بِسمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ للَّهِ رَب الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ. إِيَّاك نَعْبُدُ وَ إِيَّاك نَستَعِينُ. اهْدِنَا الصرَاط الْمُستَقِيمَ. صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْت عَلَيْهِمْ غَيرِ الْمَغْضوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضالِّينَ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Pengaruh Basmalah terhadap Perbuatan
Ketika manusia akan melakukan suatu perbuatan, mereka sering mengawalinya dengan menyebut nama tokoh dan pemimpin besar mereka. Dengannya mereka mengharapkan kesuksesan apa yang mereka lakukan.Mengharapkan penghargaan dan kasih sayang darinya atau untuk mengenang dan mengabadikan namanya. Dalam hal yang sama manusia sering menamakan anak, bagungan atau lembaga mereka dengan nama orang yang mereka cintai dan kagumi. Juga menamakan anak dengan nama orang tuanya agar namanya dapat dikenang dan tidak terlupakan.
Allah swt mengawali firman-Nya dengan asma-Nya yang agung agar keagungan maknanya menjadi pengajaran, pendidikan dan ketergantungan bagi seluruh hamba-Nya dalam berbuat, beramal dan berbicara. Sehingga asma-Nya yang agung menjadi guru dan pembimbing mereka dalam melakukan sesuatu dan mengantarkan mereka pada kehendak Ilahi. Agar amal dan perbuatan mereka tidak sia-sia dan membinasakan. Karena dalam asma Allah tidak ada satu pun jalan kebatilan dan kebinasaan.
Di dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa setiap apa yang ditujukan kepada-Nya tidak ada satu pun kebinasaan dan kebatilan. Sebaliknya, setiap apa yang tidak ditujukan kepada-Nya adalah kesia-sian dan kebatilan. Karena tak ada sesuatupun yang kekal kecuali Dia. Setiap amal yang ditujukan kepada-Nya dan diawali dengan asma-Nya, Dialah yang mengabadikan dan menjaganya dari kebinasaan. Setiap sesuatu akan abadi bila sesuai dengan ketetapan Allah swt. Inilah yang dimaksudkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ahlul bait (sa) dan Ahlussunnah bahwa Rasulullah saw bersabda:
كل امر ذي بال لم يبدأ فيه باسم الله فهو ابتر
“Setiap perkara penting yang tidak diawali dengan asma Allah, ia akan terputus.”
“Abtar” artinya terputus yakni tidak sempurna. Seperti binatang yang terpotong ekornya, tidak sempurna.
Makna preposisi Ba’
Preposisi ba’ yang artinya “dengan” memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu “aku memulai”, yakni maknanya aku memulai pembicaraan dengannya. Mengawali pembicaraan dengannya berarti satu perbuatan, kesatuannya hadir dari kesatuan maknanya. Inilah makna yang harus dipahami dan tujuan yang hendak dicapai.
Tentang tujuan yang hendak dicapai, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
قَدْ جَاءَكم مِّنَ اللَّهِ نُورٌ وَ كتَابٌ مُّبِينٌ. يَهْدِى بِهِ اللَّهُ
“Sesungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangi. Dengannya Allah member petunjuk..” (Al-Maidah: 15-16). Juga ayat-ayat lain yang semakna dengannya.
Tujuan Al-Qur’an adalah memberi petujuk kepada hamba-hamba Allah swt, dan petunjuk itu dimulai dengan “Basmalah”. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah tempat kembali hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, memberi petujuk ke jalan kasih sayang dan rahmat-Nya, rahmat yang bersifat umum, dan rahmat yang bersifat khusus bagi orang-orang mukmin untuk kebahagian di akhirat dan menjumpai Tuhannya. Allah swt berfirman:
وَ رَحْمَتى وَسِعَت كلَّ شىْءٍ فَسأَكتُبهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa…” (Al-A’raf: 156). Dan masih banyak ayat Al-Qu’an yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia.
Allah swt menyebutkan secara berulang-ulang kata “surat” di dalam Al-Qur’an:
قُلْ فَأْتُوا بِسورَةٍ مِّثْلِهِ
Katakanlah: “coba datangkan sebuah surat seumpamanya.” (Yunus: 38).
قُلْ فَأْتُوا بِعَشرِ سوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْترَيَتٍ
Katakanlah: “coba datangkan sepuluh surat yang dibuat dan menyamainya.” Huud: 13)
وَ إِذَا أُنزِلَت سورَةٌ
“Dan apabila diturunkan suatu surat…” (At-Taubah: 86)
سورَةٌ أَنزَلْنَهَا وَ فَرَضنَهَا
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan…” (An-Nur: 1)
Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah saw membagi firman-Nya menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dinamakan surat. Ini menunjukkan bahwa stiap surat Al-Qur’an merupakan satu kesatuan dalam struktur dan kesempurnaan maknanya.
Ketika satu kesatuan ini tidak terdapat dalam suatu surat Al-Qur’an dan tidak berkait dengan surat yang lain, maka tujuan yang hendak dicapai oleh surat tersebut berbeda dengan surat yang lain. Setiap surat Al-Qur’an mempunya makna yang khusus dan tujuan tertentu, tanpa hal ini tidak sempurna suatu surat Al-Qur’an. Karena itu, “Basmalah” sebagai permulaan setiap surat merujuk pada tujuan khusus surat itu.
Dengan demikian, maka “Basmalah” dalam surat Al-Fatihah merujuk pada tujuan dan makna yang hendak dicapainya. Tujuan surat Al-Fatihah ditunjukkan oleh keindahan kalimatnya yaitu pujian kepada Allah dengan menampakkan ubudiyah kepada-Nya, memperjelas ibadah, mengkhususkan permohonan pertolongan dan petunjuk kepada-Nya. Inilah makna dan tujuan ketika Allah swt mengalihkan posisi hamba-Nya pada diri-Nya, agar ia mendapat bimbingan secara khusus di maqam ubudiyah dengan bimbingan-Nya.
Penampakan ubudiyah yang dilakukan oleh hamba-Nya merupakan amal yang mencerminkan seorang hamba dan urusan penting yang diperuntukkan padanya. “Basmalah” sebagai permulaan dan pengantar kembalinya seorang hamba kepada Allah swt, mengandung makna: Dengan asma-Mu aku tampakkan ubudiyah kepada-Mu.
Preposisi ba’ dalam Basmalah dikaitkan dengan kalimat yang implisit “aku memulai”. Tujuannya untuk menyempurnakan keikhlasan dalam maqam ubudiyah. Sebagian mufassir mengatakan: dihubungkan dengan kalimat implisit “aku memohon pertolongan”. Tapi yang lebih tepat dibuhungkan dengan kalimat “aku memulai”. Karena surat ini sudah meliputi permohonan pertolongan secara jelas yaitu dalam kalimat: “Kepada-Mu aku memohon pertolongan.”
Makna suatu Nama
“Ism” (nama) adalah suatu kata yang menunjukkan pada sesuatu atau person yang dinamai. Kata “Ism” berakar kata dari “As-Simah” artinya tanda. Atau berakar kata dari “As-Sumuwwu” artinya tinggi. Jadi nama adalah suatu kata yang menunjukkan pada sesuatu atau person, bukan person itu sendiri.
Adapun nama Allah secara esesnsial diambil dari sifat-sifat-Nya, bukan zat-Nya tetapi suatu kata yang menunjukkan pada zat-Nya. Misalnya “Al-‘Alim” (Maha Mengetahui) adalah nama yang diambil dari sifat Yang Maha Mengetahui. Nama yang diatributkan pada Allah, bukan zat Allah yang tidak diketahui kecuali melalui sifat-sifat-Nya. Sedangkan sifat adalah sesuatu yang menunjukkan pada zat-Nya.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa nama ada dua macam: sebuah kata dan hakikat. Jadi, nama yang dekat dan menunjukkan pada subtansi adalah nama dalam makna yang kedua. Sementara nama dalam makna yang pertama adalah nama tidak langsung. Yang berpendapat seperti ini mengatakan: nama dalam makna yang pertama adalah nama dari suatu nama; dalam makna yang kedua adalah nama secara langsung. Misalnya kata “Ilm” (pengetahuan) menunjukkan pada Allah Yang Maha Mengetahui. Sedangkan “Yang Maha Mengetahui” adalah nama tak langsung yang menunjukkan pada “Ilm” yang merupakan nama langsung yang diatributkan kepada Allah sebagai pemiliki pengetahuan. Jadi, “Ilm” adalah nama Allah sedangkan “Al-‘Alim” (Yang Maha Mengetahui) merupakan nama daripada nama.
Penjelasan ini didasarkan pada analisa ilmiah, tetapi dari sudut pandang bahasa kata “Ism” mempunyai makna sebagaimana yang kami paparkan.
Memang pada abad-abad pertama Islam, para teolog berbeda pendapat tentang “Ism”, nama Allah: apakah nama itu adalah zatnya itu sendiri atau bukan. Perdebatan ini berkepanjangan, tapi sekarang telah jelas bahkan tergolong pada “ilmu muda” yang mudah dipahami. Karena itu kita tidak perlu menghabiskan waktu memasuki perdebatan itu. Yang terpenting sekarang membatilkan yang batil, dan membenarkan yang benar.
Makna kata “Allah”
Secara bahasa kata “Allah” berasal dari “Ilah” yang artinya: yang disembah. Kata “Ilah” berwazan “Fi’âl” bermakna maf’ul, seperti “kitâb” bermakna “maktûb”, yang ditulis. Jadi “ilâh” bermakna “ma’lûh” yang disembah atau yang dikagumi oleh pikiran.
Kata “Allah” telah dikenal oleh bangsa arab jahiliyah, seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَ لَئن سأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنى يُؤْفَكُونَ
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah.” (Az-Zukhruf: 87)
وَ جَعَلُوا للَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَ الأَنْعَمِ نَصِيباً فَقَالُوا هَذَا للَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَ هَذَا لِشرَكائنَا
“Mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” (Al-An’am: 136)
Mungkin nama-nama Allah yang lain digunakan sebagai kata sifat, misalnya: Allah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kadang-kadang juga digunakan dalam bentuk kata kerja, misalnya: Rahimallâhu wa ‘alima wa razaqa, Allah Maha mengasihi, mengetahui dan memberi rizki. Tetapi kata “Allah” tidak pernah digunakan sebagai nama yang lain atau dalam bentuk kata kerja. Dari sini jelaslah bahwa kata “Allah” adalah nama yang paling agung yang diatributkan kepada-Nya.
Wujud Allah sebagai Tuhan segala sesuatu menunjukkan bahwa Dia memiliki semua sifat yang sempurna. Karena itulah kata “Allah” merupakan nama-Nya yang subtansial, yang meliputi semua kesempurnaan sifat-sifat-Nya Sehingga kata “Allah” tidak memiliki makna kecuali makna yang ditunjukkan katanya yaitu Yang Disembah dan Yang Dikagumi.
Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim berakar dari kata “Ar-Rahmah”. Sifat inilah yang secara langsung membekas ke dalam hati manusia yang sangat membutuhkan sesuatu untuk memenuhi keperluannya. Kemudian Allah swt mengutus hamba-Nya untuk menyempurnakan kekurangannya dan memenuhi kebutuhannya. Inilah makna karunia untuk memenuhi kebutuhannya, dengan makna inilah Allah swt disifati dengan “Ar-Rahmah”.
Ar-Rahmân berwazan fa’lân dalam sighat mubalaghah, berarti banyak dan sangat. Sedangkan Ar-Rahîm berwazan fa’îl dalam sifat musyabbahah, yang artinya tetap dan abadi. Sehingga, makna Ar-Rahman: rahmat yang bersifat umum, rahmat yang banyak untuk orang-orang mukmin juga orang-orang kafir. Makna ini disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
الرَّحْمَنُ عَلى الْعَرْشِ استَوَى
“Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
قُلْ مَن كانَ فى الضلَلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَداًّ
“Katakanlah: Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.” (Maryam: 75)
Adapun makna Ar-Rahim menunjukan pada kenikmatan yang terus-menerus dan rahmat yang abadi, hanya dikaruniakan kepada orang-orang mukmin, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَ كانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً
“Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43)
إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117)
Dan masih banyak ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut. Jadi, Ar-Rahman bersifat umum untuk orang-orang mukmin juga orang-orang kafir, sedangkan Ar-Rahim bersifat khusus hanya untuk orang-orang mukmin.
(Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, jilid 1, Allamah Thabathaba’i).
(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email