Pesan Rahbar

Home » » Profil dan Nasab Muawiyah bin Abu Sufyan Dalam Pustaka Islam

Profil dan Nasab Muawiyah bin Abu Sufyan Dalam Pustaka Islam

Written By Unknown on Saturday, 12 November 2016 | 06:04:00


Muawiyah bin Abu Sufyan (Bahasa Arab: معاویه بن ابی سفیان) adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah. Setelah perjanjian damai dengan Imam Hasan As, Muawiyah berkuasa hingga tahun 61 H di Damaskus, kurang lebih selama 20 tahun.

Muawiyah termasuk golongan Thulaqa’ (orang yang masuk Islam karena terpaksa), dia masuk Islam pada masa Penaklukan Mekah. Muawiyah turut andil dalam penaklukan wilayah Syam di zaman Abu Bakar.

Pada zaman Umar bin Khattab, Muawiyah diangkat sebagai Gubernur Yordania kemudian kembali diangkat sebagai Gubernur Penuh Syam.

Pada zaman kekhalifahan Imam Ali As, Muawiyah mengobarkan perang Shiffin dengan dalih menuntut balas terbunuhnya Utsman. Setelah syahidnya Imam Ali As, Muawiyah mengadakan perjanjian damai dengan Imam Hasan As dan mengambil alih kekhalifahan kemudian menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.

Di masa kekuasaannya, Muawiyah banyak menaklukkan wilayah Barat dan Afrika Utara, adapun untuk wilayah timur dia hanya mengukuhkannya karena sebelumnya telah berhasil ditaklukkan. Muawiyah mengubah kekhalifahan menjadi kesultanan.

Dia berupaya keras supaya sepeninggalnya nanti umat Islam bersedia membaiat putranya, Yazid. Muawiyah banyak mendirikan kantor baru guna menunjang operasionalisasi pemerintahannya. Di masanya, Muawiyah banyak menghadapi pemberontakan yang dilakukan golongan Khawarij dan Syiah, namun dia berhasil memadamkannya.


Kehidupan Muawiyah

Nama dan silsilah Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan nama panggilan dan julukannya adalah Abu Abdurrahman al-Quraisyi al-Umawi.

Dia lahir pada tahun 5 sebelum Bi’tsah (diutusnya Nabi Muhammad Saw).

Pendapat lain mengatakan, tahun kelahirannya adalah 7 sebelum Bi’tsah atau 13 sebelum Bi’tsah. [1]

Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abdu Syams bin Abdi Manaf.

Konon, Muawiyah adalah laki-laki tampan berkulit putih. Jenggotnya diwarnai kuning keemasan sehingga nampak seperti emas. [2]

Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukan Mekah. [3]

Pendapat lain mengatakan, dia masuk Islam pada peristiwa Umrah al-Qadha. Berdasar pendapat kedua, Muawiyah saat itu masih menyembunyikan keislamannya. [4]

Sebagian riwayat meyatakan, Muawiyah adalah salah seorang pencatat wahyu. [5]

Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah mengutuk Muawiyah supaya tidak pernah kenyang. [6]

Banyak riwayat palsu yang dibuat untuk memuliakan dan mengagungkan Muawiyah. [7]

Di antara saudara para istri Rasulullah Saw hanya Muawiyah yang dipanggil dengan sebutan “Khalul Mukminin” yang berarti “paman orang-orang yang beriman” (hal itu karena istri Rasulullah Saw yang bernama Ummu Habibah adalah saudari Muawiyah). [8]

Muawiyah mengutip hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ummu Habibah. Begitu juga, sebagian sahabat Nabi dan kalangan Tabiin mengutip hadis darinya. [9]

Muawiyah ikut serta dalam Perang Yamamah. Setelah itu, bersama saudaranya, Yazid, dia bergabung dalam kontingen pasukan Abu Bakar menuju Syam.

Muawiyah andil dalam penaklukan kota-kota pesisir seperti Sidon, Araqah, Jubail, Bairut, Akko, Tirus dan Qubadiah. [10]

Muawiyah berhasil mendapat kepercayaan dari Umar bin Khattab sehingga dia diangkat sebagai Gubernur Yordania, sedangkan saudaranya, Yazid, diangkat sebagai Gubernur Syam seluruhnya.

Setelah kematian Yazid karena Wabah Amwas, Umar mempercayakan masa depan Syam di tangan Muawiyah. Kemudian ketika Utsman bin Affan naik menjadi khalifah, dia mengangkat Muawiyah sebagai Gubernur Syam seluruhnya.

Setelah terbunuhnya Utsman, Muawiyah menolak untuk berbaiat kepada Imam Ali As, bahkan dia melawan Imam dengan dalih menuntut balas terbunuhnya Utsman. Masyarakat Syam saat itu mendukung aksi yang dilakukan Muawiyah dan siap berperang bersamanya melawan Imam Ali As. [11]

Perseteruan tersebut berlangsung hingga akhir masa pemerintahan Imam Ali As. Setelah kesyahidan Imam Ali As terjadi perjanjian damai antara Muawiyah dan Imam Hasan As.

Pada perjanjian damai tersebut Imam Hasan As mengalah. Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Muawiyah. [12]

Selanjutnya, Muawiyah menjadi khalifah hingga akhir hayatnya.


Kematian Muawiyah

Ketika Muawiyah menderita sakit yang menyebabkan kematiannya, Yazid tidak berada di Damaskus.

Sebelum meninggal, Muawiyah menyerahkan wasiat kepada Dhahhak bin Qais dan Muslim bin Utbah untuk disampaikan ke Yazid.

Dia sangat khawatir akan keberadaan para penentangnya, di antaranya, Imam Husain As, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar dan Abdurrahman bin Abu Bakar. Muawiyah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 60 H. [13]


Zaman Tiga Khalifah Pertama

Pada Penaklukan Syam ,Yazid bin Sufyan dipercaya memimpin pasukan. Saat itu Abu Bakar juga memberikan wewenang kepada Muawiyah mendampingi saudaranya. [14]

Setelah kematian Yazid, Umar mengangkat Muawiyah sebagai pemimpin Syam.

Sebagian sejarahwan merasa heran dengan toleransi kuat Umar terhadap Muawiyah. [15]

Hasan al-Bashri mengatakan, Muawiyah sejak zaman Umar telah mempersiapkan dirinya untuk meraih kekhalifahan. [16]

Umar menyerahkan seluruh wilayah Syam kepada Muawiyah. [17]

Muawiyah pernah berkata, “Demi Allah, karena kedudukanku di sisi Umar yang membuatku mampu menguasai orang seperti ini”. [18]

Ketika menghadapi protes yang dilayangkan kepada Muawiyah, Utsman menjawab, “Bagaimana aku memakzulkan Muawiyah sedangkan Umar yang mengangkatnya.” [19]

Di masa kekhalifahan Utsman, Syam merupakan wilayah yang dilindungi. Ia banyak mengasingkan para Qari Kufah dan juga Abu Dzar ke sana, meskipun setelahnya Muawiyah memindahkan mereka keluar dari Syam, tujuannya supaya orang-orang tersebut tidak mempengaruhi penduduk di sana. [20]

Syam adalah wilayah didikan Muawiyah. Hal itu nampak dari sikap rakyat Syam yang begitu setia kepada pemerintahan Bani Umayyah. Konon, para pembesar Bani Umayyah memberikan kesaksian bahwa hanya Bani Umayyah lah kerabat Nabi Saw. [21]

Muawiyah pernah berkata, “Nahnu syajaratu rasulillah” (Kami adalah pohon utusan Allah/keturunan nabi). [22]

Muawiyah dikenal sebagai salah seorang Pencatat Wahyu dan pemilik gelar Khalul Mukminin, sebenarnya hal itu tidak lepas dari propagandanya supaya orang mengenalnya sebagai sosok yang sangat religius.

Dia banyak memberikan hadiah kepada para perawi hadis supaya bersedia menciptakan hadis-hadis palsu dan menyebarkannya di masyarakat berkenaan dengan keutamaannya. [23]


Pemberontakan Melawan Utsman

Sejak awal sebenarnya Muawiyah telah mengambil kesempatan dari pemberontakan yang dilakukan untuk melawan Utsman. Suatu saat Muawiyah meminta Utsman untuk datang ke Syam supaya aman dari para penentangnya, namun Utsman menolaknya. [24]

Lama-kelamaan pemberontakan makin sengit. Muawiyah melihat saat itu adalah waktu yang tepat untuk membiarkan supaya Utsman terbunuh. Karena itu Muawiyah sama sekali tidak membantu Utsman, padahal kondisi yang dialami Ustman sangat sulit. Mengetahui hal itu, Utsman menulis surat bernada keras untuk Muawiyah. [25]

Sepeninggal Utsman, Muawiyah menyatakan bahwa Bani Umayyah adalah pewaris Utsman. Dengan dalih menuntut balas atas terbunuhnya Utsman, dia memberontak melawan Imam Ali As.

Setelah Utsman terbunuh, istri Utsman lari ke Syam. Di sana Muawiyah mencoba melamarnya namun ditolak. [26]

Dalam surat yang ditujukan kepada Imam Ali As, Muawiyah menyampaikan, “Utsman khalifah kami dibunuh secara zalim. Allah Swt berfirman, ‘Barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya’, jadi kami lah yang lebih layak atas apa yang ditinggalkan Ustman. [27]

Saat itu Muawiyah kembali menyebarkan propaganda bahwa dialah pewaris Utsman.


Di Zaman Imam Ali As

Di masa kekhalifahannya, Imam Ali berusaha menyingkirkan pengaruh Muawiyah. Sejak pertama menjabat sebagai Khalifah beliau menyampaikan kepada wakil Muawiyah, “Katakan kepada Muawiyah, aku tidak senang dengan kepemimpinannya di Syam, rakyat tidak akan menerima kekhalifahannya”. [28]

Sebelum terjadi Perang Jamal, Muawiyah menulis surat untuk Zubair yang isinya menyatakan bahwa dia telah mengambil baiat rakyat Syam untuk Zubair, jika Irak bisa dikuasai maka Syam sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Begitu menerima surat tersebut, Zubair sangat senang. [29]

Muawiyah saat itu ingin meminta dukungan dari salah seorang politikus Quraisy terkemuka, terutama yang pernah terlibat dalam Syura Kekhalifahan. Tujuannya adalah untuk memperkuat kekuatan politiknya. Imam Ali As menegaskan bahwa orang-orang Quraisy yang ada di Syam tidak ada yang diterima dalam Syura, kekhalifahan mereka tidak sah. [30]

Dalam surat yang dikirim kepada Imam Ali As, Muawiyah juga menyampaikan masalah Syura. [31]

Ketika menjadi Khalifah, Imam Ali As mengutus Abdullah bin Abbas ke pemerintah Syam. Beliau mengirim surat untuk Muawiyah, namun Muawiyah hanya membalasnya dengan surat kosong.

Wakil Muawiyah menyampaikan bahwa dia datang mewakili masyarakat yang yakin bahwa Imam Ali lah yang menyebabkan terbunuhnya Utsman, mereka ingin menuntut balas dengan membunuh Imam. [32]

Perang Jamal dan sikap Thalhah, Zubair dan Aisyah yang menentang Imam dijadikan alasan pendukung bagi Muawiyah guna mempropaganda bahwa Imam Ali As punya andil atas terbunuhnya Utsman. [33]

Setelah Perang Jamal, Imam Ali As menetap di Kufah. Saat itu seluruh wilayah Islam yang ada telah berbaiat kepada Imam Ali As, kecuali daerah kekuasaan Syam.

Dalam surat-suratnya, Imam Ali As berusaha meluluhkan Muawiyah supaya mau patuh kepada Imam, namun Muawiyah bersikeras menolak untuk patuh, alasannya karena dia adalah pejabat yang diangkat Umar. [34]

Muawiyah meminta supaya Imam Ali As menyerahkan kepemimpinan Syam dan Mesir, sebagai balasannya dia akan berbaiat kepada Imam. Imam menjawab, “Allah tidak akan pernah menyaksikan aku menjadikan orang-orang sesat sebagai kaki tangan(ku)”. [35]

Di Syam Muawiyah pernah menyampaikan, “Apa alasannya kalau Ali lebih layak menjadi Khalifah dibanding aku? Jika karena rakyat Hijaz membaitnya, aku juga dibaiat rakyat Syam, Hijaz dan Syam itu sama”.

Muawiyah menulis surat untuk Imam Ali As, “Waktu rakyat Hijaz masih menjaga kebenaran, memang mereka memimpin Syam. Namun kini mereka meninggalkannya, maka itu menjadi milik orang Syam”. [36]

Imam Ali As menjawab, “Kau bilang ‘saat ini orang Syam memimpin orang Hijaz’, sekarang tunjukkan satu saja orang Quraisy yang pernah terlibat dalam Syura… Baiat kepadaku itu wajib bagi semua pihak, tidak ada yang berhak menolak, tidak ada pilihan lain. [37]


Perang Shiffin

Setelah usaha Imam untuk meluluhkan Muawiyah melalui surat-surat yang dikirim tidak berhasil, [38] Imam putuskan untuk berjihad melawan Muawiyah.

Imam Ali As memanggil para sahabat terkemukanya, baik dari kalangan Anshar maupun Muhjirin, kemudian menyeru umat untuk melakukan jihad. Perang ini terjadi di Shiffin pada bulan Shafar tahun 37 H.

Di tengah pertempuran, ketika pasukan Muawiyah terdesak dan hampir kalah, mereka mengangkat al-Qur’an di ujung tombak.

Hal itu menyebabkan sebagian pasukan Imam Ali As menolak melanjutkan pertempuran.

Akhirnya, kedua belah pihak setuju untuk berunding guna memutuskan perkara di antara mereka dengan ditengahi juru runding, dan pertempuran tersebut berhenti tanpa ada hasil. [39]


Pasca Perang Shiffin

Setelah Perang Nahrawan, Imam Ali As kembali mempersiapkan rakyat Irak untuk perang melawan Syam.

Namun, saat itu tidak banyak yang bersedia bergabung dengannya, padahal Imam telah menyeru mereka supaya membantunya berjihad.

Hal itu membuatnya harus menyampaikan beberapa kali hutbah[40] yang berisi teguran keras untuk rakyatnya. “Aku berhadapan dengan manusia yang tidak taat bila aku perintah, dan tidak menyahut bila aku menyerunya.” [41]

Muawiyah mengetahui kelesuan rakyat Irak untuk berperang melawannya, karena itu dia segera memanfaatkan kondisi tersebut dengan melakukan agresi ke wilayah-wilayah kekuasaan Imam yang ada di Jazirah Arab hingga Irak.

Tujuannya untuk melemahkan kekuatan Imam sekaligus membuka jalan menguasai Irak secara utuh. [42]

Muawiyah menyampaikan, pembunuhan dan penjarahan akan membuat takut rakyat Irak. Dengan sendirinya mereka akan membelot atau bergabung dengan Syam. [43]

Agresi Muawiyah ini dikenal dengan sebutan “Gharat” (serbuan). Abu Ishaq al-Tsaqafi menyusun lis agresi tersebut dalam kitab yang berjudul al-Gharat.


Agresi Pasukan Syam

Abu Ishaq al-Tsaqafi mencatat agresi-agresi yang pernah dilakukan pasukan Muawiyah ke berbagai wilayah dalam kitab al-Gharat.


Agresi ke Mesir

Mesir merupakan wilayah pertama yang mendapat serangan pasukan Muawiyah. Pada Perang Shiffin, Qais bin Sa’ad yang saat itu sebagai Gubernur Mesir, berdiri di pihak Imam Ali As. Setelah Perang Shiffin, Muhammad bin Abu Bakar menjadi pemimpin Mesir.

Karena terjadi kekacauan di Mesir, Imam Ali As mengutus Malik al-Asytar ke sana. Mengetahui hal itu, Muawiyah segera menyusun rencana guna membunuh Malik al-Asytar, ahirnya Malik syahid dibunuh di daerah bernama Qolzum (wilayah Mesir).

Muawiyah menjanjikan Mesir untuk Amru bin Ash. Amru bin Ash pun berangkat menuju Mesir dengan membawa pasukan yang sangat banyak.

Kinanah bin Basyar beserta dua ribu pasukan menghadang pasukan Amru bin Ash di luar kota, namun Kinanah kalah dan terbunuh dalam pertempuran. Di dalam Mesir sendiri, orang-orang di sekitar Muhammad terpecah.

Pada ahirnya, Muhammad bin Abu Bakar dibunuh dan dibakar oleh Muawiyah bin Khadij, panglima pasukan Syam. [44]

Setelah itu Mesir lepas dari kekuasaan Imam Ali As karena dikuasai oleh Amru bin Ash. Amru bin Ash memimpin Mesir hingga ajalnya menjemput, tepatnya tahun 43 H.


Agresi ke Bashrah

Setelah berunding dengan Amru bin Ash, Muawiyah mengutus Abdullah bin Amir al-Hadhrami ke Bashrah, tujuannya untuk mengumpulkan pendukung dan mengambil alih Kota Bashrah.

Abdullah berhasil mengumpulkan suku Bani Tamim, dan kebanyakan mereka bersedia mendukung Abdullah. Sebagai bentuk pembelaan kepada Imam Ali As, Dhahhak bin Abdullah memprotes aksi Abdullah.

Ziyad bin Ubaid, wakil Gubernur Bashrah, mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas, Gubernur Bashrah, yang saat itu sedang berada di Kufah.

Melalui khutbah yang disampaikan dalam shalat Jumat, Ziyad meminta para pendukungnya untuk melawan Bani Tamim. Imam Ali As mengutus Ziyad bin Dhabiah al-Tamimi ke Bashrah untuk membujuk supaya Bani Tamim menarik kembali dukungannya dari Abdullah bin Amir.

Usaha Ziyad bin Dhabiah berhasil membuat sebagian Bani Tamim membelot dari Abdullah bin Amir.

Dalam menjalankan tugasnya Ziyad terbunuh di tangan golongan Khawarij.

Imam Ali As mengutus Jariah bin Qudamah beserta 50 orang Bani Tamim ke Bashrah untuk menyampaikan pesan Imam untuk para Syiah-nya. Ahirnya, dalam pertempuran Bani Tamim mengalami kekalahan. [45]


Agresi ke Irak

Muawiyah mengutus Dhahhak bin Qais ke Irak. Muawiyah berpesan, begitu sampai daerah mana pun Dhahhak harus langsung mulai perang dan membunuh para pendukung Imam Ali as kemudian segera melanjutkan agresinya ke daerah lain.

Dhahhak pun sampai di Kufah. Di sana dia merampas harta rakyat dan menyerang rombongan jamaah haji.

Imam Ali As mengutus Hujr bin ‘Adi beserta 4000 pasukan untuk mengejar Dhahhak. Hujr bertemu dengan Dhahhak di Tadmur dan terjadilah pertempuran yang memakan korban 19 nyawa dari pihak Dhahhak dan 2 nyawa dari pihak Hujr, sementara Dhahhak sendiri melarikan diri di tengah malam.

Nu’man bin Bashir adalah panglima Muawiyah dalam agresinya ke ‘Ainul Tamr, daerah dekat Sungai Furat.

Agresi itu mendapat perlawanan yang kuat hingga membuat Nu’man melarikan diri. Setelah mengalami beberapa kali serangan, ‘Adi bin Hatim, pendukung setia Imam Ali As, beserta 2000 pasukannya menyerbu daerah pinggiran Syam. [46]

Muawiyah mengirim bala tentara ke Dumat al-Jandal untuk menarik zakat. Saat itu Imam Ali As juga mengutus pasukan yang dipimpin oleh Malik bin Ka’ab.

Kedua pasukan itu berperang selama sehari, ahirnya pasukan Syam berhasil dipukul mundur. [47]

Muawiyah juga menyerang daerah Hit. Serangan itu dilakukan Sufyan bin Auf al-Qamidi beserta 6000 pasukannya, dari sana mereka meneruskan ke kota Anbar.

Saat itu pendukung Imam di kota Anbar berjumlah sedikit sehingga musuh berhasil memorak-porandakan kota. Setelah itu Imam Ali As mengutus Sa’id bin Qais al-Hamdani beserta 8000 pasukan untuk mengejar musuh. [48]


Agresi ke Hijaz

Pada musim haji tahun 39 H, Muawiyah mengirim pasukan yang dipimpin Yazid bin Syajarah ke Mekah. Tujuan Muawiyah adalah menyeru umat supaya berbaiat padanya. Menghadapi hal itu, Imam Ali As mengutus pasukan yang dipimpin Ma’qil bin Qais al-Riyahi ke Mekah.

Tanpa menimbulkan kerusuhan, setelah musim haji pasukan Syam kembali ke Syam. Ma’qil mengejar mereka hingga ke Wadi al-Qura. Ia hanya berhasil menangkap dan menawan beberapa pasukan musuh yang tertinggal kemudian menukarnya dengan tawanan Irak. [49]

Serangan yang dipimpin Busr bin Abi Arthat merupakan salah satu agresi Muawiyah yang terbengis. Muawiyah memerintahkan Busr untuk membunuh Syiah Ali di mana saja yang dia temui.

Setelah terjadi sengketa di Irak, para pendukung Utsman di Yaman memberontak Ubaidillah bin Abbas, Gubernur Yaman saat itu. Para pemberontak meminta bantuan kepada Muawiyah. Muawiyah pun mengirim Busr bin Abi Arthat.

Pertama, Busr pergi ke Madinah. Karena tidak memiliki kekuatan yang cukup, Abu Ayyub al-Anshari yang saat itu sebagai pemimpin Madinah menyelamatkan diri dari Madinah. Busr pun membakar rumahnya dan memaksa masyarakat Madinah untuk berbait kepada Muawiyah.

Setelah itu, Busr mengangkat Abu Hurairah menjadi pemimpin Madinah kemudian pergi ke Mekah dan Thaif. Di Tabalah Busr kembali membantai orang Syiah.

Karena takut pada Busr, warga Mekah banyak yang melarikan diri. Busr menawan istri Ubaidillah bin Abbas dan memenggal kepala anak-anaknya.

Tak hanya itu, Busr kemudian pergi ke Najran, di sana dia membunuh Abdullah bin Abdulmadan, ayah mertua Ubaidullah. Dari Najran, Busr melanjutkan perjalanannya ke Yaman.

Di Yaman Busr mendapat perlawanan dari kelompok Syiah, karena kekuatan yang tak seimbang, banyak orang Syiah yang terbunuh. Setelah itu Busr pergi ke Hadramaut. Menurut keterangan, banyak orang Syiah yang tinggal di sana.

Setelah mendapat kabar tentang serangan yang dilakukan Busr, Imam Ali As menugaskan Jariah bin Qudamah untuk menghadapi Busr. Sesampainya di Mekah, ternyata Busr telah meninggalkan tempat itu.

 Diriwayatkan, sebelum Jariah kembali ke Kufah, Imam Ali As telah syahid. Dan begitu sampai di Kufah, Jariah berbaiat kepada Imam Hasan As. [50]


Berdirinya Kekhalifahan Bani Umayyah

Setelah kesyahidan Imam Ali As rakyat Syam membaiat Muawiyah sebagai khalifah di Baitul Maqdis, mereka menyebutnya Amirul Mukminin. [51]

Setelah itu Muawiyah segera menuju ke Irak. Sementara di Kufah, Imam Hasan As beserta 12000 pasukannya, termasuk Abdullah bin Abbas, keluar menuju Madain. Begitu sampai di Sabath, terlebih setelah Muawiyah menyuap panglima perangnya, Imam Hasan As tidak lagi yakin dengan kesetiaan bala tentaranya.

Hal itu membuatnya kehilangan harapan untuk berperang. Ia memutuskan untuk berdialog dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Muawiyah.

Imam Hasan As memilih berdamai dengan Muawiyah dengan syarat, sepeninggal Muawiyah nanti pimpinan umat Islam harus dipegang Imam Hasan As.

Setelah masing-masing pihak menyetujui perjanjian damai, Imam Hasan dan Imam Husain terpaksa membaiat Muawiyah sebagai khalifah. Tahun terjadinya peristiwa itu disebut dengan “’Amul Jama’ah”, yaitu tahun ketika umat Islam, kecuali golongan Khawarij, membaiat Khalifah yang sama. [52]

Al-Jahiz menyampaikan, Muawiyah menamai tahun itu dengan sebutan ‘Amul Jamaah, padahal sebenarnya saat itu adalah “’Amul Firqah wal Qahr wal Ghalabah” (Tahun Perpecahan, Pemaksaan dan Penguasaan), yaitu tahun ketika sistem imamah diganti dengan sistem kerajaan, sistem kenabian dan kekhalifahan diubah dengan sistem kekaisaran. [53]

Pemerintahan Muawiyah adalah kekuasaan yang sebelumnya belum ada contohnya, dia merebut kekuasaanya melalui makar politik dan pemaksaan di tengah kekacauan agama-politik dan perseteruan kelompok dan golongan. [54]

Muawiyah sendiri menyatakan, kekhalifahan yang dia raih bukan melalui cinta, kekerabatan, pertemanan atau dukungan rakyat, namun pedang. [55]

Demikianlah awal berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah yang mengantarkan Muawiyah menjadi Khalifah Umat Islam. Kekhalifahan Bani Umayyah berdiri selama 91 tahun (41-132 H).

Keseluruhan, khalifahnya berjumlah 14 orang, yang pertama adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, dan yang terahir Marwan bin Muhammad al-Ja’di.


Usaha Muawiyah Sebelum Menjadi Khalifah

Sebelumnya, secara dhahir Muawiyah menyatakan bahwa perseteruannya dengan Imam Ali As bukan bertujuan untuk merebut kekhalifahan.

Sebelum terjadi Perang Jamal, Muawiyah menulis surat untuk Zubair yang isinya menyatakan bahwa ia telah mengambil baiat rakyat Syam untuk Zubair, jika Irak bisa dikuasai maka Syam sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Begitu menerima surat tersebut, Zubair sangat senang. [56]

Untuk menunjuk khalifah baru Muawiyah menyusun konsep Syura Bainal Muslimin, yaitu sistem musyawarah umat Islam.

Bahkan dia berusaha meminta dukungan dari salah seorang politikus Quraisy terkemuka, terutama yang pernah terlibat dalam Syura Kekhalifahan. Muawiyah juga menyampaikan masalah itu kepada Imam Ali As melalui suratnya. [57]

Kabar lain menyebutkan, sebelumnya orang Syam membaiat Muawiyah sebagai Amir saja, bukan Amirul Mukminin. Namun setelah kesyahidan Imam Ali As, Muawiyah mengklaim dirinya sebagi khalifah, dan rakyat harus membaitnya sebagai Amirul Mukminin. [58]

Muawiyah pernah menulis surat untuk pemerintah Homs, isinya menyuruh rakyatnya supaya membaiat Muawiyah sebagaimana yang dilakukan rakyat Syam.

Para pejabat Homs tidak bersedia membaiat Muawiyah kalau hanya sebagai Amir. Mereka berpendirian tidak akan mau membalas kematian Utsman tanpa adanya khalifah. Karena itu rakyat Homs menjadi pihak pertama yang membaiat Muawiyah sebagai khalifah. Setelah itu baru rakyat Syam melakukan hal yang sama. [59]

Sebenarnya untuk mendapatkan posisi khalifah adalah hal yang sulit bagi Muawiyah, hal itu karena dia dari golongan Thulaqa’. Sebab itu Muawiyah dari awal selalu berusaha memperbaiki citranya di mata umat Islam.

Di antara yang dilakukannya adalah memperkenalkan dirinya sebagai Khalul Mukminin, Pencatat Wahyu dan lain sebagainya. [60]


Strategi Politik Muawiyah

Terjadinya perjanjian damai antara Muawiyah dan Imam Hasan As adalah ahir kekhalifaan pertama sekaligus dimulainya masa kekuasaan Bani Umayyah.

Muawiyah menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah sadar bahwa untuk menggapai tujuan-tujuannya dia harus memperkokoh pondasi pemerintahannya.

Hal-hal penting yang dilakukan Muawiyah untuk mempertahankan kekuasaannya adalah sebagai berikut: mengubah sistem politik dan menjadikan militer sebagai poros kekuatan, menyamaratakan suku-suku, membentuk sistem putra mahkota, memberantas para penentang, bersikap baik dan bermurah hati terhadap para pemuka umat Islam, menjaga keamanan dengan kediktatoran, mengawasi langsung aktifitas pemerintahan dan lain sebagainya. [61]


Eksploitasi Agama untuk Memperteguh Kekhalifahan

Muawiyah memanfaatkan agama untuk memperteguh jabatan kekhalifahannya. Dia menyebut bahwa kekuasaan yang didapat itu atas kehendak Allah Swt, alasannya karena semua perbuatan itu atas ijin Allah Swt. [62]

Muawiyah menyatakan, “Kekhalifahan yang aku pegang sekarang ini adalah pemberian dan ketetapan Allah”. [63]

Hal serupa juga dia sampaikan kepada Aisyah ketika menentang pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota, Muawiyah berkata, “Ini adalah ketetapan Allah, tidak ada yang dapat menolak ketetapan Allah”. [64]

Ziyad bin Abih (Ziyad putra ayahnya), Gubernur Muawiyah untuk Bashrah dan Kufah, menyampaikan pidato, “Warga sekalian, kami adalah pejabat negara dan pelindung kalian, kami akan mengatur kalian dengan sistem kesultanan yang telah Allah berikan kepada kami”. [65]

Yazid dalam pidato pertamanya juga menyampaikan, “Ayahku adalah hamba Allah, Allah memuliakannya dengan menganugerahinya kekhalifahan… Dan sekarang, Allah memberikan kekuasaan itu kepada kami”. [66]

Ketika putra Utsman memrotes diangkatnya Yazid sebagai putra mahkota Muawiyah menajawab, “Ini adalah anugerah yang diberikan Allah kepada kami”. [67]

Muawiyah senang menggunakan sebutan “raja” untuk dirinya. Dia pernah berkata, “Aku adalah raja pertama”. [68]

Menurutnya, kerajaan hanya urusan politik, tidak ada sangkut-pautnya dengan keberagamaan masyarakat. Muawiyah berkata, “Demi Allah, pertempuran yang aku lakukan itu bukan untuk memperjuangkan shalat, puasa, zakat atau haji. Semua itu telah kalian lakukan. Aku perang untuk mendapat kekuasaan, dan ahirnya Allah memberikan itu padaku meski aku tahu kalian tidak senang”. [69]


Peristiwa Politik Internal di Masa Muawiyah 

Khawarij

Sepanjang masa kekuasaannya, Muawiyah selalu dibayang-bayangi keberadaan golongan Khawarij yang selalu mengusik ketenangan dengan aksi-aksinya. Sebenarnya itu tidak lepas dari sikap para gubernur Muawiyah yang terlalu keras kepada mereka.

Dikatakan, kebencian Muawiyah pada Khawarij lebih besar dibanding pada Imam Ali As. Golongan Khawarij menganggap Muawiyah telah melenceng dari jalur Islam. Sebagai balasan, Muawiyah juga bersikap sangat keras pada mereka.

Seiring berlalunya waktu, golongan Khawarij berubah menjadi mazhab agama. Akibat perselisihan pendapat di antara pemukanya, Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok.

Perang Nahrawan merupakan pertempuran pertama dan terahir golongan Khawarij di bawah satu komando dalam melawan musuhnya, karena setelah itu terjadi perpecahan di antara mereka.

Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Khawarij berdampak buruk bagi mereka sekaligus menguntungkan penguasa Bani Umayyah. Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Bani Umayyah untuk mengalahkan mereka.

Khawarij Kufah yang dipimpin Farwah bin Naufal al-Asyja’i menentang perjanjian damai antara Imam Hasan As dan Muawiyah. Waktu Muawiyah masih di Kufah, Farwah beserta pasukannya menyerang Muawiyah sehingga terjadi pertempuran di antara mereka.

Pada tahun 43 H Mustaurid bin ‘Alqamah memimpin pemberontakan terbesar Khawarij melawan Muawiyah, namun Mughirah bin Syu’bah, Gubernur Kufah, dengan dibantu pasukan utusan dari pusat berhasil mengalahkan mereka.

Selama beberapa tahun Khawarij Kufah tidak mengadakan pemberontakan. Baru pada tahun 58 H Hayyan bin Zhabyan kembali memimpin pemberontakan.

Tahun berikutnya pemberontakan tersebut berhasil diatasi dan mereka semua dibunuh. Sebagaimana Khawarij Kufah, Khawarij Bashrah juga melakukan memberontak.

Pada tahun 41 H Sahm bin Ghalib dan Khathim Bahuli memimpin sebuah pemberontakan, namum berhasil digagalkan oleh Ibnu ‘Amir, Gubernur Bani Umayyah. Karena sikapnya yang terlalu lembut kepada Khawarij, Muawiyah mencopot jabatan Ibnu ‘Amir.

Pada tahun 45 H Ziyad bin Abih diangkat sebagai Gubernur Bashrah. Ia menerapkan sistem politik keras terhadap Khawarij. Setelah kematian Ziyad pada tahun 53 H, Khawarij Bashrah mendapat angin segar sehingga dapat kembali beraksi lebih longgar.

Pada tahun 55 H Ubaidillah menjadi Gubernur Bashrah. Begitu menjadi gubernur, Ubaidillah memburu orang-orang Khawarij kemudian memenjarakan, mengasingkan dan membunuh mereka.


Kondisi Politik di Luar Irak

Kondisi politik di luar Irak tidak mengalami kendala yang signifikan. Para gubernur Muawiyah menjalankan tugas pemerintahannya tanpa protes. Amru bin Ash menjadi gubernur di Mesir hingga ahir hayatnya.

Pada tahun 63 H Amru meninggal kemudian digantikan putranya yang bernama Abdullah selama dua tahun. Setelah itu, gubernur Mesir digantikan oleh Utbah bin Abi Sufyan lalu Muawiyah bin Khadij.

Di Hijaz terdapat tokoh-tokoh besar Islam, di antaranya Imam Hasan As, Imam Husain As, Abdullah bin Zubair dan lainnya. Karena itu Muawiyah mengawasi wilayah Hijaz secara langsung dengan mengangkat para gubernur dari kalangan Bani Umayyah, tujuannya supaya mereka menjalankan perpolitikan yang sudah diatur oleh Muawiyah.

Sedangkan untuk Madinah, kekuasaannya dipercayakan kepada Marwan bin Hakam dan Said bin Ash.

Di samping kegiatan politik, Muawiyah juga meramaikan wilayah itu dengan kegiatan-kegiatan non-politik seperti menggelar acara musik, lagu, syair dan ilmu agama sehingga mengubahnya menjadi wilayah metropolitan.


Syiah

Tak diragukan lagi, golongan Syiah adalah musuh Muawiyah. Muawiyah dan para bawahannya banyak bersitegang dengan mereka. Banyak kekejaman yang dilakukan Muawiyah terhadap golongan Syiah (Ali As), di antaranya sebagai berikut:

Menumbuhkan Permusuhan Atas Diri Imam Ali As

Salah satu cara Muawiyah dalam menghadapi golongan Syiah adalah mendorong masyarakat supaya memusuhi Imam Ali As.

Muawiyah dan penguasa Bani Umayyah setelahnya berusaha keras mencoreng nama baik Imam Ali As di mata umat dengan menyebar berita bohong tentang beliau. Mereka menyampaikan ke masyrakat bahwa Imam Ali As adalah orang yang suka perang dan menumpahkan darah. [70]

Bani Umayyah selalu mengumbar kebencian dan melaknat Imam dalam acara-acara yang mereka adakan. Ibnu Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balagah-nya menyebutkan beberapa hadis palsu yang diciptakan Muawiyah berkenaan dengan celaan tentang Imam Ali As. [71]

Celaan dan laknat terhadap Ali As sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak zaman Muawiyah hingga generasi Umawi setelahnya. Baru pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz tradisi tersebut dihapus. [72]

Ketika Marwan bin Hakam ditanya, “Kenapa di mimbar-mimbar orang-orang selalu melaknat Ali?”, Dia menjawab, “Hanya dengan melaknat Ali kekuasaan Bani Umayyah bisa bertahan”. [73]

Muawiyah menyampaikan, ini (melaknat dan mencela Imam Ali As) harus dibiasakan di masyarakat, supaya anak-anak tumbuh dewasa dengan syiar itu, para pemuda menjadi tua dengan kebiasaan itu.

Jangan sampai ada yang menyampaikan tentang keutamaannya(Ali). [74]

Muawiyah memberikan 400.000 dinar kepada Samrah bin Jundab supaya menyampaikan ke umat bahwa ayat al-Qur’an yang berbunyi,“Padahal ia adalah penantang yang paling keras” (al-Baqarah:204) itu turun berkenaan dengan Imam Ali As. [75]

Bani Umayyah juga menyuruh beberapa sahabat dan tabi’in untuk meriwayatkan hadis-hadis palsu yang berisi celaan kepada Imam Ali As, di antaranya Abu Hurairah, Amru bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Urwah bin Zubair. Bani Umayyah memerintah para khatib dan pejabatnya untuk melaknat Imam Ali As di setiap ahir khutbahnya, jika tidak mereka bersedia maka akan dipecat. Mereka juga melarang rakyatnya untuk menamai anaknya dengan nama Ali.


Membunuh Hujr bin ‘Adi dan Para Pengikutnya

Saat Mughirah dan orang semisalnya melaknat Imam Ali As di mimbar Kufah, Hujr bin ‘Adi dan Amru bin Hamiq al-Khuza’i beserta para pendukungnya bangkit untuk membalas laknat itu ke mereka.

Setelah Ziyad bin Abih menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah, dia memburu dan berusaha menangkap Hujr bin ‘Adi beserta pendukungnya.

Amru bin Hamiq al-Khuza’i dan beberapa orang berhasil melarikan diri ke Mosul. Sedangkan Hujr bin ‘Adi beserta 13 orang pendukungnya tertangkap kemudian dikirim ke hadapan Muawiyah.

Ziyad menulis surat untuk Muawiyah untuk menyampaikan bahwa yang dikirim ke hadapannya adalah orang-orang yang melawan umat Islam, mereka menolak untuk melaknat Abu Turab (julukan Imam Ali As) dan berdusta kepada para penguasa, karena itu mereka dianggap sebagai pembangkang.

Ketika tawanan sampai di daerah Adra, beberapa mil dari Damaskus, Muawiyah memerintahkan supaya mereka dibunuh di sana. Untuk kepentingan mediasi, 6 dari 13 tawanan dibiarkan hidup, sedang 7 lainnya dibunuh.

Mereka yang dibunuh di antaranya, Hujr bin ‘Adi, Syarik bin Syidad al-Hadrami, Shaifi bin Fusail Syaibani, Qabishah bin Dhabi’ah al-Abasi, Muhriz bin Syahab al-Tamimi, Kadam bin Hayyan Al-Anzi, [76] dan Abdurrahman bin Hassan Anzi. [77]

Ketika kabar tersebut sampai ke Imam Husain As, beliau sangat terpukul. Dalam salah satu surat yang dikirim ke Muawiyah, Imam Husain As menyebut pembunuhan Hujr bin ‘Adi adalah salah satu kebengisan Muawiyah. [78]

Aisyah istri Nabi juga memrotes perbuatan Muawiyah tersebut. Ketika Muawiyah memberikan alasan atas perbuatannya Aisyah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Sepeninggalku nanti akan ada orang-orang yang dibunuh di Adra, Allah dan penghuni langit marah atas terbunuhnya mereka’,”. [79]

Hasan al-Bashri berkata, Muawiyah punya empat keburukan yang masing-masing sangat mencelakai umat:
1. Memanfaatkan umat Islam demi meraih kekuasaan dengan cara perang.
2. Menunjuk putranya yang peminum minuman keras, suka mengenakan baju sutra dan bermain musik sebagai putra mahkotanya.
3. Menjadikan Ziyad sebagai saudara angkatnya.
4. Membunuh Hujr bin ‘Adi. [80]

Di sini Hasan a-Bashri menyampaikan dua kali, “sungguh malang Hujr dan pendukungnya”. [81]
Menekan dan Mempersulit Kelompok Syiah

Politik yang dijalankan Muawiyah di Syam tidak mampu mempengaruhi Syiah Irak, karena itu dia memilih untuk menyiksa dan membunuh mereka.

Sejak zaman Imam Ali As sudah banyak orang Syiah yang dibunuh orang-orang Bani Umayyah. Muawiyah mengutus Busr bin Abi Arthat, Sufyan bin Auf dan Dhahhak bin Qais ke Irak dan Hijaz. Mereka diperintahkan untuk membunuh orang Syiah di manapun mereka dapati.

Mughirah berkuasa di Kufah dari tahun 41-49 (atau 50) H, dia bersikap lunak dengan orang Syiah sehingga kondisi politik di sana saat itu relatif aman. Setelah kematian Mughirah, Muawiyah mengangkat Ziyad bin Abih sebagai Gubernur Kufah.

Di awal kekuasaanya di Kufah, Ziyad memotong tangan 80 orang karena tidak sudi membaitnya. Tokoh Syiah yang terbunuh di tangan Ziyad adalah Muslim bin Zaimar dan Abdullah bin Najja. Dalam surat yang dikirim ke Muawiyah saat terbunuhnya Hujr, Imam Husain As juga menyinggung tentang kedua orang itu.

Tugas yang diemban Ziyad adalah membasmi Syiah di Kufah dan seluruh wilayah Irak. Ibnu A’tsam mengatakan, Ziyad selalu memburu orang Syiah, di manapun dia temui pasti dibunuh, banyak sekali yang sudah dia bunuh. Di samping membunuh, Ziyad juga membutai mata dan memotong tangan dan kaki orang-orang Syiah.

Ziyad pernah mengumpulkan orang Syiah di masjid untuk memperdengarkan celaan yang dia sampaikan kepada Imam Ali As. Imam Hasan As memrotes aksi Ziyad dengan mengirim surat ke Muawiyah. Sebagai balasan, Muawiyah menulis, “Siapapun yang dianggap sebagai Syiah dan berteman dengan Ali akan kami musnahkan, apapun alasannya”.
Baiat Yazid Sebagai Putra Mahkota

Masalah yang paling penting bagi Muawaiyyah adalah mengambil baiat dari rakyat untuk kekhalifahan putranya, Yazid. Saat itu Muawiyah berseberangan dengan metode pemilihan khalifah di zaman kekhalifahan Abu Bakar. [82]

Untuk mempertahankan kekuasaan yang sudah dibangunnya, Muawiyah menciptakan sistem waris dalam pemerintahannya. Hal itu tentu tidak mudah, karena kaum Arab sejak dulu tidak kenal dengan sistem waris dalam pemerintahan.

Kondisi itu jelas membuat Muawiyah khawatir karena akan mengancam usaha yang dia bangun selama 30 tahun dalam mendirikan kekuasaan Bani Umayyah. Muawiyah bertekad, kekhalifahan harus tetap dipegang oleh Bani Umayyah, sebab itu dia memilih Yazid sebagai khalifah setelahnya.

Di samping itu, Muawiyah ingin pusat pemerintahan harus tetap berada di Syam karena kekuatan politik Bani Umayyah ada di sana. [83]

Saat itu terdapat tiga kelompok, pertama, kelompok yang mendukung sistem sebagaimana yang digunakan pada zaman para khalifah dulu. memrotes pemerintah Bani Umayyah.

Menurut mereka sistem waris dalam pemerintahan itu sudah keluar dari tradisi Islam.

Kedua, kelompok yang mendukung pemerintah Bani Umayyah.

Ketiga, kelompok yang sangat anti Bani Umayyah, yaitu golongan Syiah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa pimpinan pemerintahan dan agama adalah hak Ahlul Bait As. [84] Menurut riwayat mashur, Mughirah bin Syu’bah lah yang saat itu membujuk Muawiyah supaya memikirkan masalah pengangkatan Yazid. [85]

Namun sebenarnya Muawiyah sendiri telah mengambil keputusan itu, hanya saja yang pertama kali menyampaikan masalah itu terang-terangan di tengah masyarakat adalah Mughirah. [86]

Ziyad bin Abih memiliki sikap lain, dia menilai Yazid adalah orang yang lemah, padahal lawan-lawannya sangat kuat. Menurutnya, Yazid lebih senang berburu dibanding menjadi khalifah, dia tidak cocok menjadi khalifah. [87]

Ahirnya Muawiyah menerima saran Ziyad dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemberontakan dari pihak Imam Hasan As dan putra-putra sahabat Nabi.

Sementara waktu dia menunda untuk mengangkat Yazid sebagai putra mahkota hingga suasana lebih kondusif. Pada tahun 49 H Imam Hasan As syahid, hal ini membuat Muawiyah bersemangat untuk meminta orang-orang berbaiat kepada putranya, Yazid.

Muawiyah mewakilkan pekerjaan itu kepada suku-suku sekutunya yang ada di Syam. Pelaksanaanya dikepalai oleh Dhahhak bin Qais dan Hassan bin Bajdal al-Kalbi. [88]

Sebab-sebab Penundaan Proses Pengangkatan Yazid dan Aksi Muawiyah

Berikut adalah sebab-sebab penundaan proses pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota:
1. Meredam para pemuka Hijaz, khususnya putra-putra para sahabat besar Nabi Saw seperti Imam Husain As, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan bahkan sebagian tokoh Bani Umayyah sendiri seperti Marwan bin Hakam dan Said bin Ash.

Supaya para tokoh Hijaz tidak memberontak, Muawiyah mengirim surat pada Marwan bin Hakam.

Marwan diminta mencari tahu pendapat masyrakat berkenaan dengan pemilihan calon penggantinya nanti. Saat itu Muawiyah berpesan supaya nama Yazid tidak disebut.

Begitu menerima laporan bahwa masyarakat memberikan jawaban positif, Muawiyah segara menyampaikan ke Marwan supaya mengumumkan bahwa pilihan pengganti Muawiyah jatuh pada Yazid. Muawiyah juga menginstruksikan kepada para pejabatnya supaya memberikan ucapan selamat kepada Yazid dan masing-masing kota besar mengirimkan delegasinya.

Para delegasi dari berbagai kota pun datang untuk membaiat Yazid. Kabar pun tersebar luas, dan reaksi penolakan Madinah atas pembaiatan tersebut adalah yang paling keras dibanding kota-kota Islam lainnya. Hal itu nampak dari munculnya kelompok-kelompok penentang seperti yang dikepalai Abdurrahman bin Abu Bakar. [89]

Penolakan juga muncul dari pihak Imam Husain As, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar. Dengan tegas mereka menolak Yazid untuk disiapkan menjadi khalifah. Marwan pun memberitahukan situasi tersebut kepada Muawiyah. [90]

Keempat tokoh tersebut sepakat menyatakan, jika memang kekhalifahan itu bersifat warisan, maka mereka lebih berhak dibanding Yazid. Saat itu Muawiyah terpaksa harus mengambil langka sikap guna memuluskan keinginannya supaya rakyat Hijaz berbaiat kepada Yazid. Pertama dia berlaku lembut.

Pada tahun 50 H Muawiyah pergi ke Madinah untuk berdialog dengan empat orang tokoh penting yaitu, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Abu Bakar. Muawiyah meminta mereka supaya bersedia membaiat Yazid, namun ternyata harapannya pupus. [91]

Sebelum acara pembaiatan, Muawiyah kembali berusaha meminta para tokoh untuk bersedia berbaiat. Kali ini Muawiyah menugaskan Said bin Ash untuk memaksa para penentangnya dengan cara kekerasan. Banyak yang ahirnya terpaksa harus ikut berbaiat, namun tetap ada juga yang bersikeras menolaknya, hususnya dari pihak Bani Hasyim. [92]

Segala cara dilakukan Muawiyah supaya dapat mengambil hati rakyat, termasuk dengan memberikan banyak hadiah kepada mereka. Para penyair seperti Uqaibah al-Asadi dan Abdullah bin Hammam yang dulunya sangat membenci Yazid, setelah menerima uang dari Muawiyah ahirnya mereka berubah mendukungnya. Pada tahun 56 H Muawiyah secara resmi mengangkat Yazid sebagai penggantinya dengan mengadakan pesta di Damaskus. [93]

Guna mengantisipasi terjadinya pemberontakan dari rakyat Hijaz, Muawiyah berangkat ke Madinah dengan niat meredamkan gejolak para penentang. Ketika Muawiyah sampai di dekat Madinah, para penentangnya pergi ke Mekah.

Adapun warga yang masih tinggal di Madinah ahirnya berbaiat kepada Yazid. Muawiyah murka dan memutuskan untuk mengejar mereka yang lari. Begitu tiba di Mekah, Muawiyah berdialog dengan para penentangnya di Masjidil Haram. Saat itu Ibnu Zubair ditunjuk sebagi juru bicara pihak oposisi, namun ternyata dialog itu tidak membuahkan hasil. Muawiyah pun mengancam akan menyiksa para penentangnya, kecuali Imam Husain As dan Abdullah bin Zubair, jika tidak bersedia membaiat Yazid. [94]

2. Mempersiapkan Yazid Guna Menerima Jabatan. Supaya Yazid siap menerima jabatan khalifah yang akan disandangnya, Muawiyah menunjuknya sebagai panglima dan dikirim ke Romawi untuk membantu pasukan di sana.

Muawiyah memilih tokoh-tokoh Islam untuk menyertai Yazid seperti, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Abu Ayyub al-Anshari, tujuannya supaya Yazid terlihat sebagai seorang pejuang Islam. [95]
Mengganti Sistem Syura dengan Pemerintahan Turunan. Dengan taktik politiknya, Muawiyah mampu memadamkan gejolak para musuhnya. Sehingga dia berhasil mengubah sistem kekhalifahan yang ada menjadi sistem kerajaan yang bisa diwariskan. [96]


Politik Luar Negeri Muawiyah

Tidak seperti di zaman para khalifah terdahulu, di masa kekhalifahannya, Muawiyah tidak banyak mengadakan perluasan daerah kekuasaan baru. Dia lebih fokus untuk memperkokoh pemerintahannya dan mengislamkan rakyat Iran.

Karena itu Muawiyah mengirim puluhan ribu keluarga Arab untuk tinggal di daerah Iran, husunya di Khurasan. Dibanding harus menaklukkan wilayah baru, Muawiyah lebih memilih memperkuat kekuasaan politiknya di wilayah timur dengan cara menyebarkan Islam, dan dia berhasil. [97]

Adapun untuk wilayah barat, karena di sana terdapat kekuatan Roma, dia menggunakan strategi khusus.


Front Timur

Peperangan yang terjadi di wilayah bagian timur lebih banyak untuk meredamkan para pemberontak, kecuali pada beberapa daerah pinggiran, di antaranya, Al-Muhallab bin Abi Sufrah berhasil menarik pasukan hingga ke Lahore. [98]

Qais bin Haitsam berhasil kembali menaklukkan Badghis, Herat dan Balkh. [99]dan di zaman Yizad bin Abih, Kabul juga berhasil ditaklukkan. [100]

Ubaidillah bin Ziyad berhasil memperluas daerah kekuasaan hingga ke Bikand dengan mengalahkan Ratu Khatun. [101]

Setelah Said bin Utsman bin Affan memimpin Khurasan, Ratu Khatun melanggar perjanjian damai sehingga menyebabkan terjadinya perang. Ahirnya Said bin Utsman menaklukkan Bukhara, Samarqan dan Termez. [102]


Front Romawi

Pasca kemenangan muslimin dalam pertempuran Dzatu al-Shuwari pada tahun 34 H, terjalin hubungan politik baru antara muslimin dan orang Romawi. Untuk merebut kembali wilayahnya Romawi memperkuat jajaran pasukannya.

Langkah yang diambil Muawiyah saat itu adalah memperkuat pasukannya untuk mempertahankan daerah-daerah perbatasan dan pesisir Islam. Dia membangun pos-pos modern di setiap sudut perbatasan. Muawiyah memperhatikan daerah Antiokhia, pada tahun 42 H dia memindahkan sekelompok orang Iran, Ba’labak, Homs, Kufah dan Bashrah ke sana.

Di zamannya, Muawiyah juga memperkuat militer lautnya, sehingga dia berhasil menyerang Anatolia. Di zaman Utsman, pada tahun 28 H Siprus berhasil ditaklukkan. Pada tahun 49 Muawiyah bermaksud mengepung Kostantinopel melalui serangan darat, namun tidak berhasil menguasainya.

Kemudian pada tahun 52 H Muawiyah berhasil menaklukkan Pulau Rodos. Setelah menguasai daerah lain di sekitar sana, Muawiyah berhasil menguasai seluruh wilayah laut Kostantinopel.

Untuk kedua kalinya, pada tahun 54 H Muawiyah kembali mengepung Kostantinopel, dan usaha itu berlangsung hingga tahun 60 H. Sebelum berhasil mencapai tujuannya, Muawiyah menarik pasukannya dan mengadakan perdamaian dengan Romawi.


Front Afrika Utara

Muawiyah memulai menyerang Afrika Utara pada tahun 45 H. Dia memerintahkan Muawiyah bin Hadij untuk menyerang daerah sebelah barat Tripoli.

Pada tahun 49 H Kirenaika dan Tripoli pisah dari Mesir, kemudian Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di sana.

Pada tahun 55 H Abu Muhajir Dinar al-Anshari penggantikan Uqbah. Berbeda dengan Uqbah, Abu Muhajir bersikap lunak dengan Bangsa Berber.

Hal itu sangat membantu dalam tersebarnya Islam di sana. Abu Muhajir berhasil menaklukkan Kota Mileh dan mengislamkan penduduknya.

Pada sebuah pertempuran di Tlemcen, Abu Muhajir berhasil mengalahkan musuh dan menawan panglima perangnya yang bernama Kusailah bin Mulzam.

Setelah menerima ajakan dan melihat sikap baik Abu Muhajir, ahirnya Kusailah masuk Islam. Yazid bin Muawiyah kembali mengangkat Utbah bin Nafi sebagai gubernur menggantikan Abu Muhajir. Penggantian itu sekaligus dimulainya periode ke-4 penaklukan Afrika Utara.


Catatan Kaki:

1. Mausu’ah Hayat al-Shahabah Min Kutub al-Turats, jld. 5-6, hlm. 3478.
2. Tarikh Dimasyq, jld. 1, hlm. 349.
3. Ibnu Abdul Bar, al-Isti’ab, jld. 1, hlm. 401.
4. Ibnu Atsir, Asad al-Ghabah, jld. 4, hlm. 433.
5. Lih: al-Dzahabi, Syamsuddin, Sair I’lam al-Nubala’, jld. 3, hlm. 122.
6. Musnad Thayalasi, Sy. 2746. Muslim, Sy. 2604. Ansab al-Asyraf, jld. 4, hlm. 125.
7. Lih, Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah Fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, hlm. 403-407.
8. Lih. Askafi, al-Mi’yar wa al-Muwazinah, hlm. 21. Tafsir Ibnu Katsir, jld. 3, hlm.477. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 59, hlm. 103.
9. ‘Asqalani, Ibnu Hajar, Futuh al-Bari Fi Syarh Shahih al-Bukhari, jld. 8, hlm. 105.
10. Baladzuri, Abul Abbas Ahmad bin Yahya bin Jabir, Futuh al-Buldan, hlm. 173.
11. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 86. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 4, hlm. 444.
12. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 8, hlm. 16.
13. Dinawari, Abu Hanifah, al-Akhbar al-Thiwal, hlm. 172.
14. Rasail Jahizh, al-Risalah al-Siyasiyah, hlm. 344.
15. Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 25, hlm. 24.
16. Tatsbit Dalail al-Nubuah, hlm. 593.
17. Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 25, hlm. 17, 18, 20. Rasail Jahizh, al-Risalah al-Siyasiyah, hlm. 344.
18. al-‘Aqd al-Farid, jld. 1, hlm. 15, jld. 5, hlm. 114. Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 25, hlm. 18.
19. Ansab al-Asyraf, jld. 4, hlm. 550.
20. Lih. Thabaqat al-Qubra, jld. 4, hlm. 229. Al-Ghadir, jld. 6, hlm. 306, jld. 9, hlm. 373.
21. Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 33. Al-Niza’ wa al-Takhashum, hlm. 28.
22. Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 11, hlm. 87.
23. Lih. Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 25, hlm. 5-16. Misal, diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Yang dipercayai Allah Swt ada tiga, Jibril, aku dan Muawiyah”.
24. Ibnu Katsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 157.
25. Dzahabi, Syamsuddin, Tarikh al-Islam, ‘Ahdu al-Khulafa al-Rasyidin, hlm. 450-451. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 4, hlm. 19.
26. Natsr al-Dar, jld. 4, hlm. 62. Balahat al-Nisa’, hlm. 139. Al-‘Aqd al-Farid, jld. 6, hlm. 90.
27. Lih. Al-Gharat, hlm. 70.
28. Rasail Jahizh, al-Risalah al-Siyasiyah, hlm. 345-346.
29. Lih. ‘Ayanu al-Syiah, jld. 3, juz II, hlm. 12.
30. Waq’ah Shiffin, hlm. 58.
31. Al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 121.
32. Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 211-212.
33. Rasul Ja’fariyan, Tarikh Khulafa, jld. 2, hlm. 278.
34. Al-Futuh, jld. 2, hlm. 380.
35. Waq’ah Shiffin, hlm. 52. Al-Futuh, jld. 2, hlm. 392.
36. Al-Futuh, jld. 2, hlm. 429-430.
37. Waq’ah Shiffin, hlm. 58. Al-Futuh, jld. 2, hlm. 432.
38. Waq’ah Shiffin, hlm. 110-111. Al-Futuh, jld. 2, hlm. 477-480.
39. Ya’qubi, Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 188.
40. Misal, Nahjul Balaghah, khutbah 39, 131, 180.
41. Nahjul Balaghah, khutbah 39.
42. Rasul Ja’fariyan, Tarikh Khulafa, jld. 2, hlm. 323.
43. Al-Gharat, hlm. 176 (terjemah Persia).
44. Al-Gharat, jld. 1, hlm. 276-289.
45. Al-Gharat, jld. 2, hlm. 373-412.
46. Al-Gharat, jld. 2, hlm. 445-459.
47. Al-Gharat, jld. 2, hlm. 459-461.
48. Al-Gharat, hlm. 463-503.
49. Al-Gharat, jld. 2, hlm. 504-516.
50. Rasul Ja’fariyan, Tarikh Khulafa, hlm. 332-333.
51. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 163. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 161.
52. Ya’qubi, Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 123. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 8, hlm. 16. Bandingkan dengan Tarikh Khalifah bin Khayath, jld. 1, hlm. 187. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 163. Abul Fida’, Ismail bin Ali Imaduddin bin Khayath, jld. 1, hlm. 187. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 163. Abul Fida’, Ismail bin Ali Imaduddin, al-Mukhtashar Fi Akhbar al-Basyar, jld. 1, hlm. 184.
53. Jahizh, Risalah al-Jahizh Fi Bani Umayyah, hlm. 124.
54. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, terjemah Hujjatullah judaki, hlm. 19.
55. Ibnu Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 81.
56. Lih. Amin, Ahmad, A’yanu Syiah, jld. 3, juz II, hlm. 12.
57. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 121.
58. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 5, hlm. 161. Ibnu Manzhur, Mukhtashar Tarikh Dimaysq, jld. 25, hlm. 27.
59. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 100.
60. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 22.
61. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, terjemah Hujjatullah judaki, hlm. 18.
62. Kandehlawi, Hayat al-Shahabh, jld. 3, hlm. 63.
63. Ibnu Manzhur, Mukhtashar Tarikh Dimasyq, jld. 9, hlm. 85.
64. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 205.
65. Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 4, hlm. 180. Jahizh, Abu Utsman Amru, al-Bayan wa Tabyin, jld. 2, hlm. 49. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 220.
66. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 225. Dinawari, Abu Hanifah, al-Akhbar al-Thiwal, hlm. 226. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 4, hlm. 299, sy. 798.
67. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 214.
68. Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, jld. 2, hlm. 232. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannif, jld. 11, hlm 147.
69. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 16, hlm. 46. Ibnu Manzhur, Mukhtashar tarikh Dimasyq, jld. 25, hlm. 43, 45.
70. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 28.
71. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 4, hlm. 63.
72. Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 243.
73. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 184.
74. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 4, hlm. 57. Al-‘Umani, al-Nashyih al-Kafiyah, hlm. 72.
75. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 4, hlm. 361.
76. Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, jld. 2, hlm. 162-163.
77. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 4, hlm. 207.
78. Dinawari, hlm. 223-224. Lih. Thabari, jld. 5, hlm. 279.
79. Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, jld. 2, hlm. 61. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Darul Fikr, jld. 12, hlm. 226. Al-Shafdi, al-Wafi Bil-Wafiat, jld. 11, hlm 248. Majlisi, Biharul Anwar, jld. 18, hlm. 124.
80. Ibnu al-Asir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 487, Bairut, Dar Shadir.
81. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld. 4, hlm. 208.
82. Abdul Latif, Abdu Syafi, al-‘Alam al-Islami Fi al-‘Asyri al-Umawi, hlm. 121.
83. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 33.
84. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 33.
85. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 301-307.
86. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 39.
87. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 302-303.
88. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 34.
89. Ibnu Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 250.
90. Ibnu Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 250.
91. Khalifah bin Khayath, Tarikh Khalifah bin Khayath, jld. 1, hlm. 199-202.
92. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 175.
93. Ibnu Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 249.
94. Ibnu Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 251. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 182-191.
95. Ya’qubi, Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 229. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 232.
96. Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasiy wa al-Diniy wa al-Tsaqafiy wa al-Ijtima’iy, jld. 1, hlm. 284. Salim, al-Sayyid Abdul Aziz, Tarikh al-Daulah al-Arabiah, hlm. 614-615.
97. Muhammad Suhail Thaqusy, Daulat Umawiyan, hlm. 42.
98. Baladzuri, Futuh al-Buldan, hlm. 608.
99. Ibnu Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, jld. 3, hlm. 208-209.
100. Baladzuri, Futuh al-Buldan, hlm. 559.
101. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 297-298.
102. Baladzuri, Futuh al-Buldan, hlm. 578-588.


Daftar Pustaka:

1. Ibnu Atsir, Asad al-Ghabah Fi Ma’rifah al-Shahabah, cetakan Muhammad Ibrahim Bina dan Muhammad 2. Ahmad Asyur, Kairo, 1970-1973. Darul Kitab al-Arabi, Bairut.
3. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah.
4. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, cetakan Ali Syiri, Bairut, 1415-1421 H/1995-2001. Darul Fikr, Bairut.
5. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi.
6. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi, terjemah Muhammad Ibrahim Ayati, Teharan, Ilmi wa Farhanggi, 1378 Hs.
7. Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk.
8. Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari, Bairut, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’ah.
9. Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari Fi Syarhi Shahih al-Bukhari.
10. Baladzuri, Abul Abbas Ahmad bin Yahya bin Jabir, Futuh al-Buldan.
11. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah.
12. Ibnu Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farid.
13. Suyuthi, Jalaluddin, al-Jami’ al-Shaghir, Darul Fikri, Bairut.
14. Dinawari, Ahmad bin Daud, al-Akhbar al-Thiwal, cetakan Abdul Mun’im Amir, Kairo, 1960.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: