Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label OPINI ABNS. Show all posts
Showing posts with label OPINI ABNS. Show all posts

Ironis! Hampir 60 % Guru Memiliki Opini Intoleran Terhadap Agama Lain

Saiful Umam

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, menunjukan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37,77% keinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi.

“Penelitian ini bertujuan untuk melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa,” kata Direktur Eksekutif PPIM Saiful Uman saat memaparkan hasil penelitiannya, di Hotel Le Meridien, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa 16 Oktober 2018.

Saiful Uman menuturkan penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Pertama dengan kuisioner, alat kedua menggunakan Implicit Asosiation Test (IAT). Adapun
enam pernyataan disiapkan untuk digunakan sebagai komponen pengukuran opini intoleran.

Menurut Saiful ada dua contoh pernyataan yang memiliki muatan faktor tinggi dalam mengukur opini intoleransi pada pemeluk agama lain. “Pertama, Non-Muslim boleh mendirikan tempat ibadah di lingkungan ibu/bapak tinggal. Kedua, Tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan,” kata Saiful.

Dari dua pernyataan itu, hasilnya sebanyak 56% tidak setuju non-muslim mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal, dan 21% tidak setuju tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan.

Sedangkan pada intensi-aksi intoleran pada pemeluk agama lain diukur dengan lima pernyataan. Kedua pernyataan itu adalah ‘menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama’, dan ‘menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tingalnya’.

Hasilnya sebanyak 29% guru menyatakan kesediaannya bila ada kesempatan, untuk menandatangi petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Kemudian 34% guru menyatakan bersedia menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempatnya tinggal.

Penelitian ini menggunakan 2.237 guru sebagai sampel. Dengan proporsi 1.172 guru sekolah negeri dan 1065 guru sekolah swasta (dalam penelitian ini madrasah). Dilaksanakan selama satu bulan, 6 Agustus sampai 6 September 2018, penelitian ini mengambil sampel dari 34 Provinsi di Indonesia, yang dipilih secara acak menggunakan teknik probability proporsional to size.

Guru Sedang Mengadakan Pertemuan


Saiful Umam: Sebagian Besar Guru Intoleran

Sekitar 63,07% guru di Indonesia cenderung intoleran. Bahkan, di antara mereka masuk kategori sangat intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Demikian hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai pandangan keberagaman di kalangan guru muslim se-Indonesia. Hasil survei tersebut dirilis kemarin.

“Hasil ini merepresentasikan opini intoleransi guru beragama Islam di semua level pendidikan, dari TK hingga SMA atau madrasah aliyah. Sebagian besar masuk kategori intoleran dan sangat intoleran terhadap pemeluk agama lain,” kata Direktur Eksekutif PPIM UIN, Saiful Umam, dalam rilis hasil survei bertajuk Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru Indonesia di Jakarta.

Menurutnya, hasil opini intoleransi tersebut diukur menggunakan sejumlah pernyataan. Di antaranya, pernyataan bahwa nonmuslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di lingkungan sekitar. Pernyataan lain yang diujikan ialah tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan di kediaman masing-masing.

Hasilnya, ujar Saiful, sebanyak 56% guru tidak setuju nonmuslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar tempat tinggal mereka. Sebanyak 21% guru juga tidak setuju bahwa tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan di lingkungan tempat tinggal mereka.

“Kedua contoh pernyataan itu memiliki muatan faktor tinggi dalam mengukur opini intoleransi,” katanya.

Survei tersebut melibatkan 2.237 responden guru muslim di 34 provinsi. Guru yang menjadi responden berada di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah mulai TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/K/MA. Survei dilakukan pada 6 Agustus hingga 6 September 2018.

Saiful mengatakan, meski dari hasil survei menggambarkan potret buram sikap keberagamaan guru, dengan temuan tersebut tidak serta-merta guru berarti berbuat intoleran. Hasil tersebut hanya menggambarkan pandangan dan intensi intoleransi.

“Tapi belum tentu guru itu pernah melakukan aksi intoleran. Tapi jika ada kesempatan, memungkinkan (melakukan itu). Kalau ditanya aksi, kemungkinan akan melakukan tindakan intoleran sudah berkurang,” ujarnya.

Hal itu, lanjutnya, tecermin pada uji pernyataan lanjutan yang diajukan kepada res-ponden. Pada uji intensi aksi intoleran, temuan survei menunjukkan sekitar 29% guru berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Sekitar 34% guru juga berkeinginan menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tinggal mereka.


Faktor ekonomi

Terkait dengan hasil survei, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menyatakan faktor ekonomi bisa berkontribusi pada mengerasnya pandangan keagamaan guru. Pasalnya, kondisi kesejahteraan guru di Tanah Air belum merata. Hal itu membuat guru-guru mencari pandangan alternatif yang dinilai bisa membawa kondisi ekonomi yang lebih baik.

Faktor sosial juga dinilai berpengaruh dalam pembentukan pandangan intoleran di kalangan pendidik. Hal itu dikemukakan Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo. Menurutnya, guru yang memiliki opini intoleran cenderung minim mengalami interaksi sosial antarpenganut agama berbeda. []


Berikut ini adalah video yang diolah berdasarkan hasil survey peneliti PPIM UIN yang berjudul “Api Dalam Sekam”, yang membahas tentang sifat beragama Generasi Z, di-release pada bulan April 2018:


Sumber Tulisan: Dhika Kusuma Winata/Harian Media Indonesia

(Islam-Indonesia/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tradisi Sedekah Laut Itu ‘Syirik’?


Oleh: Vinanda Febriani

Sejak beberapa hari yang lalu, agak heboh di media sosial terkait pelaksanaan ritual tradisi sedekah laut. Masyarakat tradisional menganggap bahwa sedekah laut merupakan ritual yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tujuannya tak lain adalah sebagai sebuah penghormatan terhadap para leluhur, sebagai kegiatan gotong royong yang juga menandakan rasa syukur masyarakat terhadap karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sedekah laut biasa dilakukan setiap satu tahun sekali. Selama ini, prosesnya berjalan lancar tanpa kendala pihak lain yang menganggap bahwa ritual tersebut bagian dari kesesatan atau kesyirikan. Namun entah mengapa baru-baru ini, di beberapa daerah ditolak oleh suatu kelompok dan beranggapan bahwa itu tidak sesuai dengan Syariat Islam.

Di Bantul misalnya, kelompok tersebut mengobrak-abrik tatanan kursi dan meja di lokasi. Selain itu, mereka memasang spanduk bertuliskan ‘Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya’. Kata seorang warga yang menjadi saksi mata saat kejadian, mereka meminta supaya ritual sedekah bumi dibubarkan karena dianggap syirik dan musrik, serta bertentangan dengan agama.

(Sumber: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4254941/tradisi-sedekah-laut-bantul-dibubarkan-warga-mereka-bilang-syirik)

Tradisi Sedekah Laut Bantul Dibubarkan, Warga: Mereka Bilang Syirik

Spanduk yang sempat dipasang sekelompok orang di lokasi tradisi Sedekah Laut. Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul dibubarkan oleh sekelompok orang. Sambil mengobrak-abrik lokasi, sekelompok orang itu mengatakan bahwa tradisi sedekah laut syirik dan bertentangan dengan agama.

"Mereka minta dibatalkan karena sedekah laut itu syirik dan musyrik, terus bertentangan dengan agama," kata salah seorang warga, Tuwuh (48) yang juga saksi mata saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Bantul, Sabtu (13/10/2018).

"Mereka juga sempat merusak meja dan membanting kursi tadi malam, diobrak-abrik lah pokoknya sekitar 15 menitan," imbuhnya.

Selain itu, kata Tuwuh, kelompok itu sempat memasang sebuah spanduk di sekitar lokasi. Spanduk itu bertuliskan 'Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya'.

"Ada yang masang spanduk juga, tapi sudah dicopot polisi dini hari tadi," ucapnya.
Malam tadi warga sedang menyiapkan tradisi sedekah laut yang rencananya digelar hari ini. Acara ini rutin digelar setiap tahun.

Menurut pantauan detikcom di Pantai Baru, tidak tampak ada tamu undangan meski kursi dan tenda kehormatan telah terpasang. Selain itu tidak tampak pula spanduk acara yang seharusnya terpampang di panggung.


Mengutip cuitan dari akun twitter @AfifFuadS (Afif Fuad Saidi), tema pembubaran adalah tentang “kemusyrikan” dan tak mau menerima budaya luhur nenek moyang kita, ini tentang puritanisme, konservatisme agama kelompok-kelompok kecil yang semakin mendapat tempat di Masyarakat.

Ini alarm peringatan bagi kita semua, bahwa mereka sudah berani bertindak anarkis mengatasnamakan Agama. Ini merupakan ulah kelompok yang selama ini sering membid’ahkan, mengkafirkan yang lain dan tidak mau ada asimilasi budaya luhur dengan agama yang masing-masing kita anut.

Paham puritanisme, tekstual dan egois dalam beragama ini bahaya. Diawali oleh Intolransi, sebuah pemahaman yang tak sama dengannya adalah salah, mengklaim yang paling benar dan kemudian eklusifivisme tercipta. Intoleransi akan melahirkan radikalisme, sikap intoleran ketika disertai tindakan inilah radikalisme. Ketika mereka sudah merasa besar dan berani melawan, kejadian diatas (pembubaran ritual sedekah laut) adalah contoh nyata, bagaimana jika tak sepaham, berbeda, dirusaknya, dihancurkannya. Dan pada akhirnya sikap ini akan melahirkan apa yg disebut terorisme, mereka akan melakukan teror pada apa yang dianggap tak sama, merusak, membunuh bahkan, ya, atasnama agama mereka, atas nama tuhan mereka. ini bahaya!

Bantul, Yogyakarta adalah kota budaya. Kota dengan sederet peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Kini salah satu adat budayanya dirusak, dikecam oleh mereka yang mabuk agama. Jangan biarkan, tindak, dan jangan takut. Jangan kalah oleh kelompok kecil yang akan merusak damai bangsa ini.

Menurutnya, kejadian ini merupakan awal atas tindakan radikal kelompok tersebut, jika tak dilawan maka akan terus dan akan semakin menjadi. Tidak ada kekerasan dalam Agama. Kita sudah lama hidup dalam gandeng mesra budaya nenek moyang dan agama yang kita anut, dan tak masalah. Jika saat ini mereka berani congak, ini adalah salah kita semua, yang diam atas ulah mereka selama ini. Mereka ada di mana-mana dan kita membiarkannya. Lawan! Indonesia bukan tempat bagi pemeluk konservatism agama, ‘Sing waras ojo ngalah’.

Indonesia pada bentangan Bhineka tunggal ika dan pancasila sebagai payung teduhnya, konsensus kebangsaan harus kita jaga bersama. Rajut indah toleransi ini harus kita rawat bersama, lawan jika ada ada yg mencoba merusaknya! Jika ini dibirakan, anak cucu kita tak akan melihat betapa moyang kita dahulu punya tradisi luhur yang pada muaranya sarat dengan nilai-nilai luhur agama, toleransi, kedamaian, gotong royong dan persatuan dalam ragam perbedaan.

Jika ini dibiarkan, maka anak cucu kita tak akan bisa menghirup udara kedamaian, kerukunan dan toleransi. Inginkah anak cucu kita bernasib seperti anak-anak di negara-negara konflik yang mereka berteriak atasnama agama? jangan sampai!

Terakhir ia menuliskan bahwa Indonesia damai dan toleran karena budaya luhur moyang bisa bersanding mesra dengan pemaknaan agama yang kita anut. Pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Jangan beri tempat pada mereka yg mencoba memonopli bangsa ini atasnama agama. Lawan!

Dalam salah satu Qaidah Fiqhiyah, warga NU mengenal prinsip ‘Al muhafadzatu ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah’ (upaya pelestarian nilai-nilai (luhur) yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Artinya, ketika ada sebuah budaya atau tradisi di suatu daerah yang baik, maka NU tidak serta merta menolaknya hanya karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. NU menerima dan kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islami, supaya budaya dan tradisi itu terus menerus ada dan tidak bertentangan dengan syariat agama. Sebab kekuatan dan ciri khas bangsa Indonesia ada pada tradisi dan budayanya yang beragam. Jika tidak dirawat, hilanglah semua tergerus dan tertelan zaman yang makin tua dan rapuh.
Sebagai anak muda, tentu kita perlu melestarikannya tanpa ada embel-embel tuduhan sesat yang mengatasnamakan agama.

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Nanik Deyang 'Jonru Cewek' Bakal Jadi Tersangka? Siap-siap Aja!


Kesalahan Nanik Deyang terkait aksi tipu-tipu Ratna Sarumpaet adalah kecerobohan dia yang akut. Nanik lupa bahwa eskalasi situasi politik saat ini membuat polisi pasang muka kenceng bagi siapapun yang dipandang berpotensi menciptakan keresahan.

Seenaknya dia menyebar berita bohong tanpa mengecek kebenarannya. Padahal ngakunya dia wartawan yang harusnya peka soal berita sensitif model beginian.

Pada drama RS, seolah digambarkan nenek-nenek itu digebuki. Polisi tidak dilapori hingga mengesankan polisi tidak bertindak. Ini sesuai dengan khayalan kubu Prabowo bahwa polisi memihak apa yang sering mereka sebut sebagai “rezim pemerintah Jokowi. “


Sebaran berita bohong membuat polisi kalang kabut dan tidak mau dianggap lambat apalagi memihak. Sampai akhirnya polisi membongkar kebohongan tersebut. Sarumpaet dan mereka yang mencoba menggoreng isu itu terdesak.

RS akhirnya buka kartu dan yang tadinya berkoar sibuk buang badan dan membiarkan RS jadi pesakitan sendirian. Termasuk Nanik Deyang.

Seenaknya dia buang badan sambil merasa posisinya aman-aman saja. Mentalitas tengil seperti dia itu mungkin disebabkan perasaan dia dan orang-orang di kubu Prabowo bahwa mereka tidak bakal tercyduk karena dekat dengan para mantan Jenderal.

Mereka pikir para pensiunan itu bakal melindungi mereka dan punya kuasa untuk berbuat apa saja.
Padahal nyatanya, para mantan Jenderal itu tidak punya pengaruh apa-apa. Kewenangan dan kekuatan mereka sudah rontok begitu pensiun.

Sementara yang masih aktif tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat sumpah Sapta Marga yang tidak memungkinkan para Jenderal aktif itu berpolitik dan membela kubu Prabowo secara tidak langsung apalagi langsung.

Tapi pendukung Prabowo kelas kroco, seperti Deyang dan para kepala peyang penyebar kebohongan merasa mereka berada diatas hukum.

Nanik Deyang sampai dengan surat panggilan polisi datang, masih berfikir gaya Orde Baru. Yang dengan sombong nya berasa tidak bersalah karena yakin dia punya backing seragam ijo atau coklat.

Tapi belakangan Deyang sadar bahwa backing-backingan sudah tidak zaman. Apalagi sekelas kroco seperti dia. Amin Rais saja menyerah dan bersedia diperiksa polisi.

Ini semua menunjukkan bahwa tidak satupun orang yang berpengaruh di kubu Prabowo. Termasuk Prabowo dan Sandy. Keduanya menjauh dari gerombolan yang terciprat air comberan yang sangat bau.

Tidak heran, jika di wallnya, Nanik Deyang menulis dalam bahasa standard yang akan memenuhi panggilan polisi karena Warganegara yang baik.

Kalimat standard ini mengindikasikan Nanik Deyang sedang kencing di celana ketakutan menjelang pemeriksaan polisi. Deyang ketakutan setengah mati karena dia adalah mata rantai paling lemah pada kasus hoax akut ini.

Yang bisa menjadikan "Jonru cewek" ini tersangka.

Ditahan dan susah tidur karena serangan nyamuk ganas.

Sendirian..

Emang enak?

Sumber: Status Facebook Budi Setiawan

(Info-Menia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Empat Negara Yang Tidak Aman Bagi Pemeluk Agama Kristen. Simak Ini!

Foto: TEMPO.CO

Pengadilan militer Mesir memvonis hukuman mati 17 tersangka yang terlibat dalam pengeboman tiga tempat ibadah umat Kristen pada 2016 dan 2017. Mesir juga telah menjatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 19 tersangka pengeboman gereja dan 10 tersangka lainnya dengan hukuman 10 tahun dan 15 tahun penjara.

Dikutip dari aljazeera.com pada Jumat, 12 Oktober 2018, ISIS atau kelompok Negara Islam Irak-Suriah mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri yang menargetkan tiga gereja pada April 2016 dan Desember 2017 yang menewaskan puluhan orang.

Tempat ibadah umat Kristen di penjuru Mesir sering menjadi incaran serangan bom yang diklaim dilakukan oleh ISIS. Kondisi ini telah membuat otoritas berwenang memberlakukan status gawat darurat.


Lembaga riset Open Doors dikutip dari express.co.uk pada Januari 2018 meriset negara-negara yang tidak aman umat Kristen, berikut diantaranya :

1. Korea Utara

Negara ini dinobatkan sebagai negara paling berbahaya di dunia untuk umat Kristen oleh Open Doors. Korea Utara telah menduduki daftar tahunan Open Doors sebagai negara paling berbahaya dari negara-negara lain selama 16 tahun terakhir, menggantikan Arab Saudi dan Somalia, dua negara yang telah menduduki peringkat pertama selama 26 tahun sejak Open Doors melakukan riset.

“Korea Utara tetap menjadi tempat paling berbahaya di dunia bagi pemeluk agama Kristen. Mereka dipaksa untuk beribadah secara bersembunyi – jika mereka ditemukan, mereka akan dibawa ke kamp kerja paksa,” tulis Open Doors.


2. Mesir

Mesir adalah negara yang dengan cepat naik dalam daftar karena ancaman kekerasan, kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, keadaan nasional, dan kehidupan gereja. Negara ini berada di peringkat ke-17 negara yang berbahaya bagi umat Kristen setelah pada 2017 banyak kekerasan dan serangan mengancam umat Kristen.

“Pada 2017 ada beberapa insiden kekerasan yang mengerikan di seluruh Mesir, diantaranya pada saat Paskah, 49 orang terbunuh dalam dua pemboman gereja dan pada Mei ekstremis menyerang orang-orang yang bepergian ke sebuah biara di Mesir Hulu – menewaskan 29 orang,” tulis Open Doors.

Direktur Eksekutif Open Doors, Lisa Pearce, mengatakan umat Kristen di Mesir menghadapi rentetan diskriminasi dan intimidasi. Kendati demikian, mereka menolak untuk melepaskan keyakinan mereka.

“Di Mesir, seperti di banyak negara Timur Tengah lainnya, agama seseorang akan dinyatakan di kartu identitas. Ini membuat diskriminasi dan penganiayaan menjadi mudah – seseorang diabaikan untuk pekerjaan, izin perencanaan sulit diperoleh dan mereka adalah target ketika berusaha untuk pergi ke gereja,” ujarnya.


3. Turki

Turki juga dipilih sebagai tempat paling berbahaya untuk umat Kristen. Berbatasan dengan Eropa, negara ini menempati peringkat ke-31 setelah dalam setahun ditandai oleh penindasan hak-hak sipil.

“Kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis telah meningkatkan tingkat ketakutan dan intimidasi serta banyaknya teroris yang diusir dari Irak dan Suriah telah meningkatkan ancaman di Mesir dan Turki. Turki tidak masuk Daftar Open Doors World Watch pada 2014, tapi kemudian masuk pada tahun 2015 di peringkat 41, dan pada 2018 berada di peringkat 31 dengan peningkatan 10 poin dikarenakan penganiayaan,” tulis Open Doors.


4. Nigeria

Afrika juga disoroti karena meningkatnya ancaman ekstremisme Islam di daerah-daerah, dengan orang Kristen di Nigeria terancam oleh tingkat ekstrim dari kekerasan.

“Ekstremis membunuh lebih dari 2.000 orang Kristen pada tahun lalu. Lebih dari 500 perempuan diperkosa atau mengalami pelecehan seksual. Pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang oleh ekstrimis Islam di Nigeria Utara,” tulis Open Doors.

Negara-negara tak aman bagi umat Kristen yang ada di daftar teratas berada di Timur Tengah atau Afrika Utara, termasuk Afghanistan, Pakistan, Libya, Irak, Yaman dan Iran. Somalia, Sudan, Eritrea dan India juga memenuhi urutan 10 besar.

(Tempo/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sedekah Laut dan Tsunami Budaya

Sedekah laut di Cilacap. (Foto: Merdeka.com)

Masygul hati saya membaca pesan pendek dari Whani Darmawan, seorang pesilat yang juga dramawan dari Yogyakarta. Membalas kiriman video saya membaca puisi di Panggung Krapyak tentang gempa bumi dan tsunami di Palu, ia mengirim sebuah foto poster. Tertulis di situ, “Cintailah Yogyakarta dengan iman dan amal shalih, tinggalkan tradisi jahiliyah sedekah laut atau bumi.”

Whani mengajak untuk menggagas gerakan kebudayaan. Meski obrolan kami masih permulaan dan permukaan, saya duga ia tak sendiri gelisah soal peredaran isu ini. Kawan saya yang lain, Soelung Lodhaya, pegiat kebudayaan di Bali, menyoal foto pamflet di Cilacap yang bertuliskan pesan lebih keras lagi. Begini bunyinya, “Jangan larung sesaji karena bisa tsunami.” Ia menilai, pamflet itu pembunuhan karakter atau penggerusan budaya bangsa.

Lain lagi di Banyuwangi. Awal Oktober lalu, Bupati Abdullah Azwar Anas berapi-api ketika memaparkan beragam festival di bumi Blambangan. Salah satunya, pergelaran Gandrung Sewu pada 20 Oktober nanti. Lalu, pada Kamis dini hari, Banyuwangi terdampak gempa 6.4 SR di Laut Bali.

Front Pembela Islam (FPI) di Banyuwangi mengeluarkan surat pernyataan sikap yang langsung viral di media sosial. Surat bernomor 0003/SK/DPW-FPI Banyuwangi/II/ 1440/Tanggal 11 Oktober 2018 itu berisi kecaman terhadap acara Gandrung Sewu yang akan digelar di Pantai Boom, Banyuwangi. “Kegiatan itu akan mengundang semakin banyak bencana di bumi, khususnya di tanah Banyuwangi,” kecam FPI dalam surat yang ditandatangani Ketua Tanfidzi Agus Iskandar dan Sekretaris Yudo Prayitno.

Isu yang menghubungkan antara gempa dan tsunami dengan kegiatan kebudayaan bermula dari gempa dan tsunami di Palu yang disinyalir terjadi karena Festival Nomoni. Di dalam kegiatan tahunan pada perayaan ulang tahun Kota Palu itu, para tetua adat membaca mantra-mantra tua dan kembali menghidupkan tradisi lama: memberi sesaji pada semesta. Alih-alih bersandar pada teori-teori ilmiah atau mitologi setempat, kesedihan gara-gara bencana justru dibenturkan dengan dalil-dalil suci dan dalih-dalih ideologis. Tak pelak, ini menggesek budaya dan agama.

Hari-hari ini, bahkan sesungguhnya tak hanya hari-hari ini, Tanah Air tercinta tak henti-hentinya mengalami gempa. Sejak gempa 7 SR di Lombok pada 5 Agustus, disusul gempa 7.4 SR disertai tsunami dan likuifaksi di Palu pada 28 September, kemudian gempa 6.4 SR di Laut Bali yang mengguncang Pulau Sapudi di Sumenep, Madura dan Situbondo, yang terasa pula di Bali, Banyuwangi, bahkan Malang. Info BMKG dalam kicauan di linimasa menulis, terjadi 5.578 gempa pada 2016 dan 6.929 gempa pada 2017, dengan 19 di antaranya gempa besar. Dan, itu masih dinilai wajar.

Mengapa? Masih dalam twit yang sama, admin akun @infoBMKG menuliskan satu fakta yang seharusnya sudah kita pahami bersama, yaitu Indonesia dikelilingi oleh Ring of Fire. Cincin api. Negeri ini punya sedikitnya 127 gunung berapi aktif. Jika satu menggeliat, geliatan itu bukan tidak mungkin akan menjalar pada cincin api. Belum lagi jika lempeng-lempeng besar di bawah laut pun bekerja. Evolusi gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami menjadi fenomena alam tak terelakkan. Meski korban berjatuhan, ini semua tak benar-benar salah manusia belaka.

Pernah saya berbincang dengan seorang kawan lainnya bahwa seorang presiden sesungguhnya tidak hanya memimpin rakyat, warga negara bangsanya. Ia tidak hanya memimpin manusia. Namun, lebih dari itu presiden juga memimpin angin, air, api, tanah, dan seluruh anasir alam semesta di jagat bernama negara yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, saya -atau kita- sering mendengar betapa seorang Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur sedemikian kuat dan giatnya dalam laku spiritual, baik sebelum, ketika, maupun sesudah menjabat presiden.

“Di bawah situ ada gua. Paspampres saja mengenakan jaket berlapis-lapis. Namun, Pak Harto hanya pakai kain kemben dan bertelanjang dada. Bersemadi berjam-jam di bawah sana,” kata Kholiq Arif semasa masih menjabat Bupati Wonosobo, ketika mengajak saya ke Telaga Warna.

“Sejak dari zaman Pak Karno, para presiden dan calon presiden selalu bertapa di sini,” ujar Kiai Abdul Manaf, juru kunci Siti Hinggil, Petilasan Raden Wijaya di Bejijong, Trowulan, Mojokerto.

“Warga bergantian menandu Gus Dur sampai Pringgodani,” kisah Pak Erry, warga Karanganyar.

Banyak cerita yang saya kumpulkan dari perjalanan panjang ke berbagai sumber keyakinan masyarakat. Namun, apakah kita bisa serta-merta menghakimi para pemimpin negeri ini dan rakyatnya yang suka berziarah, bertirakat batin, berlama-lama dalam doa di petilasan-petilasan bersejarah itu sebagai kaum musyrikin? Lebih-lebih, semakin banyak terpasang papan pengingat di lokasi-lokasi yang disakralkan itu untuk memohon hanya kepada Allah, bahkan di maqbarah para Waliyullah.

Lautan manusia tak henti-hentinya berziarah di tanah pusaka ini. Tidak hanya bersedekah pada manusia, masyarakat Nusantara juga mengenal tata krama pergaulan dengan sesama makhluk Tuhan yang bukan manusia. Ia angin, air, api, tanah, binatang, pohon, bukit, gunung, laut, sungai, dan masih banyak lagi. Berbicara tentang Indonesia, seluruhnya adalah penduduk Indonesia pula. Duduk, bertempat, dan tinggal di titik-titik yang sama meski berbeda dimensi ruang dan waktu. Ada yang lebih dulu datang, ada yang kemudian. Dan, yang terpenting adalah hidup rukun dan damai. Saling dukung, tak saling ganggu.

Semesta di Indonesia telah memberikan banyak kekayaannya kepada kita. Namun, diakui atau tidak, kita tidak membalasnya dengan kasih sayang sepadan. Kita justru semakin merusak tanah dan air di Tanah Air kita sendiri. Lelaku batin penyelarasan frekuensi kesemestaan dalam upacara adat, di antaranya sedekah laut dan bumi, justru dibenturkan dengan tuduhan-tuduhan pemicu bencana. Padahal, adat telah ratusan tahun menjadi bagian tidak terpisahkan dari ragam kehidupan rakyat. Agama hadir menyempurnakan, bukan menghancurkannya. Seharusnya.

Tulisan saya ini bisa melebar ke mana-mana, namun saya merasa harus pula menyertakan kisah seorang teman lain lagi bernama Budi Dalton. Ia berseloroh, ilmu kini perlu membedah perut untuk memasukkan gunting ketika tindakan medis operasi, namun ilmu kuno tidak perlu. “Tanpa dibedah pun, gunting bisa dimasukkan ke perut. Lalu, mana yang kini dan mana yang kuno?” tanya Budi. Dia dan kawan-kawan merasa gemas ketika pendekatan “menyanologi” lebih dulu mengendus jejak sejarah di Gunung Padang, namun kemudian tidak diakui.

Jangankan untuk perkara sebesar itu. Untuk urusan memberi bunga kepada keris pun, saya pernah ditanya, “Bukankah itu perbuatan syirik?” Saya lantas balik bertanya, “Kamu punya hape?” Dijawab, “Punya.” Saya tanya lagi, “Supaya bisa bekerja, kamu kasih makan apa itu hape?” Dijawab, “Pulsa.” Pelan-pelan kemudian saya bicara, “Nah, masing-masing punya makanannya sendiri. Hape diberi pulsa, mobil diberi bensin, manusia diberi nasi, keris diberi bunga. Lalu, di mana letak syiriknya?” Menjadi persoalan jika kita mengonsumsi yang bukan makanan kita.

Gus Yusuf Chudlori punya cerita unik yang saya dengar bertahun-tahun silam. Ia menerima keluhan dari masyarakat di desanya yang dilarang membakar dupa dan kemenyan oleh para pendatang yang suka mengutip dalil. Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang itu mendekati para pendalil tersebut. Dia berkata, “Sudahlah, warga desa tidak seperti orang kota yang punya banyak hiburan. Di sini hiburan mereka ya cuma membakar dupa dan kemenyan. Mereka punya iman tauhid yang insya Allah kuat. Tak perlu ada yang dikhawatirkan.”

Hari-hari ini, berbicara soal agama menjadi lebih sulit karena ancaman pidana penistaan agama menghantui. Tidak benar-benar leluasa lagi untuk bercanda. Tidak seperti dulu. Kini, dalil pun diadu. Dibumbui dalih. Perang tak hanya soal-soal pelik yang perlu buka kitab, tapi juga urusan-urusan sepele dengan mengandalkan kegenitan dan kengototan berargumen seraya mengolok-olok. Surga dikapling-kapling untuk kelompoknya sendiri sembari menghakimi kelompok lain sebagai penghuni neraka atau penyebab azab bencana alam.

Bahkan, dialektika tentang keberagaman dalam keberagamaan semakin sering mengarah pada pribadi. Kepemimpinan seseorang dinilai dari kecakapan dalam mengimami salat dan kefasihan dalam membaca Al Quran. Sampai-sampai, lidah dan lisan yang berbeda dialek pun dijadikan bahan ledekan yang seperti tak habis-habis. Ketika Presiden mengucap “Al Fatekah”, yang menurut para penentang seharusnya Al Fatihah, perang lidah telah disulut. Kita menegaskan kembali betapa kita tak perlu siapa-siapa untuk mengadu domba, kita bisa dan suka beradu sendiri. Cerita-cerita kewalian orang-orang tidak fasih bacaannya namun tajam dan bersih hati beradu dengan kisah-kisah fadhilah dan keharusan membaca kitab suci tanpa keseleo lidah. Harus baik dan benar. Sebab, salah baca salah makna. Dan, itu berbahaya. Riwayat tentang bahasa Arab adalah bahasa di surga, malaikat hanya memahami bahasa Arab, dan oleh karena itu bahasa ini lebih mulia dibanding yang lain sehingga wajib dikuasai. Semua itu mengemuka kembali. Padahal, Allah adalah Tuhan bagi segala bangsa dan bahasa. Dia niscaya tidak punya persoalan bagaimana lisan bicara. Penglihatan-Nya tembus ke hati.

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sibuk Eksis di Medsos, Bagaimana Kerja Anggota DPR?

Ilustrasi – Media sosial

Media sosial (Medsos) sekarang ini cukup memudahkan komunikasi antar sesama, selain itu juga seringkali dipake oleh pejabat negara maupun anggota DPR dalam menuangkan tanggapan maupun kritikan dan sebagainya.

Pada beberapa hari lalu pemerintah sempat mengumumkan kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk beberapa jenis kecuali premium pada beberapa hari lalu.

Kebijakan yang dikeluarkan tersebut segera mendapat tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat dan Wakil Rakyat.

Salah satunya adalah Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang menanggapi naiknya harga BBM dengan memberi sindiran di akunnya di Twitter.

Dia menuliskan lirik naik-naik ke puncak gunung tapi diganti atau diplesetkan.

Kicauan Fadli langsung disambut sindiran Riza Villano, caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Riza mengatakan anggota DPR saat ini kurang greget atau kurang bermanfaat.

“Saya sebagai calon legislatif dari PSI merasa wakil-wakil rakyat di DPR RI sekarang kurang bermanfaat, bisanya cuma ngubah-ngubah lagu di Twitter,” kata Riza saat ditemui di Jakarta.

Kalau memang Fadli Zon, lanjutnya, betul-betul peduli kepada rakyat bukan hanya ingin eksis, sebetulnya dia bisa dan mempunyai hak untuk interpelasi terhadap kenaikan BBM. Dibanding berkicau di akun pribadi di Twitter.

“Ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak disukai harusnya bisa bertindak melakukan sesuatu yang tentunya sesuai konstitusi, tetapi tidak pernah ada suatu langkah nyata yang dilakukan DPR RI dan hanya eksis di media sosial yang tidak akan berdampak apa-apa,” ujar Riza.

Dia mengingatkan anggota DPR bekerja lebih giat lagi menyuarakan aspirasi masyarakat dibanding mengumbar janji dan mencari eksistensi di media sosial.

“Saya mengimbau untuk anggota DPR RI jangan cuma eksis saja di sosial media, jangan cuma cuit-cuit saja, jangan cuma cari sensasi saja, tapi lakukanlah langkah-langkah greget yang nyata dan konkret kepada rakyat,” pungkas Riza.

(JPNN/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pengamat Politik: Isu PKI Tamat, JAD dan HTI Ancaman Nyata Saat Ini


Komunisme dan khilafah adalah dua ideologi politik terlarang di Indonesia. Ideologi pertama dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan PKI dan Paham Komunisme di Indonesia. Yang kedua dilarang Perppu 2/2017 tentang Ormas yang telah disahkan DPR menjadi UU. Kedua ideologi tersebut dinilai bertentangan dengan Pancasila.

Pengamat politik Boni Hargens berpendapat, informasi mengenai kebangkitan PKI hanya sebuah ilusi. Dia menyebut, PKI sudah menjadi masa lalu dan telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang, sehingga tidak mungkin bisa bangkit kembali di Indonesia.

“PKI sudah selesai. Kalau hari ini jika ada yang mengatakan indikasi-indikasi komunis, kita lawan. Tapi pertanyaan dimana? Ada di masyarakat atau di kepala?” kata Boni dalam diskusi bertajuk ‘Membedah Agenda Politik PKI dan Khilafah’ di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/10).

Menurut Boni, ada oknum yang dengan sengaja menggoreng isu PKI dan dikaitkan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu, kata dia, terbukti pada 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada sama sekali isu terkait kebangkitan PKI.

“Kalaupun ada tidak sekenceng hari ini. Kenapa ketika Jokowi jadi presiden tiba-tiba diskursus itu muncul seakan-akan PKI ini ancaman riil,” kata dia.

Menurut Boni, yang mengancam ideologi Pancasila saat ini adalah ideologi radikal seperti JAD (Jamaah Ansharut Daulah) hingga HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Mereka, kata Boni, secara terang-terangan menebar teror di tengah masyarakat dengan tujuan ingin mendirikan negara Islam di republik ini.

“Yang kongkret JAD itu riil, ada kelompok teror. Yang rill itu. HTI juga sudah dibubarkan sebagai organidasi, tetapi HTI sebagai kumpulan orang kan enggak bisa dibubarin, sebagai ideologi enggak bisa dibubarin, artinya masih bisa menjadi gangguan sistem negara kita untuk mereka bisa mewujudkan khilafah,” terang Boni.

Boni menegaskan, bahwa PKI adalah ilusi yang dibangun untuk dijadikan wacana politik mendekati Pilpres 2019. Maka, Boni mengajak semua pihak untuk berhati-hati agar mudah membedakan pandangan ilusi dengan faktual.

“Kebangkitan PKI ini adalah suatu wacana politik yang dibangun karena eskalasi politik yang semakin mendekati pilpres. Negara ini adalah negara demokrasi, rule of the law. Jadi kita bicara aturan main,” tutupnya.

(Salafy-News/Berbagai Media/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Analisa Kenapa Aburizal Bakri dan TV One Akhirnya Dukung Jokowi


Aburizal Bakri alias Ical dalam empat tahun terakhir kelelahan. Lewat TV One miliknya, ia terus-menerus menyerang Jokowi. Segala kekurangan Jokowi selalu dikuliti, diiris dan dicincang di TV One. Hasilnya, TV One menjadi idola bagi yang anti Jokowi. Saking ekstrimnya TV One menyerang Jokowi, otak para anti Jokowi sukses dicuci. Munculah syahdat iman sebagian masyarakat yang meyakini bahwa TV One adalah TV yang benar.

Kehandalan TV One mencuci otak pemirsanya semakin lengkap dengan program ILC yang dimotori oleh Karni Ilyas. Di sana Karni Ilyas diyakini sebagai Panglima Perangnya Ical gencar memprovokasi masyarakat dengan menggoreng isu-isu yang menerpa pemerintah.

Selama empat tahun pemerintahan Jokowi, Ical bersama TV One-nya berjuang habis-habisan untuk menjatuhkan Jokowi. Hasilnya? Gagal total. Jokowi tidak bisa dijatuhkan. Justru sebaliknya, Ical-lah yang kehabisan energi, kelelahan dan bahkan terluka ketika menyerang Jokowi. Apalagi Ical sebelumnya di tahun 2006, terluka parah akibat Lumpur Lapindo.

Jika menilik ke belakang, maka Lapindo adalah luka menganga terbesar Ical. Semburan Lapindo yang terjadi pada tahun 2006 telah berbuah malapetaka besar. Ical terus bertanya kepada Khaliknya, apa dosanya sampai perusahaannya Lapindo tiba-tiba menyebabkan semburan luar biasa itu?


Energi Ical terhambur banyak menangkis hujatan, makian dan hinaan masyarakat. Hartanya pun tergerus besar mengganti kerugian akibat Lumpur Lapindo itu hingga tahun 2015. Sementara Lapindo sendiri tak membuat untung dan terus menimbulkan kerugian. Utang Ical pun menggunung. Semburan Lapindo telah menjadi awal luka dan kebangkrutannya.

Walaupun Lapindo melukai Ical, namun berkat kedekatannya dengan SBY, Ical untuk sementara berhasil berkelit mengganti kerugian masyakarat akibat semburan Lapindo. Bahkan awal tahun 2008 Ical sempat menjadi orang terkaya di Indonesia menggeser orang terkaya sebelumnya. Apes bagi Ical, menjelang akhir 2008, dunia dilanda krisis ekonomi.
Pelemahan Perekonomian global akhir tahun 2008, telah membuat IHSG merosot. Saham-saham Ical terjun bebas. Permintaan Ical kepada Sri Mulyani dan Budiono agar menghentikan transaksi saham IHSG di Bursa Efek Jakarta saat itu, tak digubris. Ical pun marah. Meriamnya mulai mengarah kepada Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI saat itu dan Wapres Budiano.

Dengan cengkramannya yang begitu kuat di Golkar yang direbutnya pada tanggal 8 Oktober 2019, Ical dengan mudah mencari alasan untuk mendepak Mulyani. Kasus Century yang melibatkan Mulyani pun menjadi sarana menggairahkan Ical untuk mendepak Mulyani. Dan ia pun menang. Lewat Pansus Century yang terbentuk akhir Desember 2009, Ical memaksa SBY untuk mendepak Sri Mulyani.
Akan tetapi Pansus Century itu telah menimbulkan luka di hati SBY yang kehilangan muka saat itu di DPR. Hal yang kemudian dibalas dengan sepadan SBY saat Ical terpaksa menelan ludahnya terkait Pilkada lewat DPRD. Walaupun Ical berhasil mendepak Sri Mulyani, perusahaan Ical yang terus merugi tak bisa dibendung. Sementara itu utang Icalpun terus menggunung.

Luka Lapindo, perusahaan terus mengalami kebangkrutan dan terdepak dari 30 besar orang terkaya RI, membuat Ical mencari penyembuhan baru. Ical lagi-lagi terluka. Obatnya hanya satu, menjadi Presiden Republik Indonesia. Dengan menjadi Presiden, mudah bagi Ical menyembukan luka perusahaannya. BUMN-BUMN adalah jawabannya. Kue lezat BUMN jika bersinergi dengan perusahaannya, dapat menjadi antibiotik hebat bagi lukanya. Itulah impian Ical yang terbesar dalam hidupnya, menjadi orang nomor satu di negerinya.

Namun pendekar kurus nan sakti, Jokowi dari Solo, membuyarkan impian Ical. Bahkan calon favorit Ical, Prabowo yang dia dukung mati-matian, kalah dengan Jokowi. Jokowi di tahun 2014 tak terbendung untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.

Tak ada jalan lain bagi Ical. Pilihan satu-satunya adalah melakukan penjegalan Jokowi di DPR. Ical bersama Akbar Tanjung, Prabowo dan Amin Rais membentuk Koalisi Permanen di DPR. Impiannya adalah menentukan segala kebijakan pemerintah, menjegal dan meng-impeachment Jokowi.

Awalnya Ical dan kawan-kawan berpesta pora menikmati kemenangan. UU MD3, Pilkada lewat DPRD dan pimpinan DPR dan MPR serta alat-alat kelengkapannya, berhasil diraup Ical dan kawan-kawan. Saking mabuknya Ical dan merasa lukanya sudah sembuh, ia lupa bahwa Jusuf Kalla, lawan bebuyutannya, sudah kembali ke medan tempur.

Ical juga memandang remeh bahwa di internal Golkarnya sudah mulai ada riak-riak menjelang habis masa baktinya di Golkar. Ia lupa faktor Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Yorris dan kawan-kawan. Dan benar saja, Ical lewat Nurdin Halid berhasil melaksanakan Munas di Bali tanpa hambatan dan menahbiskannya kembali sebagai ketua Golkar.

Akan tetapi langkah Ical itu diimbangi dengan insting politik luar biasa Kalla yang telah kembali menjadi Wapres. Kalla yang pernah dipecundangi Ical, dengan lihai memerintahkan Agung Laksono, Priyo Budi Santoso dan kawan-kawan yang tersingkir dari Munas Bali, melaksanakan Munas Ancol sebagai tandingan. Ajaib, Munas Ancol berhasil dilaksanakan, lalu diputuskan oleh Mahkamah Partai Golkar sebagai Munas yang sah dan segera mendapat SK pengesahan kepengurusan dari Menkumham.
Mulailah Ical terluka lagi. Kali ini lukanya sedemikian besar karena Golkar di tangannya terus bergolak dan dirongrong. Siapa yang melukai Ical kali ini? Tentu saja Jusuf Kalla. Jusuf Kalla, kendatipun sudah berumur 75 tahun, tetapi ia adalah pendekar politik yang ulung.

JK berhasil membuat KMP sibuk dengan konflik di internal mereka sehingga tidak fokus untuk menyerang kebijakan pemerintah. Program pemerintah dalam membangun infrastruktur pun berjalan lancar tanpa hambatan di parlemen.
Pecahnya Golkar yang disusul kocar-kacirnya KMP telah membuat Ical lagi-lagi terluka. SK Menkumham bagi Munas Ancol dan tidak kunjung disahkannya Munas Bali telah membuat Ical mulai menjerit. Pertarungan Ical di pengadilan juga telah membuatnya cukup berdarah-darah namun hasilnya sama sekali tidak memuaskan.

Berhadapan dengan pemerintah yang dimotori oleh JK, Ical terus melemah. Manufer JK yang sehaluan dengan Mahkamah Partai Golkar, turun gunungnya Habibie dan merapatnya Mahaguru Golkar Akbar Tanjung, telah membuat Ical terus menjerit.
Merasa dikeroyok dari berbagai lini, Ical pun mulai menyerah. Sisa-sisa tenaganya ia kerahkan dalam Rapimnas Golkar Munas Balinya 23-25 Januari 2016. Hasilnya, Ical terpaksa menyerahkan Golkar kepada Setya Novanto. Namun cengkraman Setya Novanto tidak lama. Walaupun ada drama bakpao, Setya Novanto tetap meringkuk di penjara akibat korupsi akut.

Kini Golkar dikendalikan oleh Airlangga Hartarto, menteri Jokowi. Golkarpun sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi. Ical sepertinya sudah terlalu lelah untuk melawan Jokowi pada Pilpres 2019. Apalagi segala perlawanan yang ia lakukan lewat TV One-nya, sepertinya tak membuahkan hasil maksimal. Oleh karena itu Ical kini sadar akan realita politik.

Lewat Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, Ical yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie dinyatakan mendukung pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Hal itu disampaikan Lodewijk menanggapi pertemuan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf dengan Aburizal, Senin (8/10/2018).

Lalu mengapa Ical –TV One akhirnya mendukung Jokowi? Ada tiga alasannya. Pertama, sudah lelah melawan Jokowi, kedua, pertimbangan bahwa lebih banyak untungnya jika ada di barisan Jokowi dan ketiga, pada pilpres 2019, Jokowi sangat berpeluang menang ketimbang Prabowo.

Tentu saja dukungan Ical kepada Jokowi akan serta- merta diikuti oleh TV One yang dia miliki bersama Erick Thohir. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa ke depan TV One akan pelan-palan berubah dari TV Kampret menjadi TV kecebong.

Saya tidak bisa memprediksi kesedihan mendalam para pemuja TV One sebelumnya ketika kini sudah berubah mengikuti tuannya mendukung Jokowi. Hanya rasa yang mengharu-birukan dengan tetesan air mata buaya yang kualami.

#JokowiLagi

Salam Seword,
Asaaro Lahagu

Sumber: FB Muhanto Hatta

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wow! Ketika Kemaluan Yang Ditonjolkan


Dua foto yang diupload tentang cara berpakaian Sandiaga yang sekarang sedang menjadi cawapres No 2, sungguh tidak mencerminkan budaya malu. Mestinya dia punya kaca dan tau apa dan bagaimana kondisi barangnya dibalik celananya.

Kesimpulan singkatnya, orang ini tak tau malu, atau memang sengaja menjual kemaluan. Apa karena target pemilihnya emak-emak terus dia tonjolkan yang disukai emak-emak. Dia pikir otak orang kebanyakan sama seperti otaknya. Kelas beginian dibilang ulama, menjaga barangnya saja dia tak bisa, seperti kuda tak pakai celana.

Terus, kau mau dia ngurus negara. Jangankan memilihnya, berwacana tentang dia saja kau sudah ikut gila. Negara besar seperti Indonesia jangan dipimpin kelas penjual burung, wassalam kita semua.

# burung nusantara.

Diambil dari FB Iyyas Subiakto

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jika Ratna Berhasil Kabur Dari Indonesia, Begini Mungkin Skenario Yang Akan Terus Terjadi. Simak!

Ratna Sarumpaet ditangkap di bandara Soekarno-Hatta, Kamis (4/10/2018) malam

Seorang netizen Muhanto Hatta membayangkan dan berandai-andai jika Ratna Sarumpaet tidak ditangkap dan berhasil kabur seperi Rizieq Shihab, kemungkinan skenarionya kasus hoax Ratna Sarumpaet akan seperti Ini.

Berikut postingannya di laman facebooknya:

*SEHARUSNYA SKENARIONYA BERJALAN LANCAR, TAPI KITA BERSYUKUR ALLAH SWT SELALU MELINDUNGI ORANG BAIK*

Jika tidak ada aral melintang dan semuanya berjalan lancar, kemungkinan skenario kasus hoax Ratna sarumpaet akan berlangsung seperti ini:

31 Januari 2018
RS meminta dana perjalanan ke Chile kepada Dinas Pariwisata DKI via Anies.

21 Juli 2018
Disposisi diberikan oleh Anies berupa dana dan dukungan 100% kepada RS.

21 September 2018 (sore)
H-13 sebelum keberangkatan, RS sengaja operasi plastik sebagai alat bukti penganiayaan.

2 Oktober 2018 (dini hari)
H-2 isu Penganiayaan pertama kalinya mulai disebarkan oleh Fadli Z, Rachel M, Dahnil S, Fahri H.

2 Oktober (sore)
H-2 Prabowo bertemu RS utk menguatkan isu ini dengan menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM.

3 Oktober 2018
Sejumlah elite Partai Gerindra menduplikasi isu ini dan meminta Tito mundur bila tak bisa menangkap dalangnya.

3 Oktober 2018
Amien Rais, Hanum, FPI, Zulkarnaen, dll memperbesar isu tersebut, bahwa telah terjadi kekerasan oleh pemerintah.

4 Oktober 2018 (malam)
Berita penganiayaan terhadap RS (yang diposisikan sebagai oposisi), yang diduga dilakukan oleh rezim berkuasa makin santer.

4 Oktober 2018 (malam)
RS berangkat ke Chile melalui Soekarno Hatta.

4 Oktober 2018 (malam),
RS berada diluar yurisdiki RI.

5 Oktober 2018
RS tiba di tujuan, Santiago, Chile.

5 Oktober 2018
Kepada pers RS menyatakan kabur dari Republik Indonesia karena merasa ketakutan dan keselamatannya terancam.

12 Oktober 2018
RS memberikan kesaksian di acara Women Playrights International, bahwa ia adalah Saksi Hidup korban kekerasan oleh negara, dengan disertai bukti berupa foto-foto dan caption pemberitaan berbagai media massa.

Akhir Oktober 2018
RS meminta suaka ke beberapa negara lain, dengan alasan keselamatannya terancam bila kembali.

Oktober 2018 – April 2019
RS yang telah mendapat suaka di negara lain terus-menerus menggaungkan pernyataan bahwa pemerintah Jokowi adalah rezim otoriter yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan, untuk menghancurkan elektabilitas beliau.


Catatan:

RS sengaja memilih waktu oplas 13 hari (H-13) sebelum keberangkatannya, agar ketika tiba di Chile bengkaknya telah pulih sehingga tak ada orang yang bisa memastikan apakah itu karena oplas atau dianiaya.

Fadli Zon sengaja me-release berita penganiayaan 2 hari sebelum keberangkatan RS, dengan pertimbangan tidak akan cukup waktu bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membongkar kasus ini, sehingga RS tidak akan dicekal saat terbang ke Chile.

Prabowo dengan sigap mendatangi RS di rumahnya. Hal yang sangat jarang dilakukan Prabowo untuk menjenguk satu per satu anak buahnya.

Apalagi langsung disusul dengan acara konferensi pers. Ini adalah kejadian yang amat langka.

Semuanya dilakukan dengan Sistematis, dan dirancang dengan timing yang matang.

Sayangnya, ada keteledoran di sisi RS.

Posisi HP-nya bisa terlacak 8 hari sebelumnya dari record jaringan selular dan pembayaran oplas yang menggunakan kartu debit atas namanya, menghancurkan skenario tersebut.

Padahal brosur sudah siap diedarkan dan massa tinggal turun ke jalan.

Ini kelihatannya hanya seperti sebuah Kekeliruan kecil…

Tapi di baliknya ada Skenario besar untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo.


Diambil dari FB Muhanto Hatta

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Capres Grasak-Grusuk dan Tim Pemenangan Yang Penuh Kepalsuan


Prabowo Subianto capres grasak-grusuk…

Akun Twitter @Prabowo pernah menulis di twitter: “tidak ada prajurit yang jelek. Hanya ada komandan yang jelek. Segala yang dilakukan, dan tidak dilakukan prajurit adalah karena komandannya.”

Jika memang “tidak ada prajurit yang jelek. Hanya ada komandan yang jelek,” lantas mengapa sekarang RS justru “diserang” oleh tim Prabowo? Bahkan mereka juga mencurigai RS adalah penyusup yang sengaja untuk merusak nama Prabowo.

Tuduhan itu seakan tidak pernah berakhir…

Setelah kepalsuan komplotan Prabowo terbongkar, mereka justru rame-rame menganggap sebagai korbannya. Padahal bukan kah yang nyebarkan kepalsuan ke publik hingga viral itu mereka sendiri? Bukankah yang konferensi pers live di telivisi itu capres sekaligus komandan mereka sendiri?

Dulu bikin heboh mobil Neno Warisman dibakar, padahal akinya yang bermasalah. Sekarang RS operasi plastik bilangnya dipukulin dan ditendang orang. Tujuannya selalu menyudutkan petahana. Tapi Gusti Allah mboten sare (Tuhan tdk tidur).

Kebenaran akhirnya terungkap dan “menampar” muka mereka yang punya maksud jelek terhadap petahana.

Apakah seperti itu cara kampanye kader “partai Allah” yang disebut oleh Amien Rais? Masa “Partai Allah” kadernya suka nyebar kepalsuan? Mikirr….! (Kata cak Lontong).

Kalau Prabowo mengatakan 2030 Indonesia akan bubar, maka menurutku 2019 pun Indonesia bisa bubar jika Prabowo yang jadi Presidennya. Sebenernya kelemahan Prabowo itu bisa dilihat dari banyaknya kelompok HTI cs di kubunya. Prabowo tak bisa bersikap tegas menolak mereka yang jelas-jelas ingin merubah Pancasila.

Dan terkait kasus RS, sampai detik ini pun aku masih belum percaya jika mereka tidak tahu kondisi RS yg sebenarnya. Apalagi Prabowo dan beberapa dari timnya sudah pernah bertemu langsung dgn RS. Bisa jadi memang ini skenario besar yang sengaja dibuat untuk menyerang petahana.

Mereka ingin membangun opini bahwa pemerintah tidak becus menangani kasus penganiayaan yang dialami RS. Dan setelah semua kepalsuan terbongkar dan RS jadi tersangka, mereka pun cuci tangan membiarkan RS jalani kasusnya sendirian.

Saya jadi teringat Jonru yang juga nasibnya hampir sama dengan RS…

Setelah kemaren RS jadi tersangka dan ditahan untuk 20 hari kedepan, siapakah yang akan jadi tersangka berikutnya?

Saya sedang membayangkan, polisi saat ini telah menyita HP RS yang mana banyak terdapat data dan informasi penting terkait siapa saja yang terlibat. Jejak komunikasi itu tentu akan mempermudah polisi untuk mengusut kasus tersebut.

Aku yakin mereka sekarang lagi pusing dan susah tidur. Buat mbak Hanum Rais yang sambil nangis ngatain RS adalah Cut Nyak Din masa kini, harap bersabar ya… Ini ujian.

Oh ya, mbak Hanum… Betewe aku ngefans banget loh sama bapakmu, tapi itu dulu…

Sumber: FB Yusuf Muhammad

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jangan Menuduh Anies Baswedan Terlibat di Kasus ‘Pelarian’ Ratna Sarumpaet

Anis Baswedan - Ratna Sarumpaet

Jangan! Pokoknya jangan. Karena dia pasti punya alasan normatif dan bukti pendukung untuk melakukan tindakan itu. Misalnya; Ratna Sarumpaet memang seorang penulis dan aktivis wanita kelas nasional yang layak dikirim ke event itu.

Saya sempat berpikir jangan jangan itu eventnya fiktif alias hoax. Tapi saya tepis praduga itu. Mana mungkin Gubernur DKI dan Kepala Dinas Pariwisata memakai anggaran untuk event fiktif. Bisa kena ciduk KPK. Jadi kita harus percaya bahwa event itu benar benar ada.

Masalahnya adalah pantas tidaknya seorang Ratna Sarumpaet yang sedang jadi ikon gonjang ganjing politik nasional tiba tiba dibiayai dan difasilitasi pergi keluar negeri. Saya cenderung memakai kata #tibatiba karena saya tak yakin ini sudah terencana jauh jauh hari. Lihat saja tiketnya, kemungkinan dibeli mendadak tgl 2 s/d 4 Okt 2018.

Anies tahu bahwa RS ini jadi saksi kunci untuk belasan orang terlapor kasus penyebaran berita palsu (hoax) di sosial media. Dimana pihak terlapor itu adalah teman teman Anies semua. Kaburnya RS membuat polisi tak punya saksi kunci untuk dimintai keterangan.

Tapi tuduhan bahwa Anies sengaja meminggatkan RS keluar negeri untuk melindungi teman temannya dari resiko hukum terlalu ekstrem dan pasti ada alasan formal normatif yang bisa diberikan oleh pemprov DKI. Jadi kita juga harus normatif bahkan harus memberikan apresiasi kepada Gubernur DKI yang memiliki kepedulian kepada penulis dan pekerja seni seperti Ratna Sarumpaet.

Meskipun kalau mau jujur, 5 thn terakhir ini Ratna Sarumpaet tak lagi eksis sebagai penulis dan pekerja seni. Dia lebih memerankan dirinya sebagai aktivis kemanusiaan dan politik yang berseberangan dengan pemerintah.

Apa di DKI tak ada penulis wanita lain yang masih produktif dan aktif dibidangnya dalam 5 thn terakhir ini? Kenapa harus wanita berusia 70 th dan sudah tidak produktif menulis yang dikirim.

“Aktif menulis koq om. Di twitter ….”
Oh iyaaaaaa …..

Sumber: FB Winata Ali

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Rhenald Kasali: Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

Rhenald Kasali

Setiap memberi kuliah kepemimpinan, saya selalu membukanya dengan leadership diamond yang digagas Peter Koestenbaum (2002), The Inner Side of Greatness. Sengaja memilih buku ini karena tujuan pengajarannya bukan melahirkan pemimpin biasa, melainkan pemimpin besar (great leader with greatness).

Maka ketika Indonesia dilanda hoax yang bisa memicu kebencian dan kebengisan beberapa hari ini, dan ketika hoaxmaker-nya mengakui bohong (3/10/2018), murid-murid saya pun tersontak.

Mereka kembali membahas Leadership Diamond: Seseorang hanya bisa menjadi besar kalau selalu bekerja dengan fakta. Bukan ilusi. Ya, fakta.

Percuma bergelar tinggi kalau mengendus fakta saja tidak bisa. Pemimpin tidak bisa memajukan bangsanya dengan ilusi. Maka dalam science pun, ilmuwan dibekali validity dan realibility check.

Di abad 21, Profesor Yuval Noah Harari mengingatkan bencana disillusionment akibat teknologi dan disrupsi. Baginya, “Clarity is Power.”

Dalam kepungan banyak berita yang kurang relevan, mendapatkan gambaran besar yang sebenarnya adalah sebuah kemewahan. Apalagi, “humans think in stories rather than in facts,” ujarnya.


Tukang Mancing Lebih Pandai?

Saya membaca penyesalan para elit yang mengaku telah dikibuli seorang hoaxmaker minggu ini sambil senyum-senyum. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka masih genit di hadapan wartawan dengan meyakinkan publik bahwa hoax itu benar. Sebaliknya anak-anak muda sudah lebih awal mengatakan, itu hoax.

Jejak digitalnya di lokasi sekitar kejadian sama sekali tidak ada. Akal sehat kita pun sebenarnya dengan mudah bisa menangkap “bahwa seseorang tengah merangkai sebuah ilusi.”

Apalagi bagi pemimpin yang sudah makan asam garam. Seharusnya mereka sudah dibekali validity check dan intuisi yang kuat. Tanpa kemampuan mendeteksi fakta, seorang ekonom tak akan mungkin bisa menjadi menteri keuangan yang baik. Juga tanpa itu seorang panglima perang tak bisa membentengi bangsanya dalam peperangan.

Melihat kerumunan banyak saja mereka bisa bilang itu PKI. Atau saat kurs menembus Rp 15.000 mereka langsung bilang krisis.

Kalau Anda ingin tahu bagaimana masyarakat bergulat dalam serangan hoax dan mendeteksi kebohongan, maka bukalah video-video di Youtube dengan kata kunci ‘penipuan’.

Anda akan terkejut. Sebab jumlahnya ribuan. Menggambarkan pengalaman rakyat jelata berhadapan dengan penipu. Salah satu favorit saya adalah tentang Tukang Mancing yang menghadapi seorang penyebar hoax sampai penipunya menyerah.

Setelah menyaksikan video itu, saya yakin Anda pasti memiliki persepsi yang sama dengan saya: Masyarakat kita telah menjadi sangat cerdas.

Mereka bukan cuma mengerti berita yang mereka terima hoax atau bukan, melainkan juga mengerjai penipunya. Mereka kuras pulsanya, membuat mereka marah karena gagal mendulang keuntungan. Ya, tentu penebar hoax mencari keuntungan dari kesusahan orang lain.

Sekali lagi ada ribuan video serupa itu, bukan satu-dua. Dan perlu saya ingatkan agar Anda berhenti. Masalahnya Anda akan ketagihan. Sebab, video-video itu genuine dan membuat Anda bahagia. Bukan karena lucu, tetapi puas telah bersatu dengan pemberantas hoax.

Nah, kalau masyarakat sudah begitu cerdas, renungkanlah, mengapa orang-orang hebat yang kemarin membenarkan dan turut mengamplifikasi hoax mengaku “telah menjadi korban berita tidak benar” alias tertipu? Ada yang berargumen empati telah mengalahkan nalar mereka. Tetapi benarkah demikian? Apakah empati disampaikan dengan pedas?

Saya menduga mereka telah sengaja membuat diri larut dalam ilusi yang mereka inginkan sendiri sehingga semakin menjauh dari fakta. Pemimpin yang demikian tentu bisa merepotkan masa depan diri dan bangsanya. Ya bagi saya mereka terlalu asik dengan khayalan “kebenaran” yang mereka inginkan. Ilusi itu bisa menjadi senjata untuk membenarkan pendapatnya tentang dunia yang “tidak adil”.

Tentu ada beragam interpretasi meaning dari kata “tidak adil”. Tetapi pada akhirnya seseorang bisa merasa tidak adil karena “kalah.” Apakah itu berasal dari ambisi yang tak terdamaikan, lawan yang jauh lebih unggul, atau sebuah peristiwa traumatik yang menuntut semacam kompensasi. Entahlah.


Uji Kebenaran

Leadership diamond Koestenbaum memang bukan melulu soal uji kebenaran. Selain reality check, ada etika, visi dan keberanian mengeksekusi yang perlu dimiliki seorang great leader. Tetapi di antara keempat elemen itu dalam era disrupsi, bekerja dengan reality adalah yang terpenting.

Mengapa? Ini tentu karena dunia telah berubah dengan begitu cepat dan segala kehidupan telah dilengkapi dengan sensor-sensor pendeteksi. Jadi di zaman ini sudah tidak sulit lagi untuk mengecek suatu kebohongan atau sebuah ilusi yang dibuat oleh siapa saja, termasuk oleh para politisi, petinggi-petinggi partai, koruptor, pencuri handphone di bandara, atau pembuat isu apa saja.

Kalau Anda kurang yakin, ikuti saja fakta-fakta persidangan kpk. Seseorang boleh berpura-pura menjadi ahli filsafat, dosen, ahli hukum, pejabat tinggi, atau apa saja, tetapi begitu dia “acting”, pasti cepat terdeteksi.

Seperti kata Seth Stephens Davidowitz, semua orang (yang) berbohong selalu akan meninggalkan digital footprint yang bisa dilacak. Digital footprint itu bisa berupa rekaman suara, tangkapan kamera CCTV, absen digital, transfer uang, rekaman GPS, pemantau jalan, sampai statement-statement di sosial media.

Maka Anda boleh saja pura-pura bersandiwara, namun jejak-jejak digital yang Anda tinggalkan akan mudah terbuka. Jejak-jejak itu kini menjadi mainan yang mengasyikkan bagi generasi millenial, untuk menertawakan aktor-aktor yang berbohong.

Oh iya, dalam jejak-jejak itu juga bisa terbaca, siapa saja penyedia panggungnya, dan siapa pemandu soraknya.

Dan di zaman ini, tiba-tiba kita bisa menemukan orang-orang yang mengalami dislokasi sosial. Yang kesulitan membedakan mana peran sandiwara dan mana yang betulan (namun menerima bayaran atas peran riil-nya). Atau bisa kesulitan menempatkan diri sebagai pengamat ataupun pelaku.

Orangtua yang tak mau anak-anaknya mengalami dislokasi sosial di kemudian hari, maka jangan buru-buru menjadikan balita kesayanganya pemain sandiwara sebelum mereka tahu betul beda sandiwara dengan dunia riil.

Dan bagi calon-calon Presiden, pecat saja para pembuat dan penyebar hoax yang sudah dikontrak. Jejak-jejak digital mereka kini sudah ada di tangan publik dan sebentar lagi satu persatu ulah mereka akan terbuka.

Jadi, wahai pemimpin kembalilah pada realitas, bukan ilusi.

(Liputan-6/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Prabowo, Bapak Pembual Nasional

Prabowo Subianto

Oleh: Kajitow Elkayeni

Kebencian saya pada sikap Ratna selama ini sedikit melebur, manakala melihat perempuan tua itu didepak dari kelompoknya. Ia seperti hewan yang luka. Menjerit-meraung dalam kegelapan. Kawanannya menganggapnya beban, maka ia harus ditinggalkan. Dalam dunia rimba yang bengis, individu yang lemah akan jadi santapan predator. Praktis, kini Ratna benar-benar sendiri menghadapi seluruh dunia.

Kepengecutan Prabowo menjadikan dirinya korban hoax adalah exit strategy yang biadab. Bukan ciri seorang pemimpin yang mengayomi. Prabowo tidak mengaku dirinya telah melakukan kesalahan. Ia melemparkan seluruh beban ke perempuan tua itu. Sementara dia dan kelompoknya sibuk cuci tangan. Mereka adalah korban hoax Ratna.

Satu-satunya yang dianggap kekeliruan hanyalah sikapnya yang “grusa-grusu”. Dalam istilah Jawa, grusa-grusu ini akan termaafkan jika dalam keadaan darurat. Ia alibi sempurna agar tidak disalahkan. Prabowo sengaja memilih diksi itu agar kesalahan hanya berhenti di Ratna Sarumpaet. Ia, secara manusiawi akan dimaklumi.

Prabowo faktanya bukan ksatria. Bahkan untuk mengakui kesalahan sendiri saja, ia berlindung di balik punggung seorang perempuan tua. Kisah machoisme seorang Danjen Kopassus sekadar menjadi fiksi. Faktanya, Prabowo ini memang menyusahkan kawan-kawannya ketika menjalankan misi. Sebagai mantu orang nomor satu, mereka harus menjaga keselamatannya. Selain juga harus menyukseskan misinya.

Tetapi jika misi sukses, ia yang menikmati puja-puji dan menerima penghargaan.

Yang lebih keji lagi, para pendukung Prabowo menuduh Ratna agen Jokowi yang menyusup. Foto-foto lama saat ia dan keluarganya mendukung calon gubernur Jakarta Jokowi-Ahok, kembali dibongkar. Lalu mereka sibuk berhalusinasi berjamaah. Onani berjamaah. Padahal sampai detik ini, Ratna Sarumpaet adalah pendukung Prabowo yang setia. Meskipun ia dimaki-maki dan disebut pelacur oleh pendukung Prabowo.

Orang-orang menebak-nebak, apakah blunder hoax Ratna ini strategi perang Sun Tzu juga? Taktik perang atas angin yang hanya dipahami oleh ahli siasat nomor wahid? Tidak cukup bukti. Justru Hoax Ratna ini membuktikan kedunguan tim kampanye dan konsultan politik Prabowo. Termasuk Danjen Kopassus (purn) itu sendiri. Mereka tidak terbiasa berpikir kritis. Nafsunya besar, tapi tak tahan lama.

Exit strategy cuci tangan oleh Prabowo dan tim penyebar hoaxnya itu memang cukup efektif, untuk memisahkan tragedi hilangnya akal sehat ini dari diri mereka. Bahwasanya mereka semata-mata adalah korban hoax Ratna. Padahal kalau ditelusuri secara mendalam, justru Ratna ini tidak bersalah. Atau kecil sekali perannya. Ia hanya triger.

Ibaratnya kalau Prabowo ini jenderal perang dan menekan tombol rudal nuklir, ia akan menyalahkan informan jika ternyata informasi yang diterimanya palsu. Ia tak mau disalahkan terhadap korban jutaan orang yang mati karena keputusannya.

Ratna memang membuat kebohongan secara personal pada orang lain, tujuannya bukan untuk disebar-luaskan. Di tangan Rizal Ramli, Hanum Rais, Ferdinan Hutahean, Rachel Maryam, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Dus Nur, dan Prabowo Subianto, kebohongan personal itu direproduksi ulang secara massal.

Bahkan, Prabowo dengan power politiknya yang kuat sampai mengadakan konferensi pers. Bayangkan betapa besarnya kerusakan yang dibikin politisi tambun, yang katanya tak tahan lapar itu. Di medsos, orang dengan mudah membual, lalu meralatnya. Itu banyak terjadi dan hampir dianggap wajar.

Tapi melalui televisi yang dijadikan corong Prabowo itu, tidak mudah untuk menghapus ingatan kolektif bangsa. Informasi itu menyusup sampai ke pelosok kampung. Sedangkan hoax 2014 saja masih berkeliaran di Sumatera Barat sampai sekarang, dan dianggap benar. Permintaan maaf Prabowo yang setengah-setengah itu masih menyisakan keyakinan publik, bahwa Ratna benar-benar dianiaya. Ia hanya takut mengakuinya karena diancam.

Banyak yang masih meyakini gosip itu, padahal Ratna sudah mengakui kebohongannya. Bukti-bukti juga telah cukup membeberkannya. Kerusakan telah diperbuat dalam skala nasional. Orang yang paling bertanggung-jawab dalam hal ini adalah Prabowo Subianto.

Ia secara sah dan meyakinkan telah memprovokasi publik. Jika saja polisi terlambat satu minggu saja, akan terjadi kerusuhan luar biasa. Orang tidak lagi percaya hukum. Jokowi akan dituduh melakukan abuse of power, diktator, kejam. Demo besar-besaran akan terjadi. Padahal Jokowi tidak tahu apa-apa. Akhirnya orang akan bersimpati pada Prabowo. Ia akan mendapatkan limpahan suara cuma-cuma dengan taktik playing victim.

Cara kejam itu nyaris berhasil, jika saja semua orang grusa-grusu macam Prabowo. Untungnya banyak orang yang waras dan hati-hati. Mereka marah, tapi mereka berpikir logis. Mereka mencari bukti lebih dulu sebelum menuduh orang lain. Sayangnya, Prabowo dan 800 tim kampanyenya tak satupun yang punya tradisi berpikir semacam itu. Hajar duluan, mikir belakangan.

Sekarang, hanya Ratna yang dipersalahkan. Padahal dosa terbesar mestinya ditanggung Prabowo. Orang segegabah itu mau memimpin negara?

Ratna Sarumpaet memang harus bertanggung-jawab atas ulahnya. Ia creatornya, meski tujuannya untuk kalangan tertutup. Bodohnya, tim Prabowo malah menyebar-luaskan hal itu. Padahal dalam kacamata politik, itu akan jadi kekuatan luar biasa jika dibiarkan tetap jadi desas-desus.

Mungkin karena libido kekuasaan yang sudah kadung muncrat, atau memang karena dungu permanen, Prabowo melakukan kecerobohan berbahaya yang mestinya tak termaafkan. Ini kesalahan fatal. Prabowo justru memainkan peranan paling penting sebagai tokoh pembual nasional.

Dosa itu tak cukup dibayar dengan melimpahkan kesalahan pada seorang perempuan tua. Pada hewan yang terluka dan dibiarkan meratap sendirian. Prabowo bukan ksatria, ia juga sudah lupa Sapta Marga dan jiwa korsa. Hoax Ratna ini secara tepat memposisikan dirinya sebagai Bapak Pembual Nasional.

Semoga prajurit-prajurit Indonesia yang lain tidak menirunya. Cukuplah Prabowo dan kelompok pengecutnya yang dicatat sejarah, sebagai gerombolan penyebar kebohongan, lalu sibuk berlepas tangan. Memalukan.

(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ratu Hoax dan Moral Politik Oposisi

Ratu Hoax, Ratna Sarumpaet

Tindakan “playing victim” yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet sungguh mencoreng cara berpolitik oposisi yang paling buruk. Ratna mengaku bahwa ia dikeroyok oleh segerombolan orang di Bandara Husein Sastranegara pada 21 September 2018, dan fotonya viral didorong dengan wacana sentimen menyerang bahwa tindakan ini bermuatan politis. Fenomena gaya berpolitik oposisi ini menjadi penanda buruk untuk menjadikan Pilpres 2019 sebagai medan pertarungan mencari pemimpin yang baik. Sialnya, ini sudah menjadi bahan politik yang digoreng sana-sini tanpa ada penjelasan langsung dari Ratna Sarumpaet, termasuk konferensi pers yang dilakukan oleh Prabowo.

Drama yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet bukan tidak beralasan untuk dilakukan. Catatan kritis tentang polarisasi politik pada pemerintahan Jokowi ini juga memperlihatkan, bagaimana peran kelompok-kelompok yang sebelumnya menjadi “subtaltern” dalam lanskap politik nasional mampu menjadi kelompok politik strategis yang memproduksi gagasan-gagasan sentimen rasial dan membentuk kesadaran politik ketakutan yang kuat. Pola polarisasi kelompok politik inilah yang menjadi pembentukan oposisi yang sering memproduksi gagasan kesadaran politik, terutama dalam penyebaran gagasan-gagasan sentimen dan kegaduhan-kegaduhan yang sering diasosiasikan dengan meningkatnya politik identitas di ruang publik.

Konteks yang menarik dalam kasus Ratna adalah bentuk irasionalitas gender dalam politik praktis di Indonesia. Pandangan ini menegaskan bahwa untuk mendorong sentimen psikologi massa yang terorganisir diperlukan pembentukan psikologi korban politik. Ratna Sarumpaet merupakan aktivis perempuan; penanda simbol inilah yang sangat cepat direspons oleh Prabowo. Bahkan ia mengakui dirinya “grasa-grusu” dalam mengambil keputusan untuk merespons kasus Ratna. Prabowo sangat paham psikologi massa yang selama ini sudah terbentuk, dan ia tidak mungkin menghindari berpikir rasional untuk merespons ini.


Pelajaran Moral

Dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, prasyarat adanya sistem kepartaian yang baik menjadi kualifikasi utama dalam proses konsolidasi demokrasi yang baik. Kita sungguh melihat bagaimana perjalanan sistem kepartaian pascareformasi menjadi pemain dan kendaraan politik utama dalam memperbaiki proses kepemimpinan dan perwakilan politik di Indonesia. Namun, jika dilihat dari sisi menghadirkan penyeimbangan debat kebijakan yang baik, sangat diperlukan prasyarat oposisi yang baik juga.

Catatan kritis beberapa pandangan tentang pola koalisi dan oposisi pada pemerintahan Jokowi dapat dilihat dari dua isu penting yang menarik. Pertama, menguatnya simbol personal politik, sehingga menggeser pola kartelisasi partai politik yang mau tidak mau harus membangun hubungan politik dengan figur Jokowi, yang tentunya untuk memperoleh citra dan persepsi publik yang baik. Kedua, menguatnya polarisasi identitas, ditandai dengan kelompok-kelompok di luar partai politik, terutama menguatnya kelompok Islam politik seperti kelompok 212.

Tetapi, pola umum yang terjadi dalam pembentukan jejaring dan koalisi politik dalam dinamika politik hari ini tetaplah sama. Yakni, tentang pentingnya “efek ekor jas” yang masing-masing melekat pada hubungan koalisi partai politik dan Jokowi, juga koalisi Prabowo yang mempertahankan citra kedekatan dengan kelompok Islam politik 212.

Kasus Ratna Sarumpaet menjadi pelajaran moral politik oposisi yang sangat penting, bahwa pencarian kekuasaan dalam iklim demokrasi haruslah diikuti juga dengan etos politik oposisi yang juga baik. Beberapa studi tentang pola koalisi partai politik di Indonesia, misalnya yang dilakukan oleh Perludem (2017) menjelaskan bahwa efek multipartai di Indonesia membuat meruncingnya polarisasi politik yang begitu besar. Efek lain yang begitu sangat kontras adalah bagaimana pola distribusi kekuasaan yang terjadi dalam beberapa periode pemerintahan presiden juga kembali menegaskan bahwa porsi pendekatan politik dan ekonomi menjadi bagian penting pembentukan koalisi politik di Indonesia (Hanan, 2017).


Moral Politik

Pelajaran penting dari fenomena politik buruk ini adalah munculnya penurunan kualitas cara berpikir elite politik kita. Sungguh tidak ada penjelasan yang lebih lucu dibandingkan dengan bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik kita hari ini, terutama yang dilakukan oleh kelompok oposisi, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.

Menajamnya dua kutub politik seperti sekarang ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang tak kita duga. Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Fungsi politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik dalam memperebutkan kekuasaan.

Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan. Kebohongan dan drama Ratna Sarumpaet menjadi penanda dibukanya kotak pandora baru. Masih ada ruang-ruang kebohongan lain yang mungkin akan kita jadikan perhatian bahwa hadirnya moral politik sangat penting.(ft/opini/detik)

Teddy Firman Supardi peneliti dan Direktur Eksekutif Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies), associate consultant di Visi Strategic Consulting

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Nabi Muhammad dan Sokrates: Tentang Orang-orang “Bodoh”

(Foto: www.ngopibareng.id)

Dalam keyakinan filsuf Muslim seperti Ibn Rusyd, seorang bijak dan ‘alim yang hidup di abad ke-12, terdapat kecocokan antara kebenaran yang bersumber dari wahyu (al-syari’ah) dan dari akal (al-hikmah). Kedua jenis kebenaran itu tidak boleh bertentangan.

Ajaran tentang hal ini, dikemukakan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya yang masyhur: Fasl al-Maqal fima Baina al-Syari’ati wa al-Hikmati min al-Ittisal (Kata putus tentang hubungan antara syari’at dan hikmah).

Apa yang disebut dengan hikmah dalam judul bukunya Ibn Rusyd itu maksudnya tiada lain adalah filsafat. Sebab, “sophia” dalam bahasa Yunani maknanya adalah kebijaksanaan. Dalam bahasa Arab, kebijaksanaan adalah hikmah.

Selama membaca kitab Ihya’ karya Imam Ghazali (kita tahu, Ibn Rusyd dan Imam Ghazali adalah dua orang yang saling berdebat keras dan berbeda pandangan), saya menjumpai sejumlah hal yang menarik. Antara lain berikut ini.

Ada sebuah hadis yang dikutip berkali-kali oleh al-Ghazali, yang bunyinya adalah: “Aktsar ahli al-jannati al-bulhu”, sebagian besar orang-orang yang akan masuk surga nanti adalah “al-bulhu”.

Kata “al-bulhu” adalah bentuk jamak dari “ablah” yang maknanya, menurut kamus Munjid: orang yang lemah akalnya (dla’ufa ‘aqluhu wa ‘ajaza ra’yuhu).

Makna hadis yang dikutip al-Ghazali di atas itu kira-kira adalah begini: Mayoritas orang-orang yang ada di sorga nanti adalah orang-orang yang bodoh, yang lemah akalnya.

Bagaimana memaknai hadis ini? Apakah hadis ini bermakna bahwa menjadi orang yang pintar bukanlah sesuatu yang dianjurkan, karena toh orang-orang bodohlah nanti yang akan masuk surga? Apakah hadis ini semacam pengendoran terhadap kehendak untuk belajar?

Dalam beberapa kali ngaji Ihya’, saya menyampaikan bahwa makna hadis ini bukanlah demikian, bukan dorongan untuk menjadi orang bodoh agar kelak masuk surga.

Makna hadis ini adalah semacam kritik terhadap “elitisme” intelektual: bahwa kebenaran dan kebijaksanaan yang akhirnya akan membawa orang kepada kebahagiaan abadi di akhirat kelak, bukanlah monopoli kaum “intelek” yang berpendidikan tinggi.

Hadis ini adalah semacam pembelaan bagi “the commoners”, orang-orang biasa.

Yang menarik, ada statemen yang maknanya serupa yang datang dari filsuf besar Yunani, Sokrates, orang bijak yang menjadi pusat kekaguman para filsuf Muslim di era klasik dulu.

Dalam pembelaannya di hadapan para juri yang kemudian menjatuhinya hukuman mati (Catatan: pembelaan Sokrates itu direkam oleh muridnya, Plato, dalam risalahnya berjudul “Apologi”), Sokrates antara lain melontarkan ucapan berikut ini:

“Karena aku wajib mengatakan kebenaran di hadapan pengadilan, maka, aku bersumpah, demi anjing, wahai orang Atena, aku sungguh-sungguh mengalami sesuatu seperti ini:

Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang lebih rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan.” (Apologia, 22a).

Kalimat Sokrates ini saya kutip dari terjemahan yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat dalam bukunya yang diterbitkan Gramedia, “Sokrates dalam Tetralogi Plato” (2009).

Meskipun tidak mirip benar, tetapi ada kesejajaran antara hadis Nabi yang dikutip al-Ghazali di atas dengan kalimat Sokrates ini: keduanya memuat semacam “apologia” atau pembelaan bagi orang-orang yang diremehkan oleh kaum elit sebagai orang-orang yang paling bodoh.

Konon, menjelang akhir hayatnya, Imam Ghazali (wa-qila, menurut kisah yang lain, Imam Razi (w. 1209), penulis tafsir besar “Mafatih al-Ghaib” itu), melontarkan sebuah kalimat yang mengandung semacam doa dan sekaligus keluhan: Allahumma imanan ka-iman al-dlu’afa’; O, Tuhan, berilah aku keyakinan seperti keyakinan orang-orang yang lemah akalnya.

Sekali lagi, ini semua bukan semacam dorongan untuk menjadi orang bodoh dan lemah akal, melainkan kritik kepada orang-orang cerdik-pandai yang kerapkali terlalu canggih berteori, sehingga kehilangan sentuhan atas hal yang mendasar dalam hidup: yaitu iman dan harapan.

Kaum elit terpelajar kerapkali terjatuh pada sikap skeptis dan sinisme pada “iman” dan harapan; sementara orang-orang yang tak terdirik secara canggih dalam spekulasi teoritik dan filsafat justru paling cepat untuk beriman dan percaya.

Skolastisisme atau latihan akademis di sekolah kerapkali membunuh naluri alamiah dalam diri manusia untuk percaya dan berharap.

Dalam hal ini, kita menyaksikan semacam “vindication” atau bukti kebenaran dari ajaran Ibn Rusyd tentang “ittishal” atau pertemuan antara wahyu dan filsafat.

Nabi Muhammad dan Sokrates bertemu dalam semangat yang sama: pujian pada orang-orang kecil yang tak terdidik, tetapi justru memiliki naluri alamiah yang masih “asli” untuk cepat menangkap kebenaran dan “hikmah”; sekaligus kritik kepada kaum elit terdidik yang saking canggihnya cara berpikir, kadang kehilangan naluri alamiah untuk “beriman”.

Sumber: FB Ulil Abshar Abdalla

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengapa Prabowo, Sandi, Dahnil, Hanum, Fadli Zon Cs Bukan “Korban Kebohongan” Ratna Sarumpaet?


Oleh: Mohamad Guntur Romli

Setelah drama HOAX Ratna Sarumpaet terbongkar, pihak-pihak yang sebelumnya membela dan ikut terlibat dalam pembentukan narasi kebohongan tiba-tiba banting stir: sambil minta maaf mereka mengaku sebagai “korban kebohongan Ratna Sarumpaet”

Narasi “korban kebohongan” sengaja mereka bangun agar bisa lepas dari jeratan hukum. Padahal delik UU ITE jelas, yang bisa dipidanakan tidak hanya pembuat HOAX tapi juga yang menyebarluaskannya.

Padahal sebelum pengakuan Ratna Sarumpaet, mereka mengerahkan seluruh bala pasukan baik di udara dan darat untuk membela Ratna Sarumpaet, berusaha meyakinkan publik akan kebohongan itu dan menyerang Jokowi yang sedang sibuk membantu korban gempa di Sulteng, dengan segala amarah, emosi, air mata, makian, sumpah serapah, tuduhan dll eh tiba-tiba sekarang mereka mengaku-ngaku sebagai korban.

Ini ibarat penodong yang sebelumnya galak, mengancam, tidak punya belas kasihan, tapi karena salah sasaran, menodong tentara atau polisi tiba-tiba penodong yang sebelumnya memasang wajah seram dan kejam berubah memasang wajah ngemis-ngemis mohon ampun dan mengaku sebagai “korban keadaaan”.

Yang patut dicatat Ratna Sarumpaet tidak pernah menyampaikan kebohongannya itu di publik. Bahkan dalam catatan detik.com pada hari Selasa 2 Oktober saat opini penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet sudah terbentuk baik di media sosial, media online dan akhirnya di televisi, dalam wawancara dengan Arif, wartawan detik.com Ratna membantah adanya kekerasan terhadapnya. (Baca: Ratna Mengaku Tidak Mengalami Kekerasan Fisik).

Informasi “Penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet” tersebar ke publik melalui akun-akun twitter Rachel Maryam @cumarachel @fadlizon @dahnilanzar status Facebook Naniek S Dayang naik ke media online dengan narasumber Fadli Zon, Dahnil Anzar dan Sandiaga Uno. Yang kemudian Prabowo Subianto menyempurnakannya di televisi melalui konferensi pers siaran langsung.

Bisa jadi Ratna Sarumpaet membohongi orang-orang ini, tapi dalam ruang terbatas, bukan di ruang publik dan bukan di media elektronik.

Andai kebohongan Ratna Sarumpaet hanya disimpan untuk mereka, maka akan menjadi kebohongan komunal saja, tapi kemudian kebohongan ini menjadi kebohongan massal.

Yang paling bertanggung jawab membawa kebohongan Ratna Sarumpaet dari ruang terbatas ke ruang publik dan media elektronik adalah mereka yang sekarang mengaku sebagai “korban kebohongan Ratna Sarumpaet”.

Pada awalnya bisa jadi mereka memang dibohongi oleh Ratna Sarumpaet, tapi di ruang terbatas, tapi kemudian mereka diduga kuat menjadi pelaku-pelaku penyebar kebohongan Ratna Sarumpaet di ruang publik dan media elektronik serta media massa.

Kalau Prabowo cerdas harusnya yang menyampaikan informasi dan testimoni dalam Konferensi Pers di televisi adalah Ratna Sarumpaet sendiri, bukan Prabowo untuk jaga-jaga ada hal-hal di kemudian hari. Dan benar, ternyata apa yang disampaikan oleh Prabowo adalah HOAX. Kini dia tidak bisa ngeles “korban kebohongan Ratna Sarumpaet” karena dia bisa diduga sebagai pelaku penyebar kebohongan Ratna Sarumpaet di media televisi.

Diduga kuat Ratna adalah pembuat HOAX, nah mereka yang menyebarkannya di media sosial, media online, media elektronik, televisi, media massa tetap kena delik penyebaran informasi bohong alias HOAX.

Tapi tidak menutup kemungkinan pembuat HOAX hanya Ratna Sarumpaet sendirian. Kalau ia menolak apa yang ditulis dan narasi-narasi yang disampaikan oleh Rachel Maryam, Fadli Zon, Naniek S Dayang, Dahnil Anzar dll bersumber langsung dari dia maka orang-orang ini bisa dijerat terlibat dalam pembuatan HOAX.

Artinya pembuat HOAX bukan hanya Ratna Sarumpaet sendiri, tapi ada keterlibatan pihak-pihak lain, yang menambah-nambah dan atau mengubah-ubah keterangan, mendramatisir, dll yang nantinya diselidiki oleh kepolisian.

Maka setelah Ratna Sarumpaet yang kini sudah resmi tersangka dan ditahan di Polda Metro Jaya, kita berharap kasus HOAX Ratna Sarumpaet ini tidak berhenti di Ratna saja, jangan sampai hukum hanya tajam pada Ratna tapi tumpul pada kawan-kawannya yang terlibat, jangan sampai penegakan hukum tebang pilih, maka siapapun yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran HOAX ini harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.

(Gun-Romli/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: