Foto: Lamhot Aritonang (Foto: detik.com)
Kesalehan seorang santri tidak dilihat dari penampilan sok suci dan tanda-tanda fisik ahli ibadah. Melainkan dari pengaruhnya terhadap perbaikan masyarakat. Dalam pergaulan santri, kedalaman ilmu dan kebijaksanaan diri seringkali digambarkan dengan secangkir kopi.
Demikian disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia H Lukman Hakim Saifuddin, saat menyampaikan orasi kebudayaan pada acara Malam Kebudayaan Pesantren, salah satu rangkaian Hari Santri 2018, di Panggung Krapyak, Yogyakarta, Rabu (10/10) malam.
Menag Lukman mengamati bahwa dunia kehidupan pesantren, santri yang punya kebiasaan malas dan tidak produktif dianggap kurang ngopi. Santri yang emosional dan gampang dibohongi itu pertanda ngopinya kurang pahit.
“Santri yang kuper dan kudet berarti ngopinya kurang jauh. Santri yang suka ngeyel dan mudah menyalahkan orang lain itu tandanya belum pernah menyeduh kopi,” ujar Lukman di hadapan ribuan orang yang saat itu hadir sambil duduk bersila dan sebagian ada yang berdiri.
Di samping itu, Lukman menilai santri yang hanya mementingkan diri sendiri, itu jelas suka kopi yang gratisan. “Tapi kalau ada santri jam segini tak kunjung ngopi, itu cuma perkara belum dapat rejeki,” ucapnya bernada bercanda disambut gelak tawa dari hadirin yang mayoritas santri Krapyak.
Lukman menerangkan, ada seorang ulama bernama Syekh Ihsan dari Jampes Kediri Jawa Timur, mengarang kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayaani Qahwah wad Dukhan (Petunjuk Umum untuk Kopi dan Rokok). Dalam kitab ini disebutkan, kopi adalah minuman para ulama karena bisa meningkatkan konsentrasi dan mempertajam intuisi.
“Diulas pula perdebatan fiqih tentang hukum menyeruput kopi. Maklum, kopi sudah terlalu jauh masuk ke wilayah pesantren. Sampai ada adagium bahwa penggerak utama pesantren itu sesungguhnya terdiri dari: kiai, santri, ngaji, dan kopi,” terangnya.
“Di sini saya tak hendak mengajak anda semua untuk ngopi. Tapi saya justru ingin mengingatkan, pesantren bukanlah warung kopi. Pesantren adalah tempat menuntut ilmu dan menimba pengalaman,” tambahnya.
Ia juga memandang bahwa pesantren tempat untuk menyadari tentang menjalani hidup itu ibarat menikmati kopi, ada pahit-pahit manis yang bikin melek hati. Sebagai majelis pengetahuan, kopi pun jadi bahasan ulama dalam karya tulisnya.
“Ini artinya, ilmunya para kiai tidak sebatas perkara shalat sampai haji, tak cuma soal membasuh muka sampai menata hati, tapi juga urusan menyeruput kopi,” pandang Lukman.
Bagi Lukman, hal yang digarisbawahi di sini adalah, betapa kuat budaya literasi kaum santri sampai sempat-sempatnya menulis kitab tentang kopi. “Boleh jadi lantaran mereka tak pernah lupa bahwa literasi adalah tradisi asli para ulama dan kiai,” jelasnya.
Dalam acara Malam Kebudayaan Pesantren itu tampil juga para budayawan dan kiai serta nyai yang membaca puisi seperti Gus Hilmy Muhammad, Candra Malik, Inayah Wahid, Habiburrahman El-Shirazy, Gus Romy, Abidah El Khaliqie, Sosiawan Leak, dan Helvy Tiana Rosa.
(NU-Online/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email