Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS AL QUR'AN. Show all posts
Showing posts with label ABNS AL QUR'AN. Show all posts

Dan Allahlah Yang Mengirimkan Angin Sehingga Angin itu Menggerakkan Awan ...


وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا كَذَلِكَ النُّشُورُ

Dan Allahlah yang mengirimkan angin sehingga angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati, dan Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan perantara (hujan) itu. Demikianlah kebangkitan (orang-orang yang mati) itu. (Quran, 35: 9)

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bahwasanya Bumi itu Akan Diwarisi oleh Hamba-hamba-Ku Yang Shaleh


وَلَقَد كَتَبنا فِي الزَّبورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أَنَّ الأَرضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصّالِحونَ

Dan sesungguhnya telah Kami tulis dalam Zabur setelah Adz-Dzikr (Taurat): "Bahwasanya bumi itu akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh.” (QS. Al-Anbiya: 105)

Jika manusia melihat bahwa para aggressor dunia menjarah dan para penyeleweng melanggar hak-hak asasi manusia, tidak semestinya ia menganggap bahwa nasib dunia adalah demikian; jangan dibayangkan bahwa itu adalah akhir dari sebuah nasib dan tidak ada cara untuk mengatasinya dan mesti pasrah dan menyerah terhadap kondisi ini; tidak demikian, ketahuilah bahwa ini adalah kondisi, sebuah kondisi yang akan berlalu dan suatu hal yang terkait dengan alam ini dan tabiat alam ini adalah pembentukan pemerintahan yang adil; dan dia akan datang. (Ayatullah Khamenei; 20/09/2005).

Kini pikiran manusia siap memahami, mengetahui dan meyakini bahwa manusia agung akan datang dan akan menyelamatkan manusia dari kelaliman dan penindasan; suatu hal yang telah diupayakan oleh para nabi secara keseluruhan, suatu hal yang mana dalam ayat Al-Quran Nabi Islam telah menjanjikannya kepada masyarakat:

 "و یضع عنهم اصرهم و الاغلال التی کانت علیهم؛ 

dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” QS. Al-A’raf: 157. (Ayatullah Khamenei; 23/11/2008).

Meskipun kebohongan-kebohongan telah banyak dilakukan oleh para penguasa secara arogan dan banyak upaya yang telah mereka lakukan, baik dari aspek keuangan, militer, politik dan keamanan, dan hal itu masih terus dilanjutkan oleh para penguasa lalim dan sekutu-sekutunya, dan penerus jalan arogansi di kawasan ini dan di seluruh dunia Islam, ketahuilah bahwa masa depan sudah dipastikan milik Islam; (Ayatullah Khamenei; 17/8/2015).

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Surat Al-Fatihah (Bagian 1)



بِسمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ للَّهِ رَب الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ. إِيَّاك نَعْبُدُ وَ إِيَّاك نَستَعِينُ. اهْدِنَا الصرَاط الْمُستَقِيمَ. صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْت عَلَيْهِمْ غَيرِ الْمَغْضوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضالِّينَ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.


Pengaruh Basmalah terhadap Perbuatan

Ketika manusia akan melakukan suatu perbuatan, mereka sering mengawalinya dengan menyebut nama tokoh dan pemimpin besar mereka. Dengannya mereka mengharapkan kesuksesan apa yang mereka lakukan.Mengharapkan penghargaan dan kasih sayang darinya atau untuk mengenang dan mengabadikan namanya. Dalam hal yang sama manusia sering menamakan anak, bagungan atau lembaga mereka dengan nama orang yang mereka cintai dan kagumi. Juga menamakan anak dengan nama orang tuanya agar namanya dapat dikenang dan tidak terlupakan.

Allah swt mengawali firman-Nya dengan asma-Nya yang agung agar keagungan maknanya menjadi pengajaran, pendidikan dan ketergantungan bagi seluruh hamba-Nya dalam berbuat, beramal dan berbicara. Sehingga asma-Nya yang agung menjadi guru dan pembimbing mereka dalam melakukan sesuatu dan mengantarkan mereka pada kehendak Ilahi. Agar amal dan perbuatan mereka tidak sia-sia dan membinasakan. Karena dalam asma Allah tidak ada satu pun jalan kebatilan dan kebinasaan.

Di dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa setiap apa yang ditujukan kepada-Nya tidak ada satu pun kebinasaan dan kebatilan. Sebaliknya, setiap apa yang tidak ditujukan kepada-Nya adalah kesia-sian dan kebatilan. Karena tak ada sesuatupun yang kekal kecuali Dia. Setiap amal yang ditujukan kepada-Nya dan diawali dengan asma-Nya, Dialah yang mengabadikan dan menjaganya dari kebinasaan. Setiap sesuatu akan abadi bila sesuai dengan ketetapan Allah swt. Inilah yang dimaksudkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ahlul bait (sa) dan Ahlussunnah bahwa Rasulullah saw bersabda:

كل امر ذي بال لم يبدأ فيه باسم الله فهو ابتر

“Setiap perkara penting yang tidak diawali dengan asma Allah, ia akan terputus.”

“Abtar” artinya terputus yakni tidak sempurna. Seperti binatang yang terpotong ekornya, tidak sempurna.


Makna preposisi Ba’

Preposisi ba’ yang artinya “dengan” memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu “aku memulai”, yakni maknanya aku memulai pembicaraan dengannya. Mengawali pembicaraan dengannya berarti satu perbuatan, kesatuannya hadir dari kesatuan maknanya. Inilah makna yang harus dipahami dan tujuan yang hendak dicapai.

Tentang tujuan yang hendak dicapai, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:

قَدْ جَاءَكم مِّنَ اللَّهِ نُورٌ وَ كتَابٌ مُّبِينٌ. يَهْدِى بِهِ اللَّهُ

“Sesungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangi. Dengannya Allah member petunjuk..” (Al-Maidah: 15-16). Juga ayat-ayat lain yang semakna dengannya.

Tujuan Al-Qur’an adalah memberi petujuk kepada hamba-hamba Allah swt, dan petunjuk itu dimulai dengan “Basmalah”. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah tempat kembali hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, memberi petujuk ke jalan kasih sayang dan rahmat-Nya, rahmat yang bersifat umum, dan rahmat yang bersifat khusus bagi orang-orang mukmin untuk kebahagian di akhirat dan menjumpai Tuhannya. Allah swt berfirman:

وَ رَحْمَتى وَسِعَت كلَّ شىْ‏ءٍ فَسأَكتُبهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa…” (Al-A’raf: 156). Dan masih banyak ayat Al-Qu’an yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia.

Allah swt menyebutkan secara berulang-ulang kata “surat” di dalam Al-Qur’an:

قُلْ فَأْتُوا بِسورَةٍ مِّثْلِهِ

Katakanlah: “coba datangkan sebuah surat seumpamanya.” (Yunus: 38).

قُلْ فَأْتُوا بِعَشرِ سوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْترَيَتٍ

Katakanlah: “coba datangkan sepuluh surat yang dibuat dan menyamainya.” Huud: 13)

وَ إِذَا أُنزِلَت سورَةٌ

“Dan apabila diturunkan suatu surat…” (At-Taubah: 86)

سورَةٌ أَنزَلْنَهَا وَ فَرَضنَهَا

“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan…” (An-Nur: 1)

Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah saw membagi firman-Nya menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dinamakan surat. Ini menunjukkan bahwa stiap surat Al-Qur’an merupakan satu kesatuan dalam struktur dan kesempurnaan maknanya.

Ketika satu kesatuan ini tidak terdapat dalam suatu surat Al-Qur’an dan tidak berkait dengan surat yang lain, maka tujuan yang hendak dicapai oleh surat tersebut berbeda dengan surat yang lain. Setiap surat Al-Qur’an mempunya makna yang khusus dan tujuan tertentu, tanpa hal ini tidak sempurna suatu surat Al-Qur’an. Karena itu, “Basmalah” sebagai permulaan setiap surat merujuk pada tujuan khusus surat itu.

Dengan demikian, maka “Basmalah” dalam surat Al-Fatihah merujuk pada tujuan dan makna yang hendak dicapainya. Tujuan surat Al-Fatihah ditunjukkan oleh keindahan kalimatnya yaitu pujian kepada Allah dengan menampakkan ubudiyah kepada-Nya, memperjelas ibadah, mengkhususkan permohonan pertolongan dan petunjuk kepada-Nya. Inilah makna dan tujuan ketika Allah swt mengalihkan posisi hamba-Nya pada diri-Nya, agar ia mendapat bimbingan secara khusus di maqam ubudiyah dengan bimbingan-Nya.

Penampakan ubudiyah yang dilakukan oleh hamba-Nya merupakan amal yang mencerminkan seorang hamba dan urusan penting yang diperuntukkan padanya. “Basmalah” sebagai permulaan dan pengantar kembalinya seorang hamba kepada Allah swt, mengandung makna: Dengan asma-Mu aku tampakkan ubudiyah kepada-Mu.

Preposisi ba’ dalam Basmalah dikaitkan dengan kalimat yang implisit “aku memulai”. Tujuannya untuk menyempurnakan keikhlasan dalam maqam ubudiyah. Sebagian mufassir mengatakan: dihubungkan dengan kalimat implisit “aku memohon pertolongan”. Tapi yang lebih tepat dibuhungkan dengan kalimat “aku memulai”. Karena surat ini sudah meliputi permohonan pertolongan secara jelas yaitu dalam kalimat: “Kepada-Mu aku memohon pertolongan.”


Makna suatu Nama

“Ism” (nama) adalah suatu kata yang menunjukkan pada sesuatu atau person yang dinamai. Kata “Ism” berakar kata dari “As-Simah” artinya tanda. Atau berakar kata dari “As-Sumuwwu” artinya tinggi. Jadi nama adalah suatu kata yang menunjukkan pada sesuatu atau person, bukan person itu sendiri.

Adapun nama Allah secara esesnsial diambil dari sifat-sifat-Nya, bukan zat-Nya tetapi suatu kata yang menunjukkan pada zat-Nya. Misalnya “Al-‘Alim” (Maha Mengetahui) adalah nama yang diambil dari sifat Yang Maha Mengetahui. Nama yang diatributkan pada Allah, bukan zat Allah yang tidak diketahui kecuali melalui sifat-sifat-Nya. Sedangkan sifat adalah sesuatu yang menunjukkan pada zat-Nya.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa nama ada dua macam: sebuah kata dan hakikat. Jadi, nama yang dekat dan menunjukkan pada subtansi adalah nama dalam makna yang kedua. Sementara nama dalam makna yang pertama adalah nama tidak langsung. Yang berpendapat seperti ini mengatakan: nama dalam makna yang pertama adalah nama dari suatu nama; dalam makna yang kedua adalah nama secara langsung. Misalnya kata “Ilm” (pengetahuan) menunjukkan pada Allah Yang Maha Mengetahui. Sedangkan “Yang Maha Mengetahui” adalah nama tak langsung yang menunjukkan pada “Ilm” yang merupakan nama langsung yang diatributkan kepada Allah sebagai pemiliki pengetahuan. Jadi, “Ilm” adalah nama Allah sedangkan “Al-‘Alim” (Yang Maha Mengetahui) merupakan nama daripada nama.

Penjelasan ini didasarkan pada analisa ilmiah, tetapi dari sudut pandang bahasa kata “Ism” mempunyai makna sebagaimana yang kami paparkan.

Memang pada abad-abad pertama Islam, para teolog berbeda pendapat tentang “Ism”, nama Allah: apakah nama itu adalah zatnya itu sendiri atau bukan. Perdebatan ini berkepanjangan, tapi sekarang telah jelas bahkan tergolong pada “ilmu muda” yang mudah dipahami. Karena itu kita tidak perlu menghabiskan waktu memasuki perdebatan itu. Yang terpenting sekarang membatilkan yang batil, dan membenarkan yang benar.


Makna kata “Allah”

Secara bahasa kata “Allah” berasal dari “Ilah” yang artinya: yang disembah. Kata “Ilah” berwazan “Fi’âl” bermakna maf’ul, seperti “kitâb” bermakna “maktûb”, yang ditulis. Jadi “ilâh” bermakna “ma’lûh” yang disembah atau yang dikagumi oleh pikiran.

Kata “Allah” telah dikenal oleh bangsa arab jahiliyah, seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَ لَئن سأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنى يُؤْفَكُونَ

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah.” (Az-Zukhruf: 87)

وَ جَعَلُوا للَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَ الأَنْعَمِ نَصِيباً فَقَالُوا هَذَا للَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَ هَذَا لِشرَكائنَا

“Mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” (Al-An’am: 136)

Mungkin nama-nama Allah yang lain digunakan sebagai kata sifat, misalnya: Allah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kadang-kadang juga digunakan dalam bentuk kata kerja, misalnya: Rahimallâhu wa ‘alima wa razaqa, Allah Maha mengasihi, mengetahui dan memberi rizki. Tetapi kata “Allah” tidak pernah digunakan sebagai nama yang lain atau dalam bentuk kata kerja. Dari sini jelaslah bahwa kata “Allah” adalah nama yang paling agung yang diatributkan kepada-Nya.

Wujud Allah sebagai Tuhan segala sesuatu menunjukkan bahwa Dia memiliki semua sifat yang sempurna. Karena itulah kata “Allah” merupakan nama-Nya yang subtansial, yang meliputi semua kesempurnaan sifat-sifat-Nya Sehingga kata “Allah” tidak memiliki makna kecuali makna yang ditunjukkan katanya yaitu Yang Disembah dan Yang Dikagumi.


Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim berakar dari kata “Ar-Rahmah”. Sifat inilah yang secara langsung membekas ke dalam hati manusia yang sangat membutuhkan sesuatu untuk memenuhi keperluannya. Kemudian Allah swt mengutus hamba-Nya untuk menyempurnakan kekurangannya dan memenuhi kebutuhannya. Inilah makna karunia untuk memenuhi kebutuhannya, dengan makna inilah Allah swt disifati dengan “Ar-Rahmah”.

Ar-Rahmân berwazan fa’lân dalam sighat mubalaghah, berarti banyak dan sangat. Sedangkan Ar-Rahîm berwazan fa’îl dalam sifat musyabbahah, yang artinya tetap dan abadi. Sehingga, makna Ar-Rahman: rahmat yang bersifat umum, rahmat yang banyak untuk orang-orang mukmin juga orang-orang kafir. Makna ini disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

الرَّحْمَنُ عَلى الْعَرْشِ استَوَى

“Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

قُلْ مَن كانَ فى الضلَلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَداًّ

“Katakanlah: Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.” (Maryam: 75)

Adapun makna Ar-Rahim menunjukan pada kenikmatan yang terus-menerus dan rahmat yang abadi, hanya dikaruniakan kepada orang-orang mukmin, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَ كانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً

“Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43)

إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117)

Dan masih banyak ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut. Jadi, Ar-Rahman bersifat umum untuk orang-orang mukmin juga orang-orang kafir, sedangkan Ar-Rahim bersifat khusus hanya untuk orang-orang mukmin.

(Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, jilid 1, Allamah Thabathaba’i).

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Surat Al-Fatihah (Bagian 2)


الْحَمْدُ للَّهِ رَب الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ. إِيَّاك نَعْبُدُ وَ إِيَّاك نَستَعِينُ

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.


Makna Pujian kepada Allah swt

“Alhamdu” adalah pujian terhadap kebaikan yang didasari ikhtiyar. Sedangkan “Almadah” adalah pujian yang sifatnya lebih umum. Misalnya:

حمدت فلانا او مدحت لكرمه

“Aku memuji fulan, atau aku memuji kemuliaannya.”

مدحت اللؤلؤ

“Aku memuji mutiara.” Karena sifat mutiara tidak ikhtiari, maka kta tidak boleh mengatakan:

حمدت اللؤلؤ

“Al” pada kata Alhamdu adalah lil-jins, bermakna semua atau mencakup semua jenis pujian. Makna ini terkandung dalam firman Allah swt:

“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu.”(Al-Mu’min/40: 62). Ayat ini bermakna bahwa segala sesuatu adalah makhluk Allah swt:

“Dialah Yang membuat segala sesuatu sebaik-baiknya makhluk .” (As-Sajadah/32: 7)

Dalam ayat ini Allah menetapkan kebaikan bagi segala sesuatu sebagai makhluk-Nya. Yakni kebaikan dalam proses keterciptaannya. Tidak ada satupun makhluk kecuali baik dan indah karena kebaikan-Nya, dan tidak ada kebaikan kecuali ia adalah makhluk-Nya karena dinisbatkan kepada-Nya. Allah swt berfrman:

“Dialah Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa.” (Az-Zumar: 4)

وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَىّ‏ِ الْقَيُّومِ

“Dan tunduklah semua muka kepada Tuhan Yang Hidup dan Maha Mengawasi.” (Thaha: 111)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa Allah swt menciptakan makhluk-Nya dan melakukan sesuatu bukan karena dipaksa oleh yang memaksa, tetapi Dia menciptakan dan melakukannya berdasarkan ilmu dan kehendak-Nya. Karena itu, semua perbuatan-Nya adalah baik berdasarkan kehendak-Nya. Inilah makna dari segi perbuatan-Nya, adapun dari segi nama-Nya Dia berfirman:

اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأَسمَاءُ الْحُسْنَى

“Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia mempunyai Asmaul husna, nama-nama yang terbaik.” (Thaha: 8)

وَ للَّهِ الأَسمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوهُ بهَا وَ ذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فى أَسمآَئهِ

“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan asmaul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
nama-nama-Nya.” (Al-A’raf: 180)

Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Maha Indah dalam semua nama-Nya, Maha Baik dalam segala perbuatan-Nya, dan semua kebaikan berasal dari-Nya.

Karenanya Allah swt dipuji dengan segala keindahan nama-nama-Nya. Tidak ada satu pun pujian kecuali semuanya milik-Nya, karena semua keindahan dan kebaikan yang dipuji berasal dari-Nya. Sehingga hanya milik Allah semua jenis dan tingkatan pujian.

Dari sini jelaslah hubungan makna yang terdapat dalam kalimat: Iyyâka na’budu. Yaitu sebagai ungkapan dari seorang hamba yang diajar, dibimbing dan dituntun oleh Allah swt untuk memuji kepada-Nya, dan untuk menghadap kepada-Nya dalam kedudukan ubudiyah dan pengabdian kepada-Nya. Makna inilah difokuskan dan dikokohkan oleh firman-Nya: Alhamdulillâhi, segala puji bagi Allah.


Larangan Mensifati Allah kecuali hamba-Nya yang ma’shum

Sebagaimana telah dmaklumi bahwa setiap pujian adalah pensifatan terhadap yang dipuji. Sedangkan Allah swt mensucikan diri-Nya dari segala sifat yang dsifatkan kepada-Nya oleh hamba-Nya, Dia menyatakan dalam firman-Nya:

سبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ إِلا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ

“Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali hamba-hamba Allah yang disucikan dari (dosa).” (Ash-Shaffat: 159-160)

Makna ayat ini sifatnya mutlak tanpa dibatasi oleh suatu batasan. Yakni Allah tidak mengizinkan hamba-hamba-Nya untuk mensifati dan memuji diri-Nya dengan pujian apapun kecuali hamba-hamba-Nya yang mukhlashin, ma’shumin, yang disucikan dan dijaga dari dosa-dosa. Seperti perintah Allah kepada nabi Nuh (as):

فَقُلِ الحَْمْدُ للَّهِ الَّذِى نجَّانَا مِنَ الْقَوْمِ الظالِمِينَ

“Maka ucapkan: segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim.” (Al-Mu’minun/23: 28). Juga seperti kisah nabi Ibrahim (as):

الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَهَب لى عَلى الْكِبرِ إِسمَاعِيلَ وَ إِسحاَقَ

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Ibrahim/14: 39). Juga perintah Allah swt kepada Rasulullah saw:

وَ قُلِ الحَْمْدُ للَّهِ سيرِيكمْ ءَايَتِهِ فَتَعْرِفُونهَا

“Maka ucapkan: segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya.” (An-Naml/27: 93). Juga kisah nabi Sulaiman (as):

وَ قَالا الحَْمْدُ للَّهِ الَّذِى فَضلَنَا عَلى كَثِيرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ

“Keduanya mengucapkan: segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman”. (An-Naml: 15)

Pengucualian yang lain adalah pujian atau penyifatan dari penghuni surga yang hatinya disucikan dari dosa, kedengkian, kata-kata yang tak berguna, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَ ءَاخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الحَْمْدُ للَّهِ رَب الْعَلَمِينَ

“Dan penutup doa mereka ialah: “Alhamdulilâhi Rabbil ‘âlamin.” (Yunus: 10)

Allah swt tidak mengizinkan pujian atau penyifatan dari selain mereka. Memang ada kisah yang menunjukan makhluk-makhluk-Nya memuji-Nya, seperti dalam firman-Nya:

وَ الْمَلَئكَةُ يُسبِّحُونَ بحَمْدِ رَبهِمْ

“Para malaikat bertasbih dengan memuji Tuhan mereka.” (Asy-Syura: 5)

وَ يُسبِّحُ الرَّعْدُ بحَمْدِهِ

“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji-Nya.” (Ar-Ra’d: 13).

وَ إِن مِّن شىْ‏ءٍ إِلا يُسبِّحُ بحَمْدِهِ

“Tidak ada sesuatupun kecuali ia bertasbih dengan memuji-Nya.” (Al-Isra’: 44)

Allah mengizinkan pujian dari selain mereka yang disucikan dari dosa dengan syarat bertasbih sebelum memuji. Allah swt menjadikan tasbih sebagai dasar diizinkannya memuji Allah swt. Karena selain Allah tidak ada yang mengetahui kebaikan dan kesempurnaan perbuatan-Nya sebagaimana mereka tidak mengetahui keindahan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Allah swt menyatakan dalam firman-Nya:

وَ لا يحِيطونَ بِهِ عِلْماً

“Mereka tidak dapat mengetahui secara sempurna ilmu-Nya.” (Thaha: 110)

Ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak akan mampu menyifati Allah swt. Karena jika mereka menyifati Allah, mereka telah membatasi-Nya dengan sifat yang mereka nisbatkan kepada-Nya, membatasi dan menetapkan Dia dengan kadar sifat yang mereka ketahui. Karenanya sifat yang mereka pujikan kepada Allah tidak akan benar dan sesuai kecuali sesudah mereka bertasbih dan mensucikan-Nya dari apa yang mereka sifatkan dan bataskan berdasarkan pengenalan mereka yang terbatas. Allah swt berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَ أَنتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)

Adapun hamba-hamba Allah yang ma’shum, yang terjaga dari dosa-dosa, Dia telah menjadikan pujian mereka sebagai pujian-Nya dan penyifatan mereka sebagai sifat-Nya. Dan Dia telah menjadikan mereka sebagai hamba-hamba-Nya yang ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.

Karena itulah, Allah membimbing hamba-hamba-Nya cara memuji-Nya dalam ubudiyah dan pengabdian kepada-Nya, dengan cara yang diajarkan dan dibimbingkan oleh-Nya kepada mereka. Jika tidak, tentu mereka tak akan mampu mencapai pujian yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal ini dinyatakan di dalam hadis Rasululah saw:

“Aku tak akan mampu mengungkapkan pujian pada-Mu seperti Engkau memuji diri-Mu.”

Dengan penjelasan ini, jelaslah makna yang terkandung dalam kalimat: Alhamdulillâhi, segala puji bagi Allah, berupa pengajaran dan bimbingan ubudiyah. Agar hamba-Nya mampu memuji-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Sekiranya Allah swt tidak mengajari dan membimbing mereka, niscaya mereka tak mampu memuji-Nya.

Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, jilid 1, Allamah Thabathaba’i.

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Surat Ad-Dukhkhân


Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Ad-Dukhkhan pada malam hari, ia akan dimohonkan ampunan oleh seribu malaikat.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 4/620).

Ubay bin Ka’b berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Ad-Dukhkhan pada malam Jum’at, ia akan diampuni dosanya.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 4/620).

Abu Umamah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Ad-Dukhkhan pada malam Jum’at atau hari Jum’at, ia akan dibangunkan oleh Allah rumah di surga.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 4/620).

Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Wahai putera Rasulullah, bagaimana cara mengetahui bahwa malam Al-Qadar itu terjadi setiap tahun? Beliau menjawab: “Jika bulan Ramadhan telah datang, maka bacalah surat Ad-Dukhkhan setiap malam seratus kali, kemudian jika malam yang ketiga belas datang maka lihatlah kebenaran apa yang kamu tanyakan.”

Imam Muhammad Al-Baqir (as): “Barangsiapa yang membaca surat Ad-Dukhkhan dalam shalat-shalat fardhu dan shalat-shalat sunnah nafilah, Allah akan membangkitkannya sebagai orang yang mendapat keamanan pada hari kiamat, menaunginya di bawah naungan arasy-Nya, mempermudah hisab amalnya, dan memberikan kepadanya catatan amalnya di tangan kanannya.” (Kitab Tawabul A’mal, hlm 141; Al-Bihar 7/295/ 20, 92/299/1).

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Ayat Kursi


(Al-Baqarah : 255)

1. Rasulullah SAW. Bersabda : «Barangsiapa yang membaca empat ayat dari awal surat Al-Baqarah, dan ayat Kursi serta dua ayat sesudahnya, dan tiga ayat dari akhir surat, ia tidak akan melihat pada diri dan hartanya sesuatu yang tidak diinginkan, tidak didekati oleh setan, dan tidak melupa-kan Al-Qur’an. (Kitab Tsawabul A’mal 104).

2. Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membaca ayat Kursi (100 kali), maka nilainya sama dengan orang yang beribadah sepanjang hidupnya.” (Tafsir Ats-Tsaqalayn 1/258).

3. Rasulullah SAW. bersabda: “Ketika Allah Azza wa Jalla hendak menurunkan surat Al-Fatihah, ayat Kursi, Ali-Imran 18, dan Ali-Imran 26-27, … (lihat keutamaan Surat Al-Fatihah. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/258; Tafsir Majma’ul Bayah).

4. Rasulullah SAW berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib (sa): «Wahai Ali, barangsiapa yang menderita sakit perut, maka tuliskan ayat kursi pada perutnya, dan minumlah air (yang dibacakan ayat kursi), dengan izin Allah ia akan sembuh.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/258).

5. Imam Ali Ar-Ridha (sa) berkata: “Barangsiapa yang mem-baca ayat Kursi menjelang tidur, insya Allah diselamatkan dari penyakit lumpuh separuh badan; dan barangsiapa yang membacanya setiap sesudah shalat, ia akan terjaga dari bahaya penyakit demam.” (Kitab Tsawabul A’mal 105). 6. Sebagian ulama besar sufi mengatakan: “Jika ayat Kursi dibaca sebanyak jumlah nama-nama Allah, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu Futuhat (kemenangan dan pertolongan), menjadi orang yang bahagia dan dijauhkan dari kefakiran.”

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan surat Al-Falaq


1. Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang ingin memperoleh penjagaan Allah dari orang yang bermaksud buruk, hendaknya ketika melihat orang itu memohon perlindungan dengan kekuatan Allah Azza wa Jalla dari kekuatan makhluk-Nya, kemudian membaca surat Al-Falaq dan ayat yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Nabi-Nya SAW.: Fain tawallaw faqul hasbiyallâhu lâ ilâha illâ Huwa, ‘alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘arsyil ‘azhîm (At-Taubah: 129), niscaya Allah menyelamatkan ia dari tipu daya setiap penipu, makar setiap pemakar, dan kedengkian setiap orang yang dengki.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/717).

2. Imam Muhammad Al-Baqir (sa)1) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Falaq dan An-Nas, ia seperti membaca seluruh kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/717).

3. Imam Musa Al-Kazhim (sa)2) berkata: “Tidak ada seorang pun yang membacakan pada anak kecil setiap malam: surat Al-Falaq dan An-Nas masing-masing (3 kali), dan surat Al-Ikhlash (100 kali) atau (50 kali), kecuali Allah menyingkirkan darinya setiap penyakit atau derita anak kecil: kehausan, penyakit lambung dan darah, sampai ia berusia remaja. Jika sesudah remaja ia membacanya sendiri, maka ia akan dijaga oleh Allah Azza wa Jallah sampai hari wafatnya.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/717).

4. Imam Ali Ar-Ridha (sa) 3) berkata bahwa beliau pernah melihat orang yang sedang pingsan. Beliau menyuruh mengambilkan gelas yang diisi air. Kemudian beliau membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Falaq dan An-Nas, kemudian meludahi/meniup gelas itu, lalu menyuruh menyiramkan/mengusapkan air itu pada kepala dan wajahnya. Orang yang pingsan itu sadar dan bangun. Imam berkata kepadanya: “Insya Allah penyakit itu tidak akan kembali lagi kepadamu selamanya.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/718).

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan surat Al-Fâtihah


1. Rasulullah SAW. bersabda: “Ketika Allah Azza wa Jalla hendak menurunkan surat Al-Fatihah, ayat Kursi, Ali-Imran 18, 26-27, surat dan ayat itu bergelantung di Arasy dan tidak ada hijab dengan Allah. Surat dan ayat itu berkata: Ya Rabbi, Kau akan turunkan kami ke alam dosa dan pada orang yang bermaksiat kepada-Mu, sementara kami bergelantung dengan kesucian-Mu. Allah SWT. berfirman: “Tidak ada seorang pun hamba yang membaca kalian setiap sesudah shalat kecuali Aku karuniakan padanya lingkaran kesucian di tempat ia berada, dan Aku memandangnya dengan mata-Ku yang tersembunyi setiap hari tujuh puluh kali pandangan. Jika tidak, Aku tunaikan baginya setiap hari tujuh puluh hajat yang disertai pengampunan. Jika tidak, Aku melindungi dan menolong-nya dari semua musuhnya. Dan tidak ada yang mengha-langinya untuk masuk ke surga kecuali kematian.” (Tafsir Majmaul Bayan 1/426)

2. Rasulullah SAW. bersabda bahwa Allah SWT. berfirman: “Aku membagi surat Al-Fatihah antara Aku dan hamba-Ku, separuh untuk-Ku dan separuh lagi untuk hamba-Ku.
Bagi hamba-Ku ketika ia bermohon dan membaca: Bismillahir Rahmanir Rahim, Allah Azza wa Jalla menyatakan: “Hamba-Ku telah memulai dengan nama-Ku, maka berhaklah Aku untuk menyempurnakan urusannya dan memberikan keberkahan dari sisi-Ku untuk seluruh keadaannya.”
Ketika hamba-Ku membaca: Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allah Jalla jalaluh menyatakan: “Hamba-Ku telah memuji-Ku, mengakui bahwa semua nikmat yang dimilikinya berasal dari sisi-Ku, dan semua bala’ Aku yang menyingkirkan sehingga ia merasakan itu sebagai karunia. Maka, hendaknya kalian saksikan, Aku akan menjamunya dengan kenikmatan akhirat lebih dari kenikmatan dunia yang telah Kuberikan, dan menyingkirkan bala’ akhirat sebagaimana Aku telah menyingkirkan bala’ dunia.”
Ketika hamba-Ku membaca: Ar-Ramânir Rahîm, Allah Jalla jalaluh menyatakan: “Hamba-Ku telah bersaksi bahwa Aku Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kalian saksikan, Aku akan melimpahkan rahmat-Ku padanya dan mencurahkan karunia-Ku padanya.”
Ketika hamba-Ku membaca: Maliki yawmiddîn, Allah SWT. menyatakan: Kalian saksikan, sebagaimana ia telah mengakui Aku sebagai Raja pada hari kiamat, Aku akan memberikan kemudahan baginya yaitu amalnya tidak dihisab, dan Aku akan mengampuni semua kesalahannya.”
Ketika hamba-Ku membaca: Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’in, Allah Azza wa Jalla menyatakan: “Dia hanya memohon pertolongan kepada-Ku dan hanya bersandar kepada-Ku. Kalian saksikan, Aku akan menolongnya dalam segala urusannya, Aku akan melindungi-Nya dalam segala deritanya, dan Aku akan memegang tangannya saat ia membutuhkan pertolongan.”
Ketika hamba-Ku membaca: Ihdinash shirâthal mustaqîm … (sampai akhir surat), Allah Jalla jalaluh menyatakan: Hamba-Ku telah bermohon pada-Ku, Aku pasti mengijabah permohonan hamba-Ku, memberikan apa yang diinginkan, dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkan.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/5)

3. Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Fatihah, Allah mengkaruniakan kepadanya pahala sama dengan pahala membaca suluruh ayat yang diturunkan dari langit.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/4)

4. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berakata: “Iblis menangis dan menjerit dalam empat hal: ketika ia dilaknat, ketika ia diturunkan ke bumi, ketika Muhammad diangkat men-jadi Rasul, dan ketika surat Al-Fatihah diturunkan.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/4).

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Surat al-Kahfi:74: Nabi Khidir Seorang Pembunuh


Islam adalah agama kebijaksanaan, akal dan hikmah. Dari sejak awal diturunkannya sejak masa Nabi Adam as., Islam telah mepersembahkan ajaran-ajarannya yang dipenuhi cahaya hikmah yang menjadi suluh pelita perjalanan umat manusia. Ya, Islam telah melahirkan pribadi-pribadi terpilih dari rahim suci ajarannya. Sejarah telah mencatat dengan sangat baik betapa banyak sosok-sosok agung nan cemerlang yang menghiasi cakrawala kebijaksanaan yang terlahir, dibimbing dan dibesarkan oleh ajaran Islam yang suci. Bahkan di kitab suci al-Qur’an, hampir sepertiga isinya menceritakan tentang kisah-kisah orang-orang yang terdahulu, baik mereka yang ingkar seperti Fir’aun dan Qarun, maupun mereka yang taat dan menjadi kebanggaan kebijaksanaan seperti para Nabi, alim-ulama dan mereka yang dekat dengannya. Yang mana melalui perantaraan merekalah kita bisa mengambil pelajaran dan mereguk hikmah suci Ilahi ini.

Salah satu kisah yang terkenal yang disebutkan oleh al-Qur’an mengenai kebijaksanaan dan hikmah orang-orang terdahulu ini terekam dalam Surat al-Kahfi: 74 yang artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” Begitu terkenalnya kisah ini hingga ia sampai diabadikan oleh Allah Swt dalam kalam suci-Nya, yang mana ini menandakan nilai penting kisah ini dan kedalaman hikmahnya. Ini jelas karena mustahil Allah meletakkan dalam al-Qur’an firman-Nya yang tidak mempunyai makna.

Namun ketika sekilas membaca kisah yang diabadikan dalam salah satu ayat al-Qur’an diatas kita seolah-olah melihat sebuah kontradiksi yang sangat keras. Bagaimana tidak? Ayat di atas menyajikan kisah tentang salah seorang Nabi Allah yang dipuji oleh Allah mempunyai ilmu khusus, yaitu Nabi Khidhir as, yang mana sebagai seorang Nabi ia sudah sepatutnya bersikap lembut dan penuh kasih-sayang. Apalagi terhadap seorang anak. Namun pada ayat di atas disebutkan dengan jelas tindakannya yang langsung membunuh seorang anak (ghulam) yang baru saja ditemuinya di suatu desa. Anak yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukankah ini merupakan sebuah keganjilan yang sangat mencolok? Bagaimana bisa seorang Nabi yang dipuji ilmunya oleh Allah Swt dalam al-Qur’an melakukan hal seperti ini? Bagaimana seorang Nabi bisa dengan mudahnya menumpahkan darah seorang anak yang tak berdosa? Bahkan Nabi Musa as. sendiri yang saat itu sedang mengiringinya pun –yang notabenenya sama-sama Nabi- sampai melanggar janjinya sendiri untuk tidak membuka mulutnya dan memprotesnya dengan keras!

Jika al-Qur’an adalah kita yang penuh hikmah dan tidaklah semua isinya kecuali hikmah dan kebijaksanaan, maka gerangan apa yang dikehendaki Allah dengan mengabadikan kisah ini di al-Qur’an? Bukankah ini seperti menorehkan tinta hitam pada kertas putih bersih semata? Tidakkah Allah Swt malah mencederai Nabi-Nya sendiri dengan kisah ini? Tidakkah Ia malah memaklumatkan ketidaksempurnaan-Nya dengan hal ini? Tentu saja, jawabannya adalah tidak! Justru sebaliknya, jika kita pahami dengan lebih teliti, kita akan menemukan kebijaksanaan dan hikmah yang sangat besar di dalamnya. Mari kita bahas bersama!


Jawaban Detil:

Sebelum kita membahasnya dengan lebih rinci dan memecahkan kemusykilan ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui beberapa hal dasar yang akan kita jadikan pijakan awal pembahasan ini. Hal-hal tersebut adalah;
1. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Khidir As adalah hamba Allah Swt yang memliki ilmu dan rahmat khusus Ilahi.
2. Beberapa ayat dan riwayat yang ada memberi pemahaman bahwa terbunuhnya anak yang baru balig (ghulam) tersebut bukanlah akibat dari tindakan yang dilakukan karena kebencian, hawa nafsu atau amarah.
3. Kematian anak tersebut di tangan Nabi Khidir As atas perintahdan izin Allah Swt.
4. Tanpa diawali dialog atau percekcokan antara Nabi Khidir As dengan anak tersebut, Nabi Khidir As sengaja dengan penuh kesadaran membunuh anak tersebut. Jadi pembunuhan ini bukan kebetulan atau kecelakaan (ketidaksengajaan).
5. Ayah dan ibu dari anak yang dibunuh tersebut adalah orang-orang Mukmin yang mendapat anugerah khusus dari Allah Swt. Nabi Khidir As ketika itu sangat mengkhawatirkan kedua orangtua si anak menjadi kafir dan sesat karena perangai buruk anak tersebut kelak.
6. Merujuk ayat-ayat terkait peristiwa ini serta riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As, dapat dipahami bahwa Allah Swt hendak mengaruniai seorang anak perempuan kepada sepasang suami istri tersebut sebagai gantinya. Kelak dari rahim anak perempuan ini lahir nabi-nabi. Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, sekitar 70 nabi yang lahir dari keturunan anak perempuan tersebut. Sedangkan anak laki-laki tersebutmenjadi penghalang lahirnya nabi-nabi tersebut.
7. Anak laki-laki yang dibunuh Nabi Khidir tersebut tenggelam dalam kekufuran dan tiada harapan sedikitpun untuk menerima hidayah. Kekufuran serta keingkaran terhadap kebenaran mengakar di dalam hatinya, kendati secara lahiriah tampak seperti seorang suci. Dengan kata lain, kejahatan anak laki-laki tersebut adalah kufur atau murtad secara fitrah dan balasan setimpal bagi orang seperti ini tidak lain adalah hukuman mati.
8. Kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat yang sangat banyak diantaranya adalah terpeliharanya iman kedua orangtuanya, kedua orangtua anak laki-laki tersebut terhindar dari segala bentuk kesedihan akibat adanya hubungan dan rasa kekeluargaan, merasa gembira karena telah sukses menjalani qada dan qadar Ilahi, memperoleh keberkahan yang melimpah (melalui anak perempuannya), Nabi Musa dapat mengetahui sebagian rahasia, ilmu gaib dan hakikat batin, teraplikasinya aturan-aturan Tuhan melalui Nabi Khidir As, mencegah bertambah beratnya pertanggungjawaban amal jelek anak laki-laki tersebut akibat perbuatan yang kelak akan dilakukannya (diantaranya: menyesatkan serta mengganggu kedua orangtuanya) dan lain sebagainya.

Setelah kita mengetahui fakta-fakta di atas, maka hal penting lain yang harus kita perhatikan adalah bawa diantara sifat kesempurnaan (kamaliyah) Allah Swt adalah sifat Hakim (Mahabijak). Sifat ini termanifestasi baik pada tataran takwini ataupun tasyri’i. Walaupun mungkin saja semua orang tidak mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang yang tahu tentang sebagian rahasia keberadaan alam. Salah seorang yang mendapat anugerah rahmat dan inayah khusus serta pengajaran Ilahi dan ilmu ladunni adalah Khidir As yang selain memperoleh rahmat dan ilmu Ilahi serta taufik menyampaikan sebagian dari rahasia-rahasia tersebut kepada Nabi Musa As, ia juga mendapat perintah untuk menjalankan hukum Ilahi.

Oleh karena itu, terkait dengan tewasnya anak laki-laki tersebut di tangan Nabi Khidir As, dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, kita dapat menemukan sebuah jawaban yang sederhana, yaitu bahwa semuanya tak lain dari hikmah dan Kemahapengaturan Allah Azza Wa Jalla yang terejawantahkan melalui tangan Nabi Khidhir as. Kendati kata ghulam memiliki makna yang bermacam-macam, seperti pelayan, anak kecil, anak dewasa, baru balig dan lain sebagainya. Akan tetapi makna yang dianggap sesuai pada (ayat-ayat 74 dan 80 surat Al-Kahfi) adalah anak laki-laki yang baru balig yang baru tumbuh kumisnya dan sesuai pula dengan sebagian ayat dan riwayat.[1] Karena itu berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang tewas di tangan Nabi Khidir As itu adalah seorang anak laki-laki yang baru balig dan bukan seorang anak kecil!

Kemudian, kematian anak laki-laki tersebut tidaklah diawali dengan dialog atau percekcokan yang memunculkan rasa amarah dan emosi atau karena nafsu jahat. Nabi Khidhir sama sekali tidak betengkar dan bersilang pendapat dengan pemuda itu, akan tetapi beliau langsung membunuh anak itu dengan pedang. Dan itu semua dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan. Bukan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan. Nabi Khidir As melakukan hal ini tanpa ada rasa ragu sedikitpun dalam hatinya dan mengamalkannya sesuai dengan ilmu Ilahi dan batini yang dianugerahkan Allah padanya.[2] Wal-hasil bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah kejadian yang bersifat kebetulan. Dan berdasarkan ma’arif Al-Qur’an dan kalimat-kalimat agung para Imam Ma’shum As serta tinjauan filsafat, bahwa di alam ini tidak ada istilah “kebetulan”. Proses pembunuhan ini dilakukan oleh seorang hamba khusus Allah Swt yang dianugerahi rahmat dan ilmu khusus dari Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya dalam surat al-Kahfi ayat 65:”lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”.

Di sini, Nabi Khidir As dengan berdasar pada perintah dan hukum Ilahi, bertindak sebagai pelaksana perintah tersebut[3] atau ia berposisi sebagai sebab diantara sebab-sebab takwini pada terealisasinya kehendak dan keinginan Ilahi. Sedangkan Nabi Musa as saat itu bertindak berdasarkan pada hukum Ilahi yang lain yang ada di bawahnya, yaitu hukum tasyri’i atau syari’at. Karena itulah Nabi Musa as memprotes tindakan Nabi Khidhir as yang menurutnya tidak sesuai. Baru setelah dijelaskan oleh Nabi Khidhir as, Nabi Musa as menerimanya dan tunduk padanya.

Di sisi lain, ayah dan ibu anak laki-laki tersebut adalah orang-orang mukmin yang Allah Swt karunia inayah dan taufik khusus. Dan berdasarkan ilmu zat-Nya Allah Swt tahu bahwa kalau anak laki-lakinya itu hidup, maka kedua orang tua tersebut akan terjerumus ke dalam fitnah, kekufuran dan kesesatan yang luar biasa dimasa mendatang. Dengan alasan ini Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki tersebut dan dengan inayah ini Allah Swt memberikan maqam kemuliaan khusus kepada kedua orangtua tersebut di akhirat.[4]

Bersandarkan pada riwayat-riwayat yang sampai ke kita, dapat dikatakan bahwa Allah Swt hendak mengganti anak laki-laki tersebut -dengan melihat keimanan serta kesabaran yang dimiliki oleh orang tua itu- dengan seorang anak perempuan yang lahir dari keturunannya sekitar 70 nabi. Dan ini merupakan balasan pahala yang lebih baik dan sebuah rahmat yang lebih dekat dan lebih banyak.[5]

Laki-laki yang disebutkan di atas adalah seorang laki-laki kafir (atau murtad secara fitrah) dimana tidak ada sedikit pun harapan pada dirinya untuk memeperoleh cahaya petunjuk dan hidayah Ilahi. Kalau hidup, Ia tidak hanya semakin larut dan tenggelam dalam kerusakan dan kejahatan, tapi ia juga akan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain, khususnya orang tuanya ikut tersesat. Jadi kematiannya itu merupakan akibat dari kekufuran atau kemurtadannya serta tidak ditemukan tanda-tanda sedikit pun kalau ia akan beriman dan meninggalkan kekufuran[6]. Dan Nabi Khidir As dengan ilmu ladunninya tahu akan hal itu, kendati secara lahiriah Nabi Musa As tidak punya pengetahuan akan hal itu. (masalah kemurtadan sebagai sebuah pandangan bisa menjadi fokus perhatian).

Dengan ungkapan lain, kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat dan guna yang cukup banyak dimana ia bisa dikatakan sebuah amalan yang sudah diperhitungkan secara matang. Dan juga merupakan sebuah lingkaran matarantai alam semesta yang indah ini dan merupakan sebuah tanda dari hikmah dan kekuatan Ilahi serta sebuah rahasai dari ribuan rahasia tersembunyi alam semesta ini. Diantara rahasia-rahasia tersebut adalah: Kedua orang tua mukmin dari anak laki-laki tersebut dapat terhindar dari bahaya kesesatan yang mungkin saja menimpa mereka akibat adanya hubungan rasa kekeluargaan dengan anak laki-lakinya itu. Mereka telah menunjukkan kesabaran, kerelaan serta kepasrahan atas qadha dan qadar Allah Swt sehinga berhasil dan sukses menjalani ujian Ilahi. Guna terealisasinya keinginan dan kehendak Ilahi dan penganugerahan seorang anak perempuan yang merupakan sumber keberkahan, maka Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki kafir tersebut yang mana dianggap sebagai penghalang.

Melalui peristiwa ini, dan dengan pengenalan serta kebersamaan Nabi Musa As dengan salah seorang hamba suci Allah Swt yang merupakan sebuah lautan ilmu dari ilmu-ilmu Ilahi dan rahasia dari segala rahasia Tuhan terbuka untuk maqam mulia tersebut serta pancaran cahaya dari ilmu dan hakikat yang gaib. Dan beliau mencapai maqam kesempurnaan sesuai izin yang Allah Swt anugerahkan. Berkenaan hal ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa:”Nabi Musa As berkata kepada Hadrat Khidir As: bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?”.[7]

Ya, dengan melaksanakan perintah Allah Swt dan kematian anak laki-laki tersebut, maka catatan amal jeleknya pun tertutup dan mencegah akan bertambahnya catatan amalan dosa yang akan dilakukannya dimasa mendatang dan lain sebagainya. Dengan kata lain bahwa kematian laki-laki tersebut membawa manfaat yang cukup banyak bagi orang-orang yang punya hubungan khusus dengan peristiwa tersebut, baik itu bagi laki-laki tersebut (yang mati), dan juga bagi kedua orangtua laki-laki tersebut serta bagi Nabi Khidir As dan yang menyertainya. []

Referensi:
[1] . Mu’jam Muqayisullughah; al Afshah, jilid 1 halaman 11; al ‘Ain, jilid 4 halaman 442; Farhangg-e buzurg-e jame-e nuvin, jilid 3 halaman 1127; Mufradat Raghib; Aqrabul Mawarid; Muhammad Mahdi Fuladawan, Tarjume-e qur’an-e karim, ayat 74 dan 80.
[2] . tafsir Shafi, jilid 2; Biharul anwar, jilid 13 halaman 284.
[3] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 284; Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.
[4] . Qs. Al Kahfi ayat 80; Allamah Majlisi, Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.
[5] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286, hadits 170-173; Biharul anwar, jilid 13 halaman 311; Ushul Kafi, jilid 2 halaman 83.
[6] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286; tafsir Shafi, jilid 3 halaman 255; tafsir Majma’ al Bayan dan tafsir ‘Ayyasyi (ayat-ayat yang ada kaitannya dengan peristiwa Hadrat Hidir As dan Nabi Musa As); ‘Ilalusysyarayi’.
[7] . Qs. Al Kahfi ayat 66.

(Islam-Quest/Muslim-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Surat Kautsar


Oleh: Prof. Izzuddin Salim

"Sebagian ulama memaknai al-Kautsar hingga dua puluh enam makna. Namun, makna yang paling unggul adalah banyaknya keturunan yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada Nabi Saw dari putrinya, Fatimah al-Zahra."

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha penyayang

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.


Pengantar

Sejumlah ulama berpendapat bahwa Surah al-Kautsar diturunkan kepada Rasulullah Saw di Makkah al-Mukarramah, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah ibn Abbas dan al-Kalbi. Menurut ulama lain, surah tersebut diturunkan di Madinah al-Munawwarah, seperti yang dinyatakan oleh al-Dhahhak dan Ikrima.[1] Namun, ada beberapa ulama yang meyakini surah tersebut diturunkan dua kali; kali pertama di Makkah dan kali kedua di Madinah. Pendapat yang terakhir ini mengompromikan antara berbagai riwayat yang ada.[2]

Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat ulama yang menyatakan bahwa surah al-Kautsar diturunkan di Makkah, karena banyaknya pendukung untuk meletakkan Surah tersebut dalam kelompok surah Makkiyyah. Pendukung itu antara lain dilihat dari kesimpelan kata, karakteristik ritme, harmoni suara, berisi bantahan kepada orang-orang musyrik dan meremehkan impian mereka.[3] Ditambah bahwa propaganda berupa penganiayaan, pelecehan, ejekan, tuduhan, penolakan, dan serangan secara langsung terhadap Nabi Saw dan dakwahnya merupakan salah satu karakteristik masyarakat kota Makkah dan metode orang-orang bodoh Quraisy periode awal. Nabi Saw meninggalkan mereka dan sikap-sikap mereka yang hina dengan melakukan hijrah yang penuh berkah ke Madinah al-Munawwarah. Di sana kemudian beliau mendirikan negara yang mengaktualisasikan kekuatan dan kekuasaan bagi Islam.


Sebab Turunnya Surah al-Kautsar

Surah al-Kautsar diturunkan untuk memupuk hati Rasulullah Saw dengan spirit dan kemurahan hati, dan mengukuhkan fakta kebaikan lestari dan terhampar, yang dipilih oleh Tuhan untuknya, serta memastikan fakta keterputusan yang ditetapkan bagi musuh-musuh beliau.[4]

Dalam rangkaian proses tipu daya terhadap Rasulullah Saw dan risalahnya yang dilakukan oleh orang-orang bodoh Quraisy untuk memalingkan manusia dari mendengarkan seruan bimbingan Tuhan yang dipancarkan dari dakwah Rasulullah Saw, sejumlah orang yang menentang kebenaran itu menghembuskan rumor bahwa Rasulullah Saw itu terputus nasabnya (abtar).

Rumor tersebut menggema dan menghujam kuat pada masyarakat Badui Arab yang membanggakan diri dengan keturunan, terutama anak laki-laki. Rumor itu menyakiti Nabi Saw, karena beliau mengetahui benar maksud dari ucapan-ucapan itu dan apa yang diinginkan oleh orang-orang jahiliah yang bodoh.

Jalaluddin al-Suyuti, dalam bukunya Durr al-Mantsur, mengutip hadits dari Ibn Sa‘ad dan Ibn ‘Asakir yang meriwayatkan melalui jalur al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas, katanya, “Putra Rasulullah Saw paling besar adalah al-Qasim kemudian Zainab, ‘Abdullah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Ruqayyah. Al-Qasim meninggal di Makkah. Dialah putra Rasulullah Saw yang pertama kali meninggal, kemudian disusul ‘Abdullah. Setelah putra-putra Rasulullah Saw meninggal, al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahmi mengatakan tentang Rasulullah Saw, “Nasabnya terputus. Dia itu orang yang putus nasab.” Maka Allah menurunkan ayat, “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.”[5]

Al-Zubair ibn Bakar dan Ibn ‘Asakir meriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, katanya, “Al-Qasim putra Rasulullah Saw meninggal di Makkah. Sepulang dari memakamkan jenazahnya, Rasulullah Saw lewat di depan al-‘Ash ibn Wa’il dan putranya yang bernama ‘Amr. Ketika melihat Rasulullah Saw, al-‘Ash ibn Wa’il berkata, “Aku membencinya. Sekarang dia terputus nasabnya.” Kemudian Allah Swt menurunkan ayat, “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.”[6]

Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari al-Sudi, katanya, “Ketika seseorang ditinggal mati oleh putranya, orang-orang Quraisy akan mengatakan, ‘Si Polan putus nasabnya.’” Tatkala putra Nabi Saw meninggal, al-‘Ash ibn Wa’il mengatakan, “Muhammad terputus nasabnya.” Lalu turunlah surah al-Kaustar.[7]

Al-Baihaqi meriwayatkan hadis serupa dari Muhammad ibn Ali dengan menyebutkan nama putra Rasulullah, yaitu al-Qasim. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Surah al-Kautsar diturunkan terkait al-‘Ash ibn Wa’il, dimana dia mengatakan, ‘Aku membenci Muhammad.’”[8]

Begitulah orang-orang bodoh yang bersekongkol melancarkan muslihat yang hina kepada Nabi Saw, sebagaimana diceritakan dalam berbagai riwayat. Mereka adalah al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahmi, putranya yang bernama ‘Amr, ‘Uqbah ibn Abi Mu‘ith, Abu Lahab, Abu Jahal, al-Walid ibn al-Mughirah dan yang lainnya, tapi yang mengutarakan kebencian itu adalah al-‘Ash ibn Wa’il dan putranya.


Kandungan Surah

Surah yang diberkati ini, dengan ayat-ayatnya yang sedikit dan simpel, menggambarkan tentang perjalanan dakwah Rasululllah Saw pada fase akhir, dari sisi penderitaan, celaan, dan prospek masa depan. Surat ini menjelaskan model kedengkian, konspirasi dan penganiayaan bangsa Quraisy terhadap Rasul yang agung, Muhammad ibn Abdillah Saw. Surah ini juga menggambarkan perhatian dan pertolongan Allah Swt kepada Rasulullah Saw dan dakwahnya yang terus menerus. Selain itu, surah yang diberkati ini juga menjelaskan tentang berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah kepada Rasul Saw sebagai puncak manifestasi pertolongan dan pemberian, tidak seperti yang didapat oleh musuh-musuhnya sepanjang sejarah, yaitu kelemahan, keterputusan, dan kerugian.

Surah al-Kautsar mencerminkan salah satu perihal Rasulullah Saw, terutama sebagai pendakwah, seperti Surah al-Dhuha, Surah al-Insyirah dan lain sebagainya. Surah ini mengungkap volume anugerah Allah yang sangat banyak, yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Saw meskipun ada tipu daya dari orang-orang yang membenci beliau. Orang-orang itu mengabaikan fakta terang benderang seterang matahari. Jiwa mereka gelap karena kekufuran dan kesesatan. Anugerah inilah yang menuntut Nabi Saw agar menghadapinya dengan syukur, salat, dan usaha karena Allah Swt.

Jika kita masuk ke dalam detail arti beberapa kata yang membentuk entitas riil surah ini, tampaknya para pakar tafsir memberikan pemaknaan yang berbeda-beda. Setiap makna mungkin mencerminkan satu aspek dari kebaikan yang diberikan kepada Nabi Saw, sang nabi penutup. Khusus untuk kata al-Kautsar, antara lain ada makna-makna sebagai berikut:

Al-Kautsar merupakan pola yang berasal dari kata al-katsrah yang bermakna mutlak dan tidak terbatas. Kata ini menunjuk pada makna yang berlawanan dengan makna yang dilontarkan oleh orang-orang bodoh itu. Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) sesuatu yang banyak, melimpah, tidak terhalang dan tidak terputus. Apabila ada yang ingin melacak al-Kautsar yang dikaruniakan Allah kepada Nabi-Nya, niscaya dia akan menemukannya dimana pun dia melihat atau membayangkan.

Sesuatu yang diberikan kepada Nabi Saw adalah al-Kautsar yang tidak akan pernah berhenti mengalir, bukti-buktinya tiada terhitung, dan kandungannya tiada terbatas. Oleh karena itu, nas al-Qur’an membiarkannya tanpa batasan agar mencakup kebaikan yang banyak dan terus bertambah.

Sejumlah riwayat dari berbagai jalur menerangkan bahwa al-Kautsar adalah sungai di surga yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Akan tetapi Ibnu Abbas r.a menjawab bahwa sungai ini adalah salah satu kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Sungai tersebut adalah salah satu dari al-Kautsar-nya Rasulullah Saw.[9]

Indah sekali pernyataan Sayyid Quthb al-Syahid tatkala menyebutkan bahwa sungai di surga yang diberikan kepada Rasulullah Saw adalah salah satu dari al-Kautsar-nya Rasulullah, didasarkan pada kata-kata sahabat besar ‘Abdullah ibn ‘Abbas r.a, yang diadopsinya.

Dengan demikian, menurut pendapat yang paling unggul, perbedaan para pakar tafsir tentang al-Kautsar hanya sebatas pada daftar bukti-buktinya, bukan pada makna utuhnya.

Di sini akan kami sebutkan beberapa pendapat tentang al-Kaustar dari para pakar tafsir:[10]

Aisyah, Abdullah ibn Umar, Ibnu Abbas dan Imam Ja‘far bin Muhammad al-Shadiq menyatakan bahwa al-Kautsar adalah sungai di surga.

Diriwayatkan dari ‘Atha dan Anas ibn Malik bahwa al-Kautsar adalah telaga Nabi Saw yang akan didatangi manusia pada hari kiamat.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa‘id ibn Jubair dan Mujahid bahwa al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak.

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa al-Kautsar adalah kenabian.

Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri bahwa al-Kautsar adalah al-Qur’an.

Diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy bahwa al-Kautsar adalah banyaknya teman dan pengikut.

Diriwayatkan dari Imam Ja‘far ibn Muhammad al-Shadiq bahwa al-Kautsar adalah Syafaat Rasulullah Saw bagi umatnya.

Ada pula yang menyebutkan bahwa al-Kautsar adalah banyaknya keturunan, sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah ulama dan pakar tafsir.

Sebagian ulama memaknai al-Kautsar hingga dua puluh enam makna.[11] Namun, makna yang paling unggul adalah banyaknya keturunan dan ketidakterputusannya sepanjang sejarah manusia yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada Nabi Saw dari putrinya, Fatimah al-Zahra. Inilah arti al-Kautsar yang sebenarnya, dengan argumen sebab turunnya surah ini yang sudah dikenal. Argumen lainnya adalah bahwa kata al-abtar dalam bahasa Arab pada dasarnya diterapkan kepada orang yang tidak memiliki penerus, sebagaimana dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa Arab. Raghib Isfahani, dalam al-Mufradat, juga mengatakan, “Al-Batr (akar kata dari abtar) digunakan untuk mengungkapkan makna putus ekor, kemudian kata tersebut juga dipakai untuk mengungkapkan makna putus turunan. Dalam bahasa Arab dikatakan: fulan abtar, ketika dia tidak memiliki generasi penerus sesudahnya. Firman Allah إنّ شانئك هو الأبتر, berarti مقطوع الذكر (terputus sebutannya). Hal itu karena orang-orang bodoh Quraisy mengira bahwa Muhammad Saw akan berhenti disebut ketika beliau tutup umur, karena tidak ada keturunannya....[12]

Arti-arti lain al-Kautsar yang disebutkan selain arti di atas bisa dikatakan sebagai perwujudan al-Kautsar atau sebagai konfirmasi dari kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Perlu disebutkan bahwa beberapa makna yang telah disebutkan sebagai bukti al-Kautsar memang diterangkan oleh hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah Saw. Adapun makna umum yang sudah banyak dikenal adalah konsepsi dari sebagian pakar tafsir, bahwa al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Nabi Saw, tidak kepada yang lain.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)

Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian ayat ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Saw untuk mensyukuri nikmat besar telah diberikan kepada beliau itu. Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salat dalam ayat ini adalah salat Idul Adha dengan alasan kata وَانْحَرْ (dan berkurbanlah). Menurut kelompok ini, al-nahr artinya adalah menyembelih hewan kurban. Pendapat ini dikemukakan oleh Ikrimah, ‘Atha dan Qatadah.

Sebagian ulama mengatakan bahwa awalnya Nabi Saw menyembelih hewan kurban sebelum salat. Kemudian beliau diperintahkan oleh Allah untuk melakukannya setelah salat. Pendapat ini diriwayatkan dari Anas ibn Malik.

Ulama yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud adalah salat Fajar di Muzdalifah dan menyembelih hewan kurban di Mina. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa‘id ibn Jubair dan Mujahid.

Imam Shadiq Ja‘far bin Muhammad mengatakan, “al-Nahr dalam ayat ini bermakna mengangkat tangan di depan dadamu.” Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan dari al-Ashbag ibn Nabatah, dari Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib k.w, katanya, “Ketika surah ini diturunkan, Nabi Saw bertanya kepada Jibril, ‘Apa hewan kurban yang perintahkan kepadaku oleh Tuhanku?’ Jibril menjawab, ‘Bukan hewan kurban, tapi Dia memerintahkanmu untuk mengangkat tangan ketika takbiratul ihram untuk salat, ketika hendak rukuk, ketika bangun dari rukuk, dan ketika hendak sujud. Begitulah salat kami dan salat para malaikat di langit. Segala sesuatu memiliki hiasan, dan hiasan salat adalah mengangkat tangan setiap kali takbir. Nabi Saw bersabda, ‘Mengangkat tangan adalah al-istikanah?’ Aku bertanya, ‘Apa itu al-istikanah?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah kamu membaca ayat ini:

 فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ 

(Tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya dan (juga) tidak merendahkan diri).[13]” Hadis ini dikutip oleh al-Tsa‘labi dan al-Wahidi dalam tafsir mereka.[14]

Dari penelitian tentang berbagai pandangan seputar pengertian ayat tersebut, dan menghubungkannya dengan sejarah turunnya hukum dan ketetapan Allah, ada kesan bahwa pada saat Surah al-Kautsar diturunkan, ibadah haji belum disyariatkan. Begitu pula dengan kurban. Salat Idul Adha mungkin juga demikian.

Secara keseluruhan, topik ayat ini adalah tentang salat dan aspek-aspek yang ada kaitan dengannya, yaitu sikap tunduk, khusuk dan ketaatan. Dengan demikian, menafsirkan kata al-nahr dalam ayat ini dengan mengangkat tangan di depan dada adalah penafsiran yang paling cocok dengan konteksnya jika kita mempertimbangkan sejarah turunnya surah yang diberkati ini, apalagi jika memperhatikan hadits-hadits mulia tentang hal ini.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus

Al-Syani’ secara bahasa artinya musuh yang membenci. Karena itu, Allah Swt menetapkan bahwa orang yang membenci Nabi Saw adalah orang yang durhaka, dan orang yang berpaling dari beliau adalah orang yang terputus keturunannya, bahkan terputus dari segala kebaikan. Orang yang durhaka sejatinya adalah orang yang tidak punya anak. Anak yang dinisbahkan kepadanya sebetulnya bukan anaknya.

Mujahid mengatakan, “Al-Abtar artinya tidak punya penerus. Kata ini merupakan jawaban atas ucapan orang Quraisy, ‘Muhammad tidak memiliki generasi penerus. Dia bakal mati, kemudian kita bisa istirahat darinya dan dari mempelajari agamanya.[15]

Demikianlah, Allah Swt menakdirkan dan menetapkan bahwa yang putus turunan (al-abtar) bukanlah Muhammad Saw, melainkan orang-orang yang membencinya. Janji Allah untuk mereka benar-benar terbukti. Sebutan mereka terhenti dan hilang ditelan bumi. Sementara itu, sebutan Muhammad Saw terus menggema dan semakin meninggi.[16]

Dengan demikian, silsilah keturunan Muhammad Saw terus berlanjut di muka bumi. Turunan beliau menyebarkan kebaikan dan petunjuk kepada manusia berkat karunia dan rahmat Allah Swt, meskipun musuh senantiasa melancarkan konspirasi dan tipu daya sepanjang sejarah. Dan kepada Allahlah kembali segala urusan.[]

Referensi:
[1] Syaikh Abu ‘Ali al-Thibrisi, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 1, surah al-Kautsar.
[2] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 2, hal. 370, Surah al-Kautsar.
[3] Lihat Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim, ‘Ulum al-Qur’an, pembahasan Makkiyyah dan Madaniyyah, hal. 43 dan seterusnya.
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, vol 6, surah al-Kautsar.
[5] Al-Durr al-Mantsur, tafsir Surah al-Kautsar
[6] al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Surah al-Kautsar.
[7] Tafsir al-Jalalain, Surah al-Kautsar (Beirut); al-Mizan, vol. 20, 372.
[8] Ibid.
[9] Fi Zhilal al-Qur’an, vol 6, Surah al-Kautsar. Hadits Ibn ‘Abbas di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ibn Jarir, al-Hakim al-Naisaburi dalam al-Mustadrak, dari Abu Bisyr, dari Sa‘id ibn Jubair, dan disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur.
[10] Al-Thibrisi, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, tafsir Surah al-Kautsar; Syaikh ‘Abd ‘Ali al-‘Arusi al-Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, vol. 5, tafsir Surah al-Kautsar.
[11] Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 20, tafsir Surah al-Kautsar.
[12] Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 36, lema dalam huruf B.
[13] QS. al-Mu’minun [23]: 76.
[14] Majma‘ al-Bayan, tafsir Surah al-Kautsar.
[15] Ibid.
[16] Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir Surah al-Kautsar

(Taqrib-Indonesia/TV-Shia/IRIB-Indonesia/Muslim-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Al-Qur'an Menjawab: Ayat-ayat Laknat



Pendahuluan

Perkataan la‘nat (laknat) dan pecahannya disebut sekurang-kurangnya 32 kali di dalam al-Qur’an di dalam berbagai perkara yang melanggari perintah Allah dan Rasul-Nya. Mengikut Muhammad Abu Bakr ‘Abd al- Qadir al-Razi perkataan la‘nat (laknat) memberi erti “ pengusiran dan berjauhan dari kebaikan” ( al-Tard wa al-Ib’ad mina l-khair) (Mukhtaral- Sihhah, hlm. 108, Cairo, 1950). J. MiltonCowan menyatakan la‘nat adalah “curse”. La‘natullahi ‘Alaihi bererti” God’s curse upon him (A Dictionary of Written Arabic, London 1971., hlm.870).

Sementara Kamus Dewan pula menyatakan laknat adalah “ kemurkaan Allah dan jauh dari petunjuk-Nya; setiap perbuatan jahat akan menerima kutukan (laknat) daripada Allah. (Kamus Dewan, hlm. 694, Kuala Lumpur,1971)


Mereka yang dilaknati di dalam al-Qur’an

Berikut sebahagian dari mereka-mereka yang dilaknati di dalam al- Qur’an seperti;

1. Laknat Allah kepada mereka yang mengingkari perintah-Nya.

Firman-Nya “Sesungguhnya Allah melaknat (mengutuk) orang- orang yang kafir(ingkar) dan menyediakan untuk mereka api yang menyala-nyala” (Al- Ahzab(33):64).

“Sesungguhnya di atas engkau laknat sampai hari pembalasan” (Al-Hijr(15):35).

“Sesungguhnya di atasmu laknatku sampai hari pembalasan” (Sad(38):78).

Ini menunjukkan barang siapa yang mengingkari walaupun satu hukum daripada hukum-hukum-Nya adalah termasuk orang yang ingkar terhadap hukum-Nya. Apatah lagi jika seorang itu menukarkan hukum Allah dengan hukumnya sendiri. Kerana setiap individu Muslim sama ada Nabi (Saw.) atau bukan Nabi tidak boleh menyalahi al- Qur’an.Firman-Nya:
“ katakanlah: Sesungguhnya aku takut jika aku mendurhakai Tuhan-ku,akan azab hari yang besar” (Al-An’am (96):15).

Jika Nabi (Saw.) merasa takut kepada Allah jika dia menderhaka-Nya, maka orang lain sama ada yang bergelar khalifah atau sahabat atau mana-mana individu sepatutnya lebih takut lagi untuk menderhaka perintah-Nya.

2. Laknat Allah kepada mereka yang menyakiti-Nya dan Rasul-Nya.

Firman-Nya “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, nescaya mereka dilaknati Allah di Dunia dan di Akhirat dan Dia menyediakan mereka seksa yang menghinakan(mereka) (Al- Ahzab(33):57).

Ini bererti barang siapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya walau dengan apa cara sekalipun dilaknati Allah, Rasul-Nya,para Malaikat- Nya dan Mukminun.Sama ada dengan menentang hukum Allah dan Sunnah Nabi-nya atau menghina Allah dan Rasul-Nya dengan membatalkan hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya di atas alasan maslahah umum atau sebagainya.

Justeru itu, orang yang menghina Nabi (Saw.)dan mempersendakan Nabi (Saw.) dengan mengatakan bahawa Nabi (Saw.) “Sedang meracau” di hadapan Nabi (Saw.) “ Kitab Allah adalah cukup dan kami tidak perlu kepada Sunnah Nabi (Saw.)” .( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69) “Sunnah nabi (Saw.) mendatangkan perselisihan dan pertengkaran kepada Umat [Al-Dhahabi, Tadhkirah al- Huffaz, I , hlm.3]”

“ Orang yang telah mengepung dan membakar rumah anak perempuan Nabi (Saw.) Fatimah (a.s) dan berkata: “Aku akan membakar kalian sehingga kalian keluar untuk memberi bai’ah kepada Abu Bakar.”[Al-Tabari, Tarikh, III, hlm. 198; Abu-l-Fida” ,Tarikh, I, hlm. 156].

Merampas Fadak daripada Fatimah (a.s) yang telah diberikan kepadanya oleh Nabi (Saw.) semasa hidupnya (Lihat Ahmad bin Tahir al- Baghdadi, Balaghah al-Nisa’, II ,hlm.14;Umar Ridha Kahalah, A’lam al- Nisa’, III, hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, IV, hlm.79,92),

Menyakiti hati Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain,kerana Rasulullah (Saw.) bersabda “Siapa menyakiti Fatimah, dia menyakitiku, dan siapa menyakitiku ,dia menyakiti Allah” “Siapa menyakiti Ali, sesungguhnya dia menyakitiku,dan siapa yang menyakitiku, dia menyakiti Allah” “al-Hasan dan al-Husain kedua-dua mereka adalah pemuda Syurga” (al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm.129- 131 dan lain-lain). Mereka yang membakar Sunnah Nabi (Saw.) (Ibn Sa’d, Tabaqat, V , hlm. 140),

“ Menghalang orang ramai dari meriwayatkan Sunnah Nabi (Saw.) ” [al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I, hlm. 7], mengesyaki Nabi (Saw.) sama ada berada di atas kebenaran atau kebatilan [Muslim, Sahih, IV, hlm.12,14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111] ,

Mengubah sebahagian hukum Allah dan sunnah Nabi (Saw.) (al-Suyuti, Tarikh al- Khulafa’’ hlm.136) adalah termasuk orang yang dilaknati Allah, Rasul- Nya, para Malaikat-Nya dan Mukminun. Dan jika seorang itu tidak melakukan laknat kepada mereka di atas perbuatan mereka yang dilaknati Allah dan Rasul-Nya, maka dia bukanlah Mukmin yang sebenar. Apatah lagi jika dia mempertahankan perbuatan mereka tersebut sebagai sunnah atau agama bagi bertaqarrub kepada Allah (swt).

3. Laknat Allah kepada mereka yang menyembunyikan hukum-Nya di dalam kitab-Nya.

Firman-Nya“Sesungguhnya mereka yang menyembunyikan apa yang Kami turunkan dari keterangan dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada orang ramai, nescaya mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati oleh orang-orang yang mengutuknya” (Al-Baqarah (2):159).

Ini bererti barang siapa yang menyembunyikan hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya yang sepatutnya didedahkan kepada masyarakat, tetapi dia tidak menerangkannya kepada mereka kerana kepentingan tertentu , maka dia dilaknati Allah dan orang-orang yang melaknatinya .

Apatah lagi jika dia seorang yang mempunyai autoritatif di dalam agama.Kerana kosep hukum Allah tidak boleh disembunyikannya, kerana ia harus dilaksanakannya.

Di samping itu, dia tidak boleh cenderung kepada orang-orang yang zalim, kerana Firman-Nya “ Janganlah kamu cenderung kepada orang yang melakukan kezaliman, lantas kamu akan disambar oleh api neraka.Dan tidak ada bagimu wali selain daripada Allah,kemudian kamu tiada mendapat pertolongan” (Hud(11):113).

4. Laknat Allah kepada mereka yang membohongi-Nya dan Rasul- Nya.

Firman-Nya “Barang siapa yang membantah engkau tentang kebenaran itu, setelah datang kepada engkau ilmu pengetahuan,maka katakanlah: Marilah kamu,kami panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu,perempuan kami dan perempuan kamu dan diri kami dan diri kamu,kemudian kita bermubahalah (bersungguh-sungguh berdoa),lalu kita jadikan laknat Allah atas orang yang berbohong”(Ali ‘Imran (3):61).

Ini bererti mereka yang membohongi Allah dan Rasul-nya selepas dikemukakan hukum al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya, tetapi mereka masih membantahnya, maka mereka itulah dilaknati Allah dan Rasul- Nya. Ayat ini dikenali dengan ayat al-Mubahalah. Ia berlaku di antara Nabi (Saw.) dan Ahlu l-Baitnya (a.s) di satu pihak dan Nasrani Najran di pihak yang lain. Nabi (Saw.) telah mempertaruhkan kepada Nasrani Najran abna’a-na anak-anak kami (al-Hasan dan al-Husain a.s), nisa’-ana perempuan kami (Fatimah a.s) dan anfusa-na diri kami( Ali a.s).Imam Ali al-Ridha berkata: “Sesungguhnya ianya dimaksudkan dengan Ali bin Abi Talib (a.s).

Buktinya sebuah hadis telah menerangkan maksud yang sama, seperti berikut:
” …aku akan mengutuskan kepada mereka seorang lelaki seperti diriku [ka-nafsi].” Iaitu Ali bin Abi Talib. Ini adalah suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain, kelebihan yang tidak boleh dikaitkan dengan orang lain dan kemuliaan yang tidak dapat didahului oleh sesiapa pun kerana diri Ali seperti dirinya sendiri.” (Muhammad Babwaih al-Qummi, Amali al-Saduq Najaf, 1970, hlm.468).

Akhirnya mereka enggan bermubahalah dengan Nabi )Saw.) dan Ahlu l-Baitnya, lalu mereka membayar jizyah kepada Nabi (Saw.). Jika Nasrani Najran tidak berani menyahuti mubahalah Nabi (Saw.) dengan pertaruhan Ahlu l-Baitnya, kerana kebenarannya, apakah gerangan mereka yang mengakui al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya sebagai asas agama mereka pula berani menentang Ahlu l-Bait(a.s),kemudian menyembunyikan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi- Nya,khususnys mengenai mereka? Jika mereka melakukan sedemikian,nescaya mereka dilaknati oleh Allah dan Rasul-Nya, para Malaikat-Nya dan Mukminun.

5. Laknat Allah kepada mereka yang menderhakai-Nya dan Rasul- Nya.

Firman-Nya “Telah dilaknati orang-orang yang kafir dikalangan Bani Isra’il di atas lidah Daud dan Isa anak lelaki Maryam. Demikian itu disebabkan mereka telah mendurhaka dan melampaui batas. Mereka tidak melarang sesuatu yang mungkar yang mereka perbuat. Sungguh amat jahat apa yang mereka perbuat” (Al-Ma’idah(5):78-79).

Firman-Nya “Tidak ada bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah (hak) memilih di dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan urusan itu.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,maka ianya telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab(33):35).

Ini bererti barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya; sama ada melakukan perkara-perkara yang menyalahi hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta tidak melakukan konsep “Amru Ma’ruf Nahyu Munkar”, maka mereka dilaknati Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang dilaknati Allah dan Rasul-Nya, maka para Malaikat dan Mukminun akan melaknati mereka.

6. Laknat Allah kepada mereka yang zalim.

Firman-Nya “Ahli syurga menyeru ahli neraka: Kami telah memperolehi apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kami dengan sebenarnya.Adakah kamu memperolehi apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kami dengan sebenarnya? Mereka itu menjawab: Ya. Lalu menyeru orang yang menyeru (Malaikat) di kalanggan mereka: Sesungguhnya laknat Allah ke atas orang yang zalim.(iaitu) orang-orang yang menghalangi jalan Allah dan mereka mencari jalan bengkok, sedang mereka itu kafir terhadap Akhirat” (Al-A’raf (7):44-45) dan,

“Barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah,maka merekalah orang yang zalim”) Al-Ma’dah (5):45).

Ini bererti sebarang kecenderungan terhadap orang-orang yang zalim akan di sambar oleh api neraka.Apatah lagi jika seorang itu meredai atau menyokong mereka atau bekerja sama dengan mereka.Saidina Ali (a.s) berkata: “Mereka yang bersekutu di dalam kezaliman adalah tiga: Pelaku kezaliman, pembantunya dan orang yang menridhai kezaliman itu” (Tuhafu l ‘uqul ‘n Ali r-Rasul, hlm.23 dan lain- lain. Jueteru itu mereka dilaknati Allah dan Rasul-Nya serta Mukminun.

7. Laknat Allah kepada mereka yang mengingkari perjanjian Allah, melakukan kerosakan di Bumi dan memutuskan silaturahim.

Firman-Nya “ Mereka yang mengingkari janji Allah sesudah eratnya dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah supaya diperhubungkan dan mereka membuat kerosakan di muka bumi,untuk mereka laknat dan untuk mereka tempat yang jahat ”(Al-Ra’d(13):25) dan,

 “Apakah kiranya jika kamu menjadi wali (berkuasa) kamu melakukan kerosakan di muka bumi dan memutuskan silatu r-Rahim? Mereka itulah yang dilaknati Allah,lalu Dia memekakkan mere ka dan membutakan pemandangan mereka ” (Muhammad(47)22-23).

Ini bererti mereka yang mengingkari janji Allah dengan mendurhakai-Nya, kemudian melakukan kerosakkan di muka bumi dengan mengubah hukum-Nya dan Sunnah Nabi-Nya serta memutuskan silaturahim, maka bagi mereka laknat Allah dan Rasul- Nya. Justeru itu tidak hairanlah jika Saidina Ali (a.s) telah melaknati mereka yang telah mengubah agama Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Beliau berdoa: Wahai Tuhanku! Laknatilah mereka yang telah mengubah agama-Mu, menukar ni‘kmat-Mu (khilafah), menuduh perkara-perkara yang bukan-bukan terhadap Rasul-Mu (Saw.), menentang jalan-Mu, menyalahi agamaMu, mengingkari nikmatMu, menentang kalam-Mu, mempersenda-sendakan Rasul-Mu…(al-Majlisi, Biharu l-Anwar, Bairut 1991, xxx, hlm. 393).

Sementara Imam Ja‘far al-Sadiq pula berdoa: Wahai Tuhanku! Pertingkatlah laknat-Mu dan azab-Mu ke atas mereka yang telah mengingkari ni‘mat-Mu, mengkhianati Rasul-Mu,menuduh Nabi-Mu perkara yang bukan-bukan dan menentangnya…(Ibid, hlm. 395).


Kesimpulan:

Berdasarkan kepada ayat-ayat tersebut, maka Laknat boleh atau harus dilakukan kepada mereka yang mempersendakan Allah dan Rasulullah (Saw.), menghina, mengingkari, membatal, mengubah, menangguh dan menggantikan sebahagian daripada hukum Allah (swt) dan Sunnah Rasul-Nya dengan pendapat atau sunnah mereka sendiri sama ada orang itu bergelar khalifah atau sahabat atau tabi‘in dan sebagainya. Justeru itu, ungkapan “melaknat khalifah atau sahabat tertentu atau polan dan polan” tidak menjadi perkara sensitif lagi jika kita meletakkan mereka sama ada khalifah, sahabat, individu , kita sendiri di bawah martabat Rasulullah (Saw.), dan Rasulullah (Saw.) pula di bawah martabat Allah (swt). Tetapi jika mereka meletakkan seorang khalifah, sahabat atau mana mana individu lebih tinggi daripada martabat Allah dan Rasul-Nya dari segi pengamalan hukum dan sebagainya, maka mereka tidak akan meredai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuhnya di dalam perkara tersebut. Kerana penilaian kebenaran bagi mereka bukanlah al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Saw.) secara keseluruhannya, malah seorang khalifah atau sahabat menjadi penilaian kebenaran mereka. Lalu mereka menjadikan pendapat atau sunnah “mereka” yang menyalahi Nas sebagai agama bagi mendekatkan diri mereka kepada- Nya.

(Muslim-Syiah/Hana-Zaka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menurut Ulama Sunni Ayat 10-11 Surat Al-waqi’ah Turun Untuk Imam Ali As


Banyak dari kalangan Ulama Ahli Sunnah di dalam kitabnya menjelaskan bahwa Asbab Nuzul ayat 10-11 surat Al-Waqi’ah berkenaan dengan Imam Ali as (Laylatul Mabyt) malam dimana Imam Ali as menggantikan Rasulullah untuk tidur di ranjang beliau.

Pakar Mazhab dan Agama Hujjatul Islam Muhsin Moruji Thabasi dalam wawancaranya tentang kemuliaan kedudukan Imam Ali as di kalangan mazhab Islam ia mengatakan bahwa salah satu syubhat-syubhat yang dipaparkan wahabi mengenai Imam Ali as ialah menyebarkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang Imam Ali as ke dunia Islam, bahkan dengan pendapat yang berani terhadap Imam sekalipun.

Sejak wafatnya Rasulullah saaw sudah banyak kisah-kisah penentangan orang-orang terhadap Ahlul Bait as dan pengingkaran kemuliaan mereka, tambahnya.

Penampakan Nashibi (pembenci Ahlul Bait) mengalir dalam diri wahabi dan salafi, yang walaupun mereka tidak melaknat Ahlul Bait as akan tetapi ucapan mereka terhadap Ahlul Bait as lebih buruk dari kata laknat.

Di zaman Imam Ali as para Nashibi sering mengatakan memangnya Imam Ali as sholat sehingga ia bisa terbunuh di masjid, Wahabi atau Nashibi zaman ini juga mengingkari kemuliaan-kemuliaan Imam Ali as yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadits dengan mengatakan bahwa tidak ada satu ayat Al-Qur’an atau hadits pun yang turun untuk Imam Ali as. pandangan ini ada selama 14 abad lamanya yang mana Ibnu Taimiyah merupakan asas pemikiran mereka yang memicu permusuhan terhadap Ahlul Bait as.

Hujjatul Islam Moruji menjawab syubhat Nashibi yang mengingkari kemuliaan Imam Ali as dengan mengutip kitab Abu Na’im ulama mazhab Syafi’I yang berjudul “Manaqib Imam Ali as dan Ayat-ayat Al-Qur’an yang Turun Untuknya”. Dituliskan sebanyak 2000 ayat turun untuknya, salah satunya beliau membawakan riwayat dari rasulullah mengenai surat Al-Shafat ayat 24 “tahanlah mereka, sesungguhnya mereka akan ditanya’’ dalam kitab ini dijelaskan bahwa manusia di hari kiamat akan ditanya tentang wilayat Imam Ali as.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ibnu Katsir: Tafsir Al-Fatihah, ayat 6, Telah Disebutkan Melalui Riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi Melalui Riwayat Al-Haris Al-A'war, dari Ali r.a. Secara Marfu


Al-Fatihah, ayat 6

{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) }

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Bacaan yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirat dengan memakai shad. Tetapi ada pula yang membacanya sirat dengan memakai sin, ada pula yang membacanya zirat dengan memakai za, menurut Al-Farra berasal dari dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb.

Setelah pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah Swt, sesuailah bila diiringi dengan permohonan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas, yaitu:

«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»

Separo untuk-Ku dan separo lainnya buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang dia minta.

Merupakan suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan kepada Allah Swt. terlebih dahulu memuji-Nya, setelah itu baru memohon kepada-Nya apa yang dia hajatkan —juga buat saudara-saudaranya yang beriman— melalui ucapannya, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus." Cara ini lebih membawa kepada keberhasilan dan lebih dekat untuk diperkenankan oleh-Nya; karena itulah Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Ia paling sempurna. Adakalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi Musa a.s. dalam firman-Nya:

رَبِّ إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. (Al-Qashash : 24)

Tetapi adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Zun Nun dalam firman-Nya:

لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Anbiya: 87)

Adakalanya permohonan diungkapkan hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seorang penyair:

أَأَذْكُرُ حَاجَتِي أَمْ قَدْ كَفَانِي ... حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيمَتَكَ الْحَيَاءُ


إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا ... كَفَاهُ مِنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَاءُ

Apakah aku harus mengungkapkan keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang memujimu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan.

Al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah bimbingan dan taufik (dorongan). Lafaz hidayah ini adakalanya muta'addi dengan sendirinya. sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini:

{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6)

Maka al-hidayah mengandung makna "berilah kami ilham atau berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami", sebagaimana yang ada dalam firman-Nya:

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

yang dimaksud ialah "Kami telah menjelaskan kepadanya (manusia) jalan kebaikan dan jalan keburukan".

Adakalanya al-hidayah muta'addi dengan ila seperti yang ada Dalam firman-Nya:

اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ

Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus. (An-Nahl: 121)

Allah Swt. telah berfirman:

فَاهْدُوهُمْ إِلى صِراطِ الْجَحِيمِ

maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Ash-Shaffat: 23)

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu pula makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)

Adakalanya al-hidayah ber-muta'addi kepada lam, sebagaimana ucapan ahli surga yang disitir oleh firman-Nya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدانا لِهذا

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. (Al-A'raf: 43)

Makna yang dimaksud ialah "segala puji bagi Allah yang telah mem-beri kami taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuni-nya".

Mengenai as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan siratal mustaqim ialah "jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)". Pengertian ini berlaku di kalangan semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan oleh Jarir ibnu Atiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu:

أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صِرَاطٍ ... إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مُسْتَقِيمُ

Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).

Menurutnya, syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu orang-orang Arab menggunakan sirat ini dengan makna isti'arah (pinjaman). lalu digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat baik yang lurus atau yang me-nyimpang. Maka jalan yang lurus disebut mustaqim, sedangkan jalan yang menyimpang disebut mu'awwij."

Selanjutnya ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf berbeda dalam menafsirkan lafaz sirat ini, sekalipun pada garis besarnya mempunyai makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya".

Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan sirat ialah Kitabullah alias Al-Qur'an.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ، وَهُوَ أَبُو الْمُخْتَارِ الطَّائِيُّ، عَنِ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ كِتَابُ اللَّهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Sa'id (yaitu Ibnul Mukhtar At-Ta'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war, dari Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Siratal Mustaqim adalah Kitabullah.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu Habib Az-Zayyat.

Dalam pembahasan yang lalu —yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an— telah disebutkan melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi melalui riwayat Al-Haris Al-A'war, dari Ali r.a. secara marfu’,

"وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ، وَهُوَ الصِّرَاطُ المستقيم"

bahwa Al-Qur'an merupakan tali Allah yang kuat: dia adalah bacaan yang penuh hikmah. juga jalan yang lurus.

Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali r.a. Riwayat terakhir ini lebih mendekati kebenaran.

As-Sauri —dari Mansur, dari Abu Wa'il, dari Abdullah— telah mengatakan bahwa siratal mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an).

Menurut pendapat lain, siratal mustaqim adalah al-islam (agama Islam). Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril pernah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., "Hai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah kami jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud ialah "berilah kami ilham jalan petunjuk, yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya".

Maimun ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Bahwa makna yang dimaksud dengan "jalan yang lurus" itu adalah "agama Islam".

Ismail ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamazani, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam. Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari Jabir sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6); dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam yang pengertiannya lebih luas daripada semua yang ada di antara langit dan bumi.

Ibnul Hanafiyyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), bahwa yang dimaksud ialah "agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridai oleh Allah Swt. buat hamba-Nya".

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan ihdinas siratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam.

Dalam hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya disebutkan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تُعَوِّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ، لَا تَفْتَحْهُ؛ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ. فَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ"

telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh, bahwa Abdur Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisinya terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka, tetapi pada pintu-pintu tersebut terdapat tirai yang menutupinya. sedangkan pada pintu masuk ke jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Hai manusia, masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang darinya." Dan di atas jembatan terdapat pula seorang juru penyeru; apabila ada seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada kedua sisi jembatan) itu, maka juru penyeru berkata, "Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamnya." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua tembok adalah batasan-batasan (hukuman-hukuman had) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan juru penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah Kitabullah, dan juru penyeru yang berada di atas jembatan itu adalah nasihat Allah yang berada dalam kalbu setiap orang muslim.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui hadis Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini melalui Ali ibnu Hujr, dari Baqiyyah, dari Bujair ibnu Sa'd ibnu Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu Sam'an dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini hasan sahih.

Mujahid mengatakan bahwa makna ayat, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus," adalah perkara yang hak. Makna ini lebih mencakup semuanya dan tidak ada pertentangan antara pendapat ini de-ngan pendapat-pendapat lain yang sebelumnya.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mugirah, dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah mengenai makna "Tunjukilah kami ke jalan yang benar"; bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi Saw. sendiri dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.). Asim mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada Al-Hasan, maka Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan nasihatnya'."

Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sa-abat yang sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.), berarti dia mengikuti jalan yang hak (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-hammad ibnu Fadl As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy. dari Abu Wa'il. dari Abdullah yang mengatakan bahwa siratal mustaqim itu ialah apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. buat kita semua.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih utama bagi ayat berikut, yakni: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua yang Engkau ridai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara hamba-hamba-Mu", yang demikian itu adalah siratal mustaqim (jalan yang lurus). Dikatakan demikian karena orang yang telah diberi taufik untuk mengerjakan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat taufik dari Allah di antara hamba-hamba-Nya —yakni dari kalangan para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh— berarti dia telah mendapat taufik dalam Islam, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi Saw. dan empat khalifah sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh. Semua itu termasuk ke dalam pengertian siratal mustaqim (jalan yang lurus).

Apabila dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah dalam setiap salat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah? Apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang sudah teraih?"

Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya, niscaya Allah tidak akan membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu memerlukan Allah Swt. Dalam setiap keadaanya. agar dimantapkan hatinya pada hidayah dan dipertajam pandangannya untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah. Sesungguhnya seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat menolak mudarat terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap wakru. semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menjamin akan memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih lagi bagi orang yang dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya, baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya.

Allah Swt. telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ

Wahai orang-orangyang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal seperti ini bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih, melainkan makna yang dimaksud ialah "perintah untuk lebih meneguhkan iman dan terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan". Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya:

رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا وَهَبْ لَنا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). (Ali Imran: 8)

Abu Bakar As-Siddiq r.a. sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap salat Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya dengan suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa makna firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah "tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan kami ke jalan yang lain".

(Ibnu-Katsir-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: