Pesan Rahbar

Home » » A Shoulder to Cry on;Ulasan atas Doa Hari Kesepuluh Puasa

A Shoulder to Cry on;Ulasan atas Doa Hari Kesepuluh Puasa

Written By Unknown on Monday, 11 January 2016 | 12:24:00


Manusia secara psikologis, tatkala berhadapan dengan kesulitan atau problema yang menghimpit hidupnya, membutuhkan seseorang untuk menolongnya keluar dari persoalan yang dihadapinya. Dalam bahasa psikologi manusia memerlukan bahu untuk menangis, a shoulder to cry on. Manusia dalam konteks ini membutuhkan media atau orang untuk menumpah-ruahkan kesedihan, kesusahan, kerisauan dan pelbagai problema hidupnya. At least, ada orang yang mau mendengarkan keluh dan kesahnya kalau tidak sampai pada tataran memberikan way-out dan solusi.

Kalau ia adalah manusia yang cerdas dan tercerahkan yaitu dengan memahami esensi kediriannya, bahwa faqid asy-syai laa yu’thi asy-syai (seseorang kalau tidak memiliki sesuatu dia tidak dapat memberikan) maka seharusnya tempat yang menjadi sandarannya adalah tempat yang menjadi sandaran seluruh mumkinul wujud sepertinya. Sandaran yang memiliki sesuatu untuk diberikan. Sandaran yang tidak menjadikan miliknya berkurang atau bertambah tatkala memberi atau menolak. Menyandarkan segala urusan kepada Sosok Yang Mahahandal inilah yang disebut tawakkal. Tawakkal kepada Allah Swt adalah salah topik dari doa kesepuluh bulan Ramadhan kita kali ini di samping tema fauzhil azhim, maqam qurb dan tema ihsan.

Di hari kesepuluh ini kita berdoa:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ

Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang bertawakal kepada-Mu, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang jaya di haribaan-Mu, dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu. Dengan kebaikan-Mu wahai tujuan orang-orang yang berharap.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ

Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang bertawakal kepada-Mu Manusia untuk melangsungkan kehidupannya melakukan perjalanan ke pelbagai tempat dan terkadang menambatkan hatinya pada sesuatu yang nihil terluntah-luntah ke sana-sini berlari tak ada tujuan. Tatkala seluruh pintu tertutup baginya dan harapannya terputus dari seluruh kerabat dan karibnya, ia datang membawa dirinya ke haribaan Sang Adi Kodrati yang merupakan tempat berlabuh, berlindung, sumber-akhir, tujuan dan maksud, seluruhnya ia tumpahkan kepada sebaik-baiknya sandaran dan tempat curahan. Sang Adi Kodrati inilah a shoulder to cry on yang hakiki.

Derajat tawakkal merupakan derajat yang tinggi dan merupakan derajat untuk para urafa. Mereka yang pada tingkatan pertama memutuskan dunia dan segala isinya, dan melupakan segalanya hanya kepada Allah Swt bersandar. Bersandar kepada kekuasaan Ilahi yang abadi memberikan kekuatan dan inspirasi. Inspirasi dan kekuatan untuk melakukan yang terbaik sebagai hamba dan abdi.

Hakikat tawakkal adalah bahwa kita mengetahui bahwa seluruh makhluk tiada mampu memberikan ada kekuasaan memberikan manfaat dan mudharat pada manusia.

Atom yang bergantung di udara dapat terlihat lantaran berada dalam pancaran cahaya matahari. Sekiranya cahaya matahari tidak bersinar ke atasnya, atom sekali-kali tidak akan terlihat.

Tuhan merupakan eksistensi mutlak dan kekuasaan sempurna. Segala kekuasaan dan kekuatan bersumber dari-Nya. Sekiranya bukan emanasi wujud dari Sumber Wujud yang menyinari kehidupan seorang Mukmin, bahkan segala yang maujud, maka sekali-kali ia tidak akan pernah mengenal keberadaan. Sandaran orang Mukmin kepada-Nya dan bertawakkal ke atas-Nya.

Satu-satunya tempat berlabuh, tambatan dan perlindungan yang memiliki kekuasaan dan juga ilmu, pengasih dan penyayang, mulia dan memuliakan.

Apabila memang demikian adanya, lantas mengapa kita tidak menjadikan Tuhan sebagai tempat sandaran dan sumber kekuatan jiwa dan hati? Mengapa kita tidak meminta pertolongan kepada-Nya?

Menambatkan hati kepada selain Tuhan niscaya akan menjadi pecundang. Karena selain-Nya akan binasa dan sirna. Hanyalah Dialah yang abadi dan lestari. Hanya Dialah yang patut diandalkan.

Mereka yang menyembah berhala suatu hari akan melihat bahwa: “Sesungguhnya kekuataan hanya pada Allah seluruhnya.”

Mereka yang menambatkan hatinya kepada kekuasaan besar, suatu hari akan menjumpai “Segala sesuatunya akan binasa kecuali wajah-Nya.“

Mereka yang telah putus asa, kehilangan harapan dan menjadi pecundang, suatu hari akan menyesali mengapa tidak menjadikan Tuhan sebagai sandaran dan tambatan harapan.

Dalam al-Qur’an sering kita membaca: “Dan hanya kepada Tuhan orang-orang beriman bersandar.”

Ibnu Arabi, dalam Futuhat, bab 118, ketika menjelaskan masalah tawakkal berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati kepada Allah Swt tanpa adanya kerisauan tatkala kehilangan asbab duniawi yang dengannya roda kehidupannya berputar. Kalau hatinya risau dan gelisah maka tidak tergolong sebagai mutawakkil (orang yang bertawakkal).” Definisi yang diberikan Syaikh Akbar ini terlihat tatkala menjelaskan mizan sempurna tawakkal dengan merujuk kepada kisah Nabi Ibrahim As tatkala Syaikhul Anbiya ini dilemparkan ke kobaran api Namrud datang tawaran bantuan dari Jibril As: “Alakal Hajat Yaa KhalilaLlah?” (Apakah engkah memiliki hajat, wahai kekasih Allah?” Ibrahim As dengan bersandar kepada Allah Swt berkata: “Ilaika, Laa” (Tidak kepadamu).” Atas alasan ini Allah Swt mendinginkan api tersebut, dingin yang menyelamatkan.
وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ

“Jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang jaya di sisi-Mu.”

Faiz adalah orang yang telah terpenuhi harapannya. Fauz adalah perjalanan eksistensi manusia dari tingkatan tunas dan penuh cela mencapai tingkatan matang dan sempurna. Manusia dalam tingkatan ini melihat dirinya sukses dan jaya. Kata ini secara leksikal bermakna kemenangan dan kejayaan. Di alam semesta ini masing-masing memandang sesuatu sebagai kesempurnaan dan puncak kebahagiaan lalu menjadikannya sebagai cita dan harapan. Kesejahteraan dan makmur, kekuasaan uang, rumah, mobil dan anak-anak yang sehat, istri yang cantik bagi sebagian orang merupakan punyak kebahagiaan dan kesempurnaan. Sementara al-Qur’an memandang semua ini sebagai perhiasaan dunia. Dalam logika al-Qur’an kesemua ini adalah media dan wasilah untuk mencapai kebahagian ukhrawi dan kehidupan abadi.

Amirul Mukminin Ali As dengan syahadahnya berhasil memenuhi harapannya. Pada mimbar ibadah dan syahada berseru: “Fuztu warabbil Ka’bah.” (Demi Tuhannya Ka’bah aku telah berjaya).

Pada detik-detik terakhir kehidupannya Imam ‘Ali As memandang bahwa kebahagiaannya dalam perjalanan ini karena itu dengan seruan irfani yang menunjukkan gairahnya bersua dengan Sang Pencipta.

Teraju kebahagiaan dan kemenangan, kehidupan dan ucapan pribadi agung ini.

Imam Ali di akhiri khutbah Sya’baniyah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sebaik-baik amal di bulan Ramadhan? Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik amalan tidak mengerjakan perbuatan maksiat kepada Tuhan Yang Mahaagung.”

Kemudian Rasulullah Saw menangis tersedu. ‘Ali As bertanya gerangan apa yang membuat Anda menangis? Rasulullah Saw bersabda: “Wahai ‘Ali! Seakan-akan Aku melihatmu sementara mengerjakan shalat sebuah pukulan menghantam tengkukmu dan janggutmu berlumuran darah.”

‘Ali bertanya: “Apakah agamaku tetap selamat?” Rasulullah Saw bersabda: “Iya. Barangsiapa yang membunuhmu, dia telah membunuhku. Barangsiapa yang memusuhimu, dia telah memusuhiku lantaran engkau dariku.”

Dengan memperhatikan kisah di atas dapat dipahami mengapa ‘Ali pada detik-detik terakhir yang mengenaskan karena tebasan pedang satu-satunya kalimat yang beliau ucapkan: “Demi Tuhannya Ka’bah, sesungguhnya Aku telah Berjaya.” Sejatinya Imam ‘Ali menyaksikan (musyahadah) derajat dan tingkat kejayaannya di hadapan Allah Swt.

Allah Swt berfirman tentang ganjaran yang diperoleh oleh orang-orang yang meraih kemenangan: “Allah Swt ridha kepada mereka dan mereka kepada-Nya itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Maidah [5]:119).

Dalam Ziyarat Jamiah kita membaca: “Faza man tamassuk bikum wa amina man laja’a ilaikum.” (Kemenangan bagi orang yang bersandar kepada para Imam pemberi petunjuk, dan keamanan bagi orang-orang yang berlindung kepada Ahlulbait As.)

Pada kisah Husain bin ‘Ali As beserta para sahabatnya kita membaca kisah heroik Imam beserta sahabatnya yang setia yang mempersembahkan syahada di altar cinta sehingga mencapai kejayaan dan kemenangan abadi. Empat belas abad berlalu setiap orang yang mencintai kebebasan dan kemenangan abadi berandai-andai, “Yaa laitani kunna ma’akum fanafuzu fauzan azhima.” (Duhai sekiranya kami bersamamu sehingga kami meraih kemenangan kemenangan yang agung).”

Kita berdoa kepada Allah Swt di hari ini untuk menjadikan kita tergolong sebagai orang-orang yang berjaya di sisi-Nya.
وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ

Dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu.

Setelah tingkatan tawakkal dan memohon kebahagiaan di sisi Allah Swt kini giliran permintaan kesempurnaan mutlak dan kedekatan di sisi-Nya dimana kedekatan itu adalah memandang bahwa seluruh semesta ini merupakan pelataran tajalli Tuhan dan di pelataran tajalli ini dia tidak akan bermaksiat.

Bagaimana mendekat kepada Tuhan? Pertanyaan ini barangkali mengemuka dalam benak Anda.

Tuhan adalah suci dan wilayah-Nya adalah wilayah suci. Dan dzat-Nya suci dari segala aib dan cela. Dia sangat indah dan menyukai keindahan. Dia adalah Eksisten yang paripurna dan menerima maujud yang menyempurna. Memperoleh kesempurnaan kedekatan kepada Allah tidak dapat diraup kecuali dengan jalan takwa dan ketaatan.

Para nabi yang merupakan para hujjat lahir Tuhan diutus dengan maksud menyampaikan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan. Para nabi, imam suci dan wali-wali Tuhan, merupakan pemandu untuk kita dapat mendekat kepada Tuhan.

Contohnya riwayat dari para Imam Suci yang memandu kita bagaimana mendekat kepada Tuhan seperti yang tersebut pada hadis qurb nawafil. Diriwayatkan dari Imam Baqir As: “Tiada para hamba mendekati-Ku dengan menunaikan ibadah-ibadah wajib dan setelah itu dengan nawafil sehingga dengan pengaruh ibadah-ibadah mustahab sedemikian ia mendekat kepada-Ku sehingga Aku mencintainya, dan ketika Aku mencintai-Nya maka Aku akan menjadi telinga (sam’) yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya (bashar) yang dengannya ia melihat, menjadi lisannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bekerja dan dalam keadaan seperti ini apabila ia berdoa niscaya Kukabulkan doanya dan apabila meminta sesuatu akan Kuberikan.”

Dalam menafsirkan hadis di atas, Qaisari dalam ulasannya atas Fushus al-Hikam berkata: bahwa dalam hadis di atas redaksi yang digunakan adalah sam’ (mendengar) dan bashar (melihat) bukan udzn (telinga) dan ‘ain (mata) barangkali disebabkan oleh bahwa telinga merupakan media pendengaran dan mata media penglihatan. Yang pertama (sam’ dan bashar) terpendam dan yang kedua kasat-mata (udzn dan ‘ain). Yang pertama batin dan yang kedua lahir. Dan tajalli Tuhan pada indra batin lebih cocok ketimbang pada indra lahir. Demikian Qaishari menulis.

Maqam qurb merupakan maqam yang menjulang. Qurb bermakna kedekatan atau mendekat. Dalam hadis di samping qurb nawafil, juga ada qurb faraidh dimana pada kesempatan ini tidak akan kita bahas dan kami tangguhkan untuk lain kesempatan.

Rasulullah Saw ketika melakukan mi’raj, beliau mencapai tingkatan qurb dan Allah Swt berfirman kepadanya: “Dana…dana..” (Mendekatlah…mendekatlah). Keataslah…keataslah…lalu bertambah dekat lagi.. Fatadallah ..” “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (Qs. An-Najm [53]:8-9)

Mari kita bersama Rasulullah Saw berdoa pada hari ini: “Dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu.”
بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ

Dengan kebaikan-Mu wahai tujuan orang-orang yang berharap.

Manusia disampaikan kepada maqam tawakkal, fauz azhim dan maqam qurb merupakan sebuah ihsan (kebaikan). Sekiranya Tuhan tidak berlaku ihsan siapakah yang dapat melintasi maqam-maqam ini? Tatkala lutf (kemurahan) dan ihsan (kebaikan) Tuhan tercurah kepada seorang hamba maka ia dapat mencapai maqam-maqam yang menjulang, dan puncak dari maqam-maqam ini adalah Allah Swt dan tujuan utamanya adalah Allah Swt, Dialah tujuan orang-orang yang berharap.

(Eurekamal/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: