Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani meminta agar proses hukum dugaan penistaan agama yang menyeret nama Calon Gubernur (Cagub) Petahana DKI Jakarta jangan sampai ditekan oleh kepentingan politik dengan menjadikan agama sebagai tameng atau kedoknya.
"Biarkan kasus hukum berjalan sesuai relnya. Dalam sistem negara hukum jelas harus bebas dari tekanan atau pun intervensi dari pihak manapun,” jelasnya di Jakarta, Kamis (1/12).
Namun dalam kasus Cagub petahana DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini jelasnya, prosesnya hampir diikuti dengan tekanan masa dimana kerumunan masa menjadi penentu dari salah benarnya seseorang.
Tekanan massa seperti ini, kata dia, sangat membahayakan masa depan penegakan hukum di Indonesia. Khususnya untuk jenis kasus yang memiliki irisan dengan kepentingan publik, tidak melulu hanya soal agama, tetapi kasus pornografi. “Ini akan menjadi preseden bagi penegakan hukum dimasa yang akan datang,” terangnya.
Hingga saat ini, kasus yang menimpa cagub nomor 2 ini sudah lengkap (P21).
Menurutnya, proses hukum terhadap Basuki yang berlangsung sangat cepat ini di luar kelaziman.
Karena logikanya sangat sederhana saja, untuk menyimpulkan apakah kasus ini memenuhi unsur atau tidak memerlukan diskusi yang panjang, pengkajian dan pendalaman. Namun dalam kasus Basuki ini cepat sekali. “Keputusan P21 ini memang tidak ada batasan waktunya, bisa cepat dan bisa juga lambat,” tuturnya.
Dengan demikian, bisa dipastikan prinsip asas legalitas (due process of law) diabaikan. Sama seperti dalam pristiwa yang terjadi sebelumnya di Kepolisian. “Ada ketidaklaziman. Dan saya kira, ini terlalu cepat. Apakah ada pihak-pihak yang mendesak atau tidak, publik pasti sudah bisa menilai,” terangnya.
Dia menjelaskan, menetapkan Basuki sebagai tersangka pun sebenarnya lebih merupakan produk kerja politik yang menggunakan instrumen penegakan hukum.
Hal ini terlihat dari ketergesa-gesaan menetapkan Basuki sebagai tersangka termasuk penetapan P21 ini. Pola ini sama linearnya dengan proses-proses yang terjadi sebelumnya. “Terlihat kecil sekali pertimbangan hukum, tetapi yang lebih dominan adalah pertimbangan-pertimbangan politik,” jelasnya.
Dia mengatakan dalam kasus tudingan penistaan agama ini, Ahok sengaja dikorbankan. Karena tidak ada unsur yang memenuhi unsur penistaan agama. “Saya sama pandangannya dengan sejumlah penyidik yang kontra dengan penetapan Ahok sebagai tersangka,” imbuhnya.
Dalam paradigma HAM, tidak mengenal penistaan agama. Karena dalam konteks HAM tidak melindungi obyek-obyek abstrak seperti penistaan agama. Dalam perpekstif UU penitasan agama merupakan produk yang diskriminatif.
“Karena itu, siapapun yang dijerat dengan pasal itu maka itu bentuk diskriminasi,” ujarnya.
Lebih lanjut dia keputusan P21 kasus Ahok ini sekedar menjawab kecemasan elit akan potensi ancaman akan aksi yang lebih besar. Sehingga elit politik menuruti kemauannya atau kehendaknya para demonstrans. Bahkan penetapan P21 kasus Ahok ini juga ditujukan untuk menekan aksi unjuk rasa 2 Desember.
Hal yang sama saat Basuki ditetapkan sebagai tersangka diiringi dengan ancaman aksi. “Jadi, kecemasan ditingkat elite yang sesungguhnya itu adalah bentuk kegagalan penyelenggara negara memanage kemajemukan dengan mengorbakan proses, sehingga proses hukum dipercepat hanya demi memuaskan tuntutan segelintir orang,” pungkasnya.
(Media-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email