Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo (Foto: bengkulubumiraflesia.blogspot.co.id)
Bagi umat Islam keberadaan Mesjid tanpa ulama, seperti ikan kehilangan air. Di sebuah wilayah jika memiliki sebuah masjid besar, dipastikan juga memiliki beberapa tokoh ulama besar di sana. Nah, di Bengkulu di kenal seorang ulama besar bernama Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo, Yang telah mengajarkan Tradisi Tabot. Yakni sebuah Ritual perayaan mengenang kepahlawanan cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husein, yang gugur dalam perang Karbala, pada 10 Muharram 61 H (681 M).
Istilah Tabot berasal dari Bahasa Arab yaitu Tabut, secara Harafiah berarti ”kotak kayu” atau ”peti”. Perayaan Tabot dilaksanakan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram. Dalam terminologi Al-Qur’an, kata ”Tabot” diketahui sebagai sebuah Peti yang berisi kitab Taurat.
Bagi kaum bani Israil pada masa itu dipercaya bahwa kebaikan akan mereka peroleh bila Tabot berada di tangan Pemimpin. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan malapetaka bila Tabot Hilang.
Tidak ada catatan tertulis perayaan Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Dugaan kuat menyatakan tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja bangunan yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Pekerja bangunan benteng didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Dimana penduduk wilayah selatan India mayoritas pemeluk Islam Syi’ah.
Kaum pekerja bangunan ini merasa nyaman dengan tata hidup mesyarakat Bengkulu. Mereka memutuskan untuk menetap, menikah dengan perempuan Bengkulu, dan membangun pemukiman baru yang disebut Berkas. Daerah Berkas kini adalah kelurahan Tengah Padang. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Orang Sipai. Selama tinggal di Bengkulu, kaum pekerja ini dipimpin oleh seorang guru Spiritual, yakni Syekh Burhanuddin,.
Syekh Burhanudiin dikenal sebagai ulama Kharismatik. Beliau mengajarkan Prinsip ajaran Syi’ah kepada masyakarat Bengkulu. Beliau lalu menikahi perempuan Bengkulu. Anak, cucu, dan keturunan Syekh Burhanuddin disebut keluarga Tabot. Syekh Burhanuddin memperkenalkan perayaan Tabot kepada masyarakat Bengkulu sekitar Tahun 1685.
Perayaan Tabot kemudian mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Lalu dilembagakan menjadi Upacara Tabot. Tradisi ini meluas ke seluruh Bengkulu hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Singkil,Meulaboh,
Banda Aceh, dan Pidie. Tradisi Tabot masuk wilayah Sumbar sekitar tahun 1831 dimulai dari wilayah pesisir barat.
Tradisi Tabot pada awalnya digunakan penganut Syi’ah untuk mengenang gugurnya Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun sejak, orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi’ah, perayaan Tabot dilakukan sebagai kewajiban keluarga memenuhi wasiat leluhur mereka. Dalam perkembangannya, selain melaksanakan wasiat leluhur, perayaan Tabot dilaksanakan sebagai wujud Partisipasi orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat. Sehingga perayaan Tabot dilembagakan menjadi Upacara Tabot.
Kaum Sipahi
Masyarakat Bengkulu umunya menyebut kaum Sipahi dengan “si keling”. Konon katanya, “si keling” selama beberapa dekade sempat mendiami kawasan bernama Kebun Keling, saat ini tempat itu masih bernama sama, tepatnya berada di Kelurahan Kebun Keling Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu.
Kebun Keling persis berada di Belakang Benteng Marlborough, kawasan ini termasuk area padat penduduk, terdapat banyak gang sempit dan sedikit kumuh. Beberapa bangunan tampak tua dimakan usia dan kurang terawat. Karena berada dekat dengan laut, maka sebagian besar warganya adalah nelayan dan pedagang. kehidupan mereka berjalan sama dengan kebanyakan orang bengkulu lain.
Tidak ada perilaku berbeda, sekalipun mereka mendiami daerah yang lama ditempati kaum Sipahi. Sekilas, warga kebun Keling tidak jauh beda dengan orang India, berkulit gelap dan memiliki hidung mancung.
Namun mereka bukan keturunan Sipahi seperti banyak diceritakan orang. Profesi sebagai nelayan membuat orang-orang ini berkulit gelap. Karena sebagian besar berasal dari sumatera barat dan Bugis, mempengaruhi fisik mereka sekilas seperti orang Arab memiliki hidung mancung.
Melihat secara fisik warga daerah inilah yang membuat orang hingga saat ini masih menyebut daerah ini Kebun Keling, padahal mereka tidak memiliki hubungan lagi dengan Si Keling di masa lampau. Si Keling masa lampau hanya tinggal cerita, kaum tua saja tidak pernah lagi melihat sisa- sisa peninggalannya, apalagi keturunan si keling yang mungkin saja tercecer.
Apalagi kaum muda, malah ada yang mengatakan itu hanya cerita. Kebun Keling berada di pusat Kota, kota Bengkulu pada zamannya. Posisinya tidak berjauhan dengan Kampung Pencinan yang berada disisi lain Benteng.
Namun seiring waktu dan perkembangan perkotaan, daerah ini semakin kurang diperhatikan. Bangunan-bangunan lama masih banyak terlihat disini, tidak terurus dan kurang mendapat perhatian, padahal memiliki nilai sejarah bagi daerah ini.
Terus masuk ke dalam gang-gang sempit, berusaha menemukan remah-remah sejarah peninggalan komunitas Sipahi di kawasan ini, tapi nihil karena menurut penduduk Sipahi hanya tinggal cerita.
Tetua Kebun Keling yang masih hidup, Yana (74) mengatakan sejak dia kecil si keling tidak pernah tampak lagi, khususnya di Kebun Keling. Ia hanya mendapatkan cerita dari orang tuanya, bahwa tempat ini bekas kediaman kaum Sipahi.
Asal nama kebun Keling pun, dalam bahasa Indonesia berarti Hitam karena penghuni tempat ini semula adalah para Sipahi yang memiliki tubuh-tubuh besar berwarna hitam. “Saya hanya dapat cerita, kalau melihat langsung tidak pernah,” ungkap Yana yang sejak lahir tinggal di Kebun Keling.
Menurutnya, orang tuanya pun tidak pernah ketemu dengan bangsa keturunan India tersebut. Saat ini mereka yang mendiami daerah itu, adalah keturunan yang sebagian besar berasal dari sumatera barat dan asli Bengkulu. Yana sendiri tidak pernah melihat ada keturunan Sipahi, peninggalan mereka seperti rumah pun sudah tidak ada lagi karena telah di ganti oleh penghuni selanjutnya.
“Sekarang bangunan yang ada ini, sudah bangunan baru semua, rumah orang tua saya ini saja dibangun tahun 1934,” urainya. Berdasarkan cerita orang tuanya, bangunan milik Sipahi saat mereka tinggalkan bukan bangunan yang baik. Rumah mereka terbuat dari bambu disebut gedek. Karena dimakan usia, bangunan tersebut oleh penghuni baru direnovasi.
Yana mengatakan karena tidak adanya keturunan Sipahi yang tersisa, maka tidak ada adat istiadat atau kebudayaan Sipahi mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup warga Kebun Keling saat ini. Budayawan Bengkulu Agus Setyanto mengatakan sejarah yang membuktikan keberadaan kaum Sipahi di Bengkulu sulit dilacak.
Karena ada beberapa penggalan sejarah yang hilang. Namun dalam Nawis sebuah catatan mengatakan jika kaum Sipahi ini dulunya pernah ada dan mendiami daerah Kebun Keling. “Namun mengenai hilangnya kaum Sipahi yang merupakan serdadu Inggris ini tidak diketahui, karena sejarahnya terputus,” kata Agus saat dijumpai di kediamannya.
Agus mengatakan datang ke Bengkulu Inggris tidak hanya membawa kaum Sipahi sebagai serdadu dan pekerjanya, Inggris juga membawa bangsa Bugis dan Madura, mereka terkenal mendiami kawasan Tengah Padang saat itu.
Hanya saja kenyataanya saat ini, kaum Bugis yang ada di Tengah Padang saat ini tidak ada hubungan dengan kaum Bugis yang pernah dibawa Inggris. Kaum Bugis saat ini diketahui banyak terdapat di kampung Melayu, hanya saja kaum tersebut tidak ada hubungan dengan Bugis kaum Bugis serdadu Inggris, hal tersebut berlaku sama dengan kaum Sipahi.
Agus menarik sebuah benang merah, jika hilangnya komunitas ini berawal dari Traktat London tahun 1824, dimana Inggris diminta untuk meninggalkan Indonesia dan digantikan Belanda.
Menurutnya Inggris tidak hanya pergi sendiri tapi juga membawa semua serdadunya termasuk Si Keling dan beberapa warga pribumi Bengkulu. Karena ada peninggalan sejarah berupa surat protes dari kepala Adat Bengkulu salah satunya, Pangeran Sungai Lemau yang tidak terima Inggris pergi dengan membawa beberapa orang pribumi terutama perempuan.
“Karena beradasarkan Hukum Adat Limbago saat itu, perempuan atau anak yang belum akil baliq tidak diperbolehkan keluar dari wilayah Bengkulu,” ungkap pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen di Universitas Bengkulu tersebut.
Mengenai Sipahi pembawa ajaran syiah dan budaya Tabot, menurut Agus itu pun masih misteri karena tidak ada bukti sejarah terkait hal tersebut.
Namun menurutnya para Sipahi datang ke Bengkulu bukan dalam misi kebudayaan. Pewaris Budaya tabut tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sebutan sebagai komunitas Sipahi atau Sepoy. Karena kurangnya informasi dan bukti terkait asal usul budaya tabut selama ini, masyarakat terlanjur mengatakan komunitas Sipahi sebagai pewaris tabut karena sewaktu mereka berada di Bengkulu, Sipahi juga melaksanakan ritual tabut.
Sipahi Bukan Imam Senggolo
Meski saat ini keturunan Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo, Syiafril membantah jika leluhur mereka adalah pekerja yang dibawa tentara Inggris dari Madras India dan Benggala Bangladesh yang akrab disebut kaum Sipahi untuk membangun Benteng Marlborough pada 1713- 1718 masehi.
Keluarga KKT siap Menggelar Prosesi Ritual tabot tabuang tahun 2015 lalu (Foto: Radar Bengkulu Online)
Kaum Sipahi ini dulunya juga melaksanakan ritual Tabut. Karena mereka datang belakangan dan dalam jumlah besar dibawah komando East India company (EIC) Inggris, alhasil mereka lebih populer dibanding rombongan Syekh Burhanudin yang telah lebih dulu menjejakan kakinya di tanah Bengkulu pada masa itu disebut Bencoolen.
Secara fisik tanpa memperhatikan bahasa dan agama komunitas Sipahi mirip dengan rombongan Syekh Burhanudin yang berasal dari Punjab Pakistan. Untuk meluruskan hal tersebut, Keturunan Imam Senggolo sejak tahun 1995 melakukan penelitian, penyelidikan dan penyermatan, untuk mencari kebenaran terkait asal usul budaya tabut.
Selama ini terdapat berbagai kesimpang siuran tentang asal muasal tradisi tabut sampai di Bengkulu. Informasi yang ada selama ini dikumpulkan dari hasil wawancara kepada beberapa pembuat tabut yang tidak memahami secara keseluruhan mengenai sejarah tabut, bukan berdasarkan hasil penelitian, penyelusuran dan penyermatan secara mendalam.
Terlebih lagi berbagai bangsa berdatangan silih berganti ke negeri bencoolen ini. Mulai dari Arab, India (Punjab, Madras, dan Benggala), Inggris, Belanda dan terakhir Jepang. Karena itu jika tidak diperhatikan secara seksama bisa mengakibatkan kekeliruan informasi.
“Dulunya kaum yang berasal dari Madras dan Benggala tersebut tinggal di sekitar Benteng Marlborough, sementara keturunan rombongan Imam Senggolo berada di Pasar Melintang dan Pasar berkas,” beber Syiafril. Di seputaran Pasar Melintang dan Pasar Berkas masih banyak terlihat bangunan dengan artistektur lama.
Kebanyakan rumah tersebut milik keluarga tabut, salah satunya rumah lama milik Djakfar putra Muhammad Taher Putra dari Nurlela Putri Imam Senggolo. Beberapa rumah keluarga tabut hingga saat ini masih dijadikan tempat pelaksanaan ritual tabut. Seperti ritual berdo’a, ritual naik dan cuci penja dan beberapa kegiatan lainnya.
Syiafril sebagai Ketua Kerukunan Tabot (KKT) Kota Bengkulu mengatakan tidak semua anggotanya adalah keturunan Imam Senggolo. Meski begitu mereka adalah keturunan dari rombongan Imam Senggolo, salah satunya keturunan Syekh Syahbedan, bukan komunitas Sipahi yang berasal dari Madras dan Benggala yang selama ini diinformasikan.
Syiafril merupakan salah seorang keturunan ke-lima Imam Senggolo dari istri Senggolo yang berasal dari Sungai Lemau Pondok Kelapa, Bengkulu Utara. Ibu Syiafril adalah Saleha, putri dari Djakpar, tokoh Tabut yang meninggal pada 1937. Djakpar adalah anak Mohammad Taher, putra dari Nurlela, putri dari Syekh Burhanudian atau dikenal Imam Senggolo.
Tradisi Tabut sendiri masuk ke Kota Bengkulu seiring dengan penyiaran Agama Islam. Perayaan tabut digunakan sebagai media penarik penyiaran agama islam. Berdasarkan catatan sejarah penyiaran Islam di Pulau Sumatera sudah berlangsung sejak tahun 48 hijriah (670 masehi).
Penyiaran tradisi Tabot ini berlangsung terus menerus secara bertahap dibawa oleh bangsa Arab yang berlainan.
Umumnya bangsa Arab ini sempat menetap di Persia (Iran), India dan Punjab (Pakistan). Namun menurut ketua KKT Bengkulu Syiafril Syahbudin, Ajaran syiah salah satunya ritual tabut pertama kali dibawa oleh Imam Maulana Ikhsad, namun ia tidak menetap di Bengkulu. Beberapa tahun kemudian datanglah Syekh Burhanudin atau yang lebih dikenal Imam Senggolo merupakan pengikut Iman Maulana ikhsad, ia melanjutkan dan mempopulerkan tradisi budaya perayaan tabut hingga saat ini oleh keturunannya.
Syiafril mengatakan terhitung sejak pengambilan tanah pertama kali pada malam 1 bulan muharam 737 hijriah ( Malam jum’at 16 Agustus 1336 Masehi) ritual tabut telah dilaksanakan selama 697 tahun. Syekh Burhanudin sendiri merupakan pengikut Imam Maulana Ikhsad, ia seorang ulama bangsa Arab yang pada awalnya datang ke Aceh dan sebelumnya sempat menetap di Punjab Pakistan, namun tidak diperkenan tinggal di Aceh yang pada saat itu menganut Madzhab Syiah.
Kemudian ia pindah ke Minangkabau- Pariaman-Payahkumbuh-lalu ke Kuntu Kampar terakhir Bengkulu.
Syekh Burhanudin atau lebih dikenal Imam Senggolo menetap di Bengkulu yang saat itu bernama Bencoolen. Selama di Bengkulu ia sempat mengawini dua orang wanita, yang pertama dari Cinggeri Selebar bernama Nurhumma mendapatkan tujuh orang anak. Istri kedua berasal dari Sungai Lemau Pondok Kelapa dan juga memperoleh tujuh orang anak. Saat ini Imam Senggolo telah memiliki banyak keturunan sebagai inti masyarakat melayu Islam Pewaris tradisi perayaan seni buadaya Tabut.
Kedatangan Imam Senggolo ke Kota Bengkulu tidak membawa pedang tapi membuat genderang, tapi bukan genderang perang melainkan genderang seni. Imam Senggolo sebagai ulama sangat cerdas menggunakan genderang seni dalam mempopulerkan seni budaya tabut sekaligus menyiarkan agama Islam.
Keluarga Kerukunan Tabot (KKT) saat demo di DPRD Provinsi Bengkulu yang menuntut agar dewan kembali menganggarkan dana yang menjadi kebutuhan terselenggaranya Tabot. Pihak Dewan kembali menunjukkan konsistensinya guna memperjuangkan kepentingan masyarakat dan mempertahankan kebudayaan Bengkulu Karena pada prinsipnya, DPRD Provinsi Bengkulu sangat mendukung kebudayaan yang ada di Bumi Rafflesia (Foto: bengkuluonline.com)
Peninggalan Syekh Burhanuddin berupa tradisi Tabot dinilai memiliki makna Humanis yang mendalam. Tradisi Tabot mengandung arti kepada manusia akan perilaku penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan yang berakhir kepada perpecahan umat. Tradisi Tabot juga merupakan simbolisasi sebuah keprihatinan sosial terhadap konflik kekuasaan yang menghancurkan tatanan masyarakat madani.
Syiafril yang merupakan keturunan ke-5 Syekh Burhanudin membantah jika leluhurnya adalah pimpinan kaum gurkha atau Sepoy dan dikenal masyarakat Bengkulu dengan nama Sipahi berasal dari Madras India dan Benggala, yang dibawa tentara Inggris untuk membangun Benteng Marlborough jauh setelah kedatangan Imam Senggolo sekitar tahun 1713-1718 masehi di Bengkulu.
Ia mengakui jika Kelompok Gurkha ini ikut membuat tabut, namun doa yang dipakai kaum Sipay sangat berbeda dengan yang diwariskan Imam Senggolo, yang diketahui merupakan bahasa Urdu Punjab Pakistan. Syiafril membuktikan jika Imam Senggolo bukan kaum sipahi terlihat dari sisa –sia warisan kosakata yang digunakan dalam ritual tabut maupun sehari-hari oleh pewaris Tabut.
Kosakata tersebut antara lain abbah=ayah, dada=datuk atau kakek, biwi=istri, dawat=tinta, mamu=paman, jel=penjara, gam=bersedih, penja=lima jari, soja=menyembah atau menghormati. Kata-kata tersebut berasal dari bahas Urdu Punjab Pakistan. Bukti lain berupa warisan naskah do’a yang ditulis menggunakan huruf arab Persia yang hingga saat ini masih digunakan.
“Jadi tidak mungkin jika imam senggolo kaum sipahi, karena kaum sipahi berasal dari Madras berbahasa Tamil dan benggala Bangladesh berbahasa Benggali,” Syiafril mencoba meluruskan sejarah asal mula pembawa budaya tabut di Bengkulu.
Ada beberapa kontroversi terkait Syekh Burhanudin, karena ada beberapa daerah mengaku jika orang yang sama juga terdapat di Pariaman. Namun menurut Syiafril, tradisi tabut di Pariaman dibawa oleh salah seorang putri Imam Senggolo yang bernama Siti Halimah yang menikah dengan orang Pariaman dan ikut melaksanakan perayaan ritual tabut dan sering disebut Tabuik atau Tabut oyak.
Syiafril meyakini jika Syekh Burhanudin yang wafat pada 12 April 1427 masehi dan dimakamkan di Karabela Padang Jati Kota Bengkulu merupakan ulama Arab yang bergelar Imam Senggolo. Hingga saat ini makam tersebut masih terawat dengan baik.
Sementara itu Budayawan Bengkulu Agus Setyanto mengatakan Syekh Burhanudin yang diakui KKT sebagai pembawa ajaran syiah dan tabut hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar, siapakah gerangan?.
Karena Syekh Burhanudin sendiri ada beberapa versi dan diakui beberapa masyarakat seperti Riau dan Pariaman.
“Saya tidak dapat memastikan jika ketiga Syekh ini adalah orang yang sama atau bukan, karena hingga saat ini belum ada bukti sejarah yang membuktikannya,” kata Agus
Akan halnya dengan tradisi Tabot, seiring lajunya zaman, tradisi Tabot menghilang di berbagai tempat. Hanya Bengkulu dan Pariaman yang masih memiliki akar tradisi Tabot yang kuat. Di Bengkulu nama Upacara Tabot tetap digunakan. Sedangkan di Pariaman, upacara Tabot dikenal dengan sebutan Tabuik.
(Kupas-Bengkulu/Info-Dari-Sejarah/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)