Pesan Rahbar

Home » » Laki-laki Tidak Perlu Izin Dalam Menikah

Laki-laki Tidak Perlu Izin Dalam Menikah

Written By Unknown on Sunday 15 October 2017 | 23:04:00


Saya sangat senang untuk mengikuti aturan-aturan yang ada dalam agama Islam, tapi dalam berbagai kesempatan saya merasa tidak bisa menjalankan sebagaimana yang harus saya jalankan, sebagian dalilnya saya terima atau sungguh bagi laki-laki lebih terbuka jalan keluar misalnya dalam pernikahan sementara. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah apakah bagi seorang gadis tidak memerlukan syarat-syarat tertentu yaitu harus memperoleh ijin dari ayah sehingga bisa melangsungkan pernikahan sementaranya dengan seorang laki-laki. Mengapa bagi laki-laki untuk menjauhkan diri dari dosa, mereka bisa memenuhi kebutuhannya kapan saja, setiap kali mereka mau, tapi bagi gadis yang ingin memenuhi kebutuhannya, suatu kebutuhan yang secara fitrah Tuhan sendiri meletakkan hal itu, merupakan kemaksiatan dan apabila ia tidak melakukannya maka harus menunggu hingga ia menikah. Atau barangkali ketika ayahnya berbalik pandangan dan memberikan ijin untuk memahramkan dengan seseorang yang sudah dikenalnya?
Ringkasnya Mengapa Islam mensyaratkan adanya ijin ayah bagi gadis dalam pernikahan sementara? Namun tidak demikian pada laki-laki?


Jawaban Global:

Para marja taklid mensyaratkan ijin ayah bagi gadis perempuan dalam pernikahan. Hal ini karena kegadisan dan ifaf (kesucian) merupakan modal mereka namun pada kenyataannya tidak kurang kaum perempuan dengan keikhlasannya sendiri menyatakan rasa cintanya kepada laki-laki dan menganggap laki-laki itu akan menepati janji, padahal ia tidak mengetahui kelakuan-kelakuan tertentu seorang laki-laki sebelum menikah dan setelah menikah baru menyadari ketidaksetiaan dan pengkhianatan laki-laki itu.

Oleh itu, perlu adanya izin ayah atau wali perempuan di satu sisi, dalam rangka memberikan pendapat guna mengetahui dengan baik ciri-ciri laki-laki dan tipu daya mereka, dan di sisi lain, keinginan baik anak gadisnya, dengan syarat tidak menyusahkan seorang gadis atas dapat menikah dengan pasangan pilihannya.

Atas dasar itu, para marja taklid berpandangan bahwa apabila seorang gadis telah menemukan suami yang cocok dan baik baginya yang secara syar’i dan urfi (tradisi masyarakat) sekufu dengannya dan kemaslahatan gadis itu menikah dengannya namun ayah atau kakek dari pihak ayah menghalangi pernikahan itu, maka dalam keadaan ini tidak perlu lagi mendapat ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.


Jawaban Detil:

Islam guna memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan, telah menentukan aturan-aturan dalam pernikahan (daim atau temporal). Pernikahan sementara (mut’ah) adalah pernikahan yang terjadi antara pria dan wanita dimana antara keduanya tidak ada penghalang apapun untuk melangsungkan pernikahan, dengan keridhaan kedua belah pihak, disertai dengan adanya mahar dan sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Dari satu sisi, Islam mensyaratkan adanya syarat-syarat dalam pernikahan sementara[1] di antaranya bahwa apabila perempuan itu sudah mencapai baligh dan rasyidah -yaitu mampu menentukan kebaikan kemaslahatan atas dirinya- ingin bersuami, maka apabila ia seorang gadis yang masih perawan maka ia harus mendapat ijin dari ayah atau kakek yang berasal dari pihak ayah.

Apabila ayah atau kakek yang berasal dari pihak ayah itu ghaib, sehingga tidak memungkinkannya untuk memperoleh ijin dan perempuan juga sudah butuh untuk menikah dengan pria pilihannya, maka tidak diperlukan ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah dan juga jika perempuan itu sudah tidak perawan lagi, apabila keperawanannya hilang karena ia telah bersuami, maka tidak diperlukan ijin dari ayah dan kakek.

Namun apabila keperawanannya dikarenakan wathi syubhah[2] atau zina, maka berdasarkan prinsip ihtiyāth mustahab adalah meminta ijin dari walinya.[3] Rasyidah didefinisikan sebagai seorang perempuan yang telah mampu menentukan maslahat/kebaikan untuk dirinya dan memutuskan sesuatu yang jauh dari emosi, perasaan, hawa nafsu, memperhatikan masa depannya sendiri, keluarga, kehormatan dan martabat keluarga.

Adapun seorang perempuan yang akalnya belum matang dan tidak dapat menentukan dan memutuskan masa depannya, tidak mengetahui kebaikan dan kemaslahatan bagi diri, keluarga, walaupun ia telah berumur, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai rasyidah dan tidak bisa menikah tanpa ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.

Dapat dikatakan bahwa kebanyakan fukaha dalam hal ini bersepakat yaitu dalam keadaan dimana ayah atau kakek dari pihak ayah ghaib, jika tidak memungkinkan untuk meminta ijin dari mereka, sementara perempuan itu sudah dalam keadaan harus menikah, atau ia telah menemukan calon suami yang cocok dan sekufu dengannya dari sisi syar’i dan urfi sementara ayah dan kakek dari pihak ayah, tanpa sebab yang jelas menghalang-halangi pernikahan itu dan menyusahkan pernikahannya, maka tidak perlu lagi meminta ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.[4]

Adapun mengapa Islam mensyaratkan ijin ayah sebagai syarat dalam pernikahan? Syahid Muthahhari berkenaan dengan hal ini berkata: Falsafah bahwa anak perawanan memerlukan (wajib) –atau paling tidak alangkah baiknya (mustahab) meminta - persetujuan dari ayah sehingga tidak boleh menikah tanpa adanya izin dan persetujuan walinya adalah bukan karena perempuan itu dianggap kurang berpengaruh dan dari sisi kemasyarakatan kurang nilainya jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Apabila karena dua hal ini (kurang berpengaruh atau kurang nilai) maka apa bedanya antara janda dan perawan dimana janda 16 tahun tidak memerlukan persetujuan dari ayah dan gadis berusia 18 tahun tidak memerlukan persetujuan dari ayah?

Di samping itu, apabila seorang gadis dalam pandangan Islam tidak mampu (atau dipandang tidak berarti) lantas mengapa Islam memberikan kebebasan ekonomi kepada perempuan yang sudah baligh lagi rasyidah dan membenarkan muamalah dengan nominal ratusan juta yang dilakukannya dan tidak lagi memerlukan persetujuan ayah atau saudara atau suaminya? Hal ini memiliki alasan dan falsafah lain yang erat kaitannya dengan psikologi perempuan dan laki-laki. Yaitu terkait dengan tabiat menyunting laki-laki dari satu sisi dan perasaan senang perempuan kepada kesetiaan dan kejujuran laki-laki dari sisi yang lainnya. Laki-laki adalah hamba syahwat dan perempuan adalah hamba kasih sayang. Hal yang menyebabkan laki-laki tergelincir dan terombang-ambing dari tempatnya adalah syahwatnya dan perempuan menurut pengakuan para psikolog mempunyai kesabaran dan daya tahan yang lebih kuat dari pada laki-laki dalam mengendalikan syahwatnya.

Namun, yang menyebabkan kaum perempuan tergelincir dan terpenjara adalah ucapan rayuan cinta, suka cita, kejujuran, penepatan janji, dan ucapan cinta dari kaum laki-laki.

Di sinilah letak kepercayaan kaum perempuan. Perempuan, selama masih perawan dan sebelum disentuh laki-laki ia akan dengan gampang menerima rayuan laki-laki. Profesor Rick, seorang psikolog Amerika berkata, “Sebaik-baik kata yang bisa diucapkan oleh seorang laki-laki kepada perempuan adalah kekasihku, aku mencintaimu.” Ia juga berkata, “Kebahagiaan bagi seorang wanita adalah ketika ia mendapatkan hati seorang laki-laki dan ketika ia berhasil menjaga laki-laki itu baginya seumur hidupnya.[5] Rasulullah Saw, seorang psikolog Ilahi telah mengatahui hal ini sejak 14 abad yang lalu dan menjelaskannya dengan terang. Nabi Muhammad Saw bersabda: Perkataan laki-laki bahwa kamu mencintainya tidak akan pernah dilupakan oleh perempuan sama sekali”[6] Laki-laki pemburu akan selalu menggunakan perasaan perempuan. Jeratan “Aku cinta kamu” bagi seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman tentang seorang laki-laki merupakan jeratan yang paling baik.

Di sinilah pentingnya bagi seorang perempuan yang belum berpengalaman untuk bermusyawarah dengan ayahnya yang mengetahui perasaan laki-laki dan para ayah hanya menginginkan kebaikan dan kebahagiaan, dan pastinya ia akan tertarik untuk menyetujuinya. Aturan seperti ini tidak merendahkan martabat kaum perempuan, justru ia melindunginya.

Apabila pilihan menikah berada pada seorang gadis perempuan, dan persetujuan ayah bukan merupakan persyaratan bagi sahnya pernikahan, hal itu juga dengan syarat bahwa sang ayah tidak akan menyalah gunakan atau menggunakan selera tertentu yang tidak benar sehingga tidak akan menjadi penghalang bagi pernikahan anak perempuannya, apa salahnya dan apakah bertentangan dengan kebebasan manusia? Hal ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dan kepedulian terhadap kaum perempuan yang belum berpengalaman dan merupakan kecurigaan terhadap tabiat kaum laki-laki.[7] Dengan penjelasan Syahid Muthahhari, salah satu hikmah penting bahwa hukum ini sangat terang di mana mungkin di sini juga terdapat sebab-sebab dan hikmah-hikmah yang lain.

Pada akhirnya sampai kesimpulan bahwa anak muda khususnya para gadis harus mengambil pelajaran dari masalah yang menimpa para pemuda. Betapa banyak pasangan muda yang sedang berada pada puncak kehidupan dengan cinta yang ikhlas dan sepenuhnya namun setelah beberapa lama seiring dengan menurunnya semangatnya karena menghadapi masa depan yang rancu dan tidak jelas, berhadapan dengan kenyataan dan masa depan yang tidak jelas. Berhati-hatilah atas keinginan yang terburu-buru sehingga tidak akan kehilangan pelukan hangat dalam kehidupann keluarga yang bahagia.


Referensi:

[1] Pertanyaan 1290 (Site 1275)
[2] Suami menggauli wanita lain yang disangka isterinya.
[3] Taudhih al-Masāil (Al-Muhassyā lil Imām Khomeini), jil. 2, hal. 458-459; Diadaptasi dari pertanyaan 3923
[4] Taudhih al-Masāil (Al-Muhassyā lil Imām Khomeini), jil. 2, hal. 458-459; Pertanyaan no 1483 (Site 1530)
[5] Majalah Zan Ruz, Edisi 90
[6] Al-Kāfi, jil. 5, hal. 569
[7] Nizhām Huquq Zan dar Islām, hal. 93

(Islam-Quest/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: