Ketahuilah bahwa bila ada waktu senggang
untuk ibadah, maka sesuai dengan kesenggangan itu luangkan waktu juga
untuk hati. Ini masalah yang penting dalam masalah ibadah. Karena tanpa
Kehadiran hati, ibadah tidak akan terealisasi dan tidak memiliki nilai.
Sementara yang dapat mewujudkan kehadiran hati ada dua hal; adanya waktu
dan hati yang luang dan memahamkan hati akan pentingnya ibadah.
Maksud dari waktu luang adalah manusia
menentukan waktu khusus dalam sehari semalam untuk beribadah, dimana
manusia mewajibkan dirinya untuk beribadah dan tidak menyibukkan dirinya
dengan pekerjaan lain di waktu itu. Bila manusia mengerti bahwa ibadah
merupakan urusan penting, maka ia akan memprioritaskannya dan tidak
melakukan yang lain.
Bagaimanapun juga, seorang abid harus
perhatian dengan waktu ibadahnya. Tentu saja waktu shalat yang menjadi
ibadah paling penting harus dijaga dan melaksanakannya di waktu
fadhilah. Pada waktu itu jangan menyibukkan diri dengan pekerjaan lain.
Sebagaimana manusia menyisihkan waktu khusus untuk mencari rezeki,
belajar dan meriset, hendaknya mereka juga meluangkan waktu khusus untuk
beribadah, dimana di waktu itu mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan
lain, sehingga kehadiran hati yang menjadi inti ibadah dapat
terwujudkan. Tapi bila seperti penulis (Imam Khomeini, -pent) yang
melakukan shalat dengan terpaksa dan menilai bangkit melakukan
penghambaan kepada Allah merupakan urusan tambahan, dimana mungkin saja
melaksanakan shalat di akhir waktu, sementara ketika melaksanakannya
juga terkadang memikirkannya sebagai pekerjaan yang mengganggu pekerjaan
penting lainnya, maka shalat yang dilakukannya tidak sempurna.
Benar, ibadah yang seperti ini tidak
memiliki cahaya. Ini menganggap ringan ibadah dan akan mendapat
kemurkaan ilahi. Orang yang seperti ini menganggap ringan shalat. Saya
berlindung kepada Allah dari menganggap ringan shalat dan tidak serius
dalam melaksanakannya. Halaman buku ini tidak cukup bila dituliskan
pelbagai riwayat dalam masalah menganggap ringan shalat, tapi saya akan
menyebutkan sebagian untuk diambil pelajaran.
Dari Muhammad bin Ya'qub dengan sanad dari
Abu Jakfar as-Shadiq as berkata kepada Zurarah, "Jangan menganggap
ringan shalat. Karena sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata saat
mendekati ajalnya, ‘Bukan dari umatku orang yang meringankan shalatnya.
Barangsiapa yang minum minuman yang memabukkan, demi Allah, tidak akan
masuk ke haudh mendekati saya."
Dengan sanad dari Abi Bashir berkata, Abu
al-Hasan al-Awal (al-Kazhim as) berkata, "Ketika ayahku mendekati
ajalnya, ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku! Tidak akan mendapatkan
syafaat kita orang yang meringankan shalat."
Banyak sekali riwayat dalam masalah ini,
tapi bagi mereka yang mau mengambil pelajaran, maka dua hadis ini sudah
cukup. Hanya Allah yang mengetahui betapa besarnya musibah dengan
terputusnya kita dari Rasulullah Saw dan keluarnya kita dari keberadaan
beliau. Terampasnya syafaat Nabi Saw dan Ahlul Baitnya berarti musibah
yang sangat besar. Jangan beranggapan bahwa tanpa dukungan dan syafaat
beliau, seseorang akan mendapatkan rahmat Allah dan menyaksikan surga
yang dijanjikan.
Kini perhatikan. Apakah mendahulukan urusan
parsial, bahkan hanya memiliki manfaat ilusi atas shalat yang menjadi
hiasan mata Rasulullah Saw, perantara rahmat Allah yang besar,
mengabaikan shalat dan menundanya di akhir waktu tanpa alasan dan
menjaga batasannya bukan menganggap ringan shalat? Bila jawabannya
positif, ketahuilah bahwa berdasarkan kesaksikan Nabi Saw dan Ahlul
Baitnya engkau telah keluar dari wilayah mereka dan tidak akan
mendapatkan syafaat mereka!
Perhatikan lagi. Bila engkau membutuhkan
syafaat mereka dan ingin menjadi umat Nabi Muhammad Saw, sudah barang
tentu engkau akan menganggap besar anugerah ilahi ini dan memandang
penting shalat. Tapi bila yang engkau lakukan adalah sebaliknya, maka
engkau tahu sendiri akibatnya. Allah Swt dan para wali-Nya tidak
membutuhkan amal perbuatan saya dan kalian, tapi yang dikhawatirkan bila
engkau tidak menganggapnya penting, maka itu bisa mengarahkanmu untuk
meninggalkannya. Bila telah sampai pada meninggalkan shalat berarti ada
penentangan dan segalanya akan hancur. Engkau akan mengalami kerusakan
dan kehancuran abadi.
Ingat yang lebih penting dari waktu
senggang adalah keluangan hati. Bahkan harus dikatakan bahwa waktu
senggang merupakan pengantar untuk mencapai keluangan hati. Ketika
manusia begitu tekun mengisi waktunya dengan ibadah, itu akan membuatnya
tidak menyibukkan diri dengan urusan dunia dan perhatian hatinya tidak
lagi pada urusan yang beragam. Dalam kondisi yang demikian, manusia
mengosongkan dan memurnikan hatinya untuk memperhatikan urusan ibadah
dan munajat kepada Allah. Selama kita belum dapat mengosongkan hati dari
urusan yang semacam ini, maka kehadiran hati tidak dapat dihasilkan
dalam ibadah.
Namun keburukan kita adalah mengumpulkan
segala pemikiran dan ingatan tentang banyak hal dan memunculkannya di
saat melaksanakan shalat!
Ketika kita mulai mengucapkan Takbiratul
Ihram dan mulai melakukan shalat, seakan-akan kita tengah membuka toko,
buku catatan atau buku pelajaran. Waktu itu juga kita mengirim hati kita
untuk mulai menyibukkan dirinya dengan urusan lain dan pada saat itu
juga kita melupakan shalat itu sendiri secara keseluruhan. Terkadang
kita sadar seperti kebiasaan sehari-hari bahwa telah sampai pada waktu
mengucapkan salam! Benar-benar shalat dan munajat kita sangat memalukan!
Anakku! Coba terapkan munajatmu dengan
Allah seperti engkau berbicara dengan manusia lain yang tidak dapat
dibandingkan dengan-Nya. Apa yang akan terjadi? Bila engkau berbicara
dengan seorang dari temanmu dan menganggap enteng. Bila engkau berbicara
dengan seorang asing, maka engkau akan melupakan hal-hal yang lain,
selama engkau masih sibuk berbicara dengannya. Tapi ketika sibuk
melakukan munajat dengan Allah Swt, Sang Pemberi Nikmat, engkau justru
melupakan-Nya dan sibuk dengan urusan yang lain. Apakah ukuran
penghambaan kita kepada Allah bisa bertambah dengan cara yang seperti
ini? Ataukah berbicara dengan manusia biasa lebih bernilai ketimbang
bermunajat dengan Sang Pemberi Hajat?
Benar. Saya dan kalian tidak mengetahui
hakikat munajat dengan Allah. Kewajiban ilahi kita anggap sebagai
tambahan kerja. Tentu saja urusan yang dipaksakan kepada manusia akan
membuat kehidupan menjadi lebih sulit dan tidak dilihat sebagai sesuatu
yang penting. Kita harus memperbaiki masalah ini dari sumbernya. Kita
harus menemukan keimanan kepada Allah dan perintah para nabi agar dapat
memperbaiki urusan kita.
Semua keburukan muncul dari kelemahan iman
dan rendahnya keyakinan. Imam Sayid Ibnu Thawus berhasil mengantarkannya
sehingga beliau menjadikan hari pertama balignya sebagai hari raya.
Karena ia tahu itu merupakan hari pertama Allah mengizinkannya melakukan
munajat kepada-Nya dan menyandangkan jubah kewajiban padanya.
Coba bayangkan hatinya seperti apa,
sehingga memiliki cahaya yang semacam ini? Bila amal perbuatan Sayid
Ibnu Thawus bukan hujjah bagimu, tapi bukankah perbuatan Sayid
al-Muwahhidin dan keturunan Maksumnya menjadi hujjah bagimu? Coba
perhatikan kondisi, kualitas ibadah dan munajat mereka!
Sebagian dari mereka ketika memasuki waktu
shalat, wajah mereka berubah warna dan badannya bergetar karena takut
kepada Allah, jangan sampai mereka tergelincir dalam melaksanakan
perintah Allah, padahal mereka maksum dan terjaga dari dosa. Kisah yang
sudah terkenal tentang Imam Ali as ketika kakinya terkena anak panah dan
beliau tidak kuat mengeluarkannya. Hal itu hanya bisa dilakukan ketika
beliau tengah melakukan shalat dan anak panah dikeluarkan, sementara
beliau tidak menyadari sedikitpun.
Anakku! Ini bukan hal yang mustahil. Hal
seperti itu banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ketika manusia dikuasai oleh rasa marah atau cinta terlalu
mendominasinya, maka terkadang ia melupakan segala sesuatu. Seorang
teman kami yang dapat dipercaya mengatakan, "Ketika saya bertengkar
dengan para preman di Isfahan, di tengah-tengah keributan dan saling
pukul, sebagian dari mereka memukul saya, tapi saya tidak menyadarinya.
Namun sesaat setelah baku pukul itu selesai dan saya mulai pulih
kesadaran, baru saya tahu ada beberapa luka di badanku dan akibatnya
saya harus menginap di rumah sakit untuk beberapa saat."
Poin penting yang ingin saya sampaikan
dengan mudah dapat diketahui, bahwa jiwa tengah serius memperhatikan
sesuatu, maka ia akan melupakan badannya dan inderanya juga tidak
bekerja, sementara konsentrasinya ditujukan hanya untuk satu hal. Kita
sendiri saat berdiskusi, Na'udzubillah, dapat kita saksikan bagaimana
kita tidak memperhatikan apapun yang terjadi saat itu. Patut disayangkan
bahwa kita bisa memiliki konsentrasi sempurna akan satu hal, tapi tidak
bisa melakukannya ketika beribadah kepada Allah dan dalam hal ini kita
masih jauh.[1]
Bagaimana Menghadirkan Hati Saat Beribadah.
Harus diketahui bahwa ibadah secara
menyeluruh merupakan pujian maqam suci Rububiyah dan secara berjenjang
semuanya merujuk pada pujian Zat. Atau pujian Asma dan Sifat atau
Tajalli baik itu Tanzih, Taqdis atau Tamjid, dan tidak ada ibadah hakiki
yang kosong dari satu dari derajat pujian kepada Allah ini. Dengan
demikian, tahapan pertama kehadiran hati dalam ibadah adalah kehadiran
ibadah dalam ibadah secara global. Upaya menghadirkan hati dalam tahapan
ini hanya akan mudah bagi orang yang berusaha memahamkan hatinya bahwa
ibadah adalah pujian kepada yang disembah. Sejak ia memulai ibadahnya
hingga akhir secara global hatinya harus memikirkan makna ini dan memuji
Allah yang disembah. Ia harus memahamkan hal itu dan menghadirkannya,
sekalipun ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji Zat Allah.
Apakah ibadah ini adalah pujian Zat, Asma atau selainnya, Taqdisi atau
Tahmidi. Sama seperti penyair yang memuji seseorang kemudian
memahamkannya kepada anak kecil bahwa ini merupakan pujian untuk
seseorang, tapi ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji
orang itu. Secara global ia mengetahui pujian, sekalipun tidak
mengetahui detilnya.
Sama dengan anak SD yang mendengar pujian
yang diucapkan tentang makrifat Muhammadi, tentang penyingkapan sempurna
beliau dan tentang wahyu yang diturunkan kepada hati beliau. Sekalipun
anak itu tidak mengetahui isi pujian yang disampaikan, bagaimana dan
dengan apa mereka melakukan pujian, tapi pada tahapan pertama
kesempurnaan ibadah adalah hadirnya hati mereka saat melakukan ibadah,
dimana kita melakukan pujian kepada Haq. Melakukan pujian seperti yang
difirmankan-Nya dan orang-orang khusus senantiasa menyenandungkannya.
Pujian yang disampaikan bila dilakukan
dengan lisan para wali Allah akan lebih baik. Karena segala kotoran
bohong dan nifaq menjadi hilang. Karena dalam ibadah, khususnya dalam
shalat, ada pujian-pujian yang termasuk doa yang tidak dapat diucapkan
selain para wali Allah yang sempurna dan orang-orang terpilih. Seperti
"Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathara as-Samawati wa al-Ardh...Aku
mengarahkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi",
"Alhamdulillah...Segala puji bagi Allah" dan "Iyyaka Na'budu...Hanya
kepada-Mu kami menyembah."
Tidak mudah bagi setiap orang dalam kondisi
mengangkat tangan saat takbiratul ihram, sujud dan selainnya, dimana
penjelasannya akan datang Insya Allah. Tidak mudah bagi setiap orang
mengucapkan doa yang berasal dari para Imam Maksum as. Berdoa dengan
doa-doa itu seperti sebagian penggalan dari doa mulia Kumail.
Sekaitan dengan hal ini, Sheikh Kamil dan
Arif, Shahabadi, jiwaku menjadi tebusannya berkata, "Pada maqamat ini,
bagus bila seseorang berdoa dengan lisannya doa-doa yang berasal dari
para Imam Maksum as." Terlebih lagi dalam membaca atau mengamalkan
shalat dengan tujuan memuji Allah dengan doa yang diwariskan para Imam
Maksum as tentang Allah dan Rasul Allah. Sebagai contoh, sangat bagus
bagi kita yang intinya belum tertapis dan belum memisahkan diri dari
kecenderungan selain Allah untuk membaca sebagian ungkapan yang akan
datang Insya Allah.
Pada tahapan kedua dari kehadiran hati
adalah kehadiran hati secara terperinci. Seorang yang beribadah harus
menghadirkan hatinya dalam seluruh ibadah dan ia harus mengetahui
bagaimana menyifati Allah dan bagaimana bermunajat. Setiap dari keduanya
ini memiliki tahapan lagi dan sangat berbeda tergantung maqam hati dan
makrifat orang yang beribadah.
Perlu diketahui bahwa penguasaan secara
detil akan seluruh rahasia ibadah dan kualitas pujian hanya mungkin
dimiliki oleh orang-orang terpilih yang telah sempurna lewat wahyu
ilahi. Di sini, kami hanya menjelaskan secara global tahapan-tahapannya.
Ada sebagian manusia yang hanya mengetahui
bentuk luar dari shalat dan ibadah yang lain, tapi memahami pengertian
umum dari zikir, doa dan bacaan al-Quran. Kehadiran hati mereka hanya
terjadi pada waktu mengucapkan al-Quran dan memahami artinya. Pada waktu
itulah hati mereka hadir untuk bermunajat dengan Allah.
Hal penting bagi kelompok ini adalah tidak
membatasi hakikat dengan makna umum yang dipahami itu. Jangan
beranggapan bahwa tidak ada hakikat lain dari bentuk ibadah yang
dilakukannya. Selain anggapan ini bertentangan dengan akal dan teks,
keyakinan yang semacam ini sangat merugikan manusia. Karena itu akan
membuat manusia merasa puas dan berhenti. Hal itu akan mencegahnya
meraih kesempurnaan ilmu dan amal.
Satu kelebihan besar setan adalah mampu
membuat manusia merasa senang dengan apa yang dimilikinya lalu mulai
memandang negatif akan seluruh hakikat, ilmu dan makrifat. Hasilnya
mereka menjadi terasing.
Kelompok lain adalah mereka yang memahami
hakikat ibadah, zikir dan bacaan menjadikan akal sebagai tempat rujukan
semua pujian kepada Allah Swt atau argumentasi rasional, hakikat Shirat
Mustaqim dan hakikat makna surat Tauhid sebagai prinsip pengetahun
dengan perbedaan lewat pemikiran dan akal.
Kelompok ini saat menghadirkan hatinya
dalam ibadah, mereka memahami secara terperinci dan hatinya hadir saat
mengingat hakikat dan pujian ini. Mereka memahami apa yang dikatakan dan
bagaimana memuji Haq.
Sementara kelompok yang lain lagi mereka
memahami hakikat dengan pemikiran dan akal menyampaikan hakikat itu ke
pena akal dan lembaran hati, sehingga hati mereka mengenal hakikat itu
dan mengimaninya. Karena derajat iman dari hati sangat berbeda dengan
pemahaman akal. Banyak hal yang dimengerti akal manusia, bahkan
mengajukan argumentasinya, tapi tidak sampai pada derajat iman dari hati
dimana kesempurnaannya adalah percaya. Pada waktu itu hatinya tidak
bersama dengan akalnya.
Sama seperti kita semua meyakini orang yang
mati tidak dapat bergerak dan tidak bisa merugikan kita. Bahkan bila
semua orang mati dikumpulkan, mereka tetap tidak dapat mengganggu kita
sekalipun sekecil lalat. Hal itu dikarenakan kita meyakininya secara
rasional tapi tidak sampai ke lembaran hati. Di sini hati dan akal dalam
masalah ini tidak berbarengan. Biasanya akal yang paling menguasai
badan manusia dan biasanya manusia takut akan orang mati, khususnya di
kegelapan malam dan saat sendiri. Padahal akalnya mengatakan gelapnya
malam tidak berpengaruh apa-apa, begitu juga kesendirian, sementara
telah diketahui orang mati tidak bisa mengganggu apa-apa. Di sini,
manusia meninggalkan akalnya dan berjalan dengan ilusi, tapi bila ia
dikumpulkan dengan orang mati untuk beberapa waktu, ketakutan di malam
hari ternyata dapat dilaluinya hingga siang. Apa yang dilakukannya ini
pada dasarnya membawa apa yang diyakini pada akalnya sampai ke hatinya.
Hukum akal yang ada telah menggabungkan hati dan akal, sehingga
perlahan-lahan sampai ke derajat percaya. Hatinya sudah tidak pernah
takut lagi dan melakukan hal itu dengan penuh keberanian.
Sumber: Ebadat, Doa va Monajat dar
Rahnemoudha-ye Hazrat-e Emam Khomeini, Moasseseh Farhanggi Honari Qadr-e
Velayat, Tehran, 1388 Hs.
[1]. Sharh-e Chehl Hadis Hazrat-e Emam Khomeini ra, hal 426-429.
Post a Comment
mohon gunakan email