manusia baik perempuan atau laki-laki adalah untuk menjadi insan kamil, yaitu manusia yang dapat menyatukan sisi ilahiah jamal (keindahan/kualitas feminin) dan jalal (keagungan/kualitas maskulin) menjadi kamal (sempurna).

Meskipun menarik diteliti lebih lanjut, jika digali lebih dalam tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Lepas dari aspek tasawuf ini, menurut Schimmmel, untuk mengoreksi kesalapahaman umum tentang peran perempuan dalam Islam, sebenarnya cukup dengan melihat bagaimana ucapan-ucapan dalam Al-Qur’an muslimun wa muslimat, mu’minun wa mu’minat diletakkan sejajar yaitu muslim laki-laki dan perempuan, kaum beriman laki-laki dan perempuan. Perempuan mempunyai kewajiban keagamaan yang sama seperti laki-laki (dengan pengecualian bahwa mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban ini dalam keadaan tidak suci). Toh, tidak shalat atau puasa wajib- perempuan balig karena alasan fikih juga bagian dari melaksanakan kewajiban keagamaan.

Kedudukan tinggi perempuan, terlihat pada istri pertama Rasul, Khadijah – “ibu kaum mukminin” – dalam perkembangan spiritualnya, adalah hal yang sangat nyata. Dengan kasih sayang dan pengertiannya, Khadijah memberi Rasul kekuatan dalam menghadapi pengalaman yang menegangkan dan mengguncang hatinya yang paling dalam saat menerima wahyu pertama yang diturunkan kepadanya, karena beliau percaya akan kerasulan suaminya.

Kemudian putrinya Khadijah dengan Rasul Saw yaitu Fatimah Az-Zahra, yang terkenal sebagai perantara atau dalam terminologi mistik sebagai umm abiha, “ibu bagi ayahnya”,” kata fenomenolog Agama asal Jerman ini.

Rasul Saw menyatakan bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu”. Kemudian, Rumi melihat “ibu”di setiap tempat. Secara umum segala sesuatu dalam kosmos adalah ibarat seorang ibu, melahirkan sesuatu yang lebih tinggi dari pada dirinya. Apakah itu batu api yang “melahirkan” percikan, yang kemudian menghasilkan api apabila ditempatkan dalam pengantar panas yang baik, atau bumi yang disuburkan oleh awan, menghasilkan tumbuh-tumbuhan sebagai hasil hieros gamos, perkawinan suci. Sedemikian sehingga Rumi manggambarkan perempuan, dalam buku pertama Matsnawi, sebagai seseorang yang pantas disebut sebagai “pencipta”.

Dalil relasi gender yang sering kali disalahartikan ialah, “Istri-istrimu adalah pakaianmu, dan engkau adalah pakaian mereka,” (Al Baqarah: 188)

Jika kita membuka kembali pemikiran religious kuno, pakaian diibaratkan sebagai “keakuan yang lain” (alter-ego). Pakaian dapat berfungsi sebagai pengganti untuk seseorang, dan dengan pakaian baru seseorang seolah mendapatkan kepribadian baru.

“Lebih jauh, pakaian menyembunyikan tubuh, menutupi pandangan terhadap bagian-bagian yang bersifat pribadi, dan melindungi pemakainya,” kata Schimmel

Menurut interpretasi ini, suami-istri berbicara satu sama lain kepada alter-ego mereka, dan setiap diri melindungi kehormatan pasangannya. Hal ini memperlihatkan betapa baiknya prinsip ‘yin-yang’ berlaku dalam hubungan perkawinan yang berarti, “Hubungan suami-istri adalah setara dalam kebersamaan mereka yang sempurna.” []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: