Kaum Donme dipaksa menjadi muslim. Jumlah mereka kini sekitar dua ribu orang dan merahasiakan identitas.
Beberapa tahun lalu, seniman Memo Kosemen berkeliling tempat pemakaman di Kota Istanbul, Turki.
"Saya tengah mencari batu-batu nisan ini untuk penghibur hati," katanya kepada the Media Line Juni lalu, saat ditemui di studionya di kawasan elite Besiktas di Istanbul. Di salah satu pekuburan muslim itulah dia menemukan kubur-kubur kaum Donme dalam keadaan rusak.
Donme adalah sebuah sekte Yahudi rahasia pernah hidup di zaman Kesultanan Usmaniyah. Namun mereka mendapat cap buruk disokong beragam teori konspirasi bombastik dan dipaksa berasimilasi ke dalam masyarakat Turki atau merahasiakan identitas mereka saat Turki berubah menjadi republik.
Sekarang saat rezim AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa, mereka memaksa Islam Sunni masuk ke dalam kehidupan masyarakat di Turki. "Mereka berusaha memaksa semua orang menjadi muslim Sunni," ujar Kosemen, juga keturunan penganut Donme.
Di abad-abad terakhir Kesultanan Usmaniyah, kelompok minoritas Donme kebanyakan tinggal di Salonika (kini bernama Thessaloniki, Yunani), Kota berpenduduk mayoritas orang Yahudi ini dikenal dengan julukan 'Yerusalemnya Balkan'. Hingga awal abad ke-20 kaum Donme diperkirakan berjumlah 15 ribu orang. Mereka adalah pengikut Rabbi Sabbatai Zevi, diyakini sebagai Juru Selamat.
Rabbi Zevi, orang Yahudi Sephardi, secara terbuka masuk Islam pada 1666 setelah Sultan Mehmet IV memberi dia dua pilihan: bersyahadat atau dihukum mati. Sebagian besar pengikut meninggalkan Zevi dan hanya 300 keluarga setia ikut masuk Islam. Meski begitu, mereka diam-diam mempraktekkan ajaran yahudi versi Zevi, dipengaruhi oleh tradisi Sufi dan terpecah ke dalam tiga sekte.
"Mereka telah mengembangkan sebuah filosofi sangat unik memisahkan mereka dari mistisme Yahudi dan Sufisme," tutur Cengiz Sisman, profesor sejarah di the University of Houston sekaligus penulis buku mengenai komunitas Donme, The Burden of Silence. "Bagi mereka Juru Selamat sudah datang."
Dalam bahasa Ibrani, kaum Donme menyebut diri mereka Maminim atau orang beriman. Tapi di Turki mereka dikenal dengan sebutan Donme, berarti mualaf atau bisa juga berarti negatif, yakni orang yang menyamar.
Komunitas Donme sangat tertutup. Mereka hanya menikah dengan sesama penganutnya. Mereka membangun permukiman, sekolah, pengadilan, pekuburan, dan rumah ibadah khusus untuk mereka sendiri. Banyak penganut Donme menjadi orang tajir dan terdidik, mempelopori inovasi di berbagai sektor, seperti pendidikan, arsitektur, reformasi perkotaan, dan perdagangan.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama dan runtuhnya Kesultanan Usmaniyah, kaum Donme secara resmi diakui sebagai muslim, dipaksa pindah ke Istanbul sebagai bagian dari pertukaran penduduk Kristen-Muslim antara Yunani dan negara republik Turki baru berdiri pada 1923. Mereka kehilangan hampir semua kekayaan mereka. Namun kaum Donme tidak mampu membaur dengan masyarakat Turki didominasi orang Islam.
"Terusir dari Yunani karena mereka muslim, Donme disambut di Turki seolah mereka orang Yahudi," kata ahli sejarah Marc David Baer dari the London School of Economics, dalam bukunya The Dönme: Jewish Converts, Muslim Revolutionaries, and Secular Turks. "Mereka dianggap tidak setia, parasit penimbun harta, dan tidak mengorbankan kekayaan mereka bagi negara."
Akhirnya kaum Donme memilih merendah dan merahasiakan identitas keagamaan mereka. Dari 17 ribu orang Yahudi Sephardi sekarang hidup di Turki, sekitar dua ribu di antara mereka diyakini penganut Donme.
Di sebuah lingkungan sepi di Istanbul bagian Asia, dua penganut Donme berbeda sekte tengah asyik minum teh bareng. Cem dan Usman berjam-jam membahas sejarah Donme di Turki.
Cem besar di Michigan, Amerika Serikat, sedang Usman penggemar berat klub sepak bola Fenerbache. Keduanya lebih banyak membahas soal diskriminasi terhadap komunitas Donme.
"Selama berpuluh-puluh tahun, kaum Donme diperlakukan tidak adil," ujar Usman. Dia mencontohkan mereka dikenai pajak kekayaan, sebuah kebijakan pemerintah ditujukan bagi kaum non-muslim selama 1942-1944. Orang-orang nasionalis juga menggambar lambang Bintang Daud di rumah-rumah penganut Donme.
Meski begitu, keduanya sepakat Donme ikut berperan dalam ide kebangsaan Kemal Ataturk, seperti sekulerisme dan pencerahan. Kampung halaman Ataturk juga di Salonika dan dia belajar di sekolah kaum Donme.
"Atatur dan keluarga kami memiliki hubungan baik," tutur Cem. "Dia kelihatannya berpihak kepada kami (kaum Donme)."
Cem, berpandangan amat sekuler, lebih melihat Donme sebagai budaya ketimbang agama. "Menjadi penganut Donme bagi saya adalah bagian dari budaya (Yahudi) Sephardi," ujarnya.
Sedangkan Usman, dari sekte lebih religius, menjelaskan Donme itu sebuah mistisme. "Jika Anda membaca buku ditulis dengan tinta hitam, Anda harus melihat ada tinta putih di balik tinta hitam itu."
(The-Media-Line/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Sebuah tempat pekuburan di Kota Istanbul, Turki. (Foto: Ilustrasi/YouTube)
Beberapa tahun lalu, seniman Memo Kosemen berkeliling tempat pemakaman di Kota Istanbul, Turki.
"Saya tengah mencari batu-batu nisan ini untuk penghibur hati," katanya kepada the Media Line Juni lalu, saat ditemui di studionya di kawasan elite Besiktas di Istanbul. Di salah satu pekuburan muslim itulah dia menemukan kubur-kubur kaum Donme dalam keadaan rusak.
Donme adalah sebuah sekte Yahudi rahasia pernah hidup di zaman Kesultanan Usmaniyah. Namun mereka mendapat cap buruk disokong beragam teori konspirasi bombastik dan dipaksa berasimilasi ke dalam masyarakat Turki atau merahasiakan identitas mereka saat Turki berubah menjadi republik.
Sekarang saat rezim AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa, mereka memaksa Islam Sunni masuk ke dalam kehidupan masyarakat di Turki. "Mereka berusaha memaksa semua orang menjadi muslim Sunni," ujar Kosemen, juga keturunan penganut Donme.
Di abad-abad terakhir Kesultanan Usmaniyah, kelompok minoritas Donme kebanyakan tinggal di Salonika (kini bernama Thessaloniki, Yunani), Kota berpenduduk mayoritas orang Yahudi ini dikenal dengan julukan 'Yerusalemnya Balkan'. Hingga awal abad ke-20 kaum Donme diperkirakan berjumlah 15 ribu orang. Mereka adalah pengikut Rabbi Sabbatai Zevi, diyakini sebagai Juru Selamat.
Rabbi Zevi, orang Yahudi Sephardi, secara terbuka masuk Islam pada 1666 setelah Sultan Mehmet IV memberi dia dua pilihan: bersyahadat atau dihukum mati. Sebagian besar pengikut meninggalkan Zevi dan hanya 300 keluarga setia ikut masuk Islam. Meski begitu, mereka diam-diam mempraktekkan ajaran yahudi versi Zevi, dipengaruhi oleh tradisi Sufi dan terpecah ke dalam tiga sekte.
"Mereka telah mengembangkan sebuah filosofi sangat unik memisahkan mereka dari mistisme Yahudi dan Sufisme," tutur Cengiz Sisman, profesor sejarah di the University of Houston sekaligus penulis buku mengenai komunitas Donme, The Burden of Silence. "Bagi mereka Juru Selamat sudah datang."
Dalam bahasa Ibrani, kaum Donme menyebut diri mereka Maminim atau orang beriman. Tapi di Turki mereka dikenal dengan sebutan Donme, berarti mualaf atau bisa juga berarti negatif, yakni orang yang menyamar.
Komunitas Donme sangat tertutup. Mereka hanya menikah dengan sesama penganutnya. Mereka membangun permukiman, sekolah, pengadilan, pekuburan, dan rumah ibadah khusus untuk mereka sendiri. Banyak penganut Donme menjadi orang tajir dan terdidik, mempelopori inovasi di berbagai sektor, seperti pendidikan, arsitektur, reformasi perkotaan, dan perdagangan.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama dan runtuhnya Kesultanan Usmaniyah, kaum Donme secara resmi diakui sebagai muslim, dipaksa pindah ke Istanbul sebagai bagian dari pertukaran penduduk Kristen-Muslim antara Yunani dan negara republik Turki baru berdiri pada 1923. Mereka kehilangan hampir semua kekayaan mereka. Namun kaum Donme tidak mampu membaur dengan masyarakat Turki didominasi orang Islam.
"Terusir dari Yunani karena mereka muslim, Donme disambut di Turki seolah mereka orang Yahudi," kata ahli sejarah Marc David Baer dari the London School of Economics, dalam bukunya The Dönme: Jewish Converts, Muslim Revolutionaries, and Secular Turks. "Mereka dianggap tidak setia, parasit penimbun harta, dan tidak mengorbankan kekayaan mereka bagi negara."
Akhirnya kaum Donme memilih merendah dan merahasiakan identitas keagamaan mereka. Dari 17 ribu orang Yahudi Sephardi sekarang hidup di Turki, sekitar dua ribu di antara mereka diyakini penganut Donme.
Di sebuah lingkungan sepi di Istanbul bagian Asia, dua penganut Donme berbeda sekte tengah asyik minum teh bareng. Cem dan Usman berjam-jam membahas sejarah Donme di Turki.
Cem besar di Michigan, Amerika Serikat, sedang Usman penggemar berat klub sepak bola Fenerbache. Keduanya lebih banyak membahas soal diskriminasi terhadap komunitas Donme.
"Selama berpuluh-puluh tahun, kaum Donme diperlakukan tidak adil," ujar Usman. Dia mencontohkan mereka dikenai pajak kekayaan, sebuah kebijakan pemerintah ditujukan bagi kaum non-muslim selama 1942-1944. Orang-orang nasionalis juga menggambar lambang Bintang Daud di rumah-rumah penganut Donme.
Meski begitu, keduanya sepakat Donme ikut berperan dalam ide kebangsaan Kemal Ataturk, seperti sekulerisme dan pencerahan. Kampung halaman Ataturk juga di Salonika dan dia belajar di sekolah kaum Donme.
"Atatur dan keluarga kami memiliki hubungan baik," tutur Cem. "Dia kelihatannya berpihak kepada kami (kaum Donme)."
Cem, berpandangan amat sekuler, lebih melihat Donme sebagai budaya ketimbang agama. "Menjadi penganut Donme bagi saya adalah bagian dari budaya (Yahudi) Sephardi," ujarnya.
Sedangkan Usman, dari sekte lebih religius, menjelaskan Donme itu sebuah mistisme. "Jika Anda membaca buku ditulis dengan tinta hitam, Anda harus melihat ada tinta putih di balik tinta hitam itu."
(The-Media-Line/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email