Imam Ali bin Abi Thalib as sendiri mendukung para khalifah waktu itu, tapi kenapa kalian (orang-orang syi’ah) menolak kekhalifah mereka?
Sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as terhadap para khalifah dapat ditinjau dari dua sudut:
Pengakuan secara resmi terhadap kekhalifahan mereka.
Kerjasama dengan pemerintahan mereka dalam menyelasaikan masalah keagamaan dan kendala politik.
Dua sudut tinjau ini mesti dipisahkan. Dan tentu saja sikap Amirul Mukminin Ali as dalam hal pertama adalah negatif atau menolak keabsahan khilafah mereka, sedangkan sikap beliau dalam hak kedua adalah positif atau membantu mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan agama dan politik.
Terkait bukti akan sikap negatif beliau dalam hal pertama, perlu diperhatikan bahwa:
Pertama-tama, bagaimana mungkin Amirul Mukminin Ali as mengakui kesahan khilafah mereka sementara dari sisi Allah Swt beliau dilantik sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam, khususnya pelantikan yang terjadi di Ghadir Khum? Khilafah, imamah, atau kepemimpinan beliau adalah hukum samawi (hukum langit) dan keputusan Ilahi yang tidak ada satu pihak pun yang berhak mengubahnya selain Allah Swt. Al-Qur’an mensinyalir:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan tidak -pula¬bagi perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan – yang lain- tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Kedudukan Amirul Mukminin Ali as sebagai imam, khalifah dan pemimpin bukanlah hak pribadi yang beliau sendiri berhak untuk berpaling darinya, melainkan ketetapan Ilahi yang tidak ada satu pihak pun yang berhak untuk mengubahnya. Namun demikian, bila kondisi tidak mendukung pihak terlantik untuk melaksanakan ketetapan itu maka asas maslahat menuntut dia untuk diam dan tidak sekali-kali menuntut dia untuk mendudukkan orang lain di posisinya.
Kedua, sejarah Saqifah dan penelitian tentang riwayat hidup Amirul Mukminin Ali as menunjukkan bahwa dalam tekanan yang paling kuat sekali pun beliau tetap tidak mengulurkan tangannya untuk berbaiat kepada khalifah-khalifah semasa hidupnya.
Di dalam salah satu suratnya, Muawiyah menuliskan kepada Amirul Mukminin Ali as, “Engkaulah orang yang ditarik paksa untuk berbaiat seperti unta yang diikat.” Pernyataan ini membuktikan bahwa tekanan yang beliau alami untuk berbaiat telah sampai pada titik beliau diseret dari rumahnya secara paksa untuk melakukan baiat kepada khalifah di masjid.
Dalam jawaban surat itu, Amirul Mukminin Ali as tidak menolak realitas kebiadaban orang-orang itu terhadap dirinya, bahkan beliau menekankan bahwa itu salah satu bukti keteraniayaan dirinya. Beliau menuliskan, ‘Kamu katakan bahwa mereka menyeretku seperti unta yang terikat untuk melakukan baiat. Aneh sekali! Sumpah demi Allah Swt, dengan kata-kata itu kamu sebenarnya ingin mencelaku, tapi secara tidak sadar kamu sedang memujiku. Kamu sebenamya ingin mempermalukanku, tapi ternyata (dengan kata-kata itu) kamu sendiri yang dipermalukan. Bagi seorang muslim, keteraniayaan bukanlah cela selama dia tidak bimbang dalam hal agamanya dan tidak meragukan keyakinannya.’[1]
Ketiga, Bukhari dalam bab “Maghazi“ meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad yang sampai kepada Aisyah bahwa, ‘Fathimah putri Nabi Saw mengutus seseorang kepada Abu Bakar untuk menuntut agar tiga halnya (haknya) dikembalikan:
1. Warisan dia dari Rasulullah Saw.
2. Tanah Fadak.
3. Apa yang tersisa dari khumus ghanimah Perang Khaibar.
Menanggapi tuntutan itu, Abu Bakar mengatakan, ‘Aku dengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Kami tidak mewariskan, -sedangkan- apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.’ Padahal, tanggungan hidup keluarga Nabi Saw ditunaikan dengan harta itu.’ Sampai kemudian dia (Aisyah) mengatakan, ‘Fathimah murka terhadap sikap negatif Abu Bakar, dia meninggalkannya dan sejak itu dia tidak lagi berbicara dengannya, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari enam bulan setelah wafatnya Nabi Saw.’
Ketika Fathimah sa meninggal, suami beliau Amirul Mukminin Ali as menguburkannya malam hari dan tidak memberitahu Abu Bakar perihal kematian beliau. Dan selama beliau (Fathimah sa) hidup, Amirul Mukminin Ali as tidak pernah berbaiat kepada Abu Bakar.[2]
Hadis di atas membuktikan bahwa selama enam bulan Amirul Mukminin Ali as beserta istrinya menolak untuk berbaiat kepada khalifah. Seandainya kekhalifahan Abu Bakar itu sah dan memenuhi persyaratan, lalu kenapa putri Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa meninggal dunia dalam keadaan murka kepadanya dan kenapa suami beliau Amirul Mukminin Ali as juga selama enam bulan menolak untuk berbaiat kepadanya?!
Di sini terdapat kontradiksi dalam pandangan Ahli Sunnah; karena, para sejarawan sepandangan bahwa putri Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa sama sekali tidak berbaiat kepada khalifah, bahkan sampai akhir hayatnya beliau tidak mau berbicara dengannya. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa selama putri Nabi Saw hidup maka suami beliau Amirul Mukminin Ali as juga tidak berbaiat dengan khalifah Abu Bakar, dan baru setelah enam bulan dari awal kejadian Saqifah beliau berbaiat -secara paksa- dengannya.[3]
Di sisi lain kita melihat kitab-kitab hadis Shohih dan Musnad dari kalangan Ahli Sunnah sendiri meriwayatkan bahwa barangsiapa yang tidak berbaiat kepada imam (pemimpin atau khalifah yang sah) pada zamannya maka dia mati dalam keadaan jahiliyah. Muslim di dalam kitab Shohih meriwayatkan, “Barangsiapa mati tanpa baiat kepada imam maka dia mati jahiliyah.”[4] Ahmad bin Hanbal juga di dalam kitab Musnad meriwayatkan, “Barangsiapa mati tanpa mengenal imamnya, maka dia mati seperti orang-orang jahiliyah.”[5]
Sekarang, bagaimana kita dapat membenarkan dua hal tersebut di atas? Dari satu sisi, rida Siti Fathimah Zahra sa putri Rasulullah Saw adalah tolok ukur rida Allah Swt dan murkanya adalah tolok ukur murka Allah Swt, di samping itu beliau juga merupakan penghulu para wanita alam semesta.[6] maka sudah barang tentu orang yang berkarakteristik seperti ini adalah orang yang suci atau maksum. Di sisi lain, Siti Fathimah Zahra sa putri Nabi Saw ini tidak berbaiat kepada khalifah Abu Bakar dan beliau meninggal dunia bertemu Tuhannya dalam keadaan tanpa baiat kepada khalifah tersebut.
Selanjutnya, kontradiksi ini bisa diselesaikan dengan salah satu dari dua cara: yang pertama adalah kita katakan bahwa kematian Siti Fathimah Zahra sa putri Nabi Saw yang merupakan tolok ukur rida dan murka Allah Swt serta penghulu para wanita surga mati dalam keadaan jahiliyah karena tidak berbaiat kepada imam pada zamannya -naudzu billah-. Yang kedua adalah kita katakan bawha khalifah yang memimpin pada masa hidupnya bukanlah imam yang sah pada zamannya, melainkan dia telah merebut tampuk kekhalifahan secara tidak sah, sedangkan imam yang sah pada zaman itu adalah imam yang dilantik oleh Allah Swt melalui nabi-Nya di Ghadir Khum, dan sejak hari pertama dari pelantikan itu Siti Fathimah Zahra sa telah berbaiat kepadanya, bahkan selama nyawa masih berada di tubuhnya beliau tidak pemah berhenti mendukung imam sah yang telah beliau baiat.
Keempat, kata-kata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sendiri telah berulangkali menunjukkan bahwa beliau sampai akhir hayatnya tetap meyakini dirinya sebagai imam atau khalifah Allah Swt yang sah, dan sesungguhnnya kekhalifahan adalah hak beliau yang tidak boleh diganggu-gugat tapi pada kenyataan telah dirampas oleh orang lain. Dalam hal ini, selain pidato populer beliau yang disebut dengan Pidato Syiqsyiqiyah, pemyataan-pemyataan lain beliau juga membuktikan terjadinya perampasan kekhalifahan oleh orang lain. Di sini, kami hanya akan menukil sebagian kecil dari pemyataan beliau:
A. ‘Sumpah demi Allah! Sejak hari wafatnya Rasulullah Saw sampai sekarang, hakku yang pasti telah dirampas.’[7]
B. ‘Di tengah perkumpulan, ada seorang yang berkata kepadaku, ‘Hai putara Abu Thalib! Engkau orang yang serakah terhadap kekhalifahan.’ Aku katakan kepadanya, ‘Bahkan kalianlah yang serakah, kalian lebih jauh dari Nabi Saw sedangkan aku adalah orang yang paling dekat dengan beliau baik dari sisi ruh maupun tubuh. Aku hanya menuntut hakku, sedangkan kalian ingin memisahkanku dari hakku yang pasti dan menghalangiku darinya. Mana lebih serakah orang yang menuntut haknya dan orang yang merebut hak orang lain tersebut?’ Begitu aku gugurkan dia dengan bukti yang kuat di hadapan hadirin maka dia baru sadar dan tidak punya jawaban apa-apa untuk dia sampaikan.’[8]
Tidak diketahui siapa si pemrotes itu dan kapan protes itu dia lontarkan. Ibnu Abil Hadid mengatakan, ‘Si pemrotes itu adalah Sa’ad bin Waqash, dan itu terjadi pada hari Syura.’ Kemudian dia mengatakan, ‘Tapi kelompok Imamiyah punya pandangan bahwa si pemrotes itu adalah Abu Ubaidah Jarrah, dan itu terjadi pada hari Saqifah.’
Selanjutnya Amirul Mukminin Ali as berkata, ‘Ya Allah! aku adukan kezaliman Quraisy dan para pendukung mereka kepada-Mu. Mereka telah memutus silaturahmi denganku dan melecehkan kedudukan muliaku. Mereka melakukan kesepakatan dalam hal yang merupakan hak istimewaku, dan mereka bangkit melawanku.’[9]
Sampai di sini jelas sekali bahwa Amirul Mukminin Ali as tidak pemah berdamai dengan para khalifah dalam hal imamah dan khilafah, senantiasa beliau menyampaikan keteraniayaannya dan memberitahukan generasi setelahnya tentang hakikat yang sebenarnya terjadi.
Hal kedua yang menjadi sudut tinjauan kita di sini adalah kerjasama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dengan badan kekhalifahan atau pemerintah dalam persoalan agama dan politik serta penyelesaian terhadap berbagai kendala yang dihadapi oleh para khalifah. Terang saja sikap beliau dalam hal ini betul-betul positif. Di dalam salah satu suratnya beliau menjelaskan alasan kerjasama beliau dengan badan pemerintah saat itu. Berikut ini kami akan menukil terjemahan surat beliau:
‘Sumpah demi Allah! Tidak pernah aku membayangkan sebelumnya bahwa bangsa Arab sepeninggal Rasulullah Saw akan memalingkan urusan imamah dan kepemimpinan dari Ahli Bait suci beliau -dan mendudukkannya di tempat lain-, mereka telah menjauhkan kepemimpinan itu dariku! Satu-satunya hal yang menyakitkanku adalah perkumpulan orang-orang di sekitar Fulan … dimana mereka berbaiat kepadanya. Aku letakkan tangan di atas tanganku sampai-sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada sekelompok orang yang berpaling dari Islam dan ingin menghancurkan agama Nabi Muhammad Saw. -Di sinilah- Aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan orang-orang muslim niscaya aku akan menyaksikan keretakan dan kehancuran dalam Islam, dimana bencana ini bagiku lebih besar daripada bencana melepas kekhalifahan dan pemerintahan terhadap kalian; karena, masa ini adalah masa pendek kehidupan dunia yang cepat lalu dan berakhir, seperti fatamorgana yang lekas hilang dan laksana awan yang cepat berhamburan. Karena itu, aku bangkit demi menolak jangan sampai hal-hal yang lebih buruk itu terjadi, sehingga kebatilan pun tersingkirkan dan agama tetap tegak kuat.’[10]
Surat ini menerangkan secara gamblang bahwa meskipun Amirul Mukminin Ali as mengkritik badan khilafah dan pemerintahan pada zamannya, beliau tetap bekerjasama dengan mereka sampai batas-batas yang memungkinkan dan beliau senantiasa menyelesaikan kendala keilmuan serta politik mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
Catatan :
[1] Nahj Al-Balaghoh, surat no. 28.
[2] Shohih Bukhari, Bab Ghozwah Khaibar, hadis no. 4241.
[3] Shohih Bukhari, Kitab Fardhu Khumus, hadis no. 3093.
[4] Shohih Muslim, Bab Amarah, hal. 58, hadis no. 88.
[5] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 96.
[6] Mustadrok Hakim, jld. 3, hal. 156.
[7] Nahj Al-Balaghoh, pidato no. 6.
[8] Ibid., pidato no. 172.
[9] Bihar Al-Anwar, jld. 29, hal. 605.
[10] Nahj Al-Balaghoh, surat no. 62.
(Islamic-Sources/Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)