Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS KISAH. Show all posts
Showing posts with label ABNS KISAH. Show all posts

Proses Pemakaman Jenazah Suci Rasulullah Saw


Oleh: H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahad dan lain sebagainya.

Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Madinah, di pemakaman Buqai’, dengan alasan agar beliau bersemayam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri penegasan Rasul Allah s.a.w.: “Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat”. Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah.

Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama’ah juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema’ah. Usul tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam.

Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Rasul Allah s.a.w. mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahad. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. berpendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad. Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain: “Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah.”

Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahad. Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksanakan tugas terhormat itu?

Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman. Juga karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.

Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas berkata: “Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas.”

Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy. Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys.

Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah s.a.w. sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau.

Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah: “…kubalikkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat.”

Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w. bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid. Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan: “Demi Allah, alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan setelah meninggal!” Sementara riwayat mengatakan pula, bahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening. Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun…

(Al-Hassanain/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah hidup Nabi Isa as


Nabi Isa As merupakan salah satu nabi besar Ilahi. Allah Swt menciptakan Nabi Isa As dari ibunya tanpa seorang ayah. Karena peristiwa ini merupakan kejadian aneh bagi masyarakat dan tidak terbayangkan bagi mereka bagaimana mungkin seorang bocah lahir tanpa seorang ayah? Karena mereka melontarkan tuduhan kepada Maryam oleh itu Allah Swt menjadikan Nabi Isa semenjak hari pertama kelahirannya mampu berbicara guna melepaskan ibundanya dari segala macam tuduhan. Pada detik-detik pertama kelahirannya itulah Nabi Isa As memproklamirkan dirinya sebagai Nabi Allah.

Kemudian setelah berlalu beberapa tahun lamanya, Allah Swt mengutus Nabi Isa sebagai nabi dan petunjuk bagi Bani Israil. Allah Swt mengajarkan kepadanya Taurat dan Injil serta menganugerahkan mukjizat-mukjizat seperti menghidupkan orang mati sehingga dengan perantara mukjizat-mukjizat ini Nabi Isa dapat menetapkan kenabiannya.

Meski demikian, hanya segelintir orang yang beriman kepadanya. Yang menonjol dari segelintir orang ini adalah kaum Hawariyun yang senantiasa berada di samping Nabi Isa As dan berguru kepadanya.
Akhirnya para musuh Nabi Isa memutuskan untuk membunuhnya. Hal itu terjadi akibat pengkhianatan salah seorang Hawariyun yang membocorkan tempat tinggal Nabi Isa As. Para musuh menyergap ke tempat itu dan seseorang yang mirip dengan Nabi Isa mereka tangkap dan salib. Demikianlah Allah Swt menyelamatkan Nabi Isa As dan kemudian mengangkatnya ke langit.

Nabi Isa As merupakan salah satu nabi besar Ilahi. Nama nabi besar ini berada pada jejeran empat nabi ulul azmi. Penciptaannya serupa dengan penciptaan Nabi Adam As. Artinya Allah Swt menciptakan Nabi Isa As dari ibunya Maryam Uzara Sa yang merupakan seorang wanita salehah dan suci tanpa seorang ayah.[1]


Kelahiran

Kakek Nabi Isa As bernama Imran. Istrinya tatkala hamil bernazar bahwa ia akan menjadikannya sebagai pelayan di Baitul Muqaddas. Ia mengira bahwa jabang bayi yang ia kandung adlaah seorang bocah laki-laki. Namun, tatkala bayi itu lahir, ia melihat bahwa yang dilahirkannya adalah seorang bocah perempuan. Karena itu ia memberikan nama kepada bocah perempuan itu dengan nama Maryam. Setelah Maryam kian beranjak besar, ibunya mengirimnya ke Baitul Muqaddas untuk berkhidmat di sana.

Nabi Zakariyyah memikul tanggung jawab sebagai wali bagi Maryam. Selama itu, sedemikian Maryam menggondol derajat spiritual yang sangat tinggi sehingga Allah Swt mengirimkan makanan dari langit untuknya.[2] Namun selain Nabi Zakariyah terdapat orang lain yang merawat Maryam dan ingin memperoleh kehormatan dengan merawatnya; karena itu untuk memilih siapa yang dapat memperoleh kehormatan merawat Maryam diadakanlah undian dengan menggunakan pena-pena mereka. Hasil undian menunjukkan nama Nabi Zakariyah yang berhak merawat Maryam.[3]

Hingga suatu hari Bunda Maryam menyingkir dari tengah masyarakat dan pergi ke salah satu bagian Baitul Muqaddas dan melakukan uzlah di situ. Allah Swt mengutus seorang malaikat dalam bentuk manusia guna memberikan Nabi Isa kepada Bunda Maryam. Dengan demikian, Bunda Maryam mengandung tanpa berhubungan dengan seorang pria.[4] Pada sebagian riwayat disebutkan, Bunda Maryam mengandung dengan cara memakan dua butir korma yang dibawakan oleh Jibril kepadanya.[5]

Masa kehamilan Bunda Maryam disebutkan berbeda-beda dalam riwayat; sebagian menyebutnya enam bulan[6] dan sebagian lainnya sembilan jam sebagai ganti sembilan bulan. [7] Tatkala tiba masa kelahiran Nabi Isa As, sakit akibat persalinan yang membawa Bunda Maryam ke sebuah tempat pada pangkal pohon kurma. Bunda Maryam sangat risau karena pelbagai tudingan akan dilayangkan kepadanya sedemikian sehingga ia berharap mati. Namun Nabi Isa yang baru saja lahir, berbicara sesuai dengan perintah Allah Swt dan menghibur ibundanya. Kisah Bunda Maryam ini diabadikan dalam al-Quran sebagaimana berikut:
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Ia berkata, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” . Maka Jibril menyerunya dari bawah kakinya, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawah kakimu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.’” (Qs. Maryam [20]:23-26)

Bunda Maryam dengan hati mantap, sembari menggendong anaknya, kembali ke kaum dan keluarganya.
Masyarakat yang hanya mampu melihat secara lahir masalah ini, memandang Maryam dengan penuh curiga. Al-Quran mengisahkan peristiwa itu demikian:
“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam buaian?” Isa berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Qs. Maryam :27-33).

Dengan ucapan ini, Nabi Isa menepis tuduhan keji itu yang dialamatkan kepada ibunya dan juga menetapkan kenabiannya bagi masyarakat.


Masa Pertumbuhan

Satu-satunya risalah Nabi Isa As pada masa-masa awal setelah lahir adalah menetapkan makam kenabiannya dan bahwa ibunya tidak berdosa. Namun ia belum lagi memikul tanggung jawab untuk memberikan petunjuk dan menyampaikan agama Ilahi. Pada saat yang sama bahaya yang dilancarakan oleh sekelompok Yahudi mengancam jiwa Nabi Isa As. Allah Swt menuntun mereka berdua ke tempat yang aman; negeri yang tinggi memiliki keamanan dan air yang mengalir[8] sehingga di tempat itu Nabi Isa melalui masa-masa pertumbuhan dan menyiapkan dirinya untuk menyampaikan risalah samawi. Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa tempat itu adalah Najaf.[9]


Masa Kenabian

Nabi Isa As tumbuh dalam pangkuan dan gemblengan Bunda Maryam hingga mencapai usia 7 atau 8 tahun. Dalam masa ini, Nabi Isa mendapatkan tugas untuk menghidayahi Bani Israel dan menyelamatkan mereka dari kesesatan.[10]

Allah Swt mengajarkan kitab Taurat dan Injil kepada Nabi Isa dan menganugerahkan kepada hikmah dan ilmu khusus-Nya.[11]

Allah Swt sebagaimana mengaruniai pelbagai mukjizat kepada para nabi lainnya, juga mengaruniai kepada Nabi Isa As mukjizat supaya ia dapat menetapkan kenabiannya kepada masyarakat.

Salah satu mukjizatnya adalah ia dapat menciptakan burung dari lempung. Ia meniupkan ruh dan membentuknya dengan izin Allah Swt sehingga lempung berubah menjadi seekor burung. Allah Swt memberikan izin kepadanya guna menyembuhkan orang buta. Salah satu mukjizat Nabi Isa yang sangat menakjubkan adalah menghidupkan orang mati. Ia dengan perintah Allah Swt menghidupkan beberapa orang. Ia bahkan mengabarkan kepada masyarakat makanan yang mereka santap dan mereka simpan.
Hidangan langit adalah salah satu mukjizat lain Nabi Isa yang dipenuhi akibat permintaan Hawariyun (murid-murid khusus Nabi Isa). Hidangan makanan dari langit turun dan meski jumlah roti dan ikan hanya sembilan biji,[12] namun dapat mengeyangkan empat ribu orang.[13]

Dengan adanya semua mukjizat ini, hanya segelintir orang yang beriman kepada Nabi Isa dan yang paling menonjol adalah Hawariyun. Jumlah Hawariyun adalah dua belas orang dan yang paling pandai di antara Hawariyun adalah al-Wiqa.[14] Namun orang-orang dari Bani Israel yang memilih kufur mendapatkan laknat Nabi Isa[15] dan sesuai dengan sebuah riwayat disebutkan bahwa mereka menjadi hewan jadi-jadian yaitu mereka berubah menjadi hewan.[16]


Perjalanan Akhir Nabi Isa As

Sebagian Yahudi yang menyimpan permusuhan kepada Nabi Isa berencana untuk membunuhnya. Akibat pengkhianatan salah seorang Hawariyun yang bernama Yahuda Iskariot yang tidak beriman kepada Nabi Isa dalam hatinya dan termasuk sebagai seorang munafik membongkar tempat persembunyian Nabi Isa As dan musuh segera menyergap di tempat itu. Mereka menangkap seseorang yang mirip dengan Nabi Isa As. Orang-orang Kristen dan orang lain meyakini bahwa musuh telah menyalib Nabi Isa para hari Jumat kemudian membunuhnya. Namun setelah berlalulnya tiga hari dari kematian Nabi Isa, hari Minggu ia kembali hidup dan naik ke langit.[17]

Namun kitab samawi al-Quran menolak bahwa Nabi Isa As telah disalib dan dibunuh. Al-Quran menyatakan:
Dan lantaran ucapan mereka, “Sesungguhnya Kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Nisa [4]:157-158)
Benar, Allah Swt menjaganya dari kejahatan musuh-musuhnya dan membawanya ke langit hingga mengembalikanya ke bumi hingga pada masa kemunculan Imam Mahdi Ajf dan menunaikan salat di belakangnya.[18]


Catatan :

[1]. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia) , maka jadilah dia.”(Qs. Ali Imran [3]:59)
[2]. (Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, ia pun berkata, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk.” Lalu Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan ) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu berasal dari sisi Allah Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Qs. Ali Imran [3]:35-37)
[3]. “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (hai Muhammad), padahal kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (Qs. Ali Imran [3]:44)
[4]. “Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur’an pada saat ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitul Maqdis). Maka ia membentangkan tabir antara dirinya dan mereka (sehingga tempat menyepi itu siap untuk digunakan sebagai tempat ibadah); lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, lalu ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, “Sesungguhnya aku berlindung darimu kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata, “Bagaimana mungkin aku akan memiliki seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata, “Demikianlah adanya. Tuhan-mu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar Kami dapat menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (Qs. Maryam [19]16-22)
[5]. Burqi, Ahmad bin Muhammad bin Khalid, al-Mahâsin, jil. 2, hal. 537, Qum, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1371 S.
[6]. Muhamad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil 1, hal. 465, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Keempat, 1407 H.
[7]. Sayid Hasyim bin Sulaiman Bahrani, al-Burhân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 707, Qum, Muassasah Bi’tsat, Cetakan Pertama, 1374 S.
[8]. “Dan Kami telah menjadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi mendatar yang aman dan memiliki sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Qs al-Mukminun [23]:50)
[9]. Sayid Hasyim bin Sulaiman Bahrani, al-Burhân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 707, Qum, Muassasah Bi’tsat, Cetakan Pertama, 1374 S.
[10]. Muhamad bin ‘Ayyas Bahrani, Tafsir al-‘Ayyâsyi, Riset oleh Rasul Mahallati, jil. 1, hal. 174, Tehran, al-Mathba’ah al-‘Ilmiah, Cetakan Pertama, 1380 S.
[11]. “Dan Allah akan mengajarkan kepadanya al-Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil.” (Qs. Ali Imran [3]:48)
[12]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 14, hal. 249, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
[13]. Tafsir Mansub ila al-Imâm al-Hasan al-‘Askari, hal. 195, Qum, Madrasah Imam Mahdi Ajf, Cetakan Pertama, 1409 H.
[14]. Syaikh Shaduq, Muhamad bin Ali, al-Tauhid, hal. 421, Qum, Daftar Nasyr Islami, Cetakan Ketiga, 1398 H.
[15]. “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (Qs. al-Maidah [5]:78)
[16]. Ali bin Ibrahim, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 176, Dar al-Kitab, Cetakan Keempat, 1367 S.
[17]. Injil Yohanes 20:25
[18]. Yahya bin Hasan Ibnu Bithriq, Umdah ‘Uyun Shihâh al-Akhbâr fi Manâqib Imâm al-Abrâr, hal. 430, Qum, Daftar Nasyr Islami, Cetakan Pertama, 1407 H.

(Islam-Quest/Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Inilah Orang-Orang Berjasa Saat Rasulullah Kanak-Kanak


Oleh: Muhammad Zidni Nafi

Perjalanan hidup Nabi Muhammad sewaktu kanak-kanak tidak semanis buah kurma atau madu. Dalam Shahih Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury diterangkan, saat dalam kandungan ibunya, Aminah, Nabi sudah ditinggal ayahnya.

Ketika wafat ayah Nabi, Abdullah, meninggal dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Darun Nabighah al-Ja’dy. Abdullah meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan seorang budak wanita, Barakah berjuluk Ummu Aiman. Kelak dialah yang mengasuh Rasulullah. (Sahih Muslim/II/1392).

Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim, di Mekkah pada awal tahun ketika peristiwa penyerangan tentara Gajah terjadi. Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada Abdul Muthallib ayah Abdullah, kakek Rasulullah, untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Abdul Muthallib datang penuh kegembiraan. Lalu dia masuk ke dalam Ka’bah berdoa kepada Allah seraya bersyukur kepada-Nya. Kemudian dia memilih “Muhammad” untuk beliau.


Tsuwaibah

Satu di antara tradisi bangsa Arab saat itu adalah menyusukan anak-anaknya kepada wanita lain dengan tujuan menjauhkan anaknya dari penyakit-penyakit yang ada, dan juga agar jasmani anak kuat.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibunya adalah Tsuwaibah, salah seorang hamba sahaya Abu Lahab, pada hari ketujuh kelahiran Rasulullah Saw. Sebelumnya, Tsuwaibah juga wanita yang menyusui Hamzah bin Abdul Muthallib, setelah itu Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.


Halimah binti Abu Duaib

Tatkala mengajak Muhammad kecil ke Bani Sa’ad, Abdul Muthallib menyusukan beliau kepada salah seorang wanita dari bani Sa’ad nin bakar, yaitu Halimah binti Abu Duaib Abdullah bin al-Harits. Selain menyusui Rasulullah, Halimah juga menyusui Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib putra paman Rasulullah Saw.

Selama menyusui Muhammad kecil, keluarga Halimah terus-menerus mendapat keberkahan dan tambahan rezeki. Setelah dua tahun, ia pun menyapihnya dan beliau tumbuh dengan baik, memiliki tubuh yang kokoh dan kuat, tidak seperti anak-anak yang lainnya.

Kemudian Halimah membawanya kepada Aminah, meskipun sebenarnya ia berharap Muhammad kecil dapat menerap bersamanya sebab betapa banyak keberkahan yang
bawakan oleh Rasulullah.


Meninggalnya Ibunda

Masih dalam keterangannya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, kejadian pembelahan dada yang dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah membuat Halimah khawatir sehingga dia mengembalikan kepada ibunya, maka Rasulullah Saw hidup bersama ibunya sampai berusia enam tahun.

Aminah merasa perlu untuk mengenang suaminya telah wafat, maka bersama putranya, yakni Muhammad disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman, berziarah ke makam suaminya di Yatsrib yang jarahnya 500 km dari Mekah.

Setelah satu bulan di Madinah, yang masih bernama Yatsrib, Aminah kembali ke Mekah. Dalam permulaan perjalanan Aminah menderita sakit. Penyakitnya semakin parah hingga singgah di Abwa, sebuah kota antara Mekah dan Madinah. Di tanah Abwa ini ibunda Rasulullah Saw meninggal dunia.


Kembali ke Abdul Abdul Muthallib

Rasullullah kembali kepada kakeknya di Mekah. Abdul Muthallib merasakan kasih sayangnya kepada Muhammad semakin menebal. Menyaksikan cucunya yang yatim piatu harus menanggung kesedihan. Semakin besar kecintaannya, sampai-sampai dia pernah meraskan kecintaan seperti itu, bahkan terhadap anaknya sekalipun. Dia tidak ingin meninggalkan Rasulullah sebatang kara, bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya sendiri.

Abdul Muthallib meninggal pada saat Rasulullah berusia 8 tahun 2 bulan
10 hari, di kota Mekah. Sebelum wafat dia mengamanatkan pengasuhan cucunya kepada pamannya, yakni Abu Thalib, seorang dari saudara laki-laki ayahnya Rasulullah.


Di Bawah Asuhan Abu Thalib

Abu Thalib bin Abdul Muthallib melaksanakan hak anak saudaranya dengan penuh hati dan menganggapnya sebaga anak sendiri. Bahkan seperti halnya kakeknya, dia pun mendahulukan Rasulullah Saw daripada putra-putranya.

Syaikh Abdullah dalam Mukhtashar as-Sirah menyebutkan ketika usia Rasulullah Saw meningjak dua belas tahun, Abu Thalib mengajaknya melakukan perjalanan dagang ke kota Syam. Saat itu negeri Syam sedang berada di bawah kekuasaan Bangsa Romawi.

Hingga tiba di Bushra, sebuah daerah di negeri Syam, Abu Thalib beserta rombongannya ditemui Rahib yang dikenal dengan nama Buhaira (pendapat lain mengatakan namanya adalah Jurjis) dan mengajak masuk ke rumahnya. Dia mendatangi rombongan Abu Thalib karena melihat Rasulullah. Seraya memegang tangannya, ia berkata, “Laki-laki ini akan menjadi penghulu seluruh alam, dia adalah utusan Tuhan seru sekalian alam. Dia adalah laki-laki yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Singkat cerita, usai mendengarkan pernyataan Buhaira yang diambil dari kitab dia baca, Abu Thalib atas permintaa Buhaira, lalu bergegas mengirimkan Rasulullah bersama beberapa pemuda agar kembali ke Mekah.

Sampai usia empat puluh tahun beliau berada di bawah perlindungan Abu Thalib. Pamannya rela menjalin persahabatan bahkan rela menghadapi musuh demi membela Nabi Muhammad Saw. Demikian sebagian orang-orang yang berjasa dalam membesarkan dan mendampingi Rasulullah tatkala masih kecil yang sudah ditinggal wafat oleh ayah dan ibundanya. Semoga mereka semua mendapatkan limpahan rahmat dari Allah. Dan khususnya kita sebagai umatnya, dapat bertambah kecintaan kita kepada Rasulullah Saw dengan cara meneruskan perjuangannya dan mengamalkan ajarannya.

(Inilah-Salafi-Takfiri/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah Nabi Zakaria


Ditulis: Abdullah

Nabi Zakaria adalah ayah dari Nabi Yahya putera tunggalnya yang lahir setelah ia mencapai usia sembilan puluh tahun. Sejak beristeri Hanna, ibu saudaranya Maryam, Zakaria mendambakan mendapat anak yang akan menjadi pewarisnya. Siang dan malam tiada henti-hentinya ia memanjatkan doanya dan permohonan kepada Allah agar dikurniai seorang putera yang akan dapat meneruskan tugasnya memimpin Bani Israil. Ia khuatir bahwa bila ia mati tanpa meninggalkan seorang pengganti, kaumnya akan kehilangan pemimpin dan akan kembali kepada cara-cara hidup mereka yang penuh dengan mungkar dan kemaksiatan dan bahkan mungkin mereka akan mengubah syariat Musa dengan menambah atau mengurangi isi kitab Taurat sekehendak hati mereka. Selain itu, ia sebagai manusia, ingin pula agar keturunannya tidak terputus dan terus bersambung dari generasi sepanjang Allah mengizinkannya dan memperkenankan.

Nabi Zakaria tiap hari sebagai tugas rutin pergi ke mihrab besar melakukan sembahyang serta menjenguk Maryam anak iparnya yang diserahkan kepada mihrab oleh ibunya sesuai dengan nazarnya sewaktu ia masih dalam kandungan. Dan memang Zakarialah yang ditugaskan oleh para pengurus mihrab untuk mengawasi Maryam sejak ia diserahkan oleh ibunya. Tugas pengawasan atas diri Maryam diterima oleh Zakaria melalui undian yang dilakukan oleh para pengurus mihrab di kala menerima bayi Maryam yang diserahkan pengawasannya kepadanya itu adalah anak saudara isterinya sendiri yang hingga saat itu belum dikurniai seorang anak pun oleh Tuhan.

Suatu peristiwa yang sangat menakjubkan dan menghairankan Zakaria telah terjadi pada suatu hari ketika ia datang ke mihrab sebagaimana biasa. Ia melihat Maryam disalah satu sudut mihrab sedang tenggelam dalam sembahyangnya sehingga tidak menghiraukan bapa saudaranya yang datang menjenguknya. Di depan Maryam yang sedang asyik bersembahyang itu terlihat oleh Zakaria berbagai jenis buah-buahan musim panas. Bertanya-tanya Nabi Zakaria dalam hatinya, dari mana datangnya buah-buahan musim panas ini, padahal mereka masih berada dalam musim dingin. Ia tidak sabar menanti anak saudaranya selesai sembahyang, ia lalu mendekatinya dan menegur bertanya kepadanya: “Wahai Maryam, dari manakah engkau dapat ini semua?”

Maryam menjawab: “Ini adalah pemberian Allah yang aku dapat tanpa kucari dan aku minta. Di waktu pagi dikala matahari terbit aku mendapatkan rezeki ku ini sudah berada di depan mataku, demikian pula bila matahari terbenam di waktu senja. Mengapa bapa saudaranya merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah berkuasa memberikan rezekinya kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan?”


Maryam binti Imran

Maryam yang disebut-sebut dalam kisah Zakaria adalah anak tunggal dari Imran seorang dari pemuka-pemuka dan ulama Bani Isra’il. Ibunya saudara ipar dari Nabi Zakaria adalah seorang perempuan yang mandul yang sejak bersuamikan Imran belum merasa berbahagia jika belum memperoleh anak. Ia merasa hidup tanpa anak adalah sunyi dan membosankan. Ia sangat mendambakan keturunan untuk menjadi pengikat yang kuat dalam kehidupan bersuami-isteri, penglipur duka dan pembawa suka di dalam kehidupan keluarga. Ia sangat akan keturunan sehingga bila ia melihat seorang ibu menggandung bayinya atau burung memberi makan kepada anaknya, ia merasa iri hati dan terus menjadikan kenangan yang tak kunjung lepas dari ingatannya.

Tahun demi tahun berlalu, usia makin hari makin lanjut, namun keinginan tetap tinggal keinginan dan idam-idaman tetap tidak menjelma menjadi kenyataan. Berbagai cara dicubanya dan berbagai nasihat dan petunjuk orang diterapkannya, namun belum juga membawa hasil. Dan setelah segala daya upaya yang bersumber dari kepandaian dan kekuasaan manusia tidak membawa buah yang diharapkan, sedarlah isteri Imran bahwa hanya Allah tempat satu-satunya yang berkuasa memenuhi keinginannya dan sanggup mengurniainya dengan seorang anak yang didambakan walaupun rambutnya sudah beruban dan usianya sudah lanjut. Maka ia bertekad membulatkan harapannya hanya kepada Allah bersujud siang dan malam dengan penuh khusyuk dan kerendahan hati bernazar dan berjanji kepada Allah bila permohonannya dikabulkan, akan menyerahkan dan menghebahkan anaknya ke Baitul Maqdis untuk menjadi pelayan, penjaga dan memelihara rumah suci itu dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk kepentingan dirinya atau kepentingan keluarganya.

Harapan isteri Imran yang dibulatkan kepada Allah tidak tersia-sia. Allah telah menerima permohonannya dan mempersembahkan doanya sesuai dengan apa yang telah disuratkan dalam takdir-Nya bahwa dari suami isteri Imran akan diturunkan seorang nabi besar. Maka tanda-tanda permulaan kehamilan yang dirasakan oleh setiap perempuan yang mengandung tampak pada isteri Imran yang lama kelamaan merasa gerakan janin di dalam perutnya yang makin membesar. Alangkah bahagia si isteri yang sedang hamil itu, bahwa idam-idamannya itu akan menjadi kenyataan dan kesunyian rumah tangganya akan terpecahlah bila bayi yang dikandungkan itu lahir. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri Imaran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan cemerlang.

Akan tetapi sangat benarlah kata mutiara yang berbunyi: “Manusia merancang, Tuhan menentukan. Imran yang sangat dicintai dan sayangi oleh isterinya dan diharapkan akan menerima putera pertamanya serta mendampinginya dikala ia melahirkan, tiba-tiba direnggut nyawanya oleh Izra’il dan meninggallah isterinya seorang diri dalam keadaan hamil tua, pada saat mana biasanya rasa cinta kasih sayang antara suami isteri menjadi makin mesra. Rasa sedih yang ditinggalkan oleh suami yang disayangi bercampur dengan rasa sakit dan letih yang didahului kelahiran si bayi, menimpa isteri Imran di saat-saat dekatnya masa melahirkan.

Maka setelah segala persiapan untuk menyambut kedatangan bayi telah dilakukan dengan sempurna lahirlah ia dari kandungan ibunya yang malang menghirup udara bebas. Agak kecewalah si ibu janda Imran setelah mengetahui bahwa bayi yang lahir itu adalah seorang puteri sedangkan ia menanti seorang putera yang telah dijanjikan dan bernazar untuk dihebahkan kepada Baitulmaqdis. Dengan nada kecewa dan suara sedih berucaplah ia seraya menghadapkan wajahnya ke atas: “Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernazar akan menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitulmaqdis. Allah akan mendidik puterinya itu dengan pendidikan yang baik dan akan menjadikan Zakaria, iparnya dan bapa saudara Maryam sebagai pengawas dan pemeliharanya.

Demikianlah maka tatkala Maryam diserahkan oleh ibunya kepada pengurus Baitulmaqdis, para rahib berebutan masing-masing ingin ditunjuk sebagai wali yang bertanggungjawab atas pengawasan dan pemeliharaan Maryam. Dan karena tidak ada yang mahu mengalah, maka terpaksalah diundi di antara mereka yang akhirnya undian jatuh kepada Zakaria sebagaimana dijanjikan oleh Allah kepada ibunya.

Tindakan pertama yang diambil oleh Zakaria sebagai petugas yang diwajibkan menjaga keselamatan Maryam ialah menjauhkannya dari keramaian sekeliling dan dari jangkauan para pengunjung yang tiada henti-hentinya berdatangan ingin melihat dan menjenguknya. Ia ditempatkan oleh Zakaria di sebuah kamar di atas loteng Baitulmaqdis yang tinggi yang tidak dapat dicapai melainkan dengan menggunakan sebuah tangga. Zakaria merasa bangga dan bahagia beruntung memenangkan undian memperolehi tugas mengawasi dan memelihara Maryam secara sah adalah anak saudaranya sendiri. Ia mencurahkan cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya kepada Maryam untuk menggantikan anak kandungnya yang tidak kunjung datang. Tiap ada kesempatan ia datang menjenguknya, melihat keadaannya, mengurus keperluannya dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan kegembiraan baginya. Tidak satu hari pun Zakaria pernah meninggalkan tugasnya menjenguk Maryam.

Rasa cinta dan kasih sayang Zakaria terhadap Maryam sebagai anak saudara isterinya yang ditinggalkan ayahnya meningkat menjadi rasa hormat dan takzim tatkala terjadi suatu peristiwa yang menandakan bahwa Maryam bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan Allah untuk suatu kedudukan dan peranan besar di kemudian hari.

Pada suatu hari tatkala Zakaria datang sebagaimana biasa, mengunjungi Maryam, ia mendapatinya lagi berada di mihrabnya tenggelam dalam ibadah berzikir dan bersujud kepada Allah. Ia terperanjat ketika pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Ia lalu bertanya dalam hatinya, dari manakah gerangan buah-buahan itu datang, padahal mereka masih lagi berada pada musim dingin dan setahu Zakaria tidak seorang pun selain dari dirinya yang datang mengunjungi Maryam. Maka ditegurlah Maryam tatkala setelah selesai ia bersujud dan mengangkat kepala: “Wahai Maryam, dari manakah engkau memperolehi rezeki ini, padahal tidak seorang pun mengunjungimu dan tidak pula engkau pernah meninggalkan mihrabmu? Selain itu buah-buahan ini adalah buah-buahan musim panas yang tidak dapat dibeli di pasar dalam musim dingin ini.”

Maryam menjawab: “Inilah pemberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau minta. Dan mengapa engkau merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah Yang Maha Berkuasa memberikan rezekinya kepada sesiapa yang Dia kehendaki dalam bilangan yang tidak ternilai besarnya?”

Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam, gadis suci, yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan seorang nabi besar yang bernama Isa Almasih a.s.

Kisah lahirnya Maryam dan pemeliharaan Zakaria kepadanya dapat dibaca dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 35 hingga 37 dan 42 hingga 44.

Masa yang dialami oleh Nabi Zakaria adalah masa yang aneh di mana banyak hal yang berlawanan yang berhadap-hadapan dan saling bertentangan serta terlibat pertarungan yang tidak pernah padam. Keimanan kepada Allah SWT bercahaya di mesjid yang besar di Baitul Maqdis, sedangkan kebohongan memenuhi pasar-pasar Yahudi yang bersebelahan dengan mesjid itu. Sudah menjadi tradisi dunia bahwa segala sesuatu yang bertentangan mesti saling berhadapan pada: kebaikan dengan kejahatan, cahaya dengan kegelapan, kebenaran dengan kebohongan, para nabi dengan para pembangkang. Alhasil, segala sesuatu berhadapan untuk mempertahankan kehidupan. Di masa yang kuno ini terdapat seorang nabi dan seorang alim yang besar. Nabi yang dimaksud adalah Zakaria sedangkan seorang alim besar yang Allah SWT memilihnya untuk salat di tengah-tengah manusia adalah Imran. Imran adalah seorang suami dan istrinya sangat berharap untuk melahirkan anak. Waktu pagi menyelimuti kota, keluarlah istri Imran untuk memberikan makan kepada burung dan ia melihat pamandangan yang ada di sekitarnya dan mulai merenungkannya. Di sana terdapat seekor burung yang memberi makan anaknya dengan cara menyuapinya dan memberinya minum. Burung itu melindungi anaknya di bawah sayapnya karena khawatir dari kedinginan. Ketika melihat pemandangan itu, istri Imran berharap agar Allah SWT memberinya anak. Ia mengangkat tangannya dan mulai berdoa agar Allah SWT menganugerahinya seorang anak lelaki. Allah SWT mengabulkan doanya dan pada suatu hari ia merasa bahwa ia sedang hamil lalu kegembiraan menyelimutinya dan ia bersMikur kepada Allah SWT:

“(Ingatlah) ketika istri Imran berkata: ‘Ya Tuhanhu, sesungguhnya aku telah menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi anak yang saleh dan berkhidmat (di Baitil Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'” (QS. Ali ‘Imran: 35)

Ia bernazar agar anaknya menjadi seorang pembantu di mesjid sepanjang hidupnya yang mengabdi kepada Allah SWT dan mengabdi kepada rumah-Nya, yaitu masjid. Lalu tibalah hari kelahiran. Istri Imran melahirkan seorang anak perempuan. Istri itu merasa terkejut karena ia menginginkan seorang anak lelaki yang dapat mengabdi untuk mesjid dan beribadah di dalamnya. Ketika ia melihat bahwa anaknya seorang perempuan, maka ia tetap menjalankan nazarnya, meskipun anak lelaki bukan seperti anak perempuan:

“Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya ahu telah menamai dia Maryam.” (QS. Ali Imran: 36)

Allah SWT mendengar doa istri Imran; Allah SWT mendengar apa yang kita ucapkan dan apa yang kita bisikkan dalam diri kita, bahkan apa yang kita inginkan untuk kita ucapkan dan kita tidak melakukannya. Semua itu diketahui oleh Allah SWT. Allah SWT mendengar bahwa istri Imran memberitahu-Nya bahwa ia melahirkan anak perempuan dan Allah SWT lebih mengetahui tentang anak yang dilahirkannya. Allah SWT-lah yang memilihkan jenis kelamin anak yang lahir di mana Dia menciptakan anak laki-laki atau perempuan. Allah SWT mendengar bahwa istri Imran berdoa kepada-Nya agar Dia menjaga anak perempuan ini yang dinamakan Maryam dan juga menjaga keturunannya dari setan yang terkutuk:

“Dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang terkutuk. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya.” (QS. Ali ‘Imran: 36- 37)

Allah SWT mengkabulakn doa istri Imran dan ibu Maryam. Allah SWT menyambut Maryam dengan penyambutan yang baik dan memberinya keturunan yang baik. Allah SWT berkehendak melalui rahmat-Nya untuk menjadikan perempuan ini sebagai wanita terbaik di muka bumi dan menjadikan ibu dari seorang nabi yang kelahirannya merupakan mukjizat terbesar seperti kelahiran Nabi Adam. Nabi Adam lahir tanpa seorang ayah atau ibu, sedangkan Nabi Isa lahir tanpa seorang ayah. Nabi Isa berasal dari ibu yang suci yang belum menikah, yang belum disentuh oleh manusia.

Mula-mula kelahiran Maryam mendatangkan sedikit problem. Imran telah mati sebelum kelahiran Maryam dan para ulama di zaman itu dan para pembesar ingin mendidik Maryam. Setiap orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kemuliaan ini, yaitu mendidik seorang perempuan dari seorang lelaki besar vang mereka hormati. Zakaria berkata: “Biarkan aku yang mengasuhnya karena ia adalah kerabat dekatku. Istriku adalah bibinya dan aku adalah seorang Nabi dari umat ini. Aku lebih utama dari kalian untuk mengasuhnya.” Lalu para ulama dan para guru berkata: “Mengapa tidak seorang di antara kami yang mengasuhnya. Kami tidak akan membiarkan engkau mendapatkan keutamaan ini tanpa persetujuan dari kami.” Hampir saja mereka berselisih dan bertarung kalau seandainya mereka tidak menyepakati diadakannya undian. Yakni, seseorang yang mendapatkan undian, maka itulah yang akan mengasuh Maryam.

Diadakanlah undian. Maryam diletakkan di atas tanah dan diletakkan di sebelahnya pena-pena orang-orang yang ingin mengasuhnya. Kemudian mereka menghadirkan anak kecil lalu anak kecil itu mengeluarkan pena Zakaria. Zakaria berkata: “Allah SWT memutuskan agar aku mengasuhnya.” Para ulama dan para Syekh berkata: “Tidak, undian harus dilakukan tiga kali.” Mereka mulai berpikir tentang undian yang kedua. Setiap orang mengukir namanya di atas pena kayu dan mereka berkata, kita akan melemparkan pena-pena kita di sungai, maka siapa yang penanya menantang arus, itulah yang menang: 
“Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (QS. Ali ‘Imran: 44)

Mereka pun melemparkan pena-pena mereka di sungai sehingga pena-pena itu berjalan bersama arus, kecuali pena Zakaria yang menantang arus. Zakaria merasa bahwa mereka akan puas tetapi mereka bersikeras untuk mengadakan undian yang ketiga kali. Mereka berkata: “Kita akan melemparkan pena-pena kita di sungai. Pena yang berjalan bersama arus, maka itulah yang akan mengasuh Maryam.” Mereka pun melemparkan pena-pena mereka dan semua berjalan menantang arus, kecuali pena Zakaria. Akhirnya, mereka menyerah kepada Zakaria dan mereka menyerahkan anak itu kepadanya agar Zakaria mengasuhnya. Nabi Zakaria mulai mengasuh Maryam dan mendidiknya serta menghormatinya sampai ia dewasa. Maryam memiliki tempat khusus di dalam mesjid. Ia mempunyai suatu mihrab yang di situ ia beribadah. Jarang sekali ia meninggalkan tempatnya. Ia selalu beribadah dan salat di dalamnya serta berzikir dan bersyukur dan menuangkan cintanya kepada Allah SWT. Terkadang Zakaria mengunjunginya di mihrab. Tiba-tiba, pada suatu hari Zakaria menemuinya dan ia melihat sesuatu yang mencengangkan. Saat itu musim panas tetapi Nabi Zakaria menemui di tempat Maryam buah-buahan musim dingin, dan pada kesempatan yang lain ia menemui buah-buahan musim panas sedangkan saat itu musim dingin. Zakaria bertanya kepada Maryam: “Darimana datangnya rezeki ini?” Maryam menjawab: “Bahwa itu berasal dari Allah SWT.” Pemandangan seperti ini berulang lebih dari sekali:
“Setiap Zakaria masuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.” (QS. Ali ‘Imran: 37)

Nabi Zakaria adalah seorang tua dan rambutnya sudah dikelilingi uban. Ia merasa bahwa tidak lama lagi hidupnya akan berakhir dan istrinya, bibi Maryam, adalah seseorang wanita tua sepertinya yang belum melahirkan seseorang pun dalam hidupnya karena ia wanita yang mandul. Nabi Zakaria menginginkan agar ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang akan mewarisi ilmunya dan akan menjadi nabi yang dapat membimbing kaumnya dan berdakwah kepada mereka untuk mengikuti Kitab Allah SWT.

Zakaria tidak menyampaikan keinginan ini kepada seseorang pun, bahkan kepada istrinya, tetapi Allah SWT mengetahuinya sebelum pikiran itu disampaikan. Pada pagi itu Zakaria menemui Maryam di mihrabnya, lalu ia mendapati buah-buahan yang sebenarnya sudah tidak musim. Zakaria bertanya kepada Maryam:

“Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya.” (QS. Ali ‘Imran: 37-38)

Zakaria berkata pada dirinya Maha Suci Allah SWT dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Lalu kerinduan mulai menyelimuti hatinya dan ia mulai menginginkan keturunan. Nabi Zakaria berdoa kepada Tuhannya:
“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engka u, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeningalku, sedang istriku adalah seseorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akmi mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorangyang diridahi. “(QS. Maryam: 2-6)

Nabi Zakaria meminta kepada Penciptanya tanpa mengangkat suara keras-keras agar Dia memberinya seorang lelaki yang mewarisi kenabian dan hikmah serta keutamaan dan ilmu. Nabi Zakaria khawatir kaumnya akan tersesat setelahnya di mana tidak ada seorang nabi setelahnya. Allah SWT mengkabulkan doa Zakaria. Belum lama Nabi Zakaria berdoa kepada Allah SWT hingga malaikat memanggilnya saat ia salat di mihrab:
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7)

Zakaria kaget dengan berita ini, bagaimana ia dapat memiliki seorang anak. Karena saking gembiranya Zakaria sangat terguncang dan dengan penuh keheranan ia bertanya:
“Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.” (QS. Maryam: 8)

Ia heran bagaimana ia dapat melahirkan sementara ia sudah tua dan istrinya pun wanita yang mandul:
“Tuhan berfirman: ‘Demikianlah.’ Tuhan berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam; 9)

Para malaikat memberitahunya bahwa ini terjadi karena kehendak Allah SWT dan kehendak-Nya pasti terlaksana. Tidak ada sesuatu pun yang sulit bagi Allah SWT. Segala sesuatu yang diinginkan di alam wujud ini pasti terjadi. Allah SWT telah menciptakan Zakaria sebelumnya dan beliau pun sebelumnya tidak pernah ada. Segala sesuatu diciptakan Allah SWT hanya dengan kehendak-Nya:
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah herkata kepadanya: ‘Jadilah!’, maka jadilah ia. ” (QS. Yasin: 82)

Hati Nabi Zakaria dipenuhi rasa syukur kepada Allah SWT dan ia pun memuji-Nya. Lalu ia meminta kepada Allah SWT agar memberinya tanda-tanda:
“Zakaria berkata: Ya Tuhanku, berilah suatu tanda.’ Tuhan berfirman: ‘Tanda bagimu adalah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.’ Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam: 10-11)

Allah SWT memberitahunya bahwa akan terjadi tiga hari di mana di dalamnya ia tidak mampu berbicara, padahal saat itu ia sehat-sehat saja tidak sakit. Jika hal ini terjadi padanya, maka hendaklah ia yakin bahwa istrinya hamil dan bahwa mukjizat Allah SWT benar-benar terwujud. Kemudian hendaklah saat itu ia berbicara kepada manusia melalui isyarat dan banyak bertasbih kepada Allah SWT di waktu pagi dan sore.

Zakaria keluar pada suatu hari kepada manusia dan hatinya dipenuhi dengan syukur. Ia ingin berbicara dengan mereka namun ia mengetahui bahwa ia tidak mampu berbicara. Zakaria mengetahui bahwa mukjizat Allah SWT telah terwujud lalu ia mengisyaratkan kepada kaumnya agar mereka bertasbih kepada Allah SWT di waktu pagi dan sore. Ia pun selalu bertasbih kepada Allah SWT dalam hatinya. Zakaria merasakan kegembiraan yang sangat dalam. Malaikat memberitahunya tentang kelahiran seorang anak lelaki yang Allah SWT menamakannya Yahya. Untuk pertama kalinya kita di hadapan seorang anak yang ayahnya tidak memberikan nama kepadanya dan ibunya pun tidak memilihkan nama untuknya, tetapi Allah SWT-lah yang memberinya nama. Dengan kemuliaan yang agung ini, Allah SWT menyampaikan berita gembira kepada Zakaria bahwa anaknya Yahya akan membenarkan kalimat Allah SWT dan akan menjadi seorang yang mulia dan seorang Nabi dari orang-orang yang saleh.

Zakaria gemetar, karena saking gembiranya. Air matanya mulai berlinangan dan jenggotnya yang putih mulai basah. Ia salat kepada Allah SWT sebagai tanda syukur atas pengkabulan doanya dan kelahiran Yahya.♦

(Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Muhammad, Pemuda Teladan Dari Mekah


Sejak usia muda, Nabi Muhammad saw sudah terkenal dengan kebijaksanaan, kedermawanan, kecerdasan dan keberaniannya. Alkisah seorang pedagang menjual barang dagangan pada Ash bin Wa’il, yang berjanji akan membayar harga barang dua hari kemudian. Tapi sayang, Ash ingkar janji. Dia tak membayar hutang. Sang pedagang sedih dan kecewa karena jika ingin memperoleh haknya, dia harus bisa membuat banyak pemimpin suku berpihak padanya. Dan ini bisa disebut mustahil baginya.

Kesedihan dan kekecewaan membuat sang pedagang tak tahan lagi. Suatu hari, saat para peziarah mengelilingi Ka’bah, dia naik ke tangga kedua Ka’bah, menceritakan penderitaannya. Nabi Muhammad yang kala itu baru berusia 20 tahun ikut menyaksikan keluh kesahnya. Kezaliman Ash membuat beliau sangat marah dan terusik. Ash bin Wa’il memang sudah terkenal sebagai penguasa yang sering menindas orang lain. Muhammad saw langsung maju ke depan, mengambil tangan si pedagang lalu menariknya turun. “Akan kita tuntut hak-hakmu dari Ash. Aku bersumpah pada Tuhan pemilik Ka’bah! Kita akan melakukannya,” katanya berapi-api.

Seseorang menyahut, “ Bagaimana caranya?”

Muhammad saw menunjuk pamannya Zubair dan berkata, “Aku punya paman Zubair, Abbas, dan Hamzah. Dengan bantuan mereka, juga para pemuda Mekkah, kita tak akan membiarkan penguasa menindas orang-orang tak berdaya. Kapan saja kita mendengar suara orang tertindas memohon keadilan, kita harus membantu menyelamatkannya.”

Lalu beliau menoleh ke pamannya Zubair, “Benar kan paman? Maukah paman membantu kami membereskan urusan ini?”

Zubair tersenyum, “Ya nak, aku akan membantumu.”

Malam itu Zubair mengundang pemuda-pemuda Mekkah ke rumahnya. Zubair menekankan pentingnya bangkit melawan penindas yang merampas hak rakyat kecil. Semua yang hadir sepakat untuk saling membantu. Malam itu mereka menandatangani perjanjian bersejarah, Hilful Fudhul.

Esoknya, para pemuda itu mendatangi Ash bin Wa’il bersama sang pedagang. Nabi Muhammad berjalan paling depan. Beliau meminta Ash mengembalikan barang-barang pedagang atau membayar hutangnya. Awalnya Ash menolak. Namun ketika menyaksikan kesungguhan Nabi untuk mempermalukannya di kota jika tak mengembalikan hak pedagang, dia tak bisa berkutik lagi. Saat itu juga, Ash bin Wa’il membayar semua barang pedagang.

Sejak saat itu, sosok Muhammad muda melejit jadi teladan terhormat warga Mekkah. Beliau selalu berhasil mengembalikan hak orang-orang tertindas lewat kata-katanya yang bijak.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hari Pertama Bulan Shafar, Tawanan Karbala Tiba di Syam


Dan tepat pada awal Shafar tahun 61 Hijriyah para tawanan dan kepala-kepala syuhada Karbala tiba di tempat pemerintahan Yazid bib Muawiyah.

Shabestan News Agency, hari ini bertepatan dengan hari pertama di bulan Shafar, dimana setelah Imam Husain as dan para sahabat-sahabat setianya dibantai di padang Karbala oleh pasukan terlaknat Umar bin Sa’ad, keluarga Imam as menjadi tawanan mereka.

Dan pada hari ke sebelas Muharram keluarga Imam as dipindahkan dari Karbala menuju Kufah dan kemudian dibawa ke Syam.

Ubaidillah bin Ziyad yang merupakan Gubernur Kufah dan Bashrah serta bawahan Yazid bin Muawiyah di Irak, ia adalah orang yang memusuhi Ahlul Bait as. Ia memerintahkan supaya para tawanan yang tidak lain adalah keluarga nabi Muhammad saww agar dihadirkan ke dalam majelis dengan keadaan sebagaimana mereka ditawan, yakni dengan pakaian yang tidak pantas, dengan melakukan ini ia berusaha supaya kedudukan keluarga nabi saww yang agung menjadi jatuh di hadapan penduduk Kufah.

Setelah melewati Kufah, keluarga nabi saww yang ditawan dibawa ke Syam, mereka melewati berbagai kota dan desa dimana saat penduduk setempat mengetahui tentang kesyahidan Imam Husain as mereka semua melaknat para pembunuhnya.

Dan tepat pada awal Shafar tahun 61 Hijriyah para tawanan dan kepala-kepala syuhada Karbala tiba di tempat pemerintahan Yazid bib Muawiyah.

Dan saat berada di tempat tersebut banyak kejadian penting yang terjadi di sana, di antaranay wafatnya salah seorang puteri Imam as dan debat antara Sayyidah Zainab sa dengan Yazid bin Muawiyah dan juga khutbah Imam Sajjad as yang menggentarkan istana Yazid.

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Jawad as Diracuni Isterinya


Orang yang rakus kekuasaan hasud dan dengki kepada Imam Jawad as, dikarenakan kesempurnaan dan keutamaan akhlaknya, sehingga beliau syahid pada tanggal 29 Dzuqadah 220 Hq akibat racun yang diberikan istrinya.

Selama menetap di Baghdad, Imam Jawad as benci dengan perilaku Makmun dan akhirnya beliau meminta izin kepada Makmun guna menunaikan ibadah haji dan dari sana beliau pergi ke Madinah dan berhenti di sana hingga Makmun meninggal dunia.

Pasca kekhalifahan Makmun, saudaranya Mu'tasim menjadi khalifah. Ia tidak dapat menahan kebenciannya setiap kali mendengarkan kesempurnaan dan keutamaan akhlak Imam Jawad as. Akhirnya ia memanggil Imam Jawad as agar tinggal di Baghdad. Ketika hendak berangkat, beliau harus berpisah dengan anak tercintanya Ali an-Naqi dan kuburan kakeknya Rasulullah Saw. Imam Jawad as tiba di Baghdad pada 28 Muharram 220 Hq.

Mu'tasim mengetahui bahwa Ummul Fadhl tidak begitu suka kepada Imam Jawad as. Karena beliau lebih memperhatikan ibu Imam ali an-Naqi as. Oleh karenanya, Ummul Fadhl senantiasa mengadukan beliau kepada Mu'tasim. Bahkan hal ini telah dilakukan berkali-kali di masa hidupnya Ma'mun, tapi tidak didengarkan olehnya. Ma'mun tahu benar mengganggu Imam Jawad as tidak maslahat bagi kekhalifahannya.

Pada akhirnya, Mu'tasim berhasil meyakinkan Ummul Fadhl untuk membunuh Imam Jawad as. Untuk itu ia mengirimkan racun kepada Ummul Fadhl agar dicampurkan ke dalam minuman beliau. Akhirnya Imam Jawad as syahid pada 29 Dzuqadah 220 Hq akibat racun yang diberikan istrinya.

(Indonesia-Irib/Alhassanain/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sayidah Fathimah as, Sang Pengantin Langit


Keagungan pernikahan pasangan suci antara Sayidah Fathimah as dan Imam Ali karena keagungan derajatnya, dan keagungan sosoknya. Sayidah Fathimah as, adalah sosok pengantin di langit dan dibumi yang pernikahan dan jodohnya telah ditentukan oleh Allah Swt. Allah Swt telah memilihkan untuknya sosoknya yang agung, serupa dan sama derajatnya. Imam Shadiq as berkata, “Jika Allah Swt tidak menciptakan Ali as, maka tidak aka nada pasangan yang kufu’ (setara) dengan Fathimah as.”

Sayidah Fathimah as sebagai manusia sempurna, sifat-sifatnya merupakan manifestasi sifat jalaliyah (keagungan) dan jamalyah (keindahan) Allah Swt. Segala kesempurnaan itu terwujud dalam dirinya. Semua gelar-gelar yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat telah menggambarkan semua kesempurnaanya. Dalam kapasitas kesempurnaan pun, jika ayahandanya, Rasulullah saww dalam al-Quran disebut sebagai penjelmaan rahmatan lil ‘alamiin (rahmat dan kasing sayang bagi seluruh alam, maka Sayidah Fathimah as, sebagai sayidatul ‘alamii (penghulu wanita seluruh alam).

Sayidah Fathimah as, sebagai manusia sempurna juga perempuan sempurna. Sebagai perempuan pada usia remaja, beliau adalah gadis yang memiliki segenap kecantikan lahir dan bathin yang bersinar bagaikan sinar mentari. Beliau memiliki kematangan jiwa dan kedewasaan berpikir melebihi gadis-gadis seusianya. Disebutkan bahwa beliau berjalan dengan penuh kewibawaan seperti ayahandanya, Rasulullah saww.[1] Karena kesempurnaan lahir dan batin yang dimiliki oleh beliau tersebut maka banyak lelaki dari kalangan biasa, juga para pembesar yang datang untuk melamarnya.

Suatu hari, Abdurrahman bin Auf datang menghadap Rasulullah saww untuk melamar Sayidah Fathimah as dengan membawa mahar yang sangat banyak. Rasulullah saww bukan saja beliau tidak bahagia karena melihat jumlah mahar yang dibawakan untuk melamar putrinya, namun wajah beliau tampak marah. Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas kerikil, kemudian mengambil kerikil dengan tanggannya, seketika kerikil tersebut berubah menjadi tasbih. Setelah itu, tasbih tersebut beliau lempar ke gamisnya dan seketika berubah menjadi intan dan Mutiara.

“Inilah jawaban untukmu…!” tandas Rasulullah saww kepada Abdurrahman bin Auf.[2]

Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab pun pergi menghadap Rasulullah saww untuk melamar Sayidah Fathimah as, lamaran mereka semua ditolak. Bahkan, beberapa pembesar Quraisy lainnya pun mengalami nasib yang sama, lamarannya ditolak.

Kenapa Rasulullah saww menolak lamaran para pembesar tersebut? Dalam jawabannya kepada Abu Bakar beliau bersabda,

لم ينزل القضاء بعد

“Hingga kini belum turun keputusan dari langit.”[3]

Ini jawaban yang telah diberikan Rasulullah saww kepada mereka yang melamar putrinya. Dari jawaban beliau tersebut sangat jelas bahwa pernikahan putrinya berdasarkan perintah Allah Swt, pasangan hidup putri tercintanya sudah ditentukan dan dipilih oleh Allah Swt. Beliau menyerahkan urusan pernikahan dan jodoh untuk putri tercintanya kepada Allah Swt, beliau tidak melangkah dalam hal ini tanpa perintah Allah Swt. Inilah hal yang sangat luar biasa, semua ini menggambarkan tentang keagungan dan ketinggian derajat Sayidah Fathimah as di sisi Allah Swt.

Siapakah yang pasangan yang sesuai untuk perempuan sempurna dan suci seperti Sayidah Fathimah as?

Rasulullah saww sebagai seorang sebagai ayah yang juga seorang nabi dan rasul, maka setiap kata dan sikapnya akan menjadi contoh dan menggambarkan tentang ajaran Islam yang dibawanya. Sebagai seorang Rasul, dalam kedudukannya sebagai seorang ayah yang merupakan wali bagi pernikahan anak perempuannya, beliau telah merubah budaya Jahiliyah saat itu yang tidak memberikan hak apa pun kepada anak perempuannya, terutama hak dalam memilih calon suami. Saat itu, anak perempuan tidak diberikan hak memilih atau pun hak suara berkaitan dengan calon suaminya, semua keputusan ada di tangan ayahnya. Namun, Rasulullah saww berusaha merubah tradisi salah Jahiliyah tersebut. Setiap ada yang datang untuk melamar putrinya, beliau tidak langsung memutuskan sendiri, namun langsung menanyakan pendapat putri tercintanya dan memberikan jawaban lamaran sesuai kehendak putrinya.

Sejak kedatangan para pelamar, mulai dari Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Umar dan yang lainnya, Sayidah Fathimah as memberikan isyarat kepada ayahanda tercintanya, bahwa lamaran mereka tidak diterima. Namun, saat Imam Ali as datang melamarnya, Rasulullah saww berkata kepadanya, “Ali telah datang untuk melamarmu.”

Sayidah Fathimah as diam tidak berkata apa-apa, juga tidak memalingkan wajahnya. Rasulullah saww tidak melihat tanda ketidakrelaan putrinya atas lamaran Imam Ali as. Menyaksikan hal tersebut, beliau sambil berkata, “Allahu akbar,” juga menyatakan bahwa diam putrinya tanda keridhoannya.[4] Kemudian beliau bangkit dan menyampaikan kepada Imam Ali as bahwa lamarannya telah diterima oleh putrinya.[5]

Rasulullah saww mengetahui bahwa Allah Swt telah menetapkan Ali as sebagai jodoh putrinya di langit, namun di bumi hal tersebut harus melalui proses tersebut yang kemudian akan menjadi syariat bagi umatnya.

Rasulullah saww berkali-kali mengatakan,
“Bukanlah aku yang menikahkannya, akan tetapi Allah yang telah menikahkannya.”

“Sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan aku untuk menikahkan Fathimah dengan Ali.”[6]

Bahkan untuk menunjukkan keagungan pasangan tersebut kepada mereka sendiri, Rasulullah saww berkata kepada Ali as, “Selamat atasmu wahai Ali, sesungguhnya Allah telah menikahkanmu dengan Fathimah, penghulu wanita seluruh alam dan dia belahan jiwaku…”[7]

Begitu juga sebaliknya, saat beliau akan mempertemukan Imam Ali as dengan Sayidah Fathimah as, beliau berkata kepada putrinya, “Bukan aku yang menjodohkanmu dengan Ali, ini merupakan perintah Allah Swt.”[8]

Keagungan pernikahan Sayidah Fathimah as dan Imam Ali as, dan karena keagungan pasangan suci ini, bukan hanya dirayakan dibumi namun juga di langit. Allah Swt memerintahkan kepada Jibril as agar turun ke langit keempat untuk merayakan pernikahan pasangan suci tersebut yang dihadiri oleh 4000 malaikat.[9] Subhanallah… Mahasuci Allah, tiada kata yang bisa dituliskan lagi yang akan menggambarkan keagungan pernikahan pasangan suci tersebut, keagungan derajatnya, dan keagungan sosoknya. Sayidah Fathimah as, adalah sosok pengantin di langit dan dibumi yang pernikahan dan jodohnya telah ditentukan oleh Allah Swt. Allah Swt telah memilihkan untuknya sosoknya yang agung, serupa dan sama derajatnya. Imam Shadiq as berkata, “Jika Allah Swt tidak menciptakan Ali as, maka tidak aka nada pasangan yang kufu’ (setara) dengan Fathimah as.”[10]


Referensi:

[1] Muhibbudin ath-Thabari, Dzahairul-Uqbah, hal 39.
[2] Manaqib, jil 3, hal 345.
[3] Muhibbudin ath-Thabari, Dzahairul-Uqbah, hal 29.
[4] Muhamad bin Sa’ad, ath-Thabaqatul-Kubra, jil8, hal 20.
[5] Majlisi, Biharul-Anwar, jil 43, hal 93
[6] Kanzul Ummal, jil 13, hal 683; Yanabi’ul Mawaddah, jil 1, hal 72, ash-Shawaiqul Muharriqah, hal 142.
[7] Al-Khishal, jil 2, hal 573
[8] Al-Qanduzi, Yanabi’ul Mawaddah, jil 2, hal 20.
[9] Ibid, hal 21
[10] Ushul-Kafi, jil 1, hal 383.

(Ikmal-Online/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Baju Lebaran Imam Hasan dan Imam Husain a.s


Sayyidah Fatimah a.s. berbahagia mendengar kabar gembira, karena kedua puteranya tidak hanya menggunakan baju baru, tapi baju surga yang dibawa oleh malaikat.”

Suasana Hari Raya Idul Fitri sudah mulai terasa. Semua orang berbahagia menyambut kedatangannya. Mereka mulai membersihkan rumah, menyiapkan baju dan lain sebagainya.

Anak-anak juga berkumpul di masjid-masjid guna mempersiapkan atraksi drum band untuk menghibur masyarakat. Di sela-sela latihan, mereka saling menceritakan pakaian dan sepatu baru yang sudah mereka beli untuk dipakai pada hari Raya, kecuali Zainal yang diam menjadi pendengar setia obrolan teman-temannya. Zainal malu untuk mengatakan bahwa dia belum membeli apa pun.

Setelah latihan dia segera pulang dan menceritakan kepada ibunya. Ibunya tersenyum dan menjawab, “Sabar sayang, Insyaallah, Ayah segera pulang dengan membawa rezeki, setelah itu kita langsung membeli baju.”

Zainal bahagia sekali mendengarnya.

Ibunya berkata, “Sayangku! Sini duduk di dekat ibu. Ibu akan menceritakan cerita indah untukmu:
“Diriwayatkan bahwa Imam Hasan dan Imam Husain a.s. melihat teman-temannya sedang berbahagia menyambut Hari Raya dengan pakaian baru. Melihat pemandangan itu mereka segera pulang dan bertanya kepada ibunya, “Wahai Ibunda, teman-temanku telah menyiapkan baju baru untuk menyambut datangnya hari Raya, mengapa ibunda belum menyiapkan untuk kami?”

Sang Ibunda, Sayyidah Fatimah a.s. menjawab dengan senyum indahnya, “Sesungguhnya baju kalian sudah ibu siapkan, sekarang masih berada di tukang jahit.”

Mereka berdua a.s. memeluk sang ibunda dengan bahagia.

Hari berlalu, hingga malam hari raya pun tiba. Mereka berdua mengulangi pertanyaan yang sama, “Wahai Ibunda, apakah baju baru kami sudah siap?”

Sayyidah Fatimah a.s. hanya terdiam dan berusaha menenangkan mereka. Hati beliau sangat sedih melihat keduanya putranya.

Tiba-tiba, “tok tok tok” terdengar suara ketukan pintu. Beliau a.s. bergegas menuju pintu, sambil berkata, “Siapa?”

Orang yang mengetuk pintu menjawab, “Wahai putri Rasulullah saw. aku adalah tukang jahit, aku datang membawa pakaian. Maka beliau pun membuka pintu. Ditemuinya seseorang dengan membawa sebuah kotak yang telah dihias rapi lalu diberikan kepada Sayyidah Fatimah a.s.

Beliau a.s. segera membuka kotak tersebut dengan bahagia. Beliau melihat di dalamnya terdapat dua buah gamis, dua helai celana, dua baju sejuk, dua serban serta dua pasang sepatu hitam. Sayyidah Fatimah a.s. merasa bahagia sekali, lalu memanggil kedua putera tercintanya dan memakaikannya kepada mereka.

Keesokan harinya Rasulullah saw. datang berkunjung dan melihat kedua cucunya sangat ceria dengan pakaian baru mereka. Rasulullah saw. mendekati mereka lalu menggendong dan menciumi mereka.

Rasulullah saw. bertanya kepada Sayyidah Fatimah a.s., “Apakah engkau melihat tukang jahit tersebut?”

Sayyidah Fatimah a.s. menjawab, “Ya, aku melihatnya.”

Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Dia bukanlah tukang jahit, melainkan Malaikat Ridwan penjaga surga.”

Sayyidah Fatimah a.s. berbahagia mendengarnya, karena kedua puteranya tidak hanya menggunakan baju baru, tapi baju surga yang dibawa oleh malaikat.”

“Nah, Zainal puteraku! Bersabarlah, Ibu tahu engkau adalah puteraku yang saleh, maka aku yakin Allah swt akan membuatmu bahagia,” kata sang bunda.

(Alhassanain/Safinah-Online/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah Penuh Rahmat


Seorang hamba dikarenakan kebiasaannya di dunia mengucapkan basmalah, dan menyebut TuhanNya dengan sifat “rahmah”, maka saat menerima catatan amalan di akhirat ia tidak melihat tulisan apapun, yakni karena berkat membaca bismilah segala dosa telah dihapus.

Disebutkan dalam sebuah riwayat :
Ketika hari kiamat tiba, seorang hamba di panggil ke tempat perhitungannya dan catatan amal yang penuh dengan dosa pun diberikan kepadanya. Dikarenakan kebiasaannya di dunia untuk mengucapkan basmalah, hamba itu menyebut TuhanNya dengan sifat “rahmah” saat menerima catatan amalnya.

Namun, ketika hamba tersebut membuka catatan amalnya, ia tidak melihat apapun disitu, ia berkata : “tidak ada tulisan di catatan ini untuk kubaca”. Para malaikat menjawab : “seharusnya di dalamnya tertulis keburukan-keburukan yang telah kau perbuat, akan tetapi berkat ayat yang kau bacakan tadi, kesalahan yang telah tercatat dihapuskan dan Allah SWT telah mengampunimu.

(Ansarian/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah Wayang Yang Menunjukkan Bercinta Butuh Kondisi Lahir Batin Yang Baik


Kisah pewayangan sebagai warisan sastra yang sifatnya abadi karena teruji melintasi waktu adalah sebuah ‘bangun budaya’, karya manusia yang diciptakan dari kemampuan olah pikir, batin (uwoh pangolahing budi) sehingga menjadi karya abadi dan bisa beradaptasi dengan zaman.

Ia berbeda dengan karya sastra lain yang diramu berdasa kemampuan lahiriah (nalar), olah pikir tanpa dibarengi olah batin (budi,roh, jiwa) manusia. Jadi, tak heran bila Pakar Sastra dan Budaya Indonesia asal Belanda Prof. Dr. A. Teeuw menyebutkan wayang sebagai sebuah karya sastra yang mengandung vision du monde atau pandangan dunia, yakni satu ajaran hidup yang dapat dipakai sebagai suri teladan bagi kehidupan.

Berikut kisah pewayangan yang menunjukkan bahwa persetubuhan membutuhkan kondisi yang baik lahir dan batin seperti yang dikutip dari liputan6.com:

Begawan Abiyasa, sesepuh Pandawa, sewaktu masih menjadi Raja Astinapura bernama Prabu Kresnadipayana. Sang Prabu mempunyai dua permaisuri yakni Dewi Ambila dan Dewi Ambalika. Sewaktu saresmi (berhubungan badan) dengan permaisuri pertama, Dewi Ambika memejamkan mata (merem karena tidak suka). Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat matanya, buta yakni Raden Destarata (Destarastra).

Demikian juga ketika sang Prabu berhubungan badan dengan permaisuri kedua, yakni Dewi Ambalika. Sang Dewi memalingkan muka (mlengos) karena tidak suka. Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat pula, teleng atau tengeng (bengkok posisi lehernya), yakni Pandhu.

Destarastra lahir buta dan Pandhu lahir teleng. Itu merupakan wohing pokal (akibat ulah tidak baik) atau tuwas (imbalan hukuman dari Yang Maha Kuasa) karena para istri Abiyasa secara batiniah dan lahiriah melaksanakan saresmi (berhubungan intim) kurang menghargai suaminya yang berwajah jelek.

Destarasta adalah ayah dari keluarga Kurawa yang seratus orang jumlahnya dan seluruhnya memiliki sifat kurawasa (aku yang suka merebut dengan paksa). Destarasta yang lahir buta adalah ilafat (tanda) bahwa bukan hanya buta lahiriah, tetapi juga buta batiniahnya.

Itu juga yang dikisahkan ketika Pandhu memenangkan sayembara dan berhasil membooyong tiga putri : Kunthi Madrim, dan Anggendari. Destarastra diminta oleh Abiyasa untuk memilih salah satu putri boyongan itu atas seizin dan keikhlasan Pandhu. Destarastra pun memilih calon istri dengan cara meraba satu per satu ketiga putri boyongan.

Ketika Kunthi dirabanya, ia berkata :”Bukan yang ini calon istriku, ia hanya akan memberiku tiga anak.” Ketika meraba Madrim, ia berkata :”Bula dia pula calon istriku, karena dia hanya akan memberiku dua anak.” Barulah ketika ia meraba Anggendari, Destarastra pun berkata dengan bangga,”Nah, inilah calon istriku, karena dia akana memberiku anak seratus orang jumlahnya.”

Keserakahannya yang ingin mempunyai anak seratus orang itulah yang nuwasi (tuwas) kepada sifat keseratus anaknya. Seluruhnya berjiwa kurawasa pula.

Bagaimana dengan Pandhu? Ia yang tengleng atau teleng dan wajahnya menghadap ke samping adalah ilafat dari lelaki yang diragukan kelelakiannya alias wandu atau banci. Ia tak mampu melakukan saresmi dengan kedua istrinya.

Setelah menjadi raja Astinapura dan beberapa saat setelah perkawinannya ia bercengkerama di hutan untuk berburu. Saat itu, dilihatnya dua ekor kijang, jantan dan betina yang sedang asyik bercumbu. Peristiwa itu dianggap Sang Prabu sebagai ejekan. Tanpa pikir panjang, dipanahnya kijang jantan hingga mati, dan yang betina melarikan diri ke hutan.

Malang bagi Pandhu, karena dua kijang itu adalah jelmaan Brahmana Kimindama dengan istrinya, yang kemudian mengutuknya,” di kemudian hari sang prabu akan menemui ajalnya bila ia bisa bersetubuh dengan permaisurinya.”

Kutukan itu membuat Pandhu stres hingga ia meminta Dewi Kunthi yang memiliki ajian Dipa Manunggal pemberian Resi Druwasa untuk menghadirkan dewa siapa saja yang diinginkan. Pertama Dewa Bathara yang kemudian membuat Dewi mengandung dan melahirkan anak lelaki bernama Dharmaputra atau Puntadewa. Kedua, Dewi mendatangkan Bathara Bayu yang kemudian melahirkan anak bernama Bayutenaya atau Bratasena. Dan ketiga, mendatangkan Bathara Indra yang kemudian melahirkan Arjuna atau Indraputra.

Lalu, agar tidak menimbulkan iri hati pada Dewi Madrim, Pandhu minta agar Kunthi meminjamkan ajian itu pada Dewi Madrim. Dewi Madrim akhirnya mendatangkan Dewa Asmin dan lahirlah putra kembar Nakula dan Sadewa. Kelima putra Padhu inilah yang disebut Pandhawa (anak lima lelaki semua).

Suatu ketika, nafsu birahi Pandhu meluap-luap pada Dewi Madrim. Dewi pun sudah mengingatkan Pandhu perihal kutukan itu. Namun, Pandhu menjawabnya bahwa kutukan sudah ditebusnya dengan bertapa bertahun-tahun dan lagipula dia sudah punya anak lima, Madrim pun tak kuasa menolak Pandhu.

Akhirnya terjadi juga. Sebelum hasrat Pandhu yang berkobar-kobar kesampaian, tewaslah Sang Prabu di samping istrinya.

(Liputan-6/Terselubung/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hikayat Karbala Dari Tanah Melayu


Oleh: Irman Abdurrahman*

Sebuah hikayat dari ranah kesusasteraan Melayu lama berkisah tentang peristiwa Karbala. Warisan budaya yang terlupakan.

Meski tampak lusuh, kitab itu tetap terawat. Beberapa bagian yang robek coba ditautkan dengan sejenis perekat. Tiap-tiap lembarnya menebarkan wangi kapur barus yang menjaganya dari kerusakan. Tersimpan dalam ruangan bersuhu 16°C, seperti juga kisah di dalamnya, Hikayat Muhammad Hanafiah, nama kitab itu, memang tak lekang oleh zaman.

Tak banyak orang tahu bahwa hikayat berusia hampir empat ratus tahun ini menyimpan kisah sedih keluarga Rasulullah saw: kisah pembunuhan Hasan karena racun dan Husain di padang Karbala. Boleh jadi inilah catatan paling awal dalam bahasa melayu tentang peristiwa berdarah tersebut. Liau Yock Fang dari Jurusan Pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura, mencatat bahwa fragmen (sepanjang 60 halaman) hikayat ini sudah tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge, sejak tahun 1604. Dalam salah satu bagian naskah yang dimiliki Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), tertulis tahun tahun 1191 H atau bertepatan dengan 1771 M sebagai waktu penyalinan naskah.

PNRI memiliki sembilan naskah Hikayat Muhammad Hanafiah. Beberapa halaman dari tiga naskah di antaranya telah lapuk dan hampir tidak dapat dibaca. Selebihnya naskah dalam kondisi yang baik dan tulisan di dalamnya jelas terbaca. Kesembilan bagian naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran naskah rata antara 25 X 20 cm sampai 33 X 21 cm dan banyak baris sekitar 15 sampai 21 baris. Jumlah halaman bervariasi dari 170-an halaman sampai ada yang berjumlah 600 halaman. Semuanya ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan dalam bahasa Melayu.

Sebagian besar peneliti meyakini Hikayat Muhammad Hanafiah berasal dari sumber Arab. Tapi, Filolog tenar asal Belanda, Van Ronkel punya cerita lain. Setelah menyelediki fragmen Cambridge, Ronkel berpendapat bahwa hikayat ini merupakan terjemahan dari bahasa Persia. Alasannya, pujian yang melimpah kepada kedua putra Ali, Hasan, dan Husain, pemakaian gelar pengembara untuk Nabi saw yang dalam bahasa Persia adalah nabi, dan kesesuaian isinya dengan dua naskah versia Persia yang tersimpan di British Museum. L.F. Brakel yang pernah menyunting Hikayat Muhammad Hanafiah untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraannya dari Universitas Leiden mengukuhkan pendapat Van Ronkel dengan beberapa bukti baru.

Pertama, bahwa pembagian bab dalam naskah Melayu sama dengan naskah Persia. Kedua, dalam bahasa Persia, hubungan kekerabatan dalam bahasa Arab pada nama Muhammad bin Hanafiah, dinyatakan oleh apa yang dinamakan ezafat:e ‘yang tidak dinyatakan’ sehingga menjadi Muhammad Hanafiah. Karena mengabaikan ezafat:e tadi, penyalin Melayu telah salah menuliskan nama tersebut, yakni Muhammad Hanafiah bukan Muhammad bin Hanafiah. Ketiga, banyak nama orang yang ditulis dalam bentuk Persia, seperti Ummi Kulsum dan Immi Salamah.

Meskipun demikian, Brakel juga tidak memungkiri kemungkinan hikayat ini merujuk kepada sebuah kitab sejarah dalam bahasa Arab, Maqtal al-Husain, karya Abu Mikhnaf. Karya Abu Mikhnaf ini merupakan catatan paling awal karena sebagian besar sejarahwan Muslim merujuknya ketika menulis tentang pembantaian keluarga Nabi saw tersebut.

Tiap-tiap naskah Hikayat Muhammad Hanafiah berkisah tentang hal yang berbeda meskipun masih berkisar seputar terbunuhnya kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut. Naskah pertama paling banyak mengisahkan tentang gugurnya anak-anak Ali, seperti Hasan dan Husain di Karbala pada masa kekuasaan Yazid. Meskipun jelas, beberapa bagian tampak sudah lapuk dan robek. Isi naskah pertama ini sudah pernah ditransliterasi dan diberi penjelasan oleh seorang peneliti Belanda, Prof. Pijnappel pada 1870. Sayangnya PNRI tidak memiliki hasil penelitian itu.

Naskah kedua mengawali cerita dengan kisah nabi-nabi lama, mistik Nur Muhammad, kisah Fatimah dari Siria, masa muda Nabi Muhammad, pernikahan Nabi saw, hingga zaman Khalifah Ali. Naskah ketiga mengisahkan persahabatan Muhammad bin Hanafiah dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam perang tetapi dengan keajaiban lukanya sembuh. Yazid dapat mengalahkan musuh-musuhnya lalu kemenakannya ditunjuk menjadi raja Damaskus dan kawin dengan cucu Abu Bakar. Akhirnya Muhammad Hanafiah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya seorang diri.

Berbeda dengan naskah-naskah yang lain, naskah keempat Hikayat Muhammad Hanafiah yang dimiliki PNRI memiliki cerita yang sangat berbelit-belit. Selain itu, bahasanya pun sukar dipahami. Naskah kelima merupakan bagian terpanjang, yakni mencapai 600 halaman. Tebalnya naskah ini, salah satunya, disebabkan oleh hurufnya yang sangat besar. Satu hal lagi, selain naskah keenam, yang kelima ini merupakan bagian yang memuat waktu penyalinan dengan lengkap, yaitu 11 Rabi’ul Awwal 1288 H.

Naskah yang keenam yang bertanggal 6 Sya’ban 1281 H ini memuat kisah kematian Yazid pada bab III, tetapi di dalamnya, tidak diceritakan kemenangan Muhammad bin Hanafiah yang banyak dibicarakan dalam naskah-naskah lain. Naskah ketujuh merupakan sebuah eksemplar yang baik meski sebagian rusak. Naskah ini mengisahkan tentang perikehidupan Nabi saw secara panjang lebar.

Naskah kedelapan dimulai dengan uraian tentang kewajiban-kewajiban bagi para pengikut Nabi saw, sementara kelahiran Hasan dan Husain baru terdapat pada halaman 88. Naskah terakhir memuat cerita peperangan antara Ali dengan Muawiyah, pembunuhan Hasan dengan racun dan Husain di padang Karbala oleh Yazid. Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan dari Muhammad bin Hanafiah kepada Yazid. Yazid dapat dikalahkan tetapi Muhammad bin Hanafiah malang juga nasibnya. Ia mati bersama musuh-musuhnya dalam sebuah gua.

Dengan kandungan yang sarat nilai, naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiah jelas sangat berharga untuk diteliti. Tetapi penelitian filologi yang menuntut keahlian interdisiplin tampaknya kurang diminati para peneliti dan mahasiswa kita. Justru peneliti asing yang banyak meneliti-meneliti naskah-naskah tersebut. Ibarat peribahasa “kacang lupa akan kulitnya”, kita kerap memandang sebelah mata terhadap warisan budaya nenek moyang.


Dan Muawiyah pun Menolak Beristri

Dari banyak kisah yang dituturkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiah, peristiwa Karbala, termasuk cerita yang mengawali dan mengikutinya, paling banyak menyita halaman dari hikayat ini.

Bagian kedua ini biasa disebut dengan Hikayat Maqtal Husain. Berikut petikannya yang sengaja ditransliterasi sesuai ragam bahasa aslinya.

Tatkala Husain masih muda, ada malaikat yang kedua sayapnya tertunu, turun ke dunia. Husain menyapu bahu malaikat itu dengan tangannya. Dengan takdir Allah, sayap malaikat itu pun baik lalu ia kembali ke udara. Jibrail berkata bahwa malaikat itu tidak akan turun ke bumi melainkan pada waktu Husain dibunuh oleh segala munafik. Adapun semasa Hasan dan Husain masih kecil itu, Jibrail selalu turun ke dunia bermain-main dengan mereka. Sekali peristiwa, sehari sebelum hari raya, Jibrail membawa pakaian untuk Hasan dan Husain. Hasan memilih pakaian hijau dan diramalkan akan mati kena racun; Husain memilih pakaian merah dan diramalkan mati terbunuh di Padang Karbala. Muawiyah mendengar bahwa dari keturunannya akan lahir pembunuh cucu Muhammad dan bersumpah tidak mau beristeri. Pada suatu malam, ia pergi buang air dan beristinjak dengan batu. Zakarnya disengat oleh kala. Ia tidak terderita sakitnya. Menurut tabib, sakitnya hanya akan hilang jika ia berkawin. Maka berkawinlah ia dengan seorang perempuan tua yang tidak boleh beranak lagi. Dengan takdir Allah, perempuan tua itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Yazid.

Setelah Ali wafat, Muawiyah menjadi raja. Sekali peristiwa, Muawiyah mengirim seorang utusan pergi meminang Zainab, anak Jafar Taiyar untuk menjadi isteri anaknya, yaitu Yazid. Zainab menolak pinangan Yazid, tetapi menerima pinangan Amir Hasan. Karena itu Yazid pun berdendam dalam hatinya, hendak membunuh Amir Hasan dan Amir Husain, bila ia naik kerajaan. Sekali peristiwa, Yazid ingin berkawin dengan isteri Abdullah Zubair yang sangat baik parasnya. Muawiyah berja menipu Abdullah Zubair menceraikan isterinya. Isteri Abdullah Zubair tiada mau menjadi isteri Yazid. Sebaiknya, isteri Abdullah Zubair itu berkawin dengan Amir Husain. Yazid makin berdendam dalam hatinya, “Jika aku kerajaan, yang Hasan dan Husain itu kubunuh juga, maka puas hatiku.”

Maka berapa lamanya, Muawiyah pun matilah dan kerajaan pun jatuh ke tangan Yazid. Mulailah Yazid melaksanakan niatnya untuk membunuh Amir Hasan dan Amir Husain. Ia berhasil memujuk seorang hulubalang di Madinah (menurut suatu cerita, salah seorang isteri Hasan sendiri) meracuni Hasan. Setelah Hasan wafat, pikirannya tidak lain daripada membunuh Husain saja. Ia mengirim surat kepada Utbah, seorang hulubalang di Madinah, dan memintanya membunuh Husain dengan menjanjikan harta dan anugerah. Seorang hulubalang yang bernama Umar Saad Malsum juga dikirim untuk membunuh Utbah. Biarpun begitu, Utbah masih tidak berani membunuh Husain. Katanya jika Husain ada di dalam Madinah, mereka tidak dapat mengalahkannya. Karena itu mereka meminta raja Kufah, Ubaidullah Ziyad namanya, supaya menipu Husain ke Kufah. Husain menerima jemputan raja Kufah untuk pergi ke Kufah. Ummi Salamah mengingatkan Husain tentang bahaya yang mengancamnya. Pada malam itu Husain juga bermimpi berjumpa dengan segala nabi dan malaikat. Nabi Muhammad memberitahu bahwa surga sudah berhias menantikan ketibaannya. Sungguhpun begitu, Husain berangkat juga ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya yang tidak banyak itu.

Hatta berapa lamanya sampailah mereka ke suatu tempat. Unta dan kuda Husain merebahkan dirinya, tiada mau berjalan lagi. Mereka lalu mendirikan kemah di situ. Adapun segala kayu yang mereka tetak, berdarah balak. Baharulah mereka ketahui bahwa tempat itu ialah Padang Karbala, tempat kematian Husain yang diramalkan Nabi Muhammad dahulu. Hatta mereka pun kekurangan air, karena air sungai sudah ditebat oleh tentera Yazid. Air yang di dalam kendi kulit juga sudah terbuang, karena digorek tikus. Apa boleh buat. Terpaksalah mereka menahan dahaga yang sangat. Maka mulai peperangan itu. Pengikut Husain, satu demi satu syahid. Akhirnya anaknya sendiri, Kasim dan Ali Akbar, juga mati. Barulah ketika itu Husain teringat meminta bantuan kepada saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang menjadi raja Buniara. Sesudah itu ia pun terjun ke dalam medan perang. Banyak musuh dibunuhnya. Sekali peristiwa, ia berjaya menghampiri sungai. Biarpun begitu, ia tidak meminum air itu, karena teringat kepada sahabat taulannya yang mati syahid disebabkan dahaga itu. Maka Husain pun lemahlah lalu gugur ke bumi. Betapa pun demikian, tiada seorang pun berani menghampirinya. Akhirnya Samir Laain yang susunya seperti susu anjing lagi hitam itulah yang maju ke depan dan memenggal leher Husain. Adapun Husain syahid itu pada sepuluh hari bulan Muharam, harinya pun hari Jumaat. Tatkala Husain syahid itu, arasy dan kursi gempar, bulan dan matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya alam pun kelam kabut.

Setelah Husain syahid, maka segala isi rumah Rasul Allah terampaslah oleh tentera Yazid. Akan tetapi, seorang pun tiada berani menghampiri Ummi Salamah. Seorang lasykar yang merampas anak perempuan Ummi Salamah, dengan kudrat Allah, matanya menjadi buta. Yazid berjanji akan memberi diat kematian Husain, jika Ummi Salamah rela dengan dia. Ummi Salamah menolak. Yazid sangat marah. Apabila Fatimah, anak perempuan Ummi Salamah, meminta air minum, yang diberikannya ialah kepala Husain yang diceraikan dari badannya.

*Jurnalis

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Atheis Tidak Suci


Abu Syakir Daishani salah seorang yang mengingkari Tuhan dan agama.

Suatu hari dia bertemu dengan Hisyam bin Hakam salah seorang ilmuwan dan murid hebat Imam Shadiq as dan berkata, “Di dalam al-Quran ada sebuah ayat yang mengatakan, “Dia adalah Tuhan yang berada di langitnya Allah dan Buminya Allah. Yakni ada dua Tuhan?”

Hisyam mengatakan, “Saya tidak bisa menjawabnya. Ketika saya pergi haji saya datang menemui Imam Shadiq as dan saya sampaikan kepada beliau pertanyaan ini.”

Imam Shadiq as berkata, “Ucapan ini dari materi yang tidak suci. Ketika engkau balik, katakan kepadanya, “Siapa namamu di Kufah? Dia menjawab, “Abu Syakir.”

Katakan kepadanya, “Siapa namamu di Basra?” Dia menjawab, “Abu Syakir.”

Tuhan kami juga demikian. Di langit ada Allah. Di bumi juga ada Allah. Di laut juga ada Allah. Di padang sahara juga ada Allah dan di mana saja ada Allah.”

Hisyam mengatakan, “Ketika aku balik, aku menemui Abu Syakir dan menyampaikannya jawaban pertanyaannya.”

Dia berkata kepada saya, “Engkau membawa jawaban ini dari Hijaz?”


Mencium Tongkat

Suatu hari Abu Hanifah pemimpin mazhab Hanafi datang menemui Imam Shadiq as. Ketika pamitan Imam Shadiq as sedang bersandar pada sebuah tongkat.

Abu Hanifah bertanya, “Mengapa Anda memakai tongkat? Padahal usia Anda saat ini belum mencapai ukuran harus bersandar pada tongkat.”

Imam shadiq as berkata, “Iya. Karena tongkat ini adalah tongkatnya Rasulullah Saw, aku ingin tongkat ini ada di tanganku.”

Mendengar itu Abu Hanifah maju untuk mencium tongkat tersebut. Imam Shadiq as menjulurkan tangannya dan berkata, “Demi Allah! Engkau tahu bahwa tangan ini adalah tangannya Rasulullah Saw, tapi engkau tidak menciumnya bahkan mencium tongkatnya?”

Dengan demikian, beliau memahamkan kepada Abu Hanifah bahwa kecintaan hakiki bukan dengan ciuman.

Kemudian Imam Shadiq as berkata, “Kecintaan hakiki adalah menerima kepemimpinan imam yang benar dan imam yang benar itu adalah aku. Engkau tidak menerimaku. Tapi mencium tongkat Rasulullah. Ciuman seperti ini tidak berfaedah.”


Malaikat Maut

Hisyam bin Hakam mengatakan, “Imam Shadiq as menceritakan kepada saya bahwa Izrail mendatangi Musa as. Musa bertanya kepadanya, “Siapakah engkau?” dia menjawab, “Aku adalah malaikat maut.”

Musa berkata, “Apa keperluanmu kepadaku?”

Dia berkata, “Aku datang untuk mencabut ruhmu.”

Musa berkata, “Engkau akan mencabut ruhku dari bagian tubuhku yang mana?”

Izrail berkata, “Dari arah mulutmu.”

Musa berkata, “Mengapa? Padahal dengan lisan dan mulut ini aku berbicara dengan Allah.”

Izrail berkata, “Dari arah tanganmu.”

Musa berkata, “Mengapa? Padahal dengan tanganku ini aku membawa kitab suci Taurat.”

Izrail berkata, “Dari arah kakimu.”

Musa berkata, “Mengapa? Padahal dengan kakiku ini aku pergi ke bukit Thursina untuk bermunajat kepada Allah.”

Percakapan Musa dan Izrail berlanjut, sampai akhirnya Izrail berkata, “Aku mendapatkan perintah untuk membiarkan engkau sampai ketika engkau sendiri yang meminta kematian, maka aku akan mendatangimu.”

Mulai dari saat itu Musa hidup beberapa lama sampai ketika dia berjalan di padang sahara melihat seorang lelaki sedang menggali kuburan. Musa berkata kepadanya, “Maukah aku bantu engkau dalam menggali kuburan ini? Lelaki tersebut berkata, “Iya.” Musa membantunya sampai kuburan itu siap sepenuhnya. Pada saat itu lelaki tersebut ingin tidur di dalam liang kuburan itu untuk melihat bagaimana yang namanya kuburan.

Musa berkata, “Aku yang masuk sehingga engkau bisa melihat bagaimana kuburan itu.”

Musa as masuk ke dalam kuburan dan tidur di dalamnya. Seketika itu juga dia melihat posisinya di surga. Dia berkata, “Ya Allah! Panggillah aku ke sisi-Mu!”

Secepatnya Izrail mencabut ruhnya Musa dan kuburan itu menjadi kuburan Musa as dan yang menggali kuburan itu sendiri adalah Izrail yang berupa manusia. Oleh karena itu kuburan Musa as tidak diketahui di mana keberadaannya.”


Jawaban Telak Kepada Orang yang Mengingkari Allah

Ibnu Abil’auja’ adalah seorang atheis terkenal di zamannya Imam Shadiq as yang mengingkari Allah dan segala agama. Semaksimal mungkin dia melakukan perlawanan akidah terhadap Islam.

Suatu hari dia berkata kepada Imam Shadiq as, “Bagaimana pendapat Anda tentang ayat al-Quran yang mengatakan, “Setiap kali kulit para penghuni neraka matang, maka Kami akan menggantinya dengan kulit yang lainnya.” Pertanyaanku adalah, apa dosanya kulit yang lain sehingga harus terbakar?”

Imam Shadiq as berkata, “Ajab! Kulit ini adalah kulit yang pertama itu sendiri dan pada saat yang sama lain darinya.”

Abil’auja’ berkata, “Bisakah Anda menjelaskannya lebih gamblang?”

Imam Shadiq as berkata, “Apakah engkau pernah melihat seseorang mencetak batu bata dan menghancurkannya kemudian membasahinya dan mengadoninya kemudian mencetaknya lagi seperti semula? Apakah batu bata ini bukan batu bata yang pertema dan pada saat yang sama adalah lain darinya?!

Ibnu Abil’auja’ merasa puas dengan jawaban ini dan memuji ucapan Imam Shadiq as. (Emi Nur Hayati)

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ja’far Shadiq as

(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: