Dari filosofi pencak silat hingga kontroversi adegan syur
JAUH sebelum Merantau dan The Raid, film silat sudah diproduksi di Indonesia. Salah satunya adalah Harimau Tjampa karya Djadoeg Djajakusuma di tahun 1953. Sutradaranya, Djajakusuma, adalah salah satu pendiri Perfini bersama Usmar Ismail di tahun 1950, yang dianggap perintis pembuatan film-film dengan kru dan cerita khas Indonesia. Ia acap mengangkat tema tradisional dan kedaerahan, seperti di Tjambuk Api (1958), Lahirnya Gatot Kaca (1960), Bima Kroda (1967), dan Malin Kundang (1971). Karena itu, di sini banyak terselip budaya Minang, dari budaya oralnya (petatah-petitih) hingga upacara pernikahan. Dan jika dalam The Raid ada Iko Uwais yang menang beberapa kejuaraan silat, di film ini ada Malin Maradjo yang juara silat PON II 1951. Berikut cuplikannya:
Film berdurasi 97 menit ini penting dalam beberapa hal: pertama, banyak akademisi meyakini bahwa film ini adalah salah satu yang pertama yang serius mengangkat budaya dan tradisi Minangkabau—khususnya lewat silat dan nilai-nilai filosifi keislaman yang dikandungnya. Dan kedua, kontroversi seputar adegan sensual yang dilakukan aktrisnya, Nurnaningsih, yang dianggap sebagai adegan sensual pertama dalam film nasional. Mari kita bahas yang pertama dulu.
Film yang banyak pertarungan Silek Kumango ini dipercantik dengan paduan suara tanpa alat musik, seperti nasyid, yang menjadi narator pembuka.
“kisah lama, kami ulangi, masa kumpeni nan berkuasa… Keras perintah pajak dan rodi, harimau tjampa, nama cerita… Hamba sujud memohon kami…Mohon kami tuan ajari…oh sengsaranya hidupku…” .
Musik tradisional di film ini begitu ciamik, sehingga penata musiknya, GRW Sinsu, mendapat penghargaan di Festival Film Asia 1955.
Berlatar tahun 1930an, film peraih Citra untuk Skenario Terbaik (oleh Surjosumanto) di FFI 1955 itu bercerita tentang Lukman, yang berniat balas dendam terhadap kematian ayahnya dengan cara mencari dan belajar guru silat. Awalnya, ia mendatangi Datuk Langit, tapi rupanya sang Kepala Negeri itu meminta imbalan yang tak bisa ia jangkau. Akhirnya, ia bertemu dengan Saleh dan berguru padanya.
Padepokan silat di Kampung Pauh itu terasa sangat islami dan menjunjung akhlak dan nilai keislaman. Mereka berkumpul di masjid, selalu shalat berjamaah, dan belajar untuk rendah hati. Karena itu, dari awal, sang guru mempertanyakan movitasi Lukman belajar. “ Kalau tidak ada berada, tak kan tempua bersarang rendah,” ujarnya. Ia menasehati agar ilmunya tidak digunakan sembarangan, hanya untuk pertahanan diri.
Dan di sinilah perkara dimulai. Lukman orangnya temperamental dan mudah terpancing, hingga beberapa kali janjinya dilanggar. “Apa yang aku katakan? Mandi di bawah-bawah, menyauk di hilir-hilir. Ingat Lukman, masih belum ada kata putus lagi. Kau masih ingat akan janjimu atau tidak, Man?”, tegas Saleh. Lukman menjelaskan bahwa ia dituduh mencuri air dan pertarungan itu tidak disengaja, dan berjanji takkan silat lagi.
Setelah beberapa kali terjebak dalam “tobat sambal”, kali ini melawan teman seperguruannya, ia pun diusir dari padepokan. Karena frustasi, ia berjudi dan akhirnya berkelahi lagi: kali ini alasannya adalah karena lawannya berupaya menghalang-halangi percintaannya dengan Kiah. Sang lawan pun tertusuk pisaunya sendiri. Ia pun, lagi-lagi, minta tolong ke gurunya. Gurunya menolak dan menasehati agar ia menyerahkan diri. “Tangan mencecang, bahu memikul. Kamu tak usah lari, Lukman. Supaya kamu mendapat pelajaran yang lebih baik, “ ujarnya. Maka Lukman pun dipenjara. Masalah baru muncul: di penjara ia mendapat info soal pembunuh ayahnya, di samping berita kalau Kiah akan dikawin paksa oleh orang yang sama, dan ia pun bertekad kabur dan membalas dendam.
Saya sepakat dengan David Hanan (akademisi film dari Universitas Monash, Melbourne) yang menggarisbawahi bahwa Harimau Tjampa bukan sekadar cerita balas dendam, tapi menjelajahi praktik dan filsafat pencak silat dan hubungannya dengan nilai-nilai keislaman. Di film itu digambarkan bahwa Lukman mudah terprovokasi, kurang bisa mengendalikan emosi. Karena itu, kata Hanan, ia juga harus berlatih diri untuk mendapatkan nilai ketekunan dan pengekangan diri serta, yang terpenting: “tunggu sabar”.
Film yang dibuat kala Usmar kuliah di UCLA itu dipenuhi dengan adegan laga ciamik, serta peribahasa khas Minang. Misalnya : telah kering sumur kau timba” atau “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai”. Yang menarik, ada adegan “Asyrokol”, ritual berdiri menyambut “Rasulullah” saat upacara maulid nabi, yang biasa dilakukan saat shalawatan oleh kaum “Islam tradisionalis”. Hal ini menarik, karena dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat yang biasanya diasosiasikan dengan “Islam pembaharuan”.
Sayangnya, nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan sang sutradara terganggu oleh adegan Kiah (Nurnaningsih) setengah bugil selama beberapa detik. Sehingga, sebagian penonton lebih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk protes terhadap adegan itu, dan tak ambil peduli dengan cerita dan hal lainnya. Karena keterbatasan bahan dan data, saya belum menemukan protes terhadap Perfini, Djajakusuma, atau Usmar Ismail (produser), atau lembaga sensor yang meluluskannya. Reaksi penonton lebih menyoroti sang aktris yang dianggap melanggar nilai kepatutan. Mungkin juga, karena Nur, nama panggilannya, melawan balik pandangan masyarakat tahun 1950an itu dengan opini-opini liberal yang sebelumnya belum pernah ada.
Nur yang asli Wonokromo, Surabaya itu menyatakan: “Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.”
Akibatnya, banyak penonton protes. Seorang penggemar, misalnya menulis surat pembaca di majalah Kencana eidisi no. II./1954, yang menyatakan keprihatinannya dan menyuruhnya sadar. Tulisnya:
Achirul kalam saya anjurkan kepada saudari bahwa perjuangan saudari yang sedemikian itu menurut keyakinan saya akan menjatuhkan kepopuleran saudari sebagai bintang film. Saya berdo’a moga-moga saudari insyaf pada apa yang telah saudari perjuangkan itu, sehingga mengakibatkan kegemparan masyarakat
Tak lama setelah itu, beberapa majalah memuat foto seronoknya. Bahkan foto bugil seleb yang juga main di film Krisis karya Usmar Ismail itu, tersebar di berbagai kalangan, bersama gambar Titien Sumarni dan Netty Herawati. Namun, kemudian diketahui bahwa itu adalah hasil teknik montage saja, padahal kala itu belum ada photoshop atau software lain yang canggih atau budaya viral internet.
“Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”? Untungnya tidak. Dalam konteks hari ini, film ini tetap dihormati dan diapresiasi sebagai film klasik yang berharga. Bahkan, beberapa akademisi dengan serius mengulasnya. David Hanan, misalnya, melestarikannya untuk kepentingan pendidikan, memberikan subtitles, dan mengulasnya dalam kertas kerja akademik dan sedang menyusun buku yang diantaranya menganalisa film ini. Salah satunya lewat kuliah umum.
*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri sekaligus redaktur rumahfilm.org itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email