Toko roti Tan Ek Tjoan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. (Foto: Micha Rainer Pali/Historia)
TAN EK TJOAN salah satu merek roti tertua di Indonesia. Pendirinya, yang namanya dijadikan merek produk, Tan Ek Tjoan, adalah seorang pemuda keturunan Tionghoa. Dia merintis usaha ini di daerah Surya Kencana, Bogor pada 1921. Sejak saat itu usahanya berkembang cepat. Merk roti ini begitu populer bagi warga Jakarta dan Bogor. Ciri khasnya: roti bertekstur keras.
Bung Hatta termasuk yang pernah mencicipinya. Pernah suatu ketika, seperti dikisahkan Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Megamendung, Bung Hatta berhenti di depan Toko Roti Tan Ek Tjoan di Bogor. Alih-alih masuk, dia menyuruh Sardi, pengawal Bung Karno, untuk beli roti. Dia memberikan uang Rp5. Sardi pun membeli roti seharga Rp3,75. Bung Hatta lalu melahapnya.
Horst Henry Geerken, seorang ekspatriat asal Jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun, juga memiliki kenangan tersendiri terhadap roti ini. “Untuk roti tentunya hanya ada roti tawar. Sopir kami harus membelinya di Bogor, 40 kilometer jauhnya dari Jakarta. Tan Ek Tjoan adalah satu-satunya toko roti di sekitar itu yang bisa memperoleh tepung impor,” tulisnya dalam A Magic Gecko. Sepertinya Geerken tak tahu, tahun 1953 Tan Ek Tjoan sudah buka cabang di Jakarta.
“Tahun 1953 itu sebenarnya pertama kali buka di daerah Tamansari. Di sana ada rumah keluarga yang cukup besar. Lalu baru pindah ke Jalan Cikini Raya ini tahun 1955,” tutur Ibu Wawa, menantu dari Tan Bok Nio, anak perempuan Tan Ek Tjoan.
Tan Ek Tjoan bersama istrinya, Phoa Lin Nio, memulai usaha roti di rumahnya yang sederhana namun cukup luas di Bogor. Sejatinya sang istrilah yang pandai membuat roti, sedang Tan pandai berbisnis. Kombinasi yang sempurna.
“Di Bogor, dulu banyak tinggal orang-orang Belanda. Usaha roti jadi dapat berkembang dengan baik,” kata Ibu Wawa. Selain orang Belanda, tulis Geerken, roti Tan Ek Tjoan juga populer di kalangan orang Indonesia yang kebarat-baratan, terutama orang Tionghoa.
Saat Tan Ek Tjoan meninggal dunia pada 1950-an, istrinya meneruskan roda usaha bahkan makin maju. Phoa melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta. Cikini, kawasan elite yang dihuni banyak orang Belanda, jadi pilihan.
Phoa Lin meninggal dunia pada 1958. Tan Bok Nio dan seorang anak laki-laki bernama Kim Tamara alias Tan Kim Thay, kedua anaknya dari pernikahan dengan Tan Ek Tjoan, mewarisi bisnis kelaurga. Tan Kim Thay memegang cabang Jakarta, Tan Bok Nio memegang Bogor.
Seperti sang ayah, Tan Kim Thay tak punya kemampuan membuat roti, tapi dia seorang pebisnis ulung. Ditambah lagi dia sempat menuntut ilmu ekonomi di Belanda. Di tangan Tan Kim Thay, bisnis keluarga semakin maju. Semula luas toko kira-kira hanya seperempat dari luas saat ini. Belum ada pabrik seperti sekarang. Benar-benar rumahan. Berkat keuletan Kim, lama-kelamaan bisnis makin maju hingga dapat membeli tanah di sekitarnya dan toko makin luas. Yang di Bogor pindah ke daerah Siliwangi. Karena semenjak ada tol Gadog, Surya Kencana agak sepi.
Saat itu Kim mulai menggunakan jasa pedagang gerobak sebagai ujung tombak pemasaran. Para pedagang itulah yang menjual roti kepada orang-orang Belanda yang berada di sekitar Cikini, dan kemudian meluas ke daerah-daerah lain, seperti Ciputat, Tangerang, Cinere, dan Bekasi.
Kim bukan sekadar membawa terobosan pada sisi manajemen bisnis, tapi juga pada varian roti. Bila awalnya hanya memproduksi roti gambang yang bertekstur keras, Kim membuat varian yang bernama roti bimbam dengan tekstur lembut. Bimbam kini jadi roti favorit Tan Ek Tjoan.
Menurut Kennedy Sutandi, direktur operasional Tan Ek Tjoan, munculnya roti bimbam merupakan penerapan konsep filosofi Yin-Yang. Gambang yang keras dan bimbam yang lembut mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain.“Selain itu, istri Pak Kim itu orang Belanda. Orang bule kan gak suka roti keras. Jadi bimbam itu perpaduan unsur dari pengaruh Indonesia, Tionghoa, dan Eropa,” ujar Kennedy.
Karena menikah dengan gadis Belanda bernama Elisabeth Tamara Arts, Kim lebih kerap tinggal di Indonesia. Dari perkawinan ini, Kim memperoleh dua anak: Robert dan Alexandra Salinah Tamara. Tumbuh dan berkembang di Negeri Belanda, anak-anak Kim tak begitu menyatu dengan bisnis roti keluarga. Saat Kim wafat pada 2007, Robert dan Alexandra tak tertarik menanganinya.
Alexandra sempat mencobanya namun tak bertahan lama. Pada 2010, dia meminta teman sepermainan masa kecilnya, Josey R. Darwin dan Kennedy Sutandi, untuk mengurus perusahaan.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email