Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS TOKOH. Show all posts
Showing posts with label ABNS TOKOH. Show all posts

Biografi H. Moch. Marsinggih MD Yang Biasa Disebut PADE Marsinggih


Pria yang lahir di Tegal, 7 Juli 1943 ini, enggan disebut teoritisi. Ia justru lebih senang menyebut dirinya praktisi. Tentu bukan tanpa alasan ia menyebut dirinya demikian.

Meski secara akademik hanya berstatus jebolan Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang, Pade Marsinggih memiliki setumpuk pengalaman di dunia organisasi, dan terutama politik praktis, ruang yang pernah melambungkan namanya.

Ia mengasah kemampuan berpolitiknya di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Memulai karir politiknya sebagai pimpinan Komisi di DPRD Tingkat II (1971-1977), lalu meningkat DPRD Tingkat I Provinsi Jawa Tengah (1977-1982), dan akhirnya melenggang ke senayan sebagai anggota DPR RI (1992-1997).

Selama kiprahnya, ia seolah ditakdirkan menjadi pelopor. Pade Marsinggih adalah penginterupsi pertama di sejarah legislatif Indonesia, yakni saat menjadi wakil rakyat di DPRD Jateng.

Dia pun termasuk dalam jajaran pendiri PDI (1973), juga pendiri Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Asosialiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan ikut mendirikan sejumlah LSM di Jakarta.

Akbar Tandjung pernah menjulukinya sebagai pemikir yang orisinil. Kini, setelah usianya tak lagi muda, ketika ia memilih kembali ke kota asalnya, Slawi Jl Ketilang No 11 A , ia pun masih tak hentinya menjadi pelopor, yakni dengan mendirikan Simphoni Kebangsaan yang prihatin sekaligus peduli terhadap dinamika keIndonesiaa.

Di dalamnya berkumpul anak-anak gerakan lintas organisasi. Dan di sinilah Pade Marsinggih menebarkan virus kepedulian dan komitmen kebangsaan, di tengah kian merapuhnya rasa nasionalisme.


Sumber FB:  Bung Cuong, Staf ahli di DPRD Kabupaten Tegal

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syair Sa’di Shirazi Tentang Kesederhanaan dan Kematian


Abu Muhammad Mushrifuddin Muslih bin Abdullah bin Mushrifi Shirazi, yang juga mengacu kepada nama Sheikh Sa’di atau Sa’di Shirazi (Sa’di dari Shiraz), atau lebih dikenal dengan nama pena Sa’di (Saadi) adalah seorang penyair, penulis prosa, dan pemikir Persia. Dia dilahirkan di Shiraz antara tahun 1184-1210 dan meninggal antara tahun 1291 atau 1292.

Sa’di dikenal dunia melalui dua karya besarnya yang berjudul Bustan (Kebun Buah) tahun 1257 dan Gulistan (Taman Mawar) tahun 1258. Meskipun Sa’di dikenal sebagai seorang penyair, dia juga dipertimbangkan sebagai seorang Sufi. Oleh karena itu, N. Hanif, dalam bukunya yang berjudul Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East, memasukan nama Sa’di sebagai salah seorang Sufi.

Sa’di terbiasa duduk bersama rakyat jelata di kedai-kedai terpencil sampai dengan larut malam dan bertukar pandangan dengan pedagang, petani, pengkhotbah, musafir, pencuri, dan Sufi pengemis. Selama dua puluh tahun atau lebih, dia terus konsisten melanjutkan kegiatannya dalam berdakwah, menasihati, belajar, mengasah kemampuan khotbahnya, dan memolesnya menjadi permata kebijaksanaan yang menerangi kegelapan pada rakyat banyak.

Di antara seluruh karya Sa’di, terdapat sebuah syair yang membicarakan tentang kehidupan sederhana dan kaitannya dengan kematian:

“Aku memperhatikan putra seorang lelaki kaya, duduk di kuburan ayahnya dan berselisih dengan seorang putra Darwish, mengatakan, ‘Properti makam ayahku terbuat dari batu, dan batu nisannya elegan. Trotoarnya terbuat dari marmer, dilapisi dengan batu-batu seperti pirus. Tapi apa yang menyerupai makam ayahmu? Hanya terdiri dari dua batu bata berderet dengan dua genggam lumpur yang dilemparkan di atasnya.’ Anak dari Darwish mendengarkan itu semua dan kemudian berkata, ‘Pada saat ayahmu dapat melepaskan batu-batu berat yang membebani dirinya, milikku (ayahnya) telah mencapai surga.’

“Tubuh dengan beban ringan,

Tidak diragukan dapat berjalan dengan mudah.

Seorang Darwish yang hanya membawa kemiskinan,

Juga akan tiba dengan beban ringan di gerbang kematian,

Sedangkan dia yang hidup dalam kebahagiaan, kekayaan, dan kemudahan

Tidak diragukan lagi semua pertanggungjawabannya akan berat.

Dari semua peristiwa, seorang tahanan yang telah bebas dari semua ikatannya,

Harusnya lebih berbahagia ketimbang seorang Amir yang menjadi tahanan.”

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Khomeini, Sang Sufi Yang Revolusioner


(Sosok Teladan Bagi Para Politisi Islam)

Ia adalah manifes yang merupakan spektrum peran,

mulai dari stois Platonis, filosof Aristotelian, mistis yang menenggak ‘arak fana’

dari cawan para wali suci bersama al-Andalusi dan Busthami,

politikus yang tidak sibuk menerjemahkan teori para akademikus Barat

dan bangga menggemborkan trias-politika,

namun ia mempersembahkan sebuah sistem negara

yang hingga kini menjadi David di hadapan Goliath dunia,

dan pemikir yang tidak hanya melahirkan karya tulis

tapi membiakkan ribuan karya hidup

mulai dari politikus sekaliber Beheshti,

intelektual kawakan sespektakuler Muthahhari

sampai fisikawan sepandai Mostafa Chamran

dan kader militan sesederhana Mahmoud Ahmadinejad.

Pada tanggal 3 Juni, 20 tahun silam, saat perlahan-lahan umat Islam mulai bangkit, ketika ia memberikan seteguk air harapan kepada umat yang berkuasa, ketika kehadirannya masih dibutuhkan, ia dipanggil Allah SWT. Itulah Ayatullah Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini, yang semasa hidupnya diisi dengan perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam. Seorang ulama yang telah memimpin revolusi Islam di Iran, namun pengaruhnya telah melewati batas negaranya. Dalam perjuangannya, Imam Khomeini telah mengembalikan keyakinan dunia bahwa Islam merupakan agama paling sempurna yang menawarkan kebahagiaan hidup manusia. Bisa dikatakan bahwa salah satu tujuan Imam Khomeini dalam membentuk pemerintahan Islam di Iran adalah dalam rangka membuktikan bahwa Islam dapat berperan secara efektif dalam berbagai bidang kehidupan.

Amien Rais dalam Dinamika Revolusi Islam Iran mengatakan bahwa sumbangan positif revolusi Iran bagi dunia Islam adalah keberhasilannya dalam mengembalikan rasa percaya diri negara-negara Muslim di seantero dunia. Sekalipun pada umumnya negara-negara sudah memperoleh kemerdekaan politik pada masa pasca Perang Dunia II, akan tetapi dalam kenyataan mereka masih belum dapat membebaskan diri dari penjara psikologis imperialisme Barat atau Timur. Cukup banyak Negara Muslim yang seperti yatim piatu dan merasa aman hanya bila bergantung pada kekuatan Barat atau Timur. Itulah sebabnya Robin Woodsworth Carlsen ilmuwan dan filosof Kanada, pernah pula berkata bahwa “Imam Khomeini dan Rakyat Iran telah melakukan sebuah tindakan bersejarah yang agung. Menurut pendapat saya, sebagai seorang Barat dan non-Muslim, saya percaya inilah sebuah mukjizat bahwa revolusi Ilahiah di dunia sekarang ini terjadi dalam cara seperti itu.”

Di sinilah Republik Islam Iran sebagai produk Revolusi Islam, menjadi sebuah model yang sama sekali baru di dunia politik modern. Republik Islam Iran merupakan Negara pertama yang memadukan lembaga-lembaga politik modern (seperti presiden dan perlemen) dengan Wilayah al-Faqih(Pemerintahan para Fuqaha). Wilayah al-faqih bisa dianggap sebagai karya luar biasa Imam Khomeini yang telah berhasil ditransformasikannya menjadi konsep dan sistem politik Islam. Ia meyakini secara mendalam tentang keterkaitan erat antara agama dan politik, yang menjadi salah satu landasan utama bagi keteguhannya dalam mengembangkan konsep “Pemerintahan Islam yang dipimpin para ulama.”

Keberhasilan revolusi Islam Iran tentu tidak bisa dilepaskan dengan keberhasilan yang dilakukan oleh Imam Khomeini dalam memimpin perubahan yang mencengangkan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi Islam Iran telah menjadi inspirasi bagi pejuang-pejuang Islam dan para tokoh revolusioner setelahnya, kecuali bagi orang-orang yang tidak sanggup melihat kenyataan. Norman Mailer seorang penulis berkata,”Khomeini telah menawarkan kepada kita kesempatan untuk membangunkan agama kita yang lemah, keyakinan dalam kekuatan kata-kata.” Demikian juga yang diucapkan salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka dunia Hamid Maulana bahwa“Di dunia Barat, pasca abad renaissance, dan di dunia Islam, pasca zaman-zaman keemasannya dulu, tidak pernah bisa ditemukan seorang tokoh penggerak revolusi seperti Imam Khomeini. Pemikiran dan gerakannya berpengaruh secara signifikan di seluruh dunia. Tidak ada kekuatan apapun yang ditakutinya. Lewat gaya hidupnya yang sederhana dan komitmennya yang kuat terhadap ajaran Islam, Imam Khomeini telah mengubah peta kekuatan politik di dunia.”


Sosok Teladan bagi Para Politisi Islam

Hamid Algar dalam Imam Khomeini Sang Sufi mengatakan,“Pada usia yang masih cukup muda, Khomeini telah mengembangkan suatu visi tentang Islam yang berbeda, yang meliputi dimensi spiritual, intelektual, sosial dan politiknya, yang telah dipegangnya dengan teguh selama lebih dari setengah abad. Sesungguhnya salah satu ciri sifatnya yang paling nyata adalah tingkat konsistensinya yang tinggi dan tak banyak dimiliki orang.” Karena itu, bagi Ayatullah Khomeini seorang arif tak akan benar-benar mencapai maqamspiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan puncak yang telah diraihnya dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya.

Dalam konteks perpolitikan di Indonesia, sosok seperti beliau nampaknya memang sangat kita butuhkan walaupun menjadi sesuatu yang sulit untuk kita temukan, termasuk dari para politisi yang mewakili parpol Islam dan mengatasnamakan berjuang untuk umat Islam. Hal ini disebabkan, karena perpolitikan kita memang tidak mengalami perubahan yang berarti meskipun angin reformasi telah berhembus kurang lebih 10 tahun lamanya. Sikap pragmatis dalam mengejar kekuasaan sudah menjadi hal yang lumrah dilakoni oleh partai politik dan politisinya. Maka tidak mengherankan, kalau praktek politik dagang sapi, politik uang dan segala bentuk penyelewengan, menjadi tontonan sehari-hari dalam kehidupan berpolitik di tanah air. Kondisi seperti ini akan terus berlangsung manakala kita tidak merubah paradigma perpolitikan kita. Paradigma kita dalam berpolitik harus digeser dari politik untuk kekuasaan semata menuju politik yang berlandaskan pada nilai-nilai. Misi perpolitikan seperti inilah yang berhasil diwujudkan oleh Imam Khomeini di negaranya Iran. Karena itu tidak ada salahnya untuk meneladani sosok kepribadian beliau bagi para politisi, khususnya politisi Islam yang sering berteriak tentang nilai-nilai luhur seperti kebenaran, kejujuran, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya, tetapi tidak pernah konsisten dalam memperjuangkannya, sehingga hanya tersisa menjadi sebatas jargon dan slogan semata.

Di Iran, karena perpolitikannya dilandaskan pada nilai-nilai, maka dengan sendirinya terbentuk sistem politik yang memberikan ruang bagi orang-orang yang tercerahkan dan berpegang pada nilai-nilai tersebut. Sebaliknya di Indonesia, yang menjalankan sistem politik dengan orientasi kekuasaan pragmatis, maka yang difasilitasi hanyalah politisi-politisi busuk, yang gila kekuasaan dan kedudukan, yang menghalalkan segala cara. Coba kita bandingkan bagaimana sikap Imam Khomeini! Setelah Republik Islam berdiri, alih-alih memikirkan kekuasaan dan kedudukan baginya, malahan fokus Imam Khomeini tertuju kepada perjuangan rakyat Palestina dan rakyat dunia lainnya yang menderita. Bagi beliau, pendirian Republik Islam memang ditujukan untuk membebaskan penderitaan kaum tertindas. Ia menganggap, kerusakan di dunia disebabkan oleh sistem sosialisme dan kapitalisme yang dimotori oleh negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat dan Inggris yang memang memiliki sejarah penindasan bagi rakyat Iran.

Ayatullah Khomeini, bagi banyak orang Barat, adalah nama yang lekat dengan fundamentalisme, ekstrimisme dan otoritarianisme. Kenyataannya, berbeda dari yang sering dipahami banyak orang. Imam Khomeini, seperti diuraikan dalam buku Wasiat Sufi-nya justru sarat dengan unsur-unsur human interest, seperti keterbukaan, kasih sayang, kepedulian dan bahkan modernitas. Semuanya mengisyaratkan satu hal bahwa, jauh sebelum dikenal sebagaimulla-faqih dan pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini, tak diragukan lagi, adalah seorang sufi. Tasawuf Imam Khomeini, tidaklah berpandangan untuk menolak dunia ini, tetapi menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaan.

Imam Khomeini juga termasuk ulama yang memandang penting persatuan Sunni-Syiah/Persatuan Islam. Beliau berpesan bahwa, “Sesungguhnya menanam perpecahan antara sesama mazhab Islam hanya akan merobek-robek mereka sendiri sampai mereka tidak mampu lagi berbuat untuk kepentingan Islam dan Muslimin. Para antek negara-negara besar tidak menginginkan terealisirnya persatuan antara Syiah dan Sunnah.” Karena itu bila ada kelompok yang selalu mempropangandakan permusuhan dan perpecahan dalam tubuh umat Islam, maka ia adalah bagian dari antek-antek Barat dan Zionisme internasional.

Beliau juga adalah figur sejati pecinta Rasulullah SAW dan Ahli Baitnya. Sayyid Ahmad Khomeini putranya pernah menuturkan kisah bahwa pada suatu hari Imam bolak-balik di kamarnya seperti sedang dilanda kerisauan hati. Ketika Sayyid Ahmad bertanya, apa yang dirisaukannya, Imam Khomeini berkata,“Seandainya aku masih muda, demi kecintaanku kepada Rasulullah SAW, aku akan pergi mencari Salman Rusdhie dan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Inilah yang dirisaukan Imam Khomeini pada hari-hari terakhir hayatnya. Ia telah menetapkan hukuman mati bagi Salman Rusdhie, tetapi ia merasa ia sendirilah yang harus mendapat kehormatan membunuh orang yang menghina Rasulullah SAW. Demikianlah sosok Imam Khomeini, ia besar bukan karena membentuk kelompok radikal yang hanya muncul sesaat lalu dilibas daur waktu. Ia dikenal bukan karena dibesarkan oleh media massa atau rekayasa, tapi besar karena ia hanya tahu ‘Yang Mahabesar’.

Tulisan ini saya akhiri dengan cuplikan Munajat Sya’baniyah yang sering dikutip oleh Ayatullah Khomeini dalam berbagai kesempatan di sepanjang masa hidupnya :

“Ilahi, anugerahilah daku kepasrahan total kepada-Mu,

dan sinarilah mata-mata hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu,

hingga mata-mata hati itu menyibak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu

dan mencapai sumber keagungan-Mu,

dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang kesucian-Mu.

Ilahi, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka,

dan yang ketika Kau menatap mereka, mereka pingsan (akibat terpana) oleh kedahsyatan-Mu.”

(Syiah-Ali/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Allameh Thabarsi


Ia lahir pada tahun 469 H. Ayahnya, Hasan bin Fadhl Thabarsi memberinya nama Fadhl. Fadhl bin Hasan bin Fadhl Thabarsi melalui masa kanak-kanak dan masa sekolah di sisi Imam Ali bin Musa Ridha as di kota suci Masyhad.

Setelah menguasai baca tulis dan membaca al-Quran, Fadhl mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu pengetahuan Islam di bawah asuhan para ulama besar. Ia sangat berusaha keras untuk mempelajari sastra Arab, tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Akhirnya, ia pun menjadi ahli dalam setiap bidang ilmu pengetahuan Islam ini. Sekalipun kala itu beberapa bidang ilmu pengetahuan seperti matematika dan aljabar sangat jarang diminati, tetapi ia berusaha untuk mempelajari seluruh bidang ini dan menguasainya.

Banyak guru yang telah membimbing Fadhl bin Hasan Thabarsi dalam bidang pengetahuan dan sipiritual. Mereka antara lain adalah Abu Ali Thusi putra Syaikh Thusi, Ja’far bin Muhammad Darvisti, Abduljabbar Muqirri Naisyaburi, Imam Muwaffaquddin Husain Waʻizh Bekrabadi Jurjani, Sayid Muhammad Qashbi Jurjani, Abdullah Qusyairi, Abul Hasan Ubaidillah Muhammad Baihaqi, Sayid Mahdi Husaini Qa’ini, Syamsul Islam Hasan bin Babawaeh Qomi Razi, Muwaffaq Arif Nouqani, dan Tajul Qurra’ Kermani.


Hijrah Penuh Berkah

Aminul Islam Thabarsi berdomisili di kota Masyhad sekitar selama 54 tahun. Tetapi, lantaran undangan para ulama kota Sabzavar, dan menilik banyak lahan untuk mengajar, menulis buku, dan memasyarakatkan agama, ia pindah ke kota ini pada tahun 523 H. Para keturunan Rasulullah saw dari kabilah Al Zebareh yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syaikh Thabarsi menjadi tuan rumah baginya dan banyak memberikan bantuan yang diperlukan.

Langkah pertama Syaikh Thabarsi adalah menerima penobatan sebagai penanggung jawab madrasah Farvazeh-ye Iraq. Lantaran usaha kerasnya, madrasah ini menjadi sebuah hauzah ilmiah besar. Kekayaan budaya dan ilmu hauzah ini menyebabkan banyak orang tertarik untuk menimba ilmu agama dan datang dari daerah-daerah terpencil di seluruh Iran. Para pelajar muda pun banyak menimba ilmu fiqih dan tafsir dari Aminul Islam Thabarsi.

Murid-murid Syaikh Thabarsi yang telah berhasil menjadi kutub ilmu pengetahuan adalah Radhiyuddin Hasan Thabarsi putra Syaikh Thabarsi, Quthbuddin Rawandi, Muhammad bin Ali bin Syahrasyub, Dhiya’uddin Fadhlullah Hasani Rawandi, Syaikh Muntakhabuddin Qomi, Syadzan bin Jabril Qomi, Abdullah bin Ja’far Darvisti, Sayid Syaraf Syah Husaini Afthasi Nisyaburi, dan Burhanuddin Qazwini Hamadani.


Karya Tulis

Dalam usia yang relatif pendek, Aminul Islam Thabarsi memiliki banyak karya tulis yang bisa dimanfaatkan oleh setiap orang yang menginginkan informasi tentang ilmu pengetahuan Islam. Di antara karya-karya tulisnya adalah al-Adab al-Diniyah li al-Khazanah al-Mu’iniyah, Asraz al-Imamah, I’lam al-Wara bin A’lam al-Huda, Taj al-Mawalid, Jawami’ al-Jami’, al-Jawahir, Haqa’iq al-Umur, ‘Uddat al-Safar wa ‘Umdat al-Hadhar, al-‘Umdah fi Ushul al-Din wa al-Fara’idh wa al-Nawafil, Majma’ al-Bayan, Misykat al-Anwar fi al-Akhbar, Ma’arij al-Su’al, dan lain-lain.


Imam Mufasirin

Semangat untuk berkhidmat kepada al-Quran telah terbentuk dalam benak Aminul Islam Thabarsi dari sejak ia masih muda. Seluruh kehidupannya berbaur dengan kitab Ilahi ini. Menghidupkan pengetahuan mukjizat yang tak tertandingi ini dan menulis tafsir adalah salah satu cita-cita utama Thabarsi. Dan Allah pun memberikan kesempatan dan taufik kepadanya untuk mewujudkan cita-citanya ini. setelah berusia lebih dari 60 tahun dan seluruh rambutnya telah memutih, ia berhasil menulis tiga buah tafsir dengan metode yang berbeda-beda. Hingga masa kini, pandangan-pandangan tafsir Syaikh Thabarsi masih dimanfaatkan oleh para penyelam lautan tafsir al-Quran.

Pada suatu hari, Syaikh Thabarsi terkena serangan jantung dan seluruh keluarga yakin bahwa ia telah meninggal dunia dan lantas menguburkannya. Setelah berlalu beberapa masa, ia sadarkan diri dan tahu berada di dalam kubur. Ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari dalam kubur itu. Ketika itu, ia bernazar apabila Allah menyelamatkannya dari kubur itu, maka ia akan menulis sebuah buku tafsir al-Quran.

Pada malam itu, seorang pencuri kafan menggali kubur Syaikh Thabarsi untuk mencuri kafannya. Setelah kubur terbuka, ia mulai membuka kafan Syiakh Thabarsi. Pada saat itu seketika Syaikh Thabarsi memegang tangan pencuri kafan. Sekujur tubuh pencuri kafan pun gemetar lantaran takut. Syaikh Thabarsi berbicara dengannya. Tetapi rasa takut pencuri kafan itu malah bertambah parah. Dengan tujuan menenangkan pencuri kafan, Syaikh Thabarsi menceritakan peristiwa yang telah terjadi dan setelah itu ia berdiri. Pencuri kafan pun menjadi tenang. Dengan permintaan Syaikh Thabarsi yang saat itu tidak bisa bergerak, pencuri kafan mengantarkannya sampai di rumah dengan memanggulnya.

Sebagai rasa terima kasih kepada pencuri kafan itu, Syaikh Thabarsi memberikan kafan dan banyak uang kepadanya. Melihat peristiwa yang ada, pencuri kafan pun bertobat. Setelah peristiwa ini, Syaikh Thabarsi memenuhi nazarnya dan menulis kitab tafsir Majma’ al-Bayan.

Syaikh Thabarsi menulis buku tafsir ini dalam waktu 7 tahun dan dengan cara menyadur buku tafsir al-Tibyan karya Syaikh Thusi.

Setelah 89 tahun menjalani kehidupan duniawi ini, akhirnya Syaikh Thabarsi meninggal dunia pada 9 Dzulhijjah 549 H pada malam hari raya Idul Adha di kota Sabzavar. Jenazah Aminul Islam dipindahkan dari kota ini ke kota Masyhad dan akhirnya dikuburkan di dekat makam suci Imam Ridha as di sebuah tempat bernama Qatlgah.

(Hajij/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ayatullah Sistani Mengumumkan Esok Hari Pertama Bulan Safar


Kantor Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Sistani, Marja Agung Syiah di Irak mengumumkan Minggu (22/10) sebagai hari pertama bulan Safar.

Menurut laporan IQNA dilansir dari situs Nun Irak, kantor Ayatullah al-Udzma Sistani, Marja Agung Religi Syiah di Irak dengan mengeluarkan sebuah statemen mengumumkan, Sabtu (21/10) adalah hari terakhir bulan Muharram dan Minggu adalah hari pertama bulan Safar.

Dengan melihat bahwa kantor Ayatullah al-Udzma Sistani mengumumkan Minggu sebagai hari pertama bulan Safar, dengan demikian Arbain tahun ini di Irak sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, akan lebih lambat satu hari dari Iran.

Arbain Abu Abdillah al-Husain (as) di Iran jatuh pada hari Kamis (9/11) dan di Irak jatuh pada hari Jumat (10/11).

Berdasarkan fatwa Ayatullah Sayid Ali Khamenei, rukyatul hilal dengan teleskop juga dapat diterima, namun sebagian faqih seperti Ayatullah Sistani tidak meyakini rukyatul hilal dengan alat bantu seperti teleskop; karenanya diumumkan Minggu sebagai hari pertama bulan Safar.

(NUN/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Amtsal


Kitab Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah Al-Munzal merupakan kitab tafsir hasil terjemahan bahasa Arab dan suntingan ulang dalam 20 jilid oleh tim yang terdiri dari para ahli dan peneliti Al-Quran dari kitab tafsir berbahasa Persia, Tafsir-e Nemuneh, karya ulama besar kontemporer, Ayatullah Udzma Makarim Syirazi.

Ayatullah Udzma Makarim Syirazi mempunyai nama lengkap Nashir Makarim Syirazi, lahir pada tahun 1345 H di kota Syiraz, Iran. Ia merupakan salah satu marja agung di kalangan umat Syiah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Dalam kematangan keilmuannya ia berada dalam bimbingan guru-guru ternama seperti: Ayatullah Buruzerdi, Ayatullah Seyyed Abdul Hadi Syirazi, Ayatullah Seyyed Abul Qasim Khu’i dan ulama besar lainnya. Ia juga merupakan tokoh pilar dalam berlangsungnya sistem pemerintahan Islam berbasis Wilayat Al-Faqih (Kekuasaan Faqih) sebagai anggota Dewan Pakar Kepemimpinan (Majles-e Khubregan-e Rahbari) yang menentukan kelayakan dan kepatutan seorang wali faqih.

Dalam tafsir ini, Ayatullah Makarim Syirazi menyuguhkannya dengan gaya baru penulisan tafsir dan memuat data-data serta referensi-referensi yang mendukung corak penafsirannya. Tafsir ini mencakup seluruh isi 30 juz Al-Quran, karakteristik penafsirannya sesuai dengan tantangan masyarakat modern dan menjawab isu-isu serta kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Pembahasan-pembahasan klasik kesusastraan yang monoton tidak ditampilkan dalam tafsir ini, dan penulisnya memilih untuk mengetengahkan hal-hal yang lebih penting, yaitu pada aspek hidayah atau petunjuk dan pelajarannya.

Tafsir yang populer disebut dengan Al-Amtsal ini merupakan karya anyar di antara tafsir-tafsir kontemporer lain seperti: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Allamah Thabathaba’i, yang dapat mengisi ruang relatif kosong tafsir Syiah berbahasa Arab untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan umat yang lebih luas tentang Islam dari khazanah Ahlul Bait a.s.

Latar belakang Penulisan Sebagaimana termuat dalam pendahuluan kitab, Ayatullah Makrim Syirazi menyampaikan tujuan dari penulisan tafsir ini bahwa setiap jaman memiliki karakteristik, kepentingan dan tuntutan yang muncul dari adanya perubahan situasi dan kondisi masa dengan munculnya masalah-masalah baru dan pengetahuan-pengatahuan yang up to date di tengah kehidupan umat, begitu juga terjadi di dalamnya berbagai persoalan, kesulitan yang khas dan spesifik yang muncul karena dinamisasi dan perubahan sosial dan budaya di tengah umat. Maka mereka yang sukses menjalaninya adalah orang-orang yang memahami kebutuhan dan kepentingannya serta dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan baru yang mereka hadapi, sehingga kemudian berkesimpulan untuk mensikapi dengan menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip Islam universal. Oleh karena itulah tafsir Al-Amtsal ini ditulis dengan metode yang digunakan didalamnya tidak lepas dari pengaruh serta terinspirasi dari tafsir-tasfir sebelumnya seperti: Tafsir Al-Maraghi dan tafsir Al-Mizan.

Metodologi dalam Metodologi penafsiran, tafsir Al-Amtsal memulai dengan mengetengahkan pon-poin global setiap surah, kemudian menyebutkan namanya, Makki ataukah Madani, jumlah ayat dan sifat-sifat yang dominan di dalamnya, dan tema-tema penting yang terkandung di dalamnya. Demikian ini kandungan ayat diuraikan dengan metode analitik (tahlili) yang demonstratif (burhani), menggunakan bahasa sederhana yang popular dan komunikatif dalam upaya untuk memberikan petunjuk dengan jelas tentang masalah-masalah hidup umat. Setiap ayatnya dipaparkan sesuai dengan tema yang relevan seperti mengenai tema-tema riba, hak-hak wanita, penciptaan manusia, dll.

Dalam tahapan-tahapan pembahasan, Ayatullah Syirazi berusaha menjelaskan kata dan kalimat setiap ayat dengan benar dan memaparkan pemahamannya yang sahih kepada pembacanya. Untuk maksud ini, ia tidak lepas dari penukilan hadis, asbab nuzul, sejarah dan pengetahuan ilmiah. Ketika menjelaskan hukum, ia sedapat mungkin membatasi hanya pada ayat-ayat yang terkait, dan di samping itu mengungkapkan rahasia serta hikmah ilahi yang terkandung di dalamnya. Kisah-kisah yang dikutip dalam tafsirnya berusaha menghindari dari kisah-kisah israiliyyat. (Baca Juga: Metodologi Penafsiran Thabathaba’i dalam Al-Mizan)

Dalam tafsir Al-Amtsal, ayat-ayat yang bekenaan dengan ilmu sains tentang penciptaan manusia, hewan, galaksi, bumi dan jagad raya berusaha untuk ditafsirkan secara ilmiah dan disesuaikan dengan teori-teori atau penemuan-penemuan yang berkembang saat ini, sebagai mana yang terdapat didalam surah Yunus ayat 5, “Dialah yang menjadikan matahari sebagai sinar”. Ayat ini ditafsirkan dengan bagaimana orbit bumi dan pergerakan matahari serta bulan. Demikian pula ayat pertama surah Al-Insyiqaq diuraikan penafsirannya dengan menukil hadis saintifik dari Imam Ali a.s.

Lebih lanjut untuk memperjelas guna mempermudah mempelajari tafsir Al-Amtsal, dapat disimpulkan disini beberapa karakteristik keistimewaan metodologis dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain:
1. Dikarenakan Al-Quran merupakan kitab “konsep hidup”, tafsir Al-Amtsal tidak fokus pada pembahasan dengan terma kesastraan dan irfani. Dan sebagai gantinya, ia lebih berkonsentrasi pada masalah dan problema kehidupan nyata dan spiritualis, khususnya masalah yang berkenaan dengan kemasyarakatan, diketengahkan dalam bentuk dialogis dan analitik (tahlili), khususnya yang bersentuhan langsung dengan kehidupan individual dan sosial.
2. Dalam tafsir setiap ayat akan diketengahkan masalah-masalah yang terkait sebagai pembahasan tematik tersendiri seperti tema hal-hak wanita, filsafat haji, rahasia pengharaman khamar atau daging babi, tema jihad dan lain sebagainya, hingga memudahkan pembaca untuk merujuk pembahasan tema-terma yang dibahas secara husus untuk kemudian dirujuk ke kitab-kitab rujukan yang lain.
3. Tafsir ini menghindari pembahasan-pembahasan yang tidak terlalu signifikan pengaruh dan manfaatnya, sehingga dikonsentrasikan pada makna-makna kalimat-kalimat dan asbab nuzul ayat yang berpengaruh mendasar pada pemahaman yang tepat dari arti ayat.
4. Diketengahkan berbagai pertanyaan, isu dan kerancuan serta kritik seputar dasar-dasar Islam dan masalah-masalah parsialnya yang berkaitan dengan setiap ayat, dan diuraikan jawaban atasnya secara singkat, seperti seputar masalah kerancuan poligami, perbedaan hak waris antara lelaki dan perempuan, peperangan dalam Islam dan lain-lain agar tidak lagi ada pertanyaan yang mengganjal ketika mengkaji tafsir ayat-ayat al-Quran.
5. Tafsir ini juga menghindari penggunaan istilah-istilah ilmiah yang rumit yang hanya difahami oleh kalangan dan komunitas tertentu. Kalaupun sesekali disebutkan, itu hanya diletakkan di bagian catatan kaki sehingga juga dapat dimanfaatkan oleh mereka yang membidangi fakultasnya (Makarim Syirazi, Al-Amtsal, jld. 1, hlm. 13).

Telah disampaikan sebelumnya bahwa tafsir Al-Amtsal ini merupakan terjemahan dan suntingan tim ahli dari tafsir berbahasa Persia, Tafsir-e Nemuneh. Berikut nama-nama nggota tim ahli sebagaimana dicatat oleh penulisnya dalam mukadimah kitab: Syeikh Muhammad Reza Al-Isytiyani Syeikh Muhammad Jakfar Imami. Syeikh Davud Ilhami. Syeikh Asadullah Imani Syeikh Abdur Rasul Al-Hasani. Seyyed Hasan Al-Syuja’i. Seyyed Nurullah Al-Thaba’thaba’i. Sheikh Mahmud Abdullahi) Syeikh Muhsin l-Qira’ati Syeikh Muhammad Muhammadi Al-isytihardi.

Dalam penulisannya, Ayatullah Makarim Syirazi banyak merujuk kitab-kitab tafsir, dari yang klasik hingga yang kontemporer, dari kalangan Ahli Sunnah maupun kalangan Syiah sendiri seperti: 1. Majma’ Al-Bayan, Syeikh Al-Thabarsi. 2. Anwar Al-Tanzil, Qadzi Al-Baidhawi. 3. Al-Durr Al-Mantsur, Jalaluddin Al-Suyuthi. 4. Al-Burhan, Muhaddits Al-Bahrani. 5. Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i. 6. Al-Manar, Syeikh Muhammad Abduh. 7. Fi Dzilal Al-Qur’an, Seyyid Qutb. 8. Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 9. Mafatih Al-Ghayb, Fakhr Al-Razi. 10. Ruh Al-Jinan, Abi Al-Futuh Al-Razi. 11. Asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi. 12. Tafsir Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi. 13. Ruh Al-Ma’ani, Allamah Shihabuddin Al-Alusi. 14. Nur Al-Tsaqalayn, Abd Ali bin Jum’ah Al-Huwaizi. 15. Al-Shafi, Mulla Muhsin Al-Faidz Al-Kasyani. 16. Al-Tibyan, Syeikh Al-Thusi, dan kitab-kitab tafsir yang lain (Makarim Syirazi, Al-Amtsal,jld. 1, hlm. 11).

Perbedaan yang ada dalam tafsir Al-Amtsal dari kitab aslinya (berbahasa Persia) adalah tidak dimuat lagi terjemahan ayat-ayatnya karena sudah menjadi tafsir berbahasa Arab, dan adanya pemindahan sebagian pembahasan-pembahasannya ke footnote seperti ketika pembahasannya harus dirujuk ke jilid pertama Al-Amtsal halaman 149 tentang ayat 28-29 surah Al-Baqarah sesuai dengan yang terdapat didalam jilid 1 Tafsir Nemuneh halaman 163.

Tafsir Al-Amtsal sangat komunikatif karena melibatkan para penterjemah andal menguasai dua bahasa Arab dan Persia, dimana bahasa Arab bagi mayoritas mereka adalah bahasa ibu. Berikut di bawah ini nama-nama mereka:
Muhammad Ali Adzarasy Muhammad Reza Ali Shadiq Syeikh Asad Maulavi Syeikh Mahdi Anshari Seyyed Ahmad Qabanji Syeikh Hasyem Shalehi Syeikh Khalid Taufiq Isa Syeikh Seyed Muhammad Hasyemi Syeikh Qashi Hasyem Fakhir.

Indeks tema-tema yang ada didalam tafsir al-Amtsal sesuai dengan urutan ayat-ayat di dalam setiap halaman akhir jilid disebutkan guna membantu para peneliti untuk menyelami kajian dan penelitiannya.

(Studi-Syiah/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Senggolo Si Pelopor Tradisi Tabot Bengkulu dan Kaum Sipahi

Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo (Foto: bengkulubumiraflesia.blogspot.co.id)

Bagi umat Islam keberadaan Mesjid tanpa ulama, seperti ikan kehilangan air. Di sebuah wilayah jika memiliki sebuah masjid besar, dipastikan juga memiliki beberapa tokoh ulama besar di sana. Nah, di Bengkulu di kenal seorang ulama besar bernama Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo, Yang telah mengajarkan Tradisi Tabot. Yakni sebuah Ritual perayaan mengenang kepahlawanan cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husein, yang gugur dalam perang Karbala, pada 10 Muharram 61 H (681 M).

Istilah Tabot berasal dari Bahasa Arab yaitu Tabut, secara Harafiah berarti ”kotak kayu” atau ”peti”. Perayaan Tabot dilaksanakan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram. Dalam terminologi Al-Qur’an, kata ”Tabot” diketahui sebagai sebuah Peti yang berisi kitab Taurat.

Bagi kaum bani Israil pada masa itu dipercaya bahwa kebaikan akan mereka peroleh bila Tabot berada di tangan Pemimpin. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan malapetaka bila Tabot Hilang.

Tidak ada catatan tertulis perayaan Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Dugaan kuat menyatakan tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja bangunan yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Pekerja bangunan benteng didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Dimana penduduk wilayah selatan India mayoritas pemeluk Islam Syi’ah.

Kaum pekerja bangunan ini merasa nyaman dengan tata hidup mesyarakat Bengkulu. Mereka memutuskan untuk menetap, menikah dengan perempuan Bengkulu, dan membangun pemukiman baru yang disebut Berkas. Daerah Berkas kini adalah kelurahan Tengah Padang. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Orang Sipai. Selama tinggal di Bengkulu, kaum pekerja ini dipimpin oleh seorang guru Spiritual, yakni Syekh Burhanuddin,.

Syekh Burhanudiin dikenal sebagai ulama Kharismatik. Beliau mengajarkan Prinsip ajaran Syi’ah kepada masyakarat Bengkulu. Beliau lalu menikahi perempuan Bengkulu. Anak, cucu, dan keturunan Syekh Burhanuddin disebut keluarga Tabot. Syekh Burhanuddin memperkenalkan perayaan Tabot kepada masyarakat Bengkulu sekitar Tahun 1685.

Perayaan Tabot kemudian mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Lalu dilembagakan menjadi Upacara Tabot. Tradisi ini meluas ke seluruh Bengkulu hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Singkil,Meulaboh,

Banda Aceh, dan Pidie. Tradisi Tabot masuk wilayah Sumbar sekitar tahun 1831 dimulai dari wilayah pesisir barat.

Tradisi Tabot pada awalnya digunakan penganut Syi’ah untuk mengenang gugurnya Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun sejak, orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi’ah, perayaan Tabot dilakukan sebagai kewajiban keluarga memenuhi wasiat leluhur mereka. Dalam perkembangannya, selain melaksanakan wasiat leluhur, perayaan Tabot dilaksanakan sebagai wujud Partisipasi orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat. Sehingga perayaan Tabot dilembagakan menjadi Upacara Tabot.


Kaum Sipahi

Masyarakat Bengkulu umunya menyebut kaum Sipahi dengan “si keling”. Konon katanya, “si keling” selama beberapa dekade sempat mendiami kawasan bernama Kebun Keling, saat ini tempat itu masih bernama sama, tepatnya berada di Kelurahan Kebun Keling Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu.

Kebun Keling persis berada di Belakang Benteng Marlborough, kawasan ini termasuk area padat penduduk, terdapat banyak gang sempit dan sedikit kumuh. Beberapa bangunan tampak tua dimakan usia dan kurang terawat. Karena berada dekat dengan laut, maka sebagian besar warganya adalah nelayan dan pedagang. kehidupan mereka berjalan sama dengan kebanyakan orang bengkulu lain.

Tidak ada perilaku berbeda, sekalipun mereka mendiami daerah yang lama ditempati kaum Sipahi. Sekilas, warga kebun Keling tidak jauh beda dengan orang India, berkulit gelap dan memiliki hidung mancung.

Namun mereka bukan keturunan Sipahi seperti banyak diceritakan orang. Profesi sebagai nelayan membuat orang-orang ini berkulit gelap. Karena sebagian besar berasal dari sumatera barat dan Bugis, mempengaruhi fisik mereka sekilas seperti orang Arab memiliki hidung mancung.

Melihat secara fisik warga daerah inilah yang membuat orang hingga saat ini masih menyebut daerah ini Kebun Keling, padahal mereka tidak memiliki hubungan lagi dengan Si Keling di masa lampau. Si Keling masa lampau hanya tinggal cerita, kaum tua saja tidak pernah lagi melihat sisa- sisa peninggalannya, apalagi keturunan si keling yang mungkin saja tercecer.

Apalagi kaum muda, malah ada yang mengatakan itu hanya cerita. Kebun Keling berada di pusat Kota, kota Bengkulu pada zamannya. Posisinya tidak berjauhan dengan Kampung Pencinan yang berada disisi lain Benteng.

Namun seiring waktu dan perkembangan perkotaan, daerah ini semakin kurang diperhatikan. Bangunan-bangunan lama masih banyak terlihat disini, tidak terurus dan kurang mendapat perhatian, padahal memiliki nilai sejarah bagi daerah ini.

Terus masuk ke dalam gang-gang sempit, berusaha menemukan remah-remah sejarah peninggalan komunitas Sipahi di kawasan ini, tapi nihil karena menurut penduduk Sipahi hanya tinggal cerita.

Tetua Kebun Keling yang masih hidup, Yana (74) mengatakan sejak dia kecil si keling tidak pernah tampak lagi, khususnya di Kebun Keling. Ia hanya mendapatkan cerita dari orang tuanya, bahwa tempat ini bekas kediaman kaum Sipahi.

Asal nama kebun Keling pun, dalam bahasa Indonesia berarti Hitam karena penghuni tempat ini semula adalah para Sipahi yang memiliki tubuh-tubuh besar berwarna hitam. “Saya hanya dapat cerita, kalau melihat langsung tidak pernah,” ungkap Yana yang sejak lahir tinggal di Kebun Keling.

Menurutnya, orang tuanya pun tidak pernah ketemu dengan bangsa keturunan India tersebut. Saat ini mereka yang mendiami daerah itu, adalah keturunan yang sebagian besar berasal dari sumatera barat dan asli Bengkulu. Yana sendiri tidak pernah melihat ada keturunan Sipahi, peninggalan mereka seperti rumah pun sudah tidak ada lagi karena telah di ganti oleh penghuni selanjutnya.

“Sekarang bangunan yang ada ini, sudah bangunan baru semua, rumah orang tua saya ini saja dibangun tahun 1934,” urainya. Berdasarkan cerita orang tuanya, bangunan milik Sipahi saat mereka tinggalkan bukan bangunan yang baik. Rumah mereka terbuat dari bambu disebut gedek. Karena dimakan usia, bangunan tersebut oleh penghuni baru direnovasi.

Yana mengatakan karena tidak adanya keturunan Sipahi yang tersisa, maka tidak ada adat istiadat atau kebudayaan Sipahi mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup warga Kebun Keling saat ini. Budayawan Bengkulu Agus Setyanto mengatakan sejarah yang membuktikan keberadaan kaum Sipahi di Bengkulu sulit dilacak.

Karena ada beberapa penggalan sejarah yang hilang. Namun dalam Nawis sebuah catatan mengatakan jika kaum Sipahi ini dulunya pernah ada dan mendiami daerah Kebun Keling. “Namun mengenai hilangnya kaum Sipahi yang merupakan serdadu Inggris ini tidak diketahui, karena sejarahnya terputus,” kata Agus saat dijumpai di kediamannya.

Agus mengatakan datang ke Bengkulu Inggris tidak hanya membawa kaum Sipahi sebagai serdadu dan pekerjanya, Inggris juga membawa bangsa Bugis dan Madura, mereka terkenal mendiami kawasan Tengah Padang saat itu.

Hanya saja kenyataanya saat ini, kaum Bugis yang ada di Tengah Padang saat ini tidak ada hubungan dengan kaum Bugis yang pernah dibawa Inggris. Kaum Bugis saat ini diketahui banyak terdapat di kampung Melayu, hanya saja kaum tersebut tidak ada hubungan dengan Bugis kaum Bugis serdadu Inggris, hal tersebut berlaku sama dengan kaum Sipahi.

Agus menarik sebuah benang merah, jika hilangnya komunitas ini berawal dari Traktat London tahun 1824, dimana Inggris diminta untuk meninggalkan Indonesia dan digantikan Belanda.

Menurutnya Inggris tidak hanya pergi sendiri tapi juga membawa semua serdadunya termasuk Si Keling dan beberapa warga pribumi Bengkulu. Karena ada peninggalan sejarah berupa surat protes dari kepala Adat Bengkulu salah satunya, Pangeran Sungai Lemau yang tidak terima Inggris pergi dengan membawa beberapa orang pribumi terutama perempuan.

“Karena beradasarkan Hukum Adat Limbago saat itu, perempuan atau anak yang belum akil baliq tidak diperbolehkan keluar dari wilayah Bengkulu,” ungkap pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen di Universitas Bengkulu tersebut.

Mengenai Sipahi pembawa ajaran syiah dan budaya Tabot, menurut Agus itu pun masih misteri karena tidak ada bukti sejarah terkait hal tersebut.

Namun menurutnya para Sipahi datang ke Bengkulu bukan dalam misi kebudayaan. Pewaris Budaya tabut tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sebutan sebagai komunitas Sipahi atau Sepoy. Karena kurangnya informasi dan bukti terkait asal usul budaya tabut selama ini, masyarakat terlanjur mengatakan komunitas Sipahi sebagai pewaris tabut karena sewaktu mereka berada di Bengkulu, Sipahi juga melaksanakan ritual tabut.


Sipahi Bukan Imam Senggolo

Meski saat ini keturunan Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo, Syiafril membantah jika leluhur mereka adalah pekerja yang dibawa tentara Inggris dari Madras India dan Benggala Bangladesh yang akrab disebut kaum Sipahi untuk membangun Benteng Marlborough pada 1713- 1718 masehi.

 
Keluarga KKT siap Menggelar Prosesi Ritual tabot tabuang tahun 2015 lalu (Foto: Radar Bengkulu Online)

Kaum Sipahi ini dulunya juga melaksanakan ritual Tabut. Karena mereka datang belakangan dan dalam jumlah besar dibawah komando East India company (EIC) Inggris, alhasil mereka lebih populer dibanding rombongan Syekh Burhanudin yang telah lebih dulu menjejakan kakinya di tanah Bengkulu pada masa itu disebut Bencoolen.

Secara fisik tanpa memperhatikan bahasa dan agama komunitas Sipahi mirip dengan rombongan Syekh Burhanudin yang berasal dari Punjab Pakistan. Untuk meluruskan hal tersebut, Keturunan Imam Senggolo sejak tahun 1995 melakukan penelitian, penyelidikan dan penyermatan, untuk mencari kebenaran terkait asal usul budaya tabut.

Selama ini terdapat berbagai kesimpang siuran tentang asal muasal tradisi tabut sampai di Bengkulu. Informasi yang ada selama ini dikumpulkan dari hasil wawancara kepada beberapa pembuat tabut yang tidak memahami secara keseluruhan mengenai sejarah tabut, bukan berdasarkan hasil penelitian, penyelusuran dan penyermatan secara mendalam.

Terlebih lagi berbagai bangsa berdatangan silih berganti ke negeri bencoolen ini. Mulai dari Arab, India (Punjab, Madras, dan Benggala), Inggris, Belanda dan terakhir Jepang. Karena itu jika tidak diperhatikan secara seksama bisa mengakibatkan kekeliruan informasi.

“Dulunya kaum yang berasal dari Madras dan Benggala tersebut tinggal di sekitar Benteng Marlborough, sementara keturunan rombongan Imam Senggolo berada di Pasar Melintang dan Pasar berkas,” beber Syiafril. Di seputaran Pasar Melintang dan Pasar Berkas masih banyak terlihat bangunan dengan artistektur lama.

Kebanyakan rumah tersebut milik keluarga tabut, salah satunya rumah lama milik Djakfar putra Muhammad Taher Putra dari Nurlela Putri Imam Senggolo. Beberapa rumah keluarga tabut hingga saat ini masih dijadikan tempat pelaksanaan ritual tabut. Seperti ritual berdo’a, ritual naik dan cuci penja dan beberapa kegiatan lainnya.

Syiafril sebagai Ketua Kerukunan Tabot (KKT) Kota Bengkulu mengatakan tidak semua anggotanya adalah keturunan Imam Senggolo. Meski begitu mereka adalah keturunan dari rombongan Imam Senggolo, salah satunya keturunan Syekh Syahbedan, bukan komunitas Sipahi yang berasal dari Madras dan Benggala yang selama ini diinformasikan.

Syiafril merupakan salah seorang keturunan ke-lima Imam Senggolo dari istri Senggolo yang berasal dari Sungai Lemau Pondok Kelapa, Bengkulu Utara. Ibu Syiafril adalah Saleha, putri dari Djakpar, tokoh Tabut yang meninggal pada 1937. Djakpar adalah anak Mohammad Taher, putra dari Nurlela, putri dari Syekh Burhanudian atau dikenal Imam Senggolo.

Tradisi Tabut sendiri masuk ke Kota Bengkulu seiring dengan penyiaran Agama Islam. Perayaan tabut digunakan sebagai media penarik penyiaran agama islam. Berdasarkan catatan sejarah penyiaran Islam di Pulau Sumatera sudah berlangsung sejak tahun 48 hijriah (670 masehi).

Penyiaran tradisi Tabot ini berlangsung terus menerus secara bertahap dibawa oleh bangsa Arab yang berlainan.

Umumnya bangsa Arab ini sempat menetap di Persia (Iran), India dan Punjab (Pakistan). Namun menurut ketua KKT Bengkulu Syiafril Syahbudin, Ajaran syiah salah satunya ritual tabut pertama kali dibawa oleh Imam Maulana Ikhsad, namun ia tidak menetap di Bengkulu. Beberapa tahun kemudian datanglah Syekh Burhanudin atau yang lebih dikenal Imam Senggolo merupakan pengikut Iman Maulana ikhsad, ia melanjutkan dan mempopulerkan tradisi budaya perayaan tabut hingga saat ini oleh keturunannya.

Syiafril mengatakan terhitung sejak pengambilan tanah pertama kali pada malam 1 bulan muharam 737 hijriah ( Malam jum’at 16 Agustus 1336 Masehi) ritual tabut telah dilaksanakan selama 697 tahun. Syekh Burhanudin sendiri merupakan pengikut Imam Maulana Ikhsad, ia seorang ulama bangsa Arab yang pada awalnya datang ke Aceh dan sebelumnya sempat menetap di Punjab Pakistan, namun tidak diperkenan tinggal di Aceh yang pada saat itu menganut Madzhab Syiah.

Kemudian ia pindah ke Minangkabau- Pariaman-Payahkumbuh-lalu ke Kuntu Kampar terakhir Bengkulu.

Syekh Burhanudin atau lebih dikenal Imam Senggolo menetap di Bengkulu yang saat itu bernama Bencoolen. Selama di Bengkulu ia sempat mengawini dua orang wanita, yang pertama dari Cinggeri Selebar bernama Nurhumma mendapatkan tujuh orang anak. Istri kedua berasal dari Sungai Lemau Pondok Kelapa dan juga memperoleh tujuh orang anak. Saat ini Imam Senggolo telah memiliki banyak keturunan sebagai inti masyarakat melayu Islam Pewaris tradisi perayaan seni buadaya Tabut.

Kedatangan Imam Senggolo ke Kota Bengkulu tidak membawa pedang tapi membuat genderang, tapi bukan genderang perang melainkan genderang seni. Imam Senggolo sebagai ulama sangat cerdas menggunakan genderang seni dalam mempopulerkan seni budaya tabut sekaligus menyiarkan agama Islam.

 
Keluarga Kerukunan Tabot (KKT) saat demo di DPRD Provinsi Bengkulu yang menuntut agar dewan kembali menganggarkan dana yang menjadi kebutuhan terselenggaranya Tabot. Pihak Dewan kembali menunjukkan konsistensinya guna memperjuangkan kepentingan masyarakat dan mempertahankan kebudayaan Bengkulu Karena pada prinsipnya, DPRD Provinsi Bengkulu sangat mendukung kebudayaan yang ada di Bumi Rafflesia (Foto: bengkuluonline.com)

Peninggalan Syekh Burhanuddin berupa tradisi Tabot dinilai memiliki makna Humanis yang mendalam. Tradisi Tabot mengandung arti kepada manusia akan perilaku penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan yang berakhir kepada perpecahan umat. Tradisi Tabot juga merupakan simbolisasi sebuah keprihatinan sosial terhadap konflik kekuasaan yang menghancurkan tatanan masyarakat madani.

Syiafril yang merupakan keturunan ke-5 Syekh Burhanudin membantah jika leluhurnya adalah pimpinan kaum gurkha atau Sepoy dan dikenal masyarakat Bengkulu dengan nama Sipahi berasal dari Madras India dan Benggala, yang dibawa tentara Inggris untuk membangun Benteng Marlborough jauh setelah kedatangan Imam Senggolo sekitar tahun 1713-1718 masehi di Bengkulu.

Ia mengakui jika Kelompok Gurkha ini ikut membuat tabut, namun doa yang dipakai kaum Sipay sangat berbeda dengan yang diwariskan Imam Senggolo, yang diketahui merupakan bahasa Urdu Punjab Pakistan. Syiafril membuktikan jika Imam Senggolo bukan kaum sipahi terlihat dari sisa –sia warisan kosakata yang digunakan dalam ritual tabut maupun sehari-hari oleh pewaris Tabut.

Kosakata tersebut antara lain abbah=ayah, dada=datuk atau kakek, biwi=istri, dawat=tinta, mamu=paman, jel=penjara, gam=bersedih, penja=lima jari, soja=menyembah atau menghormati. Kata-kata tersebut berasal dari bahas Urdu Punjab Pakistan. Bukti lain berupa warisan naskah do’a yang ditulis menggunakan huruf arab Persia yang hingga saat ini masih digunakan.

“Jadi tidak mungkin jika imam senggolo kaum sipahi, karena kaum sipahi berasal dari Madras berbahasa Tamil dan benggala Bangladesh berbahasa Benggali,” Syiafril mencoba meluruskan sejarah asal mula pembawa budaya tabut di Bengkulu.

Ada beberapa kontroversi terkait Syekh Burhanudin, karena ada beberapa daerah mengaku jika orang yang sama juga terdapat di Pariaman. Namun menurut Syiafril, tradisi tabut di Pariaman dibawa oleh salah seorang putri Imam Senggolo yang bernama Siti Halimah yang menikah dengan orang Pariaman dan ikut melaksanakan perayaan ritual tabut dan sering disebut Tabuik atau Tabut oyak.

Syiafril meyakini jika Syekh Burhanudin yang wafat pada 12 April 1427 masehi dan dimakamkan di Karabela Padang Jati Kota Bengkulu merupakan ulama Arab yang bergelar Imam Senggolo. Hingga saat ini makam tersebut masih terawat dengan baik.

Sementara itu Budayawan Bengkulu Agus Setyanto mengatakan Syekh Burhanudin yang diakui KKT sebagai pembawa ajaran syiah dan tabut hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar, siapakah gerangan?.

Karena Syekh Burhanudin sendiri ada beberapa versi dan diakui beberapa masyarakat seperti Riau dan Pariaman.

“Saya tidak dapat memastikan jika ketiga Syekh ini adalah orang yang sama atau bukan, karena hingga saat ini belum ada bukti sejarah yang membuktikannya,” kata Agus

Akan halnya dengan tradisi Tabot, seiring lajunya zaman, tradisi Tabot menghilang di berbagai tempat. Hanya Bengkulu dan Pariaman yang masih memiliki akar tradisi Tabot yang kuat. Di Bengkulu nama Upacara Tabot tetap digunakan. Sedangkan di Pariaman, upacara Tabot dikenal dengan sebutan Tabuik.

(Kupas-Bengkulu/Info-Dari-Sejarah/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

As’ad Wahid Qasim (Palestina-Hanafi)


Dia lahir di Palestina pada tahun 1965 M, di tengah keluarga yang bermazhab Hanafi, dia mendapat ijazah sarjana di jurusan geometri, master di jurusan manajemen instalasi dan doktor di manajemen umum.

Informasi yang dia peroleh dari buku-buku Wahabisme yang menyerang mazhab Ahli Bait as. mendorongnya untuk membaca buku-buku Syi’ah dan menyelidiki data-data yang termuat di sana sesuai dengan buku-buku induk hadis sohih dikenal dengan sebutan Shihah. Telaah dan penelitian yang menghabiskan waktu hampir dua tahun inilah yang pada akhirnya membuat dia yakin untuk mengumumkan kesyiahan dirinya.

Doktor As’ad mengatakan: Saya mulai mempelajari perbedaan mazhab pada tahun 1987 M yaitu ketika masih kuliah di Philipina, saya melihat banyak sekali serangan pemikiran yang secara membabi buta diarahkan oleh sebagian kelompok kepada Syi’ah. Waktu itu saya tidak memandang penting untuk mengetahui masalah-masalah perselisihan antara mazhab karena memang saya tidak merasa perlu, dan sejauh yang saya tahu bahwa orang-orang Syi’ah adalah muslim walaupun mereka memiliki perbedaan pendapat dengan Ahli Sunnah di persoalan-persoalan tertentu yang tidak sampai batas mereka pantas untuk dikafirkan, contohnya mereka mengutamakan Ali bin Abi Thalib as. lebih daripada sahabat Nabi saw. yang lain dan mereka sangat perhatian dengan ziarah ke pemakaman para imam. Dan pada waktu itu tidak ada motivasi di dalam diri saya untuk mengkaji perbedaan antara dua mazhab Ahli Sunnah dan Syi’ah, karena menurut saya kajian-kajian seperti ini sama dengan masuk ke ruang-ruang gelap yang tidak akan pernah membuahkan hasil.

Menurut Doktor As’ad, seyogyanya masing-masing dari pengikut mazhab untuk menyikapi pengikut mazhab atau akidah yang berlawanan dengan niat menyelesaikan persoalan bersama yaitu peroalan mencari kebenaran, masing-masing dari mereka harus menghormati yang lain agar komunikasi dan dialog yang terjalin antara mereka menjadi subjektif dan terhindar dari fanatisme, hal itu diharapkan untuk menciptakan situasi dan kondisi yang tenang sehingga mereka sama-sama dapat menyaksikan hakikat kebenaran secara terang, karena jelas bahwa keterkungkungan dalam diri sendiri dan fanatisme yang disebabkan oleh taklid buta akan mencabik-cabik semua hubungan yang terjalin antara pengikut mazhab-mazhab yang berbeda dan memaksa masing-masing dari mereka untuk bersikap konservatif, selanjutnya dunia Islam menjadi dunia pecah belah yang menguras banyak tenaga dan menghambur-hamburkannya, padahal tenaga yang besar itu bisa disinergikan dalam pembangunan, perkembangan dan kemajuan dunia Islam di segala bidang.

Dalam pada itu, sebagian dari pengikut Wahabisme menentang pola pikir Doktor As’ad dan menyudutkan dia dari segala arah agar dia melepaskan pola pikirnya yang terbuka. Dia mengatakan:
Itu artinya mereka sedang memaksa saya untuk memilih antara menjadi orang sunni yang mengkafirkan Syi’ah atau menjadi orang syi’ah yang seutuhnya meyakini akidah Syi’ah, begitulah mereka selalu mendesak saya untuk menentukan jalan yang jelas dan tidak ada di dalamnya pembauran atau penengahan –tentunya menurut mereka–. Ketika itu mereka rutin membagikan buku-buku kepada para mahasiswa yang isinya adalah pengkafiran Syi’ah dan doktrin bahwa Syi’ah lebih buruk serta lebih berbahaya daripada Yahudi. Itulah kenapa akhirnya di dalam diri saya muncul motivasi kuat untuk melakukan penelitian supaya menemukan jawaban atas berbagai persoalan yang disebarkan seputar sejarah Islam, dan saat itu saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan khususnya berkenaan dengan persoalan khilafah dan sistem pemerintahan menurut Islam.


Menuai Hasil Kajian 

Seputar Syi’ahDoktor As’ad, setelah membaca buku-buku yang menghujat dan menyudutkan Syi’ah dia membaca buku-buku Syi’ah untuk mencari jawaban mereka atas berbagai persoalan yang dilontarkan, dan secara khusus dia membaca buku al-Muroja’at yang memuat dialog antara penulisnya yang bermazhab Syi’ah dengan seorang alim sunni di Universitas Al-Azhar.

Doktor As’ad mengatakan: Hal yang paling banyak menarik perhatian saya di dalam al-Muroja’at dan buku-buku Syi’ah lainnya adalah pembuktian atas klaim-klaim mereka berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang otentik menurut standar mazhab Ahli Sunnah, khususnya hadis-hadis yang direferensikan kepada buku induk hadis Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Begitu kuatnya dan jelasnya hadis-hadis Bukhari yang mereka ajukan sebagai bukti sehingga memaksa rekan-rekan saya yang menjadi da’i Wahabisme untuk mengatakan bahwa jika memang benar hadis-hadis ini ada di dalam Shahih Bukhari maka kami siap untuk mengkafirkan (baca: mengingkari) buku lengkap yang semua isinya dinyatakan oleh ulama Ahli Sunnah sebagai hadis yang sahih, dan berhubung pada waktu itu tidak ada seorangpun dari kami yang memiliki buku itu maka saya keliling untuk mencarinya dan kemudian saya menemukan satu naskah dari buku itu di kampus pendidikan Islam yang terletak di salah satu universitas Philipina, saya tekun mempelajari buku itu untuk meneliti referensi hadis-hadis penting yang diajukan oleh Syi’ah sebagai bukti dalam tubuh Ahli Sunnah sendiri, dan ternyata saya menemukan semua hadis itu sesuai dengan yang mereka katakan. Ketika itu saya meyakini kebenaran klaim Syi’ah yang mempercayai khilafah dua belas imam dari Ahli Bait as. yang dimulai dengan Imam Ali bin Abi Thalib as. dan berakhir dengan Imam Mahdi af.


Melalui Tahap Perpindahan Mazhab

Doktor As’ad berkenaan dengan perpindahan dari mazhab Ahli Sunnah ke mazhab Syi’ah mengatakan: Sejak semula saya tidak merasa harus meninggalkan mazhab saya yang Ahli Sunnah, dan saya beritikad bahwa saya tidak meninggalkannya, karena sejak semula apa yang saya maksud dari iman saya terhadap hak Ahli Bait as. untuk menjadi khalifah Nabi Muhammad saw. adalah bukan berarti meninggalkan mazhab Ahli Sunnah, melainkan saya meyakininya sebagai pembaharuan maklumat-maklumat sejarah saya dan koreksi terhadap perjalanan Islam saya.

Ketika mazhab Ahli Sunnah berarti menerima sunnah nabi maka penerimaan saya terhadapnya telah bertambah dengan perkenalan saya terhadap jalur Ahli Bait as., sebab merekalah orang-orang yang paling dekat dengan sunnah nabi.

Meskipun orang-orang di sekitar saya mulai memanggil saya Syi’ah akan tetapi saya tidak merasa cemas dengan panggilan itu, bahkan bagi saya panggilan seperti itu sama sekali tidak apa-apa, karena sebelumnya saya tidak pernah membenci nama atau panggilan Syi’ah. Dan karena saya tidak menerima pembagian orang muslim berdasarkan mazhab, melainkan saya meyakini pembagian orang muslim atas dasar perhatian, amal dan ketulusan.

Oleh karena itu menurut saya ada dua bagian; yang pertama adalah Islam sampul dan warisan yang di dalamnya tidak ada isi kecuali slogan-slogan hampa makna dan fanatisme buta, adapun yang kedua adalah Islam nyata yang mana jiwa dan raga para pengikutnya pasrah terhadap apa saja yang benar dan mereka mengamalkannya dengan perasaan penuh cinta serta ketulusan dan tidak membuka celah dalam diri mereka untuk dimasuki wabah kefanatikan.


Reaksi Keluarga dan Masyarakat

Doktor As’ad berbicara tentang reaksi yang dia hadapi dari pihak keluarga dan masyarakat sebagai berikut: Saya tidak pernah memikirkan apa reaksi yang akan muncul dari keluarga ataupun masyarakat tentang kesyiahanku, karena ini urusan pribadi, selain pandangan akal tidak ada lagi yang berharga dalam urusan ini dan atas dasar itu pula Allah swt. akan menghisab kita semua, baik keluarga maupun klan tidak akan bisa memberi syafaat kepada siapapun di akhirat. Walau bagaimanapun, sudah menjadi keberuntungan saya bahwa keluarga dan sanak famili saya merupakan orang-orang yang dewasa dan mengerti, mereka tahu kalau saya Syi’ah tapi hubungan mereka sampai sekarang tetap harmonis sebagaimana sebelumnya.

Dalam pada ini saya mendapatkan reaksi yang sungguh berbeda dari masyarakat, sampai detik ini masyarakat kita masih didominasi oleh pola pikir rasial, fanatisme agama dan mazhab. Perpindahan dari satu agama atau mazhab ke agama dan mazhab yang lain senantiasa tertolak dan siapa yang melakukannya pasti dibenci, praktis agama dan mazhab di masyarakat kita masih tergolong hal-hal yang diwariskan, sedikit sekali orang yang mendudukkannya di meja telaah dan penelitian. Itulah sebabnya saya kehilangan beberapa rekan tapi di saat yang sama saya menemukan teman-teman baru yang mayoritasnya dari kalangan berpendidikan yang unggul. Maka sudah barang tentu sebuah peradaban dan kesadaran dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti ini memerlukan waktu yang cukup.


Karya Tulis

Doktor As’ad telah menulis beberapa karya yang di antaranya adalah:
1- Azimah al-Khilafah wa al-Imamah wa Atsaruha al-Mu’ashiroh; Kemelut Khilafah Dan Imamah Serta Dampaknya Masa Kini, diterbitkan oleh Darul Mustofa Li Ihya’it Turots pada tahun 1418 H.
Buku mengkaji empat tema besar:
a- Sikap syariat Islam terhadap persoalan khilafha dan imamah;
b- Pemaparan realitas sejarah daulat khilafah dan imamah pada periode awal Islam;
c- Metode untuk mengetahui identias para khalifah dan imam yang dikehendaki oleh Allah swt. untuk menduduki kedudukan khilafah dan imamah;
d- Dampak-dampak kemelut khilafah dan imamah atas syariat Islam dan realitas kehidupan muslimin sepanjang masa.
2- Haqiqah al-Syi’ah al-Itsna Asyariyah; Hakikat Syi’ah Dua Belas Imam, diterbitkan oleh Muassasatul Ma’arif al-Islamiyah pada tahun 1421 H. Buku ini membahas tema-tema akidah seperti imamah, keadilan shabat, Syi’ah dan al-Qur’an, Syi’ah dan sunnah Nabi saw., nikah mut’ah, Imam Mahdi af. dan fitnah-fitnah.
3-Tahlil Nadzm al-Idarohh fi al-Islam, Analisa Sistem Manajemen Menurut Islam, sebetulnya buku ini merupakan desertasi doktoral As’ad.

(Aqaed/Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tsutomu Yamaguchi, Korban Selamat Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki


Pada 6 Agustus 1945, bom atom yang jatuh di Hiroshima dinamai Little Boy dan telah membunuh 70.000 orang di tempat dan puluhan ribu lagi seminggu kemudian. Kemudian pada 9 Agustus 1945, pesawat pengebom Bockscar meluncur di atas kota Nagasaki dan menjatuhkun 22 kiloton bom plutonium yang diberi nama Fat Man.

Dahsyatnya bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki lebih besar dari sebelumnya yang dijatuhkan di Hiroshima. Beruntung ada yang selamat dari dua peristiwa mengerikan tersebut dan menceritakan kisahnya bertahun-tahun kemudian.

Korban selamat itu adalah Tsutomu Yamaguchi, seorang karyawan Mitsubishi Heavy Industries perancang kapal tanker minyak, telah bertugas selama tiga bulan di Hiroshima pada Agustus 1945. Tepat pada tanggal enam, ia berencana untuk kembali ke rumahnya di Nagasaki.

Pada pukul 8.15, ia menyaksikan pesawat pengebom mengudara di atas kota. Sesaat kemudian ia merasakan sinar yang amat menyilaukan diiringi suara, angin, dan juga udara panas yang menghantam dan membuatnya terlempar ke ladang kentang tak jauh dari sana.

Berada sekitar tiga kilometer dari pusat ledakan bom atom, Tsutomu mengalami kebutaan sementara, luka bakar, serta kebocoran gendang telinga.

Ia mendapat bantuan dan lukanya diperban. Setelah kembali bisa melihat, ia berusaha mencari teman-temannya yang sebenarnya juga akan ikut pulang bersamanya. Rekannya selamat dari ledakan, tapi juga mengalami luka-luka. Mengetahui stasiun kota Hiroshima masih beroperasi, keduanya memutuskan untuk bermalam di Hiroshima yang kini tinggal reruntuhan sebelum pulang ke kampung halamannya keesokan paginya.

Pagi hari, ia dan rekannya segera bergegas untuk pulang. Namun ia harus kembali ke tengah kota dan terkena paparan radiasi lagi demi bisa mencapai stasiun. Jembatan telah hancur tanpa sisa sehingga ia harus menyeberangi sungai yang penuh dengan mayat. Tapi akhirnya ia bisa sampai ke kampung halamannya, Nagasaki.

Ia berhasil sampai di Nagasaki dengan selamat dan bertemu kembali dengan keluarga dan rekannya. Namun, harapan untuk bisa kembali berkumpul dengan keluarga dan menjauh dari mimpi buruk yang telah terjadi ini tidak berlangsung lama.

Pagi hari pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kembali dijatuhkan dan kali ini sasarannya adalah Nagasaki. Saat kejadian, Yamaguchi sedang ada di kantornya untuk menjelaskan tentang ledakan bom yang terjadi di Hiroshima. Ia kembali terlempar dari tempatnya berdiri akibat ledakan bom.

Yamaguchi kembali selamat dari ledakan kedua, ia tidak terluka, begitu juga dengan istri dan anaknya. Namun rumah mereka hancur tidak tersisa.

Sebelum meninggal dunia pada usia 93 tahun, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan berkampanye di PBB mengenai pelucutan senjata nuklir bagi semua negara.

(OA-Line-Historypedia/Harian-Sejarah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sang Penyebar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Kemerdekaan bangsa Indonesia baru saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada Jumat 17 Agustus 1945. Setelah proklamasi, kemerdekaan ini harus disebarkan ke seluruh pelosok tanah air.

Dengan jumlah provinsi yang banyak di Indonesia, tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk menyebarkan kabar kemerdekaan Indonesia pada saat itu, terlebih lagi dengan teknologi yang belum maju, membuat penyebaran berita tersebut menjadi lebih susah lagi.

Berbeda dengan sekarang saat teknologi informasi dengan mudahnya disebarkan dan bisa diakses dengan cepat. Entah melalui messenger ataupun media sosial, sebuah kabar dengan mudah disebarkan dan secara cepat pula publik bisa menerimanya.

Adalah Mohammad Yusuf Ronodipuro, seseorang yang telah berjasa bagi Indonesia karena telah menyebarkan kabar merdekanya Indonesia tak lama setelah teks proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Yusuf lahir di Salatiga pada 30 September 1919 kala negeri kita dibawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Beliau wafat setelah 10 jam dari wafatnya mantan Presiden ke-2 RI, Soeharto tahun 2008.

Jusuf Ronodipuro, yang bekerja di Radio Militer Jepang di Jakarta pada saat itu, sempat memberitakan proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui tempat kerjanya tersebut

Sebelumnya, pada tanggal 16 Agustus dia mendapat pesan dari Sukarni, untuk merebut radio Hoso Kyoku karena ada pengemumuman yang sangat penting. Namun pada saat itu banyak tentara Kempetai yang berjaga-jaga di depan radio tersebut, sehingga Jusuf harus secara berdiam-diam masuk ke dalam studio dan memberitakan tentang kemerdekaan Indonesia.

Yusuf yang memiliki minat dalam bidang jurnalistik pada tahun 1943 memutusukan untuk bekerja sebagai seorang wartawan Hoso Kyoku, sebuah radio militer milik pemerintah kolonial Jepang di Jakarta.

National Geographic Indonesia mengisahkan tentang perjuangan Yusuf mengabarkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada 9 Agustus 1945 Kekaisaran Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu, setelah tiga hari sebelumnya kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom milik sekutu, negeri “Matahari Terbit” itu memutuskan untuk mengaku kalah dalam perang dunia kedua.

Sayangnya berita kekalahan Jepang belum terdengar hingga khayalak umum Indonesia, sebab pada masa itu pendengar radio di Indonesia belumlah banyak.

Beruntunglah Yusuf termasuk orang Indonesia yang mengetahui kabar gembira ini, dari rekanya yang bernama Mochtar Lubis, ia kemudian menyebarkan kabar ini kepada para pejuang di markas mereka yang dikenal dengan nama Menteng 31.

Terdengarnya kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu, membangkitkan semangat para pejuang untuk menyegerakan kemerdekaan Indonesia, terutama mereka – mereka yang berasal dari golongan pemuda.

Momen yang ditunggu itupun tiba, pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menyatakan kemerdekaanya. Dengan dibacanya teks proklamasi oleh Soekarno dan Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaanya.

Namun merdekanya Indonesia ini belum diketahui oleh dunia luar, sehingga pengakuan atas kemerdekaan Indonesia oleh bangsa lain belum didapatkan.

Yusuf kala itu belum mendengar kabar akan merdekanya Indonesia, ia dan rekan – rekan lainya di Hoso Kyoku terjebak dari gedung kerja mereka karena tidak diperijinkan untuk keluar oleh Kempetai.

Namun tiba – tiba datanglah utusan Adam Malik bernama Syahrudin untuk menemui Yusuf, ia berhasil menembus penjagaan pihak Jepang di Hoso Kyoku, lalu diberikanlah selembar surat pendek berisi teks proklamasi ini kepada Yusuf.

Atas perintah Adam Malik, Yusuf ditugaskan untuk menyebarluaskan pernyataan merdekanya bangsa Indonesia kepada dunia luar melalui radio, namun dalam prosesnya Yusuf menghadapi kendala, pasalnya studio siaran di Hoso Kyoku tidak terhubung lagi dengan pemancarnya.

Beruntunglah ada seorang teknisi yang dapat mengutak – atik pemancarnya sehingga dapat terhubung kembali.

Setelah segalanya telah dipersiapkan, pada pukul 19.00, Yusuf mulai menyebarluaskan kabar kemerdekaan ini melalui radio.

Selain menggunakan bahasa Indonesia, Yusuf juga menggunakan bahasa Inggris agar pesan yang ia sampaikan dapat dipahami oleh dunia Internasional.

Radio – radio internasional di Inggris, Amerika, dan Singapura berhasil mendengar siaran radio Yusuf. Kabar merdekanya Indonesia pun disebarkan lagi oleh radio – radio internasional ini.

Upaya Yusuf dalam menyebarluaskan kabar ini bukanlah tanpa konsekuensi. Yusuf dan rekan – rekanya yang membantu dalam penyebarluasan kabar ini kemudian ketahuan oleh pihak Jepang dan diberikan hukuman fisik.

Yusuf merupakan salah satu yang menerima hukuman paling berat, ia disiksa habis – habisan, seorang perwira Jepang telah mengeluarkan katana miliknya untuk memenggal kepala Yusuf.

Beruntunglah datang Letkol Tomo Bachi, pimpinan Hako Kyoku kala itu, ia kemudian memerintahkan untuk membebaskan Yusuf.

Kesukaan antar Yusuf dengan Letkol Tomo Bachi dalam hal opera dan musik klasiklah yang menyelamatkan Yusuf dari akhir hidupnya.

Kesukaan yang sama ini membuat Yusuf memiliki hubungan yang baik dengan Letkol Tomo Bachi sehingga Yusuf kemudian diperbolehkan pulang walaupun ia dalam kondisi baju robek, gigi copot dan pincang.

Meski nyawanya hampir hilang, keinginan Yusuf untuk berbakti pada negaranya tak berakhir. Pada 23 Agustus 1945, bersama beberapa orang lainya, Yusuf mendirikan radio Suara Merdeka Indonesia. Melalui radio ini, kabar akan Indonesia merdeka dalam bahasa Inggris dikumandangan ke seluruh dunia.

Melalui radio ini pula, Soekarno pada 25 Agustus 1945 mengumandangkan pidato pertamanya di radio kepada khayalak banyak.

Didirikanya Suara Merdeka Indonesia ini, menyebabkan stasiun radio kecil milik Jepang di berbagai daerah dipergunakan untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia bagi masyarakat di sekitar daerah tersebut.

Lalu pada 11 September di tahun yang sama,¬ Yusuf bersamar Abdulrachman Saleh, Maladi dan Brigjen Suhardi, mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI).

RRI sendiri didirikan dengan tujuan yang berorientasi demi kepentingan masyarakat Indonesia. Sloganya yang terkenal, yaitu “Sekali di Udara, Tetap di Udara”, juga merupakan buatan Yusuf.

Penyebaran kabar kemerdekaan Indonesia melalui radio ini kemudian menuai hasil, pada 1946, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, lalu Palestina ikut serta mengakui, negara – negara Timur Tengah lainya pun mengikuti, lalu India kemudian juga mengakui kemerdekaan Indonesia.

Setelah jasa – jasanya terhadap Indonesia, pada 1950, Yusuf ditugaskan menjabat sebagai Kepala Stasiun RRI. Dimasa kepemimpinan jabatanya, ia berhasil membujuk Presiden Soekarno untuk merekam beliau membacakan teks proklamasi. Hal ini menjadikan RRI sebagai satu – satunya yang memiliki rekaman deklarasi kemerdekaan yang Soekarno bacakan.

Setelah dipercaya memimpin RRI, Yusuf dipercaya menjadi Sekjen Departemen Penerangan di Departemen Luar Negeri RI. Ia ditugaskan di daerah – daerah penting seperti London dan markas besar PBB di New York.

Selama masa kepemimpinan Indonesia dibawah Soeharto, Yusuf kemudian dipercaya sebagai Duta Besar RI bagi Argentina di Buenos Aires.

Ia bersama tokoh bangsa lainya juga kemudian mendirikan lembaga non pemerintah dan otonom bernama L3PES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).

Yusuf kemudian memutuskan pensiun dari pekerjaan terakhirnya sebagai Duta Besar pada 31 Mei 1976.

Ia kemudian menikmati masa tuanya hingga meninggal pada 28 Januari 2008 akibat penyakit kanker paru – paru dan stroke yang ia derita, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

Pria yang begitu berjasa bagi bangsa Indonesia ini, sehari – harinya dikenal sebagai pria ramah yang suka tersenyum dan bergurau dengan orang disekitarnya. Ia meninggalkan istrinya bernama Siti Fatma Rassat, tiga anak, dan tujuh cucu.

Pada tahun 2012, ia diberikan Anugerah Lifetime Achievement oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas jasanya bagi Indonesia terutama dalam bidang penyiaran di tanah air

Sayangnya sampai saat ini, jasa Jusuf sering dilupakan oleh masyarakat, padahal berkat jasanya semua masyarakat Indonesia tahu bahwa diri mereka telah terbebaskan dari penjajahan.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Guntur Romli, Anak Ideologis Gus Dur Daftar Caleg PSI, Ini Profilnya


Redaksi suaraislam.co menerima undangan acara Guntur Romli, seorang aktivis, penulis dan kader Nahdlatul Ulama (NU) akan mendaftar sebagai Caleg PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Hari Selasa, 12 September 2017, pukul 11:00 WIB di Kantor DPP PSI Jalan Wahid Hasyim No 194, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Guntur Romli selama ini dikenal sebagai pejuang toleransi dan kebhinnekaan. Dia dikenal dekat dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), karena pernah memandu acara Kongkow Bareng Gus Dur di Radio KBR 68H dari tahun 2005 sampai 2009 menjelang Gus Dur wafat.


Berikut profil lengkap Mohamad Guntur Romli yang diterima redaksi:

HM Guntur Romli, Haji Mohamad Guntur Romli, atau dikenal Guntur Romli atau GunRomli, lahir di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur 17 Maret 1978. Ayahnya KH Achmad Zaini Romli adalah Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aitam Arromli, Jangkar, Situbondo dan ibunya, Hj Sri Sungkawa Ningsih, seorang guru.

Menikah dengan Nong Darol Mahmada, seorang aktivis Perempuan, dan memiliki dua orang putri: Andrea Azalia Ardhani dan Alexandria Hypatia Mohamada.


Pendidikan: Dari Pesantren ke Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir

Menyelesaikan pendidikan tingkat dasar dan menengah umum serta pendidikan keislaman di pesantren ayahnya dari tahun sejak usia dini hingga tahun 1992.

Selanjutnya dari tahun 1992 sampai 1997 melanjutkan pendidikan di Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.

Dari tahun 1997 hingga 1998 menjadi guru bantu (ustadz) di almamaternya sekaligus kuliah di Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STIDA) Al-Amien Fakultas Tarbiyah. Dia juga menjadi Penanggung Jawab untuk Majalah Bahasa Arab “Al-Wafa”.

Pada tahun 1998 memperoleh beasiswa dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir untuk melajutkan studi-studi keislaman, dan ia masuk Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Falsafah Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.


Aktivitas: Kader dan Pengurus NU Mesir

Untuk kegiatan ekstrakulikuler kemahasiswaan, dia aktif di Nahdlatul Ulama (NU) Mesir, dari sebelumnya bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Mesir hingga menjadi Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir, dari tahun 1999 sampai 2004. Tahun 2002-2004 ia menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah PCI NU Mesir.

Pada Juli 2003 bersama PCI NU Mesir menggelar Silaturahmi Kader NU Luar Negeri yang dihadiri Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqil Sirodj (Syuriah PBNU), KH Ahmad Masduqi Mahfudz (Syuriah PWNU Jawa Timur), KH Fawaid As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Miftahul Akhyar (Syuriah Jawa Timur), KH Manarul Hidayat (Syuriah PBNU), KH Muhaiminan Gunardo, KH Sumantri Zakaria, KH Muhammad Nuruddin Abdurrahman, Dr. Siti Musdah Mulia, Dr Siti Muri’ah, Ny Juwairiyah, Ny Jayidah dan Gus Hilman Wajdi Hasyim.


Kolomnis dan Wartawan

Selama di Mesir pula ia menjadi Koresponden Majalah Panji Masyarakat Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara 2002-2002 dan Wartawan Majalah Mingguan GATRA Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara 2002-2004.

Ia juga aktif menulis isu-isu politik Timur Tengah, Keislaman dan Kebudayaan di surat-surat kabar di tanah air seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat dan lain-lainnya.

Akhir tahun 2004 ia kembali ke Indonesia, sempat bergabung di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.


Kongkow Bersama Gus Dur Selama 5 Tahun

Pada November 2005, ia menjadi Pemandu Acara Acara Kongkow Bareng Gus Dur—talkshow rutin tiap hari Sabtu pukul 10.00-11.00 WIB bersama mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid—di KBR68H, Jakarta dan disiarkan lebih dari 70 radio jaringan di Indonesia, acara Kongkow ini berlangsung dari November 2005 sampai menjelang Gus Dur wafat tahun 2009.

Kedekatan Guntur dan Gus Dur dalam acara Kongkow (Foto: Facebook @GunRomli)

Kebudayaan, Lintas Agama dan Kesejahteraan Satwa

Ia bergabung dengan Komunitas Kesenian dan Kebudayaan Komunitas Utan Kayu (2005-2008) dan Komunitas Salihara (2008-2017). Selain itu ia juga aktif dalam organisasi lintas agama, advokasi hak-hak sipil, toleransi dan hak-hak asasi manusia. Ia juga salah satu pendiri organisasi Garda Satwa Indonesia (GSI) sejak tahun 2012 yang peduli terhadap hak-hak dan kesejahteraan satwa.


Analis Politik di Televisi

Dia juga sering tampil di televisi sebagai Analis Politik Timur Tengah dan isu-isu keislaman khususnya radikalisme dan terorisme untuk media televisi di Indonesia: SCTV, Metro TV, Trans-7, dan TVOne, Kompas TV, tahun 2008-sekarang


Karya-kaya Pemikiran: Islam Nusantara, Islam Tanpa Diskriminasi

Dia memiliki beberapa karya tulis baik karya sendiri atau kumpulan tulisan bersama penulis-penulis lain:

“Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban” (Kumpulan tulisan bersama), Penerbit Forum Silaturahmi Keluarga Madura (Fosgama), Cairo Mesir, 2002

“Menyoal Agama, Menggugat Mahasiswa” (Kumpulan tulisan bersama), Penerbit Ikatan Keluarga Besar Al-Amien (IKBAL) Korda Cairo Mesir, 2003

“Dari Jihad Menuju Ijtihad” (Tulisan bersama), Penerbit Lembaga Studi Islam Profresif (LSIP), Jakarta, 2003

“Mendobrak Tradisi” (Kumpulan tulisan bersama), Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta 2004

“Kala Fatwa Jadi Penjara” (Kumpulan tulisan bersama), Penerbit the Wahid Institute Jakarta, 2006

“Ustadz, Saya Sudah di Surga” (Kumpulan kolom), Penerbit KataKita Jakarta, 2007

“Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam”, Penerbit Freedom Institute, Jakarta, 2010 yang merupakan mas-kawin pernikahannya dengan Nong Darol Mahmada

“Syahadat Cinta Rabiah al-Adawiyah”, Penerbit Rehal Pustaka, Jakarta, 2011

“Islam Tanpa Diskriminasi, Menegakkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin”, Penerbit Rehal Pustaka, Jakarta, 2013

“Islam Kita Islam Nusantara” (e-book), Ciputat School, Jakarta, 2015

“Risalah Ramadhan, Puasa dan Idul Fitri” (e-book, tulisan bersama), Digiumm Jakarta, 2016


Terjemahan:

“Qabûlul al-Âkhar” Karya Penulis Koptik Mesir Milad Hanna, edisi terjemahan: “Menyongsong yang Lain, Membela Pluralisme”, 2005


Alamat di media sosial: 

Twitter: @GunRomli
Facebook: fb.com/GunRomli
Instagram: @GunRomli
email: gunromli@gmail.com

(SuaraIslam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Mohammad Natsir, Politisi Yang Bersahaja


“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa…” (Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting).

Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang merupakan sederet peristiwa yang tak dapat terpisahkan. Sebab masa lalu merupakan jembatan sekaligus peta bagi manusia untuk mengepakkan sayap mereka pada kehidupan di masa yang akan datang. Dari masa lalu, kita dapat belajar dan becermin, hingga memunculkan beragam cara untuk melakukan suatu gerakan yang lebih baik di kemudian hari.

Sayangnya, masa lalu terkadang muncul hanya sebagai kenangan dan menjadi teks tertulis semata. Terlebih bila sejarah mendapat bandrol yang disejajarkan dengan kekuasaan. Masa lalu yang gemilang pun menjadi hilang, terlupakan, atau bahkan dilupakan-guna menuai kuasa baru–yang dengan segala cara memaksa dan mendikte ingatan kolektif masyarakat.

Bagi sebagian orang Indonesia, Mohammad Natsir adalah salah satu bagian dari bangsa ini yang harusnya tak dilupakan. Para sejarawan politik sering menceritakan bagaimana luwesnya Natsir dalam merangkul semua kalangan. Ia juga kadung dikenal sebagai politisi yang antara kata dan tindakan tak berlawanan.: eksklusifnya terhadap keyaknan, namun inklusif dalam pergaulan.

Sejarah mencatat bagaimana mesranya hubungan Natsir, juga tokoh-tokoh Masyumi dengan para pimpinan di luar Islam, Katolilk dan Kristen misalnya. Chris Siner Key Timu, tokoh Katolik yang sekaligus pengacara ini, konon pernah mendapat perlakuan istimewa dari Natsir. Usai rapat membahas tentang pencekalan Natsir di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Chris bersiap-siap pulang dengan menggunakan kendaraan umum. Namun, sungguh tak disangka saat Natsir menawarinya untuk satu mobil. Dan bahkan mengantarkannya hingga ke tempat yang dituju, meski arah keduanya berbeda.

Sikap luwes Natsir ini, tidak hanya dirasakan oleh Chris, tapi juga sudah sejak lama, ia dikenal telah melakukan kebaikan kepada siapa pun. Natsir yang sering berdebat sengit di parlemen dengan Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia, serta F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, yang juga lawan politiknya, namun ketika mereka sama-sama melangkah ke luar gedung, semua sikap menjadi luwes kembali, seolah tidak pernah terjadi perseteruan apa pun.

Natsir juga dikenal sebagai sosok politisi bersahaja. Ia tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Ketika menjabat sebagai Menteri Penerangan, Natsir pergi ke kantor dengan menaiki sepeda dan memakai baju tambalan karena tuanya umur baju itu. Sampai-sampai para staf di Departemen Penerangan di masa itu terpaksa harus “berpikir” untuk membelikan kemeja yang pantas untuk sang menteri.

Suatu hari Raja Faisal, dari Arab Saudi (pencetus embargo minyak) menawarkan sebuah mobil mewah, yang langsung ia tolak secara santun seraya menyarankan sang raja agar menawarkan bantuan itu kepada umat Islam yang kekurangan hidupnya.

Betapa bersahajanya hidup Natsir, sampai-sampai George Mcturnan Kahin, seorang Indonesianis-pun memberikan komentar khusus terhadap Natsir, “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri, namun demikian dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran. Jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi di Republik ini, Anda sudah seharusnya bicara dengannya.”

Kedewasaan politik yang berujung pada sebuah obyektifitas dan keadilan bersikap inilah yang menyebabkan integritas Natsir, sekaligus Masyumi sangat disegani kawan maupun lawan.Meski semua itu kemudian harus ia bayar dengan dinginnya jeruji besi, penjara dan bahkan pencekalan. Sebuah realitas yang cukup ironis dalam mengemban makna kemanusiaan.

Akan tetapi, Natsir tetaplah Natsir. Seorang cendekiawan, pejuang, politikus, ulama, sekaligus negarawan Indonesia yang dipuja bukan hanya oleh kalangan dalam negeri, tapi juga harum di mata internasional.

Sesuai namanya, Mohammad Natsir—Natsir yang terpuji. Begitu pula dengan langkah hidup Natsir dalam mengarungi terjal dan licinnya dunia politik. Yang menurut sebagian orang, sekali terpedaya, konon segala kenikmatan hidup yang pernah dipuja, akan hilang berbarengan dengan lengsernya jabatan dan kuasa.

Begitu pun dengan teladan bangsa yang satu ini. Jasa-jasanya yang begitu besar, mestinya tak hanya mendapat ribuan, bahkan jutaan acungan jempol. Tapi juga patut dijadikan role model bangsa–yang kini hampir kehilangan ruhnya.

Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam di dunia.

Islam yang oleh Natsir dan orang-orang generasi lainnya menjadi satu kesatuan dengan perilaku (baca: akhlak)-yang tidak dijadikan sebagai konsep-konsep yang indah tetapi jauh dari realitas masyarakatnya, kini seolah terlupakan.

Sungguh tidak mengherankan jika dalam kancah perpolitikan Masyumi, Natsir telah mengukir banyak prestasi, mulai dari Mosi Integral Natsir, Pemilu paling jujur ketika Perdana Menterinya Pak Burhanudin Harahap dari Masyumi, juga konsep Bank Sentral untuk menanggulangi masalah moneter.

Nilai-nilai luhur yang diajarkan Natsir ini dapat dijadikan pertanyaan besar, mengapa bangsa ini terus mengalami kemunduran, baik dalam bidang politik, keagamaan, toleransi, dan lainnya? Sudahkah kita berkaca pada masa lalu, sembari tancap gas-mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok demi bangsa?

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syeikh Yasin, Ulama Mekkah Berdarah Indonesia Yang Dikagumi Dunia


Syeikh Yasin Al-Fadani adalah ulama Mekkah berdarah Indonesia yang dikagumi dunia karena keluasan ilmu dan karomah yang dimilikinya. Banyak ulama memberinya gelar ‘almusnid dunya’ (pemilik sanad terbanyak di dunia).

Nama lengkapnya Syeikh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani. Lahir di Mekkah, Arab Saudi, 17 Juni 1915 dan wafat di Mekkah, 20 Juli 1990 pada usia 75 tahun. Dia adalah seorang ahli muhaddits (ahli sanad hadits), ilmu falak, ahli tasawwuf, dan pendiri Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, Mekkah.

Syeikh Yasin merupakan putra ulama terkenal Syekh Muhammad Isa Al-Fadani asal Padang, Sumatera Barat, sehingga namanya dijuluki Al-Fadani. Jumlah karyanya mencapai 97 kitab. Di antaranya 9 kitab tentang ilmu hadits, 25 kitab tentang ilmu dan ushul fiqh, 36 kitab tentang ilmu astronomi (falak), dan sisanya tentang ilmu-ilmu yang lain.

Buku-bukunya banyak dibaca para ulama dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, pondok pesantren, baik itu di Arab Saudi maupun di Asia Tenggara. Kitabnya yang paling terkenal Al-Fawaid al-Janiyyah, menjadi materi silabus dalam mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Syariah Al-Azhar Kairo.

Syeikh Yasin dikenal sebagai ulama yang gigih mengumpulkan sanad. Untuk mendapatkannya, dia rela bersafari ke berbagai negara. Dia menemui lebih dari 700 guru dan ulama dari berbagai belahan dunia seperti Suriyah, Lebanon, Palestina, Yaman, Mesir, Maroko, Irak, Pakistan, Rusia, India, Indonesia dan Malaysia.

Sejak kecil, Al-Fadani mempelajari Islam dari ayahnya Syekh Muhammad Isa. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ash-Shauthiyyah. Karena guru-guru asal India merendahkan para pelajar Indonesia, ia pun mendirikan Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, dan menamatkan pendidikannya di sekolah tersebut.

Di samping menimba ilmu, ia aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan madrasah yang didirikannya. Dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang kukuh pada ajaran ahlul sunnnah wal jamaah.

Sejak kecil Syekh Yasin sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan saat menginjak usia remaja, ia mampu mengungguli rekan-rekannya dalam penguasaan ilmu hadist dan fiqih sehingga para gurunya sangat mengaguminya. Selain belajar dari ayahnya, Syeikh Yasin juga menimba ilmu kepada Syekh Muhktar Usman, Syekh Hasan Al-Masysath, Habib Muhsin bin Ali Al-Musawa.

Keahliannya dalam hal periwayatan hadist membuat banyak ulama-ulama dunia berbondong-bondong datang kepadanya. Bahkan Al-‘Allamah Habib Segaf bin Muhammad Assegaf, salah seorang ulama dan waliyulloh dari Hadromaut, Yaman, sangat mengagumi keilmuan Syekh Yasin sehingga menyebut Syekh Yasin dengan ”Sayuthiyyuh Zamanihi”.

Kekaguman para ulama terhadap sosok Syeikh Yasin tak hanya karena keluasan ilmunya semata, namun karena kesederhanaannya. Meskipun seorang ulama besar, Syeikh Yasin tidak segan-segan keluar masuk pasar memikul dan menenteng sendiri sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Dengan memakai kaos oblong dan sarung, Syekh Yasin juga sering nongkrong di warung teh sambil menghisap shisa. Tak ada seorang pun yang berani mencelanya karena ketinggian ilmu yang dimilikinya. Apabila musim haji tiba, Syekh Yasin mengundang ulama-ulama dunia dan pelajar untuk berkunjung ke rumahnya untuk berdiskusi.

Tak sedikit dari para ulama yang meminta ijazah sanad hadist dari Syekh Yasin. Namun, sekalipun musim haji sudah berlalu, rumah Syeikh Yasin selalu ramai dikunjungi para ulama dan pelajar dari berbagai negara.

Tak heran jika ulama kelahiran abad 20 ini banyak dipuji para ulama dan gurunya. Seperti ahli hadist dari Maroko bernama Sayyid Abdul Aziz Al-Qumari, yang menjulukinya sebagai ulama kebanggaan Haromain (Mekkah dan Madinah).

Dr Ali Jum’ah, salah satu Mufti Mesir dalam kitab Hasyiyah Al -mam Baijuri A’la Jawahirut Tauhid yang ditahqiqnya mengatakan bahwa dia mendapat ijazah sanad dari Syekh Yasin Al Fadani. Assayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Ahdal sebagai Mufti negeri Murawah Yaman sampai mengarang sebuah syair khusus untuk memuji Syekh Yasin Al-Fadani.

Berikut satu bait syairnya, “Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakekat, Dibangun orang kejayaan kaulah satu-satunya yang jaya”.

Selain itu, Doktor Yusuf Abdurrazzaq, dosen Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo juga memuji Syeikh Yasin dengan perkataan dan syiir yang panjang. Salah satu bait syiirnya bunyinya, “Engkau di tengah kami orang terpilih dari orang terhormat, tak pernah mata melihat manusia seumpama mereka.”

Kemudian, Assayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, Ulama besar Mekkah, Syekh M Mamduh Al-Mishri dan Al-Habib Ali bin Syekh Bilfaqih Siun Hadramaut pernah memuji karangan-karangannya.

Doktor Yahya Al-Gautsani bercerita, ia pernah menghadiri majlis Syekh Yasin untuk mengkhatam Sunan Abu Daud. Ketika itu hadir pula Muhaddits Al-Magrib Syekh Sayyid Abdullah bin Asshiddiq Al-Gumari dan Syekh Abdussubhan Al-Barmawi dan Syekh Abdul-Fattah Rawah.

Pujian juga tak hanya datang dari ulama Ahlussunnah. Seorang ulama Wahabi Prof Dr Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Abi Sulaiman (Dosen Dirasatul ‘Ulya Universitas Ummul Qura) di dalam kitab al-Jawahir ats-Tsaminah fi Bayan Adillat ‘Alam al-Madinah berkata: “Syaikh Yasin adalah muhaddits, faqih, mudir Madrasah Darul Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu ulama Masjidil Haram.”

Di tengah banyaknya pujian kepadanya, Syekh Yasin tak lupa dengan asal nenek moyangnya. Meskipun sibuk mengajar, dia masih meyempatkan waktunya berkunjung ke berbagai negara terutama ke Indonesia.

Banyak ulama yang bertemu Syekh Yasin ingin dianggap murid oleh beliau dan minta ijazah sanad hadist. Kejadian menarik adalah ketika Syekh Yasin berkunjung ke Indonesia, banyak ulama dari berbagai daerah ramai-ramai menemui Syekh Yasin untuk dianggap murid.

Salah satunya adalah KH Syafi’i Hadzmi. KH Syafii datang menemui Syekh Yasin Al-Fadani untuk diangkat sebagai murid, namun Syekh Yasin menolaknya, bukan karena tidak suka atau ada hal lain. Namun, Syekh Yasin Menganggap bahwa dirinya tidak pantas menjadi guru dan dia mengatakan bahwa dirinyalah yang pantas menjadi Murid KH Syafi’i Hadzami.

Begitulah kerendahan hati Syekh Yasin Al-Fadani yang sangat menghargai para ahli ilmu. Tak heran jika keluasan ilmu dan kerendahan hatinya membuatnya semakin mulia dan dihormati ulama di dunia.

Adapun murid-murid Syeikh Yasin antara lain, Syaikh Muhammad Ismail Zain al-Makki al-Yamani, Prof DR Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (Mekkah), Syaikh Muhammad Hamid Amin al-Banjari (Kalimantan), Habib Umar bin Hafidz Tarim (Yaman), Habib Muhammad Hamid al-Kaf (Makkah), Syaikh DR Ali Jum’ah (Mufti Mesir), Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni (Damaskus) DR Muhammad Hasan ad-Dimyathi, DR Yahya al-Ghaustani, Sayyid Abdullah Shiddiq al-Ghumari, Syaikh Abdus Shubhan al-Barmawi.

Ulama Indonesia yang menjadi muridnya antara lain, Syaikh Ahmad Damanhuri al-Bantani (Banten), KH Abdul Hamid ad-Dari, Syaikh Ahmad Muhajirin ad-Dari (Bekasi), KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai) (Martapura), Syaikh Mu’allim KH M Syafi’i Hadzami, DR Burhanuddin Umar Lubis, KH Maimoen Zubair (Rembang), KH Sahal Mahfudz (Pati), KH DR Abdul Muhith Abdul Fattah, KH Zayadi Muhajir, KH Ahmad Junaidi, KH Idham Khalid, KH Thahir Rahili, KH Ahmad Muthohar Mranggen, DR Muslim Nasution.

Kemudian, KH Yusuf bin Hasyim Asy’ari, Prof DR Sayyid Agil Husain al-Munawwar, Prof DR Muhibbudin Wali al-Khalidi, Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari, Syaikh Abdul Fattah Rawah, Tuan Guru KH Abdullah bin Abdurrahman Pondok Lubuk Tapah Kelantan, Tuan Guru KH Hasyim bin Abubakar Pondok Pasir Tumboh Kelantan.

Itulah sekilas tentang sosok Syeikh Yasin yang setelah sekian lama membaktikan dirinya dalam pengembangan ilmu agama, beliau berpulang ke hadhirat-Nya pada Jumat shubuh 27 Dzulhijjah tahun 1410 H bertepatan tanggal 20 Juli 1990 dalam usia 75 tahun.

Beliau meninggalkan satu orang istri dengan empat orang putra yaitu Muhammad Nur ‘Arafah, Fahd, Ridha dan Nizar.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: