Pesan Rahbar

Home » » Sepilu Fairuz

Sepilu Fairuz

Written By Unknown on Monday 1 August 2016 | 17:45:00

Pernikahan anak kian menjamur setelah Yaman luluh lantak akibat perang.

Pernikahan anak di Yaman. (Foto: ABC News)

Dalam sebuah tenda bobrok, tujuh hari setelah pernikahannya, Fairuz Ahmad Haidar, mengenang bagaimana dia lari dari suaminya berusia 25 tahun ketika dia mencoba memaksa Fairuz berhubungan seks.

"Bakal lebih baik kalau perkawinan saya ditunda," kata Fairuz. Maklum saja, dia baru berumur sebelas tahun.

"Ketika dia menikah, dia takut sekali," ujar sesepuh masyarakat bernama Thabit Gaid. "Ini kejahatan, dia masih anak-anak. Saya tidak percaya dia sebelas tahun, dia kelihatan berumur sepuluh tahun."

Karena para sesepuh masyarakat begitu khawatir, mereka akhirnya meminta suami Fairuz meneken sebuah perjanjian: dia tidak akan berhubungan badan hingga Fairuz pubertas. Sang suami setuju dan membayar uang mahar US$ 2 ribu dengan janji tambahan US$ 400 nantinya.

Fairuz benar-benar senang di hari pernikahannya. "Saya akan menjalani kehidupan seperti ayah dan ibu saya," tuturnya. "Saya gembira."

Namun dia berubah ketakutan ketika malam pengantin di rumah suaminya di Saadah. Sang suami ingin menyetubuhi dia, tapi Fairuz lari ketakutan dan mengunci diri dalam kamar mandi. Dia lalu menelepon ayahnya, kemudian menghubungi kakeknya tinggal tidak jauh dari rumah suaminya.

Fairuz lalu memilih kembali ke orang tuanya di Khamir. Statusnya tetap istri orang dan orang tuanya terpaksa mengembalikan mahar US$ 2 ribu.

"Dia akan tinggal bersama kami sampai pubertas," kata ayahnya Fairuz.

Pernikahan anak sudah lama menjadi fenomena di seantero Yaman, terutama didorong oleh kemiskinan dan tradisi. Namun sebelum perang meletup tahun lalu, aktivis internasional dan lokal telah membikin kemajuan buat mengakhiri praktek ini. Mereka telah berkampanye untuk sebuah undang-undang menetapkan 18 tahun sebagai usia minimal buat menikah dan membiarkan anak-anak perempuan bersekolah.

Upaya itu sekarang mandek. Seiring dengan kian sengitnya perang, makin banyak gadis belia, bahkan ada yang berusia delapan tahun, dipaksa menikah buat membantu mengurangi kesulitan hidup keluarga mereka. Puluhan ribu keluarga di Yaman mengungsi, kehilangan rumah dan harta, akibat perang.

"Para ayah berpikir, 'Jika saya memiliki seorang anak perempuan sudah atau hampir pubertas, saya harus menikahkan dia secepat mungkin untuk mengurangi pengeluaran,'" kata Ahmad al-Qurasyi, Direktur SEYAJ, organisasi nirlaba terkenal di Yaman dan bergerak untuk melindungi anak-anak.

Ibunya Fairuz memerlukan transfusi darah. Keluarga sudah menjual harta setelah mengungsi dari Saadah tahun lalu. Tapi fulus dikumpulkan tidak cukup untuk membayar utang kepada rumah sakit dan kerabat.

Anak perempuan mereka nan pemalu, tingginya belum genap 120 sentimeter, telah menjadi satu-satunya sumber pendapatan.

"Kami membutuhkan uang dari mahar," ujar Ahmad Haidar Sayid, ayah dari Fairuz. "Kalau bisa, saya tidak ingin menikahkan dia."

Children's Fund menyebutkan gara-gara perang antara milisi Syiah Al-Hutiyun dan pasukan koalisi Arab dipimpin Arab Saudi, lebih dari seribu anak terbunuh di negara termiskin di Timur Tengah itu. Sepertiga dari total warga sipil tewas dan sekitar 1.500 anak kehilangan anggota tubuh mereka.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat 60 persen anak menjadi korban akibat serangan udara pasukan gabungan dipimpin Arab Saudi. Itulah mengakibatkan negara Kabah ini bulan lalu masuk dalam daftar hitam sebagai pelanggar hak anak. Tapi PBB mencabut Arab Saudi dari daftar hitam itu setelah Riyadh menekan.

Selain menjadi korban perang, anak-anak juga dilatih menjadi tentara atau menjaga pos-pos pemeriksaan. Lebih dari 1.600 sekolah ditutup.

Kurang dari dua tahun lalu, masa depan Fairuz terlihat menjanjikan. Dia masih bersekolah. Ayahnya bekerja sebagai buruh kasar di Saadah. Yaman sudah dibekap krisis kemanusiaan jauh sebelum perang meletup dan badan-badan bantuan kemanusiaan telah memberikan makanan, obat-obatan, serta bantuan lainnya bagi rakyat negeri itu.

Pada Januari 2015, setelah ditekan kaum aktivis, Yaman menetapkan usia minimal 18 tahun untuk menikah dalam sebuah konstitusi baru. Tapi perang terjadi dan milisi Al-Hutiyun tidak meratifikasi dokumen itu. Sampai kini, Yaman masih tidak mempunyai batas usia terendah buat berumah tangga.

The Danish Refugee Council, lembaga amal merekrut para tokoh masyarakat di Saadah, mengkampanyekan soal bahaya menikah muda bagi anak-gadis. Yaman salah satu negara dengan angka kematian ibu tertinggi di dunia.

"Kami berusaha mencegah pernikahan anak dan sudah ada hasilnya," tutur Abdo Ali Salim, sesepuh masyarakat bekerja untuk the Danish Refugee Council. "Masyarakat sudah tahu pengaruh buruk (dari pernikahan belia)."

Tapi perang telah memaksa sebagian besar badan bantuan internasional menghentikan operasi mereka di Yaman. Pendanaan bagi kelompok-kelompok lokal, termasuk SEYAJ, anjlok dramatis.

Ketika rumah oarng tuanya dibom dan kehidupan mereka luluh lantak, Fairuz dan keluarganya mengungsi ke Khamir, kota berpasir berjarak sekitar 84 kilometer sebelah utara Ibu Kota Sanaa. Di sana nasib mereka kian buruk. Cuma sedikit bantuan kemanusiaan datang menolong. Para keluarga mengungsi akhirnya mengirim anak-anak mereka ke pusat kota untuk mengemis. Ketika tekanan makin berat, anak perempuan menjadi komoditas.

Suatu hari, delapan sesepuh masyarakat duduk mengobrol dalam sebuah tenda, sebagian sambil mengunyah daun Qat. Tujuh dari mereka sudah menikahkan anak perempuannya tahun ini.

Bahkan Salim, bekerja di the Danish Refugee Council, tengah mempersiapkan pernikahan dua putrinya, berusia 13 dan 14 tahun. "Saya ingin menyelamatkan masa depan mereka, jika hanya untuk alasan ekonomi," katanya.

Muhammad Ali al-Ansi sudah mengawinkan dua anak perempuannya, juga berumur 13 dan 14 tahun, April lalu. "Hati saya berdarah-darah tapi saya terpaksa melakoni ini," ujarnya. "Saya tidak mempunyai pekerjaan. Sulit bagi saya buat menafkahi sepuluh anak saya."

Dia mendapat US$ 1.600 dari mahar tiap putrinya. Tapi setelah membayar biaya pernikahan dan melunasi utang, duit itu hampir habis. "Jika segalanya makin parah, tidak ada pilihan lain, saya akan menikahkan putri saya masih berumur 12 tahun."

Boleh jadi karena masih belia, nasib anak gadis dari Salim dan Ansi bakal sepilu Fairuz.

(Washington-Post/ABC-News/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: