Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS ULASAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS ULASAN. Show all posts

Pengertian dan Hadis Bahwa Ahlu Sunnah Itu Syi'ah


Ahlu Sunnah (Rasûlillâh) dan Syî‘ ah (Rasûlillâh) adalah dua julukan untuk orang-orang muslim yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Sunnah dan taat kepada Allah dan Rasûl-Nya, maka Ahlus sunnah dan Syi‘ ah itu sama, tidak ada bedanya seperti ummat Islam dan kaum muslim. Dan yang berbeda itu adalah Ahlu Sunnah ...dan Syî‘ ah… yang tidak mengikuti Rasûlullâh saw.
Dan yang tidak sama itu adalah orang-orang yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengklaim dirinya Syî‘ ah , maka mereka sampai kapan pun tidak akan pernah sama, sebab yang bâthil itu sifatnya katsrah (banyak).


Makna Sunnah

Sunnah itu artinya:
(1) Tharîqah , yaitu jalan yang menyampaikan seseorang kepada suatu maksud.
(2) Sîrah , yang artinya perjalanan hidup.
(3) Hadîts , seperti dalam perkataan orang, “Kembalilah kepada Al-Quran dan Al-Sunnah.” Maksudnya ialah Al-Qurân dan Hadîts Nabi saw.
(4) Jalan (kehidupan) yang terpuji lagi lurus, dan dikatakan, “Si Fulan dari Ahlus Sunnah .” Maka maknanya bahwa dia dari kalangan ma-nusia yang menempuh jalan yang terpuji lagi lurus.[1]

Tentunya juga apa yang dimaksudkan dengan Sunnah adalah Sunnah Rasûlullâh saw atau apa yang telah di-sunnah -kan oleh beliau. Amîrul Mu`minîn as berkata, “Sunnah itu ialah apa-apa yang di-sunnah-kan oleh Rasûlullâh saw.” [2]

Ahlus sunnah maksudnya ialah ummat Islam yang berpegang kepada Kitâb Allâh dan Sunnah Rasûl -Nya, mereka tidak berpaling darinya, tidak menambah-nambahnya dan tidak menguranginya. Mereka ialah orang-orang yang berada pada jalan yang lurus dan terpuji, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh para nabi, para shiddîq , syuhadâ dan shâlih în .[3]

Ahlus sunnah adalah kaum muslim yang tidak tersesat dari jalan yang lurus, karena mereka senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk Allâh ta‘âlâ dan Rasûl-Nya, mereka berpedoman kepada Al-Qurân dan Al-Sunnah yang diriwayatkan Ahlulbait Nabi saw. Mereka menjadikan Islam di atas segalanya, mereka tidak mendahului Allâh dan Rasûl-Nya dengan pendapat dan rasionya. Mereka itulah orang-orang yang syi‘arnya disebutkan dalam Al-Kitâb, “Sami‘nâ wa atha‘nâ (kami men-dengar dan kami taat).” [4]

Ahlus sunnah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir yang apabila Allâh dan Rasûl-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menerimanya dengan rela.[5]

Dan mereka tidak merasa keberatan pada diri-diri mereka dengan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh Rasûlullâh saw serta berserah diri dengan sesungguhnya.[6]


Makna Jamâ‘ah

Jamâ‘ah (jamaah atau jemaah) bukanlah istilah untuk orang ‘Arab dan bukan pula bagi orang ‘Ajam (non ‘Arab). Dan jamaah yang dimaksudkan bukanlah nama sebuah organisasi massa seperti “…Jamaah” atau “Jamaah…” atau “…Jamaah…” atau “Jemaah…” atau “Jemaat…” dan sebagai-nya. Jamâ‘ah yang dimaksudkan tiada lain melainkan orang yang berpegang teguh kepada yang benar walaupun sendirian, karena jamâ‘ah itu kaitannya dengan kualitas bukan dengan kuantitas.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللهِ العَلَوِيِّ رَفَعَهُ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُولِ اللهِ ص : مَا جَمَاعَةُ أُمَّتِكَ ؟ قَالَ : مَنْ كَانَ عَلَى الْحَقِّ وَ إِنْ كَانُوا عَشْرَةً. 

Dari ‘Abdullâh bin Yahyâ bin ‘Abdullâh Al-‘Alawi dia mengangkat sanadnya berkata: Rasûlullâh saw ditanya, “Apa jamâ‘ah ummatmu itu?” Beliau berkata, “Jamâ‘ah ummatku adalah ahli kebenaran sekalipun mereka sepuluh orang.” [7]

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ ع قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللهِ ص عَنْ جَمَاعَةِ أُمَّتِهِ فَقَالَ : جَمَاعَةُ أُمَّتِي أَهْلُ الْحَقِّ وَ إِنْ قَلُّوا. 

Dari Abû ‘Abdillâh as berkata: Rasûlullâh saw telah ditanya tentang jamâ‘ah ummatnya, lalu beliau berkata, “Jamâ‘ah ummatku adalah ahli kebenaran sekalipun sedikit.” [8]

قَالَ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : وَ الْجَمَاعَةُ أَهْلُ الْحَقِّ وَ إِنْ كَانُوا قَلِيْلاً

Amîrul Mu`minîn as berkata, “…dan jamâ‘ah adalah kumpulan orang yang benar sekalipun sedikit jumlahnya.” [9]

Dan juga beliau as mengatakan bahwa jamâ ‘ah tidak diukur dengan kuantitas, melainkan dengan kualitas.


Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah

Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah ialah kaum muslim yang ahli dalam mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh saw dan ahli dalam hal berpegang kepada yang benar, mereka mencintai serta mengikuti Ahlulbait Nabi saw yang disucikan.

 قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ عَلَى السُّنَّةِ وَ الْجَمَاعَةِ. 

Rasûlullâh saw. berkata, “ Ketahuilah, siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati di atas al-sunnah wal jamâ‘ah .” [10]

Pokoknya ahlussunnah itu ahlinya dalam hal mengamalkan sunnah Nabi saw, maka mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah dengan tidak mengikuti petunjuk Nabi saw adalah dusta belaka.


Syî‘ah 

Syî‘ah artinya pengikut setia sebagaimana pada firman Allâh yang maha tinggi tentang Nabi Ibrâhîm as.

 وَ إِنَّ مِنْ شِيْعَتِهِ لإِبْرَاهِيْمَ, إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ. 

Dan sesungguhnya di antara syi‘ah-nya adalah Ibrâhîm, ketika dia datang kepada Tuhannya dengan hati yang selamat. [11]

وَ دَخَلَ الْمَدِيْنَةَ عَلَى حِيْنِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيْهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ, هَذَا مِنْ شِيْعَتِهِ وَ هَذَا مِنْ عَدُوِّهِ, فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيْعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ, فَوَكَزَهُ مُوْسَى فَقَضَى عَلَيْهِ

Dia (Mûsâ as) masuk ke kota pada saat lengah dari penduduknya lalu dia dapati dua orang yang sedang berkelahi yang satu dari syî‘ ah-nya dan yang satunya lagi dari musuhnya. Kemudian orang yang dari syî‘ ah-nya itu meminta tolong untuk mengalahkan musuhnya, lantas dia meninjunya hingga orang itu mati. [12]

Pada ayat diatas ada dua kata syî‘ah yang dipertentangkan dengan kata lawannya, yaitu ‘aduww atau musuh. Selain dalam firman Allâh yang maha suci tersebut, ka-ta syî‘ah juga telah diucapkan oleh Rasûlullâh saw.

وَ أَخْرَجَ ابْنُ عَسَاكِرَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ هَذَا وَ شِيْعَتَهُ لَهُمُ الْفَائِزُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَ نَزَلَتْ : إِِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ. فَكَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَقْبَلَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالُوا : جَاءَ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ. 

Dan Ibnu ‘Asâkir telah meriwayatkan h adîts dari Jâbir bin ‘Abdillah berkata: Adalah kami ketika bersama-sama Na-bi saw, tiba-tiba ‘Ali as datang, lantas Nabi saw berkata, “ Demi yang diriku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya orang ini dan syî‘ah-nya (para pengikut setianya) benar-benar ber-untung pada hari kiamat. ’ Dan turunlah ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itu sebaik-baik makhluk .” Maka para sahabat Nabi saw apabila ‘Ali datang mereka berkata, “ Telah datang sebaik-baik makhluk.” [13]


Syî‘ah ‘Ali 

Syî‘ah ‘Ali adalah para pengikut setia Imam ‘Ali dan mereka berdiri di pihak Imâm ‘Ali, mereka dinyatakan sebagai kaum yang beruntung pada hari kiamat nanti seperti kata Rasûlullâh saw di atas, Allâh rela kepada mereka dan mereka juga rela kepada-Nya dan mereka adalah kaum yang masuk surga ‘Aden.

Syî‘ah ‘Ali adalah mereka yang taat kepada ‘Ali, taat kepada ‘Ali berarti taat kepada Nabi, taat kepada Nabi berarti taat kepada Allâh ta‘âlâ.
Demikian juga halnya dengan kedurhakaan, maka orang yang durhaka kepada ‘Ali berarti durhaka kepada Nabi, dan durhaka kepada Nabi berarti durhaka kepada Allâh.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ, وَ مَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ, وَ مَنْ أَطَاعَ عَلِيًّا فَقَدْ أَطَاعَنِي وَ مَنْ عَصَى عَلِيًّا فَقَدْ عَصَانِي. 

Dari Abû Dzarr ra berkata: Rasûlullâh saw telah berkata, “Siapa yang taat kepadaku maka sesungguhnya dia taat kepada Allah, siapa yang durhaka kepadaku maka sesungguhnya dia durhaka kepada Allah, siapa yang taat kepada ‘Ali maka sesungguhnya dia taat kepadaku, dan siapa yang durhaka kepada ‘Ali maka sesungguhnya dia telah durhaka kepadaku.” [14]

Syî‘ah adalah orang-orang yang saleh yang senantiasa taat kepada Allâh, taat kepada Rasûl-Nya dan Ulil Amri. Mereka adalah orang-orang yang berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah Nabi saw yang diriwayatkan Ahlulbaitnya, maka mengaku-ngaku syî‘ah tanpa mengikuti perintah Nabi adalah dusta. Maka pengikut setia ‘Ali as (syî‘ah ) itu ialah ummat Islam yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh saw dan ‘Ali bin Abî Thâlib as.


Sunnah dan Syî‘ah tidak Ada Bedanya 

Sunnah dan Syî‘ah tidak ada bedanya jika yang dimaksud dengan Sunnah itu Ahlu Sunnah Nabi saw dan yang dimaksud dengan Syî‘ah itu adalah Syî‘ah Nabi saw atau Syî‘ah ‘Ali as. Ahlu Sunnah Nabi saw adalah orang-orang muslim atau muslimah yang benar-benar berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Nabi saw sebagai padanan Al-Quran. Dan Syî‘ah Nabi adalah orang-orang yang benar-benar menjadi pengikut Nabi saw.

Berpegang kepada sunnah Nabi dan menjadi pengikutnya sama-sama diperintahkan oleh Rasûlullâh saw, maka Syî‘ah itu adalah Ahlus Sunnah , dan Ahlus Sunnah itu adalah Syî‘ah . Tetapi jika Sunnah dan Syî‘ah itu direduksi maknanya menjadi dua buah madzhab (pendapat), maka yang namanya madzhab (bukan wahyu), tentu keadaannya akan beragam dan berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.

Dan ketika Sunnah dan Syî‘ah dipandang sebagai madzhab , maka harus segera dikembalikan ke posisi netral (ke pengaturan awal), yaitu Al-Islâm supaya menjadi utuh kembali. Dan Islam itu dituangkan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah yang sah dari Rasûlullâh saw, dan ini disepakati oleh seluruh ummat Islam.

Maka demi keutuhan persaudaraan, ukhuwwah dan persatuan, jika ada persoalan yang diperselisihkan sekecil apa pun harus segera dikembalikan kepada Allah dan Rasûl-Nya, jika kita beriman kepada Allah dan hari akhir. Allah ‘azza wa jalla berfirman.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْوِيلاً. 

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Al-Rasûl dan Ulil Amri (Ahlulbait) darimu, jika kamu berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Al-Rasûl bila kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu baik dan lebih indah akibatnya . [15]


Khulâshah (Kesimpulan)

Siapakah Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah itu? Mereka itu adalah orang-orang yang konsisten dan istiqâmah dengan kebenaran, mereka tak berpaling dari Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Dan siapakah Syî‘ah itu? Jawabannya juga sama.

Jadi Ahlus Sunnah atau Syî‘ah sama saja , tidak ada bedanya sedikit pun juga jika disandarkan kepada Rasûlullâh saw dan Ahlulbaitnya as, mereka itu adalah orang-orang yang mulia yang senantiasa setia kepada Allah dan Rasûl-Nya, mereka berpegang kepada Kitab Suci Al-Quran dan sunnati Rasûlillâh yang diriwayatkan Ahlulbaitnya yang disucikan, mereka taat kepada Allah, Rasûl-Nya dan Ulil Amri (Ahlulbait Nabi) sebagaimana yang diperintahkan Allah ta‘âlâ dalam Kitab Suci.

Oleh karena itu janganlah mereka dipertentangkan, sebab sesungguhnya mereka tidaklah bertentangan. Kaum muslim yang suka bertentangan dan bermusuhan itu adalah manu-sia-manusia yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah atau meng-klaim dirinya Syî‘ah , padahal sebenarnya mereka itu bukan dari Ahlus Sunnah dan bukan pula dari Syî‘ah . Sekali lagi Sunnah atau Syî‘ah sama saja, kedua julukan itu dari Rasûlullâh saw untuk orang-orang muslim yang ber-taqwâ .

Referensi:
[1] Lisân Al-‘Arab oleh Ibnu Manzhûr bab sîn.
[2] Bih âr Al-Anwâr 2/266.
[3] QS Al-Nisâ` 4/69.
[4] QS Al-Baqarah 2/285.
[5] QS Al-Ah zâb 33/36.
[6] QS Al-Nisâ` 4/65.
[7] Bih âr Al-Anwâr 2/266.
 [8] Bih âr Al-Anwâr 2/265.
[9] Bih âr Al-Anwâr 2/266.
[10] Tafsîr Al-Kasysyâf, ketika Al-Zamakhsyarî menafsirkan ayat Al-Qur-bâ pada sûrah Al-Syûrâ ayat 23.
[11] QS Al-Shâffât 37/83-84.
[12] QS Al-Qashash 28/15.
[13] Al-Suyûthi dalam Al-Durr Al-Mantsûr ketika menafsirkan sûrah 98/7.
[14] Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shah îh ain 3/121 .
[15] Sûrah Al-Nisâ` 4/59.

(Abu-Zahra/ABNS)

Mengapa Manusia Bisa Lebih Baik dari Malaikat dan Bisa Lebih Buruk dari Binatang?


عن عبد الله بن سنان قال سألت أبا عبد الله جعفر بن محمد الصادق ع فقلت الملائكة أفضل أم بنو آدم فقال قال أمير المؤمنين علي بن أبي طالب ع إن الله عز و جل ركب في الملائكة عقلا بلا شهوة و ركب في البهائم شهوة بلا عقل و ركب في بني آدم كليهما فمن غلب عقله شهوته فهو خير من الملائكة و من غلبت شهوته عقله فهو شر من البهائم 

Dari 'Abdullâh bin Sinân berkata: Aku bertanya kepada Abû 'Abdillâh Ja'far bin Muhammad Al-Shâdiq as, aku berkata: Apakah malaikat yang lebih utama ataukah banû Âdam (manusia)? Beliau berkata: Amîrul Mu`minîn 'Ali bin Abî Thâlib as berkata, "Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla telah men-tarkîb (menyusun) dalam diri malaikat akal tanpa syahwat, menyusun dalam binatang syahwat tanpa akal, dan menyusun pada banî Âdam keduanya (akal dan syahwat), maka manusia yang akalnya bisa mengalahkan syahwatnya, dia lebih baik dari malaikat, dan manusia yang syahwatnya mengalahkan akalnya dia lebih buruk dari binatang." [HR Al-Shadûq]

Akal ('aql ) adalah potensi kesucian dan kemuliaan, maka manusia yang menggunakan akalnya akan menjadi manusia yang suci lagi mulia.

Rasulullah saw mengatakan, "Ajaran (Islam) itu ialah akal, tidak beragama (Islam) orang yang tidak berakal."

Syahwat (hawâ ) adalah potensi kotor dan hina, maka orang yang mengunakan syahwatnya tanpa akal akan menjadi orang yang kotor lagi hina dan lebih hina dari binatang yang paling hina, dan lebih tersesat dari binatang yang paling tersesat sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitâb, Mereka itu bagaikan binatang bahkan lebih tersesat lagi .

(Abu-Zahra/ABNS)

Mengapa Hawariyyun Nabi Isa Memohon Makanan Langit?


Mengapa Hawariyyun Nabi Isa as memohon hidangan makanan dari langit? Ini adalah sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada Ayatullah Makarim Syirazi salah seorang marja’ taklid Mazhab Syiah Imamiah.

Berikut rincian jawaban Ayatullah Makarim tentang masalah ini:
Surah Al-Mā’idah ayat 111-115 menjelaskan kisah hidangan langit yang pernah turun kepada Hawariyyun Nabi Isa as.

Ayat 112: “(Ingatlah) ketika Hawariyyun berkata, “Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhan-mu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”

Mā’idah berasal dari akar kata mayada yang berarti gerakan. Mungkin kata ini diartikan “hidangan” lantaran hidangan ini bisa dirubah dan dipindah-pindahkan.

Dari permintaan ini, Nabi Isa as mencium bau keraguan. Setelah datang banyak ayat dan tanda-tanda kekuasaan Ilahi, ia sangat khawatir dan memperingatkan mereka dalam kelanjutan ayat tersebut.

“Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.”

Melihat jawaban Nabi Isa ini, Hawariyyun menekankan bahwa mereka tidak bermaksud ingin melakukan penentangan. Mereka hanya ingin menyantap hidangan samawi tersebut dan kalbu mereka bisa tenteram lantaran aroma samawi. Hal ini karena setiap makanan yang kita santap pasti mempengaruhi jiwa dan kalbu kita.

Ayat 113: “Mereka berkata, ‘Kami (hanya) ingin memakan hidangan itu dan supaya hati kami tenteram, dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, serta kami menjadi orang-orang yang bersaksi [atas hal itu].’”

Melihat kejujuran Hawariyyun ini, Nabi Isa memohonkan permintaan mereka kepada Allah.

Ayat 114: “Isa putra Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu, dan anugerahkanlah rezeki kepada kami, dan Engkau-lah pemberi rezeki yang paling utama.’”

Nabi Isa mengutarakan permintaan Hawariyyun tersebut kepada Allah dalam bentuk yang sangat jitu. Ini membuktikan bahwa ia mementingkan kemasalahatan komunal masyarakatnya.

Melihat ketulusan ini, Allah pun mengabulkan permohonan mereka dan menurunkan sebuah hidangan dari langit. Tetapi, perlu diperhatikan. Setelah menyaksikan mukjizat ini, tanggung jawab mereka menjadi berat. Untuk itu, barang siapa mengingkari setelah itu, maka ia akan disiksa dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada siapa pun di semesta ini.

Ayat 115: “Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu. Barang siapa di antara kamu yang sesudah (hidangan itu turun), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.’”

Mengapa Hawariyyun mengajukan permintaan demikian?

Tidak diragukan lagi bahwa mereka tidak memiliki niat jahat dan juga tidak ingin menentang Nabi Isa as. Mereka hanya ingin mencari ketenteraman kalbu dan mengikis sisa-sisa keraguan yang masih tersisa.

Sering terjadi kita membuktikan suatu masalah melalui argumentasi dan bahkan pengetahuan empiris serta pengalaman. Tetapi, karena masalah ini sangat penting, mungkin saja masih tersisa keraguan-keraguan dalam hati kita.

Untuk itu, mereka ingin mengikis sisa keraguan ini dengan cara penyaksian nyata. Nabi Ibrahim sa sendiri, sekalipun memiliki keimanan yang tinggi, masih ingin menyaksikan peristiwa hari kiamat dengan mata kepala sendiri sehingga keimanan tersebut menjadi ‘ainul yaqīn.

Mungkin juga Hawariyyun pernah mendengar bahwa hidangan langit pernah turun kepada Bani Isra’il sebagai mukjizat Nabi Musa as. Untuk itu, mereka juga memohon mukjizat semacam ini kepada Nabi Isa as.

Apakah isi hidangan langit tersebut? Al-Quran tidak menjelaskan lebih detail. Tetapi menurut penegasan sebuah hadis dari Imam Muhammad Baqir as, hidangan langit tersebut berisi beberapa potong roti dan beberapa ekor ikan.

Sumber: Tafsīr Nemūneh, jld. 5, hlm. 162.

(Shabestan/ABNS)

Benarkah Wali Songo Penganut Syiah?

Walisongo

Oleh : Nashih Nashrullah*

“Wahai Ahlul Bait Rasulullah SAW, kecintaan kepada kalian kewajiban dari Allah SWT yang turun dalam Alquran, cukup lah bukti betapa tinggi nilai kalian, tiada sempurna shalat tanpa shalawat untuk kalian.” (Imam Syafi’i)

Sejarah memang mencatat pelbagai diskusi tentang asal muasal kedatangan Islam, siapa saja penyebarnya, dan kapan agama ini masuk ke bumi Nusantara. Tetapi, diakui masih minim referensi klasik yang mengulas secara khusus, kiprah para keturunan Rasulullah Saw. dalam islamisasi Nusantara.

Kondisi itu menjadi faktor pemicu, mengapa muncul polemik tentang apa mazhab teologi dan fikih yang dianut oleh para penyebar Islam di Tanah Air yang notabene merupakan keturunan Rasul itu. Sebagian, akhirnya mengklaim bahwa Ahmad bin al-Muhajir yang menjadi muara nasab para pendakwah Islam di Indonesia, termasuk Wali Songo, pendukung Imamah yang menjadi doktrin Syiah.

Idrus Alwi al-Masyhur dalam Sejarah, Silsisah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW, menegaskan bahwa Imam al-Muhajir yang bernama lengkap Ahmad bin Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah RA putri Rasulullah itu, al-Muhajir bukan penganut Imamiyah dalam makna sebagaimana dipahami oleh Syiah.

Ia menukilkan sejumlah pendapat ulama. Di antaranya, kitab Nasim Hajir, karangan Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah as-Saqqaf. Menurutnya, makna dari imamiyah yang disematkan kepada Imam al-Muhajir tersebut, adalah berdasarkan maqam kepemimpinan spiritual (qutbaniyah) yang diwariskan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Mereka membuang perilaku mencaci sahabat, taqiyah, dan lainnya.

Penegasan itu ia sampaikan dalam kitab “Samum Naji. Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad juga menafikan Imamiyah yang disematkan ke Imam al-Muhajir melalui kitabnya yang berjudul Jana Samarikh min Jawab Asilah fi at-Tarikh. Ia menegaskan, bahwa keimamiyahan yang ada pada diri al-Muhajir, adalah versi yang benar, sebagaimana mazhab ayah dan kakek-kakeknya.

Bahkan, para ulama menegaskan Imam al-Muhajir bermazhab Sunni dalam teologi dan menganut mazhab Syafi’i, di biding fikih. Ini seperti ditegaskan oleh Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri, dalam kitabnya yang bertajuk al-Adwar.” Tetapi, Imam al-Muhajir, tetap bersikap kritis dan tidak taklid buta terhadap Mazhab Syafii.

Menurut Dhiya’ Syahab dalam bukunya yang berjudul al-Muhajir, mengutip perkataan Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam majalah al-Rabithah, Imam al-Muhajir mengikuti mazhab para pendahulunya, mereka hanya tinggal sebentar hingga mazhab-mazhab fikih itu tersebar dan muncul kecenderungan untuk bermazhab. Dan akhirnya mereka memilih untuk mengikuti mazhab Syafii, tanpa bertaklid. Hal itu berlangsung setelah abad ke-5 Hijriah.

Mazhab Syafii, ungkap Alwi bin Thahir, telah tersebar di Yaman pada abad ke-3 Hijriyah, tetapi masih belum masif penyebarannya. Di Yaman ketika itu, terdapat Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Zaidiyah dan Mazhab Usmaniyah di Hadramaut, dan Mazhab Ismailiyah.

Tetapi, ungkap Sayid Abu Bakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur dalam kitabnya al-Abniyat al-Fikriyah, sebagai seorang mujtahid, al-Muhajir berhasil menyebarkan pandangannya kepada penduduk Yaman. Heterogenitas mazhab di Yaman membuat itu tidak mudah dilakukan, namun ia mampu melakukannya dengan jalan damai.

Abdullah bin Nuh dalam kitab yang bertajuk al-Imam al-Muhajir wa Ma Lahu wa Linaslihi wa lil aimmati min Aslafihi min al-Fadhail wa al-Maatsir mengatakan, salah satu alasan mengapa mazhab as-Syafi’i menjadi pilihannya, karena kecintaan tokoh kelahiran Gaza tersebut kepada Ahlul Bait.

Keputusan untuk tetap berada pada Mazhab Syafii dengan disertai sikap kritis sebagai mujtahid, bertahan hingga keturunan berikutnya. Inilah mengapa Indonesia mayoritas penduduknya bermazhab Syafii. Berbagai klaim miring dan klaim miring yang disematkan kepada Imam al-Muhajir, mengingatkan hal yang sama, saat Imam as-Syafi’i dituduh penganut Rafidhah.

Syafii mengatakan, “Jika kita istimewakan Ali maka kita akan dituding Rafidhah bagi mereka yang tidak tahu. Dan jika Abu Bakar yang kita sanjung, maka Aku akan dituduh Nashib (penentang Rafidhah). Maka, Aku akan tetap punya dua sisi itu ‘Rafidhah dan Nashib’ dengan mencintai keduanya (cinta Ali dan Abu Bakar) hingga Aku terkubur tanah.”

Syafii cinta kepada Ahlul Bait, tetapi ia tak pernah membenci, menghujat, dan menistakan para sahabat Rasulullah SAW yang dicintai. Sebab cinta kepada Ahlul Bait begitu agung, seagung risalah shalat yang tak lengkap tanpa untaian doa dan shalawat, bagimu wahai Baginda Rasul, dan keluargamu yang tercinta.

*)Nashih Nashrullah, adalah alumnus Universitas Al Azhar, Kairo.

(Republika/ABNS)

Adakah 500 juta penganut mazhab syi’ah imamiyah yang bersolat setiap hari, berpuasa, mengakui ketauhidan Allah swt dan kerasulan Muhammad ini sesat? Adakah semua ini palsu belaka? Adakah 500 juta orang ini bertaqiah dan berpura-pura dalam aqidah mereka? Kalau betul, maka Bravo!!! Mereka melakukan sesuatu yang paling ajaib di dalam dunia, kerana begitu organized sekali lakonan mereka, dari yang tua hinggalah yang muda. Movie awards patutnya diberi kepada orang-orang Syiah kerana kehebatan mereka ini melampaui batas logika


Solawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, yang telah Allah swt sucikan seperti dalam firmannya: “Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara yang mencemarkan diri kamu – wahai “AhlulBait” dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya (dari segala perkara yang keji).”(33:33).

Di dalam suasana masyarakat Malaysia ini, bila disebut sahaja perkataan Syiah, majoriti orang (yang informed) akan mempunyai pandangan negatif berkenaan dengannya. Perkataan Syiah menjadi satu perkataan yang “Taboo”, atau terlarang, dan orang-orang yang berkaitan dengannya akan dipandang dengan penuh prejudis dan syakwasangka serta penuh penghinaan yang tidak berasas.

Page ini, bukanlah untuk menerangkan apa itu Syiah, atau menjawab segala fitnah tentangnya, tetapi bertujuan, dengan seringkas mungkin, menceritakan pengalaman aku dalam mencari kebenaran sehingga akhirnya bertemu jalan ini, jalan Ahlul Bait nabi(sawa).

Biarlah aku mulakan dengan latar belakang hidup ku. Nama ku Amin Farazala Al Malaya, berasal dari keluarga yang pendidikan agamanya hanyalah sederhana, tetapi alhamdulillah, mengamalkan ajaran Islam dengan kuat, bermazhab Imam Syafie. Aku bukanlah ulama, atau ustaz, atau orang alim, hanyalah seorang hamba Allah yang ikhlas mencari kebenaran duniawi dengan mengikuti jalan Allah dan RasulNya. Latar belakang pendidikan aku pun tak pernah belajar di sekolah agama, mahupun mengikuti kursus major agama Islam di universiti. Aku hanya mempunyai sarjana muda dan Diploma Perakaunan dari sebuah universiti tempatan, bukan jugak UIA.

Jadi, macam mana aku kenal Syiah ni? Satu jalan yang aku yakini ialah Islam yang sebenar. Dua jalan yang paling banyak membantu aku menemui jalan ini ialah, membaca dan berdialog, samada dari sumber Sunni atau Syiah.

Buku syiah yang pertama aku baca tapi aku tak tahu itu buku Syiah ialah ketika aku tingkatan 4, buku tentang perang Iraq dan Iran, Aku mula berkenalan dengan perkataan Syiah ketika itu. dalam buku itu juga, aku diperkenalkan dengan sikap masyarakat Syiah dan pemimpin mereka. Pada pandangan aku ketika itu, aku berasa marah, kenapa perlu adanya Sunni dan Syiah ni? sampai nak bergaduh-gaduh, tak boleh ke wujudnya satu ISLAM?

Sentimen ini berterusan sehinggalah aku diterima belajar di sebuah Universiti. Bersamaan dengan dasar di negara ini, maka banyaklah tohmahan dan fitnah yang disebarkan terhadap Syiah, yang turut membuatkan aku konfius. Antara fitnah yang dilemparkan ialah:
1. Syiah menyembah Ali.
2. Syiah terlampau mengagungkan Ali.
3. Syiah ada Quran sendiri. 4. Syiah ini tentera dajjal.
4. Syiah diasaskan oleh si Yahudi Abdullah Ibn Saba.


Aku tak boleh terima dan keliru. Adakah 500 juta penganut mazhab syi’ah imamiyah yang bersolat setiap hari, berpuasa, mengakui ketauhidan Allah swt dan kerasulan Muhammad ini sesat? Adakah semua ini palsu belaka? Adakah 500 juta orang ini bertaqiah dan berpura-pura dalam aqidah mereka? Kalau betul, maka Bravo!!! Mereka melakukan sesuatu yang paling ajaib di dalam dunia, kerana begitu organized sekali lakonan mereka, dari yang tua hinggalah yang muda. Movie awards patutnya diberi kepada orang-orang Syiah kerana kehebatan mereka ini melampaui batas logika. hehe.

Seperti yang aku cakap awal tadi, aku bukanlah alim, tapi aku sangat berminat dalam agama Islam ni. Terutamanya dalam dua bidang utama iaitu Sirah . Banyak buku-buku berkaitan yang aku baca, serta aku kaji personliti-personaliti utama agama Islam. Bagaimanapun semakin lama aku mengkaji, semakin banyak aku dapati percanggahan dan keganjilan di dalam sejarah agama Islam ni, terutamanya berkaitan para sahabat, yang aku dapati banyak melakukan perkara-perkara yang bercanggah dengan agama Islam dan prinsip aku iaitu bahawa semua para sahabat itu adil dan bergerak dalam kerangka demi kepentingan agama(walaupun berbunuhan sesama sendiri).

Dan disebabkan minat aku pada Imam Mahdi, maka turut menarik minat aku kepada satu kelompok istimewa dari para sahabat yang digelar Ahlul bait. Atas dasar itu, aku memulakan kajian aku dengan memenuhkan masa aku membaca buku Sunni dan Syiah, menonton video mereka serta yang paling penting berdialog dengan mereka. Setelah aku mendalami hujah hujah, dari Sunni dan Syiah, aku menggunakan akal yang Allah swt berikan pada ku untuk memilih mana yang di fikirkan paling logik serta dekat kepada Allah swt. Setelah 5 tahun, kini aku bertemu, Islam sejati, Syiah Ahlul Bait.

Berikut ialah beberapa perkara yang membuatkan aku menjadi pengikut kepada Ahlul Bait(as):
Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan kalian 2 perkara berat, yang pertama ialah Al Quran yang ada padanya cahaya dan pedoman, yang kedua ialah itratku dari Ahlul Bait. Sahih Muslim, At Tarmizi, Mustadrak, Fadhail As Sahabah, Musnad Ibnu Hanbal dan banyak lagi(banyak sangat).

Dari Ummu Salamah, Rasulullah bersabda: Ali itu bersama Quran dan Quran itu bersama Ali, keduanya tidak akan terpisah sehingga mereka sampai di Kausar. Al Mustadrak, Al Sawaiq al Muhriqah, Tarikh Al Khulafa.

Barangsiapa yang mahu hidup dan matinya seperti ku dan memasuki syurga yang telah dijanjikan kepadaku, hendaklah dia mengiktiraf Ali sebagai walinya selepas ku, dan selepas Ali hendaklah mengiktiraf anak-anak Ali, kerana mereka tidak akan membiarkan kamu di luar pintu petunjuk, dan tidak pula membiarkan kamu memasuki pintu kejahatan. Kanz Al Ummal.

Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang kepadanya aku ialah maula, maka Ali ialah maula bagi beliau. At Tarmizi, Sunan Ibnu Majah, Khasa’is an Nisai, Al Mustadrak Al Hakim, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Fadhail as Sahaba, al Bidayah wa Al Nihayah, Tarikh Al Khulafa.

” Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil Amri dari kalangan kamu.”(4;59).

Fakhruddin Ar Razi di dalam Tafsir Al Kabir memberi komentar, bahawa ulil Amri perlu maksum kerana diletakkan setaraf dengan rasul, maka ketaatan kepada mereka berdua adalah sama dan tanpa kompromi.
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, di dalam buku Kifayatul Athar di mana di dalam komentar untuk ayat ini, Rasulullah menyebut nama 12 Imam Syiah. Al Khazzz, Kifayatul Athar.

Selepasku akan ada 12 Imam/khalifah. Bukhari, Muslim, Tarmizi, Sunan Abu Daud, Musnad Ibnu Hanbal.
Rasulullah bersabda: Aku adalah kota ilmu, dan Ali ialah gerbangnya, jadi barangsiapa yang ingin memasuki kota ini perlu melalui gerbangnya. Tarmizi, Mustadrak, Fadhail as Sahaba
“Tidakku meminta sebarang upah(atas tugas kenabian ini) melainkan cinta kepada keluarga ku.” (42:23).

Sesungguhnya Allah menetapkan upah atas tugas kenabian ku ini, ialah cinta kepada keluarga ku. (Muhibbuddin Al Tabari).

Ibnu Abbas meriwayatkan apabila ayat 42:23 diturunkan, para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, siapakah Ahlul Bait mu yang Allah wajibkan kami mencintai mereka?” Rasulullah berkata: Ali, Fatimah, Hassan dan Hussain.Tafsir al Kabir, Musnad Ibnu Hanbal, al Sawaiq al Muhriqah.

Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasulnya serta orang2 yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat ketika sedang rukuk. (5:55).

Para ulama merekodkan ayat ini diturunkan kepada Ali yang memberi zakaat cincin beliau ketika rukuk. Tafsir al kabir, Tafsir ad Dhur al Manthur, Musnad Ibn Hanbal, Kanz ul Ummal

Sesungguhnya kau hanyalah pemberi amaran, dan bagi tiap2 kaum ada penunjuknya. (18:7).

Ibnu Abbas meriwayatkan ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah meletakkan tangannya di dada dan berkata: Aku adalah pemberi amaran.” dan menunding kepada Ali, kamu adalah pemimpin kaum muslimin selepas ku.”.

Dan kini aku telah menjumpai Islam sebenar. Tidak lagi aku keliru, yang mana satu sunnah asli, Syafi’i ke, atau maliki, atau Hanbali atau Hanafi atau wahabi. Aku sudah sedar sekarang bahawa Allah swt telah melantik penunjuk bagi kaum kita, umat Muhammad, bagi menggantikan Rasulullah dalam segala hal kecuali kenabian. Mereke pemegang sunnah yang asli, penjaga agama Islam dari segala bidaah, dan memahami ilmu Al Quran dengan sempurna. Aku yakin dengan jalan ini. Ya Allah, hidupkanlah aku dan matikanlah aku di jalan Ahlul Bait.

Web ini bukan berniat untuk menyebar Syiah, tetapi lebih kepada menjawab fitnah yang dilemparkan terhadap mazhab ini dan penganutnya. Fitnah wajib dijawab dan saya tidak akan biarkan ia berterusan. Jika tidak suka saya membongkar fitnah ini, mulakanlah dengan berhenti menebar fitnah. Kepada yang bukan Syiah, anda dilarang melawat laman ini, jika anda berkeras, maka saya tidak akan bertanggungjawab atas pencerobohan akidah anda.

Allahumma Solli Ala Muhammad wa Aali Muhammad.

(Syiah-Ali/ABNS)

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Syiah Kafir, Omong Kosong “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”

Mau Tahu Perbedaan Sunni dan Syiah?


Syi’ah

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi’ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh NabiMuhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi’ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi’ah. Bentuk tunggal dari Syi’ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi’ah.


Perangko Iran bertuliskan Hadits Gadir Kum. Ketika itu Muhammad menyebut Ali sebagai mawla.

Istilah Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.

“Syi’ah” adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya “pengikut Ali”, yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: “Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung” (ya Ali anta wa syi’atuka humulfaaizun)[1]

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.[2] Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.[3] Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi’ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Ikhtisar

Muslim Syi’ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi’ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur’andan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluargaAhlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh MuslimSunni. Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi’ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur’an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi’ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi’ah mengakui otoritas Imam Syi’ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi’ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.


Doktrin.

Dalam Syi’ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu’uddin {masalah penerapan agama). Syi’ah memiliki Lima Ushuluddin:
1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5. Al-Ma’ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.


Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3).

Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).

Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3).
Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2).
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70).
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa’idah / QS. 5:17).
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An’am / QS 6:149).
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96).
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22).


Allah yang menentukan segala akibat.

Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2).
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70).
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa’idah / QS. 5:17).
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An’am / QS 6:149).
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96).
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.


I’tikadnya tentang kenabian ialah:
1. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
3. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5. Al-Qur’an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.


Sekte dalam Syi’ah.

Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte[rujukan?]. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:


Dua Belas Imam.

Disebut juga Imamiah atau Itsna ‘Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq
7. Musa bin Ja’far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8. Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9. Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi


Ismailiyah.

Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Ja’far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq
7. Ismail bin Ja’far (721755), adalah anak pertama Ja’far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.


Zaidiyah.

Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum ‘Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.


Kontroversi tentang Syi’ah.

Sebagian Sunni menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan. Syi’ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif.Hubungan antara Sunni dan Syi’ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib.

Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi’ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[4] Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna “mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab, berlepas diri dari keduanya, dan sebagian sahabat yang mengikuti keduanya”.

Namun terdapat pula kaum Syi’ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan di antara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[5].


Sebutan Rafidhah oleh Sunni.

Sebutan Rafidhah ini erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan di tahun 121 H.[6]
 
Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii“.[7]
 
Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu’ Fatawa” (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah; karena tidak semua Syi’ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar’.”[8]
Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Imam Syafi’i. Meskipun mazhabnya berbeda secara teologis dengan Syi’ah, tetapi ia pernah mengutarakan kecintaannya pada Ahlul Bait dalam diwan asy-Syafi’i melalui penggalan syairnya: “Kalau memang cinta pada Ahlul Bait adalah Rafidhah, maka ketahuilah aku ini adalah Rafidhah”.[9]
 
Referensi
1. ^ Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
2. ^ Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
3. ^ Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
4. ^ Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829
5. ^ Baca al-Ghadir, al-Muroja’ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
6. ^ Badzlul Majhud, 1/86
7. ^ Maqalatul Islamiyyin, 1/137
8. ^ Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
9. ^ Abu Zahrah, Muhammad. Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).


Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni dan Syiah?. Ternyata, menurut Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat, terletak dasar hadits yang digunakan kedua aliran besar tersebut.”Sunni memiliki empat mazhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Apakah ajaran keempat mazhab itu sama? Tidak ada yang berbeda,” katanya dalam seminar dan deklarasi Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jumat (20/5).

Jalaluddin mengatakan perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits. Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairoh, maka hadtis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW). “Jadi bukan berarti ajaran Sunni itu salah, dan Syiah sebaliknya,” ujarnya.Hal senada diutarakan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mahmoud Farazandeh, yang menyebut “Perbedaan Sunni dan Syiah di Iran lebih bermuatan politik.

“Sementara Pandu Iman Sudibyo, salah satu penganut Syiah dari Bengkulu, lalu mengajukan contoh praktik Syiah di daerahnya yang disebut tidak mendiskriminasi penganut Syiah di Bengkulu. “Kami hidup rukun dan kami lebih mengedepankan rasional,” kata ketua IJABI Bengkulu tersebut.Di Bengkulu, katanya, setiap tahun malah ada perayaan Tabot untuk menghormati kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu nabi, yang bertepatan dengan hari Asyuro (10 Muharram). “Banyak turis asal Iran yang melihat perayaan Tabot di Bengkulu,” katanya.


Tulisan ini adalah tanggapan sederhana atas tulisan di situs ini dan Baca: http://www.albayyinat.net/jwb5ta.html yang berjudul Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ?. . Tulisan yang bercetak miring adalah tulisan di situs tersebut. Sebelumnya perlu diingatkan bahwa apa yang penulis(saya) sampaikan adalah bersumber dari apa yang penulis baca dari sumber-sumber Syiah sendiri.

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.

Penulis(saya) menjawab benar perbedaan Sunni dan Syiah memang tidak sebatas Furu’iyah tetapi juga berkaitan dengan masalah Ushulli. Tetapi tetap saja Syiah adalah Islam . Kita akan lihat nanti. Tidak ada masalah dengan pendekatan Sunni dan Syiah karena tidak semuanya berbeda, terdapat cukup banyak persamaan antara Sunni dan Syiah.

Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya

Jawaban saya, kata-kata ini juga bisa ditujukan pada penulis itu sendiri, minimnya pengetahuan dia tentang Syiah kecuali yang di dapat dari Syaikh-syaikhnya. Kemudian berbicara seperti orang yang sok tahu segalanya. Dan berkomentar sebelum memahami persoalan sebenarnya.

Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i. Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.

Bukankah baik kalau mengenal sesuatu dari sumbernya sendiri yaitu Ulama Syiah. Kalau si penulis itu menganggap Ulama Syiah Cuma berpura-pura lalu kenapa dia tidak menganggap Syaikh-Syaikh mereka itu yang sengaja mendistorsi tentang Syiah. Subjektivitas sangat berperan, anda tentu tidak akan mendengar hal yang baik tentang Syiah dari Ulama yang membenci dan mengkafirkan Syiah. Pengetahuan yang berimbang diperlukan jika ingin bersikap objektif. Sekali lagi perbedaan itu benar tidak sebatas Furu’iyah.

Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita(Ahlussunnah).

Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.

Kata-kata yang begitu kurang tepat, yang benar adalah Syiah meyakini Rukun Iman dan Rukun Islam yang dimiliki Sunni tetapi mereka merumuskannya dengan cara yang berbeda dan memang terdapat perbedaan tertentu pada Syiah yang tidak diyakini Sunni.

Kitab Hadis Syiah benar berbeda dengan Kitab Hadis Sunni karena Syiah menerima hadis dari Ahlul Bait as(hal ini ada dasarnya bahkan dalam kitab hadis Sunni lihat dan baca hadis Tsaqalain: https://secondprince.wordpress.com/2007/07/21/hadis-tsaqalain/ ) sedangkan Sunni sebagian besar hadisnya dari Sahabat Nabi ra.

sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita. Ini adalah kebohongan, yang benar Ulama-Ulama Syiah menyatakan bahwa Al Quran mereka sama dengan Al Quran Sunni. Yang mengatakan bahwa Al Quran Syiah berbeda dengan Al Quran Sunni adalah kaum Syiah Akhbariyah yang bahkan ditentang oleh Ulama-Ulama Syiah. Kaum Akhbariyah ini yang dicap oleh penulis itu sebagai Ulama Syiah. Sudah keliru generalisasi pula. Penafsiran Al Quran yang berlainan bukan masalah, dalam Sunni sendiri perbedaan tersebut banyak terjadi.

Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.

Yang berkata seperti ini adalah Ulama-ulama Salafi, karena terdapat Ulama Ahlussunah yang mengatakan Syiah itu Islam seperti Syaikh Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan lain-lain. Sebenarnya yang populer di kalangan Sunni adalah Syiah itu Islam tetapi golongan pembid’ah. Cuma Salafi yang dengan ekstremnya menyebut Syiah agama tersendiri.

Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

Saya akan menanggapi satu persatu pernyataan penulis ini:

1. Ahlussunnah : uRukn Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain.
b) As-Sholat.
c) As-Shoum.
d) Az-Zakat.
e) Al-Haj.


Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholat.
b) As-Shoum.
c) Az-Zakat.
d) Al-Haj.
e) Al wilayah.

Jawaban: Saya tidak tahu apa sumber penukilan penulis ini, yang jelas Syiah juga meyakini Islam dimulai dengan Syahadat. Jadi sebenarnya Syiah meyakini semua rukun Islam Sunni hanya saja mereka menambahkan Al Wilayah. Yang ini yang tidak diakui Sunni, tentu perbedaan ini ada dasarnya.


2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam):
a) Iman kepada Allah.
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya.
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya.
d) Iman kepada Rasul Nya.
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat.
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.


Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid.
b) An Nubuwwah.
c) Al Imamah.
d) Al Adlu.
e) Al Ma’ad.

Syiah jelas meyakini atau mengimani semua yang disebutkan dalam rukun iman Sunni, hanya saja mereka ,merumuskannya dengan cara berbeda seperti yang penulis itu sampaikan. Rukun iman Syiah selain Imamah mengandung semua rukun iman Sunni. Perbedaannya Syiah meyakini Imamah dan Sunni tidak, sekali lagi perbedaan ini ada dasarnya.

3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat.
Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

Ini tidak benar karena syahadat dalam Sunni dan Syiah adalah sama Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Tidak mungkinnya pernyataan penulis itu adalah bagaimana dengan mereka orang Islam pada zaman Rasulullah SAW, zaman Imam Ali, zaman Imam Hasan dan zaman Imam Husain. Bukankah jelas pada saat itu belum terdapat 12 imam.

4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman.
Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.

Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.

Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka

Imam Sunni tidak terbatas karena setiap ulama bisa saja disebut Imam oleh orang Sunni. Bagi Syiah tidak seperti itu, 12 imam mereka ada dasarnya sendiri dalam sumber mereka, dan terdapat juga dalam Sumber Sunni tentang 12 khalifah dan Imam dari Quraisy dan baca: https://haidarrein.wordpress.com/2007/08/28/mengenai-akidah-12-imam/ . Intinya Syiah dan Sunni berbeda pandangan tentang apa yang disebut Imam. Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan. Pernyataan ini hanya sekedar persepsi, tidak dibenarkan berdasarkan apa, jelas sekali penulis ini tidak memahami pengertian Imam dalam Syiah.




Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka. Saya tidak tahu apa dasar penulis itu, yang saya tahu Ulama Syiah selalu menyebut Sunni sebagai Islam dan saudara mereka. Anda dapat melihat dalam Al Fushul Al Muhimmah Fi Ta’lif Al Ummah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi(terjemahannya Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah dan Syiah hal 33 yang membuat bab khusus yang berjudul Keterangan Para Imam Ahlul Bait Tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah) Atau anda dapat merujuk Al ’Adl Al Ilahykarya Murtadha Muthahhari (terjemahannya Keadilan Ilahi hal 271-275).

5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah:
a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum


Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka).

Pembahasan masalah ini adalah cukup pelik, oleh karenanya saya akan memaparkan garis besarnya saja. Benar sekali khulafaurrosyidin yang diakui Sunni adalah seperti yang penulis itu sebutkan. Syiah tidak mengakui 3 khalifah pertama karena berdasarkan dalil-dalil di sisi mereka Imam Ali ditunjuk sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Pernyataan (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka), disini lagi-lagi terjadi perbedaan. Sunni berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan sukarela. Tetapi Syiah berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan terpaksa.

Hal yang patut diperhitungkan adalah Syiah juga memakai sumber Sunni untuk membuktikan anggapan ini, diantaranya hadis dan sirah yang menyatakan keterlambatan baiat Imam Ali kepada khalifah Abu Bakar yaitu setelah 6 bulan. Sekali lagi perbedaan ini memiliki dasar masing-masing di kedua belah pihak baik Sunni dan Syiah, jika ingin bersikap objektif tentu harus membahasnya secara berimbang dan tidak berat sebelah. Perbedaan masalah khalifah ini juga tidak perlu dikaitkan dengan Islam atau tidak, bukankah masalah khalifah ini jelas tidak termasuk dalam rukun iman dan rukun islam Sunni yang disebutkan oleh penulis itu. Oleh karenanyajika Syiah berbeda dalam hal ini maka itu tidak menunjukkan Syiah keluar dari Islam.

Sebelum mengakhiri bagian pertama ini, ada yang perlu diperjelas. Syiah meyakini rukun iman dan rukun islam Sunni hanya saja Syiah berbeda merumuskannya. Oleh karenanya dalam pandangan Sunni, Syiah itu Islam. Syiah meyakini Imamah yang merupakan masalah Ushulli dalam rukun Iman Syiah. Sunni tidak meyakini hal ini. Dalam pandangan Syiah, Sunni tetap sah keislamannya berdasarkan keterangan dari para Imam Ahlul Bait . Anda dapat merujuk ke sumber yang saya sebutkan


Syiah Kafir, Omong Kosong “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”

Suara-suara seperti ini selalu dikumandangkan oleh mereka yang mengaku sebagai golongan yang benar. Mereka yang menamakan dirinya Salafi tidak henti-hentinya berkata syiah itu kafir dan sesat. Tentu saja mereka mengikuti syaikh mereka atau ulama salafi yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah kafir dan sesat. Salah satu dari ulama tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin.

Tulisan ini merupakan tanggapan dan peringatan kepada mereka yang bisanya sekedar mengikut saja. Sekedar ikut-ikutan berteriak bahwa syiah kafir dan syiah sesat tanpa mengetahui apapun selain apa yang dikatakan syaikh mereka. Jika ditanya, mereka akan mengembalikan semua permasalahan kepada ulama mereka, Syaikh kami telah berfatwa begitu. Padahal setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataannya sendiri dan bukan syaikh-syaikhnya. Apalagi jika perkataan yang dimaksud adalah tuduhan kafir terhadap seorang muslim. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Apabila salah seorang berkata pada saudaranya “hai kafir”, maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya. (Shahih Bukhari Juz 4 hal 47). Artinya jika yang dikatakan kafir itu adalah seorang muslim maka perkataan kafir akan berbalik ke dirinya sendiri. Singkatnya Mengkafirkan Muslim adalah Kafir.

Yang seperti ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat orang berhati-hati dalam mengeluarkan kata “kafir”. Jelas sekali adalah kewajiban mereka untuk menelaah apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh mereka. Apakah benar atau Cuma pernyataan sepihak saja?. Sayangnya mereka yang berteriak itu tidak pernah mau beranjak dari pelukan syaikh mereka. Sepertinya dunia ini terbatas dalam perkataan syaikh mereka saja. Heran sekali kenapa mereka tidak pernah menghiraukan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain seperti Syaikh-syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qardhawi yang jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara kita.

Tentu jika mereka saja tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain selain syaikh mereka, maka tidak heran kalau mereka tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Ulama Syiah tentang Bagaimana Syiah sebenarnya. Padahal mereka Ulama Syiah jelas lebih tahu tentang mahzab Syiah ketimbang orang lain. Kaidah tidak percaya adalah sah-sah saja tetapi hal itu harus dibuktikan.

Ketidakpercayaan yang tak berdasar jelas sebuah kesalahan. Apa salahnya jika mereka mau merendah hati sejenak mendengarkan apa yang dikatakan ulama syiah tentang syiah dan jawaban ulama syiah terhadap pernyataan syaikh mereka, Insya Allah mereka tidak akan gegabah ikut-ikutan berteriak kafir kepada saudara mereka yang Syiah. Sayangnya sekali lagi mereka tidak mau tapi dengan mudahnya berteriak kafir.

Jadi wajar sekali kalau mereka yang berteriak itu tidak mengetahui bahwa setiap dalil dari syaikh mereka sudah dijawab oleh Ulama Syiah. Dan tidak sedikit dari dalil syaikh mereka itu yang merupakan kesalahpahaman dan sekedar tuduhan tak berdasar. Mereka yang berteriak itu akan berkata “syaikh kami telah berfatwa berdasarkan kitab-kitab syiah sendiri”.

Ho ho ho benar sekali dan ulama syiah bahkan telah menjawab syaikh mereka berdasarkan kitab syiah dan kitab yang menjadi pegangan kaum sunni. Tetapi sayang mereka tidak tahu, karena mereka bisanya cuma teriak saja. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.

Baiklah anggap saja kita tidak usah memusingkan segala tekstualitas antara ulama sunni dan syiah itu, maka cukup kiranya mereka yang berteriak.

Syiah kafir itu menjawab pertanyaan ini:
Apakah kafir orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah?
Apakah kafir orang yang menunaikan shalat?
Apakah kafir orang yang berpuasa di bulan Ramadhan?
Apakah kafir orang yang menunaikan zakat?
Apakah kafir orang yang berhaji ke Baitullah?


Saya yakin mereka bisa menjawab, dan jawabannya tidak, mana ada orang kafir yang seperti itu. Orang yang seperti itu jelas-jelas Muslim. Dan sudah menjadi hal yang umum kalau Syiah jelas mengucapkan syahadat, menunaikan shalat, puasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan haji ke Baitullah. Jadi jelas sekali Syiah itu Muslim.

Betapa mudahnya mulut mereka berbicara, sungguh aneh sekali ketika pikiran terperangkap dalam kurungan ashabiyah.

Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang Syiah, cukuplah penjelasan bahwa Syiah adalah Islam sama seperti Sunni, perbedaannya mereka Syiah berpedoman pada Ahlul Bait Nabi SAW.

Semoga saja siapapun yang belum mengenal Syiah tidak termakan dengan Fatwa-fatwa yang mengkafirkan syiah. Jika tidak tahu cukuplah diam dan lebih baik berprasangka baik. Jangan ikutan berteriak, biarkan saja mereka yang berteriak Syiah kafir. Dan Sekali lagi bagi mereka yang berteriak, Baca, baca lagi dan pikirkan baik-baik. Maaf, Jangan mau membodohi diri dan tampak seperti orang bodoh. Dengarkan ulama sunni yang lain, dan dengarkan pembelaan mereka Ulama Syiah. Jangan maunya sekedar berteriak. Ingatlah Semua orang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya.

Salam damai.

(Syiah-Ali/Sconprince/Haidarrein/ABNS)

Mengapa Hari Raya Fitrah (Iedul Fitri) ?


Bulan Ramadhan yang tengah kita hadapi ini diakhiri dengan sebuah hari yang disebut dengan hari raya fitrah ( iedul fitri ). Pada hari itu, umat Islam yang selama sebulan penuh berpuasa, berperang dengan hawa nafsu dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk merayakan sebuah kemenangan. Oleh karena itu, hari penutupan bulam Ramadhan disebut dengan hari raya ( 'ied ). Umat Islam pada umumnya mengenal dua hari raya; hari raya fitrah dan hari raya qurban. Namun, kalangan pengikut Ahlul bait as. mempunyai hari raya lebih dari dua hari raya tersebut. Mereka menyebut hari pengangkatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sebagai pengganti Nabi Saww. di Ghadir Khum sebagai hari raya, demikian pula dengan hari kelahiran Imam al Mahdi ( semoga Allah mempercepat kedatangannya ) sebagai hari raya. Malah ada sebuah keterangan dari salah seorang imam Ahlul bait as. bahwa setiap hari dimana Allah tidak dimaksiati adalah hari raya.

Oleh karena itu, pada hari penutupan bulan Ramadhan patut dirayakan secara sungguh-sungguh dan tepat. Tidak dirayakan dengan cara-cara yang justru berlawanan dengan haqiqat ibadah puasa itu sendiri. Kenapa demikian ?, karena ibadah puasa merupakan pengolahan mental dan pengendalian hawa nafsu yang bersifat maknawi ( spiritual ), maka merayakan hari raya fitrah harus sesuai dengan nila-nilai spiritual, bukan dengan bersenang-senang dengan materi. Tetapi, patut disesalkan sekali, justru pada hari itu, kaum muslimin berpesta pora dan bersenang-senang, seolah-seolah mereka telah bebas dari beban puasa yang melelahkan selama sebulan.

Untuk itu, kita harus me-rekonstruksi pemahaman kita tentang hari raya fitrah. Mengapa hari penutupan bulan Ramadhan disebut dengan hari raya fitrah ('iedul fitri) ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus memahami kata fitrah itu sendiri. Pertama, kata fithrah berasal dari kata fathoro yang berari menciptakan. Dalam ilmu shorf kata ini mengikuti wazan fi'lah (mashdar hay'at), yang berarti bentuk atau model perbuatan. Dengan demikian, kata fitrah berarti bentuk atau model (hay'at) ciptaan. Ringkasnya, manusia adalah makhluk Allah Swt. yang memiliki bentuk dan model ciptaan yang khas, yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Berkenaan dengan ini, Allah swt. berfirman, " Maka tegakkan (arahkan) wajahmu ke agama dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atas nya Ia menciptakan manusia. Dan tiada perubahan bagi ciptaan Allah ".(QS. al Rum: 30).

Ayat ini menegaskan bahwa agama yang lurus adalah fitrah yang Allah tetapkan untuk manusia. Dalam sebuah hadis dari Rasulullah saww. disebutkan bahwa, " Tidak ada bayi dilahirkan melainkan atas fitrah . Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi ". Hadis ini secara jelas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah Islam. Hal itu dapat dipahami dengan melihat kata-kata berikutnya , " Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi ". Islam di sini harus diartikan bahwa manusia secara asal mula ciptaannya dalam keadaan ber-tauhid dan meyakini wujud Allah swt. Jadi, sesuai dengan hadis ini, fitrah identik dengan Islam. Orang yang tidak meyakini Allah dan tidak bertauhid berarti telah keluar dari fitrahnya.

Dalam menjelaskan fitrah manusia atau merinci apa saja yang menjadi bagian dari fitrah manusia, terdapat banyak keterangan yang berbeda dan beragam. Namun, keragaman keterangan itu bermuara pada satu titik, yaitu bahwa setiap manusia ingin mendapatkan kesempurnaan yang haqiqi, dan kesempurnaan itu akan diraih dengan kesucian jiwa dan kebersihan hati. Dan itulah yang namanya fitrah. Jadi, manusia diciptakan oleh Allah dengan sebuah keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kesempurnaan yang sebenarnya. Imam Khomeini ra. dalam bukunya " Empat puluh hadis ", dengan amat indah menjelaskan panjang lebar tentang fitrah manusia untuk meraih kesempurnaan.

Kedua, meskipun manusia dilahirkan atau diciptakan dengan fitrah, namun dalam perjalanan hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan banyak aral melintang berupa hawa nafsu dan setan yang membelokkan manusia dari fitrahnya, sehingga terjadilah penyimpangan-penyimpangan, kekotoran-kekotoran dan tabir-tabir hitam yang mengakibatkan manusia jauh dari fitrahnya. Dan juga seringkali manusia dalam menentukan kesempurnaan yang dicari oleh dirinya mengalami kekeliruan.

Ketiga, Islam sebagai agama samawi mengingatkan kembali umat manusia tentang fitrah mereka. Imam Ali bin Abi Thalib dalam salah satu khutbahnya di Nahjul Balaghah, " Mereka ( para Nabi ) mengingatkan manusia akan fitrah yang terlupakan ".

Islam membawa pesan-pesan Allah, Pencipta alam semesta, untuk umat manusia dan memberikan penjelasan bahwa kesempurnaan haqiqi yang dicari oleh manusia hanya berada pada Allah swt. dan tidak bersemayam pada selainNya. Oleh karenanya, kesempurnaan itu harus dicari dari Allah saja. Untuk itu, dalam Islam ada program kerja yang dibuat oleh Allah, yang dengan mengikuti dan menjalankannya manusia bisa memperoleh kesempurnaan dan bisa kembali ke fitrahnya sendiri. Program kerja itu disebut dengan syariat Tanpa mengikuti syariat yang telah Allah susun, manusia tidak akan sampai ke kesempurnaan haqiqi dan tidak akan kembali ke fitrahnya. Semua ajaran Islam, khususnya rukun Islam yang lima, dirancang untuk mensucikan manusia dan mengembalikan manusia ke fitrahnya.

Kesimpulan dari tiga muqaddimah di atas adalah bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dalam keadaan bertauhid (baca: beragama monoteis) dan itulah kesempurnaan yang dicari manusia, kemudian karena dorongan hawa nafsu dan rayuan setan, manusia menjauh dari fitrahnya, maka Allah melalui agama Islam mengajak manusia untuk kembali ke fitrahnya dengan cara penyucian jiwa dan hati.

Akan kami sebutkan beberapa ajaran Islam yang bertujuan mengajak manusia ke fitrahnya, " Sesungguhnya sholat mencegah kekejian dan kemunkaran ". ( al 'Ankabut 45 ) Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa sholat yang benar dan khusyu' merupakan kekuatan yang dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan jahat. Kemunkaran adalah lawan dari kema'rufan. Seseorang yang meninggalkan perbuatan keji dan kemunkaran berarti dia adalah manusia yang suci dan bersih. Demikian pula berkenaan dengan zakat, " Ambillah dari harta mereka zakat yang akan membersihkan dan mensucikan mereka ".(QS. al Taubah: 103 ).

Jadi ajaran-ajaran Islam mengarah pada pensucian jiwa. Oleh karena itu, salah satu tugas Nabi saww. adalah mensucikan manusia. (lihat QS. al Baqarah: 129 dan 151 )


Puasa Sebagai Upaya Mensucikan Jiwa.

Ibadah puasa sebagai bagian dari ajaran Islam yang penting, juga ditujukan untuk pensucian jiwa para pelakunya. Kalau kita lihat ayat tentang diwajibkannya puasa, maka akan tampak dengan jelas bahwa puasa itu diwajibkan untuk menambah ketaqwaan kepada Allah swt., " Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa ".(QS. al Baqarah:183 )

Taqwa sebagaimana yang sering diartikan adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Imam Ali Zainal 'Abidin sa. Berkata bahwa taqwa adalah hendaknya Allah tidak mendapatkan kalian dikala Ia melarang kalian, dan tidak kehilangan kalian dikala Ia memerintah kalian.

Dari dua arti taqwa tersebut dapat dipahami bahwa orang yang benar-benar bertaqwa adalah orang yang selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan selalu menjauhi larangan-laranganNya. Dengan demikian, taqwa sama dengan kemakshuman dan kesucian. Orang bertaqwa adalah orang yang suci dan makshum.

Puasa sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi, ditujukan untuk taqwa, dengan demikian orang yang berpuasa dengan benar maka akan menjadi pribadi yang bertaqwa, suci dan bersih. Searah dengan ayat dan keterangan tadi, hadis Nabi Muhammad saww. yang berbunyi, " Barangsiapa berpuasa dengan dengan konsekwen ( iimanan ) dan konsisten ( ihtisaaban ), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat ".

Ibadah puasa merupakan upaya yang Allah buat untuk mensucikan manusia dan mengembalikan manusia ke fitrahnya. Kemudian kelebihan puasa dari ibadahnya lainnya adalah bahwa jaminan untuk suci dengan puasa lebih besar dari ibadah lainnya, karena, pertama, tempo ibadah puasa lebih panjang dari ibadah apapun dan kedua, ibadah puasa adalah ibadah yang sifatnnya pasif sehingga unsur riya' dalam ibadah puasa lebih kecil daripada ibadah lainnya.

Bulan Ramadhan adalah bulan penggemblengan umat Islam untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya. Selama sebulan kaum muslimin mampu untuk tidak mengikuti hawa nafsunya; makan, minum, bercampur dengan pasangannya dan lainnya, padahal itu halal. Oleh karena itu, seorang muslim yang dengan konsekwen ( iimanan ) dan konsisten (ihtisaaban ) menjalankan puasa, maka pada haqiqatnya ia telah bersih dari segala kotoran-kotoran hati dan ia telah berhasil kembali ke fitrahnya, atau dengan kata lain ia ber-iedul fitri.[]

(Sumber/ABNS)

Terkait Berita: