Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS ARSIP ISLAM. Show all posts
Showing posts with label ABNS ARSIP ISLAM. Show all posts

Memetik Kisah Teladan dari Kehidupan Imam Hasan al-Mujtaba (Ayo Makanlah Bersama Kami)


Ayo Makanlah Bersama Kami

Imam Kedua kita, Imam Hasan Mujtaba As adalah Imam yang senantiasa berbuat baik kepada orang-orang papah dan miskin.

Suatu hari, Imam Hasan berjalan di sebuah jalan ketika dia melintas, beberapa orang miskin sedang duduk di tanah sedang menyantap sepotong roti kering.

Ketika mereka melihat Imam Hasan al-Mujtaba As, mereka memintanya untuk bergabung bersama mereka.

Imam Hasan As duduk di atas tanah dan memakan roti kering bersama mereka.

Dia berkata, “Allah Swt tidak mendekati orang-orang takabur.”

Ketika mereka telah menyelesaikan makanannya, Imam Hasan al-Mujtaba As berdiri untuk pergi. Sebelum beliau pergi, beliau menyampaikan terima kasih atas makanan yang mereka sajikan.

Kemudian beliau berkata, “Aku menerima undangan kalian, kini terimalah undangan dariku.”

Mereka setuju dan menyertai Imam Hasan As kembali ke rumahnya.

Ketika mereka tiba di kediamana beliau mereka dilayani dengan baik. Mereka diberikan makanan yang baik sekaligus pakaian oleh Imam Hasan As.

Sumber Rujukan:
Manaqib, Ibn Syahr Aasyub, vol. 4, hal. 23.

Mutiara Hadis Imam Hasan al-Mujtaba As:
Janganlah menunda melakukan kebaikan dan janganlah membual atas kebaikan itu setelahnya. Biharul Anwar, vol 78, hal. 113.

(Eurekamal/ABNS)

Memetik Kisah Teladan dari Kehidupan Imam Hasan al-Mujtaba (Sup Panas)


Sup Panas

Imam Kedua, Imam Hasan al-Mujtaba As adalah seorang insan suci yang tidak mudah marah.

Terkadang orang-orang berbuat kasar kepadanya, khususnya mereka yang tidak mengenal beliau.

Imam Hasan bersikap santun terhadap orang-orang jahil ini dan acap kali mereka merasa malu atas perlakuan kasar mereka. Mereka merubuah perilaku mereka setelah menyaksikan kesempurnaan perilaku Imam Hasan As.

Masyarakat Madinah berkata bahwa Imam Hasan al-Mujtaba As hampir mirip dengan datuknya, Nabi Muhammad Saw, baik dalam rupa dan perbuatan.

Suatu hari ketika menyantap makan malam, seorang pelayan menumpahkan semangkuk sup dan percikannya mengenai badan Imam Hasan As.

Pelayan wanita ini sangat ketakutan lantaran berpikir bahwa Imam Hasan As akan marah dan menghukumnya. Pelayan wanita ini, segera membaca sebuah ayat suci al-Qur’an.

(surga menantikan) Orang-orang yang menahan marahnya.

Imam Hasan tersenyum dan berkata bahwa dia tidak marah.

Lalu wanita tersebut membaca ayat berikutnya:

Dan memaafkan (kesalahan) orang.

Imam Hasan al-Mujtaba As berkata bahwa dia memaafkannya.

Kemudian wanita tersebut mengakhiri dengan membaca ayat:

Allah Swt menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan

Imam Hasan al-Mujtaba As berkata kepadanya bahwa dia kini adalah seorang hamba yang bebas.

Pada hari yang indah ini, Imam Hasan al-Mujtaba As menunjukkan bahwa jika seorang menyakitimu dengan kesalahan, abaikanlah kesalahan itu.

Ayat di atas dapat dijumpai pada al-Qur’an surah ke-3, Ali Imran, ayat 134.

Sumber Rujukan:
al-Tanufi, al-Faraj ba’d al-Shiddah, hal. 101.

Mutiara Hadis Imam Hasan al-Mujtaba As:
Orang-orang membinasakan diri mereka sendiri jika dalam diri mereka terdapat kebiasaan buruk, sombong, tamak dan hasud. Biharul Anwar, vol 78, hal. 111.

(Eurekamal/ABNS)

Memetik Kisah Teladan Dari Kehidupan Imam Shadiq


Ladang Kurma

Imam Kelima kita, Imam Ja’far Sadiq As dalam hidupnya senantiasa berupaya membantu orang-orang Madinah sebanyak yang ia mampu. Ia membantu mereka untuk memberikan pemahaman Islam yang lebih baik, dan juga membantu mereka dengan cara-cara yang lain. Imam Sadiq As memiliki sebuah ladang kurma dan setiap tahun pohon-pohon kurma di ladang itu menghasilkan ribuan tandan kurma yang manis. Nilai kurma ini sangat tinggi.

Akan tetapi pada masa menuai, Imam Sadiq As melakukan sesuatu yang tidak biasa!

Tatkala seluruh kurma siap untuk dimakan, Imam Sadiq As akan membuka gerbang ladang dan setiap orang datang dipersilahkan untuk datang dan menyantap kurma.

Salah seorang sahabat Imam As tidak mengerti mengapa Imam berlaku seperti itu.

Ia bertanya kepada Imam Sadiq As, “Apabila Tuan menjual kurma-kurma ini, tentunya akan banyak menghasilkan uang.”

Imam Sadiq As tersenyum dan berkata, “Aku tidak memerlukan uang. Syukur kepada Tuhan, Aku mampu memberi makan kepada keluargaku dari uang yang aku dapatkan dari merajut kesetan.

Sang Imam cukup memiliki uang untuk memenuhi keperluannya sehingga ia dapat membagi sebagian hartanya kepada orang fakir dan miskin kota Madinah.

Seluruh orang di Madinah mengetahui bahwa jika mereka terbelit dengan masalah, atau terbentur dengan kesulitan, Imam senantiasa berada di sana untuk membantu mereka.

Sumber Rujukan:
Allamah Majlisi, Biharul Anwar, bag. Keutamaan Imam Sadiq As

Mutiara Hadis dari Imam Ja’far Sadiq As:
Hanya orang-orang yang bodohlah yang menjawab tanpa mendengar dan bertengkar sebelum mengerti. Biharul Anwar, vol. 78, hal. 278.

(Eurekamal/ABNS)

Apakah Nabi Bermuka Masam? Berikut Ulasannya


Oleh: Muhammad Alcaff dan Shaleh Andishmand

Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah U M. Quraish Shihab: Menyoal Muka Masamnya Nabi Saw

Friday, 02 February 2007
Sunday, April 09 2006

Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw
Berbicara tentang al-Qur’an adalah bak berbicara tentang samudera luas yang tak terbatas. Sesuai dengan kemampuannya, setiap orang pun mampu menyerap makna al-Qur’an sehingga dahaga spiritualnya terpuaskan. Tentu semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pula daya serapnya. Sosok Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya adalah penafsir sempurna yang mengetahui secara tepat dan mendalam seluruh makna al-Qur’an, karena mereka adalah ar Rasikhuna fi al-`Ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya). Maka, tak ada seorangpun selain mereka yang mengklaim bahwa buku tafsirnya sudah final alias sempurna, tak terkecualikan dalam hal ini Tafsir al-Misbah, karya besar Ustad M. Quraish Shihab.baca selengkapnya

Saya menyebutnya sebagai karya besar karena karya tafsir dalam bahasa Indonesia sedalam dan setebal ini sangat langka bisa kita temukan di tanah air, atau malah mungkin tidak ada sama sekali. Bagi saya, karya ini merupakan sumbangan besar dalam kepustakaan al-Qur’an di Indonesia. Hanya saja, “kebesaran tafsir ini” bukan berarti ia steril dari kesalahan dan kekurangan. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya sendiri bahwa peminat studi al-Qur’an kiranya dapat menyempurnakannya. Karena betapapun, ini adalah karya manusia yang dha`if yang memiliki aneka kekurangan, demikian penegasan Ustad Quraish yang sangat tawadu`.

Berangkat dari situ, saya mencoba menelaah dan memberi catatan atas beberapa tema penting dalam tafsir tersebut. Pada tulisan kali ini, saya memulai dengan membahas perihal “Muka Masamnya Nabi saw”. Menurut hemat saya, masalah ini merupakan masalah yang penting yang layak untuk kita diskusikan guna mencari titik temu atau titik terang yang lebih menjanjikan. Dan pada kajian berikutnya—yakni tulisan selanjutnya yang sedang saya persiapkan secara berkala—akan menyinggung tema-tema penting lainnya.

Selanjutnya, marilah kita masuki pokok kajian ayat pertama dan kedua surah Abasa.

Allah swt berfirman: Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra (QS. Abasa: 1-2).


Pandangan Allamah Thabathaba’i

Sebelum memberikan pandangannya terhadap ayat tersebut, Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terlebih dahulu menyampaikan pendapat Allamah Thabathaba’i berikut ini:

Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw, karena bermuka masam bukanlah sifat beliau terhadap lawan yang jelas-jelas berseberangan dengan beliau, apalagi terhadap kaum beriman. Lalu penyifatannya bahwa beliau memberi pelayanan kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin, tidaklah serupa dengan sifat nabi saw dan tidak juga dengan al-Murtadha (Sayidina Ali ra). Allah swt telah mengagungkan sifat nabi Muhammad saw ketika Yang Maha Kuasa itu berfirman dalam surah Nun yang turun sebelum turunnya surah ini bahwa:
“Dan sesungguhnya engkau berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Nun: [68]: 4)

Maka bagaimana mungkin Allah mengagungkan budi pekerti beliau secara mutlak pada masa awal kenabian beliau, lalu Dia mengecam beliau atas beberapa sikap dan mencelanya karena melayani orang-orang kaya—lagi meminta petunjuk.

Di sisi lain—lanjut Thabathaba’i. Allah juga telah berpesan bahwa:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin.” (QS. asy-Syu`ara [26]: 215).

Dan sekian banyak ayat yang semakna. Demikian antara lain Thabathaba’i yang kemudian meriwayatkan dari sumber Imam Ja`far ash-Shadiq bahwa ayat-ayat di atas turun menyangkut seorang dari Bani Ummayyah yang ketika itu sedang berada di sisi Nabi saw, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Ketika orang tersebut melihat Abdullah, dia merasa jijik olehnya, lalu menghindar dan bermuka masam sambil memalingkan wajah. Maka sikap orang itulah yang diuraikan oleh ayat-ayat di atas dan dikecam. Demikian Thabathaba’i.


Yang Terlewatkan dari Pandangan Allamah Thabathaba’i Dalam Tafsir Al-Misbah

Di bawah ini saya ingin menyampaikan secara utuh dan menambahkan apa yang disampaikan oleh Allamah dengan maksud itmamul faedah (biar manfaatnya menjadi sempurna) dan agar pembaca dapat membandingkan dengan mudah antara pandangan beliau dan kritikan Ustad M. Quraish Shihab. Berikut ini pandangan Allamah secara utuh:

Ayat-ayat tersebut (ayat pertama dan kedua—pen.) tidak mempunyai indikator kuat (dzahiratu dalalah) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. Itu hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk).

Allah swt telah mengagungkan akhlak Nabi saw ketika Dia berfirman—sebelum turunnya surah ini (surah Abasa): “Dan sungguh padamu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang agung.” Ayat ini terdapat dalam surah Nun dimana banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan urutan surah menyepakati bahwa surah ini diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq). Lalu, bagaimana dapat diterima oleh akal: di satu sisi Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya dan Allah menyatakannya secara mutlak lalu setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela di mana dinyatakan bahwa beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya meskipun mereka kafir dan berpaling dari kaum fakir miskin meskipun mereka beriman dan memperoleh hidayah.

Allah swt juga berfirman: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu`ara’: 215) Allah memerintahkan beliau untuk bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, surah ini pun termasuk surah Makkiyyah, sedang konteks diturunkannya ayat ini berkenaan dengan firman-Nya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” yang turun pada masa-masa mula dakwah.

Begitu juga firman-Nya: “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. al-Hijr: 88) Dan dalam konteks ayat ini terdapat firman-Nya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr: 94) Ayat-ayat ini turun di permulaan dakwah secara terang-terangan, sehingga bagaimana mungkin kita membayangkan bahwa Nabi saw bermuka masam dan berpaling dari kaum mukmin, padahal beliau diperintahkan untuk menghormati keimanan mereka dan bersikap lemah lembut terhadap mereka serta beliau dilarang untuk terpikat dengan kekayaan para penyembah dunia (harta).9

Setelah memaparkan pendapat Allamah Thabathaba’i tersebut, ustad M. Quraish Shihab memberikan tanggapan dan kritikan atas keterangan Allamah sebagai berikut:

Hemat penulis, apa yang dikemukakan Thabathaba’i di atas lebih bayak terdorong oleh keinginan untuk mengagungkan nabi Muhammad saw, dan ini adalah suatu hal yang sangat terpuji. Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat. Rasul saw sama sekali tidak mengabaikan Ibn Ummi Maktum karena kemiskinan atau kebutaannya, tidak juga melayani tokoh-tokoh kaum musyrikin itu karena kekayaan mereka. Nabi melayaninya karena mengharap keislaman mereka, yang menurut perhitungan akan dapat memberi dampak yang sangat positif bagi perkembangan— melebihi pelayanan ketika itu jika dibandingkan dengan melayani Abdullah Ibn Ummi Maktum.

Agaknya ketika itu beliau sadar bahwa menangguhkan urusan sahabat (Abdullah Ibn Ummi Maktum) dapat dimengerti oleh sang sahabat dan dapat diberi kesempatan lain, sedang mendapat kesempatan untuk memperdengarkan dengan tenang kepada tokoh-tokoh musyrik itu tidak mudah. Di sisi lain, kata “talahha” bukanlah berarti mengabaikan dalam pengertian menghina dan melecehkan, karena seperti penulis kemukakan di atas ia digunakan juga untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan mengabaikan sesuatu lain yang juga penting.

Apa yang dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah satu sikap yang sangat terpuji—dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan muka masamnya pun tidak terlihat oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bertanya: Jika demikian, mengapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau adalah manusia teragung, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Memang seperti bunyi rumus: Hasanat al-Abrar Sayyi’at al-Muqarrabin (apa yang dinilai kebajikannya orang-orang yang amat berbakti, masih dinilai keburukan oleh orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya). Nabi Muhammad saw adalah makhluk yang paling didekatkan Allah ke sisi-Nya, karena itu beliau ditegur.

Apa yang beliau lakukan itu dapat menimbulkan kesan bahwa beliau mementingkan orang kaya atas orang miskin, orang terpandang dalam masyarakat dan yang tidak terpandang. Ini kesan orang lain, dan Allah hendak menghapus kesan semacam itu dengan turunnya ayat-ayat ini. Karena itu, teguran ayat-ayat di atas justru menunjukkan keagungan nabi Muhammad saw, dan bahwa beliau adalah manusia, tetapi bukan seperti manusia biasa, beliau adalah semulia-mulia makhluk Allah.

Di sisi lain teguran di atas mengajarkan kepada nabi Muhammad saw bahwa ada hal-hal yang terlihat dengan pandangan mata serta indikator-indikator yang nampak bahwa itulah yang baik dan tepat, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam lagi dan dipikirkan secara seksama atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam, maka ia tidak demikian. Ini serupa dengan yang dialami oleh nabi Musa as bersama dengan hamba Allah yang membocorkan perahu, membunuh anak dan membangun kembali tembok yang nyaris roboh.

Dalam pandangan mata lahiriah, kesemuanya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam pandangan Allah dan hakikat sebenarnya justru itulah yang terbaik. Dalam kasus nabi Muhammad saw ini, Allah mengajarkan beliau bahwa kalaulah kelihatannya berdasarkan indikator-indikator yang nyata bahwa tokoh kaum musyrikin yang dilayani nabi Muhammad saw itu diharapkan memeluk agama Islam, maka pada hakikatnya tidaklah demikian.

Tokoh-tokoh itu sama sekali menolak apa yang beliau lakukan, dan dengan demikian menghadapi walau seorang yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik. Allah swt tidak menjadikan pelajaran ini teguran dari seorang makhluk—bukan seperti pengajaran yang disampaikan Allah kepada nabi Musa as melalui teguran hamba-Nya yang saleh, karena hanya Allah sendiri yang mendidik beliau, sehingga sempurnalah kepribadian nabi Muhammad saw.[1]


Catatan dan Telaah atas Pendapat Ustad M. Quraish Shihab

1. Metedologi tafsir yang diyakini oleh Allamah adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Artinya, beliau meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan dan saling menguatkan. Menurut Allamah, al-Qur’an itu pelita dan penjelas buat segala sesuatu maka mana mungkin ia tidak menjadi penjelas untuk dirinya sendiri!

2. Bila Ustad M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang bermuka masam itu memang nabi saw maka itu berarti beliau membenarkan riwayat Asbab Nuzul yang mengisahkan hal itu, padahal sanad perawinya bermasalah/lemah (dha`if). Redaksi riwayat itu sebagai berikut:

Pada suatu ketika Rasulullah saw menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Bersamaan dengan itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah saw membacakan kepadanya ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan Allah. Tetapi Rasulullah saw bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum (nama lengkapnya Abdullah bin Ummi Maktum) yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah saw terhadap Ibnu Ummi Maktum itu.

Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah nabi saw. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dengan sanad yang sama dimana bunyi hadisnya sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Sa`id bin Yahya bin Sa`id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya (Urwah bin Zubair), dari Aisyah ra. Berkata: Diturunkan tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, dia (Ibnu Ummi Maktum) mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: ‘Berilah aku petunjuk!’ saat itu Rasulullah saw sedang bersama pembesar kaum musyrik, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan menghadap pada yang lain (pembesar kaum musyrik). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: ‘Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak.’ Dalam peristiwa ini turunlah surah Abasa.

Dalam tafsir al-Misbah, Ustad M. Quraish Shihab mengemukakan pendapat al-Wahidi yang meriwayatkan– tanpa menyebut sanad (rangkaian perawinya) bahwa setelah peristiwa ini, bila Abdullah Ibn Ummi Maktum ra datang, menyambutnya dengan ucapan: “Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegur—karena ia—oleh Tuhanku.”[2]

Di sini saya akan menyampaikan analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw tersebut. Kritikan ini saya sarikan dan nukil dari buku “Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam”, karya guru saya yang terhormat al-Marhum Ustad Husein bin Abu Bakar al-Habsyi. Analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw yang saya maksud adalah:

1. Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadis ini tidak muttafaqun alaih (yang disepakati oleh keseluruhan) .

2. Sebab turunnya ayat tersebut simpang siur, yakni:
a) Delegasi Bani Asad datang menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.
b) Sebab turunnya, al-A`la bin Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, ‘Apakah ia dapat membaca al-Quran?’ Kemudian ia menjawab, ‘Ya, dan membaca surah Abasa.’
c) Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah saw.
Dalam hadis tersebut terdapat para perawi sebagai berikut:
a) Yahya bin Sai`d.
b) Urwah bin Zubair (ayah Hisyam).
c) Hisyam bin Urwah.
d) Ummul Mukminin Aisyah.

Berikut ini penjelasan satu persatu siapa sebenarnya para perawi tersebut.

a) Yahya bin Sai`d

Dia adalah seorang penulis sejarah hidup nabi saw, namun Imam Ahmad tidak begitu mengandalkannya. Ia banyak menukil dari A`masy hal-hal yang aneh, dan ia bukan termasuk ahli hadis.[3]

b) Urwah bin Zubair

Dia termasuk orang yang berpredikat “nashibi” (orang yang membenci Ahlul-bait nabi saw). Dengan demikian, menurut Ibn Hajar al-Atsqalani, riwayat dari orang yang “nashibi” dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.

c) Hisyam bin Urwah

Pada akhir hayatnya, kekuatan hafalnya memudar. Orang yang mendengar riwayat darinya berubah-ubah. Ya`qub mengatakan, dia seorang yang tsiqqah (yang dipercaya), tidak ada satu pun riwayat yang dicurigai kecuali setelah ia tinggal di kota Irak dan mengobral hadis yang ia sandarkan riwayatnya pada ayahnya, sehingga ia ditegur oleh ulama kota tersebut.

Imam Malik tidak rela atau tidak setuju ia sebagai perawi hadis.
Ibn Hajar al-Atsqalani menganggapnya sebagai mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya). Dengan demikian, riwayatnya tidak bisa dipercaya.

d) Ummul Mukminin Aisyah
Ayat tersebut turun di Mekkah, sedang Ummul Mukminin Aisyah ra masih kecil. Sehingga kita ragu dari mana beliau mendengar hadis tersebut.

Ath-Thabari, seorang pakar tafsir besar Ahlu Sunnah menyatakan bahwa at-Turmudzi menganggap hadis ini (hadis muka masamnya nabi saw) sebagai hadis yang aneh (hadza hadisun gharib).[4]

3. Al-Arif Billah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra, penulis kitab maulid “Simthu Durar” yang cukup terkenal di kalangan habaib di Indonesia, mengatakan: “Bila Nabi saw diundang oleh seorang miskin maka beliau segera memenuhi panggilan atau undangannya.” [5] (Idza da`ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa cemberutnya nabi saw dan sikap yang lebih memperhatikan orang-orang kaya (bangsawan kafir) daripada seorang mukmin yang miskin adalah tidak sesuai dengan sifat beliau yang digambarkan oleh al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra.[]


[Sebuah Tinjauan Sosiologis]

Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.

Seperti yang ditulis oleh para sejarawan, bahwa sejarah masa lalu umat manusia senantiasa diliputi oleh pelbagai tragedi kemanusiaan, penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang mewarnai sederet epos sejarah peradaban masa itu, yang warisan dan jejaknya masih bisa kita lihat dan kita rasakan hingga hari ini.

Zaman tersebut di atas benar-benar pernah terjadi bahkan dengan modelnya yang paling extrem yang terjadi di zaman gelap jahiliyah, dimana Nabi pernah hidup di dalamnya. Kondisi begitu buruknya sehingga kelas-kelas penguasa dari bangsawan kafir Quraish dengan seenaknya tanpa kontrol apapun melakukan penindasan, merampas dan menghancurkan kehormatan mereka, sehingga kelas masyarakat yang kemudian lebih kita kenal sebagai kaum Mustazdafin dan kalangan budak itu merasakan kehidupan yang paling menyengsarakan dan penuh penderitaan.

Hubungan antara kaum kaya bangsawan dan kalangan miskin membentuk semacam dua kutub yang pada akhirnya melahirkan hubungan tuan dan budak. Budak praktis kehilangan seluruh identitas dirinya yang tidak lain mereka adalah milik dan dimiliki sepenuhnya oleh tuan-tuan mereka, diri mereka kini menjadi milik majikannya.

Seperti yang juga ditulis oleh Prof Shihab, bahwa keadaan yang demikian melazimkan lahirnya sebuah hubungan yang khas antara rakyat dan kaum Mustazdafin di satu pihak dan Bangsawan Quraish di pihak yang lain, sehingga garis pembatas di antara keduanya semakin menganga lebar dan memungkinkan Pembesar-pembesar Kafir Quraish untuk senantiasa mengelola kejahatan dan kesewenangan mereka dengan pelbagai cara yang menjauhkan mereka dari adanya pihak yang mampu mengontrol kebiadaban mereka. Kenyataan tersebut meniscayakan sulitnya mereka untuk dapat berbaur bersama dengan kaum papa tersebut, sulit rasanya kita bisa merindukan mereka duduk bersama di atas permadani dan alas yang sama pula, sebuah mimpi di siang bolong!

Ustad Quraish dengan jernih melihat kenyataan di atas untuk menilik sebuah turunnya surat, dan kali ini adalah sebuah surat yang terus menerus menjadi silang pendapat di kalangan kaum muslimin yaitu surat Abasa watawalla, yang pada sebagian mufasirin melihat turunnya surat tersebut berkaitan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum seorang Mustazdafin Mekah yang buta kedua matanya, yang datang untuk menghadiri acara khusus, yaitu pertemuan antara Rasul dan Pembesar-pembesar Quraish, mereka beranggapan bahwa kejadian di atas membuat Nabi gerah karena terjadi justru ketika pembicaraan sedang berlangsung dan tiba-tiba ibn Maktum melontarkan serangkaian pertanyaan, dan diyakini oleh mereka bahwa atas kelancangan ibn Maktum itulah Nabi kemudian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dengan raut muka yang masam kemudian memalingkan wajahnya. Pertanda bahwa Rasul Muhammad saw tidak menyukai peristiwa yang baru saja dialaminya tersebut.

Sementara sebagian Mufasirin yang lain menisbatkan bahwa ditegurnya seseorang pada peristiwa tersebut oleh Allah swt dalam suratnya adalah orang lain yang menjadi lawan bicara Nabi pada saat itu.

Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah rangkaian peristiwa adalah sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, yang diceritakan dan di distribusikan dengan pelbagai cara dan utamanya adalah melalui media tulis, namun sering kali kita dapati bahwa seting sejarah yang disuguhkannya tidak mampu memberikan gambaran yang utuh atas peristiwa yang benar-benar terjadi, apalagi bias dan faktor-faktor internal lainnya sering kali ikut serta mempengaruhi hasil yang hendak dikhabarkan.

Namun demikian dengan berbekal pada pandangan ilmiah yang lebih akurat, akan memberikan kepada kita sebuah celah yang lebih tajam untuk melacak jalannya sebuah sejarah yang terjadi pada masa lalu, dan melakukan rekonstruksi terhadap detail peristiwa yang belum terungkap dengan jelas. Alat ukur tersebut mendorong kita untuk kemudian secara konsisten penjauhan obyek kajian pada posisi yang aman, dan membiarkan sejarah itu sendiri yang “berbicara”, dengan demikian kita akan mampu mendapati alur kisah yang mendekati kenyataan yang sebenarnya.

Kembali pada apa yang ditulis oleh Prof Shihab bahwa peristiwa asbabun-nuzul dari turunnya surat Abasa ditujukan langsung kepada pribadi Muhammad saw dan bukan yang lain.

Mengacu pada apa yang telah dipaparkannya pada tafsir beliau berkaitan dengan turunnya surat Abasa tersebut, kita akan mencoba untuk melakukan analisis dengan mendekati kejadian perkara untuk memudahkan kita dalam menentukan dengan persis siapa sebenarnya orang yang ditegur dalam surat Abasa tersebut.

Setidaknya kita memiliki tiga asumsi dan kemungkinan, yang akan kita uji bersama di mana sesungguhnya peristiwa pertemuan antara Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar suku Quraish itu berlangsung, dan turunnya ayat Abasa watawalla tersebut. Menilik tempat kejadian perkara menjadi model yang menurut hemat saya adalah sebuah cara pendekatan yang paling memungkinkan untuk menelusuri dan kemudian memetakan dengan tepat berlangsungnya sebuah peristiwa.

Asumsi yang pertama adalah, bahwa pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat atau aula umum yang biasa menjadi tempat di mana khalayak biasa bertemu dan memutuskan perkara-perkara mereka, aula semacam itu setidaknya mensyaratkan sebuah model bangunan yang relatif mudah untuk bisa dijangkau dan dimasuki oleh banyak orang, sehingga apa-apa yang terjadi di dalamnya akan mudah diakses dan diketahui secara langsung oleh kebanyakan orang. Agaknya tempat semacam ini kurang cocok untuk pertemuan kali ini, karena sudah berkali-kali tempat yang demikian justru menjadi lahan yang empuk buat Nabi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dan seruan tauhidnya, dan sekaligus untuk membuktikan kebohongan-kebohong an agama pagan kafir Quraish. Dan tentu saja kondisi yang demikian sama sekali tidak diharapkan oleh pembesar-pembesar Quraish, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Nabi memanfaatkan ruang publik semacam Ka’bah menjadi sarana menyuarakan misi langitnya, dan itu sudah cukup untuk mengundamg simpati banyak orang. dan kondisi yang demikian akan berakibat buruk untuk posisi dan kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Dan seandainya peristiwa tersebut benar-benar terjadi di tempat semacam itu, tentunya ibn Maktum tidak akan tampil sendirian dan akan diikuti oleh kalangan mustazdafin lainnya, untuk melihat dari dekat Nabinya berargumen dan membuktikan kebenaran akan misinya.

Jika pada saat itu ibn Maktum menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan pertanyaan perihal dirinya kepada Nabi, dan Nabi kemudian menanggapinya dengan muka yang cemberut dan segera memalingkan wajahnya, tentunya aksi yang demikian akan menjadikan posisi Nabi sangat berbahaya yang jauh dari akhlak mulia yang selama ini beliau kemukakan di banyak kesempatan dan kepada siapa pun, dengan mengatakan hahwa akhlak mulia adalah hiasan kaum beriman, dan inilah sikap yang menjadikan pesona Nabi luar biasa ditengah-tengah masyarakat yang bengis dan jauh dari nilai-nilai mulia. Dan jika benar bahwa Nabi bermuka masam, keadaan demikian akan membuat rasa frustasi pengikut beliau yang hadir pada saat itu karena kini tak ada lagi Nabi yang santun dan ramah yang bisa menghargai harga dirinya di depan pembesar-pembesar Quraish. Sementara pada pihak kafir Quraish bahwa berkumpul di satu tempat dengan para mustazdafin untuk acara sepenting itu adalah bukan pilihan yang tepat, mengingat kehormatan dan harga diri mereka sedang dipertaruhkan pada saat itu.

Dengan kata lain kejadian dan berlangsungnya acara tersebut menjadi sangat kecil kemungkinannya jika berlangsung di tempat seperti itu, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin terjadi.

Asumsi yang berikut adalah bahwa pertemuan diselenggarakan di salah satu rumah dari Pembesar Quraish. Kalau sedikit kita renungkan dan kemudian membayangkan bentuk dari arsitektur rumah para pembesar Quraish saat itu, tentunya akan kita dapati bahwa rumah yang mereka tempati akan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah orang asing begitu saja bisa memasuki pelataran dan rumah mereka. Penjagaan dan pengawalan ketat dari para budak mereka rasanya sudah cukup untuk bisa menghalau orang seperti ibn Maktum.

Andaikan peristiwa itu memang benar-benar terjadi di salah satu dari rumah mereka, di butuhkan upaya yang cukup besar buat ibn Maktum untuk bisa sekonyong-konyong hadir di tengah-tengah mereka dikala Kafir Quraish dan Nabi sedang terlibat pembicaraan sepenting itu. kecil kemungkinannya kejadian tersebut berjalan tanpa adanya aksiden yang bisa menimpa ibn Maktum.

Dan seperti kebiasaan pembesar dan bangsawan Quraish bahwa pergaulan dan persahabatan hanyalah milik mereka yang sederajat dan adanya ikatan kekeluargaan. Bukan milik yang lain. Orang seperti ibn Maktum, jangankan bisa duduk dan berbicara bersama dengan mereka untuk mendekatpun adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada saat itu.
Kini kita bisa menguji dengan asumsi yang terakhir bahwa pertemuan antara Pembesar-pembesar kafir Quraish dengan Nabi belangsung di kediaman beliau.

Rumah dan kediaman Muhammad Rasulullah adalah rumah tempat persinggahan dan sekaligus tempat di mana kaum mustazdafin mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Di rumah inilah Nabi biasa menjamu dan menerangkan akan misi kenabiannya, kepada siapa saja yang hatinya diketuk oleh suara keimanan, sehingga orang semacam ibn Maktum mendapatkan harapan hidup dan kepercayaan diri, dan di rumah ini jugalah Nabi senantiasa mengulang-ulang ucapannya, bahwa sesungguhnya manusia datang dari asal yang sama dan memiliki martabat yang sama pula di hadapan Tuhannya, dan bahwa kejahatan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan adalah musuh utama dari ajaran sucinya. Dan di tempat ini jugalah sekelompok kaum mustazdafin menyadari akan semua itu dan meneguhkannya dengan kalimat Tauhid, beriman dan berjanji untuk saling menolong di antara mereka. Nabi kini benar-benar telah menyalakan cahaya keimanan dan kemanusiaan ditengah-tengah kehancuran hati merkeka.

Benar adanya bahwa rumah Nabi telah sering menjadi tempat berkumpul dan persinggahan buat mereka yang mencari perlindungan keimanan, terutama dari kalangan mustazdafin, sebagai pihak yang senantiasa dirugikan oleh sistem Paganisme Arab Quraish. Tentunya orang seperti ibn Maktum bisa lebih leluasa untuk mendatangi rumah seperti itu. Nah! pada saat pertemuan sedang berlangsung antara Nabi dan Pembesar-pembesar Quraish itulah ibn Maktum datang bergabung dengan mereka, keadaan tiba-tiba seperti ini merisaukan dan membuat Bangsawan Quraish tak mampu untuk mengelaknya, sampai pada situasi di mana mereka masih juga bisa menahan dan menyembunyikan rasa kesalnya. Namun ketika ibn Maktum menyela mereka yang sedang terlibat pembicaraan itu, benar-benar membuat salah seorang dari mereka itu tak lagi bisa menyembunyika rasa sakit hatinya dan dengan raut wajah yang masam dan cemberut memalingkan mukanya dari forum atau mungkin dari tatapannya yang selama beberapa saat ini memang ditujukan pada orang yang sedari tadi memang tidak diharap kehadirannya itu. Lalu Mengapa mereka tidak juga mengusir ibn Maktum seperti yang biasa mereka lakukan ketika ada fakir yang datang mendekati mereka. Kali ini mereka lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa karena sang tuan rumah Nabi sendiri tidak mengambil tindakan apapun semisal mengusirnya, jelas mereka sadari bersama bahwa sikap seperti itu mustahil dilakukan oleh Muhammad Rasulullah. dengan kata lain bahwa otoritas dan kekuasaan mendatangkan dan mengusir orang asing yang datang ke rumah seseorang adalah menjadi hak penuh dari pemilik rumah itu sendiri. Nah kini mereka hanya bisa bermuka masam dan memalingkan mukanya.[] Wallahua’lam bi sawwab


Penulis: S1 Ulumul Quran di Universitas Imam Khomeini Qom Republik Islam Iran dan Mahasiswa Jurusan Filsafat Islam di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.

Rujukan:
9 Al-Mizan, karya Allamah Thabathaba’i, juz 20, hal.218-224, terbitan Muassasah al-A`lamiy, Beirut, Lebanon.

Catatan Kaki:
[1] (Tafsir al-Misbah Volume 15, dari halaman 62 sampai 65, Cetakan V).
[2] Tafsir al-Misbah Volume 15 halaman 60, Cetakan V.
[3] Muqaddimah Fath al-Bari, juz 2, hal. 205, cet. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
[4] Al-Jami` li ahkamil Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, jilid 19, hal. 212, penerbit Dar al-Kitab al-Arabi li ath-Thiba`ah wa an-Nasyr bil Qahirah 1387 H/1967 M
[5] Simthu Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi al-Hadhrami, hal. 23, cet, kedua 1388H/1968 M, Qahirah, Mesir.

(Haidarrein/ABNS)

Sekilas Ahlul Bait


Tidak ada yang dapat menandingi kemuliaan Ahlillbait Nabi, dari kawan hingga lawan tidak dapat memungkiri kebesaran Ahlillbait as dan tidak terdengar berita tentang keburukan Ahlillbait Nabi.

Yang dimaksud Ahlillbait Nabi terbatas yaitu; Fathimah al-Zahra. Ali. al-Hasan. al-Husain dan sembilan orang imam keturunan al-Husain berakhir Imam Mahdi as. ( banyak diriwayatkan oleh Sunnah apalagi Syiah)

Mereka suci “ayat penyucian” sbb:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kotoran dari kamu, wahai ahlillbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya“ (QS al-Ahzab.33)baca selengkapnya

Jadi ahlillbait Nabi hanya Mereka tersebut diatas (satu kelompok) tidak ada kelompok lain, semua Ahlilbait suci mustahil ada yang tidak baik atau melakukan kesalahan.

Ahlillbait manusia pilihan Allah, kehendak Allah pasti terjadi, sebagaimana dalam alquran:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan “Kun (jadilah) maka jadilah” (QS. al-Nahl.40)

Memang benar, manusia bisa saja tidak punya dosa, sebab dia tidak dipaksa untuk melakukan dosa. Adalah pilihan manusia untuk menerima perintah Allah dan mendapatkan pertolonganNya dalam menghindar dosa, atau untuk mengabaikan perintah Allah dan melakukan dosa. Allah adalah penasehat, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.

Manusia yang tanpa dosa, tidak diragukan lagi, adalah tetap manusia. Banyak orang menyakini bahwa untuk menjadi manusia, orang mesti memiliki kesalahan. Pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Yang benar adalah bahwa manusia dapat berbuat dosa, tetapi dia tidak diharuskan untuk melakukan.

“Barangsiapa yang menengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang SUCI (thayyibah)” (QS.al-Nahl: 97).

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menunjukkan baginya jalan keluar” (QS.al-Thalaq: 2).

Tidak akan bercampur di hati manusia Mencintai Rasul dan AhlillbaitNya juga mencintai musuh-musuhNya, hanya sifat munafik yang dihatinya bersemayam hal-hal yang kontradiksi.

Hanya mukmin yang bisa mencintai Rasul dan Ahlillbait secara total, kecintaan dan ketaatan mutlak pada Mereka karena perintah Allah, Mereka agen tunggal Allah, barang siapa yang melauinya akan selamat.

Sukur AlHamdulillah, seluruh ichwan sebenarnya sangat menjunjung tinggi Rasul dan Ahlillbait.

Tidak ada yang berhak mengklaim Rasul dan Ahlillbait milik kelompok/Mazhab tertentu, Mereka diutus untuk semua manusia (Sunnah, Syiah, Wahaby dan seluruh manusia boleh mengambil manfaat dariNya).

(Haidarrein/ABNS)

Mengingat-Mu Penuh Seluruh; Ulasan Doa Hari Keempat Puasa


Hakikat doa adalah menjalin hubungan intens dengan Tuhan. Bercengkerama dengan-Nya berikut memuja-Nya. Tatkala seorang anak manusia duduk bersimpuh di hadapan realitas tak-terbatas Ilahi, dan menjumpai-Nya sebagai Keindahan dan Kesempurnaan Mutlak, maka dihadapan Keindahan dan Kesempurnaan Mutlak ini ia merasa sangat kerdil. Dalam kekerdilannya, ia memuja, menyembah dan berserah diri pada-Nya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa doa adalah ibadah. Bahkan ruhnya ibadah. Inti ibadah adalah mengingat-Nya penuh seluruh. Sebaik-baik bentuk ibadah adalah berdoa. Hal ini dapat kita telusuri dari lisan para maksum As, seperti yang dinukil dari Imam Baqir As, “Afdhalul ‘Ibâdah ad-Dua.” (Mahajjatul Baidha, jil. 2, bab. 2). Di hari keempat bulan suci Ramadhan ini mari kita berdoa kepada Allah Swt untuk dikuatkan dalam memenuhi perintah-Nya, dianugerahi kelezatan mengingat-Nya, diberikan kesempatan untuk bersyukur pada-Nya dan dijaga dalam menunaikan titah-Nya.

اَللَّهُمَّ قَوِّنِيْ فِيْهِ عَلَى إِقَامَةِ أَمْرِكَ وَ أَذِقْنِيْ فِيْهِ حَلاَوَةَ ذِكْرِكَ وَ أَوْزِعْنِيْ فِيْهِ لِأَدَاءِ شُكْرِكَ بِكَرَمِكَ وَ احْفَظْنِيْ فِيْهِ بِحِفْظِكَ وَ سِتْرِكَ يَا أَبْصَرَ النَّاظِرِيْنَ

Ya Allah, kuatkanlah diriku di bulan ini untuk menunaikan perintah-Mu, anugerahkan kepadaku di bulan ini kelezatan mengingat-Mu, berikanlah kesempatan kepadaku di bulan ini untuk bersyukur kepada-Mu demi kemurahan-Mu, dan dengan penjagaan dan tirai-Mu jagalah diriku di bulan ini, wahai Dzat Mahamelihat dari orang-orang yang melihat.

اَللَّهُمَّ قَوِّنِيْ فِيْهِ عَلَى إِقَامَةِ أَمْرِكَ

“Ya Allah, kuatkanlah diriku di bulan ini untuk menunaikan perintah-Mu “

Penghambaan dan ketaatan merupakan dua hal yang saling bertalian. Menjadi hamba Tuhan menuntut ketaatan kepada-Nya. Perintah Tuhan harus ditunaikan dan dalam menunaikan perintah Tuhan ia memerlukan energi dan kekuatan. Baik energi badan juga energi pikiran, energi keputusan dan keseriusan, sehingga firman Allah Swt yang berkuasa.

Allah Swt adalah maula seluruh manusia. Maula menitahkan abdinya untuk bergerak menuju kesempurnaan insaniah. Apabila kita menuruti titah-Nya jalan menuju kesempurnaan insaniah dapat kita lalui. Namun titah-perintah Tuhan tidak mudah ditunaikan, oleh karena itu kita meminta kepadanya supaya membantu kita menunaikan perintah-perintah-Nya. Tuhanku anugerahkan kepadaku di hari ini kekuatan untuk menunaikan perintah-Mu. Kekuatan lahir dan energi batin.

Dengan makna yang sama dalam doa Kumail kita mendapatkan permohonan seperti doa hari keempat ini, “qawwi ‘ala khidmatik jawarihi, wasydud ‘alal ‘azhimati jawanihi (kokohkanlah anggota badanku untuk berkhidmat kepadamu, teguhkanlah hatiku untuk melaksanakan niatku). Kalau ingin mencermati redaksi doa Kumail ini, kita menjumpai tiga poin penting yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan doa ini. Pertama kita meminta energi dan kekuatan dari Tuhan lantaran Dia merupakan sumber segala kekuatan “Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.“ (Qs. Al-Kahf [18]:39) Kedua kita memohon kekuatan jasmani dari Tuhan karena: “Segala kekuatan adalah milik Allah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:165).

Dalam suluk maknawi badan dan keselamatan badan tidak boleh dilupakan. Karena manusia di alam nasut ini memiliki tugas-tugas yang harus dikerjakan dimana tanpa kekuatan dan keselamatan badan perintah-perintah tersebut tidak dapat ditunaikan. Meletihkan dan mencederai badan secara berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian aliran kepercayaan, seperti para pertapa di India, untuk memperkuat ruh jelas tertolak dalam Islam. Poin ketiga adalah permintaan kekuatan anggota badan. Kekuatan jasmani boleh jadi diperuntukkan untuk pamer body, berbuat kezaliman, dan menyikut sana-sini. Namun mukmin yang telah lebur bersama Tuhan kekuatan jasmaninya diperuntukkan untuk mengabdi kepada-Nya, berjihad di jalan-Nya dan melayani sesama.

Di samping memohon kepada Allah Swt untuk diberikan kekuatan badan untuk menunaikan titah dan perintah-Nya dalam ibadah dan ketaatan kepada-Nya, kita juga meminta dianugerahkan kehendak jiwa yang kuat dan azham yang puncak. Badan merupakan kendaraan bagi jiwa. Apabila badan lemah, ia tidak mampu secara maksimal menjalankan perintah Tuhan. Jiwa juga harus kuat karena tanpa keinginan jiwa yang kuat dengan kekuatan badan saja tidak menyelesaikan persoalan ini. Betapa banyak orang yang sehat raga dan fisiknya, macho dan atletis namun sayang mereka tiada keinginan jiwa untuk memenuhi perintah Tuhan. Demikian sebaliknya. Islam mengajarkan untuk memperhatikan keduanya, sisi esoterik juga sisi eksoteris.

Menunaikan ibadah puasa merupakan salah satu perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk terbebas dari belenggu kebiasaan dan keseharian. Serta titah untuk menggelontorkan program rekonstruksi-diri. Berpuasa dan rekonstruksi-diri (tazkiyah an-nafs) memerlukan kekuatan dan kemampuan badan juga kekuatan kehendak yang kokoh. Dari Imam Shadiq As disebutan bahwa “Badan yang kokoh karena niat sekali-kali tidak akan melemah.” Apabila berpuasa di bulan Ramadhan sepintas kelihatan mudah dalam menahan lapar dan dahaga juga karena disebabkan oleh niat yang kokoh ini. Apabila kita melihat ada orang yang melakukan praktik suluk, kegigihannya untuk tetap di jalan suluk juga bersumber dari niat yang kokoh ini.

وَ أَذِقْنِيْ فِيْهِ حَلاَوَةَ ذِكْرِكَ

“Anugerahkan kepadaku di bulan ini kelezatan mengingat-Mu.”

Hamba yang mengingat adalah hamba yang selalu mengenang Tuhan baik dengan lisan lahirnya maupun dengan lisan batinnya. Mengingat Tuhan merupakan salah satu tingkatan dalam meniti jalan suluk. Dengan segala keberadaannya mengingat Tuhan dalam setiap keadaan, duduk, diam, berdiri dan geraknya dalam sebuah irama yang mengalun indah dalam proses dzikruLlah. Lalai dari mengingat Tuhan menyebabkan munculnya selaksa persoalan duniawi dan ukhrawi.

Tujuan asli seluruh tugas-tugas syar’i khususnya ibadah adalah menciptakan dan menguatkan rajutan antara Tuhan dan manusia. Syarat valid dan syarat sempurnanya pengerjaan ibadah adalah perhatian (ingatan) manusia kepada Tuhan. Ihwal shalat yang merupakan ibadah yang paling tinggi dan sangat dianjurkan adalah mengingat Tuhan. “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha [20]:14) Para fuqaha juga berkata dalam ibadah-ibadah yang lainya ketika seorang mukallaf tidak perhatian dan dzikir kepada Tuhan, maka ibadah tersebut belum lagi tertunaikan. Mengingat Tuhan menyuguhkan kelezatan dan kenyamanan. Namun bagi mereka yang telah menemukan khazanah makrifat. Dzikir tanpa makrifat tidak lain kecuali komat-kamit di lisan dengan beberapa bacaan atau mantra atau memilin tasbih dengang mengulang-ngulang bacaan tertentu. Dan apabila seseorang mengenal Tuhan, menyatakan cinta kepada-Nya maka seluruh hidupnya dipersembahkan kepada-Nya. Seluruh gerakan, diam dan langkahnya merupakan dzikir kepada Tuhan. Mengenal menuai cinta. Tak kenal maka tak sayang. Cinta dan isyq membuat sang pecinta senantiasa menyebut dan mengingat Kinasihnya. Tatkala Tuhan menjelma dalam hati seorang pecinta dan cahaya kebenaran bersinar memancar dari hatinya, maka seluruh keberadaan yang memenuhi semesta ini ia pandang sebagai jelmaan dari Allah Swt. Semesta merupakan pelataran tajalli (manifestasi) Tuhan dalam pandangan pecinta ini.

Tentang faedah mengingat Tuhan ini banyak sekali dijelaskan dalam ayat dan riwayat. Misalnya ayat yang menyatakan “Ingatlah Aku, Ku akan mengingatmu.” Mengingat Tuhan akan mendatangkan ketenangan, “Sesungguhnya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tentram.” Atau dalam hadis Qudis ditegaskan, ‘Ana Jâlisun man dzakarani.” Aku duduk bersama orang-orang yang mengingatku. Mengingat Tuhan mendapatkan respon segera dari-Nya, Mengingat Tuhan menentramkan hati. Mengingat Tuhan bermakna duduk bersama Tuhan. Duduk bersama Tuhan menawarkan kelezatan dan kenyamanan. Dalam mengomentari frase doa ini terakhir saya mengajak Anda bergabung dengan kafilah Imam Sajjad untuk melantunkan munajat para pezikir:
Tuhanku sekiranya tiada kewajiban menerima amar-Mu
Akan kunyatakan Engkau terlalu suci untuk zikirku kepada-Mu
Tetapi zikirku pada-Mu hanya dengan kadar-Ku, bukan kadar-Mu
Tidaklah disampaikan pada kemampuanku
Sampai aku dijadikan tempat untuk menyucikan-Mu
Di antara nikmat-Mu yang besar bagi kami
Kaualirkan pada lisan kami zikir kepada-Mu
Kauizinkan kami berdoa pada-Mu
Menyucikan dan bertasbih pada-Mu
Tuhanku Ilhamkan pada kami zikir pada-Mu
Dalam kesendirian dan kebersamaan
Pada waktu siang dan malam, dalam suka dan duka

Semoga Tuhan mengilhamkan kepada kita zikir pada-Nya, dalam kesendirian dan kebersamaan, pada waktu siang dan malam, dalam keadaan suka dan duka. Mengingat-Nya penuh seluruh. Insya Allah.

وَ أَوْزِعْنِيْ فِيْهِ لِأَدَاءِ شُكْرِكَ بِكَرَمِكَ

“Berikanlah kesempatan kepadaku di bulan ini untuk bersyukur kepada-Mu demi kemurahan-Mu.”

Allah Swt menganugerahkan nikmat yang tak-terbatas kepada manusia. Syukur kepada pemberi nikmat (mun’im) dalam pandangan akal sehat dan moral adalah wajib. Pandangan ini berlaku secara universal. Bersyukur kepada Allah Swt juga merupakan sebuah nikmat yang besar. Dan di balik nikmat besar ini juga masih memerlukan syukur yang lain. Dalam Ilahi Name, Allamah Hasan Zadeh berkata: “Ilahî Syukrat ke Miguyam Syukr.” (Tuhanku! Aku bersyukur kepadaMu karena Aku dapat berkata syukur). Manusia, sejatinya, tidak mampu menunaikan hak syukur kepada Allah Swt dalam artian sebenarnya. Karena setiap ucapan syukur dari manusia memerlukan syukur yang lain demikian seterusnya yang berujung pada suatu akhir yang tak-berkesudahan (tasalsul). Karena memang Tuhan juga mengetahui hal ini, “Sekiranya engkau ingin menghitung-hitung nikmat-Ku, maka niscaya engkau tidak mampu.” Oleh karena itu, bersyukur atas segala nikmat Ilahi, sebagaimana seharusnya berada di luar kekuasaan kita. Namun, maa laa yudrak kulluh laa yutrak kulluh (Jika sesamudera air tidak dapat kita keruk untuk melepaskan dahaga, maka setetes airnya memadai). Dalam ucapan dan pengakuan kita mari kita buka lisan kita untuk berkata: “Syukur” dan dalam tataran amal, memanfaatkan nikmat yang kita peroleh mengikut kehendak Sang Pemberi Nikmat. Tentu saja syukur dalam tataran amal lebih utama ketimbang syukur lisan. Kita memohon kepada Allah Swt untuk diilhamkan dapat bersyukur kepada-Nya. Bersyukur lisan dan bersyukur dalam tindakan.

وَ احْفَظْنِيْ فِيْهِ بِحِفْظِكَ وَ سِتْرِكَ يَا أَبْصَرَ النَّاظِرِيْنَ

“Dan dengan penjagaan dan tirai-Mu jagalah diriku di bulan ini. Wahai Dzat Yang Mahamelihat dari orang-orang yang melihat.“

Sebagaimana penciptaan kita di tangan Tuhan, penjagaan diri kita juga berada di tangan-Nya. Manusia bukan pemilik keberadaannya dan tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Apabila kita berkata mampu menjaga sesuatu, ucapan ini merupakan jenis majazi (figuratif), bukan yang sebenarnya. Dialah satu-satunya Penjaga. “Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Qs. Al-Hud [11]:57). Apabila kita menjaga sesuatu hal itu dikarenakan keperluan kita terhadapnya. Jika mobil, rumah, atau manusia kita jaga biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kita. Allah Swt menjaga seluruh semesta tidak berasas kepada kebutuhan. Penjagaan-Nya berasas pada cinta kasihnya. Wahfizni birahmatik, Jagalah aku dengan rahmat-Mu, demikian salah satu penggalan doa Kumail.

Dalam melakukan taqarrub IlaLlah di bulan suci ini (tentu tidak terbatas bulan ini saja), kita memohon kepada Tuhan untuk menjaga kita ajeg dalam menjalankan perintahnya dan tidak tergelincir dalam perbuatan dosa, baik dosa kecil atau pun dosa besar. Amin.

(Eurekamal/ABNS)

Ketaatan Sebagai Kemuliaan; Doa Hari Keenam


Kiranya pantas manusia berpikir mengapa Tuhan memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan melarangnya untuk tidak bermaksiat. Mengapa perintah dan larangan terdapat pada firman Tuhan? Mengapa ketaatan kepada-Nya menyebabkan kebahagiaan dan bermaksiat kepada-Nya mendatangkan kemarahan-Nya dan penderitaan manusia. Persoalan ini harus dipahami dengan bersandar pada pengenalan Tuhan dan sifat-sifatnya, dan juga pengenal terhadap tujuan penciptaan dan pengadaan syariat agama. Jawaban global dari pertanyaan ini adalah bahwa perintah dan larangan Ilahi, baik yang wajib, mustahab, haram dan makruh merupakan lintasan kesempurnaan manusia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penyebab kesempurnaan manusia di pelataran dunia ini. Manusia dengan melewati lintasan tersebut dapat mencapai kesempurnaan dan mentransendental. Dengan demikian manfaat menuruti dan menjauhi, perintah-larangan Tuhan adalah untuk kesempurnaan manusia. Karena Tuhan tidak-membutuhkan dan mahakaya secara mutlak. Dia tidak mengeruk keuntungan dari perbuatan baik kita, dan tidak menderita kerugian dari keburukan kita. Tuhan berdasarkan rahmat dan faidh-Nya yang tak-terbatas, menyediakan seluruh faktor dan jalan untuk mentransendental dan menyempurnanya manusia. Bahkan ketika manusia dengan perbuatan tertentu yang menyebabkan kemurkaan-Nya, Tuhan menyediakan jalan untuk kembali kepada-Nya.

Pada hari keenam ini doa yang kita bacakan adalah berkenaan dengan kehinaan bermaksiat kepada Allah Swt, permohonan tidak dicemeti dengan cambuk amarah-Nya dan doa kiranya dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.

اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ

Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk amarah-Mu dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu. Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.

اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ

“Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu.”

Dalam frase doa ini kita meminta kepada Allah Swt supaya tidak terhinakan karena bermaksiat kepada-Nya. Bermaksiat kepada Allah Swt adalah menjatuhkan diri dalam kubangan kehinaan.

Sebagaimana taat kepada Tuhan mendatangkan kemuliaan dan kehormatan, maka bermaksiat kepada-Nya menuai kehinaan.

Barangkali seburuk-buruk kehinaan adalah terjerembab dalam kubangan maksiat. Berbuat dosa akan mengerdilkan jiwa manusia. Nilai keberadaannya dipertaruhkan. Fitrahnya yang suci dan bercahaya ternodai dan terkaburkan.

Alangkah malangnya orang yang mengetahui bahwa dengan melakukan perbuatan hina dan memalukan akan mendapat celaan dan cemoohan di hadapan manusia, namun tidak dapat mengetahui bahwa perbuatan hina dan memalukan bakalan mendapatkan celaan dan kutukan di hadapan Tuhan.

Abul Farj Isfahani, dalam kitab Maqati ath-Thâlibin, menukil dari Qasim bin Asbagh Nabatih bahwa: Aku melihat seseorang dari suku Bani Daram yang memiliki wajah yang menawan dan berkulit putih. Namun setelah peristiwa Karbala aku melihat wajahnya berubah menjadi hitam legam. Ketika kutanya: “Engkau adalah seorang yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih, mengapa kini engkau hitam legam? Ia berkata: “Aku membunuh salah seorang pemuda yang menyertai Imam Husain As di Karbala. Seorang pemuda yang di keningnya terdapat tanda-tanda sujud. Semenjak hari itu, pemuda yang aku bunuh itu setiap malam datang dalam mimpiku. Ia menyeretku dan melemparkan aku ke jahannam. Karena sedemikian mengerikannya sehingga aku menjerit yang seluruh orang di kampung mendengar jeritanku.

Banyak kisah di dekat kita yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus, betapa kesalahan membuat depresi dan penyesalan berlarut-larut dalam kehidupan kita.

Iya, salah satu pengaruh perbuatan dosa adalah azab-derita nurani dan kehinaan dunia-akhirat. Bisikan nurani orang yang berbuat dosa senantiasa menderanya dengan cemeti rasa berdosa.

Imam Shadiq As bersabda: “Takutlah kalian dari akibat perbuatan dosa.” (Bihârul Anwâr, jil 75, hal. 437).

Imam Baqir As bersabda: “Tiada nestapa dan duka yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran perbuatan dosa yang ia kerjakan. Namun lautan rahmat Tuhan amat luas.” (Qishar al-Jamal, jil. 1, hal. 232).

Disebutkan bahwa terdapat dua sebab membuat orang melakukan perbuatan dosa;
1. Pertama, karena kebodohan, jiwa lemah dan pikiran pendek yang membuat orang ternoda dengan perbuatan dosa. Oleh karena itu ia disebut sebagai pelaku maksiat.
2. Kedua, karena sengaja membangkang Tuhan semesta alam. Pedosa yang satu ini adalah orang yang tersesat dan menyesatkan. Karena pembangkangannya ini ia termasuk sebagai orang-orang yang tersesat. Orang yang sesat menentang Tuhan. Alih-alih mengamalkan hukum Tuhan, pedosa ini mengamalkan hukum yang sesuai dengan selera dan hawa nafsunya.

Berbuat dosa atau membangkang perintah Tuhan, mengikuti hawa nafsu, mau-tak-mau akan mengerjakan apa saja sehingga dapat menjalankan perintah nafsunya. Meski terjauhkan dari Tuhan, dan berbuat aniaya kepada manusia.

Titik seberang maksiat kepada Tuhan adalah ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan. Berbuat dosa atau maksiat kepada-Nya adalah kehinaan.

Perbuatan dosa menjungkalkan kemanusiaan manusia, mendorong nilai keberadaannya ke arah jurang ketiadaan. Manusia dengan berbuat dosa fitrah suci dan nuraninya berontak. Membuatnya tertunduk malu di hadapan Sang Pencipta dan manusia.

Bermaksiat kepada Tuhan menghasilkan kehinaan sebagaimana ketaatan kepadanya mendatangkan kemuliaan.

Imam ‘Ali As bersabda: “Ilahi cukup kemuliaan bagiku bahwa Aku (ini) adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan bahwa Engkau (itu) adalah Tuhanku.”

Kita berdoa kepada Allah Swt supaya tidak dihinakan dengan kelancangan bermaksiat kepada-Nya.

وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ

“Jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu“

Naqima secara leksikal bermakna mengingkari sesuatu, akibat dari sesuatu dan juga berarti sesuatu yang sangat tidak disukai (Qamus Qur’an, kata naqima). Salah satu sifat Tuhan adalah muntaqim (penuntut balas). Menuntut balas dari para tiran, durjana, kaum aniaya dan para pedosa yang selalu melupakan Tuhan. Dalam frase doa ini, pukulan-pukulan diumpakan dengan cambuk dan cemeti sebagai hukuman atas dosa yang dimaksudkan untuk mendidik para pedosa dan pelaku maksiat. Tentu Allah Swt tidak akan membiarkan para pedosa begitu saja. Mereka harus mencicipi akibat (hukuman) dari perbuatannya. Baik di dunia ini atau pun di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an kita bisa mengambil pelajaran dari kisah kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud karena kekufuran dan tidak bersyukurnya mereka kepada Tuhan menjadikan kemurkaan Tuhan tumpah ruah. Namun di samping sifat muntaqimnya Allah Swt adalah Mahakasih dan Mahasayang. Bahkan kasih-Nya melebihi murka-Nya. “Tuhanku, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu.”

Diriwayatkan dari Imam Shadiq bahwa Nabi Nuh As setelah tiga ratus tahun siang dan malam menyeru kaumnya kepada Tuhan, namun mereka tidak menyambut seruan ini. Nabi Nuh As memutuskan untuk mengutuk mereka. Para malaikat datang ke hadiratnya dan memohonnya untuk tidak mengutuk mereka. Kemudian beliau memberikan kesempatan kepada kaumnya selama tiga ratus tahun supaya mereka bertaubat dan menyembah Allah Swt. Setelah enam ratus tahun berlalu lagi kaumnya belum lagi beriman kepada Allah Swt dan kepadanya. Beliau kembali memutuskan untuk mengutuk mereka. Kembali malaikat datang menghadap Nabi Nuh As dan memohon kepadanya untuk tidak mengutuk mereka. Nabi Nuh As memberikan kesempatan tiga ratus tahun lagi kepada mereka untuk menyatakan keyakinan mereka. Akhirnya sembilan ratus tahun berlalu, hanya sedikit di antara mereka yang beriman. Lalu Nabi Nuh mengutuk kaumnya, kemudian turunlah ayat 11 dari surah Hud. “Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”

Kemudian Nabi Nuh As mengutuk mereka dan bersabda: “Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Karena jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Qs. Nuh [71]:26-27).[1]

Demikianlah potret rahmat Tuhan yang tak-terbatas kepada para hamba-Nya. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya.

وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ

Dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu.

Dengan sedikit merenungi frase-frase doa hari keenam ini hubungan yang terjalin di antara frase tersebut akan menjadi jelas: Pertama ihwal kehinaan dosa, lalu cambuk kemarahan Tuhan dan pada akhirnya adalah ghadab (murka) Tuhan. Sejatinya dengan melakukan pembangkangan dan bermaksiat maka persoalan azab ini mengemuka dan hal ini merupakan ancaman serius bagi mereka. Artinya ketika manusia tidak terjerembab dengan pembangkangan dan perbuatan maksiat maka persoalan ini akan tertolak dengan sendirinya. Bukankah dengan melanggar perintah Tuhan menyebabkan kemurkaan Tuhan? Bukankah berbuat maksiat merupakan faktor pengundang murka Tuhan? Jadi dengan memperhatikan faktor-faktor ini akan menjauhkan diri kita dari murka Tuhan. Atas alasan ini seorang supaya terbebas dari kehinaan dan ancaman azab ini maka tiada jalan lain kecuali berlindung kepada Allah Swt. Dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.

بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ

Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.

Keberadaan merupakan anugerah Tuhan. Dan seluruh nikmat Tuhan memenuhi segala keberadaan, oleh karena itu mengingatkan kepada anugerah dan nikmat Tuhan. Kekuasaan-Nya juga meliputi keberadaan. Tiada mungkin untuk lari dari kekuasaan Tuhan ini. “Wala yumkin an firar min hukumatik.” Demikian rintihan Imam ‘Ali dalam doa Kumail. Manusia seluruhnya bergerak mencari Tuhan, meski mereka mengejar harta, tahta dan wanita. Meski mereka mengejar kehidupan dan penghidupan mereka. Meski mencari yang lainnya, sejatinya mencari Tuhan. Mereka mencari kesempurnaan. Dan Engkau wahai Tuhanku adalah kesempurnaan mutlak. Engkaulah tambatan harapan segala harapan. Di penghujung doa hari ini, kita bermohon kepada Allah Swt dengan anugerah dan kekuasan-Nya untuk memudahkan hari yang kita lalui tanpa maksiat kepada-Nya, meski boleh-jadi mustahil bagi kita tanpa dosa namun berusahalah untuk menghindar. Berusahalah di hari ini mejadikan ketaatan sebagai kemuliaan, maksiat sebagai kehinaan. Mari kita tambatkan harapan pada-Nya untuk memudahkan kita melalui hari-hari penuh dengan ketaatan kepada-Nya.

Catatan Kaki:
[1]. ‘Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 325-326.

(Telaga-Hikmah/Eurekamal/ABNS)

Dzikir Konstruktif; Ulasan Doa Hari Ketujuh Puasa


Ketika kita berdoa, kandungan doa itu harus bersumber dari kedalaman jiwa dan kehendak hati. Redaksi doa harus membakar jiwa yang beku. Kandungan permohonan harus bergelora, bersemangat dan penuh vitalitas. Doa harus “hidup.” Permohonan kepada Tuhan harus memiliki “ruh.” Ia harus hidup tidak mati. Berdoa harus bertitik-tolak dari sanubari. Sedemikian sehingga orang yang berdoa laksana didera penyakit yang tak-terobati, sedemikian sehingga laksana karam dalam amukan gelombang, selaksa masalah menghantam dan tiada seorang pun yang membantu. Dalam berdoa singgasana hati dalam kondisi takluk, tunduk dan menyerah, harus dibawa ke haribaan Tuhan. Sehingga terdengar jawaban “labbaik” dari sisi-Nya. Bukankah Dia berfirman: “Serulah Aku, Kupenuhi seruanmu.”

Sepekan sudah kita melewati bulan suci Ramadhan. Alangkah bahagianya mereka yang mendapatkan taufik untuk “curhat” dengan Allah Swt. Alangkah beruntungnya mereka yang kecipratan cahaya untuk “berdua-duaan” dengan-Nya dalam kesendirian atau keramaian. Alangkah senangnya hati mereka yang menambatkan hajat dan harapan hanya pada-Nya dengan rangkaian doa dan munajat. Semoga di antara mereka yang disebutkan ini termasuk kita salah satunya. Amin.

Doa hari ketujuh bulan Ramadhan kita kali ini bercerita tentang permohonan bantuan dalam melaksanakan puasa dan shalat, terjauhkan dari dosa dan kesalahan, anugerah dzikir ajeg kapanpun dan dimanapun. Mari kita membaca:

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ فِيْهِ عَلَى صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَ آثَامِهِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ

Ya Allah, bantulah aku di bulan ini dalam melaksanakan puasa dan shalat, jauhkanlah aku di bulan ini dari kesalahan dan doa-dosa (yang tidak pantas dilaksanakan) di dalamnya, dan anugerahkanlah kepadaku di bulan ini (kesempatan untuk) mengingat-Mu untuk selamanya.

Dengan taufik-Mu, wahai penunjuk jalan orang-orang yang sesat.

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ فِيْهِ عَلَى صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ

“Ya Allah, bantulah aku di bulan ini dalam melaksanakan puasa dan shalat.”

Redaksi doa ini berkenaan dengan masalah puasa dan shalat. Kedua kewajiban syar’i ini berpotensi dapat mengelokkan lahir dan batin manusia. Manusia dengan perantaraan puasa, berjuang melawan hawa nafsu, rasa lapar dan dahaga. Dengan berpuasa manusia membiasakan dirinya untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Naraqi Ra dalam kitabnya, Mi’raj Sa’adah menyebutkan: “Orang yang berpuasa menjaga matanya dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan. Lisannya ia jaga untuk tidak bertutur pedas dan sarat maksiat. Telingannya ia jaga untuk tidak mendengarkan yang diharamkan. Perutnya ia jaga dari makanan haram. Dan pada waktu ifthar mencukupkan dirinya dengan makanan ala kadarnya. Hal ini dilakukan karena berpuasa bertujuan melemahkan kekuatan syahwat dan marah, sehingga menjulang nafs qudisyahnya, dan berperilaku laksana malaikat (mutasyyabih).”

Pada doa hari pertama kita telah sedikit membahas masalah puasa, juga pada hari keempat telah disinggung. Pada doa hari ketujuh ini juga kita memohon kepada Allah Swt supaya membantu kita menunaikan puasa dan shalat.

Kendati Allah Swt telah menitahkan kepada kita untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan ibadah, namun kita tetap dalam masalah ini memohon bantuan dan taufik dari-Nya.

Bangun tatkala sahur, mencicipi kelezatan munajat, menegakkan shalat malam, duduk di hamparan suprah Ilahi, semua ini merupakan taufik yang harus kita minta dari-Nya. Dalam tataran perbuatan kita berhadapan dengan seabrek hambatan. Nafsu yang menghijabi, hati yang cenderung kepada perbuatan syahwat, kecongkakan dan cinta jabatan, sifat ego, bisikan mesra Iblis yang senantiasa mewas-wasi, pendeknya musuh lahir dan musuh batin, yang harus kita kalahkan untuk dapat mencapai Tuhan. Dalam menghadapi musuh lahir-batin ini, mau-tak-mau pertolongan Ilahi harus menyertai perjalanan kita.

Imam Sajjad As tatkala tiba bulan Ramadhan berdoa:
“Bantulah kami menjalankan puasa
dengan menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu
dan menggunakannya untuk apa yang Engkau ridhai,
sehingga telinga-telinga kami tidak kami arahkan pada kesia-siaan
dan mata-mata kami tidak kami pusatkan pada kealpaan.”

Dari doa Imam Sajjad dan riwayat-riwayat yang lain bahwa perbuatan lahir puasa bagi seorang mukmin adalah menghindar dari perbuatan dosa yang menjadi kebiasaan manusia sepanjang tahunnya. Dengan berpuasa memberikan kekuatan mengendalikan dan menahan dan menjamin kita untuk tidak berbuat dosa. Oleh karena itu, untuk menunaikan puasa dan ibadah sedemikian kita harus memohon bantuan dari Allah Swt dan mampu mengambil lompatan besar di jalan ini.

Rasulullah Saw bersabda yang dialamatkan kepada Jabir:
“Wahai Jabir! Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan ini dan meluangkan sebagian malamnya untuk beribadah, perut dan syahwatnya ia jaga, lisannya ia pelihara, maka dosa-dosanya akan dihapus tatkala ia keluar dari bulan Ramadhan ini.”

Jabir berkata: “Wahai Rasulullah! Alangkah indahnya sabdamu. Rasulullah Saw menjawab: “Wahai Jabir! Alangkah beratnya syarat menuaikan puasa sedemikian dan memperoleh derajat sedemikian.” (Biharul Anwar, jil. 96, hal. 371).

Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam Shadiq As bersabda: “Tatkala engkau berpuasa, telinga dan matamu juga berpuasa dari hal-hal yang haram. Jauhilah perdebatan, janganlah engkau susahkan budakmu.”

Rasulullah bersabda: “Aliran gerak dan penguasaan Setan atas manusia laksana aliran darah, tutuplah gerakannya dengan berpuasa.” (Mahajjatul Baidha, jil. 2, hal. 125)

وَ جَنِّبْنِيْ فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَ آثَامِهِ

“Jauhkanlah aku di bulan ini dari kesalahan dan doa-dosa (yang tidak pantas dilaksanakan) di dalamnya.”

Tuhanku! Aku pohon kepada-Mu kiranya dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Karena perbuatan dosa mematikan sanubari dan hajarannya tidak lain kecuali neraka. Berbuat dosa memiliki efek buruk bagi pelakunya. Memotong berkah, memasung rahmat, dan melegamkan hati pelakunya serta menyeretnya menjadi pengikut Setan. Sebagaimana dalam doa Kumail kita membaca, “Ya Allah Ampunilah dosa-dosaku yang dapat menyebabkan turunnya siksa. Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku yang dapat mersusak nikmat. Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku yang dapat menurunkan petaka.”

Pengaruh ukhrawi perbuatan dosa adalah membuat jauh pelakunya dari Tuhan. Sebuah petaka yang besar bagi seorang mukmin. Keterpisahan dari Tuhan merupakan sesuatu yang amat dikeluhkan oleh Amirul Mukminin, “Tuhanku! Aku dapat sabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu.”

وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ

“Dan anugerahkanlah kepadaku di bulan ini (kesempatan untuk) mengingat-Mu untuk selamanya.“

Tuhanku! Karena aku mendapatkan taufik dari-Mu untuk menjauh dari dosa-dosa dan terhindar dari pengaruh-pengaruh buruknya, anugerahkan kepadaku kesempatan untuk senantiasa mengingat-Mu.

Dzikrullah adalah mengingat Allah Swt. Mengingat Allah menuntut amalan visual. Terkadang seorang mukmin mengingat Tuhan dalam kondisi tertentu, namun setelah memasuk babak baru dari kehidupannya, menjadi OKB, mendapatkan promosi jabatan, atau tiba-tiba menjadi terlantar dan kehilangan jabatan, lalu kehilangan taufik untuk mengingat Allah Swt dan melupakan-Nya.

Dalam pelataran sejarah banyak contoh kasus yang baik untuk kita jadikan pelajaran.

Kisah ‘Abdul Malik Marwan yang sibuk membaca al-Qur’an di Masjidil Haram tatkala berita bahwa singgasana khilafah jatuh di tangannya. Di tempat itu juga, ia menutup al-Qur’an dan berkata: “Hadza firaqa baini wa bainik.” (Inilah akhir perjumpaan bagiku dan bagimu.) Ia mengucapkan selamat tinggal kepada al-Qur’an.

Senantiasa mengingat Allah Swt, senantiasa mengingatkan tanggung-jawab, senantiasa mengingatkan ikrar-janji setia. Mengingat Allah Swt artinya berpandangan bahwa di seantero tempat Dia hadir dan nazhir (mengawasi). Memandang bahwa Tuhan melihat (bashir) segala perbuatan, memandang bahwa Tuhan mendengar (sami’) seluruh ucapan dan memandang bahwa di berada di hadirat Tuhan. Seorang yang mengingat Allah Swt adalah orang yang memandang seluruh pelataran semesta sebagai manifestasi keberadaan Tuhan. Demikianlah makna dzikir yang sebenarnya. Sangat konstruktif. Menjaga setiap orang untuk tidak berbuat dosa. Menyeru kepada ketaatan. Faktor penyebab seseorang menjadi takut dan gentar. Dan terakhir menjadi penyebab kehadiran hati.

Apa yang kita pohon pada doa hari ini adalah keajegan berzikir, bukan hanya dzikir, sekali, dua kali, bukan. Melainkan senantiasa dan dawam mengingat Tuhan, keagungan, kebesaran-Nya, bahwa Dia mahatahu, mahamendengar dan mahamelihat seluruh perbuatan makhluk-Nya.

Mengerjakan shalat tidaklah penting. Yang penting adalah kita menjadi ahli shalat. Dzikir sporadis dan sekali-kali, tidak konstruktif. Dzikir dawamlah yang konstruktif.

Khawaja Abdullah Ansari berkata: “Perbedaan antara tafakkur dan tadzakkur adalah tafakkur bermakna menjelajah, mencari. Tadzakkur berarti menemukan. Dalam kitab “Shad Meidan” ia mengklasifikasikan tadzakkur menjadi tiga macam:
Pertama, mendengar seruan ancaman (wa’id)
Kedua, berseru-harap terhadap janji (wa’d)
Ketiga, menjawab anugerah dengan lisan membutuhkan.

بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ

“Dengan taufik-Mu, wahai penunjuk jalan orang-orang yang sesat.“

(Eurekamal/ABNS)

Mengamalkan Suluk Sosial; Ulasan Doa Hari Kedelapan Puasa


“Allahummah ruzuqni fihi rahmatal Aitam.” Demikian doa pembuka doa hari kedelapan bulan Ramadhan. “Ya Allah! Anugerahkan kepadaku di hari ini untuk dapat mengasihi anak-anak yatim.” Kata rahm dan rahmat bersumber dari rahman. Dan rahman ini merupakan sifat yang berlaku secara umum. Allah Swt adalah rahman, rahman artinya mahamengasihi seluruh makhluk, seluruh kaum Mukminin dan orang-orang kafir di dunia. Rahmat Tuhan bersifat umum. Seluruh semesta dan manusia terpendari dengan cahaya sifat umum ini. Dia Rahman bagi semesta. Manusia juga, dalam proses takhalluq, harus memiliki sifat Ilahiah ini sehingga dengan rahmat umumnya dapat mengasihi sesamanya. Mengasihi kaum Mukmin juga orang Kafir bahkan seluruh makhluk yang terdapat di kolong jagat ini.

Doa hari kedelapan bulan Ramadhan ini berkisar tentang rezeki mengasihi anak yatim, member makan, menerbarkan salam dan bertemankan dengan orang-orang mulia. Mari kita sama-sama membaca:

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ رَحْمَةَ الْأَيْتَامِ وَ إِطْعَامَ الطَّعَامِ وَ إِفْشَاءَ السَّلاَمِ وَ صُحْبَةَ الْكِرَامِ بِطَوْلِكَ يَا مَلْجَأَ الْآمِلِيْنَ

Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini untuk mengasihani anak-anak yatim, memberi makan, menebarkan salam dan bersahabat dengan orang-orang mulia. Dengan keutamaan-Mu, wahai Pelabuhan orang-orang yang berharap.

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ رَحْمَةَ الْأَيْتَامِ

“Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku di bulan ini untuk mengasihi anak-anak yatim.”

Dalam doa ini menolong dan mengasihi anak-anak yatim disebut sebagai rezeki (anugerah). Di hari ini kita memohon anugerah suluk sosial . Menolong anak yatim lebih inklusif daripada ibadah-ibadah personal dan pekerjaan pribadi yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya. Menolong anak yatim merupakan suluk sosial yang harus menjadi perhatian para salik ilaLlah. Penghulu suluk adalah baginda Ali As yang terkenal sebagai Abal Yatama (Bapak Para Yatim). Barangsiapa yang menjadikan Baginda Ali sebagai teladan dan mursyidnya dalam bersuluk, maka seharusnya ia menderetkan dirinya dalam barisan orang-orang yang mengasihi anak-anak yatim.

Sebagai sebuah ajaran samawi down to earth, Islam mengajarkan tanggung-jawab dan kecintaan terhadap sesama sehingga penganutnya dapat berperan aktif dan konstruktif di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak yatim senantiasa membutuhkan pertolongan, kasih sayang, perhatian dan kaum Mukmin harus memenuhi kebutuhan ini. Kendati pembinaan ini tidak hanya termasuk pembinaan materi belaka, melainkan termasuk pembinaan yang benar dan sehat serta memikul tanggung-jawab untuk membina urusan maknawi dan memberikan petunjuk kepada mereka seperti yang diseru oleh doa hari ini.

Kalau kita ingin bercermin dari sejarah Amirul Mukminin Ali As disebutkan bahwa beliau di suatu saat di tengah perjalanan berpapasan dengan seorang wanita miskin yang membawa anak-anaknya yang sedang menangis karena kelaparan. Ibu itu menyibukkan anak-anaknya dengan permainan dengan maksud supaya mereka tidak lagi menangis. ‘Ali setelah melihat peristiwa ini bergegas kembali ke rumahnya. Setandan kurma, tepung dan sejumlah minyak, beras beliau pikul di atas pundaknya dan kembali ke arah wanita miskin itu. Qanbar memohon untuk memikul bawaan tersebut, namun ‘Ali tidak merestuinya. Tatkala tiba di rumah wanita miskin itu, beliau meminta izin untuk masuk. Beras yang dibawanya dicampur dengan minyak dan kemudian menyiapkan makanan untuk mereka. Imam ‘Ali membangunkan anak-anak malang tersebut dan dengan tangannya menyuapkan makan itu ke mulut mereka hingga kenyang.

Setelah itu, Imam ‘Ali bermain dengan mereka. Imam ‘Ali meletakkan tangan dan lututnya di atas tanah, bermain dan menirukan suara kambing. Anak-anak yatim itu juga meniru Imam ‘Ali berlaku yang sama dan tertawa. Setelah beberapa lama bermain dengan mereka hingga mereka melupakan kesedihan yang tadi mereka rasakan. (Pand-e Tarikh, jil. 1, hal. 153).

Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali As: “Barang siapa yang melakukan empat hal berikut ini maka Allah Swt akan membangunkan kediaman di surga. Orang yang memberikan perlindungan kepada anak yatim, menolong orang-orang lemah, berlaku santun terhadap orang tua, berlaku lembut kepada budak yang dimiliki dan orang-orang yang berada dalam perlindungannya.” (Wasail asy-Syiah, jil. 1, hal. 561).

Juga hadis dari Imam Shadiq As: “Tiada seorang pun yang mengelus kepala anak yatim dengan kasih kecuali Allah Swt menganugerahkan kepadanya cahaya sebanyak bilangan rambut yang dieluskan pada anak yatim tersebut.” (Biharul Anwar, jil. 72, Kitabul ‘Usyra).

Anak yatim adalah anak yang kehilangan ayah dan tiada yang merawatnya. Anak yatim ini adalah anak yang membutuhkan pertolongan material, afeksi dan edukasi. Anak-anak yatim adalah anak-anak yang harus dikasihi. Kehidupannya, kondisi pendidikannya, kondisi akhlak, psikis dan budayanya harus mendapatkan perhatian ekstra. Kebutuhan afeksinya tidak boleh diabaikan. Mengelus rambutnya, memandangnya dengan penuh cinta. Menjadi ayah bagi mereka sehingga luka ketiaadan seorang ayah dapat terobati dan berkata kepadanya: “You’re not alone.” Atau dengan bahasa yang lebih posesif: “Aku di sini untukmu.”

Ali As pada wasiat sebelum menjemput syahadah, menganjurkan untuk menaruh perhatian terhadap anak-anak yatim sehingga jangan sampai di sampingmu, di tengah kehadiranmu, anak-anak yatim luka dan rusak moralnya. “Allah…Allah fil aitam.” (Takutlah kepada Allah akan anak yatim).” Menyitir desah Imam ‘Ali pada detik-detik terakhir kehidupannya.

وَ إِطْعَامَ الطَّعَامِ

Demikian juga dalam frase doa ini, memberikan makanan kepada orang-orang lapar adalah anugerah.

Orang-orang lapar banyak di sekeliling kita. Alangkah banyaknya orang di sekitar kita yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memberikan makan kepada keluarganya, namun makanan tak kunjung didapatkan. Puasa mengingatkan kita kepada orang-orang lapar dan menyediakan lahan untuk mengkondisikan kita berinfak dan bersedekah kepada mereka. Apatah lagi di bulan ini, ganjaran memberikan makanan atau buka puasa bagi orang yang lapar tidak terbilang banyaknya.

Imam Shadiq As bersabda: “Barangsiapa yang memberikan iftar (buka puasa) kepada orang yang berpuasa maka ganjarannya adalah sama dengan ganjaran yang didapatkan oleh orang yang berpuasa itu.”

Memberikan makanan kepada orang yang lapar merupakan amalan yang sanga terpuji. Memberi makanan kepada orang-orang miskin mendapatkan inayah dari Allah Swt. Sufrah yang paling dicintai oleh Allah Swt adalah sufrah yang membentang luas dan digelar untuk menjamu banyak orang.

Perbuatan kemanusiaan ini apabila dilakukan dengan maksud taqarrub Ilallah, maka pelakunya akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan yang banyak. Memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar merupakan suluk sosial dan percepatan bagi orang yang ingin berjumpa dengan Allah Swt. Di bulan puasa ini, mari kita melatih diri untuk memberikan makanan kepada orang-orang lapar untuk kita jadikan sebagai kultur kehidupan kita.

Sebab diturunkannya surah al-Insan kepada keluarga ‘Ali dan Fatimah adalah berkat kepedulian mereka terhadap masalah ini. “Dan mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” It’âm di sini adalah it’âm kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan tanpa memandang agama dan keyakinan mereka. Semoga di hari ini, kita ketiban anugerah dapat memberikan makanan kepada orang-orang lapar.

وَ إِفْشَاءَ السَّلاَمِ

“Ya Allah! Anugerahkan kepadaku di bulan untuk dapat menebarkan salam.”

Imam Baqir As bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang yang menebarkan salam.”(Ushul Kafi, jil. 2, bab taslim).

Mengucapkan salam merupakan salah satu dustur moral Islam dan sunnah nabawi. Salam merajut hati orang-orang Mukmin dan para anggota masyarakat. Menebar salam artinya menebar salam kepada setiap orang. Menebar salam maksudnya adalah menebar kedamaian. Dengan menebar salam, membuat hati manusia kian dekat dengan yang lain dan mengundang berkah yang melimpah. Dinukil dalam sebuah riwayat bahwa tiada seorang pun yang dapat mendahului Nabi Saw dalam memberikan salam. Beliau selalu pertama memberikan salam kepada siapa saja yang dijumpai. Bahkan kepada anak kecil sekali pun Rasulullah Saw memberikan salam. Salam memiliki seratus kebaikan. Sembilan puluh sembilan didapatkan oleh orang yang memberikan salam. Dan satunya bagi yang menjawab salam. Salam merupakan dalil ketawadhuan dan rendah-hatinya seseorang. Nabi Saw bersabda: “al-Bakhil man bakhila bis salam.” Orang bakhil adalah orang yang pelit dalam memberikan salam.

Seluruh bangsa memiliki jenis salam dan penghormatan tersendiri. Dalam Islam juga memiliki adab dan aturan main tersendiri dimana sebagian dari adab tersebut akan kita singgung di sini:
1. Jelas dalam memberikan salam dan menjawabnya;
2. Salamnya orang yang berkendaraan kepada pejalan;
3. Salamnya orang kecil kepada orang besar;
4. Salamnya seseorang kepada sekelompok orang;
5. Salamnya orang yang berdiri kepada orang duduk;
6. Salam kepada saudara seagama;
7. Benar dalam mengucapkan salam misalnya Salamun ‘Alaikum;
8. Tidak memberikan salam lantaran kekayaaan dan kedudukan sosialnya;
9. Memberikan salam mustahab hukumnya dan menjawabnya adalah wajib.

Al-Qur’an juga menganjurkan bahwa apabila seseorang memberikan salam kepadamu, berikanlah jawaban yang lebih baik. “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (Qs. Al-Nisa [4]:86).

Diriwayatkan bahwa seorang budak perempuan (kanizah) membawa seikat selasih ke hadapan Imam Husein As. Imam Husein As membebaskan kanizah itu. Sebagia orang berkata: “Apa artinya seikat selasih sehingga Anda membebaskannya.” Imam Husain berkata: “Demikianlah adab yang diajarkan Tuhan.” Kemudian Imam Husain As membacakan ayat di atas dan bersabda: “Hadiah yang terbaik baginya adalah membebaskannya.”

وَ صُحْبَةَ الْكِرَامِ

Manusia merupakan makhluk sosial dan hidup bersama masyarakat. Tentu saja setiap orang untuk hidup bermasyarakat memilih teman dan karib seperjuangan. Teman turut berpengaruh dalam diri seseorang, dalam moralitas, mental dan kelakuannya. Sebuah pepatah Persia menyebutkan:

Tu awwal begu ba Kiyan Zisti
Pas Angah Beguyam ke Tu Kisti?

Katakan kepadaku siapa karibmu?
Kemudian kukatakan kepadamu siapa dirimu.

Kita harus duduk dan bangun bersama orang-orang baik, budiman, mulia, pembesar, orang-orang tulus, cendekia, dan bertakwa. Bersahabat dengan mereka mempengaruhi ilmu dan kejiwaan kita.

Sesuai dengan sabda Nabi Saw tentang bersahabat dengan penjual Kesturi, sekiranya kita tidak menggunakan Kesturi, bau semerbaknya tetap menyebar di sekitar kita.

بِطَوْلِكَ يَا مَلْجَأَ الْآمِلِيْنَ

“Wahai Tempat Berlabuh orang-orang yang berharap.“

Tuhanku Engkau memberikan nikmat, demi nikmat yang Engkau beri, jadikanlah aku sebagaimana Dirimu, memberikan nikmat kepada orang lain. Di hari ini anugerahkan kepadaku di hari ini untuk dapat mengasihi anak-anak yatim. Memberikan makanan kepada orang-orang lapar, menyebar salam, kedamaian (salama), Islam dan bertemankan orang-orang budiman. Tuhanku Engkaulah pelabuhan seluruh harapan kami.

(Eurekamal/ABNS)

A Shoulder to Cry on;Ulasan atas Doa Hari Kesepuluh Puasa


Manusia secara psikologis, tatkala berhadapan dengan kesulitan atau problema yang menghimpit hidupnya, membutuhkan seseorang untuk menolongnya keluar dari persoalan yang dihadapinya. Dalam bahasa psikologi manusia memerlukan bahu untuk menangis, a shoulder to cry on. Manusia dalam konteks ini membutuhkan media atau orang untuk menumpah-ruahkan kesedihan, kesusahan, kerisauan dan pelbagai problema hidupnya. At least, ada orang yang mau mendengarkan keluh dan kesahnya kalau tidak sampai pada tataran memberikan way-out dan solusi.

Kalau ia adalah manusia yang cerdas dan tercerahkan yaitu dengan memahami esensi kediriannya, bahwa faqid asy-syai laa yu’thi asy-syai (seseorang kalau tidak memiliki sesuatu dia tidak dapat memberikan) maka seharusnya tempat yang menjadi sandarannya adalah tempat yang menjadi sandaran seluruh mumkinul wujud sepertinya. Sandaran yang memiliki sesuatu untuk diberikan. Sandaran yang tidak menjadikan miliknya berkurang atau bertambah tatkala memberi atau menolak. Menyandarkan segala urusan kepada Sosok Yang Mahahandal inilah yang disebut tawakkal. Tawakkal kepada Allah Swt adalah salah topik dari doa kesepuluh bulan Ramadhan kita kali ini di samping tema fauzhil azhim, maqam qurb dan tema ihsan.

Di hari kesepuluh ini kita berdoa:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ

Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang bertawakal kepada-Mu, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang jaya di haribaan-Mu, dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu. Dengan kebaikan-Mu wahai tujuan orang-orang yang berharap.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ

Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang bertawakal kepada-Mu Manusia untuk melangsungkan kehidupannya melakukan perjalanan ke pelbagai tempat dan terkadang menambatkan hatinya pada sesuatu yang nihil terluntah-luntah ke sana-sini berlari tak ada tujuan. Tatkala seluruh pintu tertutup baginya dan harapannya terputus dari seluruh kerabat dan karibnya, ia datang membawa dirinya ke haribaan Sang Adi Kodrati yang merupakan tempat berlabuh, berlindung, sumber-akhir, tujuan dan maksud, seluruhnya ia tumpahkan kepada sebaik-baiknya sandaran dan tempat curahan. Sang Adi Kodrati inilah a shoulder to cry on yang hakiki.

Derajat tawakkal merupakan derajat yang tinggi dan merupakan derajat untuk para urafa. Mereka yang pada tingkatan pertama memutuskan dunia dan segala isinya, dan melupakan segalanya hanya kepada Allah Swt bersandar. Bersandar kepada kekuasaan Ilahi yang abadi memberikan kekuatan dan inspirasi. Inspirasi dan kekuatan untuk melakukan yang terbaik sebagai hamba dan abdi.

Hakikat tawakkal adalah bahwa kita mengetahui bahwa seluruh makhluk tiada mampu memberikan ada kekuasaan memberikan manfaat dan mudharat pada manusia.

Atom yang bergantung di udara dapat terlihat lantaran berada dalam pancaran cahaya matahari. Sekiranya cahaya matahari tidak bersinar ke atasnya, atom sekali-kali tidak akan terlihat.

Tuhan merupakan eksistensi mutlak dan kekuasaan sempurna. Segala kekuasaan dan kekuatan bersumber dari-Nya. Sekiranya bukan emanasi wujud dari Sumber Wujud yang menyinari kehidupan seorang Mukmin, bahkan segala yang maujud, maka sekali-kali ia tidak akan pernah mengenal keberadaan. Sandaran orang Mukmin kepada-Nya dan bertawakkal ke atas-Nya.

Satu-satunya tempat berlabuh, tambatan dan perlindungan yang memiliki kekuasaan dan juga ilmu, pengasih dan penyayang, mulia dan memuliakan.

Apabila memang demikian adanya, lantas mengapa kita tidak menjadikan Tuhan sebagai tempat sandaran dan sumber kekuatan jiwa dan hati? Mengapa kita tidak meminta pertolongan kepada-Nya?

Menambatkan hati kepada selain Tuhan niscaya akan menjadi pecundang. Karena selain-Nya akan binasa dan sirna. Hanyalah Dialah yang abadi dan lestari. Hanya Dialah yang patut diandalkan.

Mereka yang menyembah berhala suatu hari akan melihat bahwa: “Sesungguhnya kekuataan hanya pada Allah seluruhnya.”

Mereka yang menambatkan hatinya kepada kekuasaan besar, suatu hari akan menjumpai “Segala sesuatunya akan binasa kecuali wajah-Nya.“

Mereka yang telah putus asa, kehilangan harapan dan menjadi pecundang, suatu hari akan menyesali mengapa tidak menjadikan Tuhan sebagai sandaran dan tambatan harapan.

Dalam al-Qur’an sering kita membaca: “Dan hanya kepada Tuhan orang-orang beriman bersandar.”

Ibnu Arabi, dalam Futuhat, bab 118, ketika menjelaskan masalah tawakkal berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati kepada Allah Swt tanpa adanya kerisauan tatkala kehilangan asbab duniawi yang dengannya roda kehidupannya berputar. Kalau hatinya risau dan gelisah maka tidak tergolong sebagai mutawakkil (orang yang bertawakkal).” Definisi yang diberikan Syaikh Akbar ini terlihat tatkala menjelaskan mizan sempurna tawakkal dengan merujuk kepada kisah Nabi Ibrahim As tatkala Syaikhul Anbiya ini dilemparkan ke kobaran api Namrud datang tawaran bantuan dari Jibril As: “Alakal Hajat Yaa KhalilaLlah?” (Apakah engkah memiliki hajat, wahai kekasih Allah?” Ibrahim As dengan bersandar kepada Allah Swt berkata: “Ilaika, Laa” (Tidak kepadamu).” Atas alasan ini Allah Swt mendinginkan api tersebut, dingin yang menyelamatkan.
وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ لَدَيْكَ

“Jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang jaya di sisi-Mu.”

Faiz adalah orang yang telah terpenuhi harapannya. Fauz adalah perjalanan eksistensi manusia dari tingkatan tunas dan penuh cela mencapai tingkatan matang dan sempurna. Manusia dalam tingkatan ini melihat dirinya sukses dan jaya. Kata ini secara leksikal bermakna kemenangan dan kejayaan. Di alam semesta ini masing-masing memandang sesuatu sebagai kesempurnaan dan puncak kebahagiaan lalu menjadikannya sebagai cita dan harapan. Kesejahteraan dan makmur, kekuasaan uang, rumah, mobil dan anak-anak yang sehat, istri yang cantik bagi sebagian orang merupakan punyak kebahagiaan dan kesempurnaan. Sementara al-Qur’an memandang semua ini sebagai perhiasaan dunia. Dalam logika al-Qur’an kesemua ini adalah media dan wasilah untuk mencapai kebahagian ukhrawi dan kehidupan abadi.

Amirul Mukminin Ali As dengan syahadahnya berhasil memenuhi harapannya. Pada mimbar ibadah dan syahada berseru: “Fuztu warabbil Ka’bah.” (Demi Tuhannya Ka’bah aku telah berjaya).

Pada detik-detik terakhir kehidupannya Imam ‘Ali As memandang bahwa kebahagiaannya dalam perjalanan ini karena itu dengan seruan irfani yang menunjukkan gairahnya bersua dengan Sang Pencipta.

Teraju kebahagiaan dan kemenangan, kehidupan dan ucapan pribadi agung ini.

Imam Ali di akhiri khutbah Sya’baniyah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sebaik-baik amal di bulan Ramadhan? Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik amalan tidak mengerjakan perbuatan maksiat kepada Tuhan Yang Mahaagung.”

Kemudian Rasulullah Saw menangis tersedu. ‘Ali As bertanya gerangan apa yang membuat Anda menangis? Rasulullah Saw bersabda: “Wahai ‘Ali! Seakan-akan Aku melihatmu sementara mengerjakan shalat sebuah pukulan menghantam tengkukmu dan janggutmu berlumuran darah.”

‘Ali bertanya: “Apakah agamaku tetap selamat?” Rasulullah Saw bersabda: “Iya. Barangsiapa yang membunuhmu, dia telah membunuhku. Barangsiapa yang memusuhimu, dia telah memusuhiku lantaran engkau dariku.”

Dengan memperhatikan kisah di atas dapat dipahami mengapa ‘Ali pada detik-detik terakhir yang mengenaskan karena tebasan pedang satu-satunya kalimat yang beliau ucapkan: “Demi Tuhannya Ka’bah, sesungguhnya Aku telah Berjaya.” Sejatinya Imam ‘Ali menyaksikan (musyahadah) derajat dan tingkat kejayaannya di hadapan Allah Swt.

Allah Swt berfirman tentang ganjaran yang diperoleh oleh orang-orang yang meraih kemenangan: “Allah Swt ridha kepada mereka dan mereka kepada-Nya itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Maidah [5]:119).

Dalam Ziyarat Jamiah kita membaca: “Faza man tamassuk bikum wa amina man laja’a ilaikum.” (Kemenangan bagi orang yang bersandar kepada para Imam pemberi petunjuk, dan keamanan bagi orang-orang yang berlindung kepada Ahlulbait As.)

Pada kisah Husain bin ‘Ali As beserta para sahabatnya kita membaca kisah heroik Imam beserta sahabatnya yang setia yang mempersembahkan syahada di altar cinta sehingga mencapai kejayaan dan kemenangan abadi. Empat belas abad berlalu setiap orang yang mencintai kebebasan dan kemenangan abadi berandai-andai, “Yaa laitani kunna ma’akum fanafuzu fauzan azhima.” (Duhai sekiranya kami bersamamu sehingga kami meraih kemenangan kemenangan yang agung).”

Kita berdoa kepada Allah Swt di hari ini untuk menjadikan kita tergolong sebagai orang-orang yang berjaya di sisi-Nya.
وَ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ إِلَيْكَ

Dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu.

Setelah tingkatan tawakkal dan memohon kebahagiaan di sisi Allah Swt kini giliran permintaan kesempurnaan mutlak dan kedekatan di sisi-Nya dimana kedekatan itu adalah memandang bahwa seluruh semesta ini merupakan pelataran tajalli Tuhan dan di pelataran tajalli ini dia tidak akan bermaksiat.

Bagaimana mendekat kepada Tuhan? Pertanyaan ini barangkali mengemuka dalam benak Anda.

Tuhan adalah suci dan wilayah-Nya adalah wilayah suci. Dan dzat-Nya suci dari segala aib dan cela. Dia sangat indah dan menyukai keindahan. Dia adalah Eksisten yang paripurna dan menerima maujud yang menyempurna. Memperoleh kesempurnaan kedekatan kepada Allah tidak dapat diraup kecuali dengan jalan takwa dan ketaatan.

Para nabi yang merupakan para hujjat lahir Tuhan diutus dengan maksud menyampaikan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan. Para nabi, imam suci dan wali-wali Tuhan, merupakan pemandu untuk kita dapat mendekat kepada Tuhan.

Contohnya riwayat dari para Imam Suci yang memandu kita bagaimana mendekat kepada Tuhan seperti yang tersebut pada hadis qurb nawafil. Diriwayatkan dari Imam Baqir As: “Tiada para hamba mendekati-Ku dengan menunaikan ibadah-ibadah wajib dan setelah itu dengan nawafil sehingga dengan pengaruh ibadah-ibadah mustahab sedemikian ia mendekat kepada-Ku sehingga Aku mencintainya, dan ketika Aku mencintai-Nya maka Aku akan menjadi telinga (sam’) yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya (bashar) yang dengannya ia melihat, menjadi lisannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bekerja dan dalam keadaan seperti ini apabila ia berdoa niscaya Kukabulkan doanya dan apabila meminta sesuatu akan Kuberikan.”

Dalam menafsirkan hadis di atas, Qaisari dalam ulasannya atas Fushus al-Hikam berkata: bahwa dalam hadis di atas redaksi yang digunakan adalah sam’ (mendengar) dan bashar (melihat) bukan udzn (telinga) dan ‘ain (mata) barangkali disebabkan oleh bahwa telinga merupakan media pendengaran dan mata media penglihatan. Yang pertama (sam’ dan bashar) terpendam dan yang kedua kasat-mata (udzn dan ‘ain). Yang pertama batin dan yang kedua lahir. Dan tajalli Tuhan pada indra batin lebih cocok ketimbang pada indra lahir. Demikian Qaishari menulis.

Maqam qurb merupakan maqam yang menjulang. Qurb bermakna kedekatan atau mendekat. Dalam hadis di samping qurb nawafil, juga ada qurb faraidh dimana pada kesempatan ini tidak akan kita bahas dan kami tangguhkan untuk lain kesempatan.

Rasulullah Saw ketika melakukan mi’raj, beliau mencapai tingkatan qurb dan Allah Swt berfirman kepadanya: “Dana…dana..” (Mendekatlah…mendekatlah). Keataslah…keataslah…lalu bertambah dekat lagi.. Fatadallah ..” “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (Qs. An-Najm [53]:8-9)

Mari kita bersama Rasulullah Saw berdoa pada hari ini: “Dan jadikanlah aku di bulan ini dari golongan orang-orang yang telah dekat kepada-Mu.”
بِإِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ

Dengan kebaikan-Mu wahai tujuan orang-orang yang berharap.

Manusia disampaikan kepada maqam tawakkal, fauz azhim dan maqam qurb merupakan sebuah ihsan (kebaikan). Sekiranya Tuhan tidak berlaku ihsan siapakah yang dapat melintasi maqam-maqam ini? Tatkala lutf (kemurahan) dan ihsan (kebaikan) Tuhan tercurah kepada seorang hamba maka ia dapat mencapai maqam-maqam yang menjulang, dan puncak dari maqam-maqam ini adalah Allah Swt dan tujuan utamanya adalah Allah Swt, Dialah tujuan orang-orang yang berharap.

(Eurekamal/ABNS)

Terkait Berita: