Pesan Rahbar

Home » » Balada Yahudi Tunisia

Balada Yahudi Tunisia

Written By Unknown on Monday 1 August 2016 | 17:39:00

"Sangat sedikit masa depan bagi komuntas Yahudi di negara Arab mana saja kecuali terjadi perubahan drastis. Bahkan meski ada toleransi, saya tidak percaya mereka bakal memiliki masa depan nyata di sana."

Tiga peziarah Yahudi tengah menyalakan lilin dalam Sinagoge Al-Gharibah, berlokasi di Pulau Jarbah, Tunisia. (Foto: Al-Arabiya)

Pecahan-pecahan batu nisan mengotori kompleks pemakaman berlokasi di belakang Sinagoge Al-Gharibah, tapi bukan karena dirusak orang. Ratusan keluarga Yahudi telah pindah dari Jarbah dalam lima dasawarsa terakhir. Mereka pergi meninggalkan pulau terbesar di Afrika Utara itu sambil membawa kerangka mayat kerabat, sehingga banyak kubur digali.

"Ada tulang belulang sudah berumur 80, 90 tahun, ketika Anda angkat bisa patah," kata Yusuf Sabbagh, penduduk Jarbah berusia 42 tahun, biasa membantu menggali lusinan kuburan Yahudi saban tahun dan kerangka mayat-mayat itu dikirim ke Israel, negara di mana sebagian besar orang Yahudi asal Tunisia sekarang menetap.

Komunitas Yahudi sudah mendiami Pulau Jarbah, terletak di Teluk Gabes di lepas pantai Tunisia, sejak 2.500 tahun lalu. Sinagoge Al-Gharibah salah satu rumah ibadah kaum Yahudi paling tersohor di dunia karena sudah dipakai lebih dari dua ribu tahun.

Setelah Perang Dunia Kedua, populasi orang Yahudi di seantero Tunisia, termasuk Jarbah, tadinya berjumlah sekitar seratus ribu anjlok drastis. Kebanyakan pindah ke Israel, sebagian ke Prancis, sehingga jumlah mereka kini tersisa 1.100 orang saja.

Meski begitu, masih ada kehidupan di Jarbah. Menurut Haim Bittan, kepala rabbi Tunisia sekaligus warga Jarbah, saban tahun ada 30 bayi Yahudi dilahirkan. Sebagai perbandingan, komunitas Yahudi di Maroko - satu-satunya di dunia Arab dengan jumlah orang Yahudi lebih besar ketimbang di Tunisia - kebanyakan tinggal orang-orang Yahudi berusia uzur.

Komunitas Yahudi di Mesir, Libanon, dan Suriah tinggal beberapa lusin saja. Di Yaman tersisa 40 orang Yahudi, kebanyakan bermukim di Ibu Kota Sanaa. Sedangkan di Libya dan Aljazair, hampir semua orang Yahudi sudah meninggalkan kedua negara itu.

Akhir Mei lalu, ribuan orang Yahudi dari seluruh dunia membanjiri Sinagoge Al-Gharibah, berlokasi di kawasan Hara Saghirah, untuk ziarah tahunan.

Para peziarah Yahudi ini menyalakan lilin dan meletakkan telur-telur bertulisan doa di dalam gua, terdapat di bawah sinagoge. Di sebuah lapangan di seberang sinagoge, mereka berpesta: bernyanyi, makan kuskus dengan ikan, serta minum bir dan minuman beralkohol lainnya.

Para peziarah Yahudi itu merayakan Lag BaOmer, untuk menghormati Rabbi Shimon Bar Yochai, hidup di abad kedua.

Perayaan ini pernah dibatalkan pada 2011, ketika Tunisia tengah bergolak hingga mengakibatkan lengsernya Presiden Zainal Abidin bin Ali, dikenal sangat melindungi komunitas Yahudi. Pemerintahan sekarang menghidupkan kembali festival Lag BaOmer sebagai simbol stabilitas. Namun tiga serangan teror didalangi milisi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) sejak permulaan tahun lalu telah mencemaskan banyak pihak.

Perayaan tahun ini dijaga amat ketat. Pos-pos pemeriksaan dibangun di Jarbah dengan kehadiran pasukan elite dan truk militer dilengkapi senjata berat otomatis.

Di hari pertama perayaan itu, Abdil Fattah Muru, Wakil Ketua Parlemen Tunisia sekaligus Wakil Presiden Partai An-Nahda, hadir. "Tunisia melindungi orang-orang Yahudi," ujar Muru kepada Rabbi Haim Bittan. "Apa yang mengarah pada radikalisme karena hanya memiliki satu budaya. Beragam kultur di Tunisia telah membikin kita bisa saling menerima perbedaan."

Pemerintah Israel tidak terlalu yakin dengan peningkatan keamanan di Tunisia. Beberapa pekan sebelum perayaan di Sinagoge Al-Gharibah itu, negara Zionis ini menyarankan warganya untuk tidak ke Tunisia.

Tapi, menurut Perez Trabelsi, ketua panitia festival Lag BaOmer, Israel selalu mengeluarkan peringatan serupa saban tahun sejak revolusi meletup di Tunisia. "Tidak ada bahaya," ucapnya. "Kami bebas untuk pergi dari negara ini tapi kami memilih tidak pindah ke mana-mana."

Sejak 2011, Rabbi Bittan memperkirakan 30 keluarga Yahudi sudah pergi dari Jarbah dan banyak lagi orang Yahudi meninggalkan Tunisia, pindah ke Israel. Namun bukan karena takut serangan teroris.

Bagi komunitas Yahudi di Jarbah, ini soal kesempatan saja. Shiran Trabelsi, 23 tahun, adalah guru kelas empat di sebuah sekolah dasar di dua permukiman Yahudi di Hara Kabirah. Dia masih ingat pada 2006 pernah mengunjungi kakek dan neneknya di Ashkelon, kota pesisir di Israel.

"Saya seperti berada di dunia lain," tutur Shiran. "Di sana ada pepohonan dan segalanya berbunga, hijau, dan bersih. Ketika kembali ke sini, saya merasa tidak ada warna di kota ini."

Dia bilang orang-orang Yahudi di Jarbah mestinya pindah ke Israel. Namun dia sendiri tidak mau pergi bila tidak bareng orang tua atau suaminya nanti.

Guru taman kanak-kanak Yiska Mamu, 24 tahun, seperti kebanyakan perempuan Yahudi di Jarbah, tidak kuliah. Dia juga ingin tinggal di Israel. "Sebab sehabis bekerja, tidak ada yang bisa dilakukan di sini selain pulang dan bersih-bersih."

Kaum muda Yahudi di Jarbah juga mempunyai impian serupa, namun mereka masih mencemaskan soal masa depan ekonomi mereka nantinya. Seperti kebanyakan lelaki Yahudi di Jarbah, Yoni Haddad juga mencari nafkah dengan berjualan perhiasan. Komunitas Yahudi di pulau ini dikenal sebagai perajin mahkota perkawinan berlapis emas dan kalung, dikenal di kalangan pengantin perempuan muslim. Keterampilan ini diwariskan dari leluhur mereka.

Tapi beberapa bulan terakhir, toko-toko Yahudi dan muslim bernasib apes karena banyak pelancong tidak datang lagi ke Tunisia, setelah sekelompok pria bersenjata musim panas tahun lalu menyerang sebuah hotel di Kota Sousse, menewaskan 38 orang, kebanyakan warga negara Inggris.

Menurut Yigal Palmor, juru bicara the Jewish Agency, organisasi mempromosikan imigrasi orang Yahudi ke Israel, ketidakpastian ekonomi dan politik di Tunisia membuat pilihan pindah ke negara BIntang Daud itu menjadi lebih menarik. "Sangat sedikit masa depan bagi komuntas Yahudi di negara Arab mana saja kecuali terjadi perubahan drastis. Bahkan meski ada toleransi, saya tidak percaya mereka bakal memiliki masa depan nyata di sana."

Di pemakaman Yahudi itu, Sabbagh mengaku mau juga pindah ke Israel tapi segan karena biaya hidup di sana mahal. Ketika ayahnya meninggal, Sabbagh dan saudara-saudara kandungnya menerbangkan jenazah ayahnya ke Israel dan memakamkan dia di Yerusalem. Tapi untuk kubur-kubur tua, dia bilang, "Saya pikir tulang belulang mereka sebaiknya tetap di sini."

(The-Guardian/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: