Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS FIQIH. Show all posts
Showing posts with label ABNS FIQIH. Show all posts

Sebagian Dampak Buruk Melalaikan Khumus


Penggunaan harta yang terkena wajib khumus dan belum dibayarkan khumusnya, memiliki hukum gasab (yaitu haram dan akan menjadi tanggungan) kecuali dengan izin dari wali amr-khumusatau wakilnya, karena itu:
Selama seorang mukalaf belum membayarkan khumus hartanya, maka tidak ada kebolehan baginya untuk menggunakan hartanya dan jika dia tetap menggunakannya sebelum membayarkan khumusnya, maka dia bertanggung jawab atas sejumlah khumus tersebut. Sementara itu, bila dia menggunakan (harta yang belum dibayar khumusnya) untuk membeli barang atau tanah dan sepertinya, maka transaksi (jual beli) seukuran khumus bersifat fudhuliyah dan bergantung pada izin wali amr-khumus atau wakilnya, yang setelah mendapatkan izin, khumus barang atau tanah tersebut harus dihitung dengan harga saat akan dibayarkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 937, 976 dan 984).

Bila seseorang melakukan transaksi atau berkunjung ke rumah orang-orang yang tidak melaksanakan kewajiban berkhumus dan memakan makanan mereka serta mempergunakan harta bendanya, bila terdapat keyakinan terhadap keberadaan khumus pada harta benda yang dia ambil melalui jual beli dengan mereka atau yang dia pergunakan ketika berada bersama mereka, maka transaksi dalam seukuran khumus yang terdapat pada harta yang dia ambil melalui jual beli bersifat fudhuliyah dan membutuhkan izin dari wali amr-khumus atau wakilnya. Demikian juga tidak ada kebolehan baginya untuk menggunakan harta tersebut, kecuali jika meninggalkan pergaulan dengan mereka dan menghindari memakan makanan mereka atau menghindari penggunaan harta mereka akan menimbulkan kesulitan baginya, maka dalam keadaan ini diperbolehkan baginya untuk memanfaatkan hartanya, tetapi dia bertanggung jawab untuk membayar khumus yang terdapat dalam harta yang dia manfaatkan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 931).

Bila diketahui bahwa pada harta yang hendak disumbangkan ke masjid oleh seseorang terdapat wajib khumus yang belum dibayarkan, maka tidak ada kebolehan untuk menerimanya dan seandainya telah terlanjur diterima maka pada harta yang berkaitan dengan bagian yang terkena wajib khumus harus merujuk pada wali amr-khumus atau wakilnya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 932).

Jika seseorang melakukan kerja sama dengan orang-orang yang modalnya terkena wajib khumus tetapi belum dibayarkan, maka hartanya sejumlah khumus akan bersifat fudhuliyah, yang mengenai hal ini harus dengan merujuk kepada wali amr-khumus atau wakilnya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 940).

Bila mayit mewasiatkan supaya sebagian dari hartanya digunakan untuk membayar khumus atau pewarisnya meyakini bahwa mayit memiliki utang khumus, selama wasiat mayit atau khumus yang berada dalam tanggungannya belum dibayarkan dari apa yang dia tinggalkan, maka tidak ada kebolehan untuk memanfaatkan apa yang dia tinggalkan. Pemanfaatan mereka terhadap harta tersebut sebelum melaksanakan wasiatnya atau sebelum membayarkan utangnya akan menyebabkan dalam sejumlah yang diwasiatkan atau dalam sejumlah utangnya berada dalam hukum gasab dan mereka juga bertanggung jawab terhadap pemanfaatan-pemanfaatan yang dilakukan sebelumnya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 864).

Melakukan ibadah dengan harta yang belum dibayarkan khumusnya adalah batal. Karena itu, bila selama beberapa waktu lamanya, seseorang melakukan salatnya di atas sajadah atau dengan mengenakan baju yang dikenai wajib khumus, maka salat-salat yang dilakukannya hingga saat ini adalah batal kecuali jika dia jahil atau tidak mengetahui adanya wajib khumus dalam harta tersebut atau dia memiliki hukum penggunaan dalam harta tersebut. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 383).

(Islamic-Sources/ICC-Jakarta/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hukum Berjabat Tangan Dengan Nonmuhrim


Ayatullah Sistani menjelaskan fatwa tentang hukum berjabat tangan dengan nonmuhrim baik dari kalangan muslimin maupun ahli kitab. Dalam sebuah istifta yang dikirimkan kepada marja’ agung Mazhab Syiah ini, Ayatullah menjelaskan sebagai berikut:

Tanya: Apakah kita bisa berjabat tangan dengan seorang wanita asing dengan tanpa tujuan syahwat apapun?

Jawab: Jika terdapat penghalang seperti kaos tangan, maka tidak masalah berjabat tangan dengan wanita nonmuhrim.

Tanya: Apakah boleh kita berjabat tangan dengan seorang kafir atau ahli kitab sedangkan tangan kita basah?

Jawab: Jika kita yakin bahwa tangan orang kafir tersebut najis atau berasal dari golongan nonahli kitab, maka kita harus mencuci tangan terlebih dahulu sebelum mengerjakan salat.

Tanya: Jika kita menolak untuk berjabat tangan, maka akan timbul masalah, hubungan kekeluargaan terputus, atau orang tua akan protes. Bolehkah kita berjabat tangan dengan nonmuhrim?

Jawab: Tidak boleh kita berjabat tangan dengan nonmuhrim, kecuali menggunakan penghalang.

Tanya: Anak perempuan sedang berkuliah di jurusan kedokteran. Ia kadang-kadang harus menyentuh tangan nonmuhrim. Apakah hal ini boleh?

Jawab: Tidak boleh, kecuali dalam kondisi terpaksa (darurat).

Tanya: Di negara-negara Eropa, berjabat tangan dinilai sebagai sebuah pengucapan salam. Kadang-kadang jika kita tidak berjabat tangan, maka hal ini akan menyebabkan kita dikeluarkan dari pabrik atau sekolah. Bagaimana hukum berjabatan tangan dengan nonmuhrim dalam kondisi seperti ini? Jawab: Jika hal ini tidak bisa ditangani dengan menggunakan kaos tangan atau alat yang serupa, maka boleh berjabat tangan dengan nonmuhrim asalkan tidak berjabat tangan ini dapat menimbulkan bahaya dan kerugian yang sangat memberatkan.

(Islamic-Sources/Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Posisi Hukum Mengenai Maulid Nabi Saaw


Penulis: Sayid Muhammad Alawi al-Malikiy

Telah berlaku dalam adat kita, untuk berkumpul demi memperingati hari-hari yang mengandung nilai sejarah, misalnya hari Maulid Nabi Saw, malam Isra’ dan Mi’raj, malam Nishfu Sya’ban, Tahun Baru Hijriah, malam Nuzul Alquran, hari Perang Badar dan sebagainya. Ini semua termasuk adat (custom) tidak bertalian dengan urusan agama. Jangan sampai diyakini bahwa seremonial atau ritual itu termasuk urusan syariat atau sunnah, namun pada kenyataannya memang tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama. Dari itulah perlu dijaga jangan sampai aktivitas yang tidak termasuk syariat dimasukkan pula dalam urusan syariat. Dan menurut pengamatan kami, perkara itu hanyalah termasuk adat yang mengandung kecintaan atau mungkin kebencian di sisi Allah. Sinyalemen begini ini mungkin terdapat kesepakatan.

Sebagian orang mengatakan bahwa kumpul-kumpul semacam itu akan mengurangi jam kerja yang telah ditetapkan hingga kalau berlarut-larut dibiarkan akan berulang-berulang mengadakan resepsi, padahal ulama masih berselisih atas ketentuan waktunya, misalnya mengenai hari Maulid Nabi dan sebagainya. Dalam sisi ini, kami berpendapat bahwa perselisihan menentukan hari terjadinya peristiwa itu tidak menimbulkan akibat yang buruk karena kita tidak meyakini atas disyariatkannya aktivitas tersebut terbatas dalam waktu tertentu, namun hanya berjalan menurut adat. Kemudian yang penting bagi kita, bagaimana kita dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memperoleh kebajikan yang sebanyak-banyaknya, kita isi dengan berbagai macam aktivitas ketika banyak orang berkumpul, baik bertepatan dengan hari terjadinya apa yang diperingati atau tidak, itu tidak menjadi soal, karena aktivitas mereka tidak akan terlepas dari ingat Allah dan Rasul-Nya. Aktivitas semacam ini telah cukup mendatangkan rahmat Allah.

Kemudian kami yakin seyakin-yakinnya bahwa perkumpulan yang ditujukan untuk mencari ridha Allah itu akan diterima di sisi Allah, walaupun tidak tepat dengan hari terjadinya peristiwa. Sebagai paradigma saja, jika ada seseorang hadir ke resepsi di rumahnya, lantas sebagian orang datang menyalahi waktu yang ditentukan, mungkinkah yang punya gawe itu akan menolak tamu dengan kasar atau menghalaunya dengan menyuruh pulang. Ataukah dia mempersilakan masuk dengan segala hormat dan menganjurkan untuk datang lagi pada waktu yang ditentukan? Ini hanya ilustrasi kami ketika kami melihat sisi karunia dan rahmat Allah.

Dengan demikian jika kita mengadakan perkumpulan di malam peringatan Isra’ dan Mi’raj atau peringatan yang mengandung nilai sejarah lainnya, jangan kita lantas terpancang menentukan waktunya, karena jika bertepatan dengan hari peristiwa yang kita peringati, kita ucapkan saja alhamdulillah, dan jika tidak tepat, sesungguhnya Allah tidak akan menutup pintu rahmat-Nya.

Mendulang kesempatan berkumpul dengan aktivitas yang bermanfaat, misalnya berdoa, bertawajjuh kepada Allah, berusaha mendapat rahmat, berkah dan nikmat dari Allah, itu lebih besar faedahnya ketimbang hanya memperingati suatu peristiwa sejarah. Begitu pula memberi pengarahan dan nasihat pada publik yang telah berkumpul, itu lebih utama daripada menghalangi dan mengingkari aktivitas mereka, di mana kemungkinan besar malah mengundang kebencian. Sebaliknya, mereka sendiri kadang semakin kuat mempertahankan pendapatnya hingga berbalik, seakan suatu larangan menyentak mereka melakukan apa yang dilarang, ini jelas merugikan kita, di samping tidak mengandung manfaat, padahal para aktivis dakwah dan ahli pikir Islam begitu sibuk mengupas trik-trik, bagaimana manusia itu dapat berkumpul demi mendengarkan lecutan-lecutan dakwah. Dari itu kita lihat, bukan aktivis dakwah Islam saja, para misionaris begitu getol mondar-mandir di berbagai belahan dunia, mereka sanggup menuruni lembah dan mendaki perbukitan demi mendatangi jemaat-jemaat untuk berbuat atau memberi advis pada mereka. Dan pada sekali kesempatan kita melihat dengan mata kepala, sekelompok umat berkumpul dengan penuh keceriaan dan keakraban. Melihat kenyataan seperti itu, mestinya kita berpikir keras, jasa apa, santunan apa yang akan kita berikan pada jamaah kita sendiri.

Setelah kita mencermati uraian ini, dengan jelas, menyibukkan diri dengan mengingkari atau membahas hukum perkumpulan mereka akan menyia-nyiakan waktu, bodoh pula ketika kita membuang kesempatan yang sulit ditemukan melainkan dalam even-even ini.
Banyak orang yang salah paham mengenai hakikat peringatan maulid Nabi Muhammad Saw yang telah kami hasungkan itu, di mana ada beberapa persepsi yang salah dengan pengulasannya yang bertele-tele hingga menyia-nyiakan waktu, tenaga dan pikiran, karena berangkat dari dasar yang keliru pula. Telah kami tulis beberapa naskah yang telah kami seminarkan dalam berbagai even, juga kami diskusikan berkali-kali, yang akhirnya menjadi jelas akan paham kami mengenai peringatan Maulid Nabi Saw.

Di atas telah kami kemukakan bahwa mengadakan even seperti perayaan maulid itu hanya urusan adat, tidak termasuk ibadah, ini iktikad yang kami pegangi, namun boleh saja orang lain menyanggah, karena selama masih disebut manusia, setiap individu akan selalu menganggap benar pendapatnya atau keyakinannya. Demikian pula mengenai masalah resepsi maulid, itu hanyalah perbuatan adat, bukan termasuk urusan ibadah. Mungkinah pada persepsi sedangkal ini masih ada penyangkal! Akan termasuk musibah yang besar bila seseorang tidak paham-paham mengenai sisi ini. Dari situ pula Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Aku tidak mendebat seorang alim melainkan aku dipihak yang menang, tiada pula mendebat orang jahil melainkan aku di pihak yang kalah.”

Dalam menanggapi perayaan maulid, orang yang tidak begitu cerdik pun akan mengerti bahwa resepsi itu hanyalah urusan adat. Tahu pula perbedaan antara adat dan ibadat. Kemudian jika seseorang bertanya: melihat ciri-cirinya seakan menyerupai ibadat yang diperintahkan syariat? Kita menjawab: Mana dalilnya! Dan jika dia katakan : Ini hanyalah urusan adat. Maka kita jawab pula : Kalau begitu perbuatlah jika kamu suka, tak membahayakan apapun, karena yang berbahaya adalah perbuatan yang mencampuraduk antara ibadah dan bid’ah yang tidak ada kaitannya dengan syariat, kendati pun dari buah ijtihad. Inilah yang tidak kita senangi, bahkan kita perlu mengingatkannya.

Alhasil, mengadakan resepsi maulid Nabi itu adalah urusan adat, namun adat yang penuh dengan kebaikan dan mengandung manfaat yang besar menurut syariat. Termasuk kebodohan pula bila ada prasangka bahwa kami mengadakan resepsi maulid Nabi itu hanya pada hari-hari tertentu, dalam arti bukan sepanjang tahun, di mana mereka tidak mengerti bahwa setiap kami mengadakan perkumpulan, baik di Mekah atau Madinah itu mesti mengarah pada perayaan maulid. Aktivitas ini betul-betul berjalan hampir setiap hari dan tahun, yang biasanya diprakarsai oleh anggota masyarakat yang mendapat nikmat, atau ketika mendapatkan kebahagiaan.

Boleh saja si bodoh menyangka bahwa kami hanya mengadakan resepsi maulid satu kali dalam setahun, kemudian kami lupakan 359 hari lainnya, dengan tanpa mengingat Rasulullah. Ini jelas kebohongan yang nyata. Akankah kami katakan pada perkumpulan yang hampir setiap hari terjadi bahwa perkara itu hanya boleh dilakukan satu kali setahun? Ini jelas kesat dan ketus terhadap Rasulullah. Namun alhamdulillah, banyak orang dengan bersuka cita berbondong-bondong melakukan aktivitas itu. Dengan demikian jika ada prasangka bahwa kami menentukan Madinah sebagai tempat resepsi, tanpa memperhatikan lokasi lain, ia pihak yang berpura-pura tidak melihat kenyataan. Tindakan kami mengenai orang ini hanyalah mendoakan, semoga hatinya diterangi cahaya Allah, disingkapnya tirai kebodohan agar dia tahu bahwa resepsi itu tidak hanya kami adakan di Madinah saja atau di malam dan bulan tertentu saja, bahkan sepanjang tahun dan di berbagai tempat :

Tiadalah kebenaran akan masuk dalam sukma

Jika benderangnya siang masih butuhkan lentera

Alhasil, kami tidak mengatakan bahwa resepsi maulid Nabi itu sunnah, maka barangsiapa yang i’tikadnya bertentangan dengan itu, dia telah berbuat bid’ah, karena ingat dan mendekat kepada Nabi Saw adalah wajib direalisir dalam setiap saat, hingga betul-betul meresap ke lubuk hati. Datangnya bulan kelahiran Nabi saw adalah kesempatan yang baik sekali untuk mengumpulkan publik, di mana perasaan mereka lebih peka dalam mengingat peristiwa yang telah lalu. Dan perkumpulan itu akan menjadi media dakwah yang baik, kesempatan emas yang tak patut terabaikan, bahkan sebagai kewajiban alim ulama dan aktivis dakwah untuk menjalin kesinambungan alam pikiran mereka kepada Nabi Saw untuk mengikuti budi, perilaku, dan segala tindakan beliau, ditunjukkannya mereka pada kebajikan dan kebahagiaan hakiki, diperingatkan mereka pada segala bid’ah dan fitnah. Dengan mendapat karunia Allah, kami dalam keadaan seperti itu. Kita terangkan pula maksud mengadakan perkumpulan itu bukanlah hanya sekedar berkumpul, bahkan termasuk pengantar dalam mencapai maksud yang amat mulia. Dari sini akan menjadi jelas bahwa mereka yang enggan mendatanginya akan terhalang mendapatkan kemuliaan dari hikmah maulid.

(Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mendudukkan Makna Syariah dan Fiqih


Ditulis: H. Zulkarnain, MA.

Kata syari’ah dan fiqh adalah dua kosa kata yang sering digunakan untuk mewakili penyebutan terhadap hukum Islam. Penggunaan tersebut merupakan cerminan keterbatasan telaah keilmuan dalam memahami dimensi kandungan trilogi filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari term syar’ah dan fiqh. Akibatnya terjadilah tumpang tindih pemahaman terhadap terminologi syariah dan fiqh tersebut, akhirnya sering timbul anggapan syari’ah adalah fiqh, fiqh adalah syari’ah, dan keduanyasering disederhanakan dengan sebutan hukum Islam.

Pada sisi lain, ada juga umat Islam yang memahami bahwa Agama itulah hukum Allah, sehingga diasumsikan hukum Allah itu kebal terhadap perubahan, karena identik dengan agama Islam yang harus dijaga kemurniannya. Sementara di sisi lain, Agama Islam yang mengandung hukum Allah dianggap lentur , responsif, kompromistik, dan adaptif terhadap dinamika sosio-kultural yang berkembang. Bias dari penggunaan nomenklatur tersebut pada tahap perkembangannya memiliki andil besar mempengaruhi pemikiran tentang apa yang dimaksud hukum Allah itu. Oleh karenanya, dibutuhkan waktu yang segera dalam mendudukkan makna syariah dan makna fiqh tersebut, agar bias pemahaman yang cenderung tumpang tindih tersebut tidak terus berkelanjutan.

Kata syariah secara kebahasaan berarti “mengarahkan atau membuka”, selain berarti “menandai atau menggambar”, juga berarti “jalan yang jelas menuju sumber air”. Kata ini dikonotasikan dengan “jalan lurus yang harus dituruti”. Secara terminologi, syariah dipahami sebagai berikut.

Muhammad Ali Sayis dalam Tarikh Fiqh Islami menyebutkan makna syariah di sisi ahli fikih adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah terhadap hamba-Nya, agar menjadi orang-oang yang beriman yang beramal dengan amal-amal yang akan membahagiakan mereka di dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Syaikh Mahmoud Syaltout dalam al-Islam : al-Aqidah wa Syariah (1966 : 12) menyatakan bahwa syariah adalah peraturan yang ditetapkan Allah atau dasar-dasar peraturan yang ditetapkan-Nya, agar manusia menggunakannya dalam menata hubungannya dengan Tuhannya, hubungan sesama Muslim, hubungan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan kehidupan ini.

Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 1 (1989: 18) menyebutkan bahwa syariah adalah segala peraturan yang ditetapkan Allah swt untuk hamba-Nya (manusia) melalui Alquran atau Sunnah, baik berupa hukum-hukum akidah (al-ahkam al-i’tiqadiyah), yang secara khusus dibahas di dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid, atau hukum-hukum yang bersifat praktis (al-ahkam al-amaliyah) yang secara khusus menjadi objek kajian ilmu fiqh.

Akan tetapi, menurut Nawir Yuslem, telah terjadi penyempitan makna syariat Islam yang hanya berarti hukum-hukum yang bersifat praktis saja (al-ahkam al-amaliyah). Penyempitan makna tersebut adalah untuk membedakan antara syariah dengan agama, yang mencakup persoalan hukum-hukum praktis, hukum akidah, dan hukum-hukum akhlak (al-ahkam al-khuluqiyyah).

Sedangkan fikih atau fiqh secara etimologi berarti al-fahmu, yaitu pemahaman. Secara terminologi para ulama mengemukakan defenisi yang bervariasi. Kalangan uslama ushul fiqh mendefenisikan fiqh sebagai pengetahuan tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang dirumuskan dari dalil-dalil yang terperinci.

Terma fikih muncul jauh setelah syariah. Istilah fikih muncul pada awal pasca kehidupan Rasulullah saw, yang bermula dari pertanyaan, bagaimana syariah dipahami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan dua metode. Pertama, melalui sumber otoritas Alquran dan sunnah yang berfungsi sebagai dasar pijakan. Namun karena otoritas Alquran dan sunnah yang secara generatif belum teristematiskan dan belum terperinci untuk mampu menjawab dinamika kebutuhan yang terus mengalami perkembangan. Kedua, akal dan pemahaman manusia juga tidak kalah pentingnya untuk dikedepankan. Prinsip kedua inilah yang disebut fikih yang berarti pengertian atau pemahaman.

Secara historis, fikih awalnya lebih bermakna sebagai suatu proses dibanding sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang objektif dengan karakternya yang rpibadi, bebas dan relatif. Namun, posisi fikih menjadi tidak dinamis lagi, ketika metodologi Islam menglami kemajuannya yang maksimal. Bermula dari realitas tersebut, karakter fikih telah mengalami perubahan radikal, yaitu terjadinya perubahan dari wujudnya sebagai suatu kegiatan pribadi, menjadi disiplin yang terstruktur, lebih-lebih ia berubah menjadi kumpulan pengetahuan yang dihasilkannya. Kumpulan tersebut pada masanya telah distandarisasikan dan dimapankan sebagai suatu sistem yang objektif. Perubahan ini memiliki suatu konsekuensi logis bahwa fikih dalam perkembangannya seperti telah berubah menjadi suatu ilmu. Padahal pada mulanya orang biasa mengungkapkan dengan kata, “Kita harus menggunakan fikih (pemahaman)”, sementara pada taraf berikutnya kita sering mengatakan, “Kita harus belajar atau mempelajari fikih”. Ketika metodologi Islam telah berkembang secara maksimal, fikih akrab dengan sebutan ilmu hukum.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa syariah berbeda dengan fikih. Perbedaannya, syariah merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan hadis, atau syariah merupakan aturan sistematis yang digariskan oleh Allah swt yang berwujud dalam bentuk aturan pokok yang telah dijelaskan Allah swt agar manusia dapat menjadikannya sebagai pedoman. Sedangkan fikih di sisi lain, adalah hasil pemahaman dan interpretasi (ijtihad) para mujtahid terhadap teks-teks Alquran dan hadis serta hasil ijtihad mereka terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam keduanya.

Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, dikenal sekurang-kurangnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil pemahaman dan perumusan dari Alquran dan hadis sebagai sumber hukum di dalam Islam, yaitu :

Fikih adalah merupakan produk hukum dari para ulama mujtahid, yang selanjutnya dihimpun di dalam berbagai kitab fikih. Karya fikih tersebut, oleh para penulisnya pada saat ditulis itu, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, meskipun di dalam perjalanan sejarah, beberapa kitab fikih tertentu telah diberlakukan sebagai Kitab Undang-Undang. Kitab-kitab fikih tersebut juga tidak dimaksudkan oleh penulisnya untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya batasan waktu tersebut, maka kitab-kitab fikih itu, cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai jumud atau beku, artinya tidak berkembang selain itu, kitab-kitab fikih tersebut umumnya membahas masalah-masalah hukum secara menyeluruh, sehingga karenanya, perbaikan revisi terhadap sebagian isi kitab fikih dianggap dapat mengganggu keutuhan isi keseluruhan kitab fikih tersebut. Dengan demikian, maka kitab-kitab fikih tersebut cenderung menjadi resisten terhadap perubahan.

Fatwa adalah pendapat umum (legal opinion) dari seorang ulama (mufti) yang bersifat kasuistik, karena fatwa tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh penanya (mustafthi). Fatwa sebagai produk hukum tidak bersifat mengikat, sehingga sang peminta fatwa dapat menerima dan mengamalkannya, atau menolak dan tidak mengamalkannya. Karena fatwa tersebut merupakan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan pada masa dan situasi yang berkembang, maka fatwa tersebut bersifat dinamis, meskipun jawaban yang diberikan belum tentu dinamis.

Keputusan-keputusan Pengadilan Agama (qadha al-qadhi), yaitu keputusan yang ditetapkan oleh para hakim di pengadilan agama, yang sifatnya adalah keputusan bagi pihak-pihak yang berperkara. Keputusan pengadilan agama ini, juga bersifat dinamis, karena keputusan tersebut dibuat dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dan diajukan ke pengadilan pada waktu-waktu tertentu yang sifat kasus-kasus tersebut berkembang dan berubah-ubah.

Peraturan Perundan-Undangan (qanun) di negara-negara Muslim. Peraturan perundang-undangan ini bersifat mengikat dan daya ikatnya lebih luas dan bahkan mengikat rakyat atau penduduk yang menjadi warga negara di negara tersebut. Dalam perumusan peraturan perundangan ini, tidak hanya para ulama (mujtahid) yang terlibat, tetapi juga para politisi dan para ahli dalam berbagai bidang lainnya.

Keempat produk pemikiran hukum Islam tersebut di atas adalah dinamika dan hasil proses ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mujtahid atau para pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik secara individual maupun secara kolegial, khususnya dalam bidang perumusan peraturan dan perundang-undangan.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa tidak ada yang tidak terselesaikan dengan ijtihad. Dinamika ijtihad berkembang bersamaan perkembangan dari tuntutan keadaan, jika dahulu ijtihad dilakukan secara individual oleh seorang mujtahid, maka perkembangan hari ini ijtihad dituntut lebih pada tatanan kelembagaan yang menghasilkan peraturan perundangan, demikian juga pada lembaga eksekutif, maupun yudikatif, karena lembaga-lembaga tersebut juga memiliki kekuasaan yang diatur oleh ketentuan hukum untuk merumuskan dan menetapkan hukum yang mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Produk hukum yang lahir dari ketiga lembaga tersebut adalah bersifat mengikat dan memaksa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

*Sumber : Buku Konsep Azimah dan Rukhshah dalam Hadis-Hadis Nabi Saw oleh H. Zulkarnain, MA.

(Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tanya Jawab Masalah Fikih Mata Pencaharian


Penulis: Ayatullah Sayid Ali Khamenei

SOAL 1052: Bolehkah orang yang mampu bekerja, mengemis kepada orang-orang dan hidup dari pemberian mereka?
JAWAB: Dia tidak semestinya melakukan hal itu.

SOAL 1053: Bolehkah seorang perempuan bermata pencaharian dengan menjual permata di pasar pembuatan emas dan lainnya?
JAWAB: Tidak apa-apa selama menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat.

SOAL 1054: Bolehkah bekerja mendekor (menghias) rumah yang akan dipergunakan untuk keperluan haram, khususnya apabila sebagian ruangannya dipergunakan untuk ibadat menyembah berhala? Dan bolehkah membangun ruangan dan aula yang ada kemungkinan nantinya akan dipergunakan sebagai tempat joget dan sejenisnya?
JAWAB: Pekerjaan mendekor itu sendiri boleh-boleh saja, selama tidak dengan tujuan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang haram menurut syariat. Namun, mendekor ruangan untuk penyembahan berhala, misalnya, menata perabot-perabotnya dan menentukan tata letak berhala sesembahan, dan sejenisnya tidak diperbolehkan secara syar’i. Adapun membangun ruangan dan aula maka diperbolehkan apabila sekadar terdapat kemungkinan akan dipergunakan untuk hal-hal yang haram, selama tidak dengan tujuan membangun sebuah tempat dalam rangka dipergunakan untuk hal-hal tersebut.

SOAL 1055: Bolehkah membangun gedung PEMDA yang terdiri atas penjara dan kantor kepolisian dan menyerahkannya pada pemerintah yang zalim. Bolehkah bekerja membangun gedung tersebut?
JAWAB: Tidak ada larangan membangun gedung PEMDA dengan kriteria-kriteria yang disebut di atas, selama tidak dengan tujuan untuk mengadakan peradilan yang zalim di dalamnya atau mempersiapkan tempat tersebut untuk menahan orang-orang yang tak berdosa, dan juga bangunan itu, menurut yang membangun, biasanya tidak dipergunakan untuk hal-hal tersebut, maka dia boleh mengambil upah dari hasil membangun gedung tersebut.

SOAL 1056: Pekerjaan saya adalah mengadakan pertunjukan adu banteng di depan para penonton yang membayar sejumlah uang sebagai hadiah. Apakah pekerjaan saya ini diperbolehkan oleh syariat? Dan apakah keuntungan dari hasil pekerjaan tersebut halal?
JAWAB: Pekerjaan tersebut tercela (tidak baik) menurut syariat, namun tidak apa-apa menerima hadiah dari para penonton yang memberikan hal itu dengan kehendak dan kerelaan mereka.

SOAL 1057: Sebagian orang menjual pakaian seragam khusus yang dipakai tentara. Bolehkah membeli pakaian-pakaian seperti ini dari mereka dan mempergunakannya?
JAWAB: Jika ada dugaan bahwa mereka (para penjual) memperoleh pakaian-pakaian tersebut dengan cara yang syar’i atau bahwa mereka diizinkan untuk menjualnya, maka membeli dan menggunakannya tidaklah bermasalah, selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

SOAL 1058: Bolehkah mempergunakan, memproduksi, menjual dan membeli petasan, baik memang menganggu ketenangan orang lain atau pun tidak?
JAWAB: Jika hal itu menganggu ketenangan orang lain dan termasuk perbuatan pemborosan atau melanggar aturan undang-undang republik Islam, maka tidak diperbolehkan.

SOAL 1059: Sebagian perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehariannya bekerja di salon-salon kecantikan. Apakah pekerjaan tersebut tidak merupakan ancaman yang akan menghilangkan ‘iffah1 individu dan masyarakat Islam secara umum?
JAWAB: Pekerjaan merias wanita pada dasarnya tidak dilarang, begitu pula menerima upah dari hasil pekerjaan tersebut, selama tidak ditujukan untuk memamerkannya kepada non-muhrim.

SOAL 1060: Apakah perusahaan boleh mengambil upah dari hasil pekerjaan mediasi dan kontrak antara pihak majikan, pihak buruh, dan tukang bangunan?
JAWAB: Mengambil upah sebagai imbalan dari pekerjaan yang mubah (tidak dilarang di dalam syariat) diperbolehkan. SOAL 1061: Apakah upah pekerjaan sebagai makelar halal ataukah tidak?
JAWAB: Apabila sebagai imbalan dari pekerjaan mubah yang dilakukan atas permintaan dari orang yang dia (makelar) bekerja untuknya maka diperbolehkan.

(Khamenei/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bahaya Kencing Berdiri


Penulis: Hadi

Umumnya, pria buang air kecil dengan posisi berdiri sementara wanita dengan posisi jongkok. Dan pada umumnya tempat kencing di Mall, di Kantor, Bandara, Stasiun, dan tempat umum lainnya menyediakan tempat kencing yang didesign untuk berdiri, benarkan? Terus, tahukah kamu bahaya dari kencing berdiri ini?

Kencing atau bahasa halusnya buang air seni ini sudah bukan suatu hal yang asing lagi bagi umat manusia. Setiap manusia melakukan aktivitas ini untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh (mengeluarkan kotoran tubuh). Dalam melakukan aktivitas inipun kita dituntut melakukannya dengan benar dan sesuai aturan.

Secara medis kencing berdiri adalah penyebab utama penyakit kencing batu pada semua penderita penyakit tersebut dan merupakan salah satu penyebab penyakit lemah syahwat bagi sebagian pria.

Secara agama, kebanyakan orang yang biasanya kencing berdiri kemudian mereka akan mendirikan shalat, ketika akan ruku’ atau sujud maka terasa ada sesuatu yang keluar dari kemaluannya, itulah sisa air kencing yang tidak habis terpencar ketika kencing sambil berdiri, apabila hal ini terjadi maka shalat yang dikerjakannya tidak sah karena air kencing adalah najis dan salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadats kecil maupun hadats besar.

Umumnya kita memandang ringan terhadap cara dan tempat buang air, mungkin karena pertimbangan waktu atau situasi dan kondisi yang mengharuskan (terpaksa) untuk kencing berdiri tanpa menyangka keburukannya dari sisi sunnah dan kesehatan.

Kebiasaan orang kencing berdiri akan mudah lemah bathin, karena sisa-sisa air dalam pundit-pundi yang tidak habis terpancar menjadikan kelenjar otot-otot dan urat halus sekitar zakar menjadi lembek dan kendur. Berbeda dengan buang air jongkok, dalam keadaan bertinggung tulang paha di kiri dan kanan merenggangkan himpitan buah zakar. Ini memudahkan air kencing mudah mengalir habis dan memudahkan untuk menekan pangkal buah zakar sambil berdehem-dehem. Dengan cara ini, air kencing akan keluar hingga habis, malahan dengan cara ini kekuatan sekitar otot zakar terpelihara.

Ketika buang air kencing berdiri ada rasa tidak puas, karena masih ada sisa air dalam kantong dan telur zakar di bawah batang zakar. Ia berkemungkinan besar menyebabkan kencing batu. Kenyataan membuktikan bahwa batu karang yang berada dalam ginjal atau kantong seni dan telur zakar adalah disebabkan oleh sisa-sisa air kencing yang tak habis terpencar. Endapan demi endapan akhirnya mengkristal/mengeras seperti batu karang.

Jika anda biasa meneliti sisa air kencing yang tak dibersihkan dalam kamar mandi, anda bayangkan betapa keras kerak-keraknya. Bagaimana jika itu ada di kantong kemaluan Anda? Hal ini juga merupakan salah satu yang menyebabkan penyakit lemah syahwat pada pria selain dari penyebab kencing batu. Dengan bahaya yang mengancam itu wajarlah kalau Rasulullah saw melarang kencing berdiri :

Dari Aisyah ra beliau berkata,“Siapa yang bilang bahwa Rasulullah Saw kencing sambil berdiri, jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri.” Dalam riwayat lainnya Aisyah ra berkata “Rasulullah SAW tidak pernah kencing sambil berdiri semenjak diturunkan kepadanya Al-Quran.”

“Sesungguhnya banyak siksa kubur dikarenakan kencing maka bersihkanlah dirimu dari (percikan dan bekas) kencing.” (HR. Al Bazzaar dan Ath-Thahawi)

Dan Ibnu Abbas ra., meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: Ingat, sesungguhnya dua mayit ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena ia dahulu suka mengadu domba, sedang yang lainnya disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya. Kemudian beliau meminta pelepah daun kurma dan dipotongnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering. (Shahih Muslim No.439)

Demikian hikmahnya Rasulullah saw melarang kencing berdiri. Dan bagi muslim yang shalat, kadang setelah keluar dari WC dan mau shalat, ketika ruku’ dalam shalat kita merasa ada sesuatu yang keluar dari kemaluan, itu adalah sisa air kencing yang tidak habis terpencar akibat dari kencing berdiri yang tidak tuntas keluar, hal ini menyebabkan shalat tidak sah karena salah satu sarat sahnya shalat adalah bersih dan suci dari najis baik hadats kecil maupun hadats besar, dan air kencing merupakan najis.

Sehingga Nabi saw sering mengingatkan dalam sabdanya: “Hati-hatilah dalam masalah kencing karena kebanyakan siksa kubur dikarenakan tidak berhati-hati dalam kencing”. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa anjuran berikut ini ketika buang air :
1. Buang air dengan jongkok agar kotoran keluar dengan tuntas sehingga tidak menjadi penyebab kencing batu maupun lemah syahwat.
2. Menggunakan alas kaki. Menurut penelitian di Amerika di dalam kamar mandi/WC ada sejenis virus yang masuk lewat telapak kaki orang yang ada di WC tersebut. Dengan proses waktu yang panjang virus tersebut naik ke atas tubuh dan ke kepala merusak jaringan otak yang menyebabkan otak lemah mengingat, dan pikun.
3. Masuk kamar mandi/WC dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan dan membaca doa. Inilah sunnah yang diperintahkan oleh Nabi.
4. Beristinja’(membersihkan kotoran) dengan air dan menggunakan tangan kiri.
5. Beristinja’ dengan air. Jika menggunakan tisu karena terpaksa atau tidak ada air, maka begitu menemukan air sebaiknya dibersihkan lagi dengan air.
6. Jangan merancang/merencanakan sesuatu di WC. Nabi sangat melarang merencanakan atau membuat suatu rencana/ide/inspirasi di dalam WC, karena WC adalah markaznya setan sebagaimana doa kita ketika hendak masuk WC: “Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits”. Karena dikhawatirkan rencana/ide/inspirasi yang didapat berasal dari bisikan syetan yang kelihatannya baik tapi setelah dijalankan ternyata banyak mudharat/keburukannya. Dianjurkan untuk tidak berlama-lama di dalam WC.
7. Ketika buang air dilarang menghadap atau membelakangi kiblat. 

Karena itu, para lelaki hindarilah kencing berdiri agar tetap sehat lahir dan batin. Semoga bermanfaat.

(Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Shalat Wahsyah

Ilustrasi

Suatu hari Rasûlullâh saw melewati kuburan yang baru yang di situ keluarganya masih berkumpul dalam keadaan sedih karena ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Kemudian beliau saw berdiri di hadapan mereka dan mengatakan bahwa penghuni kubur itu telah melupakan dunia mereka seluruhnya, dan yang dia dambakan dari orang yang hidup adalah dua raka‘at yang ringan (rak‘ataini khafîfatain ).

Malam pertama bagi mayyit yang dikuburkan merupakan malam yang sangat berat dirasakan olehnya, dan karena itu Rasûlullâh saw menganjurkan kepada keluarganya untuk mendirikan shalat dua raka‘at, dan dua raka‘at yang enteng ini sangat dinanti oleh orang yang telah meninggal.

Shalat ini suka disebut shalat wahsyah , wahsyah artinya kesedihan, kemurungan atau kerisauan. Maka shalat wahsyah itu sangat berguna untuk menghilangkan kesedihan dan kerisauan penghuni kubur. Shalat ini juga ada yang menyebutnya shalat uns , uns adalah kebalikan dari wahsyah. Dan juga disebut sebagai shalat hadiah, sebab pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah mati.

Adapun bacaannya, maka pada yang raka‘at pertama setelah Fâtihatul Kitâb membaca Qul Huwallâhu Ahad dua kali, dan pada raka‘at yang keduanya setelah Fâtihatul Kitâb membaca sûrah Alhâkumut Takâtsur sepuluh kali. Setelah shalat, membaca shalawât atas Nabi dan keluarganya, lalu hadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal.


عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص لَا يَأْتِي عَلَى الْمَيِّتِ سَاعَةٌ أَشَدُّ مِنْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فَارْحَمُوا مَوْتَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَلْيُصَلِّ أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ مَرَّةً وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ مَرَّتَيْنِ وَ فِي الثَّانِيَةِ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً وَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ عَشْرَ مَرَّاتٍ وَ يُسَلِّمُ وَ يَقُولُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ ابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ ذَلِكَ الْمَيِّتِ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ فَيَبْعَثُ اللَّهُ مِنْ سَاعَتِهِ أَلْفَ مَلَكٍ إِلَى قَبْرِهِ مَعَ كُلِّ مَلَكٍ ثَوْبٌ وَ حُلَّةٌ وَ يُوَسَّعُ قَبْرُهُ مِنَ الضِّيقِ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَ يُعْطَى الْمُصَلِّي بِعَدَدِ مَا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ حَسَنَاتٍ وَ تُرْفَعُ لَهُ أَرْبَعُونَ دَرَجَةً

Dari Hudzaifah bin Al-Yamân berkata: Rasûlullâh saw telah berkata, "Tidak datang kepada mayyit satu saat yang sangat keras selain dari awal malam (dikuburkan), maka sayangilah mautâkum (orang-orang yang telah meninggal dunia di antara kamu) dengan sedekah, maka jika kalian tidak mendapatkan (harta untuk disedekahkan) hendaklah shalat salah seorang dari kamu shalat dua raka'at; dia baca pada raka'at pertama Fâtihatul Kitâb satu kali dan (sûrah) Qul Huwallâhu Ahad dua kali. Dan pada raka'at kedua Fâtihatul Kitâb satu kali dan (sûrah) Alhâkumut Takâtsur sebanyak sepuluh kali, setelah taslîm (mengucap salâm), dia mengucapkan: Allâhumma shalli 'alâ muhammadin wa ãli muhammad, wab'ats tsawâbahâ ilâ qabri dzâlikal mayyit Fulânibni Fulân (Ya Allah curahkanlah shalawât atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kirimkanlah pahalanya ke kubur mayyit itu Fulân bin Fulân (Fulânah binti Fulân). Maka pada saat itu juga Allah mengutus seribu malak ke kuburnya, bersama setiap malak ada busana dan perhiasan, dan diluaskan kuburnya dari kesempitan sampai sangkakala ditiup, dan kepada orang yang mendirikan shalat diberikan dengan sejumlah kebaikan yang matahari terbit atasnya, dan diangkatkan baginya empat puluh derajat."

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tata Cara dan Niat Puasa Sunnah Muharram


Puasa selain merupakan ibadah yang mulia di sisi Allah SWT. Dengan berpuasa seseorang dapat mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya. Dan puasa juga menjadi perisai dari api neraka. Puasa juga dapat menghapus dosa-dosa dan memberi syafaat di hari kiamat.

Tak hanya itu, puasa juga dapat membangkitkan rasa solidaritas kemanusiaan, serta manfaat lainnya yang sudah dimaklumi terkandung pada ibadah yang mulia ini.

Kamis 21 September 2017 umat Islam di seluruh dunia memasuki tahun baru Islam yakni 1 Muharram 1439 Hijriah.

Muharram atau sering juga disebut (Asyura/Suro) adalah satu dari empat bulan suci. Salah satu amalan yang disunnahkan adalah berpuasa.


Lantas bagaimanakah cara melakukan puasanya?

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa: “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi: “Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan.

Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.” Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari juga mengisyaratkan keutamaan cara ini.

Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati.

Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.


2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini: “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat (HR. Muslim, Abu Daud, Thabary dalam Tahdzibul Atsar, Baihaqi dalam Al-Kubra dan As-Shugra, serta Syu’abul Iman dan Thabrabi dalam Al-Kabir)

Dalam riwayat lain : “Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.” (HR.Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya, Thabrani dalam Al-Kabir, Thahawi, dan lain-lain)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari) :”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim” “Artinya : Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.


3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram

“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):

Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.

Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah

Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’.

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar Ibnu Rajab berkata: ”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari): “Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata : “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.” Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″


4. Berpuasa pada 10 Muharram saja

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11.

Adapun tata cara pelaksanaan puasa Asyura ini mirip dengan puasa yang lainnya seperti puasa Ramadan maupun puasa-puasa sunnah lainnya.

Hanya yang membedakan adalah pada niatnya saja.


Niat Puasa Tasu’a (9 Muharram)

نَوَيْتُ صَوْم تَاسُعَاء سُنَّة لله تَعَالى

Bahasa Indonesia: Nawaitu sauma tasu’a sunnatal lillahita’ala

Artinya: Saya niat puasa hari tasu’a, sunnah karena Allah ta’ala


Niat Puasa Asyura (10 Muharram)

نَوَيْتُ صَوْم عشرسُنَّة لله تَعَالى

Bahasa Indonesia: Nawaitu sauma Asyuro sunnatal lillahita’ala

Artinya: Saya niat puasa hari asyura , sunnah karena Allah ta’ala.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Fikih Imam Jafar Shadiq


“Jangan sampai jika terjadi pertengkaran atau perselisihan mengenai keuangan di antara kamu, kamu angkat persoalannya kepada para fasik itu. Pilihlah seseorang yang mengetahui urusan yang halal dan haram diantara kamu sebagai pemutus perkara, karena aku telah tetapkan ia sebagai qadi, hakim bagimu. Aku peringatkan, jangan sampai ada diantara kamu yang mengangkat perselisihannya kepada penguasa yang zalim.”

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Imam Ja’far Shadiq, imam ke enam dalam keyakinan Syiah Itsna-’Asyariyah atau Syiah Dua Belas Imam. Dalam tradisi fiqih Syiah, Imam Ja’far Shadiq dapat disebut sebagai bapak fiqih Syiah, karena sebagian besar masalah fiqih yang dibahas dalam fiqih Syiah bersumber atau mencerminkan “pandangan-pandangannya”.

Imam Ja’far Shadiq terkenal sebagai orang yang paling alim pada masanya. Imam Abu Hanifah pernah memujinya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam urusan agama selain Ja’far Ibn Muhammad.” Maa ra’aitu afqah min Ja’far Ibn Muhammad. Demikian pula Imam Malik bin Anas. Dia berkata, “Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah terlintas di benak manusia ada seorang yang lebih afdal dari Ja’far Ibn Muhammad, dari segi ilmu, ibadah, dan kewara’an.”

Maka tidak heran jika beberapa penulis sejarah, seperti Hafidz Abu Abbas Ahmad Ibn Uqdah (wafat tahun 320 H) dan Syaikh Najm ad-Din dalam kitabnya al-Mu’tabar mencatat tidak kurang dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Karena itulah maka fiqiih Syiah lebih populer, terutama di kalangan non-Syiah, dengan sebutan: Fiqih Imam Ja’far Shadiq, atau Fiqih Ja’fari, atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Ja’dari.

Akan tetap, perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atauMazhab Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari.

Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir) Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum,tasyri’ al-hukm. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih lanjut.

Istilah imamah (dari kata itu muncul istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah atau imarah—masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul mukminin—dalam Sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepala negara dalam sistem “politik Islam”. Sementara istilah imamah, dalam teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara.

Imam adalah seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad saw, maka imam bersifat maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Semua kata dan perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata dan perilaku imam adalah hujjah, mesti diikuti oleh setiap orang yang beriman padanya.

Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi saw. Bedanya, Rasul saw mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah. Makanya, sekalipun Abu Bakar Shiddiq ra, Umar Ibn Khathab ra, dan Utsman Ibn Affan ra adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan bagi Syiah untuk meyakini Ali Ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajibut-tha’ah. Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhilafahan oleh tiga sahabat besar Nabi saw tersebut.

Karena kedudukan imam yang seperti itu, maka dalam menjalankan tugas keimamahannya, para murid imam-imam dua belas itu senantiasa mencatat apa saja yang mereka terima atau lihat dari Sang Imam. Seperti yang dilakukan para sahabat terhadap kata dan perilaku Nabi saw.

Akan tetapi, karena hanya Imam Ja’far Shadiq sajalah yang paling banyak mendapat kesempatan untuk membimbing umat—para imam yang lain, jika tidak kena tahanan rumah, mereka dibatasai berhubungan dengan kaum Muslim, sedangkan pada masa Imam Ja’fari Shadiq, para penguasa Bani Umayah sibuk menghadapi berbagai pemberontakan dan Bani Abbasiyah, yang muncul sesudahnya, lebih banyak memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih baru—maka kumpulan catatan tentang kata dan perilaku imam itu didominasi oleh pernyataan-pernyataan Imam Ja’far Shadiq.

Pada masa imamah itu (berakhir dengan ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 329 H), dalam dunia Syiah praktis tidak ada kehidupan ijtihad, seperti yang dikenal dalam dunia Sunni. Sebab, seperti yang telah disinggung di atas, para imam masih terus membimbing pengikutnya. Orang-orang Syiah tidak perlu harus bersusah payah mencari jawaban sendiri.

Para imam selalu siap menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi, segera setelah berakhirnya masa imamah, hiruk pikuk ijtihad seperti yang terjadi dalam dunia Sunni mulai meruak ke dunia Syiah. Maka muncullah tokoh-tokoh seperti Kulaini, Syaikh Shaduq, Ibn ‘Aqil, Junaid, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, ‘Allamah Hilli, dan sebagainya. Kendati tumbuh lebih terlambat, akan tetapi praktik ijtihad di duni Syiah boleh dikatakan jauh lebih berkembang ketimbang di dunia Sunni. Sebab, pintu ijtihad tidak pernah ditutup dalam dunia Syiah, sementara praktis sejak abad keenam hijriah, dunia Sunni mengharamkan ijtihad.

Ulama-ulama Syiah sampai kini terus dan dengan bebas mempraktikan ijtihad. Teori-teori baruy, sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran, selalu muncul. Akhir-akhir ini, misalnya, dunia dikejutkan oleh teori politik wilayat al-faqih yang dikembangkan Imam Khomeini sebagai sistem politik alternatif. Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap teori ini, tapi munculnya teori brilian ini sendiri, dari orang yang dipandang oleh kaum “intelektual” sebagai kaum “tradisional”, menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan yang pesat dalam dunia Syiah.

Bahkan harus diakui, perkembangan pemikiran fiqih Syiah dewasa ini, ketika ulama-ulama Syiah mendapatkan kebebasan dan kesempatan langsung dan lebih besar setelah mereka memegang pucuk pimpinan pemerintahan di Iran, sangat jauh melompat ke depan dengan sebelumnya. Hampir dapat dipastikan bahwa dari ulama-ulama Syiah ini akan terus muncul gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang. Ini tidak berarti bahwa di dunia Sunni tidak akan muncul gagasan-gagasan baru seperti yang ada di dunia Syiah. Selama ulama-ulama kita mau dengan serius menangani institusi ijtihad, tidak “malu-malu”, dan mau terbuka, seperti yang ditunjukkan ulama-ulama Syiah, saya kira peluang tersebut sama terbuka bagi kalangan Sunni.

Menarik, bahwa sekalipun di satu sisi pintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, di mana saja boleh berijtihad asal memenuhi syarat ijtihad, di sisi lain ulama-ulama Syiah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk—beberapa kawan lebih senang menggunakan istilahitiba’ ketimbang taklid dengan alasan adanya konotasi negatif pada istilah taklid pada sebagian pihak, padahal maksudnya sama saja—dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain:

seseorang yang masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, ibadah, takwa, wara’, istiqamah, tidak cinta dunia, dan tidak melakukan perbuatan dosa, besar maupun kecil. Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut adanya orang-orang atau institusi yang terus-menerus menangani kebutuhan taklid ini. Dari sini lalu lahirlah apa yang kemudian populer dengan istilah marja’iyyah. Ulama-ulama yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau ber-itiba’ ini disebut marja’.

Secara tradisional, para marja’ ini, langsung atau tidak langsung, memiliki seperangkat tuntunan kehidupan beragama bagi para penganutnya, yang merupakan hasil ijtihadnya para pelbagai sisi kehidupan, dari persoalan ibadah mahdah sampai persoalan politik. Seperangkat tuntutan beragama ini disebut risalah amaliah. Para mukalid atau penganut pandangan sang marja’, biasanya, selain bertanya langsung kepada sangmarja’ atau wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi, akan merujuk ke risalah amaliah yang dihimpun sang marja’.

Buku yang ada di hadapan Anda (Fiqih Imam Jafar Shadiq) ini bukan sebuah risalah amaliah. Penulisnya pun, Ayatullah Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibilitasnya dalam ijtihad oleh para pembesar Syiah, bukan seorang marja’. Tapi dia berusaha mengantarkan Anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih Syiah lebih jauh.

Agak sulit mencari kitab fiqih Syiah yang lengkap tapi denga argumentasi sederhana seperti yang ditunjukkan oleh penulis kitab ini. Umumnya kitab-kitab fiqih Syiah yang bersifat argumentatif seperti ini masuk dalam kategori mutawwalat, kitab-kitab besar. Karena itulah kitab ini terasa amat penting. Tidak hanya bagi orang-orang di luar Syiah yang ingin mengetahui fiqih Syiah, tapi juga bagi orang-orang Syiah sendiri. Saya yakin Anda juga sepakat dengan saya.

Dikutip dari: KH Umar Shahab adalah Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia


(Misykat/Syiah-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Shalat Menurut Pengertian Syiah dan Sejarahnya


Salat (Bahasa Arab: صَلاة )adalah ibadah kepada Allah Swt yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Salat (wajib harian) harus dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf sebanyak lima kali dalam sehari semalam pada waktu-waktu tertentu. Salat memiliki syarat, rukun, dan bacaan tertentu.

Di antara yang harus dilaksanakan dalam salat adalah berdiri menghadap kiblat, melafalkan zikir-zikir tertentu, dan melakukan gerakan-gerakan khusus seperti rukuk dan sujud. Salat dapat dilaksanakan dengan dua cara, berjamaah atau furada (sendiri).

Salat merupakan rukun Islam dan ibadah pertama yang diwajibkan bagi Nabi Muhammad Saw dan umatnya. Wahyu tentang kewajiban salat turun di Mekah. Dalil wajibnya salat tertera jelas dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.

Banyak ayat atau hadis yang menyebutkan pentingnya salat, di antaranya disebutkan bahwa “Salat adalah tiang agama” atau “Salat merupakan syarat diterimanya seluruh ibadah lainnya,” dan lain sebagainya.

Di samping salat wajib harian ada salat sunnah/mustahab (salat yang dianjurkan untuk dilaksanakan). Banyak macam salat sunnah yang jika dilakukan akan mendapatkan banyak pahala dunia dan ahirat. Salat sunnah yang paling utama adalah “salat malam” (tahajud) dan “salat qabliah dan ba’diah” (dilakukan sebelum atau sesudah salat wajib harian).


Definisi

“Salat” adalah kata serapan dari Bahasa Arab, secara bahasa berarti doa, [1]bentuk jamaknya adalah “shalawat”. Kata “salat” yang bermakna doa juga digunakan dalam sebagian ayat al-Qur’an.[2] Sebab dinamakan salat karena di dalamnya terdapat doa.[3]


Nilai dan Kedudukan Salat

Dalam Al-Quran, kata salat dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 98 kali.[4]

Salat memiliki nilai sangat istimewa dalam Islam. Menurut Al-Qur’an, salat adalah ibadah terpenting dan paling utama baik dalam kehidupan individu maupun sosial umat Islam.[5]

Ibadah ini sering disandingkan dengan iman. Selain menyebutkan tentang azab penghuni neraka karena meninggalkan salat,[6] al-Qur’an juga menjelaskan bagaimana nasib orang yang menyepelekannya.[7]

Dibanding ibadah-ibadah lainnya, salat merupakan ibadah yang paling ditekankan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an. Disebutkan, salat dapat mencegah dari perbuatan dosa,[8] salat adalah perantara untuk mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan,[9]dengan salat Allah Swt akan menolong hamba-Nya saat menghadapi kesulitan,[10] salat adalah pesan penting Allah Swt kepada para nabi,[11] dan para nabi selalu berpesan kepada keluarganya supaya selalu menunaikan salat.[12]

Salat memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam hadis Nabi Saw dan para imam maksum As. Dalam kitab Wasail al-Syiah dan Mustadrak al-Wasail tercatat lebih dari 11600 hadis yang menerangkan tentang tema salat.

Dalam riwayat, ibadah salat digambarkan dengan ungkapan bervariasi, di antaranya:
1. Tiang agama.[13]
2. Mi’rajnya orang yang beriman.[14]
3. Cahaya bagi orang yang beriman.[15]
4. Tanda keimanan.[16]
5. Perantara terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah Swt.[17]
6. Panji Islam
7. Kunci surga[18]
8. Cahaya mata Nabi Saw.[19]
9. Amal terbaik di hari kiamat.[20]
10. Hal pertama yang akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat.ref>Nabi Saw bersabda, “hal pertama yang akan dipertanggungjawabkan manusia di hari kiamat adalah salat lima waktu,” Kanzul ‘Ummal, jld. 7, hadis: 18859. </ref>
11. Tanda bagi Syiah sejati.[21]
12. Teman di alam kubur.[22]
13. Bekal di akhirat.[23]
14. Sebab terkabulnya doa.[24]
15. Pensuci jiwa.[25]
16. Benteng untuk menghadapi setan.[26]
17. Penentu seluruh amalan lain.[27]
18. Penghancur kesombongan.[28]
19. Pelebur dosa.[29]
20. Pengusir setan.[30]
21. Penerang rumah.[31]
22. Penolak bala.[32]
23. Penghilang kesedihan.[33]
24. Izin untuk melewati Shiratal Mustaqim.[34]
25. Ibadah yang pertama kali diwajibkan.[35]

Akibat orang yang meninggalkan salat atau menyepelekannya:
1. Azab neraka.[36]
2. Tanda kekufuran dan kemunafikan.[37]
3. Menyebabkan sesal tanpa guna di alam barzah.[38]
4. Penghalang syafaat.[39]
5. Umur dan harta yang tidak berkah
6. Wajah yang tak bercahaya
7. Berkurangnya pahala
8. Kematian tak terduga
9. Tidak terkabulnya doa
10. Sempitnya alam kubur
11. Perhitungan dan azab yang berat di hari kiamat
12. Allah Swt tidak akan memandangnya dengan kasih sayang.[40]


Sejarah Salat

Ibadah salat terdapat dalam setiap agama yang pernah diturunkan Allah Swt, hanya beda tata cara sesuai dengan syariat masing-masing.[41]

Di dalam al-Qur’an disebutkan tentang salat yang dilakukan nabi-nabi sebelum Islam, di antaranya Nabi Ibrahim,[42]Ismail,[43] Ishaq,[44] Musa,[45] Zakaria,[46] Isa,[47] Syu’aib As,[48] Luqman Hakim.[49] Di dalam riwayat disebutkan tentang salatnya Nabi Adam As[50] dan nabi-nabi lainnya.

Sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an, salat tidak hanya berlaku bagi manusia, seluruh yang ada di langit dan bumi juga mengerjakan salat dengan caranya masing-masing:

“Tidakkah kamu tahu bahwasanya kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,” (Qs. an-Nur: 41). Sejak permulaan Islam, ketika Islam belum disebarkan secara terang-terangan, Nabi Muhammad Saw bersama Imam Ali As dan Sayidah Khadijah Sa telah mendirikan salat. Meski demikian, ibadah salat lima waktu baru diwajibkan pada Malam Isra’ Mi’raj, sekitar 18 bulan sebelum hijrah ke Madinah. Mulanya masing-masing salat tersebut berjumlah 2 rakaat, kemudian pada tahun pertama hijriah ditambahkan 7 rakaat sehingga menjadi seperti sekarang ini.[51][52]

 
Jenis-jenis Salat

Salat adalah sebuah ibadah, dan tidak seorang pun diperbolehkan untuk mengarang ibadah sendiri, harus sesuai dengan petunjuk tata cara Nabi Muhammad Saw, selain itu hukumnya haram dan batal.

Ada jenis-jenis salat dalam Islam, di antaranya:

Salat Wajib

Secara garis besar, salat wajib terbagi menjadi dua:

Salat Wajib Harian

Secara keseluruhan salat wajib harian memiliki 17 rakaat. Ketika dalam bepergian (safar) yang memenuhi syarat tertentu, setiap salat yang memiliki empat rakaat (salat dhuhur, ashar dan isya’) harus diqashar menjadi dua rakaat.
1. Subuh: waktunya mulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari; jumlah rakaat 2; bacaan al-Fatihah dan surah pada rakaat pertama dan kedua, bagi Mushalli laki-laki harus mengucapkannya dengan jahr (suara luar), dan mushalli wanita bisa membacanya dengan jahr (suara luar) atau ihfat (suara dalam), akan tetapi apabila non muhrim dapat mendengar suaranya, maka hendaknya untuk mengucapkannya dengan suara ihfat.
2. Dhuhur: waktunya setelah Zawal (yaitu ketika bayangan sesuatu setelah tergelincirnya matahari mencapai ukuran terpendek dan kemudian kembali memanjang ke arah terbenamnya matahari) sampai ketika waktu yang tersisa hingga terbenamnya matahari tinggal seukuran melakukan salat Ashar; jumlah rakaat 4; bacaan al-Fatihah dan surah pada rakaat pertama dan kedua, selain bacaan "bismillah" harus dibaca dengan suara ihfat, baik mushalli adalah laki-laki ataupun wanita.
3. Ashar: waktunya setelah mengerjakan salat Dhuhur, yaitu dimulai dari terlewatinya waktu Dhuhur seukuran melakukan salat Dhuhur, hingga terbenamnya matahari; jumlah rakaat 4; bacaan al-Fatihah dan surah pada rakaat pertama dan kedua, selain bacaan "bismillah" harus dibaca dengan suara ihfat, baik mushalli adalah laki-laki ataupun wanita.
4. Magrib: waktunya dimulai dari hilangnya mega merah dari arah terbitnya matahari (sebelah timur) setelah terbenamnya matahari, sampai ketika waktu yang tersisa hingga tengah malam tinggal seukuran melakukan salat Isya; jumlah rakaat 3; bacaan al-Fatihah dan surah pada rakaat pertama dan kedua, bagi Mushalli laki-laki harus mengucapkannya dengan jahr (suara luar), dan mushalli wanita bisa membacanya dengan jahr (suara luar) atau ihfat (suara dalam), akan tetapi apabila non muhrim dapat mendengar suaranya, maka hendaknya untuk mengucapkannya dengan suara ihfat.
5. Isya: waktunya dimulai dari terlewatinya waktu seukuran melakukan salat Maghrib awal waktu, hingga tengah malam; jumlah rakaat 4; bacaan al-Fatihah dan surah pada rakaat pertama dan kedua, bagi Mushalli laki-laki harus mengucapkannya dengan jahr (suara luar), dan mushalli wanita bisa membacanya dengan jahr (suara luar) atau ihfat (suara dalam), akan tetapi apabila non muhrim dapat mendengar suaranya, maka hendaknya untuk mengucapkannya dengan suara ihfat.


Salat wajib yang dilakukan pada momen tertentu

1. Salat Ayat: waktunya ketika terjadi gerhana matahari atau bulan atau gempa bumi atau peristiwa lainnya yang membuat mayoritas manusia merasa takut; jumlah rakaat 2; Dalam setiap rakaatnya terdapat lima ruku' dan dua sujud.

2. Salat Qadha: tidak memiliki waktu khusus; jumlah rakaatnya bergantung jenis salat yang diqadha; pelaksanaannya tidak berbeda dengan salat aslinya kecuali pada niat qadhanya.
3. Salat Qadha untuk ayah (dan ibu): tidak memiliki waktu khusus; pelaksanaannya tidak berbeda dengan salat aslinya kecuali pada niat qadha untuk ayah atau ibu.

4. Salat Jenazah: waktunya sebelum jenazah dimakamkan, setelah sebelumnya dimandikan, di-hunuthi dan dikafani; jumlah rakaat 1; pada pelaksanaannya terdapat 5 takbir dengan bacaan-bacaan tertentu.
5. Salat Ayat: wajib dilakukan ketika seseorang mengalami peristiwa-peristiwa berikut: gerhana matahari (total maupun sebagian), gerhana bulan, gempa bumi, atau peristiwa lainnya yang membuat mayoritas manusia merasa takut, seperti badai, topan dan lain sebagainya.


Salat Sunnah

Selain salat wajib, dalam Islam juga terdapat banyak jenis salat sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan. Dalam kitab Mafatih al-Jinan banyak diterangkan tentang keutamaan dan tata cara salat sunnah. Di antara salat sunnah yang sangat penting adalah Salat Nafilah Harian (salat sunnah yang dikerjakan sebelum dan atau sesudah salat wajib harian). Dalam riwayat disebutkan, Salat Nafilah ini merupakan penyempurna dari salat-salat wajib harian.
1. Salat Nafilah Subuh: waktunya sebelum salat Subuh, jumlah rakaat 2.
2. Salat Nafilah Dhuhur: waktunya sebelum salat Dhuhur; jumlah rakaat 8; dilakukan masing-masing per dua rakaat, dan tidak boleh dilakukan ketika dalam bepergian syar’i.
3. Salat Nafilah Ashar: waktunya sebelum salat Ashar; jumlah rakaat 8; dilakukan masing-masing per dua rakaat, dan tidak boleh dilakukan ketika dalam bepergian syar’i.
4. Salat Nafilah Maghrib: waktunya setelah salat Maghrib; jumlah rakaat 4; dilakukan masing-masing per dua rakaat.
5. Salat Nafilah Isya: waktunya setelah salat Isya; jumlah rakaat 2; dikerjakan dalam keadaan duduk.
6. Salat Malam: adalah salat sunnah yang paling utama. Rasulullah Saw sangat menganjurkan umatnya untuk melakukannya. Bahkan, karena nilainya yang sangat tinggi, salat ini diwajibkan bagi Nabi Saw. Salat Malam memiliki banyak manfaat dan keutamaan baik di dunia maupun di akhirat, di antaranya: membuat senang Allah Swt dan para malaikat, cahaya bagi penduduk langit, penerang hati, mempermudah terkabulnya doa, diterimanya taubat, meringankan dosa, memperindah wajah, menghilangkan kesedihan, mempertajam mata, menambah karisma di masyarakat, memperpanjang umur, mempermudah rizki, mempercepat terlunasinya hutang, kunci surga, hiasan bagi orang-orang beriman di alam kubur, menghilangkan ketakutakan di alam kubur, dan lain sebagainya.
7. Adapun salat-salat sunnah lainnya adalah: Salat Idul Fitri dan Idul Adha, Salat Awal Bulan, Salat Ja’far al-Thayyar, Salat Istighatsah dan lain-lain.


Salat Jumat

Salat Jumat merupakan salah satu kegiatan politik sekaligus ibadah terpenting dalam Islam. Al-Qur’an dengan jelas menyeru kaum mukmin untuk hadir dan melaksanakan Salat Jumat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui,” (Qs. Al-Jumu’ah: 9).

Riwayat meyebutkan, Salat Jumat memiliki banyak fadilah, di antaranya: mencegah kobaran api neraka bagi manusia, menenangkan jiwa di hari kiamat dan diampuninya dosa. Pahala melakukan Salat Jumat setara dengan pahala ibadah haji.[53]

 
Hukum-hukum Salat

Sebelum melakukan salat, mushalli harus mempersiapkan pendahuluannya terlebuh dahulu, di antaranya: Mensucikan badan dari najis, bersuci dari hadats, yaitu wudhu atau mandi atau tayammum (untuk menentukan mana yang harus dilakukan hendaknya merujuk pada kitab panduan fikih marja’masing-masing), mengenakan pakaian suci dan layak, dan berdiri menghadap kiblat.

Ada 11 kewajiban yang harus dilakukan dalam salat:
1. Niat
2. Qiyam
3. Takbiratul Ihram
4. Qiraat
5. Ruku’
6. Sujud
7. Dzikir
8. Tasyahud
9. Salam
10. Tertib
11. Muwalat (bersinambungan antara bagian-bagian salat)

Ada dua jenis kewajiban di dalam salat yaitu rukn (rukun) dan ghairu rukn (bukan rukun). Rukun yaitu apabila tidak dilakukan dalam salat atau dilakukan melebihi yang seharusnya, sekalipun karena ketidaksengajaan atau lupa, akan membatalkan salat. Sedangkan kewajiban ghairu rukn (selain rukun) apabila dilakukan melebihi atau kurang dari yang seharusnya dengan sengaja, maka akan membatalkan salat.. [54]

Rukun-rukun salat:
1. Niat
2. Takbiratul ihram
3. Qiyam (saat takbiratul ihram dan ketika hendak ruku’)
4. Ruku’
5. Dua sujud
6. Tata Cara Salat


Berikut ini adalah urutan dalam melakukan salat:

Pada Rakaat Pertama 

Berdiri menghadap kiblat dengan menjaga ketenangan badan dan berniat melakukan salat tertentu dengan tujuan untuk taat terhadap aturan Allah Swt.[55]

Sebagai contoh: Saya niat melakukan dua rakaat Salat Subuh untuk mendekatkan diri pada Allah dan mendapat keridhaan-Nya.

Melakukan takbiratul ihram, seraya mengangkat kedua telapak tangan hingga depan telinga, mengucapkan اَللهُ أکبَر 

Membaca Surah al-Fatihah kemudian disambung membaca satu surah lain dengan sempurna, misalnya Surah al-Ikhlash.

Setelah membaca surah lalu melakukan ruku’ dan membaca dzikir ruku'sebanyak satu kali سُبحانَ رَبّی العَظیمِ وَ بِحَمدِه [56] atau membaca سُبحانَ الله sebanyak tiga kali.

Setelah ruku’, kembali berdiri tegak lalu melakukan sujud. Saat sujud harus membaca سُبحانَ رَبّی الاَعلی وَ بِحَمدِه [57] sebanyak satu kali, atau membaca سُبحانَ الله sebanyak tiga kali. Kemudian mengangkat kepala dan badan pada posisi duduk lalu mengucapkan اَللهُ أکبَر Kemudian kembali mengucapkan“ اَللهُ أکبَر ”lalu kembali sujud dan membaca dzikir sujud yang sama dengan sebelumnya.


Pada Rakaat Kedua 

Setelah melakukan sujud kedua pada rakaat pertama, lalu berdiri dan membaca Surah al-Fatihah berikut satu surah sempurna lainnya.

Setelah membaca al-Fatihah dan surah, sebelum ruku’ hendaknya membaca doa qunut, misalnya

 رَبَّنا آتِنا فِی الدُّنْیا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنا عَذابَ النَّار [58]

Setelah membaca Qunut lalu melakukan ruku’ dan membaca dzikir sebagaimana pada rakaat pertama.

Setelah ruku’ kemudian berdiri tegak lalu melakukan dua kali sujud beserta dzikir sebagaimana pada rakaat pertama.

Setelah melakukan dua kali sujud pada rakaat kedua dilanjutkan membaca tasyahud dalam keadaan duduk.

Bacaan tasyahud:

اَشْهَدُ اَنْ لا اِلهَ اِلاَّ اللّهُ وَحْدَهُ لا شَرِیکَ لَهُ (Aku bersaksi tiada Allah swt selain Allah Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya)

وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُه (Dan aku bersaksi bahwa Muhammad saw adalah hamba dan rasul-Nya)

اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلی مُحَمَّد وَ آلِ مُحَمَّد (Ya Allah! Curahkanlah salawat dan salam kepada Muhammad saw dan keluarga Muhammad Saw)

تقبل سفاعته وارفع درجه (Dan terimalah syafaatnya dan tinggikanlah kedudukannya).
Pada salat yang memiliki 2 rakaat seperti Salat Subuh, setelah membaca tasyahud langsung disambung membaca salam dengan ungkapan berikut:

اَلَّسلامُ عَلَیکَ اَیهَا النَّبِی وَ رَحْمَةُ اللّهِ وَ بَرَکاتُهُ (Salam atasmu wahai Nabi Allah, Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah atasmu)

اَلسَّلامُ عَلَینا وَ عَلی عِبادِ اللّهِ الصّا لِحینَ (Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh)

اَلسَّلامُ عَلَیکُمْ وَ رَحْمَةُ اللّهِ وَ بَرَکاتُهُ (Salam atas kalian (para mukmin dan malaikat) semoga rahmat dan berkah Allah tercurah atas kalian).


Rakaat Ketiga dan Keempat

Pada salat yang memiliki 3 (misal Magrib) atau 4 rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya’) setelah melakukan tasyahud pada rakaat kedua, maka harus bangkit berdiri dan membaca al-Fatihah saja, atau satu kali membaca Tasbih Arba'ah, dan berdasarkan ihtiyath mustahab dianjurkan untuk membacanya sebanyak tiga kali.

Bacaan Tasbih Arba'ah:

سُبحانَ اللّه (Maha Suci Allah)

وَ الحَمدُ للّه (Segala puji bagi Allah)

و لا اله اِلّا اللّه (Tiada Allah swt selain Allah)

و اللّهُ أكبر (Dan Allah Maha Besar)

Setelah membaca Tasbih Arba'ah lalu melakukan ruku’ dan sujud dengan bacaan dzikir masing-masing. Pada salat magrib, setelah melakukan dua sujud pada rakaat ketiga, dilanjutkan membaca tasyahud dan salam. Namun pada salat yang memiliki 4 rakaat, setelah melakukan dua sujud dilanjut berdiri kembali untuk membaca al-Fatihah atau Tasbih Arba'ah, ruku’, dua sujud, tasyahud, kemudian diakhiri dengan membaca salam. Semua salat sunnah dilakukan per dua rakaat, yaitu tiap dua rakaat harus melakukan tasyahud dan salam (kecuali salat pada rakaat terakhir Salat Malam, yaitu Salat Witir yang hanya memiliki satu rakaat, dan Salat A’rabi). Misalnya, pada malam Idul Ghadir disunnahkan untuk melakukan salat sebanyak 12 rakaat. Caranya adalah melakukan 6 kali salat yang masing-masing 2 rakaat (tiap dua rakaat salam).
Adab Salat

Ada banyak adab dan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sebelum, sedang dan setelah melakukan salat, di antaranya: melakukan salat di awal waktu, mengumandangkan azan dan iqamah sebelum salat, dilakukan di masjid dan berjamaah, fokus dan khusyuk. Setelah salat sangat dianjurkan untuk membaca doa dan zikir. Zikir yang paling utama adalah membaca Tasbih az-Zahra (Allahu Akbar 34x, Alhamdulillah 33x, Subhanallah 33x). Dalam kitab Mafatih al-Jinan banyak diterangkan tentang adab dan doa dalam salat.
Hikmah dan Falsafah Salat

Salat mengandung banyak hikmah dan falsafah, di antaranya:
Inti salat adalah mengingat Allah Swt.[59][60]

Salat dapat memperkukuh penghambaan diri pada Allah Swt. Meski jika seseorang kurang dapat melakukannya dengan khusyuk, namun karena itu merupakan ibadah yang dikerjakan demi mentaati perintah dan kehendak Allah Swt, bukan kehendak pribadi, hal itu sudah menunjukkan akan penghambaannya. Seseorang bisa saja memuji dan mengagungkan Allah Swt dengan bahasanya sendiri, bukan dengan melakukan salat, meski itu juga ibadah dan berpahala namun karena itu adalah kemauannya sendiri, bukan sebagaimana yang diinginkan Allah Swt, maka hal itu menjadi kurang bernilai.

Salat dapat mendatangkan ampunan dari Allah Swt dan mensucikan diri dari dosa. Sebagaimana seseorang perlu membersihkan tangan dan badannya, dia juga harus membersihkan jiwanya dari segala jenis kotoran maknawi yang dapat melumuri hati.[61]

Salat dapat mencegah dari perbuatan dosa,[62] karena dengannya ruh manusia dapat lebih kokoh. Dalam banyak hadis disebutkan tentang kisah orang yang bermaksiat sekaligus suka melakukan salat. Tentang hal itu imam maksum menjelaskan, salat dapat mengantarkannya pada taubat.[63]

Salat dapat menyadarkan manusia dari kelalaian. Lalai adalah penghalang terbesar dalam menapaki tujuan penciptaan dan hidup. Dengan salat yang dilakukan berkali-kali tiap harinya, maka manusia akan selalu ingat dan sadar akan tujuan hidupnya.

Salat dapat menghancurkan kesombongan diri.[64]

Secara zahir pun salat memiliki banyak kebaikan. Hal itu dapat terlihat dari syarat-syarat dan kewajiban yang harus dijaga. Misalnya, sebelum salat mukallaf harus bersuci. Selain itu, pakaian, tempat dan air wudhunya juga harus didapat dari cara halal, bukan hasil gasab hak orang lain.

Salat dapat membantu manusia menata hidupnya. Hal itu dikarenakan salat harus dilakukan tepat pada batas waktu yang sudah ditentukan, jika diundur atau dimajukan dari batas waktunya maka salat menjadi batal. Begitu juga hukum-hukum dan amalan salat, harus dilakukan sesuai tuntutan syariat, seperti niat, berdiri, qiraat, ruku’, sujud dan lain sebagainya. Ketika seseorang telah terbiasa menjaga ketertiban tersebut maka kehidupannya akan lebih disiplin.

Salat dapat mengikis ketamakan, kekikiran dan keluh kesah. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya secara terus-menerus.”[65]

Dengan salat seseorang akan mampu menghadapi masalah yang menimpanya. Allah Swt dalam dua tempat di dalam al-Qur’an berfirman, saat seorang hamba mengahadapi masalah, hendaknya ia memohon pertolongan kepada Allah Swt dengan sabar dan salat.[66]

 
Catatan Kaki:

1. Raghib Isfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata: صلی (Shalla).
2. Misalnya dalam Surah al-Taubah: 103, al-Ahzab: 56, dan al-Baqarah: 157.
3. Muqadimeh-i bar Falsafeh-e Namaz, terbitan Yad Awaran, DR. Muhammad Masud Nuruzi, hlm. 116.
4. Muqadimeh-i bar Falsafeh-e Namaz, terbitan Yad Awaran, DR. Muhammad Masud Nuruzi, hlm. 116.
5. “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat…,” (Qs. al-Hajj: 41)
6. Qs. Al-Muddatstsir: 42.
7. Qs. Al-Ma’un: 5.
8. “Dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar,” (Qs. Al-Ankabaut: 45).
9. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhan-nya, lalu dia salat,” (Qs. Al-A’la: 14-15).
10. “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (Qs. Al-Baqarah: 45)
11. “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup,” (Qs. Maryam: 31).
12. “Dan ia senantiasa menyuruh keluarganya untuk salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhan-nya,” (Qs. Maryam: 55).
13. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah tiang agama kalian,” Mizanul Hikmah, jld. 5, hlm. 370.
14. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah mi’rajnya orang mukmin,” Kasyful Asrar, jld. 2, hlm. 676. Sirru al-Shalah, hlm. 7. I’tiqadat Majlisi, hlm. 29.
15. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah cahaya bagi orang mukmin,” Syahab al-Akhbar, hlm. 50. Nahjul Fashahah, hlm. 396.
16. Nabi Saw bersabda, “Tanda keimanan adalah salat,” Syahab al-Akhbar, hlm. 59.
17. Imam Musa al-Kadzim As berkata, “Perantara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt setelah ma’rifat kepada-Nya adalah salat,” Tahtul ‘Uqul, hlm. 455.
18. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah kunci surge,” Nahjul Fashahah, hadis: 1588.
19. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah cahaya mataku,” Nahjul Fashahah, hlm. 283, hadis: 1343. Biharul Anwar, jld. 82, hlm. 193.
20. Imam Shadiq As berkata, “Sesungguhnya amal terbaik di sisi Allah Swt di hari Kiamat adalah salat,” Mustadrak al-Wasail, jld. 3, hlm. 7.
21. Imam Shadiq As berkata, “Ujilah syiah kami dengan tiga perkara: 1- Saat masuk waktu salat, bagaimana mereka menjaganya (apakah mereka salat di awal waktu atau tidak?), 2- Saat dipercaya untuk memegang rahasia, apakah mereka menjaganya dengan baik atau tidak?, 3- Saat memiliki harta, apakah mereka mau berbagi dengan saudara seagamanya atau tidak?,” Khishal Shaduq, jld. 1, hlm. 103.
22. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah teman (bagi orang ahli salat) di dalam kubur…” Biharul Anwar, jld. 82, hlm. 232.
23. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah bekal bagi orang mukmin dari dunia untuk akhirat,” Biharul Anwar, jld. 82, hlm. 232.
24. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah sebab dikabulkannya doa dan syarat diterimanya amal perbuatan,” Biharul Anwar, jld. 82, hlm. 1.
25. Nabi Saw bersabda, “Salat lima waktu bagaikan sungai yang mengalir ke arah pintu rumah kalian, tiap hari kalian mencuci diri lima kali dengannya sehingga tidak aka nada lagi kotoran yang tersisa,” Kanzul ‘Ummal, jld. 7, hlm. 291, hadis: 18931.
26. Imam Ali As berkata, “Salat adalah benteng kukuh untuk menghadapi serangan setan,” Ghurar al-Hikam, hlm. 56. Mizanul Hikmah, jld. 5, hlm. 367.
27. Imam Ali As berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seluruh amal pebuatanmu itu ditentukan salatmu,” Nahjul Balaghah, surat: 27.
28. Sayidah Fatimah az-Zahra Sa berkata, “(Allah Swt menjadikan) salat sebagai penghancur kesombongan diri,” A’yan al-Syiah, jld. 1, hlm. 316.
29. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah pelebur dosa,” kemudian beliau membaca ayat, “Sesungguhnya kebaikan dapat meleyapkan keburukan,” Tafsir Abu al-Futuh Razi, jld. 1, hlm. 248.
30. Imam Ali As berkata, “Salat adalah benteng Allah Swt Yang Maha Pengasih dan pengusir setan,” Ghurar al-Hikam, jld. 2, hlm. 166.
31. Nabi Saw bersabda, “Terangilah rumah kalian dengan salat dan membaca al-Qur’an,” Kanzul ‘Ummal, jld. 15, hlm. 392, hadis: 41518.
32. Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Karena syiah kami yang salat, Allah Swt akan mencegah datangnya bala bagi syiah kami yang tidak melakukan salat. Dan jika mereka semua tidak ada yang melakukan salat maka pasti mereka akan musnah,” Mustadrak al-Wasail, jld.1, hlm. 184.
33. Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Saat kalian ada yang merasa sedih dan gundah, apa yang mengalangimu untuk berwudhu kemudian masuk masjid dan salat dua rakaat lalu berdoa pada Allah Swt supaya mnghilangkannya?, apakah kamu tidak pernah mendengar Allah Swt berfirman, ‘Mohonlah pertolongan dengan bersabar dan salat’,” Majam’ al-Bayan, jld. 1, hlm. 100. Wasail al-Syiah, jld. 5, hlm. 263.
34. Nabi Saw bersabda, “Salat adalah ijin untuk melalui Shiratal Mustaqim,” Biharul Anwar, jld. 98, hlm. 168.
35. Nabi Saw bersabda, “Ibadah pertama kali yang diwajibkan bagi umatku adalah salat lima waktu,” Kanzul ‘Ummal, jld. 7, hlm. Hadis: 18851.
36. Imam Ali As berkata, “Tidakkah kalian mendengar jawaban para penghuni neraka ketika mereka ditanya: ‘apa yang menyebabkan kalian merana di neraka?’ mereka menjawab: ‘dulu kami bukanlah orang yang melakukan salat’,” Biharul Anwar, jld. 82, hlm. 224. Nahjul Balaghah, khutbah: 190.
37. Nabi Saw bersabda, “Tanda kekufuran dan kemunafikan adalah ketika seseorang mendengar seruan Allah Swt untuk melakukan salat, dan Allah mengajaknya untuk menjadi orang yang beruntung namun dia tidak menanggapinya,” Nahjul Fashahah, hlm. 279.
38. Nabi Saw bersabda, “(di akhirat nanti) Orang yang meninggalkan salat akan memohon kembali ke dunia, demikian firman Allah Swt: ‘hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal shaleh terhadap yang telah aku tinggalkan," ‘Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang ia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka terdapat alam Barzakh sampai hari mereka dibangkitkan’”. Biharul Anwar, jld. 77, hlm. 58. Ushul Kafi, jld. 2, hlm. 65.
39. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq As, “Sesungguhnya syafaatku tidak akan sampai pada orang yang menyepelekan salat,” Man La Yahdhuruh al-Faqih, jld. 1, hlm. 206.
40. Mustadrak Wasail, jld. 3, hlm. 23, h 1.
41. Mufradat, hlm. 491.
42. “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat,” (Qs. Ibrahim: 40).
43. Qs. Maryam: 55. Qs. Al-Anbiya: 73.
44. Qs. Thaha: 14.
45. “Kemudian Malaikat (Jibril As) memanggil Zakaria, sedang Zakaria tengah berdiri melakukan salat di mihrab,” (Qs. Ali ‘Imran: 39).
46. “Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup,” (Qs. Maryam: 31).
47. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, jld. 14, hlm. 47.
48. Qs. Hud: 87.
49. Qs. Luqman: 17.
50. Wasail al-Syiah, jld. 3, hlm. 9 dan 10.
51. Biharul Anwar, jld. 19, hlm. 130.
52. Silakan rujuk ke Markaz-e Melli Pasyokhgoi Beh Soalat-e Dini (Pusat Informasi Agama).
53. Shalat Jum'at dan hukum-hukumnya dalam Risalah Ayatullah Sistani
54. Taudhih al-Masail Imam Khumaini Ra, masalah: 942.
55. http://nahad.tbzmed.ac.ir/ [1]
56. “Maha Suci Allah yang Maha Agung dan Segala Puji hanya pantas untuk-Nya.”
57. “Maha Suci Allah yang Maha Tinggi dan Segala Puji hanya pantas untuk-Nya.”
58. “Wahai Allah, Tuhan kami! Berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, selamatkan kami dari azab neraka”
59. Qs. Thaha: 14.
60. Wasail al-Syiah, jld. 3, hlm. 4.
61. Wasail al-Syiah, jld. 3, hlm. 7.
62. Qs. Al-Ankabut: 45.
63. Mizanul Hikmah, jld. 5, hlm. 371, hadis: 10254.
64. Amirul Mukminin Ali As berkata, “Allah Swt mewajibkan (adanya) iman untuk mensucikan kemusyrikan, sedangkan salat dapat membersihkan kesombongan,” Nahjul Balaghah, kata mutiara: 252.
65. Qs. Al-Ma’arij: 19-24.
66. Qs. Al-Baqarah: 45 dan 153.


Daftar Pustaka 

1. Al-Qur’an
2. Nahjul Balaghah
3. Ibnu Syu’bah, Hasan bin Ali, Tuhaf al-‘Uqul, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1363 Hs.
4. Abu al-Futuh Razi Husain bin Ali, Tafsir Abu al-Futuh Razi, Bunyad Pazuhesyha-e Islami Distrik Razawi, 1408 H.
5. Amin, Muhsin, A’yan al-Syiah, Darul Ta’aruf Lilmathbu’at, 1403 H.
6. Amadi Abdul Wahid Muhammad, Ghurar al-Hikam, cetakan Universitas Tehran.
7. Abul Qasim, Nahjul Fashahah, Darul Ilm, 1387 Hs.
8. Taudhih al-Masail Imam Khumaini Ra.
9. Ragib Isfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.
10. Sayid Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Muassasah al-Nasyr al-Islami.
11. Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali, Man La Yahdhuruh al-Faqih, -Penerbit Shaduq, 1367 Hs.
12. Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali, Khishal Shaduq, ¬Jamiah Mudarrisin, 1362 Hs.
13. Syekh Hurr Amili, Muhammad bin Hasan, Wasail al-Syiah, Muassasah Alu al-Bait As, Qom, 1409 H.
14. Allamah Majlisi Muhammad Baqir, Biharul Anwar, Darul Kutub al-Islamiah, Tehran, 1362 Hs.
15. Alauddin al-Muttaqi bin Husamuddin al-Hindi, Kanzul ‘Ummal, Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, Haidar Abad, 1364 H.
16. Quthb Rawandi, Said bin Hibatullah, Syihab al-Akhbar, Darul Hadis, 1388 H.
17. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kafi, Darul Kutub al-Islamiah, 1407 H.
18. Muhammadi Rai Syahri, Muhammad, Mizanul Hikmah, Darul Hadis.
19. Nuruzi Muhammad Masud, Muqademeh-I Bar Falsafeh-e Namaz, Yad-Awaran.
20. Nuri, Mirza Husain, Mustadrak al-Wasail, Muassasah Alu al-Bait Li Ihya’ al-Turats, cetakan I, Qom, 1407 H.

(Al-Qur’an/Nahjul Balaghah/Wiki-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: