Bulan Ramadhan yang tengah kita hadapi ini diakhiri dengan sebuah hari yang disebut dengan hari raya fitrah ( iedul fitri ). Pada hari itu, umat Islam yang selama sebulan penuh berpuasa, berperang dengan hawa nafsu dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk merayakan sebuah kemenangan. Oleh karena itu, hari penutupan bulam Ramadhan disebut dengan hari raya ( 'ied ). Umat Islam pada umumnya mengenal dua hari raya; hari raya fitrah dan hari raya qurban. Namun, kalangan pengikut Ahlul bait as. mempunyai hari raya lebih dari dua hari raya tersebut. Mereka menyebut hari pengangkatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sebagai pengganti Nabi Saww. di Ghadir Khum sebagai hari raya, demikian pula dengan hari kelahiran Imam al Mahdi ( semoga Allah mempercepat kedatangannya ) sebagai hari raya. Malah ada sebuah keterangan dari salah seorang imam Ahlul bait as. bahwa setiap hari dimana Allah tidak dimaksiati adalah hari raya.
Oleh karena itu, pada hari penutupan bulan Ramadhan patut dirayakan secara sungguh-sungguh dan tepat. Tidak dirayakan dengan cara-cara yang justru berlawanan dengan haqiqat ibadah puasa itu sendiri. Kenapa demikian ?, karena ibadah puasa merupakan pengolahan mental dan pengendalian hawa nafsu yang bersifat maknawi ( spiritual ), maka merayakan hari raya fitrah harus sesuai dengan nila-nilai spiritual, bukan dengan bersenang-senang dengan materi. Tetapi, patut disesalkan sekali, justru pada hari itu, kaum muslimin berpesta pora dan bersenang-senang, seolah-seolah mereka telah bebas dari beban puasa yang melelahkan selama sebulan.
Untuk itu, kita harus me-rekonstruksi pemahaman kita tentang hari raya fitrah. Mengapa hari penutupan bulan Ramadhan disebut dengan hari raya fitrah ('iedul fitri) ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus memahami kata fitrah itu sendiri. Pertama, kata fithrah berasal dari kata fathoro yang berari menciptakan. Dalam ilmu shorf kata ini mengikuti wazan fi'lah (mashdar hay'at), yang berarti bentuk atau model perbuatan. Dengan demikian, kata fitrah berarti bentuk atau model (hay'at) ciptaan. Ringkasnya, manusia adalah makhluk Allah Swt. yang memiliki bentuk dan model ciptaan yang khas, yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Berkenaan dengan ini, Allah swt. berfirman, " Maka tegakkan (arahkan) wajahmu ke agama dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atas nya Ia menciptakan manusia. Dan tiada perubahan bagi ciptaan Allah ".(QS. al Rum: 30).
Ayat ini menegaskan bahwa agama yang lurus adalah fitrah yang Allah tetapkan untuk manusia. Dalam sebuah hadis dari Rasulullah saww. disebutkan bahwa, " Tidak ada bayi dilahirkan melainkan atas fitrah . Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi ". Hadis ini secara jelas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah Islam. Hal itu dapat dipahami dengan melihat kata-kata berikutnya , " Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi ". Islam di sini harus diartikan bahwa manusia secara asal mula ciptaannya dalam keadaan ber-tauhid dan meyakini wujud Allah swt. Jadi, sesuai dengan hadis ini, fitrah identik dengan Islam. Orang yang tidak meyakini Allah dan tidak bertauhid berarti telah keluar dari fitrahnya.
Dalam menjelaskan fitrah manusia atau merinci apa saja yang menjadi bagian dari fitrah manusia, terdapat banyak keterangan yang berbeda dan beragam. Namun, keragaman keterangan itu bermuara pada satu titik, yaitu bahwa setiap manusia ingin mendapatkan kesempurnaan yang haqiqi, dan kesempurnaan itu akan diraih dengan kesucian jiwa dan kebersihan hati. Dan itulah yang namanya fitrah. Jadi, manusia diciptakan oleh Allah dengan sebuah keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kesempurnaan yang sebenarnya. Imam Khomeini ra. dalam bukunya " Empat puluh hadis ", dengan amat indah menjelaskan panjang lebar tentang fitrah manusia untuk meraih kesempurnaan.
Kedua, meskipun manusia dilahirkan atau diciptakan dengan fitrah, namun dalam perjalanan hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan banyak aral melintang berupa hawa nafsu dan setan yang membelokkan manusia dari fitrahnya, sehingga terjadilah penyimpangan-penyimpangan, kekotoran-kekotoran dan tabir-tabir hitam yang mengakibatkan manusia jauh dari fitrahnya. Dan juga seringkali manusia dalam menentukan kesempurnaan yang dicari oleh dirinya mengalami kekeliruan.
Ketiga, Islam sebagai agama samawi mengingatkan kembali umat manusia tentang fitrah mereka. Imam Ali bin Abi Thalib dalam salah satu khutbahnya di Nahjul Balaghah, " Mereka ( para Nabi ) mengingatkan manusia akan fitrah yang terlupakan ".
Islam membawa pesan-pesan Allah, Pencipta alam semesta, untuk umat manusia dan memberikan penjelasan bahwa kesempurnaan haqiqi yang dicari oleh manusia hanya berada pada Allah swt. dan tidak bersemayam pada selainNya. Oleh karenanya, kesempurnaan itu harus dicari dari Allah saja. Untuk itu, dalam Islam ada program kerja yang dibuat oleh Allah, yang dengan mengikuti dan menjalankannya manusia bisa memperoleh kesempurnaan dan bisa kembali ke fitrahnya sendiri. Program kerja itu disebut dengan syariat Tanpa mengikuti syariat yang telah Allah susun, manusia tidak akan sampai ke kesempurnaan haqiqi dan tidak akan kembali ke fitrahnya. Semua ajaran Islam, khususnya rukun Islam yang lima, dirancang untuk mensucikan manusia dan mengembalikan manusia ke fitrahnya.
Kesimpulan dari tiga muqaddimah di atas adalah bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dalam keadaan bertauhid (baca: beragama monoteis) dan itulah kesempurnaan yang dicari manusia, kemudian karena dorongan hawa nafsu dan rayuan setan, manusia menjauh dari fitrahnya, maka Allah melalui agama Islam mengajak manusia untuk kembali ke fitrahnya dengan cara penyucian jiwa dan hati.
Akan kami sebutkan beberapa ajaran Islam yang bertujuan mengajak manusia ke fitrahnya, " Sesungguhnya sholat mencegah kekejian dan kemunkaran ". ( al 'Ankabut 45 ) Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa sholat yang benar dan khusyu' merupakan kekuatan yang dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan jahat. Kemunkaran adalah lawan dari kema'rufan. Seseorang yang meninggalkan perbuatan keji dan kemunkaran berarti dia adalah manusia yang suci dan bersih. Demikian pula berkenaan dengan zakat, " Ambillah dari harta mereka zakat yang akan membersihkan dan mensucikan mereka ".(QS. al Taubah: 103 ).
Jadi ajaran-ajaran Islam mengarah pada pensucian jiwa. Oleh karena itu, salah satu tugas Nabi saww. adalah mensucikan manusia. (lihat QS. al Baqarah: 129 dan 151 )
Puasa Sebagai Upaya Mensucikan Jiwa.
Ibadah puasa sebagai bagian dari ajaran Islam yang penting, juga ditujukan untuk pensucian jiwa para pelakunya. Kalau kita lihat ayat tentang diwajibkannya puasa, maka akan tampak dengan jelas bahwa puasa itu diwajibkan untuk menambah ketaqwaan kepada Allah swt., " Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa ".(QS. al Baqarah:183 )
Taqwa sebagaimana yang sering diartikan adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Imam Ali Zainal 'Abidin sa. Berkata bahwa taqwa adalah hendaknya Allah tidak mendapatkan kalian dikala Ia melarang kalian, dan tidak kehilangan kalian dikala Ia memerintah kalian.
Dari dua arti taqwa tersebut dapat dipahami bahwa orang yang benar-benar bertaqwa adalah orang yang selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan selalu menjauhi larangan-laranganNya. Dengan demikian, taqwa sama dengan kemakshuman dan kesucian. Orang bertaqwa adalah orang yang suci dan makshum.
Puasa sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi, ditujukan untuk taqwa, dengan demikian orang yang berpuasa dengan benar maka akan menjadi pribadi yang bertaqwa, suci dan bersih. Searah dengan ayat dan keterangan tadi, hadis Nabi Muhammad saww. yang berbunyi, " Barangsiapa berpuasa dengan dengan konsekwen ( iimanan ) dan konsisten ( ihtisaaban ), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat ".
Ibadah puasa merupakan upaya yang Allah buat untuk mensucikan manusia dan mengembalikan manusia ke fitrahnya. Kemudian kelebihan puasa dari ibadahnya lainnya adalah bahwa jaminan untuk suci dengan puasa lebih besar dari ibadah lainnya, karena, pertama, tempo ibadah puasa lebih panjang dari ibadah apapun dan kedua, ibadah puasa adalah ibadah yang sifatnnya pasif sehingga unsur riya' dalam ibadah puasa lebih kecil daripada ibadah lainnya.
Bulan Ramadhan adalah bulan penggemblengan umat Islam untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya. Selama sebulan kaum muslimin mampu untuk tidak mengikuti hawa nafsunya; makan, minum, bercampur dengan pasangannya dan lainnya, padahal itu halal. Oleh karena itu, seorang muslim yang dengan konsekwen ( iimanan ) dan konsisten (ihtisaaban ) menjalankan puasa, maka pada haqiqatnya ia telah bersih dari segala kotoran-kotoran hati dan ia telah berhasil kembali ke fitrahnya, atau dengan kata lain ia ber-iedul fitri.[]
(Sumber/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email