Pesan Rahbar

Home » » Benarkah mayoritas umat Islam Indonesia Ahlussunnah Wal Jamaah ? Ilusi

Benarkah mayoritas umat Islam Indonesia Ahlussunnah Wal Jamaah ? Ilusi

Written By Unknown on Monday, 7 July 2014 | 23:28:00


Saudi Arabia tempat pendidikan teroris.




Benarkah mayoritas umat Islam Indonesia Ahlussunnah Wal Jamaah ? Mayoritas Muslim Indonesia dan dunia tidak menyadari dan tidak memiliki identitas kemazhaban. Mayoritas mutlak dari 1,7 milyar Muslim hanya menyadari dirinya sebagai Muslim dan terikat dengan identitas keislamannya. Labelisasi Sunni-Syiah dan label-label sekterian lain diberikan oleh penguasa berkedok agama untuk menggebuk musuh dan meraih keuntungan-keuntungan politik sesaat. Namun, dalam kenyataannya, label-label itu tidak dipahami dan diakui oleh individu-individu umat Muslim sendiri sebagai penanda keislamaan seseorang.
 
Nahdhatul Ulama (NU) bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berakidah sesuai dengan ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy’ari ?   Sebagian besar tradisi NU seperti ziarah kubur, tahlil, peringatan 4-7-40 dan haul, penghormatan terhadap ulama, tawasul, tabaruk, dan sebagainya merupakan tradisi-tradisi khas Syiah yang tidak terdapat dalam referensi-referensi kitab klasik Ahlus Sunnah wal Jamaah melainkan semata-mata ada dalam kitab-kitab klasik Syiah seperti Mafatih Al-Jinan karya Abbas Al-Qummi, Al-Iqbal karya Al-Kaf’ami, Al-Balad Al-Amin karya Sayyid Ibn Thawus dan sebagainya.
 
Ahlussunah adalah aliran yang diikuti mayoritas umat Islam dunia sejak dari dulu hingga saat ini. sementara ada beberapa aliran yang jelas bukan bagian dari Ahlussunah di antaranya Syiah, Wahabi Khawarij, dan Mu’tazilah.
 
 
Syi’ah mengkritik para sahabat yang kemudia menyebut pihaknya sebagai Syi’ah Ali dan Ahlul Bait.Bahkan, secara historis, para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Abu Hanifa dan Imam Malik belajar kepada Imam Ja’far Ash-Shodiq, imam keenam Syiah, dalam soal-soal agama. Interaksi ilmiah terus berlangsung secara damai sampai ada ambisi politik yang menyeret isu mazhab dalam pertarungan profan tersebut.
 
Syiah adalah mazhab Islam yang terpengaruh dengan tradisi Persia dan Zoroastrianisme ?  Iran baru memeluk mazhab Syiah pada abad 15 Masehi di zaman Safawi. Sebelumnya, Iran adalah pusat perkembangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dapat dilihat dari fakta sebagian besar kitab rujukan milik Ahlus Sunnah saat ini merupakan karya-karya ulama Sunni berdarah Persia, seperti Shahih Bukhori dan sebagainya. Bahkan, Syiah semula merupakan mazhab resmi Mesir di era Daulah Fathimiyyah yang berhasil membangun pusat kota Kairo dan Universitas Al-Azhar.
 
Mazhab Syiah yang dijadikan sebagai mazhab resmi Dinasti Safawi merupakan reaksi dendam atas penaklukan Muslim Arab atas Persia ? Dinasti Safawi sebenarnya bukan didirikan oleh elit berdarah Persia melainkan oleh sekelompok keluarga yang memiliki darah Turki Azeri. Oleh karena itu, pusat kerajaan Safawi dimulai dari Ardabil yang memiliki banyak perampuran etnik Turki-Azeri dan Kurdi. Sebaliknya, penganut Syiah paling awal adalah kelompok Arab Irak yang bertempat di Kufah, Irak dan sebagian lain berada di wilayah Bahrain (hingga kini mayoritas penduduknya bermazhab Syiah), Yaman (hingga kini mayoritas penduduk Yaman Utara bermazhab Syiah Zaidiyyah), Mesir (cikal-bakal dinasti Fathimiyah), dan sebagainya. Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya.
 
 
 
Salafi-Wahabi adalah sama dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah ? Salafi Wahabi adalah ajaran asing dalam sejarah Islam, yang memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Khawarij. Mereka sama sekali berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kerap mengedepankan jalan tengah dan moderasi dalam berbagai prinsipnya. Pertentangan ajaran Wahabi-Salafi yang membajak Sunni terutama sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Imam Syafii yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia.
 
Rezim-rezim Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah ? Sebagian  pemimpin rezim-rezim petrodolar ini beraliran sekuler ekstrem yang sama sekali tidak terikat dengan syariah Islam dari mazhab mana pun. Mereka menjalin hubungan bilateral secara terang-terangan dan terbuka dengan Amerika Serikat dan secara sembunyi-sembunyi dengan anak kesayangan AS, Israel, yang setiap hari membunuhi mayoritas Muslim Sunni di Palestina, Afghanistan, Yaman, Somalia, Sudan, dan sebagainya.
 
Arab Saudi adalah kerajaan yang menjunjung tinggi Islam ? Dalam masa kekuasaan rezim Kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab selama 100 tahun terakhir Arab Saudi, dua kota utama umat Muslim, Mekkah dan Madinah, telah mengalami perusakan yang massif. Jika trend ini dibiarkan dalam puluhan tahun mendatang maka sejarah Islam tidak akan lagi meninggalkan jejak-jejak historis dan arkeologis yang berarti. Segalanya akan berganti wajah menjadi dua kota kosmopilitan yang kehilangan sakralitas. Dekonstruksi atas situs-situs historis umat Islam yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi ini mirip dengan kelakuan rezim zionis Israel terhadap situs-situs historis keagamaan milik Kristen dan Muslim di tanah suci Palestina. Motif kedua rezim itupun sama: menghilangkan jejak-jejak sakralitas dan historisitas kota-kota suci demi membangun sebuah pemahamaan keagamaan yang seutuhnya didistorsi.
 
 
Jumat, 15 Januari 2010.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa saat ini tidak banyak kajian-kajian keislaman yang dihasilkan oleh para pemuka agama Islam, para ulama maupun para da’i di negeri ini. Ini ditegaskan Ketua MUI KH Cholil Ridwan dalam perbincangan dengan Republika di sela-sela peluncuran Buku Indeks Hadits dan Syarah oleh Buya H. Muhammad Alfis Chaniago di Gedung MUI Jakarta, Kamis (14/1).
 
”Sebenarnya kajian-kajian keislaman di negeri ini sudah berlangsung sejak lama, namun belakangan tidak banyak lagi kajian-kajian keislaman yang dihasilkan.Sayangnya, kajian keislaman ini belakangan justru banyak dikuasai oleh kalangan liberal. Sehingga yang banyak berkembang di kalangan umat belakangan ini adalah paham-paham liberal,” tegas kiai Cholil Ridwan. 
 
Karena banyak dikuasai oleh kalangan liberal, menurut kiai Ridwan maka praktis masalah-masalah seperti sekularisasi agama dan hal-hal yang berkait dengan paham liberal dan yang bertentangan dengan MUI, justru menjadi marak di negeri ini.Menurut kiai Ridwan, ini karena metode dakwah para ulama dan da’i di Indonesia belakangan ini cenderung tetap mempertahankan cara-cara konvensional. ”Jadi para da’i dan ulama terjebak pada kegiatan-kegiatan rutin dakwah yang sifatnya normatif dan konvensional,” papar kiai Ridwan.

Walaupun diakui kiai Ridwan bahwa MUI maupun ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU telah memiliki pusat kajian keislaman. Namun itu tetap dirasa kurang. Karena itu pihaknya berharap agar para ulama, da’i dan pemuka agama Islam juga banyak melakukan kajian-kajian keislaman yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi umat.

Belum Menjawab Persoalan Umat.

Sementara itu, Buya H. Muhammad Alfis Chaniago, mengungkapakan bahwa kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh para ulama, pemuka agama Islam, dan para da’i dirasa sudah cukup banyak. Sayangnya, kajian-kajian keislaman tersebut belum bisa menjawab sepenuhnya persoalan-persoalan yang tengah dihadapi umat dalam kehidupan keseharian.

”Memang sudah banyak kajian-kajian keislaman dilakukan, namun sayangnya belum bisa menjawab sepenuhnya persoalan-persoalan yang dihadapi umat,” kata Alfis. ”Jadi sebenarnya umat sekarang ini masih banyak mengharapkan para ulama, da’i, dan pemuka agama untuk melakukan kajian-kajian keislaman yang bisa menjawab tantangan ke depan,” tambahnya.

Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, Alfis meluncurkan buku Indeks Hadits yang terdiri dari dua jilid itu. Buku tersebut ditulis Alfis selama dua tahun dengan menyisihkan waktunya tiga jam setiap hari. Buku Indeks Hadits dan Syarah ini berisi 1.646 Hadits pilihan dari enam kitab Hadits Shaheh.

Sumber:  http://syiahali.wordpress.com/2014/07/07/benarkah-mayoritas-umat-islam-indonesia-ahlussunnah-wal-jamaah-ilusi/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: