Suasana sidang uji materi UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (Foto: Republika)
Setara Institute menyatakan undang-undang tentang penodaan agama di dalamnya terdapat pasal karet dan bersifat diskriminatif serta tak sesuai dengan prinsip HAM.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP, dianggap multitafsir dan juga cenderung diskriminatif. Istilah penodaan agama dan penistaan agama sebenarnya tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM.
“Dasarnya itu diskriminatif, tidak boleh ada produk hukum di republik ini bertentangan dengan jaminan yang ada dalam konstitusi kita. Bagaimana dia tidak diskriminatif tidak memberikan kepastian hukum. Orang menafsirkan kalau berbeda dengan MUI itu bisa dipenjara, sementara kalau penafsiran itu merupakan ekspresi verbal dari pemikiran kita dan itu sama saja mengadili pikiran kita itu kan tidak mungkin,” kata Ismail.
Menurut Ismail, kasus penistaan agama tidak bisa diproses melalui jalur hukum karena agama sendiri bersifat abstrak dan sulit untuk mengukur sejauh apa seseorang dikatakan menista agama.
“Penodaan agama dan penistaan agama tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM. Kasus penodaan agama tidak bisa diselesaikan melalui produk hukum karena sifatnya abstrak. Jika dipaksakan maka jadi banyak kontroversi,” ujarnya.
Ismail mengatakan selama ini tekanan massa seringkali dijadikan pertimbangan dalam penyidikan kasus dugaan penodaan agama, dibandingkan unsur pidananya. Tetapi menurut dia, polisi tetap dapat melakukan penyidikan yang objektif dan harus berani mengatakan jika memang tak ada unsur pidana dalam penyidikan yang dilakukan.
Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam juga mengatakan, pasal pada undang-undang penodaan agama merupakan pasal karet dan tidak memberikan kepastian hukum. Pada umumnya dalam kasus penistaan agama, polisi menggunakan logika ketersinggungan perasaan, bukan materiil perbuatan yang menjadi acuan.
“Pasal itu sangat lentur dalam penerapannya dan tidak memberi kepastian hukum. Pola umumnya polisi menggunakan logika soal perasaan atau ketersinggungan dalam menetapkan tersangka penista agama,” ujar Choirul Kamis 17 November 2016 sebagaimana diberitakan Kompas
UU penyalahgunaan dan atau/ penodaan agama ini diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani aliran-aliran kebatinan yang muncul pada masa itu.
Sejak diterbitkan sampai 1998 hanya ada 10 kasus penodaan agama. Sebagian dugaan penodaan agama ini dikenakan ke Arswendo Atmowiloto, HB Jassin, dan Tajul Muluk. Mereka yang dikenakan pasal penodaan agama tidak pernah ada yang lolos dari Pasal 156 a.
Choirul menuturkan, pasca-reformasi Pasal 156 a cenderung sering digunakan karena perumusannya yang longgar. Namun, tujuannya bergeser keluar dari konteks agama dan penegakan hukum, melainkan politik.
“Tidak pernah ada yang lolos dari tuntutan penistaan agama menggunakan Pasal 156 a. Ada yang pernah lolos, tetapi dikenakan Pasal 157. Pasal ini selalu berkelindan dengan kepentingan politik atau di luar persoalan agama dan hukum,” ucapnya.
Choirul menjelaskan, dalam menetapkan status tersangka, seharusnya ada dua unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 156 a KUHP.
Pertama, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Kedua, unsur maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Choirul mencontohkan pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengutip surat Al Maidah ayat 51. Menurutnya, sulit untuk membuktikan apakah Ahok mencoba menghasut orang untuk meninggalkan agama tertentu.
“Seharusnya kasus Ahok tidak bisa dilanjutkan karena unsur kedua tidak terpenuhi. Kedua unsur jadi satu kesatuan, bukan dipisah seperti kebanyakan anggapan ahli pidana saat ini,” kata Choirul,
Ketua Lembaga Penelitan dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad menilai setiap proses hukum dalam kasus penodaan agama sangat bersifat subyektif.
“Selain itu kecenderungannya, aparat hukum mengikuti selera massa, seperti di kasus Lia Eden, Gafatar, dan kasus HB Jassin,” ujar Rumadi.
“Perasaan selalu dipakai dalam kasus penistaan agama. Ukuran obyektifnya tidak ada, hanya mengandalkan perasaan,” lanjutnya.
Setara bersama dengan organisasi lain dan individu pernah mengajukan uji materi Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun ditolak Mahkamah Konsitusi. Pada 2013, UU yang sama pernah diajukan kembali ke MK, tetapi ditolak.
Kini, seruan penghapusan UU penodaan agama kembali disuarakan oleh Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain. Ia mengatakan sudah seharusnya aturan mengenai penistaan agama dihapuskan, yaitu UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Sebab, dianggap sebagai alat untuk kepentingan politik.
“UU tentang penistaan agama kalau bisa dihapuskan. Inikan sebenarnya karena ada pasal itu. Sepanjang itu masih ada itu pasti dimanfaatkan. Kita melihat banyak hal dimanfaatkan untuk justru tidak hanya mendiskriditkan satu golongan atau keyakinan bahkan bisa menjadi pembunuhan. Kita tahu Cikesik Ahmadiyah itu bagaimana. Padahal kan mereka hadir dalam konteks keberagaman Indonesia,” katanya, Jumat 18 November 2016 sebaimana diberitakan Berita Satu.
Sebagai gantinya, Bahrain mendesak agar aparat kepolisian menindaktegas para penyebar kebencian dan kekerasan. Termasuk, pihak yang menyebarkan isu SARA. Sebab, jika dibiarkan akan menjadi gangguan keamanan yang serius.
“Jangan sampai gangguan keamanan ini tidak bisa ditangai, ujungnya darurat militer. Kudeta jadinya kan. Ketika dalam kondisi betul-betul tidak tertib, konflik horizontal di mana-mana, itu memungkinan (kudeta),” ujarnya.
(Republika/Kompas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email