Oleh: Prof. Izzuddin Salim
"Sebagian ulama memaknai al-Kautsar hingga dua puluh enam makna. Namun, makna yang paling unggul adalah banyaknya keturunan yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada Nabi Saw dari putrinya, Fatimah al-Zahra."
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha penyayang
Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.
Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).
Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.
Pengantar
Sejumlah ulama berpendapat bahwa Surah al-Kautsar diturunkan kepada Rasulullah Saw di Makkah al-Mukarramah, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah ibn Abbas dan al-Kalbi. Menurut ulama lain, surah tersebut diturunkan di Madinah al-Munawwarah, seperti yang dinyatakan oleh al-Dhahhak dan Ikrima.[1] Namun, ada beberapa ulama yang meyakini surah tersebut diturunkan dua kali; kali pertama di Makkah dan kali kedua di Madinah. Pendapat yang terakhir ini mengompromikan antara berbagai riwayat yang ada.[2]
Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat ulama yang menyatakan bahwa surah al-Kautsar diturunkan di Makkah, karena banyaknya pendukung untuk meletakkan Surah tersebut dalam kelompok surah Makkiyyah. Pendukung itu antara lain dilihat dari kesimpelan kata, karakteristik ritme, harmoni suara, berisi bantahan kepada orang-orang musyrik dan meremehkan impian mereka.[3] Ditambah bahwa propaganda berupa penganiayaan, pelecehan, ejekan, tuduhan, penolakan, dan serangan secara langsung terhadap Nabi Saw dan dakwahnya merupakan salah satu karakteristik masyarakat kota Makkah dan metode orang-orang bodoh Quraisy periode awal. Nabi Saw meninggalkan mereka dan sikap-sikap mereka yang hina dengan melakukan hijrah yang penuh berkah ke Madinah al-Munawwarah. Di sana kemudian beliau mendirikan negara yang mengaktualisasikan kekuatan dan kekuasaan bagi Islam.
Sebab Turunnya Surah al-Kautsar
Surah al-Kautsar diturunkan untuk memupuk hati Rasulullah Saw dengan spirit dan kemurahan hati, dan mengukuhkan fakta kebaikan lestari dan terhampar, yang dipilih oleh Tuhan untuknya, serta memastikan fakta keterputusan yang ditetapkan bagi musuh-musuh beliau.[4]
Dalam rangkaian proses tipu daya terhadap Rasulullah Saw dan risalahnya yang dilakukan oleh orang-orang bodoh Quraisy untuk memalingkan manusia dari mendengarkan seruan bimbingan Tuhan yang dipancarkan dari dakwah Rasulullah Saw, sejumlah orang yang menentang kebenaran itu menghembuskan rumor bahwa Rasulullah Saw itu terputus nasabnya (abtar).
Rumor tersebut menggema dan menghujam kuat pada masyarakat Badui Arab yang membanggakan diri dengan keturunan, terutama anak laki-laki. Rumor itu menyakiti Nabi Saw, karena beliau mengetahui benar maksud dari ucapan-ucapan itu dan apa yang diinginkan oleh orang-orang jahiliah yang bodoh.
Jalaluddin al-Suyuti, dalam bukunya Durr al-Mantsur, mengutip hadits dari Ibn Sa‘ad dan Ibn ‘Asakir yang meriwayatkan melalui jalur al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas, katanya, “Putra Rasulullah Saw paling besar adalah al-Qasim kemudian Zainab, ‘Abdullah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Ruqayyah. Al-Qasim meninggal di Makkah. Dialah putra Rasulullah Saw yang pertama kali meninggal, kemudian disusul ‘Abdullah. Setelah putra-putra Rasulullah Saw meninggal, al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahmi mengatakan tentang Rasulullah Saw, “Nasabnya terputus. Dia itu orang yang putus nasab.” Maka Allah menurunkan ayat, “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.”[5]
Al-Zubair ibn Bakar dan Ibn ‘Asakir meriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, katanya, “Al-Qasim putra Rasulullah Saw meninggal di Makkah. Sepulang dari memakamkan jenazahnya, Rasulullah Saw lewat di depan al-‘Ash ibn Wa’il dan putranya yang bernama ‘Amr. Ketika melihat Rasulullah Saw, al-‘Ash ibn Wa’il berkata, “Aku membencinya. Sekarang dia terputus nasabnya.” Kemudian Allah Swt menurunkan ayat, “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.”[6]
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari al-Sudi, katanya, “Ketika seseorang ditinggal mati oleh putranya, orang-orang Quraisy akan mengatakan, ‘Si Polan putus nasabnya.’” Tatkala putra Nabi Saw meninggal, al-‘Ash ibn Wa’il mengatakan, “Muhammad terputus nasabnya.” Lalu turunlah surah al-Kaustar.[7]
Al-Baihaqi meriwayatkan hadis serupa dari Muhammad ibn Ali dengan menyebutkan nama putra Rasulullah, yaitu al-Qasim. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Surah al-Kautsar diturunkan terkait al-‘Ash ibn Wa’il, dimana dia mengatakan, ‘Aku membenci Muhammad.’”[8]
Begitulah orang-orang bodoh yang bersekongkol melancarkan muslihat yang hina kepada Nabi Saw, sebagaimana diceritakan dalam berbagai riwayat. Mereka adalah al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahmi, putranya yang bernama ‘Amr, ‘Uqbah ibn Abi Mu‘ith, Abu Lahab, Abu Jahal, al-Walid ibn al-Mughirah dan yang lainnya, tapi yang mengutarakan kebencian itu adalah al-‘Ash ibn Wa’il dan putranya.
Kandungan Surah
Surah yang diberkati ini, dengan ayat-ayatnya yang sedikit dan simpel, menggambarkan tentang perjalanan dakwah Rasululllah Saw pada fase akhir, dari sisi penderitaan, celaan, dan prospek masa depan. Surat ini menjelaskan model kedengkian, konspirasi dan penganiayaan bangsa Quraisy terhadap Rasul yang agung, Muhammad ibn Abdillah Saw. Surah ini juga menggambarkan perhatian dan pertolongan Allah Swt kepada Rasulullah Saw dan dakwahnya yang terus menerus. Selain itu, surah yang diberkati ini juga menjelaskan tentang berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah kepada Rasul Saw sebagai puncak manifestasi pertolongan dan pemberian, tidak seperti yang didapat oleh musuh-musuhnya sepanjang sejarah, yaitu kelemahan, keterputusan, dan kerugian.
Surah al-Kautsar mencerminkan salah satu perihal Rasulullah Saw, terutama sebagai pendakwah, seperti Surah al-Dhuha, Surah al-Insyirah dan lain sebagainya. Surah ini mengungkap volume anugerah Allah yang sangat banyak, yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Saw meskipun ada tipu daya dari orang-orang yang membenci beliau. Orang-orang itu mengabaikan fakta terang benderang seterang matahari. Jiwa mereka gelap karena kekufuran dan kesesatan. Anugerah inilah yang menuntut Nabi Saw agar menghadapinya dengan syukur, salat, dan usaha karena Allah Swt.
Jika kita masuk ke dalam detail arti beberapa kata yang membentuk entitas riil surah ini, tampaknya para pakar tafsir memberikan pemaknaan yang berbeda-beda. Setiap makna mungkin mencerminkan satu aspek dari kebaikan yang diberikan kepada Nabi Saw, sang nabi penutup. Khusus untuk kata al-Kautsar, antara lain ada makna-makna sebagai berikut:
Al-Kautsar merupakan pola yang berasal dari kata al-katsrah yang bermakna mutlak dan tidak terbatas. Kata ini menunjuk pada makna yang berlawanan dengan makna yang dilontarkan oleh orang-orang bodoh itu. Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) sesuatu yang banyak, melimpah, tidak terhalang dan tidak terputus. Apabila ada yang ingin melacak al-Kautsar yang dikaruniakan Allah kepada Nabi-Nya, niscaya dia akan menemukannya dimana pun dia melihat atau membayangkan.
Sesuatu yang diberikan kepada Nabi Saw adalah al-Kautsar yang tidak akan pernah berhenti mengalir, bukti-buktinya tiada terhitung, dan kandungannya tiada terbatas. Oleh karena itu, nas al-Qur’an membiarkannya tanpa batasan agar mencakup kebaikan yang banyak dan terus bertambah.
Sejumlah riwayat dari berbagai jalur menerangkan bahwa al-Kautsar adalah sungai di surga yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Akan tetapi Ibnu Abbas r.a menjawab bahwa sungai ini adalah salah satu kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Sungai tersebut adalah salah satu dari al-Kautsar-nya Rasulullah Saw.[9]
Indah sekali pernyataan Sayyid Quthb al-Syahid tatkala menyebutkan bahwa sungai di surga yang diberikan kepada Rasulullah Saw adalah salah satu dari al-Kautsar-nya Rasulullah, didasarkan pada kata-kata sahabat besar ‘Abdullah ibn ‘Abbas r.a, yang diadopsinya.
Dengan demikian, menurut pendapat yang paling unggul, perbedaan para pakar tafsir tentang al-Kautsar hanya sebatas pada daftar bukti-buktinya, bukan pada makna utuhnya.
Di sini akan kami sebutkan beberapa pendapat tentang al-Kaustar dari para pakar tafsir:[10]
Aisyah, Abdullah ibn Umar, Ibnu Abbas dan Imam Ja‘far bin Muhammad al-Shadiq menyatakan bahwa al-Kautsar adalah sungai di surga.
Diriwayatkan dari ‘Atha dan Anas ibn Malik bahwa al-Kautsar adalah telaga Nabi Saw yang akan didatangi manusia pada hari kiamat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa‘id ibn Jubair dan Mujahid bahwa al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak.
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa al-Kautsar adalah kenabian.
Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri bahwa al-Kautsar adalah al-Qur’an.
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy bahwa al-Kautsar adalah banyaknya teman dan pengikut.
Diriwayatkan dari Imam Ja‘far ibn Muhammad al-Shadiq bahwa al-Kautsar adalah Syafaat Rasulullah Saw bagi umatnya.
Ada pula yang menyebutkan bahwa al-Kautsar adalah banyaknya keturunan, sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah ulama dan pakar tafsir.
Sebagian ulama memaknai al-Kautsar hingga dua puluh enam makna.[11] Namun, makna yang paling unggul adalah banyaknya keturunan dan ketidakterputusannya sepanjang sejarah manusia yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada Nabi Saw dari putrinya, Fatimah al-Zahra. Inilah arti al-Kautsar yang sebenarnya, dengan argumen sebab turunnya surah ini yang sudah dikenal. Argumen lainnya adalah bahwa kata al-abtar dalam bahasa Arab pada dasarnya diterapkan kepada orang yang tidak memiliki penerus, sebagaimana dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa Arab. Raghib Isfahani, dalam al-Mufradat, juga mengatakan, “Al-Batr (akar kata dari abtar) digunakan untuk mengungkapkan makna putus ekor, kemudian kata tersebut juga dipakai untuk mengungkapkan makna putus turunan. Dalam bahasa Arab dikatakan: fulan abtar, ketika dia tidak memiliki generasi penerus sesudahnya. Firman Allah
إنّ شانئك هو الأبتر, berarti
مقطوع الذكر (terputus sebutannya). Hal itu karena orang-orang bodoh Quraisy mengira bahwa Muhammad Saw akan berhenti disebut ketika beliau tutup umur, karena tidak ada keturunannya....[12]
Arti-arti lain al-Kautsar yang disebutkan selain arti di atas bisa dikatakan sebagai perwujudan al-Kautsar atau sebagai konfirmasi dari kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Perlu disebutkan bahwa beberapa makna yang telah disebutkan sebagai bukti al-Kautsar memang diterangkan oleh hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah Saw. Adapun makna umum yang sudah banyak dikenal adalah konsepsi dari sebagian pakar tafsir, bahwa al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak yang diberikan kepada Nabi Saw, tidak kepada yang lain.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)
Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian ayat ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Saw untuk mensyukuri nikmat besar telah diberikan kepada beliau itu. Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salat dalam ayat ini adalah salat Idul Adha dengan alasan kata
وَانْحَرْ (dan berkurbanlah). Menurut kelompok ini, al-nahr artinya adalah menyembelih hewan kurban. Pendapat ini dikemukakan oleh Ikrimah, ‘Atha dan Qatadah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa awalnya Nabi Saw menyembelih hewan kurban sebelum salat. Kemudian beliau diperintahkan oleh Allah untuk melakukannya setelah salat. Pendapat ini diriwayatkan dari Anas ibn Malik.
Ulama yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud adalah salat Fajar di Muzdalifah dan menyembelih hewan kurban di Mina. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa‘id ibn Jubair dan Mujahid.
Imam Shadiq Ja‘far bin Muhammad mengatakan, “al-Nahr dalam ayat ini bermakna mengangkat tangan di depan dadamu.” Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan dari al-Ashbag ibn Nabatah, dari Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib k.w, katanya, “Ketika surah ini diturunkan, Nabi Saw bertanya kepada Jibril, ‘Apa hewan kurban yang perintahkan kepadaku oleh Tuhanku?’ Jibril menjawab, ‘Bukan hewan kurban, tapi Dia memerintahkanmu untuk mengangkat tangan ketika takbiratul ihram untuk salat, ketika hendak rukuk, ketika bangun dari rukuk, dan ketika hendak sujud. Begitulah salat kami dan salat para malaikat di langit. Segala sesuatu memiliki hiasan, dan hiasan salat adalah mengangkat tangan setiap kali takbir. Nabi Saw bersabda, ‘Mengangkat tangan adalah al-istikanah?’ Aku bertanya, ‘Apa itu al-istikanah?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah kamu membaca ayat ini:
فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
(Tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya dan (juga) tidak merendahkan diri).[13]” Hadis ini dikutip oleh al-Tsa‘labi dan al-Wahidi dalam tafsir mereka.[14]
Dari penelitian tentang berbagai pandangan seputar pengertian ayat tersebut, dan menghubungkannya dengan sejarah turunnya hukum dan ketetapan Allah, ada kesan bahwa pada saat Surah al-Kautsar diturunkan, ibadah haji belum disyariatkan. Begitu pula dengan kurban. Salat Idul Adha mungkin juga demikian.
Secara keseluruhan, topik ayat ini adalah tentang salat dan aspek-aspek yang ada kaitan dengannya, yaitu sikap tunduk, khusuk dan ketaatan. Dengan demikian, menafsirkan kata al-nahr dalam ayat ini dengan mengangkat tangan di depan dada adalah penafsiran yang paling cocok dengan konteksnya jika kita mempertimbangkan sejarah turunnya surah yang diberkati ini, apalagi jika memperhatikan hadits-hadits mulia tentang hal ini.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus
Al-Syani’ secara bahasa artinya musuh yang membenci. Karena itu, Allah Swt menetapkan bahwa orang yang membenci Nabi Saw adalah orang yang durhaka, dan orang yang berpaling dari beliau adalah orang yang terputus keturunannya, bahkan terputus dari segala kebaikan. Orang yang durhaka sejatinya adalah orang yang tidak punya anak. Anak yang dinisbahkan kepadanya sebetulnya bukan anaknya.
Mujahid mengatakan, “Al-Abtar artinya tidak punya penerus. Kata ini merupakan jawaban atas ucapan orang Quraisy, ‘Muhammad tidak memiliki generasi penerus. Dia bakal mati, kemudian kita bisa istirahat darinya dan dari mempelajari agamanya.[15]
Demikianlah, Allah Swt menakdirkan dan menetapkan bahwa yang putus turunan (al-abtar) bukanlah Muhammad Saw, melainkan orang-orang yang membencinya. Janji Allah untuk mereka benar-benar terbukti. Sebutan mereka terhenti dan hilang ditelan bumi. Sementara itu, sebutan Muhammad Saw terus menggema dan semakin meninggi.[16]
Dengan demikian, silsilah keturunan Muhammad Saw terus berlanjut di muka bumi. Turunan beliau menyebarkan kebaikan dan petunjuk kepada manusia berkat karunia dan rahmat Allah Swt, meskipun musuh senantiasa melancarkan konspirasi dan tipu daya sepanjang sejarah. Dan kepada Allahlah kembali segala urusan.[]
Referensi:
[1] Syaikh Abu ‘Ali al-Thibrisi, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 1, surah al-Kautsar.
[2] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 2, hal. 370, Surah al-Kautsar.
[3] Lihat Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim, ‘Ulum al-Qur’an, pembahasan Makkiyyah dan Madaniyyah, hal. 43 dan seterusnya.
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, vol 6, surah al-Kautsar.
[5] Al-Durr al-Mantsur, tafsir Surah al-Kautsar
[6] al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Surah al-Kautsar.
[7] Tafsir al-Jalalain, Surah al-Kautsar (Beirut); al-Mizan, vol. 20, 372.
[8] Ibid.
[9] Fi Zhilal al-Qur’an, vol 6, Surah al-Kautsar. Hadits Ibn ‘Abbas di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ibn Jarir, al-Hakim al-Naisaburi dalam al-Mustadrak, dari Abu Bisyr, dari Sa‘id ibn Jubair, dan disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur.
[10] Al-Thibrisi, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, tafsir Surah al-Kautsar; Syaikh ‘Abd ‘Ali al-‘Arusi al-Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, vol. 5, tafsir Surah al-Kautsar.
[11] Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 20, tafsir Surah al-Kautsar.
[12] Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 36, lema dalam huruf B.
[13] QS. al-Mu’minun [23]: 76.
[14] Majma‘ al-Bayan, tafsir Surah al-Kautsar.
[15] Ibid.
[16] Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir Surah al-Kautsar
(Taqrib-Indonesia/TV-Shia/IRIB-Indonesia/Muslim-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)