Ibadah haji adalah rekonstruksi perjalanan Nabi Ibrahim as. mendaki puncak tauhid. Sebagai Bapak Tauhid, seluruh hidup Nabi Ibrahim adalah drama perjuangan menuju Allah. Pada saat lingkungannya terbelenggu dalam penyembahan tuhan-tuhan kecil, Ibrahim menyentak keluar memeluk Tuhan Mahaesa sebagai manusia yang terbebaskan.
Kepada masyarakat yang terbuai dan terhegemoni oleh imajinasi akan patung-patung kecil dan Patung Besar yang terbuat dari tanah, Nabi Ibrahim menyerukan pembebasan. Ia merevolusi masyarakat dengan menunjukkan (dengan kata-kata dan tindakan) bahwa benda-benda pahatan mereka itu pada dasarnya tidak akan mendatangkan kegunaan dan bahaya bagi siapa pun. Ketika kemudian raja jadi-jadian membakarnya, Raja Diraja menyelamatkannya. Api yang panas pun terasa sejuk olehnya. Selanjutnya, dengan lantang Ibrahim berkata: “Aku akan pergi menghadap Tuhanku; pasti Dia akan memberikan petunjuk kepadaku!” (QS 37: 99)
Allah kemudian memerintahkannya untuk membersihkan Rumah Allah (baitullah) dari kemusyrikan. Dalam usianya yang sudah lanjut, dibantu anaknya, Ismail, Ibrahim memugar Ka’bah dan membersihkannya dari simbol-simbol kemusyrikan. Pemugaran itu terdiri dari berbagai upacara simbolis yang kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji.
Salah satu upacara yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah wuquf di Arafah. Dalam bahasa Arab, wuquf artinya berdiam diri dan menghentikan gerak fisik, untuk sejenak menyatu dengan Sang Pencipta. Dan Arafah yang berarti pengakuan (confession) adalah bukit tempat Nabi Ibrahim melakukan penjarakan dan penjedaan (disengagement) dnegan lingkungan semu dunia materi. Terbanglah ia ke pelukan Ilahi, bercengkerama dengan Sang Kekasih, dan bermanja-manja dengan Sang Pencipta. Dalam keheningan sahara, suara lirih Nabi Ibrahim bergema memenuhi angkasa. Seiring dengan untaian talbiyah (labbaika allahumma labbaik…), munajat Nabi Ibrahim bergerak naik ke langit, menembus batas-batas ruang dan bergabung dengan tasbih dan tahmid para malaikat pemikul Arsy.
Ribuan tahun setelah itu, cucu Nabi Ibrahim yang saleh, Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, menjalani upacara yang sama. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Al Husein pada sore hari Arafah keluar dari kemahnya dengan badan merunduk penuh khidmat dan berjalan pelan-pelan menuju bukit Arafah. Dia membawa seluruh keluarganya. Di sana, dia menghadap kiblat dan mulai berdoa. Tangannya menengadah ke langit layaknya seorang pengemis.
“Segala puji bagi Allah yang keputusan-Nya pasti berlaku dean pemberian-Nya tak pernah berlalu. Tiada ciptaan seperti ciptaan-Nya. Mahapemurah lagi Mahaleluasa … Pendengar semua doa, Penolak semua bencana, Peninggi semua derajat, Pemusnah semua durjana… Dialah Mahapendengar, Mahamelihat, Mahalembut, Mahatahu, dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berharap…”
Setelah panjang lebar mengalunkan puji-pujian, dengan nada yang lebih gigih Al-Husein mulai memohon:
“Ya Allah, buatlah aku takut kepada-Mu seolah (sedang) melihat-Mu. Bahagiakanlah aku dengan ketakwaan kepada-Mu, dan jangan sengsarakan aku dengan kemaksiatan kepada-Mu. Pilihkanlah untukku apa yang telah menjadi ketentuan-Mu dan berkatilah aku dalam (menjalankan semua) ketentuan-Mu, sehingga tak lagi aku ingin menyegerakan apa yang Kau tunda dan menunda apa yang Kau segerakan.
Ya Allah, jadikanlah kekayaanku di dalam jiwaku. Tanamkan keyakinan di dalam hatiku, hadirkan keikhlasan di dalam tindakanku, pancarkan cahaya di dalam penglihatanku, bashirah (mata hati) di dalam agamaku…”
Ditingkahi suara amin dan isak tangis sanak keluarga dan sahabat-sahabat yang melingkar di sekelilingnya, Al Husein kemudian melanjutkan:
“Tuhanku, akulah orang yang fakir saat (aku merasa) kaya, bagaimana aku tidak (merasa) fakir saat (aku benar-benar) fakir. Tuhanku, akulah orang bodoh saat (aku merasa) pandai, bagaimana aku tidak (merasa) bodoh saat (aku benar-benar) bodoh…
Ilahi, Kau sifati Diri-Mu dengan kelembuatan dan belas kasih kepada diriku sebelum adanya kelemahanku, maka apa (mungkin) Kau cegah aku dari keduanya setelah adanya kelemahanku. Sungguh merugi orang yang berpaling dari-Mu! Mengapa mesti mengharap kepada selain-Mu, padahal Kau tak pernah berhenti (melimpahkan) kebaikan? Mengapa mesti meminta kepada selain-Mu, padahal Kau tak pernah meninggalkan kebiasaan memberi? Wahai yang memberikan rasa lezat keintiman kepada para kekasih-Nya, sehingga semua jadi tertunduk di hadapan-Nya, sehingga semua jadi meminta ampun kepada-Nya… Engkaulah yang memulai kebaikan sebelum para hamba memohon, bermurah dengan pemberian sebelum para hamba memohon, bermurah denagn pemberian sebelum ada yang meminta.”
(Al-Hassanain/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email