Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS TAFSIR - KITAB. Show all posts
Showing posts with label ABNS TAFSIR - KITAB. Show all posts

Tafsir Amtsal


Kitab Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah Al-Munzal merupakan kitab tafsir hasil terjemahan bahasa Arab dan suntingan ulang dalam 20 jilid oleh tim yang terdiri dari para ahli dan peneliti Al-Quran dari kitab tafsir berbahasa Persia, Tafsir-e Nemuneh, karya ulama besar kontemporer, Ayatullah Udzma Makarim Syirazi.

Ayatullah Udzma Makarim Syirazi mempunyai nama lengkap Nashir Makarim Syirazi, lahir pada tahun 1345 H di kota Syiraz, Iran. Ia merupakan salah satu marja agung di kalangan umat Syiah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Dalam kematangan keilmuannya ia berada dalam bimbingan guru-guru ternama seperti: Ayatullah Buruzerdi, Ayatullah Seyyed Abdul Hadi Syirazi, Ayatullah Seyyed Abul Qasim Khu’i dan ulama besar lainnya. Ia juga merupakan tokoh pilar dalam berlangsungnya sistem pemerintahan Islam berbasis Wilayat Al-Faqih (Kekuasaan Faqih) sebagai anggota Dewan Pakar Kepemimpinan (Majles-e Khubregan-e Rahbari) yang menentukan kelayakan dan kepatutan seorang wali faqih.

Dalam tafsir ini, Ayatullah Makarim Syirazi menyuguhkannya dengan gaya baru penulisan tafsir dan memuat data-data serta referensi-referensi yang mendukung corak penafsirannya. Tafsir ini mencakup seluruh isi 30 juz Al-Quran, karakteristik penafsirannya sesuai dengan tantangan masyarakat modern dan menjawab isu-isu serta kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Pembahasan-pembahasan klasik kesusastraan yang monoton tidak ditampilkan dalam tafsir ini, dan penulisnya memilih untuk mengetengahkan hal-hal yang lebih penting, yaitu pada aspek hidayah atau petunjuk dan pelajarannya.

Tafsir yang populer disebut dengan Al-Amtsal ini merupakan karya anyar di antara tafsir-tafsir kontemporer lain seperti: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Allamah Thabathaba’i, yang dapat mengisi ruang relatif kosong tafsir Syiah berbahasa Arab untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan umat yang lebih luas tentang Islam dari khazanah Ahlul Bait a.s.

Latar belakang Penulisan Sebagaimana termuat dalam pendahuluan kitab, Ayatullah Makrim Syirazi menyampaikan tujuan dari penulisan tafsir ini bahwa setiap jaman memiliki karakteristik, kepentingan dan tuntutan yang muncul dari adanya perubahan situasi dan kondisi masa dengan munculnya masalah-masalah baru dan pengetahuan-pengatahuan yang up to date di tengah kehidupan umat, begitu juga terjadi di dalamnya berbagai persoalan, kesulitan yang khas dan spesifik yang muncul karena dinamisasi dan perubahan sosial dan budaya di tengah umat. Maka mereka yang sukses menjalaninya adalah orang-orang yang memahami kebutuhan dan kepentingannya serta dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan baru yang mereka hadapi, sehingga kemudian berkesimpulan untuk mensikapi dengan menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip Islam universal. Oleh karena itulah tafsir Al-Amtsal ini ditulis dengan metode yang digunakan didalamnya tidak lepas dari pengaruh serta terinspirasi dari tafsir-tasfir sebelumnya seperti: Tafsir Al-Maraghi dan tafsir Al-Mizan.

Metodologi dalam Metodologi penafsiran, tafsir Al-Amtsal memulai dengan mengetengahkan pon-poin global setiap surah, kemudian menyebutkan namanya, Makki ataukah Madani, jumlah ayat dan sifat-sifat yang dominan di dalamnya, dan tema-tema penting yang terkandung di dalamnya. Demikian ini kandungan ayat diuraikan dengan metode analitik (tahlili) yang demonstratif (burhani), menggunakan bahasa sederhana yang popular dan komunikatif dalam upaya untuk memberikan petunjuk dengan jelas tentang masalah-masalah hidup umat. Setiap ayatnya dipaparkan sesuai dengan tema yang relevan seperti mengenai tema-tema riba, hak-hak wanita, penciptaan manusia, dll.

Dalam tahapan-tahapan pembahasan, Ayatullah Syirazi berusaha menjelaskan kata dan kalimat setiap ayat dengan benar dan memaparkan pemahamannya yang sahih kepada pembacanya. Untuk maksud ini, ia tidak lepas dari penukilan hadis, asbab nuzul, sejarah dan pengetahuan ilmiah. Ketika menjelaskan hukum, ia sedapat mungkin membatasi hanya pada ayat-ayat yang terkait, dan di samping itu mengungkapkan rahasia serta hikmah ilahi yang terkandung di dalamnya. Kisah-kisah yang dikutip dalam tafsirnya berusaha menghindari dari kisah-kisah israiliyyat. (Baca Juga: Metodologi Penafsiran Thabathaba’i dalam Al-Mizan)

Dalam tafsir Al-Amtsal, ayat-ayat yang bekenaan dengan ilmu sains tentang penciptaan manusia, hewan, galaksi, bumi dan jagad raya berusaha untuk ditafsirkan secara ilmiah dan disesuaikan dengan teori-teori atau penemuan-penemuan yang berkembang saat ini, sebagai mana yang terdapat didalam surah Yunus ayat 5, “Dialah yang menjadikan matahari sebagai sinar”. Ayat ini ditafsirkan dengan bagaimana orbit bumi dan pergerakan matahari serta bulan. Demikian pula ayat pertama surah Al-Insyiqaq diuraikan penafsirannya dengan menukil hadis saintifik dari Imam Ali a.s.

Lebih lanjut untuk memperjelas guna mempermudah mempelajari tafsir Al-Amtsal, dapat disimpulkan disini beberapa karakteristik keistimewaan metodologis dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain:
1. Dikarenakan Al-Quran merupakan kitab “konsep hidup”, tafsir Al-Amtsal tidak fokus pada pembahasan dengan terma kesastraan dan irfani. Dan sebagai gantinya, ia lebih berkonsentrasi pada masalah dan problema kehidupan nyata dan spiritualis, khususnya masalah yang berkenaan dengan kemasyarakatan, diketengahkan dalam bentuk dialogis dan analitik (tahlili), khususnya yang bersentuhan langsung dengan kehidupan individual dan sosial.
2. Dalam tafsir setiap ayat akan diketengahkan masalah-masalah yang terkait sebagai pembahasan tematik tersendiri seperti tema hal-hak wanita, filsafat haji, rahasia pengharaman khamar atau daging babi, tema jihad dan lain sebagainya, hingga memudahkan pembaca untuk merujuk pembahasan tema-terma yang dibahas secara husus untuk kemudian dirujuk ke kitab-kitab rujukan yang lain.
3. Tafsir ini menghindari pembahasan-pembahasan yang tidak terlalu signifikan pengaruh dan manfaatnya, sehingga dikonsentrasikan pada makna-makna kalimat-kalimat dan asbab nuzul ayat yang berpengaruh mendasar pada pemahaman yang tepat dari arti ayat.
4. Diketengahkan berbagai pertanyaan, isu dan kerancuan serta kritik seputar dasar-dasar Islam dan masalah-masalah parsialnya yang berkaitan dengan setiap ayat, dan diuraikan jawaban atasnya secara singkat, seperti seputar masalah kerancuan poligami, perbedaan hak waris antara lelaki dan perempuan, peperangan dalam Islam dan lain-lain agar tidak lagi ada pertanyaan yang mengganjal ketika mengkaji tafsir ayat-ayat al-Quran.
5. Tafsir ini juga menghindari penggunaan istilah-istilah ilmiah yang rumit yang hanya difahami oleh kalangan dan komunitas tertentu. Kalaupun sesekali disebutkan, itu hanya diletakkan di bagian catatan kaki sehingga juga dapat dimanfaatkan oleh mereka yang membidangi fakultasnya (Makarim Syirazi, Al-Amtsal, jld. 1, hlm. 13).

Telah disampaikan sebelumnya bahwa tafsir Al-Amtsal ini merupakan terjemahan dan suntingan tim ahli dari tafsir berbahasa Persia, Tafsir-e Nemuneh. Berikut nama-nama nggota tim ahli sebagaimana dicatat oleh penulisnya dalam mukadimah kitab: Syeikh Muhammad Reza Al-Isytiyani Syeikh Muhammad Jakfar Imami. Syeikh Davud Ilhami. Syeikh Asadullah Imani Syeikh Abdur Rasul Al-Hasani. Seyyed Hasan Al-Syuja’i. Seyyed Nurullah Al-Thaba’thaba’i. Sheikh Mahmud Abdullahi) Syeikh Muhsin l-Qira’ati Syeikh Muhammad Muhammadi Al-isytihardi.

Dalam penulisannya, Ayatullah Makarim Syirazi banyak merujuk kitab-kitab tafsir, dari yang klasik hingga yang kontemporer, dari kalangan Ahli Sunnah maupun kalangan Syiah sendiri seperti: 1. Majma’ Al-Bayan, Syeikh Al-Thabarsi. 2. Anwar Al-Tanzil, Qadzi Al-Baidhawi. 3. Al-Durr Al-Mantsur, Jalaluddin Al-Suyuthi. 4. Al-Burhan, Muhaddits Al-Bahrani. 5. Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i. 6. Al-Manar, Syeikh Muhammad Abduh. 7. Fi Dzilal Al-Qur’an, Seyyid Qutb. 8. Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 9. Mafatih Al-Ghayb, Fakhr Al-Razi. 10. Ruh Al-Jinan, Abi Al-Futuh Al-Razi. 11. Asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi. 12. Tafsir Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi. 13. Ruh Al-Ma’ani, Allamah Shihabuddin Al-Alusi. 14. Nur Al-Tsaqalayn, Abd Ali bin Jum’ah Al-Huwaizi. 15. Al-Shafi, Mulla Muhsin Al-Faidz Al-Kasyani. 16. Al-Tibyan, Syeikh Al-Thusi, dan kitab-kitab tafsir yang lain (Makarim Syirazi, Al-Amtsal,jld. 1, hlm. 11).

Perbedaan yang ada dalam tafsir Al-Amtsal dari kitab aslinya (berbahasa Persia) adalah tidak dimuat lagi terjemahan ayat-ayatnya karena sudah menjadi tafsir berbahasa Arab, dan adanya pemindahan sebagian pembahasan-pembahasannya ke footnote seperti ketika pembahasannya harus dirujuk ke jilid pertama Al-Amtsal halaman 149 tentang ayat 28-29 surah Al-Baqarah sesuai dengan yang terdapat didalam jilid 1 Tafsir Nemuneh halaman 163.

Tafsir Al-Amtsal sangat komunikatif karena melibatkan para penterjemah andal menguasai dua bahasa Arab dan Persia, dimana bahasa Arab bagi mayoritas mereka adalah bahasa ibu. Berikut di bawah ini nama-nama mereka:
Muhammad Ali Adzarasy Muhammad Reza Ali Shadiq Syeikh Asad Maulavi Syeikh Mahdi Anshari Seyyed Ahmad Qabanji Syeikh Hasyem Shalehi Syeikh Khalid Taufiq Isa Syeikh Seyed Muhammad Hasyemi Syeikh Qashi Hasyem Fakhir.

Indeks tema-tema yang ada didalam tafsir al-Amtsal sesuai dengan urutan ayat-ayat di dalam setiap halaman akhir jilid disebutkan guna membantu para peneliti untuk menyelami kajian dan penelitiannya.

(Studi-Syiah/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hadis-Hadis Tentang Hak Tetangga

Tetangga

Oleh: Emi Nur Hayati

Aturan Akhlak Dalam Al-Quran

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. Nur:27)

Penjelasan: Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa harus meminta izin sampai tiga kali. Permintaan izin yang pertama adalah pemilik rumah mendengarkannya. Ketika izin yang kedua, mereka menyiapkan dirinya. Ketika izin yang ketiga, bila mau, maka mereka akan mengizinkannya, dan bila tidak mau, maka mereka tidak akan mengizinkannya.

Bahkan sebagian harus diketahui bahwa di antara tiga tahapan izin ini harus ada jangka waktu karena terkadang pemilik rumah tidak memakai baju yang tepat dan terkadang dalam kondisi tidak ingin orang lain melihat kondisinya. Terkadang kondisi ruangan berantakan dan terkadang tidak ingin orang lain mengetahui rahasia yang ada di dalam rumahnya. Harus diberi kesempatan agar merapikan dirinya dan bila tuan rumah tidak mengizinkan, maka harus mengurungkan dengan tanpa sedikitpun perasaan tidak suka. (Tafsir Namuneh, jilid 14, hal 432)


Hak Tetangga

Imam Sajjad as Dan Hak Tetangga

Imam Zainul Abidin as berkat, “Hak tetangga adalah:

1. Jagalah ketika ia tidak ada. Yakni ketika tidak ada, maka jagalah rumah dan hartanya dari serangan orang lain.
2. Bila ada, maka hormatilah. Yakni ketika bertemu dengannya di kalangan teman-teman, maka hormatilah posisinya.
3. Bantulah dia dalam dua kondisi. Yakni bantuan dalam urusan materi dan spiritual.
4. Jangan mencari-cari aibnya.
5. Jangan mencari-cari kejelekannya untuk mengetahuinya. Bila engkau mengetahuinya tanpa sengaja, maka jagalah dan tutupilah apa yang engkau ketahui itu seperti menjaga dan menutupi dengan benteng yang kokoh sedemikian rupa sehingga tombak-tombak yang ingin membelah hati yang menjaga rahasia itu tidak bisa menembusnya.
6. Jangan mendengarkan ucapan yang anti dia yang tidak diketahuinya.
7. Jangan membiarkannya sendirian ketika dalam kesulitan.
8. Jangan hasut padanya ketika mendapatkan nikmat.
9. Jika tetanggamu bersalah dan menyakitkan hati maka maafkanlah kesalahannya.
10. Bila dia melakukan kebodohan, maka bersabarlah.
11. Jangan keluar dari jalan kedamaian.
12. Jangan terima omongan jelek dan permusuhan orang lain terhadapnya.
13. Gagalkan penipuan orang yang pura-pura menginginkan kebaikan untuknya.
14. Bergaullah dengannya dengan kemuliaan. Wa la haula wa la quwwata illa billah. (Tuhaful ‘Uqul, hal 256)


Rasulullah Saw Dan Hak Tetangga

Rasulullah Saw bersabda, “Tahukah kalian apa hak tetangga itu? Mereka menjawab, “Tidak.”

Rasulullah Saw bersabda:
1. Bantulah, bila dia meminta bantuan kepadamu.
2. Pinjamilah, bila dia meminjam sesuatu kepadamu.
3. Penuhilah kebutuhannya, bila dia membutuhkan sesuatu.
4. Barengilah saat dia mendapatkan musibah.
5. Sampaikan selamat atas kebaikan yang didapatkannya.
6. Jenguklah bila dia sakit.
7. Bila meninggal dunia, maka ikutlah memakamkannya.
8. Jangan membangun rumahmu lebih tinggi dari rumahnya, sehingga tidak menghalangi jalannya udara untuknya, kecuali bila dia sendiri mengizinkannya.
9. Bila engkau membeli buah maka, tawarkanlah kepadanya, bila engkau tidak melakukannya, maka masukkan ke rumahmu secara sembunyi-sembunyi, dan anakmu jangan sampai membawanya keluar sehingga anak tetanggamu sedih melihatnya.
10. Jangan sampai bau makananmu membuatnya terganggu, kecuali bila engkau juga membaginya.(Biharul Anwar, jilid 82, hal 93)

Seseorang berkata kepada Rasulullah Saw, “Apakah dalam harta ada hak selain zakat?”

Rasulullah Saw bersabda, “Iya.”
1. Berbuat baik kepada keluarga saat dunia berpaling darinya.
2. Memenuhi kebutuhan tetangga.

Maka, tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangga sesama muslimnya dalam keadaan lapar. (Safinatul Bihar, jilid 1, hal 190)

Rasulullah Saw bersabda:

Hak tetangga adalah:
1. Ketika dia sakit, maka jenguklah.
2. Ketika meninggal dunia, maka ikutlah memakamkan jenazahnya.
3. Ketika meminjam uang kepadamu, maka pinjamilah.
4. Ketika dia mendapatkan kebaikan, maka ucapkanlah selamat untuknya.
5. Sampaikan belasungkawa kepadanya bila mendapatkan musibah. 6 Jangan meninggikan bangunan rumahmu lebih dari bangunan rumahnya sehingga menghalangi jalannya udara untuknya. (Nahjul Fashahah, hal 291).

(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Orang-orang Besar Tanpa Nama Dalam Al-Qur’an


Al-Qur’an menyimpan mutiara terpendam yang tidak terbatas. Ayat-ayatnya mengandung makna yang demikian mendalam bagi orang-orang yang ingin memahaminya.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt kerap menyembunyikan nama sejumlah tokoh besar. Seolah Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa amal-amal mereka tetap tercatat dan tidak pernah hilang, meski sejarah takkan pernah tahu persisnya nama mereka.

Dengan cara itu pula Allah Swt ingin memberikan contoh dalam hal keikhlasan: kita tidak perlu mencari kemashuran atau pengakuan dalam melakukan perbuatan baik.

Sebagai contoh adalah yang terekam di dalam surah Al-Kahf. Allah Swt berfirman:


Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. al-Kahf [18]: 65)

Memang ada penjelasan dalam kitab-kitab tafsir tentang identitas hamba yang dimaksud, yakni Nabi Khidr. Tetapi tidak disebutkannya nama dan identitas hamba yang diberi rahmat dan ilmu yang demikian agung itu memang mengandung hikmah luarbiasa. Padahal hamba itu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh seorang nabi besar ulul azmi, yakni Nabi Musa.

Selanjutnya, Allah Swt menyebutkan seseorang yang menyeru kaumnya untuk mengikuti para rasul Allah namun nama maupun identitas sang penyeru itu disamarkan. Allah Swt berfirman dalam surah Yasin,




Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul itu.” (QS. Yasin [36]: 20)

Lebih dari itu, ada seseorang yang dikisahkan tanpa nama padahal dia telah mengalami pengalaman yang menakjubkan dan menyerupai sebuah mukjizat: dimatikan selama seratus tahun lalu dihidupkan kembali. Allah Swt berfirman,


Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 259)

Ketiga ayat di atas dan beberapa ayat lain (seperti kisah Ashabul Kahfi) mengajarkan suatu prinsip Ilahi berikut ini: Allah tidak akan tidur dan melupakan amal-amal seseorang, betapapun orang itu tidak diketahui atau tidak diakui oleh masyarakat sekelilingnya sebagai orang hebat. Jangan pernah khawatir dengan hilangnya amal-amal baik kita. Semua itu akan dicatat di sisi Allah Swt. Meskipun orang tidak mengenal siapa kita, sesungguhnya Allah Swt Mahamengetahui seberapa besar kebaikan dan keikhlasan kita. Bahkan, adakalanya, orang-orang yang dianggap hebat dan terkenal di zamannya tidak memiliki nilai apa-apa di sisi-Nya, sehingga kematian mereka adalah akhir bagi perjelanan mereka. Wallahu A’lam bis-shawab.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ayat Ukhuwwah Pada Tafsir Al-Qur'an


Ayat Ukhuwwah (Bahasa Arab: آیه الاُخُوَّت ) adalah ayat ke-10 surah Al-Hujurat yang bertemakan tentang masalah sosial, moral dan perilaku.

Allah Swt dalam ayat ini berfirman tentang hubungan persaudaraan, ukhuwah di antara orang-orang beriman dan tugas umat Muslim dalam masalah ini.

Berdasarkan kandungan ayat, orang-orang beriman adalah bersaudara dan apabila terjadi pertengkaran atau pertikaian di antara mereka, maka kaum Muslim lainnya memiliki kewajiban untuk mendamaikan keduanya.

Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah Saw menjalinkan hubungan persaudaraan dengan membuat akad ukhuwah di kalangan sahabat dan menjadikan Ali bin Abi Thalib As sebagai saudaranya.


Teks Ayat

﴾إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَ اتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴿ 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49]:10)


Tafsir Ayat

Ayat mulia ini menyinggung tentang salah satu tanggung jawab sosial terpenting umat Muslim dan memperkenalkan bahwa orang-orang beriman itu sesama mereka adalah saudara. Pertikaian di antara mereka adalah pertikaian sesama saudara. Karena itu, mereka diperintahkan untuk mendamaikan di antara dua saudaranya yang berselisih dan bertikai.

﴾ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ﴿ 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.”

Sebagaimana kalian berusaha mendamaikan dua saudara kandung yang bertikai maka kalian juga harus berusaha maksimal untuk dapat mendamaikan dua orang Mukmin yang bertengkar. Ukhuwwah dan persaudaraan bukan sekedar slogan melainkan harus diupayakan secara praktis dan melahirkan komitmen bersama untuk merealisasikan hal ini. [1]

Imam Shadiq As, “Orang beriman adalah saudara orang beriman (lainnya), (ia berkedudukan sebagai) matanya dan pemandunya. Ia tidak akan mengkhianati saudaranya dan tidak membenarkan adanya tindakan jahat padanya serta tidak menipunya. Sekiranya ia berjanji maka ia tidak akan melanggarnya.” [2]


Alusi, penulis Tafsir Ruh Al-Ma’āni, menghukumi hubungan persaudaraan orang-orang beriman sebagai sebuah majaz (bahasa kiasan) dan memandangnya sebagai tasybih (penyerupaan). Alusi mengatakan, “Partisipasi dua orang dalam iman adalah serupa dengan partisipasi keduanya dalam masalah tauhid; karena sebagaimana kelahiran itu sebagai sumber terjaganya keturunan manusia di dunia, iman juga adalah sebab lestarinya manusia di surga. [3]

Allamah Thabathabai, penyebutan ukhuwwah pada ayat ini bermakna hakiki meski demikian ia merupakan bagian dari hubungan-hubungan non-hakiki (i’tibāri). Ia berpandangan bahwa yang dimaksud sebagai ukhuwwah dalam ayat ini adalah hubungan persaudaraan agama dan urusan non-hakiki yang memiliki pengaruh sosial. Hubungan ini tidak berpengaruh pada masalah pernikahan dan warisan. [4]

Mengingat bahwa pada kebanyakan waktu, hubungan-hubungan dalam masalah-masalah seperti ini menjadi pengganti pakem-pakem yang ada, ayat ini kembali mengingatkan dan pada ujung ayat ini diimbuhkan, “Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [5]


Pembacaan Akad Ukhuwwah oleh Rasulullah

Ibnu Abbas berkata, “Tatkala ayat ukhuwwah turun, Rasulullah Saw mejalinkan hubungan persaudaraan di antara kaum Muslimin; antara Abu Bakar dan Umar, Usman dan Abdur-Rahman, dan sahabat lainnyya, berdasarkan kedudukan mereka. Kemudian memilih Ali bin Abi Thalib As sebagai saudaranya. Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali, “Engkau adalah saudaraku dan Aku adalah saudaraku.” [6]


Catatan Kaki:

1. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 2, hlm. 172.
2. Kulaini, Ushul Al-Kāfi, jld. 4, hadis 3, hlm. 491.
3. Alusi, Ruh Al-Ma’āni, jld. 13, hlm. 303.
4. Thabathabai, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizān, jld. 18, hlm. 472.
5. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 2, hlm. 169.
6. Bahrani, Al-Burhan Fi Tafsir Al-Qur’ān, jld. 5, hlm. 108; Hakim Naisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jld. 3, hlm. 14.


Daftar Pustaka 

1. Al-Quran
2. Alusi, Sayid Mahmud, Ruh Al-Ma’āni fi Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Azhim, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1415 H.
2. Bahrani, Hasyim bin Sulaiman, Al-Burhān Fi Tafsir Al-Qur’ān, Bunyad Bi’tsah, Tehran, 1416 H.
3. Al-Hakim Al-Naisyaburi, Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdillah, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Tanpa Tahun.
4. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Penj. Persia Musawi Hamadani, Sayid Muhammad Baqir, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizān, Daftar Nasyr Islami, 1374 S.
5. Kulaini, Muhammad bin Yakub, Penj. Kumrei, Muhammad Baqir, Ushul Kāfi, Uswah, 1375 S.
6. Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1374 S.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hadis Yaum Al-Dar


Hadis Yaum al-Dār (حدیث یوم الدار) adalah riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab sejarah, hadis-hadis dan tafsir berkenaan dengan turunnya ayat indzār:

 «وَ أَنْذِرْ عَشِیرَتَكَ الْأَقْرَبِینَ وَاخْفِضْ جَناحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِینَ فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّی بَرِی ءٌ مِمَّا تَعْمَلُون»

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan."(QS. Al-Syu'araa'[26]: 214-216)

Pada riwayat ini diceritakan mengenai upaya Nabi Muhammad Saw memperkenalkan dan mendakwahkan ajaran Islam kepada keluarga dan karib kerabatnya. Nabi Muhammad Saw menentukan suatu hari dan mengumpulkan keluarga besarnya untuk mengajaknya ke jalan Islam. Diakhir seruannya, ia mengumumkan bahwa yang kelak akan menjadi washi dan pelanjut dakwahnya adalah Ali bin Abi Thalib As.



Uraian Jalannya Peristiwa

Dengan turunnya ayat indzār pada tahun ketiga bi’tsah, Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada Ali As untuk menyiapkan makanan dan minuman dengan menu berupa satu paha kambing dan susu, lalu kemudian mengundang semua keturunan Abdul Muthalib untuk hadir karena ia akan menyampaikan pesan penting yang ia dapat dari Allah Swt. Ali As dengan penuh ketaatan menjalankan semua perintah tersebut.

Sekitar 40 orang dari keluarga besar Abdul Muthalib berkumpul pada hari yang telah ditentukan. Di antara mereka telah hadir Abu Thalib, Hamzah dan Abu Lahab. Secara alami, sebenarnya makanan yang disajikan tidak mencukupi untuk semua yang hadir, namun hari itu kesemua undangan mendapat bagian sampai mereka kekeyangan dan puas dengan apa yang telah disajikan. Dan anehnya, makanan yang disajikan tidak berkurang sedikitpun.

Merespon kejadian yang tidak biasa tersebut, Abu Lahab berkata, “Ini adalah sihir.” Pernyataan Abu Lahab tersebut memancing pembicaraan yang melenceng dari yang dikehendaki Nabi Saw, sehingga sampai majelis tersebut berakhir, Nabi Saw tidak mencapai tujuannya. Untuk kedua kalinya, Nabi Muhammad Saw meminta Ali As untuk melakukan pertemuan serupa dengan meminta kehadiran mereka kembali. Untuk kedua atau ketiga kalinya, setelah hadirin menyantap makanan yang disajikan, beliau berkata:

«یا بَنِی عَبْدِالْمُطَّلِبِ إِنِّی وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُ شَابّاً فِی الْعَرَبِ جَاءَ قَوْمَهُ بِأَفْضَلَ مِمَّا جِئْتُکُمْ بِهِ إِنِّی قَدْ جِئْتُکُمْ بِخَیرِ الدُّنْیا وَالْآخِرَةِ وَ قَدْ أَمَرَنِی اللَّهُ تَعَالَى أَنْ أَدْعُوَکُمْ اِلَیهِ فَأَیکُمْ یؤَازِرُنِی عَلَى هَذا الْأَمْرِ عَلَى أَنْ یکُونَ أَخِی وَ خَلِیفَتِی فِیکُم؟»

"Wahai keturunan Abdul Muthalib, aku bersumpah atas nama Tuhan, tidak ada pemuda dari kalangan bangsa Arab yang akan menyampaikan hal yang lebih baik dari apa yang akan aku sampaikan kepada kalian, atau yang dibawa untuk kaumnya. Aku membawa kebaikan bagi dunia dan akhirat kalian. Tuhan memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepadaNya. Sekarang siapa diantara kalian yang akan menolongku yang dengan itu akan menjadi saudaraku dan washiku ditengah-tengah kalian?”

Mendapat tawaran dari Nabi Saw, tidak seorangpun yang memberikan jawaban. Ali As yang saat itu adalah yang paling kecil dan berusia paling muda diantara semua yang hadir berkata, “Ya Rasulullah, aku yang akan menolongmu.”

Nabi Saw berkata:

«إِنَّ هَذَا أَخِی وَ وَصِیی وَ خَلِیفَتِی فِیکُمْ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِیعُوا»

“Inilah saudara, washi dan khalifahku di tengah-tengah kalian. Dengarkanlah perkataannya dan taatilah perintahnya.” [1]

Kesemua yang hadir lantas berdiri, dan sambil tertawa mengejek mereka berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad memerintahkan, untuk kamu taat kepada puteramu dan mendengarkan perkataannya.”

Di kalangan para ahli sejarah dan ahli tafsir, peristiwa di atas dinamakan Yaum al-Dār yaitu hari dimana keluarga dan sanak kerabat Nabi Muhamad Saw berkumpul di rumahnya . Atau biasa juga disebut dengan nama Bida al-Da’wat (hari dimulainya dakwah) dan Yaum al-Indzār. Hadits ini sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak ahli sejarah dan ahli tafsir. [2]

 
Catatan Kaki

1. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Mulk, jld. 2, hlm. 279.
2. Silahkan lihat, Ibnu Atsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 60-63; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld 3, hlm. 50-54, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Azhim, jld 6, hlm. 151-153; Thabarsi, Majma’ al-Bayān, jld. 7, hlm. 206; Bahrāni, al-Burhān fi Tafsir al-Qur’an, jld. 4, hlm. 186-189; Furāt Kūfi, Tafsir Furāt Kūfi, hlm. 300; Suyūthi, al-Durr al-Mantsūr, jld. 5, hlm. 97; Huskāni, Syawāhid al-Tanzil, jld. 1, hlm. 542-543; Ibnu Hisyām, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 262


Daftar Pustaka

1. Tārikh al-Imam wa al-Muluk, Muhammad bin Jarir al-Tabari, Beirut, Dār Qāmūs al-Hadits, tanpa tahun.
2. Al-Kāmil fi al-Tārikh, Ibn Atsir, Beirut, Dār Sādr, 1399 H.
3. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Ismail bin Katsir Syāmi, Beirut, Dār Ahyā al-Turāt al-Arabi, 1413 H
4. Ibnu HIsyām, al-Sirah al-Nabawiah, Beirut, al-Maktbah al-‘Alamiyah, tanpa tahun.
5. Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’an, Beirut, Dār al-Kutub al-Alamiyah Mansyurāt Muhammad Ali Baidhun, 1419 H.
6. Bahrāni, Sayyid Hasyim, al-Burhān fi Tafsir al-Qur’an, Tehran, Bunyād Bitsat, 1416 H.
7. Fur Kufi, Abul Qasim Furat bin Ibrahim, Tafsir Furat Kufi, Tehran, Penerbit dan Percetakan Kementerian Irsyad Islami, 1410 H.
8. Suyuti, Jalaluddin, al-Dār al-Mantsur, Qom, KItabkhaneh Ayatullah Mursyi Najafi, 1404 H.
9. Haskani, Ubaidallah bin Ahmad, Syawāhid al-Tanzil Liqawa’id al-Tafdhil, Tehran, Penerbit dan Percetakan Kementerian Irsyad Islami, 1411 H.

(Thabarsi/Al-Bidayah/Wiki-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Surat Al-Maidah 51, Penjelasan Ahli Tasfsir Indonesia

Prof. Quraish Shihab

Surat Al-Maidah 51, inilah penjelasan Ahli Tasfsir Indonesia Prof. Quraish Shihab. Penjelasan Surat Al-Maidah 51 ini diposting untuk tujuan agar umat Islam mendapatkan rujukan yang komprehensif dari Ahli Tafsir Indonesia. Agar tidak mudah teromabang-ambing oleh provokasi dari pihak-pihak tertentu setiap Indonesia menghadapi ‘hajatan demokrasi’ berupa Pemilu atau Pilkada. Apalagi sekarang ini DKI Jakarta sedang menuju Pilkada, di mana salah satu calon adalah seorang Non Muslim.

Baru-baru ini, usai sidang di Mahkamah Konstitusi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja (Ahok) tiba-tiba saja diteriaki ‘gila’ oleh Habib Novel Bamukmin alias Habib Novel. Habib Novel bereaksi keras, karena tak terima Ahok yang dianggap telah mempermainkan ayat suci Al-Qur’an. Sebelumnya, setelah menyapa warga di Kepulauan Seribu, Ahok sempat menyebut kalau warga dibohongi dengan menggunakan surat Al-Maidah 51 untuk tidak memilih dirinya.

Seperti diketahui, ayat dari Surat Al-Maidah 51 yang kerap disebut sebagai dalil menolak ‘pemimpin kafir’ itu ialah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’; sebahagian mereka adalah awliya bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Surat Al-Maidah 51).

Benarkan ayat di atas menyerukan penolakan “pemimpin kafir”? Menurut pakar tafsir Al-Qur’an Prof. Quraish Shihab, ayat di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Surat Al-Maidah 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.

“Konsekuensi dari sikap orang yang memusuhi Al-Qur’an, enggan mengikuti tuntunannya…”
Pada ayat sebelumnya, Al-Qur’an diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab Taurat dan Injil akibat ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka – Yahudi dan Nasrani, enggan mengikuti tuntunan Al-Qu’ran, maka mereka berarti memberi ‘peluang’ pada Allah untuk menjatuhkan siksa terhadap mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan.

“Jadi, mereka dinilai enggan mengikuti tuntunan Tuhan tapi senang mengikuti tuntunan jahiliah,” katanya saat menjelaskan surat Al-Maidah 51 dalam pengajian Tafsir Al-Qur’an di salah satu stasiun TV swasta.

Lalu, dilanjutkan oleh ayat 51 surat Al-Maidah. Dalam surat Al-Maidah 51 merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, kalau memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani – mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Qur’an, keinginannya mengikuti jahiliyah, – “Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagaiawliya.”

Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. “Kalau begitu sifat-sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa?,” tanyanya memantik diskusi sebelum mengkaji lebih dalam mengenai pemahaman surat Al-Maidah 51.

‘Awliya’ ialah jamak atau bentuk plural dari ‘wali’. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini, pada mulanya berarti “yang dekat”. Karena itu, waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah.

“Wali kota itu berarti yang mestinya paling dekat dengan masyarakat. Orang yang paling cepat membantu Anda, ialah orang yang paling dekat membantu Anda. Nah, dari sini lantas dikatakan bahwa wali itu pemimpin atau penolong.”

Adapun wali dalam pernikahan – apalagi terhadap anak gadis – sebenarnya fungsinya melindungi anak gadis itu dari pria yang hanya ingin ‘iseng’ padanya. Seseorang yang dekat pada yang lain, berarti ia senang padanya. Karena itu, iblis jauh dari kebaikan karena ia tidak senang.

“Dari sini, kata ‘wali’ yang jamaknya ‘awliya’ memiliki makna bermacam-macam,” jelasnya terkait penjelasan surat Al-Maidah 51.

Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam konteks hubungan antar manusia, berarti persahabatan yang begitu kental. Sedemikan hingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka. Demikian pula hubungan suami-istri yang dileburkan oleh cinta.


Apakah Surah Al-Maidah 51 menjadi dalil larangan memilih pemimpin non muslim? Jawaban Quraish Shihab

“Dalam ayat ini, jangan angkat mereka –Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan pada ayat sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau membocorkan rahasia kepada mereka.” Kata Prof. Quraish Shihab, seorang Ahli Tafsir Indonesia.

Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna pemimpin, kata Quraish Shihab. “Itu pun, sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan Allah dan hanya mau mengikuti tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.”

Contohnya, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat? Quraish Shihab kembali bertanya, jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dan pilot kurang pandai yang Muslim, “pilih mana?” sontak jamaah yang hadir pun tertawa.

Atau, pilihan antara dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman. Dalam konteks seperti ini, bagi Quraish Shihab, tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka.

“Itu yang terlarang.”

Namun kalau pergaulan sehari-hari, dagang, membeli barang dari tokonya dsb, tidaklah dilarang. Selanjutnya ayat ini berbicara tentang sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Artinya, sebagian orang Yahudi bekerjasama dengan orang Nasrani yang walaupun keduanya beda agama namun kepentingannya sama, yaitu mencederai kalian. Oleh sebab itu, Al-Qur’an berpesan, “Siapa yang menjadikan mereka itu orang yang dekat, yaitu meleburkan kepribadiannya sebagai Muslim sehingga sama keadaannya (sifat-sifatnya) dengan mereka, oleh ayat ini diaggap sama dengan mereka.”

Terakhir, Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang zalim. Menurut Quraish Shihab, petunjuk ada dua macam; umum dan khusus. Petunjuk khusus itu, memberi tahu dan mengantar. Allah memberi tahu kepada semua manusia tentang ini baik dan itu buruk tapi tidak semua diantar oleh-Nya. Di sisi lain ada yang tidak sekedar diberitahu jalan baik, namun juga diantar jika orang itu menginginkan. Meski demikian, Allah tidak memberi petunjuk khusus mereka yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Terkait penjelasan surat al-maidah 51 oleh Ahli Tafsir Indonesia, silahkan tonton videonya di atas artikel ini untuk lebih detailnya.


(Islam-Indonesia/Islam-Institute/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Melempar Uang ke kuburan


Di pemakaman Baqi' ada papan yang bertuliskan: "Dilarang melempar uang ke kuburan."

Pada suatu hari, ada sebagian peziarah yang melempar uang ke pemakaman, lalu petugas amar makruf mendatangi mereka dan berkata, "Ambil uang-uang itu dan berikan kepada para peziarah lainnya. Melempar uang ke kuburan adalah haram!"

Di antara mereka ada seorang alim Syiah yang bertanya, "Apa alasanmu menyebutnya haram? Apakah ada hadis Nabi yang melarang perbuatan ini? Padahal Nabi berkata, "Segala sesuatu boleh hukumnya, kecuali jika aku katakan itu tidak boleh."

Petugas menjawab dengan membacakan ayat 60 surah Al-Taubah, "Sesungguhnya sedekah hanya untuk orang-orang fakir dan miskin."

Alim Syiah, "Uang-uang ini pun juga akan diambil oleh petugas kuburan yang mana mereka adalah orang-orang miskin."

Petugas, "Mereka tidak miskin!"

Alim Syiah, "Mereka tidak harus orang miskin. Dalam ayat yang kamu baca itu pun, salah satu saja yang berhak menerima sedekah adalah orang fakir, sedangkan selain orang fakir juga ada. Karena ada delapan jenis orang yang berhak menerima sedekah. Jadi, selain kepada fakir miskin, kita juga bisa bersedekah kepada orang yang bekerja di jalan Allah (fi sabilillah)."

Ia menambahkan, "Jika seseorang mencintai wali Allah, lalu datang ke pemakaman tempat ia dikuburkan, lalu berkata bahwa segala harta benda dan jiwanya akan dipersembahkan kepadanya, lalu meletakkan sejumlah uang di makamnya agar dapat digunakan oleh petugas pemakaman dengan tujuan yang baik, apa salahnya?"

Alim Syiah membacakan ayat 116 surah Al-Nahl, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah." lalu berkata, "Yakni janganlah kalian asal berkata ini haram itu haram!" [1]


Referensi:

1. Perdebatan di Haramain Syarifain, Ayatullah Sayid Abdullah Syirazi.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kedudukan Imam Ali as dan Masalah Wahyu


Saat itu masjid penuh dengan para jamaah. Seorang alim sedang berceramah mengenai keagungan dan kedudukan Imam Ali as. Ia menukilkan sebuah riwayat yang berbunyi:

Pada suatu hari, Rasulullah saw meminta air. Saat itu Imam Ali as, Fatimah as, Hasan as, dan Husain as bersama beliau. Tak lama kemudian air dibawakan untuk beliau. Pada mulanya, Rasulullah saw memberikan kepada Hasan as, lalu Husain as, kemudian putrinya, Fatimah Zahra as. Saat mereka bertiga meminum air, beliau berkata, "Bersyukur dan nikmatilah air segar ini." Setelah itu, beliau memberikan air kepada Imam Ali as. Beliau berkata, "Bersyukur dan nikmatilah air segar ini, wahai wali-ku, hujjah-ku atas umatku." Lalu Rasulullah saw bersujud dan bersyukur. Fatimah Zahra as bertanya kepada ayahnya, "Apa rahasia sujudmu ini?" Rasulullah saw menjawab, "Saat aku memberikan air kepada kalian bertiga, aku mendengar para malaikat mengatakan apa yang aku katakan pada kalian saat itu. Namun, saat aku memberikan air kepada Ali, aku mendengar Tuhan sendiri yang mengatakan apa yang kukatakan kepadanya waktu itu. Oleh karena itu, aku bersyukur pada-Nya atas segala nikmat.[1]

Saat itu seseorang berdiri dan bertanya, "Memangnya Tuhan punya suara sehingga Rasulullah saw sampai bisa mendengar-Nya?"

Alim menjawab, "Tuhan dapat menciptakan suara di dalam ruang dan tempat, lalu nabi-Nya dapat mendengarnya. Penjelasannya begini. Komunikasi antara Tuhan dengan para nabi-Nya terjadi dengan tiga cara:
1. Menyampaikan pemahaman ke dalam hati. Kebanyakan para nabi berhubungan dengan Allah dengan cara ini.
2. Melalui perantara Jibril, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al Baqarah, ayat 97.
3. Dari balik tirai, dengan cara mewujudkan suara. Sebagaimana Allah swt berbicara dengan Nabi Musa as di bukit Thur, dengan mewujudkan suara yang dapat didengar olehnya.” [2]

"Aku minta maaf, aku kira hanya ada satu macam wahyu saja." Kata penanya. Lalu ia bertanya lagi, "Namun, masih ada pertanyaan lain. Apakah selain ayat-ayat Al-Quran, ada lagi yang diwahyukan kepada nabi?"

Sang Alim menjawab, "Ya, selain Al-Quran ada yang lainnya. Misalnya, mengenai hukum-hukum syariat, semuanya berdasarkan wahyu. Dalam Islam, Rasulullah tidak pernah mengucapkan apapun selain wahyu. Sebagaimana yang disebutkan dalam surah An Najm ayat 2, "Dan ia tidak berbicara kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."


Referensi:
1. Bihar Al-Anwar, jld. 76, hlm. 57.
2. QS. Al-Nisa' : 164; Thaha : 11 dan 12; Al-Syura : 51.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Larangan Atas Celaan Terhadap Imam Ali Bin Abi Thalib R.a


Sejak kecil, Umar bin Abdul Aziz berguru kepada seorang guru yang mengenal Allah dan beriman. Pada suatu hari, Umar bermain bersama anak-anak sebaya dari kalangan Bani Umayah dan keluarga-keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan dinasti ini. Ketika sedang sibuk bermain, mereka melaknat Imam Ali as dengan alasan kecil apapun. Umar pun satu suara dengan mereka. Secara kebetulan sang guru sedang melewati mereka dan mendengar Umar sedang melaknat Imam Ali as bersama anak-anak yang lain. Sang guru pun tidak mengucapkan sepatah kata pun dan langsung pergi ke masjid.

Waktu belajar pun tiba dan Umar pergi ke masjid untuk belajar. Begitu melihat sang murid datang, sang guru pun mulai mengerjakan salat. Umar duduk dan menunggu dalam beberapa waktu lamanya sehingga sang guru usai mengerjakan salat. Akan tetapi, ia lebih memperpanjang salat tidak seperti biasanya. Umar yang masih kecil merasa bahwa sang guru sedang marah terhadap dirinya. Salat ini tidak lebih dari sekadar alasan.
Setelah usai salat, sang guru memandang Umar dengan ketus seraya berkata, “Dari mana kamu tahu bahwa Allah murka terhadap ahli Badar dan Baiat Ridhwan setelah Dia rida terhadap mereka?”[1]

“Saya tidak tahu menahu tentang masalah ini,” jawab Umar pendek.

“Saya minta maaf atas kelakuanku itu dan akan bertobat kepada Allah. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini,” imbuh Umar.

Nasihat logis sang guru berhasil mempengaruhi Umar bin Abdul Aziz. Ia mengambil keputusan untuk tidak menyebut nama Ali as disertai dengan keburukan (celaan).

Tidak lama setelah itu, peristiwa kedua terjadi. Dan peristiwa ini lebih memperkuat keputusan Umar.


Kisah peristiwa tersebut adalah berikut ini:

Ayah Umar telah diangkat oleh pemerintah pusat di Syam (Suriah) untuk menjadi gubernur Madinah. Pada setiap hari Jumat, ia membaca khutbah salat Jumat. Ia pasti memulai khutbah ini dengan melaknat Imam Ali as dan menutupnya dengan mencerca beliau.

Pada suatu hari, Umar berkata kepada ayahnya, “Ayah! Setiap kali kamu berkhutbah dan mengupas sebuah tema, kamu pasti bisa mengupasnya dengan baik dan sangat bagus. Akan tetapi, ketika tiba giliran untuk melaknat Ali, kamu pasti gagap. Mengapa hal ini pasti terjadi?”

“Anakku! Kamu telah memahami masalah ini?” tanya Abdul Aziz.
“Iya,” jawab Umar pendek.

Sang ayah menjawab, “Anakku! Apabila rakyat yang telah berkumpul di sekeliling kita dan mau duduk di bawah mimbar kita ini mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh Ali, niscaya mereka akan meninggalkan kita dan mengikuti anak keturunannya.”

Mendengar pengakuan sang ayah, Umar yang masing teringat oleh wejangan gurunya sedikit terperanjat. Ia berjanji, apabila kelak berhasil menjadi penguasa, maka ia akan menghapus bid’ah buruk yang merupakan peninggalan Muawiyah bin Abi Sufyan ini.

Untuk itu, setelah memegang tampuk kekhalifahan pada tahun 99 H, Umar menepati janji yang selama ini dipendamnya. Ia menyebarkan sebuah surat perintah supaya laknat terhadap Imam Ali as diganti dengan membaca ayat, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan kezaliman. Dia memberi nasihat kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Nahl : 90)

Keputusan Umar ini memperoleh tanggapan baik masyarakat dan para penyair menyanjungnya.[2]


Referensi:

1. Maksud sang guru adalah Imam Ali as adalah salah seorang peserta Perang Badar dan Baiat Ridhwan. Bahkan beliau berada di barisan paling depan. Dalam Al-Quran, Allah telah mengumumkan keridaan-Nya terhadap beliau. Untuk itu, jelas beliau tidak boleh dilaknat.
2. Al-Kâmil fî Al-Târîkh, Ibn Atsir, Beirut, Dar Shadir, jld. 5, hlm. 42; Murûj Al-Dzahab, Mas’udi, Beirut, Dar Al-Andalus, jld. 3; Syarh Nahjul Balâghah, Ibn Abil Hadid, cet. 2, Qom, Mansyurat Maktabah Ayatulah Uzhma Mar’asyi Najafi ra, jld. 3, hlm. 59.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain-ABNS)

Kezaliman Yang Menimpa Sayidah Fatimah Zahra s.a






Berikut ini adalah perdebatan seorang alim Syiah dengan salah satu petugas Amar Makruf di Hijaz:

Orang Hijaz: Saat berada di samping makam Rasulullah saw, bukannya Anda berzikir, tapi Anda malah berkata "Salam bagimu wahai putri Nabi yang terzalimi? Memangnya siapa yang menzalimi putri Nabi?

Alim Syiah: Peristiwa menyedihkan yang menimpa putri Nabi justru dapat kamu baca di kitab-kitabmu sendiri.

Orang Hijaz: Di kitab yang mana?

Alim Syiah: Dalam kitab Al-Imâmah wa As Siyâsah, karya Ibnu Qutaibah Al-Dainawari.
Orang Hijaz: Tidak ada kitab yang demikian pada kami.

Alim Syiah: Aku akan membeli kitab itu di pasar-pasar sini dan memberikannya kepadamu.

Akhirnya, alim syiah itu pergi ke pasar dan membeli kitab tersebut. Ia membuka halaman 19 kitab itu dan menunjukkannya kepada orang Hijaz. Di situ tertuliskan: "Abu Bakar mencari-cari setiap orang yang tidak membaiatnya. Akhirnya, mereka berkumpul di depan rumah Fatimah Zahra. Umar bin Khattab diperintahkan untuk memanggil Ali bin Abi Thalib. Umar berteriak, ‘Hai Ali, keluarlah untuk membai'at Abu Bakar.’ Ali tidak menghiraukan teriakannya. Akhirnya, Umar meminta agar dibawakan kayu bakar lalu berkata, ‘Demi Tuhan, keluarlah atau akan kubakar rumah dan penghuninya!’

Sebagian orang berkata kepada Umar, ‘Ada putri Rasulullah saw di dalam!’ Umar menjawab, "Biar saja kalau memang Fatimah ada di dalam!’ Akhirnya Ali pun keluar dari rumahnya.”

Di halaman itu pula disebutkan: "Ketika Abu Bakar terlentang di ranjangnya untuk terakhir kali dalam hayatnya, ia selalu berkata, "Andai saat itu tidak berbuat semacam itu di rumah Ali."

Orang Hijaz berkata, "Kamu lihat apa kata Abu Bakar di akhir hayatnya? Bukankah dia telah menunjukkan penyesalannya?"

Ia kelihatan terpojok lalu berkata, "Penulis kitab itu sepertinya condong kepada Syiah." [1]

Jika Ibnu Qutaibah condong ke Syiah, apakah Bukhari juga tidak condong ke mazhab itu?

Padahal keduanya meriwayatkan bahwa Fatimah Zahra marah di akhir hayatnya terhadap Abu Bakar, dan selalu menjauh darinya hingga akhirnya beliau wafat.[2]


Referensi:

1. Perdebatan di Haramain Syarifain, perdebatan no 9.
2. Shahih Muslim, jld. 5, hlm. 153, cet. Mesir; Shahih Bukhari, jld. 5, hlm. 177, cet. Al-Syu'ab.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Berziarah di Samping Makam Nabi Dengan Suara Keras


Salah seorang alim Syiah bercerita:

Pada waktu itu, saya bersama rombongan lainnya pergi menuju makam Nabi di Masjid Nabawi, lalu di sana kami sibuk membaca doa ziarah.

Tak lama kemudian, salah seorang pengurus Masjid Nabawi yang bernama Syaikh Abdullah bin Salih datang kepadaku dan berkata, "Jangan membaca doa ziarah dengan keras di dekat makam Nabi."
Aku bertanya, "Memangnya kenapa?"

Dijawabnya, "Bukankah Allah swt pernah berfirman dalam surah Al Hujurat ayat 2: "Wahai orang yang beriman, janganlah kalian tinggikan suara kalian di atas suara nabi. Dan janganlah kalian berteriak sebagaimana kalian berteriak kepada teman kalian. Karena mungkin dengan perbuatan itu amal kalian akan lenyap."

Aku jawab, "Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq di tempat ini juga ia mengajar murid-muridnya yang berjumlah empat ribu orang. Bagaimana ia tidak mengajar dengan suara yang kencang supaya murid-muridnya bisa mendengar? Apakah perbuatannya adalah perbuatan haram?

Abu Bakar dan Umar juga berkhutbah dengan suara yang kencang di tempat ini, dan para pendengarnya pun meneriakkan takbir. Apakah itu semua haram? Sekarang pun ulama kalian berpidato di tempat ini dengan suara yang kencang dan meneriakkan takbir; apakah mereka semua bertentangan dengan Al-Quran?"
Lalu orang itu bertanya, "Jadi, apa maksud ayat tersebut?"

Aku berkata, "Yang dimaksud adalah berbicara dengan suara kencang yang tidak ada gunanya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat-sahabat saat itu di kehadiran nabi. Sebagaimana yang dapat Anda baca dalam asbabun nuzul ayat itu. Saat itu ada sekelompok orang dari Bani Tamim yang memasuki Majid Nabawi, di samping kamar nabi, lalu berteriak, "Wahai Muhammad, sini keluarlah datangi kami!" [1]

Lenyapnya amal dikarenakan berbicara kencang yang tidak sopan di hadapan Nabi, bukan karena sembarang bersuara kencang. Lagi pula kita membaca doa ziarah dengan suara kencang namun dengan penuh hormat dan rendah hati, mengharapkan kebaikan, bukan berniat tidak sopan dan menyakiti nabi.
Tsabit bin Qais, seorang sahabat memang suaranya lantang. Saat mendengar ayat tersebut, ia pun bersedih dan berkata, "Celakalah aku, ayat ini diturunkan untuk memperingatiku."

Namun Rasulullah saw berkata, "Tidak, Tsabit bin Qais adalah penghuni surga." [2]


Referensi:

1. Perdebatan di Haramain Syarifain, perdebatan no. 22.
2. Majma' Al-Bayân, jld. 9, hlm. 130.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wahabi Menyalahkan Syiah Soal Duduk di Samping Kuburan, Shahih Bukhori: Rasulullah Pernah Duduk di Samping Kuburan


Seorang Wahabi di Madinah menyalahkan seorang alim Syiah dengan berkata: "Mengapa kamu duduk di samping kubur? Padahal perbuatan itu adalah haram!"

Alim Syiah berkata, "Jika duduk di samping kuburan adalah perbuatan yang haram, maka aku juga dapat berkata bahwa duduk di Masjidul Haram adalah perbuatan haram juga, karena berada di samping Hijir Isma'il. Di tempat ini beberapa orang dari para nabi, seperti nabi Isma'il dan juga Hajar ibunya dimakamkan di situ. Bukankah demikian? Mengapa kalian tidak berfatwa duduk di Masjidul Haram juga haram hukumnya?

Padahal banyak sekali hadis-hadis yang menyebutkan hal itu tidak apa-apa; misalnya dalam Shahih Bukhari, yang bagi kalian adalah kitab bagai Al-Quran, diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib as bahwa ia berkata: "Waktu itu kita ada di pemakaman Baqi', dan Rasulullah saw datang mendekati kami, lalu beliau duduk. Kami pun juga duduk di samping beliau. Lalu beliau berkata, "Setiap manusia hanya memiliki satu di antara dua tempat: neraka atau surga." [1]

Berdasarkan riwayat tersebut Rasulullah saw sendiri pernah duduk di kuburan bersama sahabat-sahabatnya, dan tidak ada masalah dengan hal itu.[2]


Referensi:

1. Shahih Al-Bukhari, jld. 2, hlm. 130.
2. Al-Munazharat fi Al-Haramain Al-Syarifain, dialog ke-13.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah Seorang Tua yang Mempermalukan Muawiyah


Jabir bin Abdullah Anshari bercerita berikut ini:

Pada suatu hari, saya berkunjung ke Syam (Suriah). Setibanya di Syam, saya berjumpa dengan Muawiyah bersama dua anaknya, Khalid dan Yazid, serta ‘Amr bin ‘Ash. Tiba-tiba seorang tua yang berasal dari Irak muncul. Ia sudah renta dengan memakai ikat pinggang yang terbuat dari pelepah kurma, memakai sandal terbuat dari pelepah kurma, dan mengenakan pakaian yang sudah usang. Pandangannya tertunduk ke bawah.

“Sebaiknya kita bergurau dengan orang tua in, dan sedikit kita bergembira ria,” ujar Muawiyah.
Muawiyah: Hai Syeikh! Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua itu tidak menjawab.
‘Amr bin ‘Ash: Hai Orang tua! Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaan Amirul Mukminin?
Orang tua: Setelah keluar dari masa jahiliah, Allah telah menetapkan salam selain salam yang telah diucapkan oleh Muawiyah itu.
Muawiyah: Hai Syeikh! Betul kamu dan saya salah. Assalamu ‘alaika, hai Syeikh.
Orang tua: Alaikumus salam.
Muawiyah: Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua: Saya datang dari Irak dan hendak menuju Baitul Maqdis.
Muawiyah: Bagaimana berita dari Irak?
Orang tua: Penuh kebaikan dan berkah.
Muawiyah: Kamu berkata berasal dari Kufah dan dari tanah Ghurri?
Orang tua: Apa itu Ghurri?
Muawiyah: Tempat Abu Turab berdomisili.
Orang tua: Siapakah Abu Turab?
Muawiyah: Ali bin Abi Thalib.
Orang tua: Hai Muawiyah! Semoga Allah mempermalukanmu dan melaknat orang tuamu! Mengapa kamu tidak menyebutnya sebagai imam yang adil, tempat rakyat berlindung, pemimpin agama, pembasmi musyrikin, pedang Allah yang senantiasa terhunus, anak paman Rasulullah saw, suami Sang Batul, mahkota para fuqaha, harta simpanan orang-orang fakir, penghuni Kisa’ yang kelima, singa yang selalu menang, ayah Hasan dan Husain, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as?
Muawiyah: Hai Syeikh? Saya lihat daging dan darahmu telah bercampur dengan daging dan darah Ali. Jika ia mati, jangan sampai engkau menanggung sebuah pekerjaan dan engkau tidak mampu melaksanakannya.
Orang tua: Semoga Allah tidak mencobaku dengan keterhalangan darinya dan semoga Dia mengagungkan kesedihanku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa Allah tidak akan memanggil pemimpin dan junjunganku sebelum salah satu dari keturunannya Dia tunjuk sebagai hujah bagi semesta alam.
Muawiyah: Hai Syeikh! Sepertinya engkau salah alamat.
Orang tua: Saya telah menunjukkan jalan yang lurus kepada siapa yang menghendaki.
‘Amr bin ‘Ash: Hai Muawiyah! Sepertinya orang ini tidak mengenalmu sehingga ia berani kurang ajar.
Muawiyah: Hai Syeikh! Apakah kamu mengenalku?
Orang tua: Tidak.
Muawiyah: Saya adalah anak Abu Sufyan, pohon yang suci dengan rerantingan yang menjulang tinggi dan pemuka Bani Umaiyah.
Orang tua: Hai Muawiyah! Sebaliknya. Engkaulah orang yang disebutkan oleh Rasulullah saw dengan nama la’în (orang terlaknat). Maksud syajarah mal’ûnah (pohon terlaknat) dalam Al-Quran adalah dirimu. Akar keturunan yang hina adalah dirimu. Engkaulah yang telah berbuat lalim atas dirimu dan mengingkari Tuhanmu.
Engkaulah maksud sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Kekhalifahan adalah haram bagi anak Abu Sufyan.” Engkaulah pendosa, anak seorang pendosa, dan anak Hindun pemakan hati. Engkaulah orang lalim yang kelalimannya telah menguasai seluruh hamba Allah.
Lantaran amarah, wajah Muawiyah menjadi merah lebam dan seluruh urat lehernya tampak kelihatan jelas. Ia memegang gagang pedang dan menghampiri orang tua itu. Akan tetapi, ia berusaha mengontrol amarahnya seraya berkata, “Seandainya memaafkan bukanlah perbuatan yang terpuji, niscaya saya sudah ambil kepalamu. Hai Syeikh! Bagaimana pendapatmu apabila saya penggal kepalamu?”
Orang tua itu menjawab dengan tenang, “Ketika itu, saya akan sampai ke puncak kebahagiaan dan engkau akan sampai ke puncak kesengsaraan.”
Muawiyah berpendapat bahwa membunuh seorang tua bangka yang hari ini atau besok akan meninggal dunia tidak akan berguna. Oleh karena itu, ia mengalihkan pembicaraan seraya berkata, “Hai Syeikh! Pada hari Ali membunuh Utsman, kamu berada di mana?”
Orang tua: Tidak demi Allah! Ali tidak membunuh Utsman. Jika Ali ingin membunuh Utsman, maka ia tidak akan pernah menggunakan makar dan tipu muslihat. Ia akan membunuh Utsman dengan pedang yang tajam dan lengan yang kuat. Ali kala itu hanya diam demi menjaga wasiat Rasulullah saw.
Muawiyah: Apakah kamu mengikuti Perang Shiffin sehingga menyaksikan Ali menumpahkan darah?
Orang tua: Saya ikut. Betapa banyak anak-anak dari pasukanmu yang telah saya yatimkan. Bak pedang yang sedang marah, kadang-kadang saya berperang dengan menumpahkan anak panah dan kadang-kadang pula dengan tombak. Saya telah melemparkan 73 panah ke arahmu. 2 anak panah mengenai perisaimu, 2 anak panah mengenai dahimu, dan 2 anak panah menembus lenganmu. Jika kamu menanggalkan pakaian, maka bekas anak panah itu akan terlihat.
Muawiyah: Apakah kamu menghadiri Perang Jamal; yaitu ketika Ali memerangi Aisyah, istri mulia Rasulullah saw? Pada perang ini, siapakah yang benar?
Orang tua: Ali adalah pihak yang benar.
Muawiyah: Bukankah Allah telah berfirman, “Seluruh istrinya (Muhammad) adalah ibu mereka?” [1] Seluruh istri Rasulullah adalah ibu umat ini. Lalu, mengapa Ali memerangi Aisyah?
Orang tua: Bukankah Allah telah berfirman kepada Aisyah dan seluruh istri Rasulullah saw yang lain, “Dan hendaklah kalian menetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu?” [2] Akan tetapi, dari sekian istri Rasulullah saw, hanya Aisyah yang enggan menerima perintah Allah itu dan meninggalkan rumah. Lalu, ia keluar mengikuti aturan jahiliah bersama sekelompok banyak nonmuhrim dan keluar untuk memerangi Amirul Mukminin Ali as.
Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, “Engkau, hai Ali, adalah khalifahku atas seluruh istriku. Perceraian mereka ada di tanganmu.”
Dengan itu semua, Aisyah berkali-kali menyulut api fitnah sehingga darah muslimin ditumpahkan dan harta benda mereka dilindas habis.
Muawiyah: Engkau sudah tidak memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara. Maukah kamu saya beri hadiah 20 ekor unta berbulu merah dengan punggung yang penuh muatan madu, minyak goreng, dan gandum berkualitas tinggi?
Orang tua: Saya tidak mau.
Muawiyah: Mengapa?
Orang tua: Rasulullah saw pernah bersabda, “1 Dirham halal adalah lebih baik daripada unggukan Dirham haram.”
Muawiyah: Hai Syaikh! Kapankah masa umat ini menjadi gelap gulita dan cahaya rahmat padam?
Orang tua: Setelah engkau memimpin umat ini dan ‘Amr bin ‘Ash menjadi wazirmu.
Muawiyah: Hai Syaikh! Bergegaslah pergi dari hadapanmu. Jika saya sekali lagi melihatmu berada di Damaskus, maka saya pasti memenggal kepalamu.
Orang tua: Saya tidak akan pernah tinggal di sebuah tempat yang kamu berada di tempat itu, karena Allah berfirman, “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” [3]

Setelah berkata demikian, orang tua beriman yang hatinya penuh dengan kecintaan kepada Imam Ali as itu menoleh sejenak ke arah Mua’wiyah yang tertegun bak orang dungu dan orang-orang di sekitarnya. Lalu, ia melanjutkan perjalanan menuju Baitul Maqdis.[4]


Referensi:

1. QS. Al-Ahzab : 6.
2. QS. Al-Ahzab : 33.
3. QS. Hud : 113.
4. Nâsikh Al-Tawârîkh, hlm. 124.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wanita Lebih Tahu daripada Umar Bin Khattab


Menurut beberapa riwayat, Umar bin Khatab melihat mas kawin dipermahal oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia naik ke atas mimbar seraya memprotes mereka. Ia berkata, “Mengapa kalian mempermahal mas kawin?

Saya tidak mau mendengar ada seorang wanita menentukan mas kawinnya lebih dari 400 dirham. Jika ia melakukannya, maka saya akan mencambuknya dan akan merampas kadar mas kawin yang lebih dari 400 dirham dan memasukkannya ke Baitul Mal.”

Seorang wanita cerdas serta merta berteriak dari bawah mimbar, “Apakah kamu melarang kami untuk menentukan mas kawin lebih dari 400 dirham dan akan merampas selebihnya?”

“Iya,” jawab Umar singkat.

Wanita itu menimpali, “Jika demikian, maka kamu telah menentang hukum Allah dan memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Ilahi.”

“Hai wanita! Apa yang telah kau katakan itu?” hardik Umar.

Wanita itu menjawab, “Apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah yang berbunyi, ‘... Sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (maskawin) yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.’”[1]

Umar yang merasa malu lantaran ucapan wanita itu membenarkan ucapannya. Ia lantas beristighfar seraya berkata, “Seluruh manusia lebih alim dibandingkan Umar. Bahkan kaum wanita yang berdiam di rumah.”[2]


Referensi:
1. QS. Al-Nisa’ : 20.
2. Al-Durr Al-Mantsûr, jld. 2, hlm. 133; Tafsir Ibn Katsir, jld. 1, hlm. 468.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Inilah Jawaban Tegas Zainab


Pada hari itu, Ubaidullah bin Ziyad menyelenggarakan pertemuan umum di istananya. Ia memerintahkan supaya kepala Imam Husain as yang telah dipotong diletakkan di hadapannya. Lalu, kaum wanita dan anak-anak yang menjadi tawanan diperintahkan masuk istana.

Zainab Kubra as ketika itu hanya mengenakan pakaian yang paling tak berharga. Ia masuk ke istana Ubaidullah tanpa dikenal orang dan dikelilingi oleh kaum wanita. Ia duduk di sebuah pojok ruangan dengan tidak memberikan perhatian sedikit pun kepada kemegahan Ibn Ziyad.

Pandangan Ubaidullah tertuju ke arah Zainab. Keagungan dan keteguhan Zainab menarik perhatian Ibn Ziyad. “Siapakah wanita yang telah menyingkirkan diri dan dikelilingi oleh kaum wanita itu?” tanya Ibn Ziyad.
Zainab tidak menjawab. Ubaidullah mengulangi pertanyaannya. Salah seorang pembantu wanita menjawab, “Ia adalah Zainab putri Fatimah binti Rasulullah saw.”

Ubaidullah menoleh ke arah Zainab seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghinakan dan membasmi kalian, serta telah menunjukkan bahwa apa yang selalu kalian klaim itu tidak lain hanyalah kebohongan belaka.”

Zainab menjawab, “Segala puji bagi Allah telah memuliakan kami yang melalui nabi-Nya dan menyucikan kami dari kekotoran. Tidak akan hina kecuali orang fasik dan tidak akan berbohong kecuali orang durjana. Orang durjana bukanlah kami, tetapi selain kami (yakni Ibn Ziyad yang para pengikutnya). Segala puji hanya bagi Allah.”

“Kamu lihat bagaimana Allah telah memperlakukan keluargamu?,” tanya Ubaidullah.

Zainab menjawab, “Saya tidak melihat kecuali sesuatu yang indah. Mereka telah ditentukan supaya terbunuh, dan mereka menaati dan bergegas menuju tempat akhir peristirahatan mereka. Tidak lama lagi Allah akan mempertemukan kalian dengan mereka (pada hari kiamat), dan mereka akan menuntut pengadilan darimu dan mengajukan pengaduan kepada Allah. Sekarang, lihatlah siapakah akan keluar sebagai pemenang pada hari itu. Semoga ibumu berkabung duka, hai anak Marjanah.”

Mendengar ucapan tegas dan pedas Zaina Kubra as, Ubaidullah naik pitam dan hendak mengambil sebuah keputusan yang buruk. Akan tetapi, salah seorang hadirin yang bernama ‘Amr bin Huraits berkata, “Wahai Amir! Ia hanyalah seorang perempuan, dan tak seorang pun menghukum perempuan lantaran ucapannya.”
Sekali lagi, Ibn Ziyad berkata kepada Zainab Kubra as, “Allah telah menyembuhkan hatiku lantaran telah berhasil membunuh saudaramu Husain dan pasukan yang membangkang.”

Zainab menjawab, “Demi Allah! Engkau telah membunuh permataku. Engkau telah memotong tunasku dan mencabut akarku. Jika tindakan ini merupakan obat bagimu, maka hatimu telah sembuh.”

Ibn Ziyad yang terpesona oleh keindahan ucapan Zainab Kubra itu berkata dengan penuh ejekan, “Wanita ini memang seperti ayahnya, Ali pandai berbicara. Sumpah demi jiwaku! Ayahmu adalah seorang penyair dan pandai bersajak.”

Zainab menimpali, “Untuk apa seorang wanita bersajak? (Kondisi ini bukan waktu yang tepat untuk bersajak).”[1]

Iya. Ubaidullah bin Ziyad berharap Zainab yang sedang sedih berduka itu bisa menyerah, menangis, dan lemah dengan sekali pukulan. Akan tetapi, Zainab yang berhati singa dan mewarisi keberanian dan kejantanan dari ayahnya, Ali as mematahkan ucapan Ibn Ziyad dan memusnahkan kecongkakannya.
Sepanjang sejarah manusia, wanita manakah yang telah kehilangan enam atau tujuh saudara lantaran dibunuh, seorang anaknya gugur syahid, dan sepuluh orang dari keponakan dan anak-anak pamannya dibantai, serta ia bersama saudara-saudara perempuan dan keponakan-keponakannya menjadi tawanan perang, lalu ia masih siap membela haknya dan juga hak para syahid yang telah gugur syahid di jalan saudara dan ayahnya?[2]


Referensi:

1. Al-Luhûf fi Qatlâ Al-Thufûf, Sayid Ibn Thawus, penerbit Maktabah Al-Dawari, Qom, hlm. 68.
2. Sireh-ye Pisywâyân, Mahdi Pisywaei, hlm. 197; Barresi-ye Târikh-e Âsyurâ, Dr. Ayati Birjandi, hlm. 203.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jangan Sampai Rezeki Yang Diberikannya Membuatmu Lupa Dari Amal


Imam Hasan Askari As: Jangan sampai rezeki yang telah dijamin (untukmu) dapat menyibukkanmu dari pelaksanaan amal yang telah diwajibkan (kepadamu)!

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Nafas Orang Yang Sedang Berduka Dianggap Dzikir dan Tasbih


Imam Jakfar Shadiq as: Nafas orang yang sedang berduka karena duka kami (Ahlul Bait) dianggap dzikir dan tasbih.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dan Allahlah Yang Mengirimkan Angin Sehingga Angin itu Menggerakkan Awan ...


وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا كَذَلِكَ النُّشُورُ

Dan Allahlah yang mengirimkan angin sehingga angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati, dan Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan perantara (hujan) itu. Demikianlah kebangkitan (orang-orang yang mati) itu. (Quran, 35: 9)

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ini Kata Rasulullah Saw: Iman Yang Paling Utama


Rasulullah Saw bersabda:

أفضَلُ الإيمانِ أن تَعلَمَ أنَّ اللهَ مَعَک حَيثُ ما کنتَ

Iman yang paling utama adalah hendaknya kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu di manapun kamu berada. (Kanzul Ummal, jld. 1, hlm.37, hadis ke 66).

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Gunung-gunung Boleh Berpindah Dari Posisinya, Tetapi Kamu Tetaplah Pada Posisimu...


Imam Amirul Mukminin As berkata:
Gunung-gunung boleh berpindah dari posisinya, tetapi kamu tetaplah pada posisimu...
Dan yakinlah bahwa pertolongan hanyalah dari Allah yang Mahasuci. (Nahjul Balaghah, Khutbah 11).

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: