Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS KULINER. Show all posts
Showing posts with label ABNS KULINER. Show all posts

Lelang Jelang Sahur, Nasi Mandi Terjual Seharga US$ 30 Ribu

Kelompok konservatif menilai orang-orang berniat baik tidak perlu mengikuti lelang amal dan mestinya menyumbangkan langsung uangnya ke masyarakat membutuhkan.

Nasi Mandi. (hibaskitchen.wordpress.com)

Sebuah lelang untuk amal digelar di Pulau Tarut, Provinsi Timur, Arab Saudi, berhasil menjual senampan nasi mandi, masakah khas Arab dengan lauk daging ayam atau kambing, seharga US$ 30.290 atau 113.600 riyal Saudi.

Abdullah al-Alaiwat, kepala lembaga amal lokal, bilang fulus hasil lelang bakal disumbangkan kepada anak-anak yatim dan kaum papa.

"Uang hasil lelang sebelum tiba waktu makan sahur terkumpul sejumlah 136.550 riyal," katanya seperti dilansir surat kabar Okaz Senin lalu. "Kami ingin mengajak masyarakat dan memastikan semua orang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan semacam ini."

Penduduk dunia maya menyambut positif lelang itu dan memuji semangat kebersamaan lewat kegiatan pengumpulan dana buat amal.

Namun kelompok konservatif menilai orang-orang berniat baik tidak perlu mengikuti lelang amal dan mestinya menyumbangkan langsung uangnya ke masyarakat membutuhkan.

Kaum muslim di seluruh dunia memang berlomba bersedekah dan berbuat kebaikan saban Ramadan.

(Arabian-Business/Gulf-News/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pedasnya Cabai, Sedapnya Sambal. Punya Beragam Fungsi Di Kalangan Suku Indian Purba di Amerika Latin, Cabai Merambah Dunia Dan Menjadi Bahan Makanan Populer Di Indonesia


DALAM Kesaksian tentang Bung Karno, Mangil Martowidjojo, salah seorang mantan ajudan Bung Karno, membeberkan kebiasaan makan sehari-hari presiden pertama RI itu. Bung Karno menyukai hidangan sederhana: semangkuk kecil nasi dengan sayur asem atau sayur lodeh plus telur mata sapi atau ikan asin. Satu lagi yang tak boleh dilupakan: sambal. Cara penyajian yang disukai Bung Karno, langsung dihidangkan di atas cobeknya.

Sambal dan cabai yang jadi bahan bakunya tak bisa dilepaskan dari keseharian orang Indonesia. Nyaris setiap daerah memiliki versi sambal masing-masing, juga beragam hidangan yang diolah dengan bumbu cabai.

Dalam peradaban manusia, cabai sudah ada setidaknya sejak 6.000 tahun silam. Ini terungkap dalam sebuah laporan berjudul Starch Fossil and the Domestication and Dispersal of Chili Peppers (Capsicum spp.L.) in the Americas, hasil penelitian sekelompok ilmuwan yang dikepalai Linda Perry dari Smithsonian Institution.

Kesimpulan itu didasarkan atas temuan mikrofosil bubuk cabai dalam hidangan suku Indian Zapotec yang ditemukan di tujuh lokasi berbeda di Kepulauan Bahama hingga bagian selatan Peru. Orang-orang di masa itu biasa menyimpan cabai dalam keadaan segar atau mengeringkannya terlebih dahulu untuk kemudian menggunakannya untuk bumbu beragam masakan.

Sementara sambal ditemukan dalam hidangan Indian Maya, salah satu suku di Amerika Latin. Mereka diperkirakan mulai menciptakan salah satu versi sambal pertama di dunia sekira 1.500-1.000 SM. Bubuk cabai dicampur dengan air dan bahan-bahan lain agar citarasanya lebih nikmat. Versi sambal sederhana itu kemudian menjadi pelengkap makan Tortilla, sejenis roti pipih yang terbuat dari jagung giling atau gandum.

Di kalangan suku-suku purba di Amerika Latin, cabai memiliki posisi penting. Dalam America’s First Cuisines, ahli sejarah makanan Sophie Dobhanzsky Coe menulis bahwa cabai ada nyaris di setiap tempat di Amerika Latin. Suku-suku asli nyaris tak pernah lupa membubuhkan cabai ke dalam makanan mereka.

Bagi orang-orang Aztec, cabai adalah salah satu bentuk kenikmatan hidup. Catatan yang dibuat pendeta Fransiscan, Bernardino de Sahagun, pada 1529 menunjukkan, ketika para pendeta Aztec berpuasa untuk memuja para dewa, ada dua hal yang wajib dihindari: seks dan cabai.

Karena cabai tak mengandung banyak kalori, para ilmuwan masa itu yang meneliti tentang bahan makanan tak memperhitungkan jenis tanaman ini. Padahal cabai kaya akan vitamin A dan C, juga zat unik yang disebut capsaicin. Zat inilah yang membuat rasa pedas dan menyengat pada cabai. Dalam jumlah kecil cabai dapat memperlancar pencernaan.

Cabai juga pernah dijadikan senjata dalam perang. Sophie Dobhanzsky Coe mengisahkan bagaimana orang-orang Indian menyerang benteng yang dibangun Christopher Colombus di Pulau Santo Domingo dengan melontarkan buah-buah labu yang diisi campuran abu kayu dan cabai yang ditumbuk. Orang-orang Indian Aztec menggunakan asap cabai sebagai semacam senjata kimia. Asap cabai yang dibakar juga dipakai sebagai disinfektan sekaligus obat antiserangga yang konon amat mujarab.

Penyebaran cabai ke seluruh dunia dipelopori Christopher Colombus. Ketika bertolak pulang ke Spanyol dari Amerika Latin, Colombus membawa biji-biji cabai untuk dipersembahkan kepada Ratu Isabella dari Spanyol. Sebetulnya Colombus salah kira bahwa yang dia bawa adalah lada hitam, yang saat itu merupakan komoditas sangat mahal. Bagi Colombus rasa keduanya tak jauh berbeda. Dari Spanyol biji cabai mulai merambah Eropa lalu dunia.

Manguelonne Toussain-Samat dalam A History of Food menulis, untuk perut orang Eropa yang sensitif rasa cabai agak terlalu panas. Cabai tak digunakan dalam makanan. Orang Jerman dan Prancis bagian utara menggunakan sejumlah kecil cabai untuk menambah rasa ke dalam bir sekaligus mengawetkannya. Orang Inggris menggunakannya untuk membuat acar. Tapi di Afrika, Arab, dan Asia, cabai menjadi komoditas yang sangat populer. Cabai meresap dan melengkapi berbagai hidangan dan makanan.

Menurut Wendy Hutton dalam Tropical Herbs and Spices of Indonesia, orang-orang Portugis-lah yang membawa dan memperkenalkan biji-biji cabai ke Indonesia pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Namun ada beberapa indikasi bahwa cabai sudah dikenal di Indonesia jauh sebelumnya. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII-XIV mengungkapkan, teks Ramayana abad ke-10 telah menyebut cabai sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan. Di masa Jawa Kuno, cabai juga menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.

Di masa VOC, sambal juga cukup populer di kalangan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia. Ragam sambal menjadi bagian dari risjttafel –set hidangan komplet berisi nasi, lauk-pauk, dan sayuran khas Indonesia. Risjttafel tergolong makanan mewah saat itu. Selain itu ada juga orang-orang Indo yang alih-alih mengoleskan selai lebih suka mengoleskan sambal di atas roti mereka.

Selain lezat dihidangkan, cabai juga pernah dijadikan bentuk hukuman yang menyakitkan. Jan Breman dalam Taming the Coolie Beast: Plantation Society and the Colonial Order in Southeast Asia mengisahkan deraan yang diberikan kepada para kuli perkebunan, terutama perempuan, di Tanah Deli yang melakukan kesalahan. Karena menolak cinta salah seorang mandor perkebunan dan lebih memilih kekasihnya –yang juga kuli, seorang kuli perempuan berusia 15 tahun diikat telanjang di sebilah tonggak selama berjam-jam. Agar dia tak pingsan, alat kelaminnya dibaluri cabai.

Hingga saat ini cabai dan sambal tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebiasaan makan orang Indonesia. Begitu pentingnya sampai-sampai ketika panen cabai gagal di pertengahan 2010, harga cabai pun melonjak hingga Rp 60.000 per kilogram. Kontan saja ibu-ibu menjerit –bukan karena kepedasan tapi karena tak bisa menghidangkan sambal di ruang-ruang makan keluarga.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Tan Ek Tjoan, Kisah Sejarah dalam Sepotong Roti. Kelezatan Khasnya Terus Bertahan Di Tengah Sengit Perasingan, Kesukaan Bung Hatta

Toko roti Tan Ek Tjoan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. (Foto: Micha Rainer Pali/Historia)

TAN EK TJOAN salah satu merek roti tertua di Indonesia. Pendirinya, yang namanya dijadikan merek produk, Tan Ek Tjoan, adalah seorang pemuda keturunan Tionghoa. Dia merintis usaha ini di daerah Surya Kencana, Bogor pada 1921. Sejak saat itu usahanya berkembang cepat. Merk roti ini begitu populer bagi warga Jakarta dan Bogor. Ciri khasnya: roti bertekstur keras.

Bung Hatta termasuk yang pernah mencicipinya. Pernah suatu ketika, seperti dikisahkan Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Megamendung, Bung Hatta berhenti di depan Toko Roti Tan Ek Tjoan di Bogor. Alih-alih masuk, dia menyuruh Sardi, pengawal Bung Karno, untuk beli roti. Dia memberikan uang Rp5. Sardi pun membeli roti seharga Rp3,75. Bung Hatta lalu melahapnya.

Horst Henry Geerken, seorang ekspatriat asal Jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun, juga memiliki kenangan tersendiri terhadap roti ini. “Untuk roti tentunya hanya ada roti tawar. Sopir kami harus membelinya di Bogor, 40 kilometer jauhnya dari Jakarta. Tan Ek Tjoan adalah satu-satunya toko roti di sekitar itu yang bisa memperoleh tepung impor,” tulisnya dalam A Magic Gecko. Sepertinya Geerken tak tahu, tahun 1953 Tan Ek Tjoan sudah buka cabang di Jakarta.

“Tahun 1953 itu sebenarnya pertama kali buka di daerah Tamansari. Di sana ada rumah keluarga yang cukup besar. Lalu baru pindah ke Jalan Cikini Raya ini tahun 1955,” tutur Ibu Wawa, menantu dari Tan Bok Nio, anak perempuan Tan Ek Tjoan.

Tan Ek Tjoan bersama istrinya, Phoa Lin Nio, memulai usaha roti di rumahnya yang sederhana namun cukup luas di Bogor. Sejatinya sang istrilah yang pandai membuat roti, sedang Tan pandai berbisnis. Kombinasi yang sempurna.

“Di Bogor, dulu banyak tinggal orang-orang Belanda. Usaha roti jadi dapat berkembang dengan baik,” kata Ibu Wawa. Selain orang Belanda, tulis Geerken, roti Tan Ek Tjoan juga populer di kalangan orang Indonesia yang kebarat-baratan, terutama orang Tionghoa.

Saat Tan Ek Tjoan meninggal dunia pada 1950-an, istrinya meneruskan roda usaha bahkan makin maju. Phoa melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta. Cikini, kawasan elite yang dihuni banyak orang Belanda, jadi pilihan.

Phoa Lin meninggal dunia pada 1958. Tan Bok Nio dan seorang anak laki-laki bernama Kim Tamara alias Tan Kim Thay, kedua anaknya dari pernikahan dengan Tan Ek Tjoan, mewarisi bisnis kelaurga. Tan Kim Thay memegang cabang Jakarta, Tan Bok Nio memegang Bogor.

Seperti sang ayah, Tan Kim Thay tak punya kemampuan membuat roti, tapi dia seorang pebisnis ulung. Ditambah lagi dia sempat menuntut ilmu ekonomi di Belanda. Di tangan Tan Kim Thay, bisnis keluarga semakin maju. Semula luas toko kira-kira hanya seperempat dari luas saat ini. Belum ada pabrik seperti sekarang. Benar-benar rumahan. Berkat keuletan Kim, lama-kelamaan bisnis makin maju hingga dapat membeli tanah di sekitarnya dan toko makin luas. Yang di Bogor pindah ke daerah Siliwangi. Karena semenjak ada tol Gadog, Surya Kencana agak sepi.

Saat itu Kim mulai menggunakan jasa pedagang gerobak sebagai ujung tombak pemasaran. Para pedagang itulah yang menjual roti kepada orang-orang Belanda yang berada di sekitar Cikini, dan kemudian meluas ke daerah-daerah lain, seperti Ciputat, Tangerang, Cinere, dan Bekasi.

Kim bukan sekadar membawa terobosan pada sisi manajemen bisnis, tapi juga pada varian roti. Bila awalnya hanya memproduksi roti gambang yang bertekstur keras, Kim membuat varian yang bernama roti bimbam dengan tekstur lembut. Bimbam kini jadi roti favorit Tan Ek Tjoan.

Menurut Kennedy Sutandi, direktur operasional Tan Ek Tjoan, munculnya roti bimbam merupakan penerapan konsep filosofi Yin-Yang. Gambang yang keras dan bimbam yang lembut mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain.“Selain itu, istri Pak Kim itu orang Belanda. Orang bule kan gak suka roti keras. Jadi bimbam itu perpaduan unsur dari pengaruh Indonesia, Tionghoa, dan Eropa,” ujar Kennedy.

Karena menikah dengan gadis Belanda bernama Elisabeth Tamara Arts, Kim lebih kerap tinggal di Indonesia. Dari perkawinan ini, Kim memperoleh dua anak: Robert dan Alexandra Salinah Tamara. Tumbuh dan berkembang di Negeri Belanda, anak-anak Kim tak begitu menyatu dengan bisnis roti keluarga. Saat Kim wafat pada 2007, Robert dan Alexandra tak tertarik menanganinya.

Alexandra sempat mencobanya namun tak bertahan lama. Pada 2010, dia meminta teman sepermainan masa kecilnya, Josey R. Darwin dan Kennedy Sutandi, untuk mengurus perusahaan.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Dari Cincai sampai Siomay. Komunitas Tionghoa Telah Menancapkan Pengaruhnya Di Negeri Ini Semenjak Berabad lalu, Setitik Nilai Tak Semestinya Merusak Susu Sebelanga


SEJARAWAN Denys Lombard, melalui magnum opusnya Nusa Jawa Silang Budaya, memandang penting pengaruh komunitas Cina negeri ini. Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.

Tahun ini boleh saja pemerintah Indonesia merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya dengan China, kendati usia itu tidak genap karena sempat terinterupsi selama kurang lebih 15 tahun di bawah zaman Orde Baru. Adalah fakta sejarah jika osmosis budaya Tionghoa ke dalam budaya Nusantara sudah terjadi semenjak ratusan tahun lalu.

Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.

Perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap warga Tionghoa dengan memisahkan mereka untuk tinggal di gheto-gheto tersendiri dipercaya menjadi sabab musababnya. Tapi bila merunut lebih jauh lagi, justru ada cerita tentang kebersamaan warga Tionghoa bahu-membahu dengan warga pribumi melawan Belanda, khususnya pascaperistiwa pembantaian 1740 di Batavia. Bahkan Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam Jawa mengajukan tesis kalau penyebaran Islam di Nusantara tak lain tak bukan berkat jasa para orang-orang Tionghoa.

Keharmonisan hubungan itu perlahan pudar seiring kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian menempatkan warga Tionghoa, mengutip sejarawan Didi Kwartanada, sebagai minoritas perantara (Middleman Minority).“Golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial,” tulis Didi dalam makalahnya, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan.”

Dari sanalah peran warga Tionghoa dilembagakan; seakan ditakdirkan sebagai kelompok pedagang yang cuma bertugas menghasilkan uang dan bisa diperas sewaktu-waktu demi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Peran itu kembali dikukuhkan semasa Orde Baru. Hak-hak sipil warga Tionghoa dibatasi, namun sebagian kecil dari mereka, khususnya yang memiliki akses ke kekuasaan, mendapat peluang untuk menjalankan bisnis berbasis rente. Sungguh sebuah kebijakan yang ambigu.

Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus sumbangsih mereka pada pembangunan bangsa ini. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Sin Po. Sebagai harian terkemuka yang direken berorientasi ke nasionalisme Tiongkok justru koran Tionghoa pertama yang berani menggunakan istilah Indonesia menggantikan istilah inlanders. Ang Jan Goan dalam memoarnya mengakui kalau tindakan itu bukannya tanpa akibat: Sin Po harus menanggung kerugian akibat pencabutan iklan pemerintah kolonial.

Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita…Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum oportunistis yang tidak bisa diperbaiki,” tulis Didi Kwartanada mengutip Abu Hanifah dalam Tales of a Revolution. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.

Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang kini mengelola Yayasan Nabil.

Eddie kemudian mengutip teks pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami yang memberikan penjelasan bahwa kata “Cina” (Inggris: China), (Belanda: China/Chinees), (Jerman: Chinesische), (Perancis: Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sendiri sudah disebutkan di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.

Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.

Kekayaan budaya Tionghoa adalah juga kekayaan negeri ini, kuliner salah satunya. Ada beragam macam menu makanan yang datang dari negeri nun jauh di sana yang kemudian tanpa kita sadari seakan makanan itu adalah produk budaya bangsa tanpa harus khawatir dikenakan royalti oleh negeri asalnya. Dan komunitas Tionghoalah mengenalkan itu semua. Bayangkan jika Anda harus membayar royalti untuk sepiring siomay yang Anda santap di sore hari. Oleh karena itu, sudah seyogianya kita mempererat hubungan dengan saudara kita warga keturunan Tionghoa dan seluruh rakyat Indonesia apa pun warna kulit, agama, dan sukunya.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Sejarah Tahu. Tahu Adalah Kuliner Tertua Yang Diperkenalkan Orang Tionghoa di Nusantara, Ia Menjadi Penyelamat Masyarakat Jawa Di Masa Krisis Asupan Gizi

Tahu.

ORANG-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu.

Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal.

Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia, tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292.

“Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini, “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.”

Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu. Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur.

“Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai.

Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif.

“Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.”


Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannnya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Kopi Yang Mengubah Eropa. Revolusi Bermula Di Kedai-kedai Kopi

Ilustrasi: Ganda Permana

SEJAK Baba Budan, seorang jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh biji bibit kopi dari Jazirah Arab ke kampungnya di India pada abad ke-15, penyebaran kopi ke seluruh dunia tinggal menunggu waktu. Benua biru, Eropa, menjadi wilayah selanjutnya yang diinvasi bebijian pahit ini. Namun, hingga abad ke-17, pengetahuan “orang-orang Barat’ perihal kopi boleh dibilang minim.

Kronik sekira tahun 1600, yang berisi sekelompok pemuka gereja mendatangi Paus Clement VIII untuk memintanya memfatwa haram kopi, menggambarkan betapa asingnya mereka terhadap kopi. Catatan Sir George Sandys, penyair asal Inggris, pada 1610 masih menunjukkan hal yang sama. Dia menulis, orang-orang Turki bisa ngobrol hampir sepanjang hari sambil menyeruput minuman yang digambarkan sebagai “sehitam jelaga, dan rasanya tak biasa”. Sandys juga mengatakan bahwa minuman ini, “sebagaimana mereka (orang-orang Turki) bilang, membuat plong pencernaan dan menyegarkan tubuh.”

Baru pada 1615 orang-orang Eropa secara formal berkenalan dengan kopi. Saat itu para pedagang dari Venezia, Italia, membawa pulang kopi dari daerah Levant, yang kini dikenal sebagai area Timur Tengah, meliputi Israel, Yordania, Libanon, dan Syiria. Setahun kemudian, sebagaimana ditulis pemilik situs gallacoffee.co.uk, James Grierson, dalam artikel “History of Coffee: Part III - Colonisation of Coffee”, giliran orang Belanda yang membawa kopi dari daerah Adan, Yaman, lalu membudidayakannya, dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) hingga ke Nusantara. Belanda akhirnya memetik hasil. Mereka memonopoli industri kopi dunia, bahkan bisa menentukan harga. Puncaknya, pada 1700-an, kopi produksi Jawa bersaing dengan kopi asal Mocha,Yaman, sebagai produk kopi paling populer di dunia.

Awalnya orang-orang Eropa memperlakukan kopi sebagai bahan medis yang memberikan efek positif buat tubuh. Harganya mahal. Umumnya dikonsumsi masyarakat kelas atas. Pada 1650-an, ketika penjaja minuman lemon di Italia mengikutsertakan kopi sebagai barang jualannya, sementara kedai-kedai kopi di Inggris bermunculan, minuman ini mulai menemukan dimensi sosialnya; dikonsumsi sembari berbincang-bincang.

Saat kopi mulai menyebar ke negara-negara besar Eropa, cerita lama berulang kembali. Muncul pihak-pihak yang menentangnya. Menurut Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People, pada 1679, dokter-dokter dari Prancis membuat catatan buruk tentang kopi. Dikatakannya, “...dengan penuh kengerian bahwa kopi membuat orang tak lagi doyan wine.” Serangan ini disusul oleh seorang dokter muda yang menganggap kopi bisa mengakibatkan keletihan, menimbulkan hal-hal buruk pada otak manusia, menggerogoti fungsi tubuh, serta biang keladi impotensi.

Pihak yang membela pun segera bersuara. Seorang dokter, juga asal Prancis, Philippe Sylvestre Dufour, menerbitkan buku yang menilai positif minuman eksotik ini. Lalu pada 1696, seorang dokter Prancis juga mengatakan kopi baik untuk tubuh dan menyegarkan kulit. Namun, sebagaimana akan kita lihat nanti, oposisi terhadap kopi tak berhenti sampai di sini.

Ketika mulai menemukan dimensi sosialnya, kopi tak lagi sekadar minuman yang rutin dikonsumsi, tapi juga terlibat dalam banyak perubahan sosial-politik di Eropa. Linda Civitello mengatakan, untuk kali pertama orang (Eropa) memiliki alasan untuk berkumpul di ruang publik tanpa melibatkan alkohol. Kegiatan ini pun berkembang menjadi rutinitas sosial yang bersifat politis. Sebagaimana ditulis situs The Economist pada 7 Juli 2011, “Back to the coffee house”, pada era tersebut konsep media massa belum lagi dikenal. Berita tersebar dari mulut-ke mulut di kedai-kedai kopi, melalui proses dialogis.

Para penguasa yang deg-degan, karena khawatir hal-hal politik dibincangkan orang di kedai-kedai kopi, mulai ambil kuda-kuda. Kekhawatiran itu tak berlebihan. Sejarawan Prancis, Michelet, dikutip Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, menggambarkan penemuan kopi sebagai revolusi yang menguntungkan dan mampu memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan memodifikasi temperamen manusia. Ide-ide yang beredar dalam diskusi di kedai-kedai kopi pada akhirnya terakumulasi dalam peristiwa Revolusi Prancis.

Di Jerman, popularitas kopi mengganggu penguasanya, Frederick the Great. Pada 1777, dia mengeluarkan manifesto yang mendukung minuman tradisional Jerman, bir: “Menjijikkan melihat meningkatnya kuantitas kopi yang dikonsumsi rakyatku, dan implikasinya, jumlah uang yang keluar dari negara kita. Rakyatku harus minum bir. Sejak nenek moyang, kemuliaan kita dibesarkan oleh bir.” Hal serupa sempat terjadi di Prancis ketika kopi mulai menyaingi wine. Sementara di Inggris, King George II memusuhi kopi lantaran orang-orang yang berkumpul di kedai-kedai kopi kerap mengolok-olok dirinya.

Namun tak ada perlawanan paling keras terhadap eksistensi kedai kopi di London ketimbang Women’s Petition tahun 1674, yang memrotes terbuangnya waktu para lelaki di kedai kopi, serta tak memungkinkannya perempuan berkunjung ke kedai kopi, sebagaimana di Prancis. Lalu, pada 29 Desember 1675 Raja Inggris Charles II mengeluarkan pernyataan tentang Pelarangan Kedai Kopi, dengan alasan membuat orang mengabaikan tanggungjawab sosial serta mengganggu stabilitas kerajaan. Suara-suara protes pun bermunculan di London. Klimaksnya, dua hari sebelum aturan itu berlaku, raja mengundurkan diri.

Di bagian lain Eropa, yakni Wina, Austria, perkenalan negeri ini dengan kopi seperti mengulang kisah klasik yang pernah terjadi di tempat lain. Juli 1683, pasukan Turki yang dipukul mundur meninggalkan beragam barang, termasuk lima ratus karung besar berisi kacang aneh, yang dianggap para tentara sebagai makanan unta. Karena ternyata unta-unta tak doyan, mereka lemparkanratusan karung tersebut ke api. Kolschitzky, seorang tentara yang pernah tinggal di Jazira Arab, terbangun oleh aroma kopi terbakar tersebut.

“Demi Maria Yang Suci!” teriak Kolschitzky. “Yang kalian bakar itu kopi! Kalau kalian tak tahu gunanya, berikan padaku.” Makan dengan bekal tersebut ia membuka kedai kopi yang termasuk generasi awal di Wina. Beberapa dekade kemudian, kopi mewarnai kehidupan intelektual di kota tersebut.

Namun gambaran kedai kopi tak melulu didominasi catatan positif. Begitu terbukanya tempat-tempat seperti ini membuat orang dari berbagai latar belakang kelas sosial dan karakter, bertemu bersamaan. Karenanya, seperti digambarkan sebuah catatatan yang dikutip Mark Pendergrast, di kedai kopi orang membaca, mengobrol; lalu-lalang orang, para perokok, dan beragam aroma bercampur jadi satu, tak ubahnya kabin tongkang.

Negara-negara lain di Eropa mulai mengenal kopi sekitar periode yang sama. Sementara negara-negara Skandinavia, yang paling buncit berkenalan dengan kopi, sebagaimana data tahun 2002 yang tertera di nationmaster.com, kini malah menjadi wilayah yang konsumsi kopi perkapitanya tertinggi di dunia.

(Historia/Berbagai-Sumber-sejarah/ABNS)

SEJARAH TEMPE. Tempe Makanan Kita Semua

Ibu Nani (kiri) saat sedang menawarkan tempe dagangannya di Pasar Gandaria, kelurahan Kebon Kacang, Tanah Abang Jakarta Pusat.  (Foto: Micha Rainer Pali)

MENELUSURI sejarah tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadele dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814.

Pada jilid kedua Serat Centhini digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram, kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam dengan lauk bubuk dhele. Di Mataram, Cebolang diberitahu bahwa sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan menikahkan anak, terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan uang logam.

Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadele (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian genetik, kedelai berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000, kacang kedelai sudah sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok.

Namun, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongkok, Ma Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandikan kacang itu dengan kacang yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma Huan belum ada di negerinya.

“Diduga bahwa kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum China datang ke Tanah Jawa,” tulis Astuti. “Menurut anggapan orang Jawa zaman dulu kata dele berarti hitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.”

Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis Ong.

“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.

Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.

Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.

Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk.

“Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim,” lanjutnya.

Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”

“Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.

Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk′s voedsel).

Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”

(Historia/Berbagai-Sumber-sejarah/ABNS)

Kuliner Tionghoa di Nusantara. Kuliner Tionghoa Membuat Masakan Nusantara Semakin Kaya


CAP go meh, hari kelimabelas Imlek, dirayakan warga Tionghoa dengan menggelar keramaian, lengkap dengan pernak-pernik khas dan sajian kulinernya.

Di masa lalu, saat perayaan cap go meh di Jakarta, terlebih bagi pemuda yang hendak melamar gadis pujaannya, maka ada syaratnya. “Cialat atau cilaka dua belas bagi mantu yang datang sowan tanpa membawa sepasang bandeng,” tulis Alwi Shahab dalam Robih Hood Betawi. “Calon mantu yang begini tidak punya liangsim atau rasa malu.”

Makanan bagi warga Tionghoa adalah utama, termasuk bagi mereka yang merantau ke Nusantara. Usaha membuat makanan yang serupa dengan daerah asalnya terkendala karena beberapa bahan tidak ditemui di daerah ini. Akhirnya, mereka berkreasi.

Menurut Joseph “Aji” Chen, wakil koordinator Dewan Pakar Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), para perantau yang pergi ke negeri selatan beradaptasi dengan bahan makanan yang ada, bahkan memunculkan kreasi baru.

“Para pendatang membuat tahu, kembang tahu, mie, bihun, soun, tauco, kecap seraya memanfaatkan bahan-bahan setempat,” tulis Helen Ishwara dalam Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya.

Gabungan teknik dan penyesuaian bahan menciptakan beragam kuliner baru yang sebelumnya tak pernah ada. Lontong cap go meh salah satunya. Lontong ini, kata Joseph, menggantikan sajian resmi di negeri asal yaitu ronde atau yuanxiao. Potongan lontong yang bundar melambangkan bulan purnama dan warna putih simbol kebersihan hati. Pembuatan lontong diilhami dari cara memasak bacang.

Ketika lontong cap go meh disajkan, terdapat menu ayam opor dengan kuah santan kuning atau putih. “Kuliner peranakan tidak dapat menghindari pemakaian santan. Karakteristiknya yang machtig (rich and tasty) memberikan kekhasan luar biasa dalam sajian yang menggunakannya sehingga sering diistilahkan dengan signature dish,” ujar Joseph.

Sebenarnya, kata Joseph, masakan Tiongkok murni tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena lebih menekankan citarasa asli. “Misalnya sawi masih terasa seperti sawi, ayam masih seperti ayam rebus yang belum ‘tercemari’ hiruk-pikuk bumbu.”

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Terkait Berita: