Sejak kecil, Umar bin Abdul Aziz berguru kepada seorang guru yang mengenal Allah dan beriman. Pada suatu hari, Umar bermain bersama anak-anak sebaya dari kalangan Bani Umayah dan keluarga-keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan dinasti ini. Ketika sedang sibuk bermain, mereka melaknat Imam Ali as dengan alasan kecil apapun. Umar pun satu suara dengan mereka. Secara kebetulan sang guru sedang melewati mereka dan mendengar Umar sedang melaknat Imam Ali as bersama anak-anak yang lain. Sang guru pun tidak mengucapkan sepatah kata pun dan langsung pergi ke masjid.
Waktu belajar pun tiba dan Umar pergi ke masjid untuk belajar. Begitu melihat sang murid datang, sang guru pun mulai mengerjakan salat. Umar duduk dan menunggu dalam beberapa waktu lamanya sehingga sang guru usai mengerjakan salat. Akan tetapi, ia lebih memperpanjang salat tidak seperti biasanya. Umar yang masih kecil merasa bahwa sang guru sedang marah terhadap dirinya. Salat ini tidak lebih dari sekadar alasan.
Setelah usai salat, sang guru memandang Umar dengan ketus seraya berkata, “Dari mana kamu tahu bahwa Allah murka terhadap ahli Badar dan Baiat Ridhwan setelah Dia rida terhadap mereka?”[1]
“Saya tidak tahu menahu tentang masalah ini,” jawab Umar pendek.
“Saya minta maaf atas kelakuanku itu dan akan bertobat kepada Allah. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini,” imbuh Umar.
Nasihat logis sang guru berhasil mempengaruhi Umar bin Abdul Aziz. Ia mengambil keputusan untuk tidak menyebut nama Ali as disertai dengan keburukan (celaan).
Tidak lama setelah itu, peristiwa kedua terjadi. Dan peristiwa ini lebih memperkuat keputusan Umar.
Kisah peristiwa tersebut adalah berikut ini:
Ayah Umar telah diangkat oleh pemerintah pusat di Syam (Suriah) untuk menjadi gubernur Madinah. Pada setiap hari Jumat, ia membaca khutbah salat Jumat. Ia pasti memulai khutbah ini dengan melaknat Imam Ali as dan menutupnya dengan mencerca beliau.
Pada suatu hari, Umar berkata kepada ayahnya, “Ayah! Setiap kali kamu berkhutbah dan mengupas sebuah tema, kamu pasti bisa mengupasnya dengan baik dan sangat bagus. Akan tetapi, ketika tiba giliran untuk melaknat Ali, kamu pasti gagap. Mengapa hal ini pasti terjadi?”
“Anakku! Kamu telah memahami masalah ini?” tanya Abdul Aziz.
“Iya,” jawab Umar pendek.
Sang ayah menjawab, “Anakku! Apabila rakyat yang telah berkumpul di sekeliling kita dan mau duduk di bawah mimbar kita ini mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh Ali, niscaya mereka akan meninggalkan kita dan mengikuti anak keturunannya.”
Mendengar pengakuan sang ayah, Umar yang masing teringat oleh wejangan gurunya sedikit terperanjat. Ia berjanji, apabila kelak berhasil menjadi penguasa, maka ia akan menghapus bid’ah buruk yang merupakan peninggalan Muawiyah bin Abi Sufyan ini.
Untuk itu, setelah memegang tampuk kekhalifahan pada tahun 99 H, Umar menepati janji yang selama ini dipendamnya. Ia menyebarkan sebuah surat perintah supaya laknat terhadap Imam Ali as diganti dengan membaca ayat, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan kezaliman. Dia memberi nasihat kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Nahl : 90)
Keputusan Umar ini memperoleh tanggapan baik masyarakat dan para penyair menyanjungnya.[2]
Referensi:
1. Maksud sang guru adalah Imam Ali as adalah salah seorang peserta Perang Badar dan Baiat Ridhwan. Bahkan beliau berada di barisan paling depan. Dalam Al-Quran, Allah telah mengumumkan keridaan-Nya terhadap beliau. Untuk itu, jelas beliau tidak boleh dilaknat.
2. Al-Kâmil fî Al-Târîkh, Ibn Atsir, Beirut, Dar Shadir, jld. 5, hlm. 42; Murûj Al-Dzahab, Mas’udi, Beirut, Dar Al-Andalus, jld. 3; Syarh Nahjul Balâghah, Ibn Abil Hadid, cet. 2, Qom, Mansyurat Maktabah Ayatulah Uzhma Mar’asyi Najafi ra, jld. 3, hlm. 59.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain-ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email