Presiden Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Harian Terbit)
Sebenarnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki modal besar untuk mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Keduanya memiliki bekal visi membangun kebinekaan dalam masyarakat sebagai salah satu butir nawacita sekaligus punya rekam jejak yang baik dalam membangun toleransi. Namun, selama setahun memimpin negeri ini, ternyata tidak ada kemajuan berarti dalam mewujudkan cita-cita mulia itu.
Konflik-konflik berlatar belakang perbedaan agama warisan pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih belum terselesaikan. Saat bersamaan, belakangan ini muncul beberapa konflik baru. Bisa dibilang, praktik kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang diwarnai gesekan tak terselesaikan dengan baik, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) nyaris jalan di tempat.
Coba kita runut janji Jokowi-JK dalam bidang kebebasan beragama selama kampanye Pemilu Presiden 2014. Saat masih sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden, keduanya mengusung Trisakti Bung Karno, yaitu berkedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga prinsip itu lantas diturunkan dalam sembilan agenda prioritas atau nawacita. Salah satunya, agenda prioritas ke-9 yang menyebutkan tekad pemerintah untuk memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Terkait agenda prioritas ke-9 itu, dalam visi dan misi yang disetorkan ke Komisi Pemilihan Umum, Jokowi-JK berjanji untuk memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. Langkah itu diambil demi mengembalikan roh kerukunan antarwarga sesuai dengan jiwa konstitusional dan semangat Pancasila 1 Juni 1945.
Hal ini diturunkan lagi menjadi tiga komitmen pemerintah. Pertama, untuk melindungi dan menghormati kebinekaan dan dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pemerintah akan menegakkan hukum secara tegas sesuai amanat konstitusi. Pemerintah akan bersikap tegas terhadap segala upaya yang bertentangan dengan hak-hak warga dan nilai-nilai kemanusiaan seperti tercantum dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Kedua, pemerintah akan membangun kembali modal sosial melalui metode rekonstruksi sosial, yakni membangun kembali kepedulian sosial, pranata gotong royong, membangun karakter bangsa, membersihkan diri sendiri dari berbagai prasangka sosial-kultural-politik; membangun kepercayaan di antara anak bangsa, dan mencegah diskriminasi.
Ketiga, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan melalui dua cara, yaitu mengoptimalkan pranata- pranata sosial dan budaya yang ada selama ini dan menyelesaikan lewat penegakan hukum berdasarkan derajat persoalan dan jenis konflik yang ada.
Modal rekam jejak
Selain program itu, Jokowi-JK didukung rekam jejak sebagai modal yang baik dalam pengembangan kebebasan beragama. Ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal sebagai pemimpin daerah yang menjunjung toleransi dan melahirkan kebijakan yang terbuka bagi semua kelompok agama. Begitu pula saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Bahkan, dia mempertahankan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, meski ditentang kelompok mayoritas umat beragama di kelurahan itu. Alasannya, Susan memenuhi kualifikasi seorang lurah sehingga terpilih dalam lelang jabatan. Keberhasilan kepemimpinan seorang lurah lebih ditentukan kemampuan mengelola manajemen dan melayani kebutuhan warga, bukan semata dipengaruhi agama yang dianutnya.
Adapun JK lebih dulu dikenal sebagai sosok pendorong perdamaian. Dia tampil sebagai tokoh penting di balik perjanjian Malino I dan II yang berhasil menghentikan konflik berlatar belakang perbedaan agama di Ambon, Maluku, dan di Poso, Sulawesi Tengah, yang memakan banyak korban pada tahun 1999 sampai awal 2000-an. Saat menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK adalah salah satu tulang punggung Indonesia dalam menyusun dan mewujudkan perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka lewat perjanjian Helsinki tahun 2005.
Dengan menjual program dan rekam jejak itu, Jokowi-JK memenangi Pilpres 2014 dan dilantik pada 20 Oktober 2014.
Setahun kemudian
Pada 20 Oktober 2015, sudah setahun keduanya memimpin Indonesia. Lalu, bagaimana pelaksanaan nawacita, khususnya agenda prioritas ke-9 di bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan, dalam pemerintahan Jokowi-JK selama setahun ini?
Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 menyebut beberapa sasaran pembangunan kebudayaan. Itu antara lain untuk memperkukuh karakter masyarakat Indonesia yang menghargai keragaman, bertoleran, berakhlak mulia, bermoral, beretika, dan bergotong royong.
Dalam pelaksanaannya, salah satu yang bisa diukur adalah program penegakan hukum dan penyelesaian konflik. Jokowi-JK berjanji untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan melalui dua cara, yaitu mengoptimalkan pranata-pranata sosial dan budaya yang ada selama ini dan menyelesaikan lewat penegakan hukum berdasarkan derajat persoalan dan jenis konflik yang ada.
Hanya saja, janji itu belum terlaksana dengan baik di lapangan. Selama setahun kepemimpinan Jokowi-JK, sebetulnya nyaris tidak ada konflik sosial, khususnya konflik berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan, yang bisa diselesaikan dengan tuntas. Sejumlah kasus lama masih saja berlangsung, terbengkalai tanpa penyelesaian. Kasus-kasus itu merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden SBY yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, rupanya PR itu juga belum dikerjakan.
Apa saja PR itu? Sebut saja nasib pengungsi jemaah Syiah asal Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, Madura, Jawa Timur, yang hingga kini masih terus mengungsi di Rusun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur. Jika dihitung sejak terusir dari kampung halamannya sejak Agustus 2012, mereka sudah mengungsi selama tiga tahun lebih.
Pengungsi dari jemaah Ahmadiyah di asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat, lebih lama lagi, yaitu delapan tahun, terkatung-katung tanpa kepastian. Sementara itu, penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat, belum mendapatkan jalan keluar selama enam tahun. Begitu pula penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat, yang sudah berlangsung tiga tahun.
Selama setahun memimpin, Jokowi-JK hampir tidak terdengar membicarakan kasus-kasus lama itu secara langsung dan lantang. Akibatnya, kasus-kasus itu tetap tidak tertangani. Para korban tetap menjadi korban, pengungsi tetap mengungsi, dan beberapa rumah ibadah masih tersegel. Aspirasi dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu masih terus disuarakan, tetapi belum direspons dengan baik, apalagi ditangani dan dicarikan solusi.
Sebenarnya ada satu kasus yang mulai dibicarakan dan mendekati solusi damai, yaitu masalah izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur, yang sudah terbengkalai empat tahun. Warga muslim dan Kristen di daerah itu dan kepala daerah bersepakat untuk berdamai dan mendirikan masjid, pada akhir Agustus 2015. Namun, perdamaian ini diinisiasi oleh Komnas HAM, bukan Kementerian Agama yang merupakan perpanjangan tangan pemerintahan Jokowi secara langsung.
Minim prestasi
Jika melihat kasus-kasus lama itu tidak disentuh, sebenarnya nyaris tidak ada perubahan mendasar dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan selama pemerintahan Jokowi-JK. Dalam bidang ini, bisa dibilang prestasi pemerintah masih minim. Pemerintah cenderung senang berwacana ketimbang berbuat tegas di lapangan untuk menegakkan hukum, mendorong resolusi konflik, dan mencegah gejala gesekan di beberapa daerah yang rentan.
Ketika kasus-kasus lama belum mendapatkan jalan keluar, bangsa Indonesia justru dikejutkan dengan munculnya dua kasus baru. Saat perayaan Idul Fitri, 17 Juli, kerusuhan meletup di Tolikara, Papua. Kaum muslim yang sedang menjalankan shalat tiba-tiba diserang oleh massa, bahkan massa kemudian membakar kios yang lantas merembet ke masjid setempat. Ada 12 korban terkena tembakan dan 1 orang meninggal.
Pada ujung setahun pemerintahan Jokowi-JK, terjadi bentrokan antarmassa berlatar belakang agama di Kecamatan Gunung Meriah dan Simpang Kanan, Aceh Singkil, 13 Oktober lalu. Gesekan ini menyebabkan 1 gereja dibakar, 1 orang tewas, dan 4 orang terluka. Sebagian warga pun sempat mengungsi untuk menyelamatkan diri. Hingga kini, kasus terakhir masih terus diselidiki.
Atas pencapaian yang minim itu, tak ada pilihan lain bagi pemerintahan Jokowi-JK, kecuali benar-benar serius mewujudkan janji kampanye dan program kerjanya untuk menghormati kebinekaan dan dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Konflik yang ada harus segera ditangani dengan mengoptimalkan pranata-pranata sosial dan budaya serta menegakkan hukum secara adil. Masyarakat menagih janji Jokowi untuk mewujudkan berkebinekaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dengan lebih serius bekerja, kerja, dan kerja….
(Kompas/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email