Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS BIMBINGAN PENDIDIKAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS BIMBINGAN PENDIDIKAN. Show all posts

Pelajaran Untuk Si Buah Hati, Benih-benih Kesombongan Diri


Mari kita bimbing putra putri kita untuk menjauhi perilaku sombong dan membanggakan diri, agar mereka dapat tumbuh menjadi manusia yang dapat menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain.

Sombong merupakan benih penyakit hati, yang lama-lama bisa membuat pelakunya merasa tinggi hati alias merasa paling......dst. Bila tidak diterapi akan mengganggu perkembangan mental anak di kemudian hari. Budi, seorang anak laki-laki SD kelas 3 baru saja memenangkan sebuah mendali sebagai pembaca terbaik di kelas. Terbuai oleh kesombongan, ia menyombongkan diri dihadapan pembantu rumah, "Bibi, coba lihat, jika mau Bibi dapat membaca sebaik saya." Pembantu itu mengambil buku, memandangnya, dan akhirnya berkata dengan terbata-bata, "Nak Budi, saya tidak bisa membaca."

Sombong seperti burung merak, anak kecil itu lari ke ruangan keluarga dan berteriak kepada ayahnya, "Yah, Bibi tidak bisa membaca, sedangkan saya meski baru berumur 8 tahun, saya sudah dapat medali untuk kehebatan membaca. Saya ingin bagaimana sih perasaannya, memandang buku tapi tidak bisa membaca."

Tanpa berkata sepatah pun, ayahnya berjalan menuju rak buku, mengambil satu buku, dan memberinya ke Budi dan berkata, "Bibi merasa seperti ini." Buku itu ditulis dalam bahasa Jerman dan Budi tidak bisa membaca satu kata pun.

Anak laki-laki itu tidak akan pernah melupakan pelajaran itu sekejap pun. Bila perasaan sombong datang, dia dengan tenang akan mengingatkan dirinya, "Ingat, kamu tidak bisa membaca dalam bahasa Jerman." Mari kita bimbing putra putri kita untuk menjauhi perilaku sombong dan membanggakan diri, agar mereka dapat tumbuh menjadi manusia yang dapat menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain.

(Zoombastic/ABNA/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hak Anak Atas Orang Tuanya


Para orang tua juga harus mendidik anak-anak mereka dengan baik, usahakanlah mendidik anak-anak agar mereka mencintai Rasulullah saww dan Ahlul Bait as dan mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, karena jika mereka mencintai Ahlul Bait as dengan sendirinya anak-anak akan meneladani mereka.

Hal ini disampaikan Hujjatul Islam Husaini Al-madani dalam sebuah acara awal Muharram Imam Husain as. Dijelaskannya, salah satu poin penting yang terdapat dalam diri Imam Husain as ialah pendidikan anak-anak yang Imam as lakukan.

Kedua orang tua memiliki banyak hak atas anak-anaknya, oleh karena itu anak-anak juga harus menghormati kedua orang tuanya.

Salah satu pembahasan yang masih belum banyak disampaikan ialah mengenai hak-hak anak atas orang tuanya, dimana hak mereka sudah ada sebelum terbentuknya janin di dalam kandungan ibunya, yakni salh satu hak tersebut ialah memilih ibu yang baik oleh ayahnya.

Ia menambahkan, memilih istri yang baik sangat berpengaruh untuk menghasilkan anak-anak yang baik juga, seperti halnya istri-istri nabi Nuh as dan nabi Luth as mereka bukanlah wanita baik-baik sehingga menghasilkan anak-anak yang tidak baik juga, oleh karena itu memilih istri yang baik-baik sangatlah penting.

Selain itu memilih nama-nama yang baik untuk anak-anak kita juga sangat dianjurkan, sebagaimana kita lihat nama-nama anak-anak Husain, terangnya.

Tidak hanya itu, para orang tua juga harus mendidik anak-anak mereka dengan baik, usahakanlah mendidik anak-anak agar mereka mencintai Rasulullah saww dan Ahlul Bait as dan mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, karena jika mereka mencintai Ahlul Bait as dengan sendirinya anak-anak akan meneladani mereka, demikian jelasnya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Penguatan Pendidikan Agama Dalam Keluarga


Ada pertanyaan sederhana, apa yang membuat hidup kita lebih bermakna? Mungkin jawabannya bisa berbeda-beda. Tetapi secara umum dapat diterka, bahwa yang membuat hidup seseorang lebih bermakna adalah dua hal, yaitu agama dan keluarga. Mengapa mesti agama dan keluarga? Karena agama yang memberikan makna dalam kehidupan manusia untuk mencapai terminal kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sedangkan keluarga merupakan cikal bakal kehidupan manusia sebelum mengarungi kehidupan yang lebih luas lagi di dunia. Sehingga, nilai-nila yang ditanamkan dalam keluarga akan memberikan makna yang sangat berharga bagi perjalanan kehidupan selanjutnya.

Dalam kehidupan nyata, kita dapatkan orang yang bergelimang dengan harta, tetapi hidupnya merasa tidak bermakna karena jauh dari agama. Pada saat yang sama ada orang yang hidup sederhana, tetapi merasa bahagia karena mengamalkan ajaran agama. Begitu pula banyak orang yang merasa hampa dan tidak berguna karena kehidupan keluarganya tidak harmonis. Tetapi banyak juga orang yang merasa bahagia dan bersemangat kerja, karena keadaan keluarganya rukun. Juga banyak anak-anak yang terlantar, merana, dan menjadi korban narkoba, karena keadaan keluarganya berantakan. Dengan demikian, agama dan keluarga merupakan instrumen penting dalam membangun kehidupan agar lebih bermakna dan bahagia.

Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang sempurna sangat memperhatikan pembinaan agama dalam keluarga. Islam sangat menekankan pendidikan agama dalam keluarga. Karena keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama dalam mempersiapkan generasi-generasi terbaik bangsa. Sementara agama menjadi fondasi dan bekal utama bagi generasi muda dalam mengarungi kehidupan yang penuh dinamika. Ternyata sejarah telah membuktikan, bahwa generasi-generasi yang berhasil dan tangguh adalah mereka yang berasal dari keluarga yang dari sejak dini menanamkan pendidikan agama pada anak-anaknya.

Alquran sebagai kitab suci umat Islam banyak menceritakan tentang kisah-kisah sukses keluarga yang mampu mendidik anak-anaknya sehingga menjadi generasi-generasi yang tangguh, unggul, dan shaleh. Seperti kisah Nabi Ibrahim as yang sukses membina keluarganya sehingga anak keturunannya semuanya diangkat menjadi nabi dan rasul.

Alquran pun mengabadikan keluarga Imran menjadi nama surat dalam Alquran, yakni Surat Ali-‘Imran (keluarga Imran), karena keluarga ini sudah menunaikan janjinya untuk mengajari putrinya (Maryam) dengan pendidikan agama di bawah asuhan Nabi Zakaria as. Sehingga kelak dari wanita suci Maryam ini lahirlah seorang rasul, yakni Nabi Isa as. Alquran juga mengabadikan keluarga Luqman al-Hakim yang bukan nabi dan rasul menjadi Surat Luqman. Karena ia telah berhasil mendidik anaknya dan meletakkan dasar-dasar pengajaran agama dalam keluarga untuk mempersiapkan generasi-generasi yang shaleh.

Akan tetapi Alquran pun memberikan sinyalemen, bahwa setelah generasi terbaik akan datang generasi yang sangat jelek dari segi akhlak dan moralnya. Ciri-cirinya adalah generasi yang menyia-nyiakan perintah agama untuk melaksanakan shalat dan mereka pun dalam kehidupannya selalu memperturutkan hawa nafsu dengan banyak berbuat kejahatan dan kemaksiatan. Akibatnya kehidupan menjadi rusak dan ancaman kehancuran sudah berada di depan mata. Allah SWT berfirman: Artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam [19]:59).

Apa yang disampaikan Alquran ini tentunya harus menjadi perhatian kita semua. Sejalan dengan fenomena generasi sekarang ini yang berada di ambang ancaman dekadensi moral dengan merajalalelanya tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan generasi muda, seperti terjerat narkoba, tawuran, pergaulan bebas, tindakan kekerasan, dan perbuatan kriminal lainnya. Jelas fenomena ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat dibayangkan bagaimana nasib bangsa ke depan apabila generasi mudanya tak dapat diandalkan. Maka semua elemen bangsa harus terpanggil dan ikut memikirkan, bagaimana solusinya untuk memperbaiki moral dan mental anak-anak bangsa? Di antara solusinya adalah kita harus memperkuat pendidikan agama dalam keluarga.

Karena dari sejak awal Alquran sudah mewanti-wanti, bahwa kita harus bisa menjaga keluarga dari ancaman siksaan neraka. Asosiasi kita tentang siksaan neraka adalah kelak di akhirat. Padahal, itu hanya akibat dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dunia. Oleh karena itu, sebagai tindakan preventifnya kita selaku orangtua harus membina mental dan moral generasi muda dengan pendidikan agama sejak dini di lingkungan keluarga.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]:6).

Ternyata yang mesti dikhawatirkan dari anak-anak kita itu bukan masalah perut atau material. Karena secara naluri manusia diberi kemampuan untuk memenuhi hajat hidupnya dan Allah SWT juga sudah menyediakan sumber daya alamnya. Tinggal manusia mencari akal dan bekerja keras untuk menggali dan mengolahnya demi sebesar-besarnya kesejahteraan hidupnya. Tetapi yang perlu dikhawatirkan dari generasi kita adalah masa depan moral spiritualnya. Ini karena apabila moralnya sudah rusak tentu akan sulit memperbaikinya dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan, akan berakibat patal dengan menghancurkan semua sendi-sendi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, Allah SWT juga sudah menegaskan: Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS. Thaahaa [20]:132).

Di sinilah pentingnya penguatan pendidikan agama dalam keluarga. Sehingga diharapkan dapat menyelamatkan anak-anak kita dari jurang kehancuran dan kehinaan. Berdasarkan petunjuk Alquran, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam rangka penguatan pendidikan agama dalam keluarga, yaitu:

Pertama, memberikan dorongan dan nasihat yang baik kepada anak. Sehingga mereka senantiasa mendapatkan motivasi untuk berbuat baik dan segera kembali pada jalan yang benar sesuai dengan tuntunan agama apabila melakukan kesalahan. Sebagaimana nasihat-nasihat Luqman yang diberikan kepada anak-anaknya (lihat QS. Liqman [31]:12-19).

Kedua, membimbing melakukan pembiasaan-pembiasaan pengamalan agama di lingkungan keluarga. Misalnya membiasakan selalu berdoa, mengucapkan salam, mencium tangan orangtua, melaksanakan shalat di awal waktu, berbuat baik kepada saudara dan tetangga, serta pembiasaan-pembiasaan sikap dan perbuatan baik lainnya yang diajarkan agama.

Ketiga, menerapkan reward and punishment; yaitu hukuman dan penghargaan yang sesuai dengan tahap perkembangan jiwa anak. Sehingga anak selalu terdorong untuk melakukan kebaikan dan takut untuk melakukan keburukan. Dalam sebuah hadits Nabi pun disebutkan, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika sudah berusia tujuh tahun; dan pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya ketika sudah menginjak usia sepuluh tahun”. Tentu pukulan pendidikan dan kasih sayang supaya anak mengenali kewajiban dan tanggung jawabnya.

Keeempat, memberikan keteladanan; sebagai orangtua tentunya harus menjadi teladan baik bagi anak-anaknya. Sehingga pendidikan agama dalam keluarga menjadi efektif karena keteladanan yang diperlihatkan oleh orangtua. Jadi dalam melaksanakan perintah-perintah agama, selaku orangtua bukan hanya pandai menyuruh, tetapi mengajak dengan mengatakan, “Mari Nak! melakukan bersama-sama”.

Kelima, memanjatkan doa demi kebaikan dan keshalehan anak-anak kita. Selaku manusia yang namanya orangtua pasti memiliki keterbatasan, karena itu jangan lupa selalu berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan dan kemaslahatan keluarga serta keturunan kita. Ada doa yang diajarkan Alquran, "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqaan [25]:74).

Demikianlah di atara upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk penguatan pendidikan agama dalam keluarga. Apabila pendidikan agama ini sudah ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita, maka insya Allah akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi kehidupan di masa-masa dewasa. Juga yang paling penting, dengan penguatan pendidikan agama dalam keluarga dapat menyelamatkan anak-anak kita dari ancaman kemerosotan moral dan kehancuran kehidupan di masa-masa yang akan datang. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Akar Dari Segala Nikmat Yang Dimiliki Manusia


“Barang siapa yang berbuat kepada ayahnya semasa ia hidup, dan kemudian setelah ayahnya tiada ia tidak mendoakannya maka Allah swt akan menyebutnya sebagai pemutus silaturahmi.”

Shabestan News Agency, memahami hak seorang ayah, nilai dan kedudukannya ialah dengan berbuat baik kepadanya, sebagaimana yang dikatakan Rasulullah saww “ridha Allah berada dalam ridhanya ayah, dan murka Allah berada dalam murka ayah.”

Dalam sebuah riwayatnya, Imam Sajjad as bersabda “hak ayahmu ialah dengan memahami bahwa ia adalah akar kalian dan kalian adalah cabangnya, dan ketahuilah bahwa jika ia tidak ada maka kalian tidak akan pernah ada, maka setiap kali kalian merasa bahagia karena mendapatkan nikmat maka ketahuilah bahwa ayah kalian merupakan akar dari nikmat yang kalian dapatkan tersebut, maka bersyukurlah atas apa yang telah Allah swt berikan kepada kalian.”

Dalam hal ini Imam Ridha as juga bersabda “patuhilah ayah kalian, berbuat baiklah, tunduk dan rendahkanlah diri kalian di hadapannya, muliakan dirinya dan berlemah lembutlah kalian saat berbicara dengannya, karena ayah merupakan akar dan anak lelaki merupakan cabangnya.”

Selain itu, Imam Ali Ridha as mengenai doa untuk ayah yang telah meninggal, beliau bersabda “barang siapa yang berbuat kepada ayahnya semasa ia hidup, dan kemudian setelah ayahnya tiada ia tidak mendoakannya maka Allah swt akan menyebutnya sebagai pemutus silaturahmi.”

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Makna Memberi Kebebasan Anak Hingga Usia 7 Tahun


Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Shabestan News Agency, dalam tahapan pendidikan anak, Rasulullah Saww bersabda “7 pertama adalah masa menjadi raja, 7 tahun kedua adalah masa untuknya taat dengan apa yang telah diperintahkan untuknya dan 7 tahun ketiga adalah masa dimana anak menjadi kawan dan teman beicara bagi orang tuanya.”

Masa pertama, adalah masa dimana anak menjadi raja dan berkuasa. Maksud dari itu semua adalah orang tua mengenalkan kasih sayang padanya. Karena kasih sayang adalah pondasi semuanya dalam kehidupan manusia.

Masa kedua yakni masa dimana anak harus mulai mengerti apa yang harus dia lakukan. Dalam masa ini juga anak harus mulai mengenal apa itu hal yang wajib dikerjakannya dan di larangnya. Disamping itu, orang tua juga harus mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya untuk bekal ketika dia sudah sampai di tahapan ke tiga.

Tahapan ketiga adalah suatu tahapan yang memang menjadi puncak dari segala tahapan. Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Dengan tahapan ini, anak yang sudah menginjak baligh sempurna harus tau secara sempurna juga, apa yang harus ia perbuat dalam kehidupannya. Tanggung jawab adalah salah satu hal yang paling prioritas dalam tahapan ketiga. Dalam tahapan ini juga anak mulai menjadi teman bicara untuk memecahkan masalah bagi orang tuanya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tahapan Memiliki Anak Yang Saleh


Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Shabestan News Agency, dalam tahapan pendidikan anak, Rasulullah Saww bersabda “7 pertama adalah masa menjadi raja, 7 tahun kedua adalah masa untuknya taat dengan apa yang telah diperintahkan untuknya dan 7 tahun ketiga adalah masa dimana anak menjadi kawan dan teman beicara bagi orang tuanya.”

Masa pertama, adalah masa dimana anak menjadi raja dan berkuasa. Maksud dari itu semua adalah orang tua mengenalkan kasih sayang padanya. Karena kasih sayang adalah pondasi semuanya dalam kehidupan manusia.

Masa kedua yakni masa dimana anak harus mulai mengerti apa yang harus dia lakukan. Dalam masa ini juga anak harus mulai mengenal apa itu hal yang wajib dikerjakannya dan di larangnya. Disamping itu, orang tua juga harus mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya untuk bekal ketika dia sudah sampai di tahapan ke tiga.

Tahapan ketiga adalah suatu tahapan yang memang menjadi puncak dari segala tahapan. Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Dengan tahapan ini, anak yang sudah menginjak baligh sempurna harus tau secara sempurna juga, apa yang harus ia perbuat dalam kehidupannya. Tanggung jawab adalah salah satu hal yang paling prioritas dalam tahapan ketiga. Dalam tahapan ini juga anak mulai menjadi teman bicara untuk memecahkan masalah bagi orang tuanya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Membuka Ruang Berfikir Anak di Sekolah (Foto Sekolah di Iran)


Yang kita lihat bukanlah masuknya suatu pelajaran dan bukunya ke dalam kurikulum sekolah, namun yang harus kita lihat adalah kualitas dari anak didik setiap sekolah.

Shabestan News Agency, dengan berjalannya dan berkembangnya masa, pengetahuan tentang filsafat pun sekarang masuk ke dalam kurikulum-kurikulum sekolah-sekolah umum. Ada banyak pertanyaan tentang masuknya filsafat dalam kurikulum sekolah itu, salah satunya adalah apakah dengan masuknya filsafat sebagai salah satu pelajaran wajib sekolah bisa menjadikan anak-anak lebih aktif dalam berfikir atau bahkan sama sekali tidak ada manfaatnya dengan masuknya filsafat dalam suatu kurikulum sekolah?

Mengenai hal ini Doktor Navab Muqarrabi mengatakan bahwa seharusnya yang kita lihat bukanlah masuknya suatu pelajaran dan bukunya ke dalam kurikulum sekolah, namun yang harus kita lihat adalah kualitas dari anak didik setiap sekolah, maksudnya yang menjadi objek janganlah buku itu tapi anak yang membaca buku itu.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh scorates ahli filsafat yunani, dia lebih mengedepankan perbuatan daripada sibuk dengan menulis suatu karangan yang entah nanti dibaca atau tidak oleh kaumnya. Bukan berarti menulis buku tidak menjadi prioritas scorates, namun dengan tulisannya yang seadanya dia memulai pengajarannya dengan menciptakan ruang berfikir di tengah-tengah masyarakat. Karena jika ruang berfikir di tengah masyarakat tidak diciptakan olehnya, maka buku dan pemikirannya akan sia-sia dan hilang dimakan oleh zaman.

Begitu juga dengan sekolah, di samping dia memberikan buku untuk dibaca para muridnya, dia juga harus menciptakan lingkungan berfikir seperti yang dilakukan scorates, demikian jelasnya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tahapan Mendidik Anak Berdasarkan Riwayat Rasulullah Saww


Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Shabestan News Agency, dalam tahapan pendidikan anak, Rasulullah Saww bersabda “7 pertama adalah masa menjadi raja, 7 tahun kedua adalah masa untuknya taat dengan apa yang telah diperintahkan untuknya dan 7 tahun ketiga adalah masa dimana anak menjadi kawan dan teman beicara bagi orang tuanya.”

Masa pertama, adalah masa dimana anak menjadi raja dan berkuasa. Maksud dari itu semua adalah orang tua mengenalkan kasih sayang padanya. Karena kasih sayang adalah pondasi semuanya dalam kehidupan manusia.

Masa kedua yakni masa dimana anak harus mulai mengerti apa yang harus dia lakukan. Dalam masa ini juga anak harus mulai mengenal apa itu hal yang wajib dikerjakannya dan di larangnya. Disamping itu, orang tua juga harus mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya untuk bekal ketika dia sudah sampai di tahapan ke tiga.

Tahapan ketiga adalah suatu tahapan yang memang menjadi puncak dari segala tahapan. Suksesnya orang tua mendidik anak dalam tahapan ini, bisa dijadikan pedoman bagaimana anaknya melanjutkan tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.

Dengan tahapan ini, anak yang sudah menginjak baligh sempurna harus tau secara sempurna juga, apa yang harus ia perbuat dalam kehidupannya. Tanggung jawab adalah salah satu hal yang paling prioritas dalam tahapan ketiga. Dalam tahapan ini juga anak mulai menjadi teman bicara untuk memecahkan masalah bagi orang tuanya.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jangan Salah Dalam Mendidik Anak!


Pada tahap yang terakhir orang tua harus memberikan kedewasaan kepada anak, sehingga apa yang telah mereka pelajari bisa diterapkan dalam dirinya. Pada tahap ini anak-anak kita hampir mendekati kebebasan.

Shabestan News Agency, dalam ajaran Islam disebutkan bahwa anak-anak kita pada tujuh tahun pertamanya ia adalah raja, sebagaimana Rasulullah saww dalam haditsnya mengatakan bahwa pada tahap tersebut berilah pendidikan seorang raja kepada anak-anak, dalam arti berilah ia kebebasan namun kita tetap mengawasinya.

Pada tujuh tahun kedua, merupakan tahun menerima pendidikan atau pelajaran bagi anak-anakdan juga tahun bagi si anak untuk menerima perintah dan peraturan, dan pada tujuh tahun ketiga bagi si anak untuk dimintai pendapat dan diajak bermusyawarah.

Mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas, apakah pembagian tiga macam pendidikan anak masih diterapkan dalam masyarakat modern saat ini? Ataukah hanya berlaku pada zaman dulu saja?


Pembagian dalam pendidikan anak yang disebutkan Rasulullah saww sepenuhnya benar, namun kita harus memahaminya dengan benar terkait apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah saww, yakni pada setiap usia ada konsekuensinya.

Anak-anak pada tujuh tahun pertama mereka mencari hal-hal yang baru baginya, oleh karenanya pada tahun tersebut kita harus membebaskannya, biarkan mereka mencoba hal-hal yang ada disekitarnya.

Adapun setelah itu pada tujuh tahun kedua, mereka ingin mencontoh apa yang dilakukan anak-anak yang lebih besar darinya, dan mereka ingin tahu tentang apa yang mereka pelajari dan contoh dari anak-anak yang lebih besar.

Pada tahap yang terakhir orang tua harus memberikan kedewasaan kepada anak, sehingga apa yang telah mereka pelajari bisa diterapkan dalam dirinya. Pada tahap ini anak-anak kita hampir mendekati kebebasan.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Konsultasi Sebelum Nikah Eratkan Hubungan


Melihat perkembangan zaman saat ini dengan adaya kerja-kerja yang dilakoni perempuan serta tingginya pendidikan wanita dan pemuda telah menciptakan aspek kehidupan berbeda. Dari itu konsultasi sebelum melangsungkan pernikahan dipandang penting guna erat serta abadinya hubungan pernikahan.

Seorang anggota lembaga keilmuan di Universitas Isfahan, Dr Zahra Fatihi Zadeh pada pertemuan ilmiah yang berkelanjutan tentang hubungan antara suami dan istri mengatakan, peran para wanita dan pria pada zaman sekarang ini sudah jauh berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan ini bisa mengakibatkan kehidupan keluarga tidak berlangsung lama. Karena itu merujuk kepada spesialis untuk berkonsultasi menjadi sesuatu yang penting.

“Agar keharmonisan antara dua individu itu terjaga maka perlu campur tangan ilmu pengetahuan,” kata dia.

Dr Zahra lebih lanjut menjelaskan, banyak keluarga karena kurangnya pengetahuan atau masalah ekonomi atau masalah sosial kemasyarakatan, mereka hanya memikul permasalahannya sendiri. Hari ini, dengan banyaknya kerja-kerja yang dilakoni oleh perempuan dan tingginya pendidikan wanita dan pemuda telah menciptakan aspek kehidupan berbeda.

Dia juga menyinggung tentang tingginya statistik perceraian, terutama di kota-kota besar. Setiap empat pernikahan, kata dia, salah satunya berujung dengan perceraian.

“ Jenis pertanyaan saat konsultasi sebelum nikah, pengetahuan tentang kesehatan, kondisi jiwa serta timbangan dalam memilih teman hidup dengan bantuan spesialis akan menjadi bagian yang penting secara ilmiah dalam pernikahan,” demikiran terang Dr Zahra Fatihi Zadeh.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Inisiatif Seorang Ayah Dalam Pendidikan Hafalan Al-Quran Kepada Putrinya


Termasuk video al-Quran yang sering dilihat yang baru-baru ini dipublikasikan di sosial media adalah metode inisiatif seorang ayah yang dipakai untuk mengajar hafalan al-Quran kepada putrinya.

Menurut laporan IQNA, dalam video tersebut sang ayah meminta putrinya agar mendengarkannya dan mengingatkannya jika ada kesalahan; sang ayah mulai membaca ayat-ayat al-Quran dan sang putri saat mendengar kalimat-kalimat yang salah dalam bacaan sang ayah, lantas ia segera mengingatkannya.

Metode ini merupakan sebuah inisiatif dalam mengokohkan hafalan-hafalan al-Quran, yang digunakan sang ayah untuk mengajar putrinya.

Film tersebut, dengan melihat dalam menampilkan keterampilan sang putri kecil dalam menentukan benar dan salah kata-kata al-Quran dan hukum-hukum tilawah, mendapat banyak sanjungan dari para netizen sosial media.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesan Imam Baqir as Dalam Mendidik Anak


“Sebagaimana paling baiknya perlakuan orang lain yang kita inginkan, maka perlakukanlah orang lain dengan sebaik-baiknya sebagaimana kita ingin diperlakukan”.

Salah satu kekhususan fitrah yang Allah berikan kepada manusia adalah cinta dan kasih sayang, yang salah satu permasalahan penting dalam fitrah cinta dan kasih sayang ialah menjaga moderasi dan menerapkan keadilan.

Dalam hal ini Imam Baqir as bersabda “terkadang aku kepada beberapa anak-anakku menampakan kecintaanku kepada mereka, aku mendudukannya di atas pahaku, aku memberikannya alat tulis, dan aku masukan ke mulutnya gula-gula, sementara aku mengetahui terdapat hak pada yang lainnya, namun aku melakukan hal ini supaya yang lainnya tidak saling cemburu, sehingga merea jangan sampai melakukan apa yang dilakukan saudara-saudara Yusuf”.

Begitu juga pada nabi Isa as, dimana sekelompok orang dari pengikutnya berlebihan dan ekstrem dalam mencintai nabi Isa as, dan bahkan menisbahkan maqam Tuhan kepada diri nabi Isa as, dan solusi terbaik untuk mengatasi ini semua adalah menjaga dan menerapkan keadilan dalam mencintai seseorang.

Sebagai manusia memiliki rasa cinta dan kasih sayang, ia ingin dihormati oleh orang lain, ia ingin orang lain menghargainya, tidak berbicara kepadanya dengan nada keras, angkuh dan kata-kata yang buruk, dengan begitu orang lain juga ingin diperlakukan dengan cara yang sama.

Dengan komunikasi yang baik dan tepat dapat merubah dan menghilangkan sifat-sifat buruk seseorang, sebagaimana Imam Baqir as dalam sebuah riwayatnya mengatakan “sebagaimana paling baiknya perlakuan orang lain yang kita inginkan, maka perlakukanlah orang lain dengan sebaik-baiknya sebagaimana kita ingin diperlakukan”.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendidik Anak Yang Saleh, Melalui kehidupan Imam Makshum As


Memiliki keturunan yang saleh adalah harapan semua orang, oleh karena itu jika ingin mendapatkan keturunan yang saleh harus mengambil tauladan dari kehidupan Imam Makshum as.

Hujjatul Islam Morteza Panah mengatakan bahwasanya salah satu ayat yang menjelaskan tentang wujud mulia Imam Husain as ialah ayat 11 surat ahqaf, yang merupakan ayat yang sangat luar biasa.

Mengenai tafsiran ayat ini, Ayatullah Syahid Mutahari menjelaskannya dengan kata-kata yang sangat indah yaitu sebuah keturunan yang saleh, jika ingin terdidik dengan baik maka mereka harus memiliki beberapa sifat.

Jika kita lihat buah dari kehidupan Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah Azzahra sa ialah seorang anak seperti Imam Husain as. Yang harus kita teladani ialah apa yang mereka perbuat sehingga bisa mendidik anak-anak seperti Aimmah as, jelas beliau.

Poin pertama yang harus diingat dalam mendidik anak yang saleh ialah bahwasanya manusia bukanlah pendidik yang hakiki, sebagaimana Fathimah Azzahra sa , Imam Husain as dan yang lainnya adalah Allah swt yang mendidiknya.

Poin kedua ialah selalu menjaga kehormatan kedua orang tua, seseorang yang selalu menjaga kehormatan kedua orang tuanya, kehidupannya akan lebih mudah dan sukses.

Selanjutnya ialah selalu berbuat baik kepada semua orang, sebagaimana Rasulullah saww bersabda “berbuat baik kepada sesama makhluq Allah dapat memanjangkan usia’.

Poin yang terakhir ialah jangan pernah sekali-kali menyakiti perasaan orang lain, baik dalam keadaan emosi ataupun tenang sekalipun.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Lakukan Hal Ini Untuk Wujudkan Pendidikan Mahdawiyat Dalam Keluarga


Ketika membicarakan tentang pendidikan Mahdawi dalam sebuah keluarga, harus dimulai dari kedua orang tua dengan mencontohkan akhlaq Mahdawiyat, menghormati, mencintai dan mengenal Imam Zaman afs.

Hujjatul Islam Muhammad Hasan dalam wawancaranya dengan Shabestan News Agency, terkait masalah cara menerapkan pendidikan Mahdawi, beliau menjelaskan bahwasanya salah satu hal-hal penting dan efektif dalam mendidik generasi mendatang ialah mengenalkan mereka dengan pengetahuan-pengetahuan agama, khususnya mengenai keghaiban Imam Zaman afs.

Saat ini dengan kemajuan teknologi, kita bisa mengenalkan pengetahuan-pengetahuan agama melalui media-media, website dan juga media sosial, khususnya dalam mengenalkan semua ini kepada anak dan remaja kita harus bisa lebih kreatif dan bervariasi sehingga dapat membuat mereka tertarik, jelasnya.

Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa peran keluarga juga sangat penting untuk merealisasikan hal ini yang mana harus dimulai dari kedua orang tua yang harus suka membaca mengenai kehidupan Imam Zaman afs, makna penantian dan seputar pembahasan Mahdawiyat lainnya.

Yang perlu diingat, membaca disini tidak hanya lewat buku-buku saja, namun para orang tua bisa juga membaca melalui aplikasi, website atau media lainnya yang dengan begitu memiliki informasi tentang Mahdawiyat dan sekaligus bisa mencontohkan kepada anak-anak mereka.

Selain itu, sebisanya dalam sebuah keluarga menciptakan suasana Mahdawiyat, namun bukan dengan cara selalu meneriakan “Ya Mahdi” atau memenuhi seisi rumah dengan gambar-gambar Imam Mahdi afs. Tapi lebih dari itu para orang tua harus mencontohkan akhlaq Imam Mahdi afs, menghormatinya, mencintainya dan mengenalnya, pungkas Hujjatul Islam Muhammad Hasan.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendidik Generasi Mendatang, Pecinta dan Penanti Imam Zaman Afs


Sebagaimana besarnya upaya ilmuan-ilmuan Iran dalam masalah nuklir yang menjadi sangat penting bagi Negara Iran, begitu juga upaya dalam mempersiapkan generasi penanti Al-mahdi afs.

Seorang peneliti dan pengkaji pembahasan Mahdawiyat Hasan Mahmudi saat wawancara dengan Sahbestan News Agency tentang cara mendidik anak-anak yang mahdawi, ia mengatakan bahwa supaya dapat mewujudkan kemunculan Imam Zaman afs kita harus bekerja ekstra di berbagai lapisan masyarakat.

Namun sejauh ini generasi dan lapisan di masyarakat yang banyak terpengaruh atau menerima ialah anak-anak dan remaja, sayangnya dengan begitu banyaknya musuh-musuh yang akhirnya sedikit-dikit merusak generasi ini.

Dalam taman kanak-kanak misalnya atau raudhotul athfal kita harus berusaha mengajarkan atau mengenalkan dengan bahasanya mereka sehingga anak-anak sejak saat itu dapat mengenal Imam Zamannya dan juga harus diingat ketika memberikan tema pertama kepada mereka tentang Imam Mahdi afs harus dengan bahasa yang ramah dan lembut, jelas peneliti Mahdawiyat ini.

Dan mengenai hal-hal yang bisa diajarkan kepada anak-anak ialah bahwasanya Imam Mahdi afs adalah orang yang ramah dan dicintai semua orang yang beliau hadir di tengah-tengah kita, dan jelaskan kepada anak-anak bahwa kepada Imam Zaman afs kita dapat berinteraksi, mengucapkan salam dan juga kita bisa memberikannya hadiah, pungkasnya.

Anak-anak sejak saat itu harus mulai memiliki gambaran yang baik dan menyenangkan tentang Imam Zaman afs, kita harus membuat aneka permainan, juga hiburan-hiburan atau animasi dan kartun yang dapat membuat tertarik anak-anak dan remaja, ujar Hasan Mahmudi.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Peran Penting Seorang Ayah Untuk Masa Depan Anak


Agama Islam telah mengatur hak-hak seorang ayah kepada anaknya dari sebelum masa kelahiran, bayi, kecil, remaja, hingga menjelang dewasa dan lainnya. Islam juga mengajarkan kepada sang ayah sebelum kelahiran anaknya untuk memilih pasangan yang baik, karena hal ini akan berpengaruh pada anak-anaknya kelak.

Direktur Pendidikan dan Penelitian Islam Al-Musthafa Internasional Hujjatul Islam Ali Hemmat Banari dalam menjawab pertanyaan mengenai apa pesan dan cara yang diperintahkan oleh Islam untuk seorang ayah dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan anaknya?

Ia menjawab, “Jika ingin melihat peran orang tua terutama peran ayah dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya, kita harus melihat peran ini dari berbagai tahap dan tingkatan tergantung usia anak.”

“Dalam hal ini, dalam riwayat menyebutkan bahwa tahap membesarkan anak hingga usia 21 tahun terbagi menjadi 3 tahap yang masing tahap setiap usia 7 tahun anak, yang ditujukan dalam riwayat ini adalah orang tua khususnya ayah, dalam riwayat ini dikatakan bahwa pada usia 7 tahun pertama anak adalah raja dari sini dapat difahami bahwa dalam memerintah atau mengatur anak tidak boleh dipaksakan karena ia belum memiliki tanggungan, dan kebebasan anak menjadi prioritas akan tetapi jangan sampai merepotkan orang lain,” jelas Hujjatul Islam Ali Hemmat Banari.

Beliau menambahkan, “Dan pada masa 7 tahun kedua yang merupakan masa terbaik untuk mendidik anak, masa ini masa pelatihan bagi anakuntuk mempersiapkan usia balighnya, pada masa ini peran orang menjadi lebih besar untuk memberi contoh baik, dan mengajarkannya mengenal Al-Qur’an, Ahlul Bayt, dan hukum-hukum Islam.”

Dan tahapan yang terakhir ialah masa 7 tahun ketiga, pada masa ini merupakan masa-masa balighnya anak, pada masa ini orang tua harus membebaskan anak dalam arti menghormati keputusan dan pilihan anak yakni jangan mengambil keputusan untuknya akan tetapi harus tetap membimbing mengontrol dan mengarahkan pilihan sang anak.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Memberi Teladan, Metode Pendidikan Terbaik


Orang tua dan para guru selalu memikirkan bagaimana pendidikan yang benar dan mencari metode terbaik. Karena mereka senantiasa berhadapan dengan anak-anak dan remaja yang membutuhkan pembelajaran dan pendidikan guna menempa sifat-sifat baik dalam dirinya dan menjauhkan sifat-sifat buruk. Tapi terkadang ada hal-hal yang merusak pendidikan terhadap anak dari sisi orang tua itu sendiri atau guru. Padahal niat mereka betul-betul tulus ingin melatih dan memperbaiki perilaku anak. Hal ini kembali pada ketidaktahuan sebagian orang tua atau guru akan kaidah pendidikan dan cara-caranya yang tepat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi membuktikan bahwa 75 persen proses belajar didapatkan lewat penglihatan dan pengamatan. Sementara 13 persennya melalui indera pendengaran. Dengan mengamati gaya perilaku kebanyakan orang tua dan guru akan jelas bahwa mereka berusaha mendidik generasi selanjutnya lewat jalan menegur dan nasihat berulang-ulang. Padahal, pendidikan dengan cara ini tidak banyak berpengaruh, bahkan hasil yang didapatkan justru membuat anak menjadi keras kepala.

Sekaitan dengan hal ini, para psikolog berkata, "Mendidik itu pada dasarnya membebaskan anak didik dari segala kebergantungan dan membuatnya bergantung pada hal-hal yang membawanya kepada pertumbuhan dan kesempurnaan, bukannya membentuknya menjadi seorang yang taat akan keinginan kita."

Menurut para psikolog, naluri "mencontoh" merupakan satu naluri yang kuat dan berakar dalam diri manusia yang semakin menguat lewat melihat. Berkat naluri ini, seorang anak belajar banyak tentang cara hidup, adat, makan, memakai pakaian, cara berbicara dari ayah dan ibunya kemudian melakukannya. Manusia sepanjang umurnya, sedikit atau banyak, mencontoh orang lain, tapi di usia antara satu hingga enam tahun, anak-anak lebih banyak menggunakan naluri ini. Dengan demikian, anak-anak dan remaja dengan melihat perilaku orang tua dan gurunya mereka sedang membentuk perilakunya sendiri di kemudian hari.

Dalam tahapan pertumbuhan dan proses belajar, ciri khas seorang yang menjadi teladan bagi anak-anak dan remaja sangat penting. Semakin sempurna seorang dewasa yang menjadi teladan bagi anak-anak, maka tingkat penerimaan dan keberlansungannya juga semakin banyak. Anak-anak sangat menyukai perilaku orang yang diteladaninya dan dengan senang hati berusaha membentuk dirinya seperti orang yang diteladaninya itu.

Sejatinya, seorang pendidik dengan perbuatannya lebih baik dan lebih berpengaruh dalam mendidik anak-anak, ketimbang bahasa lisan. Bila seorang pendidik; orang tua atau guru, tidak memiliki kelayakan dalam berlaku, dimana perilakunya bertentangan dengan apa yang diucapkannya, maka dengan sendirinya mereka akan mendidik anak dengan cara itu. Hasil-hasil penelitian ahli psikologi mengakui bahwa seorang anak dalam kehidupannya sangat membutuhkan contoh dan teladan. Ia membutuhkan contoh untuk memahami apa yang harus dilakukannya dan perilaku apa yang harus ditampakkannya.

Allah Swt dalam al-Quran menegaskan bahwa apa saja yang kita katakan harus kita amalkan. Demi mendidik fitrah manusia, Allah Swt memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai teladan terbaik. Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21) Allah Swt menyebut pribadi Rasulullah Saw sebagai teladan terbaik agar manusia terdorong untuk mengikuti perilaku beliau. Nabi Saw sendiri menyebut tujuan pengutusannya untuk mendidik akhlak manusia. Beliau bersabda, "Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

Metode paling penting yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik umat Islam adalah memberi contoh. Nabi Saw mengatakan sesuatu kepada umatnya, setelah terlebih dahulu mengamalkannya. Itulah mengapa, kaum Muslimin dengan senang hati melakukan perbuatan yang diperintah beliau. Karena mereka menyaksikan sendiri bagaimana beliau lebih dahulu dalam mengamalkan perbuatan baik yang diperintahkannya dan tidak melakukan perbuatan yang dilarangnya. Benar, ketika perbuatan seseorang merupakan manifestasi dari keyakinan, maka orang itu menjadi simbol keindahan pendidikan.

Nabi Muhammad Saw dalam semua dimensi kehidupannya senantiasa menampakkan wajah penuh senyum, ucapan yang menyentuh dan penuh kasih. Dalam riwayat dari Imam Husein as disebutkan, "Saya bertanya kepada ayahku Amirul Mukminin Ali as tentang ciri khas kehidupan Nabi Saw dan akhlak beliau. Ayahku berkata, ‘Wajah beliau senantiasa menebar senyuman kepada orang-orang yang duduk bersamanya, ramah dan lemah lembut. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap kasar, keras, suka marah, mengumpat, mencari kesalahan dan menjilat. Tidak seorangpun yang putus asa ketika menghadapnya. Siapa saja yang mendatangi pintu rumahnya, tidak akan pulang dengan putus asa."

Dari Imam Baqir as diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Ada lima hal yang tidak akan saya tinggalkan hingga ajal menjemput; makan dengan hamba-hamba Allah di atas tanah, menaiki keledai tanpa pelana, memeras susu kambing dengan tangan sendiri, memakai pakaian tenunan dari kapas dan mengucapkan salam kepada anak-anak. Semua ini akhirnya menjadi sunnah dalam Islam."

Anas bin Malik, sahabat Nabi Saw berkata, "Setiap kali Nabi Saw tidak melihat seorang sahabatnya selama tiga hari, beliau pasti menanyakan kondisi sahabat itu. Bila tidak ada dan sedang dalam perjalanan, beliau mendoakannya dan bila tidak dalam perjalanan, maka beliau pergi menemuinya dan bila sakit, beliau pasti menjenguknya." Semua ini masih setetes dari lautan keutamaan akhlak Nabi Muhammad Saw. Dengan perilaku yang seperti ini, beliau mampu mendidik para sahabat dan memiliki tempat khusus di hati mereka.

Dalam kehidupan tokoh-tokoh agama dapat disaksikan banyak poin penting pendidikan yang sangat indah. Banyak kutipan tentang kehidupan Imam Khomeini ra dan Imam Khamenei yang sangat mendidik. Imam Khomeini ra menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai teladannya dan dengan mengikuti perilaku beliau, Imam berusaha menunjukkan jalan yang benar kepada orang lain dengan perilakunya.

Doktor Farideh Mostafavi, anak perempuan Imam Khomeini ra mengenai cara pendidikan ayahnya mengatakan, "Imam tidak pernah mendiktekan perbuatan agama kepada kami. Dalam keluarga, ketika kami menyaksikan perilaku Imam, itu sendiri sudah dapat mempengaruhi kami. Senantiasa kami berusaha untuk mencontoh perilakunya, sekalipun kami tidak bisa seperti beliau. Dari sisi pendidikan, beliau menjadi teladan bagi kami. Ketika beliau berkata, ‘Jangan melakukan itu' dan kami melihat beliau sendiri tidak melakukannya, maka kami tidak melakukannya.

Imam Khomeini ra tidak pernah memerintahkan kepada kami untuk melakukan shalat. Beliau sendiri mengambil air wudhu setengah jam sebelum waktu shalat Zuhur tiba dan setelah itu melaksanakan shalat. Pada waktu itu kami di halaman rumah masih asik bermain... Ketika Imam Khomeini ra memandang penting shalat dan melaksanakannya, maka yang dilakukannya adalah berbicara dengan bahasa perbuatan kepada anak-anaknya. Perilaku beliau ini memberikan pengaruh yang sangat mendalam kepada jiwa anak-anaknya."

Kembali pada masalah pendidikan dapat dikatakan bahwa modal dalam proses mendidik yang benar ada pada diri setiap orang. Seorang pendidik seharusnya berbagi pengalaman pendidikannya kepada anak didik, bukan memberikannya nasihat lewat buku atau lisan. Seorang pendidik memberikan kesempatan anak didinya untuk memiliki pengalaman sendiri dan pada waktu yang tepat hadir untuk mengingatkan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya.

(IRIB-IIndonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Anak; Kekayaan Tak Ternilai Ilahi


Oleh: Emi Nur Hayati

Malam itu kami bertemu wali murid yang anaknya telah berkali-kali mengganggu anak kami saat pulang dari kursus bahasa inggris. Pertemuan ini sesuai dengan keinginan kami yang mengajak mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan cara damai dan kekeluargaan. Karena kami tidak sedang mencari siapa yang salah. Kami menginginkan untuk saling hidup berdampingan dengan penuh penghormatan dan kasih sayang. Siapapun yang salah sebaiknya mengakui kesalahannya dan selesai kemudian ditebus dengan permintaan maaf dan merajut kembali tenunan persahabatan.

Ibu kepala pusat studi bahasa asing mengundang orang tua murid tersebut untuk bertemu dengan kami dan alhamdulillah masalahnya selesai dengan baik dan bahkan mereka merasa bangga bisa bertemu dan berkenalan dengan kami.

Di akhir pertemuan itu ibu kepala pusat studi bahasa asing mengatakan, "Saya sebagai seorang kepala di beberapa pusat studi bahasa asing sampai saat ini masih mengontrak dan tidak punya rumah pribadi, tapi saya memiliki kekayaan tak ternilai yang diberikan oleh Allah kepada saya yaitu dua orang anak yang saleh dan baik yang berguna bagi nusa, bangsa dan negaranya."

Setelah pertemuan itu saya bertemu langsung dengan guru pengajar dan dia menyampaikan kepuasannya akan sikap-sikap dan perilaku serta prestasi anak kami dan juga mengatakan bahwa sebagian anak-anak mencerminkan bahwa mereka adalah anak-anak yang benar-benar mendapatkan kasih sayang dan perhatian spiritual dari orang tuanya dan sebaliknya tidak sedikit pula anak-anak yang mencerminkan kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tuanya.

Dari pertemuan malam itu saya menemukan titik temu bahwa betapa tingginya nilai seorang anak bagi orang tuanya, bahkan ia merupakan kekayaan tak ternilai bagi orang tuanya, hanya saja tidak sedikit orang tua yang melupakan nikmat yang tak ternilai ini.

Menyaksikan hiruk pikuk kehidupan dan lalu lintas kesibukan orang tua yang tidak mengenal siang dan malam karena ingin memenuhi kebutuhan jasmani anaknya, karena ingin meraih masa depan lebih cemerlang bagi anaknya, mereka bahkan tidak menyisihkan waktu untuk anaknya. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mencari uang demi kesejahteraan materi anaknya.

Namun pada saat yang sama ia lupa bahwa anak tidak hanya memerlukan pakaian bermerek, makanan bergizi dan cukup uang saku, tapi mereka memerlukan pendidikan, kasih sayang dan keakraban. Mereka memerlukan tempat pengaduan dan curhat di saat-saat mengalami dilema khususnya anak-anak di usia balig. Untuk mengimbangi dan memahami karakter masa peralihan dari masa kekanak-kanakan menuju usia remaja, orang tua harus senantiasa mengupdate pengetahuannya sehingga bisa menghadapi anaknya sesuai dengan kondisi dan psikologi yang sedang dialami anaknya. Ini merupakan salah satu cara untuk bisa melewati dengan baik masa-masa balig anak.

Akan menjadi sebuah kebanggaan bagi orang tua di dunia dan bekal akhiratnya bila ia mau meluangkan waktunya untuk berbicang-bincang mendengarkan luapan isi hati anaknya setiap malam dan menjadi sahabat terpercaya dan penasihat utama bagi anaknya. Sehingga proses perbincangan antara anak dan orang tua ini menjadi sebuah proses ajang pendidikan yang bisa menghasilkan generasi-generasi mukmin dan saleh yang berguna bagi nusa, bangsa dan agamanya. Karena "anak yang saleh adalah sekuntum bunga dari sekian bunga di surga" (Wasail as-Syiah, jilid 21, hal 357-358).

Di masa-masa peralihan ini anak-anak cenderung kasar, mudah marah dan melanggar aturan-aturan yang ada baik di dalam rumah maupun di tengah-tengah masyarakat seperti mbolos sekolah dan berkelahi. Namunpun demikian, bila anak-anak ini berada di bawah asuhan dan pengawasan serta pendidikan orang tua yang layak, maka kondisi psikologi anak bisa dikontrol dengan baik. Tentunya pendidikan ini jauh-jauh hari sudah harus dimulai ketika anak belum lahir bahkan ketika memilih pasangan hidup yakni memilih pasangan hidup yang sehat baik jasmani, akhlak maupun jiwanya.

Terkait masalah ini Imam Khomeini mengatakan, "Sebelum terjadi ikatan perkawinan antara ayah dan ibu, untuk membentuk manusia yang baik Islam menganjurkan untuk memilih wanita yang bagaimana dan lelaki yang bagaimana? Bagaimana akhlak dan perilakunya? Bagaimana keberagamaannya?

Seorang petani yang ingin bertani dan menanam bibit, ia akan memperhatikan apa saja yang bermanfaat untuk bibit tersebut dan apa saja yang berbahaya baginya. Ia akan senantiasa mengawasi dan memperhatikan sampai bibit tersebut tumbuh dan menghasilkan buahnya. Islam juga mengajarkan yang demikian. Bila salah satu dari kedua orang tua; ayah atau ibunya adalah orang yang akhlak dan budi pekertinya buruk dan perilakunya perilaku tidak manusiawi, maka anak yang mereka lahirkan juga akan mendapatkan dampak dan pengaruh perbuatan dan perilaku mereka. (Talim va Tarbiyat Az Didgah-e Imam Khomeini ra, hal 136)

Anak merupakan kekayaan tak ternilai dan tak akan ada habis-habisnya bila orang tuanya mampu dan berhasil mendidiknya menjadi manusia yang saleh. Anak adalah bunga taman kehidupan orang tuanya. Bila orang tua berhasil mendidiknya dengan baik dan memberikan kasih sayang yang cukup, sesungguhnya mereka telah berhasil merawat bunga yang segar dan ceria di dalam lingkungan hidupnya dan selanjutnya di akhirat ia akan mendapatkan balasannya sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Lima orang telah meninggal dunia, namun data mereka tidak akan ditutup dan pahalanya senantiasa mengalir untuknya. mereka adalah orang yang menanam sebuah pohon, yang menggali sumur dan airnya digunakan orang lain, yang membangun masjid, yang menulis al-Quran serta yang memiliki anak saleh." (Wasail as-Syiah, jilid 21, hal 355)

Karena begitu tingginya nilai seorang anak, nabi Ibrahim as berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa." (QS. Ibrahim: 39)

Namun orang tua yang tidak berusaha keras untuk menjadikan anaknya sebagai anak yang saleh, sejatinya mereka telah melupakan kekayaan tak ternilai ilahi ini. Karena selain anak bisa menjadi penolong orang tuanya di dunia maupun akhirat, ia juga bisa menjadi sebab kesengsaraan dunia dan akhirat bagi orang tuanya.

Oleh karena itu, Allah menganjurkan hamba-hambanya agar menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka sebagaimana dalam al-Quran berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. at-Tahrim: 6).

Wallahu A'lam
 
(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ajari Anak Shalat


Imam Ali as berkata:

عَلِّمُوا صِبیانَکُم الصَّلاةَ وَ خُذُوهُم بِها إذا بَلَغُوا الحُلُمَ.

“Ajarilah anak-anak kalian shalat dan tekankan shalat pada mereka setelah menginjak baligh.” (Ghurar Al-Hikam, hadis 2345).

Setiap ayah dan ibu memiliki tugas untuk mengajarkan kewajiban-kewajiban agama kepada anak-anak mereka. Di antara kewajiban-kewajiban agama, shalat memiliki derajat yang tertinggi. Dalam banyak riwayat ditekankan tentang mengajarkan shalat bagi orang tua kepada anak-anak.

Anak yang merasa shalatnya tidak diperhatikan orang tuanya, dengan mudah ia akan meremehkan shalatnya. Kita harus menjadikan anak-anak kita rajin menjalankan shalat.

(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: