Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca selama ini. Doa itu sudah sejak lama diajarkan oleh guru mengaji bahkan biasa diputar oleh beberapa stasiun televisi saat bulan Ramadan. Tapi beberapa tahun belakangan, sebagian masyarakat dibingungkan oleh doa berbuka puasa versi lain yang sebelumnya jarang terdengar. Doa dengan awalan dzahabazh zhammâ’ diperkenalkan oleh sebagian masyarakat lain yang “tercerahkan”.
Kedua doa tersebut sama-sama bersumber dari riwayat hadis. Sebagaimana naturalnya, hadis yang dicatat ratusan tahun setelah wafatnya nabi saw. memiliki perbedaan dari berbagai sisi. Misalnya, ulama A melemahkan isi hadis (matan) yang dikuatkan oleh ulama B; ulama C memperkuat rantai riwayat (sanad) yang dilemahkan oleh ulama D; ulama E melemahkan periwayat (rawi) A padahal ia dikuatkan oleh ulama F. Sehingga perbedaan dalam ilmu hadis adalah sesuatu yang koheren. Masalah baru timbul ketika di antara mereka saling menyalahkan.
Kini, para pengamal doa Allâhumma laka shumtu disalahkan karena mereka mengamalkan hadis yang dinilai daif. Mereka dituduh membuat bidah oleh para pengamal doa dzahabazh zhammâ’ yang merasa amalannyalah yang paling sahih. Tapi apakah itu cukup tepat?
Ya Allah hanya kepada-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan karena rezeki-Mu aku berbuka (puasa).[1]
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ بِكَ اَمَنْتُ, وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Ya Allah hanya kepada-Mu kami berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu kami berbuka (puasa), maka terimalah (puasa) kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[2]
اللّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَي رِزْقِكَ أفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْع العلِيْم
Doa masyhur di atas dicatat di antaranya oleh Abu Daud, Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dengan beragam lafaznya. Doa tersebut diriwayatkan melalui berbagai jalan: marfu’ karena disandarkan begitu saja kepada Rasulullah saw., mursal karena tabiin langsung meriwayatkan dari Rasulullah saw. tanpa melewati sahabat, dan maqthu’ karena hanya disandarkan kepada tabiin.
Di antara para periwayat melalui jalur marfu’ terdapat nama-nama keluarga nabi seperti, Jafar bin Muhammad, Muhammad bin Ali, Husain bin Ali, dan Ali bin Abi Thalib.[3] Namun di antara rawi terpercaya tersebut terselip nama-nama yang dilemahkan oleh beberapa ulama hadis, misalkan As-Sari bin Khalid, penduduk Madinah yang dianggap tidak dikenal dan tidak dapat dijadikan hujah; atau terdapat nama Muadz, namun diragukan apa dia Muadz bin Jabal sahabat nabi atau Muadz bin Zuhrah seorang tabiin; dan beberapa nama lain yang dianggap lemah, seperti Daud bin Az-Zibriqan, Abdul Malik bin Harun, dan Ismail Al-Bajari.
Lalu, siapakah yang melemahkan riwayat di atas? Di antaranya Nasiruddin Al-Albani.[4]
Meski demikian, jika riwayat tersebut dianggap terputus apatah lagi lemah karena tidak sampai pada sahabat, bukankah itu menyalahi aksioma mendasar bahwa seluruh sahabat adil dalam meriwayatkan sebuah hadis? Atau sebuah keyakinan lain, berdasarkan riwayat, bahwa tabiin adalah salah satu generasi terbaik?
Telah hilang dahaga, telah basah kerongkongan dan telah tetap pahala, Insya Allah.
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Sementara doa yang baru didengar oleh banyak awam belakangan ini juga terdapat dalam kitab ulama yang sama semisal Abu Daud, Ath-Thabarani, Ad-Daruquthni, An-Nasai, Al-Hakim, dan lainnya. Meski doa ini dianggap lebih kuat secara periwayatan, namun bukan berarti tanpa kekurangan.
Di antara periwayat doa dzahaba ini terdapat nama Marwan bin Salim Al-Muqaffa yang baru mendapat predikat level makbul oleh Ibnu Hajar dan tidak dijadikan hujah oleh Bukhari dan Muslim. Menurut Ibnu Hajar orang yang dijadikan hujah oleh Bukhari bernama Marwan Al-Ashfar. Sementara Marwan bin Salim dikukuhkan sebagai orang terpercaya oleh Ibnu Hibban.
Lalu, siapa yang mensahihkan derajat riwayat di atas? Di antaranya Nasiruddin Al-Albani.
Dikenal Sebagai Amalan Para Ulama
Meski kedua macam doa di atas memiliki kekurangan dari sisi ilmu periwayatan dan penisbatannya kepada Rasulullah saw., namun tidak serta merta menjadikan doa tersebut dilarang untuk dibaca. Para ulama berbagai mazhab seperti Fakhruddin Usman bin Ali Az-Zailai dari mazhab Hanafi[5], Ahmad bin Ghunaim bin Salim Al-Azhari dari mazhab Maliki[6], Imam Nawawi dari mazhab Syafii[7], Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali[8] menyatakan bahwa membaca doa Allâhumma laka shumtu saat berbuka puasa sebagai perbuatan mustahab alias dianjurkan.
Lebih jauh, andaipun riwayat berbuka puasa Allâhumma laka shumtu memiliki kelemahan secara periwayatan, namun beberapa kitab melengkapi doa tersebut dengan dzahabazh zhammâ’ . Frasa kedua tersebut yang secara bahasa berarti “telah hilang dahaga” merupakan ungkapan biasa sesudah berdoa yang diucapkan Rasulullah saw. setelah meminum air. Kalimat tersebut baru menjadi doa—sebagaimana umumnya—ketika didahului dengan kalimat Allâhumma yang berarti “Ya Allah…”.
Pun demikian, doa sebagai bentuk pengharapan dan “komunikasi” kepada Allah tidak mewajibkan harus memiliki sumber nas Alquran dan hadis. Hal tersebut otomatis tidak mengharuskan seluruh doa harus berbahasa Arab. Terjemahan doa Allâhumma laka shumtu jelas tidak mengindikasikan adanya pelanggaran atau menyelisihi syariah; bahkan terlihat memiliki arti yang lebih bermakna dibandingkan kenyataan bahwa setelah minum dahaga pun hilang.
Doa Buka Puasa Menurut Syiah
Doa Allâhumma laka shumtu yang dalam beberapa kitab ahlusunah diriwayatkan oleh keluarga nabi saw. memiliki kesamaan sebagaimana yang tercatat dalam kitab ulama Syiah (Imamiah).[9] Imam Musa Al-Kazhim, salah seorang keturunan nabi, mengatakan bahwa doa saat berbuka puasa adalah:
Ya Allah hanya kepada-Mu aku berpuasa, dengan rezeki-Mu aku berbuka, dan kepada-Mu aku bertawakal.
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ
Riwayat lain menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib a.s. juga biasa membaca doa berikut ketika berbuka puasa:
Dengan nama Allah. Ya Allah hanya kepada-Mu kami berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu kami berbuka. Ya Allah, maka terimalah (puasa) kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا اللَّهُمَّ فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Baca sebelumnya disini: Doa Buka Puasa Dalam Ahlul Bait
Referensi:
[1] Abu Daud, Sunan Abi Dâud, juz I, hal. 719, no. 2.358, Dâr Al-Fikr.
[2] Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Dâruquthnî, juz II, hal. 185, no. 26, Beirut: Dâr Al-Ma’rifah, 1386 H. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir menggunakan kata singular.
[3] Ibnu Abi Usamah, Musnad Al-Hârits, no. 469, cet. 1, Madinah: Markaz Khidmatus Sunnah, 1413 H. Lihat juga Yahya Al-Jurjani, Tartib Al-‘Amâli, no. 1092, cet. 1, Beirut: Dârul Kutub Al-Ilmiah, 1422 H.
[4] Ulama masyhur salafi asal Shkodër, Albania, yang juga berprofesi mereparasi jam. Kritiknya terhadap fanatisme dan kejumudan, menjadikan pandangannya memiliki perbedaan dengan empat mazhab. Ia juga dianggap sejalan dengan pemikiran mazhab Zahiriah.
[5] Hanafi Fakhruddin Az-Zailai, Tabyîn Al-Haqâiq Syarh Kanz Ad-Daqâiq, Kairo: Al-Matbu’ah Al-Kubra Al-Amiriah, juz 4, hal. 178.
[6] Ahmad bin Ghunaim An-Nafrawi, Al-Fawâkih Ad-Dawâni ‘alâ Risâlah Ibni Abi Zaid Al-Qirwâni, Dâr Al-Fikr, 1415 H, juz 3, hal. 386.
[7] Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 6, hal 363.
[8] Ibnu Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, juz 3, hal. 76.
[9] Abbas Al-Qumi, Mafâtîh Al-Jinân, Beirut: Mu’assasah Al-A’lamî, hal. 230
(Eja-Jufri/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email