Pesan Rahbar

Home » , » Sedekah Laut dan Tsunami Budaya

Sedekah Laut dan Tsunami Budaya

Written By Unknown on Monday 15 October 2018 | 00:06:00

Sedekah laut di Cilacap. (Foto: Merdeka.com)

Masygul hati saya membaca pesan pendek dari Whani Darmawan, seorang pesilat yang juga dramawan dari Yogyakarta. Membalas kiriman video saya membaca puisi di Panggung Krapyak tentang gempa bumi dan tsunami di Palu, ia mengirim sebuah foto poster. Tertulis di situ, “Cintailah Yogyakarta dengan iman dan amal shalih, tinggalkan tradisi jahiliyah sedekah laut atau bumi.”

Whani mengajak untuk menggagas gerakan kebudayaan. Meski obrolan kami masih permulaan dan permukaan, saya duga ia tak sendiri gelisah soal peredaran isu ini. Kawan saya yang lain, Soelung Lodhaya, pegiat kebudayaan di Bali, menyoal foto pamflet di Cilacap yang bertuliskan pesan lebih keras lagi. Begini bunyinya, “Jangan larung sesaji karena bisa tsunami.” Ia menilai, pamflet itu pembunuhan karakter atau penggerusan budaya bangsa.

Lain lagi di Banyuwangi. Awal Oktober lalu, Bupati Abdullah Azwar Anas berapi-api ketika memaparkan beragam festival di bumi Blambangan. Salah satunya, pergelaran Gandrung Sewu pada 20 Oktober nanti. Lalu, pada Kamis dini hari, Banyuwangi terdampak gempa 6.4 SR di Laut Bali.

Front Pembela Islam (FPI) di Banyuwangi mengeluarkan surat pernyataan sikap yang langsung viral di media sosial. Surat bernomor 0003/SK/DPW-FPI Banyuwangi/II/ 1440/Tanggal 11 Oktober 2018 itu berisi kecaman terhadap acara Gandrung Sewu yang akan digelar di Pantai Boom, Banyuwangi. “Kegiatan itu akan mengundang semakin banyak bencana di bumi, khususnya di tanah Banyuwangi,” kecam FPI dalam surat yang ditandatangani Ketua Tanfidzi Agus Iskandar dan Sekretaris Yudo Prayitno.

Isu yang menghubungkan antara gempa dan tsunami dengan kegiatan kebudayaan bermula dari gempa dan tsunami di Palu yang disinyalir terjadi karena Festival Nomoni. Di dalam kegiatan tahunan pada perayaan ulang tahun Kota Palu itu, para tetua adat membaca mantra-mantra tua dan kembali menghidupkan tradisi lama: memberi sesaji pada semesta. Alih-alih bersandar pada teori-teori ilmiah atau mitologi setempat, kesedihan gara-gara bencana justru dibenturkan dengan dalil-dalil suci dan dalih-dalih ideologis. Tak pelak, ini menggesek budaya dan agama.

Hari-hari ini, bahkan sesungguhnya tak hanya hari-hari ini, Tanah Air tercinta tak henti-hentinya mengalami gempa. Sejak gempa 7 SR di Lombok pada 5 Agustus, disusul gempa 7.4 SR disertai tsunami dan likuifaksi di Palu pada 28 September, kemudian gempa 6.4 SR di Laut Bali yang mengguncang Pulau Sapudi di Sumenep, Madura dan Situbondo, yang terasa pula di Bali, Banyuwangi, bahkan Malang. Info BMKG dalam kicauan di linimasa menulis, terjadi 5.578 gempa pada 2016 dan 6.929 gempa pada 2017, dengan 19 di antaranya gempa besar. Dan, itu masih dinilai wajar.

Mengapa? Masih dalam twit yang sama, admin akun @infoBMKG menuliskan satu fakta yang seharusnya sudah kita pahami bersama, yaitu Indonesia dikelilingi oleh Ring of Fire. Cincin api. Negeri ini punya sedikitnya 127 gunung berapi aktif. Jika satu menggeliat, geliatan itu bukan tidak mungkin akan menjalar pada cincin api. Belum lagi jika lempeng-lempeng besar di bawah laut pun bekerja. Evolusi gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami menjadi fenomena alam tak terelakkan. Meski korban berjatuhan, ini semua tak benar-benar salah manusia belaka.

Pernah saya berbincang dengan seorang kawan lainnya bahwa seorang presiden sesungguhnya tidak hanya memimpin rakyat, warga negara bangsanya. Ia tidak hanya memimpin manusia. Namun, lebih dari itu presiden juga memimpin angin, air, api, tanah, dan seluruh anasir alam semesta di jagat bernama negara yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, saya -atau kita- sering mendengar betapa seorang Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur sedemikian kuat dan giatnya dalam laku spiritual, baik sebelum, ketika, maupun sesudah menjabat presiden.

“Di bawah situ ada gua. Paspampres saja mengenakan jaket berlapis-lapis. Namun, Pak Harto hanya pakai kain kemben dan bertelanjang dada. Bersemadi berjam-jam di bawah sana,” kata Kholiq Arif semasa masih menjabat Bupati Wonosobo, ketika mengajak saya ke Telaga Warna.

“Sejak dari zaman Pak Karno, para presiden dan calon presiden selalu bertapa di sini,” ujar Kiai Abdul Manaf, juru kunci Siti Hinggil, Petilasan Raden Wijaya di Bejijong, Trowulan, Mojokerto.

“Warga bergantian menandu Gus Dur sampai Pringgodani,” kisah Pak Erry, warga Karanganyar.

Banyak cerita yang saya kumpulkan dari perjalanan panjang ke berbagai sumber keyakinan masyarakat. Namun, apakah kita bisa serta-merta menghakimi para pemimpin negeri ini dan rakyatnya yang suka berziarah, bertirakat batin, berlama-lama dalam doa di petilasan-petilasan bersejarah itu sebagai kaum musyrikin? Lebih-lebih, semakin banyak terpasang papan pengingat di lokasi-lokasi yang disakralkan itu untuk memohon hanya kepada Allah, bahkan di maqbarah para Waliyullah.

Lautan manusia tak henti-hentinya berziarah di tanah pusaka ini. Tidak hanya bersedekah pada manusia, masyarakat Nusantara juga mengenal tata krama pergaulan dengan sesama makhluk Tuhan yang bukan manusia. Ia angin, air, api, tanah, binatang, pohon, bukit, gunung, laut, sungai, dan masih banyak lagi. Berbicara tentang Indonesia, seluruhnya adalah penduduk Indonesia pula. Duduk, bertempat, dan tinggal di titik-titik yang sama meski berbeda dimensi ruang dan waktu. Ada yang lebih dulu datang, ada yang kemudian. Dan, yang terpenting adalah hidup rukun dan damai. Saling dukung, tak saling ganggu.

Semesta di Indonesia telah memberikan banyak kekayaannya kepada kita. Namun, diakui atau tidak, kita tidak membalasnya dengan kasih sayang sepadan. Kita justru semakin merusak tanah dan air di Tanah Air kita sendiri. Lelaku batin penyelarasan frekuensi kesemestaan dalam upacara adat, di antaranya sedekah laut dan bumi, justru dibenturkan dengan tuduhan-tuduhan pemicu bencana. Padahal, adat telah ratusan tahun menjadi bagian tidak terpisahkan dari ragam kehidupan rakyat. Agama hadir menyempurnakan, bukan menghancurkannya. Seharusnya.

Tulisan saya ini bisa melebar ke mana-mana, namun saya merasa harus pula menyertakan kisah seorang teman lain lagi bernama Budi Dalton. Ia berseloroh, ilmu kini perlu membedah perut untuk memasukkan gunting ketika tindakan medis operasi, namun ilmu kuno tidak perlu. “Tanpa dibedah pun, gunting bisa dimasukkan ke perut. Lalu, mana yang kini dan mana yang kuno?” tanya Budi. Dia dan kawan-kawan merasa gemas ketika pendekatan “menyanologi” lebih dulu mengendus jejak sejarah di Gunung Padang, namun kemudian tidak diakui.

Jangankan untuk perkara sebesar itu. Untuk urusan memberi bunga kepada keris pun, saya pernah ditanya, “Bukankah itu perbuatan syirik?” Saya lantas balik bertanya, “Kamu punya hape?” Dijawab, “Punya.” Saya tanya lagi, “Supaya bisa bekerja, kamu kasih makan apa itu hape?” Dijawab, “Pulsa.” Pelan-pelan kemudian saya bicara, “Nah, masing-masing punya makanannya sendiri. Hape diberi pulsa, mobil diberi bensin, manusia diberi nasi, keris diberi bunga. Lalu, di mana letak syiriknya?” Menjadi persoalan jika kita mengonsumsi yang bukan makanan kita.

Gus Yusuf Chudlori punya cerita unik yang saya dengar bertahun-tahun silam. Ia menerima keluhan dari masyarakat di desanya yang dilarang membakar dupa dan kemenyan oleh para pendatang yang suka mengutip dalil. Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang itu mendekati para pendalil tersebut. Dia berkata, “Sudahlah, warga desa tidak seperti orang kota yang punya banyak hiburan. Di sini hiburan mereka ya cuma membakar dupa dan kemenyan. Mereka punya iman tauhid yang insya Allah kuat. Tak perlu ada yang dikhawatirkan.”

Hari-hari ini, berbicara soal agama menjadi lebih sulit karena ancaman pidana penistaan agama menghantui. Tidak benar-benar leluasa lagi untuk bercanda. Tidak seperti dulu. Kini, dalil pun diadu. Dibumbui dalih. Perang tak hanya soal-soal pelik yang perlu buka kitab, tapi juga urusan-urusan sepele dengan mengandalkan kegenitan dan kengototan berargumen seraya mengolok-olok. Surga dikapling-kapling untuk kelompoknya sendiri sembari menghakimi kelompok lain sebagai penghuni neraka atau penyebab azab bencana alam.

Bahkan, dialektika tentang keberagaman dalam keberagamaan semakin sering mengarah pada pribadi. Kepemimpinan seseorang dinilai dari kecakapan dalam mengimami salat dan kefasihan dalam membaca Al Quran. Sampai-sampai, lidah dan lisan yang berbeda dialek pun dijadikan bahan ledekan yang seperti tak habis-habis. Ketika Presiden mengucap “Al Fatekah”, yang menurut para penentang seharusnya Al Fatihah, perang lidah telah disulut. Kita menegaskan kembali betapa kita tak perlu siapa-siapa untuk mengadu domba, kita bisa dan suka beradu sendiri. Cerita-cerita kewalian orang-orang tidak fasih bacaannya namun tajam dan bersih hati beradu dengan kisah-kisah fadhilah dan keharusan membaca kitab suci tanpa keseleo lidah. Harus baik dan benar. Sebab, salah baca salah makna. Dan, itu berbahaya. Riwayat tentang bahasa Arab adalah bahasa di surga, malaikat hanya memahami bahasa Arab, dan oleh karena itu bahasa ini lebih mulia dibanding yang lain sehingga wajib dikuasai. Semua itu mengemuka kembali. Padahal, Allah adalah Tuhan bagi segala bangsa dan bahasa. Dia niscaya tidak punya persoalan bagaimana lisan bicara. Penglihatan-Nya tembus ke hati.

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: