Oleh: Muhammad Alcaff dan Shaleh Andishmand
Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah U M. Quraish Shihab: Menyoal Muka Masamnya Nabi Saw
Friday, 02 February 2007
Sunday, April 09 2006
Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw
Berbicara tentang al-Qur’an adalah bak berbicara tentang samudera luas yang tak terbatas. Sesuai dengan kemampuannya, setiap orang pun mampu menyerap makna al-Qur’an sehingga dahaga spiritualnya terpuaskan. Tentu semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pula daya serapnya. Sosok Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya adalah penafsir sempurna yang mengetahui secara tepat dan mendalam seluruh makna al-Qur’an, karena mereka adalah ar Rasikhuna fi al-`Ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya). Maka, tak ada seorangpun selain mereka yang mengklaim bahwa buku tafsirnya sudah final alias sempurna, tak terkecualikan dalam hal ini Tafsir al-Misbah, karya besar Ustad M. Quraish Shihab.baca selengkapnya
Saya menyebutnya sebagai karya besar karena karya tafsir dalam bahasa Indonesia sedalam dan setebal ini sangat langka bisa kita temukan di tanah air, atau malah mungkin tidak ada sama sekali. Bagi saya, karya ini merupakan sumbangan besar dalam kepustakaan al-Qur’an di Indonesia. Hanya saja, “kebesaran tafsir ini” bukan berarti ia steril dari kesalahan dan kekurangan. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya sendiri bahwa peminat studi al-Qur’an kiranya dapat menyempurnakannya. Karena betapapun, ini adalah karya manusia yang dha`if yang memiliki aneka kekurangan, demikian penegasan Ustad Quraish yang sangat tawadu`.
Berangkat dari situ, saya mencoba menelaah dan memberi catatan atas beberapa tema penting dalam tafsir tersebut. Pada tulisan kali ini, saya memulai dengan membahas perihal “Muka Masamnya Nabi saw”. Menurut hemat saya, masalah ini merupakan masalah yang penting yang layak untuk kita diskusikan guna mencari titik temu atau titik terang yang lebih menjanjikan. Dan pada kajian berikutnya—yakni tulisan selanjutnya yang sedang saya persiapkan secara berkala—akan menyinggung tema-tema penting lainnya.
Selanjutnya, marilah kita masuki pokok kajian ayat pertama dan kedua surah Abasa.
Allah swt berfirman: Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra (QS. Abasa: 1-2).
Pandangan Allamah Thabathaba’i
Sebelum memberikan pandangannya terhadap ayat tersebut, Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terlebih dahulu menyampaikan pendapat Allamah Thabathaba’i berikut ini:
Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw, karena bermuka masam bukanlah sifat beliau terhadap lawan yang jelas-jelas berseberangan dengan beliau, apalagi terhadap kaum beriman. Lalu penyifatannya bahwa beliau memberi pelayanan kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin, tidaklah serupa dengan sifat nabi saw dan tidak juga dengan al-Murtadha (Sayidina Ali ra). Allah swt telah mengagungkan sifat nabi Muhammad saw ketika Yang Maha Kuasa itu berfirman dalam surah Nun yang turun sebelum turunnya surah ini bahwa:
“Dan sesungguhnya engkau berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Nun: [68]: 4)
Maka bagaimana mungkin Allah mengagungkan budi pekerti beliau secara mutlak pada masa awal kenabian beliau, lalu Dia mengecam beliau atas beberapa sikap dan mencelanya karena melayani orang-orang kaya—lagi meminta petunjuk.
Di sisi lain—lanjut Thabathaba’i. Allah juga telah berpesan bahwa:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin.” (QS. asy-Syu`ara [26]: 215).
Dan sekian banyak ayat yang semakna. Demikian antara lain Thabathaba’i yang kemudian meriwayatkan dari sumber Imam Ja`far ash-Shadiq bahwa ayat-ayat di atas turun menyangkut seorang dari Bani Ummayyah yang ketika itu sedang berada di sisi Nabi saw, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Ketika orang tersebut melihat Abdullah, dia merasa jijik olehnya, lalu menghindar dan bermuka masam sambil memalingkan wajah. Maka sikap orang itulah yang diuraikan oleh ayat-ayat di atas dan dikecam. Demikian Thabathaba’i.
Yang Terlewatkan dari Pandangan Allamah Thabathaba’i Dalam Tafsir Al-Misbah
Di bawah ini saya ingin menyampaikan secara utuh dan menambahkan apa yang disampaikan oleh Allamah dengan maksud itmamul faedah (biar manfaatnya menjadi sempurna) dan agar pembaca dapat membandingkan dengan mudah antara pandangan beliau dan kritikan Ustad M. Quraish Shihab. Berikut ini pandangan Allamah secara utuh:
Ayat-ayat tersebut (ayat pertama dan kedua—pen.) tidak mempunyai indikator kuat (dzahiratu dalalah) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. Itu hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk).
Allah swt telah mengagungkan akhlak Nabi saw ketika Dia berfirman—sebelum turunnya surah ini (surah Abasa): “Dan sungguh padamu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang agung.” Ayat ini terdapat dalam surah Nun dimana banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan urutan surah menyepakati bahwa surah ini diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq). Lalu, bagaimana dapat diterima oleh akal: di satu sisi Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya dan Allah menyatakannya secara mutlak lalu setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela di mana dinyatakan bahwa beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya meskipun mereka kafir dan berpaling dari kaum fakir miskin meskipun mereka beriman dan memperoleh hidayah.
Allah swt juga berfirman: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu`ara’: 215) Allah memerintahkan beliau untuk bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, surah ini pun termasuk surah Makkiyyah, sedang konteks diturunkannya ayat ini berkenaan dengan firman-Nya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” yang turun pada masa-masa mula dakwah.
Begitu juga firman-Nya: “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. al-Hijr: 88) Dan dalam konteks ayat ini terdapat firman-Nya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr: 94) Ayat-ayat ini turun di permulaan dakwah secara terang-terangan, sehingga bagaimana mungkin kita membayangkan bahwa Nabi saw bermuka masam dan berpaling dari kaum mukmin, padahal beliau diperintahkan untuk menghormati keimanan mereka dan bersikap lemah lembut terhadap mereka serta beliau dilarang untuk terpikat dengan kekayaan para penyembah dunia (harta).9
Setelah memaparkan pendapat Allamah Thabathaba’i tersebut, ustad M. Quraish Shihab memberikan tanggapan dan kritikan atas keterangan Allamah sebagai berikut:
Hemat penulis, apa yang dikemukakan Thabathaba’i di atas lebih bayak terdorong oleh keinginan untuk mengagungkan nabi Muhammad saw, dan ini adalah suatu hal yang sangat terpuji. Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat. Rasul saw sama sekali tidak mengabaikan Ibn Ummi Maktum karena kemiskinan atau kebutaannya, tidak juga melayani tokoh-tokoh kaum musyrikin itu karena kekayaan mereka. Nabi melayaninya karena mengharap keislaman mereka, yang menurut perhitungan akan dapat memberi dampak yang sangat positif bagi perkembangan— melebihi pelayanan ketika itu jika dibandingkan dengan melayani Abdullah Ibn Ummi Maktum.
Agaknya ketika itu beliau sadar bahwa menangguhkan urusan sahabat (Abdullah Ibn Ummi Maktum) dapat dimengerti oleh sang sahabat dan dapat diberi kesempatan lain, sedang mendapat kesempatan untuk memperdengarkan dengan tenang kepada tokoh-tokoh musyrik itu tidak mudah. Di sisi lain, kata “talahha” bukanlah berarti mengabaikan dalam pengertian menghina dan melecehkan, karena seperti penulis kemukakan di atas ia digunakan juga untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan mengabaikan sesuatu lain yang juga penting.
Apa yang dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah satu sikap yang sangat terpuji—dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan muka masamnya pun tidak terlihat oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bertanya: Jika demikian, mengapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau adalah manusia teragung, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Memang seperti bunyi rumus: Hasanat al-Abrar Sayyi’at al-Muqarrabin (apa yang dinilai kebajikannya orang-orang yang amat berbakti, masih dinilai keburukan oleh orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya). Nabi Muhammad saw adalah makhluk yang paling didekatkan Allah ke sisi-Nya, karena itu beliau ditegur.
Apa yang beliau lakukan itu dapat menimbulkan kesan bahwa beliau mementingkan orang kaya atas orang miskin, orang terpandang dalam masyarakat dan yang tidak terpandang. Ini kesan orang lain, dan Allah hendak menghapus kesan semacam itu dengan turunnya ayat-ayat ini. Karena itu, teguran ayat-ayat di atas justru menunjukkan keagungan nabi Muhammad saw, dan bahwa beliau adalah manusia, tetapi bukan seperti manusia biasa, beliau adalah semulia-mulia makhluk Allah.
Di sisi lain teguran di atas mengajarkan kepada nabi Muhammad saw bahwa ada hal-hal yang terlihat dengan pandangan mata serta indikator-indikator yang nampak bahwa itulah yang baik dan tepat, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam lagi dan dipikirkan secara seksama atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam, maka ia tidak demikian. Ini serupa dengan yang dialami oleh nabi Musa as bersama dengan hamba Allah yang membocorkan perahu, membunuh anak dan membangun kembali tembok yang nyaris roboh.
Dalam pandangan mata lahiriah, kesemuanya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam pandangan Allah dan hakikat sebenarnya justru itulah yang terbaik. Dalam kasus nabi Muhammad saw ini, Allah mengajarkan beliau bahwa kalaulah kelihatannya berdasarkan indikator-indikator yang nyata bahwa tokoh kaum musyrikin yang dilayani nabi Muhammad saw itu diharapkan memeluk agama Islam, maka pada hakikatnya tidaklah demikian.
Tokoh-tokoh itu sama sekali menolak apa yang beliau lakukan, dan dengan demikian menghadapi walau seorang yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik. Allah swt tidak menjadikan pelajaran ini teguran dari seorang makhluk—bukan seperti pengajaran yang disampaikan Allah kepada nabi Musa as melalui teguran hamba-Nya yang saleh, karena hanya Allah sendiri yang mendidik beliau, sehingga sempurnalah kepribadian nabi Muhammad saw.[1]
Catatan dan Telaah atas Pendapat Ustad M. Quraish Shihab
1. Metedologi tafsir yang diyakini oleh Allamah adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Artinya, beliau meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan dan saling menguatkan. Menurut Allamah, al-Qur’an itu pelita dan penjelas buat segala sesuatu maka mana mungkin ia tidak menjadi penjelas untuk dirinya sendiri!
2. Bila Ustad M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang bermuka masam itu memang nabi saw maka itu berarti beliau membenarkan riwayat Asbab Nuzul yang mengisahkan hal itu, padahal sanad perawinya bermasalah/lemah (dha`if). Redaksi riwayat itu sebagai berikut:
Pada suatu ketika Rasulullah saw menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Bersamaan dengan itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah saw membacakan kepadanya ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan Allah. Tetapi Rasulullah saw bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum (nama lengkapnya Abdullah bin Ummi Maktum) yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah saw terhadap Ibnu Ummi Maktum itu.
Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah nabi saw. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dengan sanad yang sama dimana bunyi hadisnya sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Sa`id bin Yahya bin Sa`id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya (Urwah bin Zubair), dari Aisyah ra. Berkata: Diturunkan tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, dia (Ibnu Ummi Maktum) mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: ‘Berilah aku petunjuk!’ saat itu Rasulullah saw sedang bersama pembesar kaum musyrik, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan menghadap pada yang lain (pembesar kaum musyrik). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: ‘Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak.’ Dalam peristiwa ini turunlah surah Abasa.
Dalam tafsir al-Misbah, Ustad M. Quraish Shihab mengemukakan pendapat al-Wahidi yang meriwayatkan– tanpa menyebut sanad (rangkaian perawinya) bahwa setelah peristiwa ini, bila Abdullah Ibn Ummi Maktum ra datang, menyambutnya dengan ucapan: “Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegur—karena ia—oleh Tuhanku.”[2]
Di sini saya akan menyampaikan analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw tersebut. Kritikan ini saya sarikan dan nukil dari buku “Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam”, karya guru saya yang terhormat al-Marhum Ustad Husein bin Abu Bakar al-Habsyi. Analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw yang saya maksud adalah:
1. Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadis ini tidak muttafaqun alaih (yang disepakati oleh keseluruhan) .
2. Sebab turunnya ayat tersebut simpang siur, yakni:
a) Delegasi Bani Asad datang menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.
b) Sebab turunnya, al-A`la bin Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, ‘Apakah ia dapat membaca al-Quran?’ Kemudian ia menjawab, ‘Ya, dan membaca surah Abasa.’
c) Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah saw.
Dalam hadis tersebut terdapat para perawi sebagai berikut:
a) Yahya bin Sai`d.
b) Urwah bin Zubair (ayah Hisyam).
c) Hisyam bin Urwah.
d) Ummul Mukminin Aisyah.
Berikut ini penjelasan satu persatu siapa sebenarnya para perawi tersebut.
a) Yahya bin Sai`d
Dia adalah seorang penulis sejarah hidup nabi saw, namun Imam Ahmad tidak begitu mengandalkannya. Ia banyak menukil dari A`masy hal-hal yang aneh, dan ia bukan termasuk ahli hadis.[3]
b) Urwah bin Zubair
Dia termasuk orang yang berpredikat “nashibi” (orang yang membenci Ahlul-bait nabi saw). Dengan demikian, menurut Ibn Hajar al-Atsqalani, riwayat dari orang yang “nashibi” dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
c) Hisyam bin Urwah
Pada akhir hayatnya, kekuatan hafalnya memudar. Orang yang mendengar riwayat darinya berubah-ubah. Ya`qub mengatakan, dia seorang yang tsiqqah (yang dipercaya), tidak ada satu pun riwayat yang dicurigai kecuali setelah ia tinggal di kota Irak dan mengobral hadis yang ia sandarkan riwayatnya pada ayahnya, sehingga ia ditegur oleh ulama kota tersebut.
Imam Malik tidak rela atau tidak setuju ia sebagai perawi hadis.
Ibn Hajar al-Atsqalani menganggapnya sebagai mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya). Dengan demikian, riwayatnya tidak bisa dipercaya.
d) Ummul Mukminin Aisyah
Ayat tersebut turun di Mekkah, sedang Ummul Mukminin Aisyah ra masih kecil. Sehingga kita ragu dari mana beliau mendengar hadis tersebut.
Ath-Thabari, seorang pakar tafsir besar Ahlu Sunnah menyatakan bahwa at-Turmudzi menganggap hadis ini (hadis muka masamnya nabi saw) sebagai hadis yang aneh (hadza hadisun gharib).[4]
3. Al-Arif Billah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra, penulis kitab maulid “Simthu Durar” yang cukup terkenal di kalangan habaib di Indonesia, mengatakan: “Bila Nabi saw diundang oleh seorang miskin maka beliau segera memenuhi panggilan atau undangannya.” [5] (Idza da`ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa cemberutnya nabi saw dan sikap yang lebih memperhatikan orang-orang kaya (bangsawan kafir) daripada seorang mukmin yang miskin adalah tidak sesuai dengan sifat beliau yang digambarkan oleh al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra.[]
[Sebuah Tinjauan Sosiologis] Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang ditulis oleh para sejarawan, bahwa sejarah masa lalu umat manusia senantiasa diliputi oleh pelbagai tragedi kemanusiaan, penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang mewarnai sederet epos sejarah peradaban masa itu, yang warisan dan jejaknya masih bisa kita lihat dan kita rasakan hingga hari ini.
Zaman tersebut di atas benar-benar pernah terjadi bahkan dengan modelnya yang paling extrem yang terjadi di zaman gelap jahiliyah, dimana Nabi pernah hidup di dalamnya. Kondisi begitu buruknya sehingga kelas-kelas penguasa dari bangsawan kafir Quraish dengan seenaknya tanpa kontrol apapun melakukan penindasan, merampas dan menghancurkan kehormatan mereka, sehingga kelas masyarakat yang kemudian lebih kita kenal sebagai kaum Mustazdafin dan kalangan budak itu merasakan kehidupan yang paling menyengsarakan dan penuh penderitaan.
Hubungan antara kaum kaya bangsawan dan kalangan miskin membentuk semacam dua kutub yang pada akhirnya melahirkan hubungan tuan dan budak. Budak praktis kehilangan seluruh identitas dirinya yang tidak lain mereka adalah milik dan dimiliki sepenuhnya oleh tuan-tuan mereka, diri mereka kini menjadi milik majikannya.
Seperti yang juga ditulis oleh Prof Shihab, bahwa keadaan yang demikian melazimkan lahirnya sebuah hubungan yang khas antara rakyat dan kaum Mustazdafin di satu pihak dan Bangsawan Quraish di pihak yang lain, sehingga garis pembatas di antara keduanya semakin menganga lebar dan memungkinkan Pembesar-pembesar Kafir Quraish untuk senantiasa mengelola kejahatan dan kesewenangan mereka dengan pelbagai cara yang menjauhkan mereka dari adanya pihak yang mampu mengontrol kebiadaban mereka. Kenyataan tersebut meniscayakan sulitnya mereka untuk dapat berbaur bersama dengan kaum papa tersebut, sulit rasanya kita bisa merindukan mereka duduk bersama di atas permadani dan alas yang sama pula, sebuah mimpi di siang bolong!
Ustad Quraish dengan jernih melihat kenyataan di atas untuk menilik sebuah turunnya surat, dan kali ini adalah sebuah surat yang terus menerus menjadi silang pendapat di kalangan kaum muslimin yaitu surat Abasa watawalla, yang pada sebagian mufasirin melihat turunnya surat tersebut berkaitan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum seorang Mustazdafin Mekah yang buta kedua matanya, yang datang untuk menghadiri acara khusus, yaitu pertemuan antara Rasul dan Pembesar-pembesar Quraish, mereka beranggapan bahwa kejadian di atas membuat Nabi gerah karena terjadi justru ketika pembicaraan sedang berlangsung dan tiba-tiba ibn Maktum melontarkan serangkaian pertanyaan, dan diyakini oleh mereka bahwa atas kelancangan ibn Maktum itulah Nabi kemudian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dengan raut muka yang masam kemudian memalingkan wajahnya. Pertanda bahwa Rasul Muhammad saw tidak menyukai peristiwa yang baru saja dialaminya tersebut.
Sementara sebagian Mufasirin yang lain menisbatkan bahwa ditegurnya seseorang pada peristiwa tersebut oleh Allah swt dalam suratnya adalah orang lain yang menjadi lawan bicara Nabi pada saat itu.
Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah rangkaian peristiwa adalah sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, yang diceritakan dan di distribusikan dengan pelbagai cara dan utamanya adalah melalui media tulis, namun sering kali kita dapati bahwa seting sejarah yang disuguhkannya tidak mampu memberikan gambaran yang utuh atas peristiwa yang benar-benar terjadi, apalagi bias dan faktor-faktor internal lainnya sering kali ikut serta mempengaruhi hasil yang hendak dikhabarkan.
Namun demikian dengan berbekal pada pandangan ilmiah yang lebih akurat, akan memberikan kepada kita sebuah celah yang lebih tajam untuk melacak jalannya sebuah sejarah yang terjadi pada masa lalu, dan melakukan rekonstruksi terhadap detail peristiwa yang belum terungkap dengan jelas. Alat ukur tersebut mendorong kita untuk kemudian secara konsisten penjauhan obyek kajian pada posisi yang aman, dan membiarkan sejarah itu sendiri yang “berbicara”, dengan demikian kita akan mampu mendapati alur kisah yang mendekati kenyataan yang sebenarnya.
Kembali pada apa yang ditulis oleh Prof Shihab bahwa peristiwa asbabun-nuzul dari turunnya surat Abasa ditujukan langsung kepada pribadi Muhammad saw dan bukan yang lain.
Mengacu pada apa yang telah dipaparkannya pada tafsir beliau berkaitan dengan turunnya surat Abasa tersebut, kita akan mencoba untuk melakukan analisis dengan mendekati kejadian perkara untuk memudahkan kita dalam menentukan dengan persis siapa sebenarnya orang yang ditegur dalam surat Abasa tersebut.
Setidaknya kita memiliki tiga asumsi dan kemungkinan, yang akan kita uji bersama di mana sesungguhnya peristiwa pertemuan antara Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar suku Quraish itu berlangsung, dan turunnya ayat Abasa watawalla tersebut. Menilik tempat kejadian perkara menjadi model yang menurut hemat saya adalah sebuah cara pendekatan yang paling memungkinkan untuk menelusuri dan kemudian memetakan dengan tepat berlangsungnya sebuah peristiwa.
Asumsi yang pertama adalah, bahwa pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat atau aula umum yang biasa menjadi tempat di mana khalayak biasa bertemu dan memutuskan perkara-perkara mereka, aula semacam itu setidaknya mensyaratkan sebuah model bangunan yang relatif mudah untuk bisa dijangkau dan dimasuki oleh banyak orang, sehingga apa-apa yang terjadi di dalamnya akan mudah diakses dan diketahui secara langsung oleh kebanyakan orang. Agaknya tempat semacam ini kurang cocok untuk pertemuan kali ini, karena sudah berkali-kali tempat yang demikian justru menjadi lahan yang empuk buat Nabi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dan seruan tauhidnya, dan sekaligus untuk membuktikan kebohongan-kebohong an agama pagan kafir Quraish. Dan tentu saja kondisi yang demikian sama sekali tidak diharapkan oleh pembesar-pembesar Quraish, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Nabi memanfaatkan ruang publik semacam Ka’bah menjadi sarana menyuarakan misi langitnya, dan itu sudah cukup untuk mengundamg simpati banyak orang. dan kondisi yang demikian akan berakibat buruk untuk posisi dan kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Dan seandainya peristiwa tersebut benar-benar terjadi di tempat semacam itu, tentunya ibn Maktum tidak akan tampil sendirian dan akan diikuti oleh kalangan mustazdafin lainnya, untuk melihat dari dekat Nabinya berargumen dan membuktikan kebenaran akan misinya.
Jika pada saat itu ibn Maktum menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan pertanyaan perihal dirinya kepada Nabi, dan Nabi kemudian menanggapinya dengan muka yang cemberut dan segera memalingkan wajahnya, tentunya aksi yang demikian akan menjadikan posisi Nabi sangat berbahaya yang jauh dari akhlak mulia yang selama ini beliau kemukakan di banyak kesempatan dan kepada siapa pun, dengan mengatakan hahwa akhlak mulia adalah hiasan kaum beriman, dan inilah sikap yang menjadikan pesona Nabi luar biasa ditengah-tengah masyarakat yang bengis dan jauh dari nilai-nilai mulia. Dan jika benar bahwa Nabi bermuka masam, keadaan demikian akan membuat rasa frustasi pengikut beliau yang hadir pada saat itu karena kini tak ada lagi Nabi yang santun dan ramah yang bisa menghargai harga dirinya di depan pembesar-pembesar Quraish. Sementara pada pihak kafir Quraish bahwa berkumpul di satu tempat dengan para mustazdafin untuk acara sepenting itu adalah bukan pilihan yang tepat, mengingat kehormatan dan harga diri mereka sedang dipertaruhkan pada saat itu.
Dengan kata lain kejadian dan berlangsungnya acara tersebut menjadi sangat kecil kemungkinannya jika berlangsung di tempat seperti itu, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin terjadi.
Asumsi yang berikut adalah bahwa pertemuan diselenggarakan di salah satu rumah dari Pembesar Quraish. Kalau sedikit kita renungkan dan kemudian membayangkan bentuk dari arsitektur rumah para pembesar Quraish saat itu, tentunya akan kita dapati bahwa rumah yang mereka tempati akan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah orang asing begitu saja bisa memasuki pelataran dan rumah mereka. Penjagaan dan pengawalan ketat dari para budak mereka rasanya sudah cukup untuk bisa menghalau orang seperti ibn Maktum.
Andaikan peristiwa itu memang benar-benar terjadi di salah satu dari rumah mereka, di butuhkan upaya yang cukup besar buat ibn Maktum untuk bisa sekonyong-konyong hadir di tengah-tengah mereka dikala Kafir Quraish dan Nabi sedang terlibat pembicaraan sepenting itu. kecil kemungkinannya kejadian tersebut berjalan tanpa adanya aksiden yang bisa menimpa ibn Maktum.
Dan seperti kebiasaan pembesar dan bangsawan Quraish bahwa pergaulan dan persahabatan hanyalah milik mereka yang sederajat dan adanya ikatan kekeluargaan. Bukan milik yang lain. Orang seperti ibn Maktum, jangankan bisa duduk dan berbicara bersama dengan mereka untuk mendekatpun adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada saat itu.
Kini kita bisa menguji dengan asumsi yang terakhir bahwa pertemuan antara Pembesar-pembesar kafir Quraish dengan Nabi belangsung di kediaman beliau.
Rumah dan kediaman Muhammad Rasulullah adalah rumah tempat persinggahan dan sekaligus tempat di mana kaum mustazdafin mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Di rumah inilah Nabi biasa menjamu dan menerangkan akan misi kenabiannya, kepada siapa saja yang hatinya diketuk oleh suara keimanan, sehingga orang semacam ibn Maktum mendapatkan harapan hidup dan kepercayaan diri, dan di rumah ini jugalah Nabi senantiasa mengulang-ulang ucapannya, bahwa sesungguhnya manusia datang dari asal yang sama dan memiliki martabat yang sama pula di hadapan Tuhannya, dan bahwa kejahatan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan adalah musuh utama dari ajaran sucinya. Dan di tempat ini jugalah sekelompok kaum mustazdafin menyadari akan semua itu dan meneguhkannya dengan kalimat Tauhid, beriman dan berjanji untuk saling menolong di antara mereka. Nabi kini benar-benar telah menyalakan cahaya keimanan dan kemanusiaan ditengah-tengah kehancuran hati merkeka.
Benar adanya bahwa rumah Nabi telah sering menjadi tempat berkumpul dan persinggahan buat mereka yang mencari perlindungan keimanan, terutama dari kalangan mustazdafin, sebagai pihak yang senantiasa dirugikan oleh sistem Paganisme Arab Quraish. Tentunya orang seperti ibn Maktum bisa lebih leluasa untuk mendatangi rumah seperti itu. Nah! pada saat pertemuan sedang berlangsung antara Nabi dan Pembesar-pembesar Quraish itulah ibn Maktum datang bergabung dengan mereka, keadaan tiba-tiba seperti ini merisaukan dan membuat Bangsawan Quraish tak mampu untuk mengelaknya, sampai pada situasi di mana mereka masih juga bisa menahan dan menyembunyikan rasa kesalnya. Namun ketika ibn Maktum menyela mereka yang sedang terlibat pembicaraan itu, benar-benar membuat salah seorang dari mereka itu tak lagi bisa menyembunyika rasa sakit hatinya dan dengan raut wajah yang masam dan cemberut memalingkan mukanya dari forum atau mungkin dari tatapannya yang selama beberapa saat ini memang ditujukan pada orang yang sedari tadi memang tidak diharap kehadirannya itu. Lalu Mengapa mereka tidak juga mengusir ibn Maktum seperti yang biasa mereka lakukan ketika ada fakir yang datang mendekati mereka. Kali ini mereka lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa karena sang tuan rumah Nabi sendiri tidak mengambil tindakan apapun semisal mengusirnya, jelas mereka sadari bersama bahwa sikap seperti itu mustahil dilakukan oleh Muhammad Rasulullah. dengan kata lain bahwa otoritas dan kekuasaan mendatangkan dan mengusir orang asing yang datang ke rumah seseorang adalah menjadi hak penuh dari pemilik rumah itu sendiri. Nah kini mereka hanya bisa bermuka masam dan memalingkan mukanya.[] Wallahua’lam bi sawwab
Penulis: S1 Ulumul Quran di Universitas Imam Khomeini Qom Republik Islam Iran dan Mahasiswa Jurusan Filsafat Islam di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.
Rujukan:
9 Al-Mizan, karya Allamah Thabathaba’i, juz 20, hal.218-224, terbitan Muassasah al-A`lamiy, Beirut, Lebanon.
Catatan Kaki:
[1] (Tafsir al-Misbah Volume 15, dari halaman 62 sampai 65, Cetakan V).
[2] Tafsir al-Misbah Volume 15 halaman 60, Cetakan V.
[3] Muqaddimah Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
[4] Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah wa an-Nasyr bil Qahirah 1387 H/1967 M
[5] Simthu Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23, cet, kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.
(Haidarrein/ABNS)