Fadak (Bahasa Arab: فدك)adalah sebuah desa di daerah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar yang menjadi obyek persengketaan antara Abu Bakar dan Sayidah Fatimah Sa. Berdasarkan literatur-literatur sejarah, beberapa lama setelah penaklukan benteng-benteng Khaibar oleh kaum Muslimin, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw. Karena Fadak ditaklukkan tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi.
Pendapatan dari Fadak, berdasarkan perintah Nabi diberikan kepada kaum yang membutuhkan dari kalangan Bani Hasyim dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Menurut literatur yang ada, Nabi Saw kemudian memberikan Fadak kepada putrinya, Sayyidah Fatimah Zahra. Setelah Nabi Saw wafat, Abu Bakar memanfaatkan Fadak untuk kepentingan kekhalifaannya.[1]
Sehubungan dengan masalah Fadak ini terdapat sebuah khutbah yang terkenal dengan nama khutbah Fadakiyah. Khutbah ini adalah khutbah yang menjelaskan tentang protes terhadap peristiwa ini meskipun khalifah menolak penyerahan Fadak. Kebun Fadah setelah itu, sepanjang sejarah telah berkali-kali pindah tangan dan kadang-kadang dikembalikan kepada keturunan Sayyidah Zahra As. Pada masa sekarang ini, di daerah Fadak terdapat kota bernama Haith.
Kebun Fadak
Lokasi Tanah Fadak di Utara Madinah
“Yang kami miliki di kolong langit ini hanyalah Fadak, tetapi sekelompok orang serakah atasnya dan pihak yang lain memakannya. Alhasil, Allah adalah hakim yang terbaik. Apa yang akan saya lakukan: ada Fadak atau tidak, sedang besok tubuh ini akan masuk ke kubur yang dalam kegelapannya jejak-jejaknya akan dihancurkan dan (bahkan) kabar-kabar darinya akan lenyap. Itu adalah lobang, sekalipun lebamya diperlebar atau tangan-tangan penggalinya membuatnya luas dan terbuka, batu-batu dan bongkah-bongkah lempung akan menyempitkannya, dan tanah yang berjatuhan akan menutupi celah-celahnya. Saya berusaha untuk menjaga diri saya dalam takwa agar di satu hari ketakutan besar ia akan menjadi damai dan tabah di tempat-tempat yang licin. Apabila saya mau, saya dapat mengambil jalan yang mengantar kepada (kesenangan dunia seperti) madu mumi, gandum yang halus dan pakaian sutra, tetapi tak mungkin hawa nafsu saya memimpin saya dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang bagus-bagus sementara di Hijaz atau di Yamamah mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak mempunyai cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang. Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar dan haus?” (Imam Ali bin Abi Thalib As,Nahj al-Balaghah, Surat 45).
Lokasi Fadak
Fadak berada di wilayah Hijaz dan jaraknya kira-kira 160 km dari Madinah. Meskipun Fadak berdekatan dengan daerah kering, namun Fadak sendiri adalah daerah yang ditutupi dengan kebun-kebun kurma dan semenjak dulu merupakan lahan pertanian dan perkebunan.[2]
Pada zaman permulaan Islam, orang Yahudi tinggal di daerah ini. Di dekat Fadak, terdapat benteng militer seperti benteng dengan nama Shamrukh. [3]
Karena posisi strategis Fadak, maka tempat ini menjadi tumpuan militer orang Yahudi di Hijaz. [4]
Berdasarkan bebereapa literatur yang ada, hingga khalifah ke-2 orang-orang Yahudi masih tinggal di Fadak, namun ia memaksa mereka untuk meninggalkan Fadak. [5]
Pada masa sekarang ini, Fadak adalah sebuah kota yang berkembang dengan nama “Al-Haith” yang pada tahun 1975 meliputi 21 kampung dan berdasarkan sensus pada tahun 2010 berpenduduk sekitar 14 ribu orang. [6];[7]
Tipologi Iklim dan Perekonomian
Fadak pada masa kemunculan Islam, adalah lahan pertanian dan perkebunan kurma dan hal ini karena kesuburan tanah dan kekayaan sumber daya air, oleh itu, pendapatan pertanian di Fadak sangat melimpah. [8]
Dikatakan bahwa nilai pohon kurma Fadak sebanding dengan pohon kurma yang ada di Kufah, yang merupakan kota kaya dengan hasil kurma yang melimpah. [9]
Dikatakan pula bahwa ketika Umar memutuskan untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Fadak, ia membayar kepada mereka sebanyak 50 ribu dirham seharga setengah dari harga Fadak. [10]
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pendapatan Fadak sangatlah banyak, namun tidak diketahui secara pasti berapakah hasil tahunan kebun Fadak ini. Sebagian sumber-sumber informasi menyebutkan bahwa pendapatan tahunan dari Fadak pada zaman Nabi Saw menembus hingga kisaran antara 24 ribu hingga 70 ribu dinar. [11]
Sebagian peneliti berkeyakinan bahwa hasil Fadak memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan Bani Hasyim, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan bantuan dari baitul mal khalifah. [12]
Fadak pada Zaman Nabi Muhammad Saw
Setelah adanya kejahatan yang dilancarkan kaum Yahudi di peperangan Khandaq dan kalahnya musuh di peperangan ini, Nabi Muhammad demi menghadapi orang-orang Yahudi yang ada di daerah ini, menyerang daerah ini dan dengan peperangan itu, berhasil menaklukkan Khaibar.
Ketika Khaibar berhasil ditaklukkan dan kaum Yahudi menyerah kepada kaum Muslimin, kabar tentang jatuhnya Khaibar (yang memiliki kekuatan sangat signifikan) sampai kepada orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng dan perkebunan Fadak.
Dengan peristiwa ini, mereka ketakutan dan sebelum pasukan Islam sampai ke daerah Fadak, mereka mengirim seorang utusan untuk mengabarkan tentang penyerahan mereka dan keridhaannya kepada Nabi Muhammad Saw.
Perdamaian orang Yahudi dengan Nabi adalah dengan cara: sebagian dari hasil perkebunan dan tanah Fadak diberikan kepada Nabi Saw, di sisi lain, keamanan mereka dijamin dan kepemilikan mereka di wilayah itu terjaga. [13]
Pemberian Fadak kepada Sayyidah Zahra As
Dari sisi bahwa pasukan kaum Muslimin tidak ikut dalam menaklukkan tanah Fadak, maka menurut hukum al-Quran, Fadak adalah khalisah (terkhusus untuk) Nabi Muhammad Saw.
Hukum al-Quran secara gamblang menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslimin tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.
﴾وَمَا أَفَاء اللَّهُ عَلَی رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَیهِ مِنْ خَیلٍ وَلَا رِکابٍ وَلَکنَّ اللَّهَ یسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَی مَن یشَاء وَاللَّهُ عَلَی کلِّ شَیءٍ قَدِیرٌ﴿
"Setiap harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[14](Qs. Al-Hasyr [59]:6)
Rasulullah Saw menggunakan pendapatan tanah dan kebun Fadak untuk membiayai kehidupan beliau sendiri dan untuk mencukupi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan dari keluarga Bani Hasyim serta orang-orang lainnya yang membutuhkan bantuan. [15]
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, pada masa kemudian Nabi memberikan Fadak kepada putrinya, Sayyidah Fatimah Zahra As. [16]
Sebagian para mufassir seperti Syaikh Thusi, [17] Thabarsi, [18] Huskani, [19] Suyuthi, [20] terkait dengan ayat
﴾وَآتِ ذَا الْقُرْبَیٰ حَقَّهُ﴿
(dan berikanlah kepada kerabat yang terdekat haknya, (Qs. al-Isra [17]-26)
menyatakan bahwa karena ayat ini turun, maka Nabi Muhammad Saw memberikan tanah dan kebun Fadak kepada Fatimah Sa. Tentu saja berdasarkan riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As dalam Kafi, fadak merupakan salah satu anfal, bukan fai’ dan tidak ada seseorang selain Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali As yang ikut serta dalam menaklukkan Fadak. Oleh sebab itu, Fadak diberikan kepada Sayyidah Fatimah Zahra Sa.[21]
Fadak setelah Zaman Nabi Muhammad Saw
Pemerintah Menyita Fadak
Tak lama setelah peristiwa Saqifah Bani Sa’idah terjadi dan Abu Bakar memegang tampuk kursi kekhalifahan, ia mengumumkan bahwa Fadak bukan merupakan kepemilikan pribadi dan Fadak disita untuk digunakan keperluan kekhalifahan.
Fatimah Sa terpaksa menemui Abu Bakar dan terjadilah percakapan di antara mereka tercatat di buku-buku sejarah maupun riwayat-riwayat dengan perbedaan sedikit dalam penukilkannya.
Menurut suatu nukilan, Fatimah menginginkan Fadak dikembalikan kepadanya. Abu Bakar berkata ia mendengar dari Nabi bahwa harta Nabi Saw akan diberikan kepada kaum Muslimin setelah sepeninggalnya beliau dan ia akan menerima warisan darinya. [22]
Fatimah Sa menjawab: “Ayahku memberikan harta itu kepadaku.” Kemudian Abu Bakar menginginkan supaya Sayidah Fatimah Sa menyertakan bukti bahwa Nabi Muhammad Saw memberikan tanah Fadak kepadanya.
Menurut nukilah dari sebagian sumber sejarah, Sayidah Fatimah membawa suaminya, Imam Ali As dan Ummu Aiman sebagai saksi. Abu Bakar pun menerimanya dan membawa kertas sehingga tidak akan ada lagi orang yang akan memprotes keberadaan tanah Fadak, akan tetapi ketika Fatimah Sa keluar, Umar bin Khatab melihatnya dan merobek surat itu. [23]
Berdasarkan sebagian sumber-sumber yang lain, Abu Bakar dalam dialog ini menukil sebuah riwayat dari Nabi Saw dimana berdasarkan riwayat itu, tidak ada sedikit pun warisan yang beliau wariskan, namun Fatimah As berkata bahwa Fadak telah diberikan Nabi Saw kepadanya.
Menurut sumber ini, Abu Bakar menginginkan bahwa Sayidah Fatimah membawakan saksi khusus. Sayidah Fatimah pun membawa suaminya, Imam Ali dan Ummu Aiman, namun Abu Bakar tidak mengakui kesaksian Ummu Aiman sehingga Fadak tidak dikembalikan kepada Sayidah Fatimah Sa.
Oleh itu, Sayidah Fatimah meninggalkan dialog itu dan kemudian pergi ke tempat sahabat-sahabat yang sedang berkumpul dan mengenalkan dirinya dan mempertahankan kepemilikannya tentang tanah Fadak seraya menyampaikan pidato yang terkenal dengan nama khutbah Fadakiyyah. [24]
Namun Abu Bakar tetap tidak mengembalikan tanah Fadak kepadanya. Mengenai jumlah saksi terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam rujukan-rujukan sejarah. Berdasarkan sebuah nukilan, Sayyidah Fatimah juga membawa dua orang putranya sebagai saksi. [25]
Fahr al-Razi berpendapat bahwa salah satu budak Nabi juga memberi kesaksian atas peristiwa ini. [26]
Baladzuri menulis bahwa nama budak itu adalah Ribah. [27]
Dalam literatur Syiah terdapat nama Asma binti Umais yang tercatat juga sebagai saksi. [28]
Juga dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw menulis bahwa surat kepemilikan tanah Fadak adalah Sayidah Fatimah Zahra Sa. [29]
Berdasarkan sumber-sumber sejarah, ketika Nabi Saw wafat tanah Fadak berada di tangan Sayidah Fatimah dan beliau memiliki wakil, pedagang perantara dan pekerja. [30]
Sebagian peneliti sejarah berkeyakinan bahwa hal ini telah menjadi saksi bahwa Nabi Saw memberikan tanah Fadak kepada putrinya. [31]
Pada masa pemerintahan Umar, kepemilikan Fadak juga tidak dikembalikan kepada keluarga Nabi Saw. [32]
Usman menyerahkan kepengurusan Fadak kepada Marwan bin Hakam dan setelah itu pada zaman kekhilafahan Imam Ali As hingga berakhirnya pemerintahan Umawi berada dalam kendali mereka. [33]
Berdasarkan sumber Ahlus Sunah, pendapatan Fadak pada masa ketiga khalifah hingga periode Utsman digunakan untuk keperluan Bani Hasyim dan Ibnu Sabil, meskipun kepemilikan Bani Hasyim diambil.
Sumber ini menegaskan bahwa beginilah tradisi Rasulullah Saw tentang Fadak dan tradisi ini diubah pada masa dinasti Bani Umayyah berkuasa yaitu Bani Hasyim tidak memperoleh bagian dari pendapatan Fadak.[34]
Analisa Kasus Fadak
Sayid Mahmud Baqir Shadr dalam kitab Fadak fi al-Tārikh terkait dengan pembahasan Fadak menuliskan bahwa Fadak sebenarnya adalah sebuah masalah politik. [35]
Dipersoalkannya masalah Fadak oleh Sayidah Fatimah Zahra Sa memiliki dua manifestasi: Islam dan Kafir, iman dan munafik dan perbedaan nash dan musayawarah. Masih dalam buku itu, [36]ia menjelaskan bahwa Fadak adalah simbol perlawanan dengan tujuan besar dan agung.
Fadak memiliki makna perlawanan semua sisi terhadap penguasa pada waktu itu dimana asal mulanya adalah peristiwa Saqifah yang dimotori oleh 3 orang: Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah Jarah. [37]
Apabila Sayidah Fatimah Zahra hanya mencari sepetak tanah sebagai warisan, pasti akan sangat banyak pecinta dan Syiah Ali yang siap memberi kesaksian dan menyelesaikan permasalahan Fadak, namun Sayidah Fatimah Sa memiliki tujuan yang lain. Dalam buku yang ditulisnya, penulis menandaskan bahwa Sayidah Fatima Sa menempuh 6 langkah dalam berjuang melawan pemerintahan yang berkuasa. [38]
1. Mengutus perwakilan untuk menemui Abu Bakar untuk mengambil warisan (baik Fadak maupun lainnya) dan menjelaskan bahwa Fadak adalah warisannya bukan pemberian
2. Melakukan protes secara langsung kepada Abu Bakar
3. Menyampaikan khutbah di Masjid Nabawi pada hari ke-10 setelah wafatnya Nabi Saw
4. Menyampaikan khutbah secara tegas untuk perempuan-perempuan Muhajirin dan Anshar ketika beliau sedang sakit
5. Melakukan negosiasi singkat dan kemarahan kepada Abu Bakar dan Umar, ketika mereka bermaksud mendatangi Sayyidah Zahra untuk meminta maaf, beliau menyatakan bahwa kemarahannya karena sikap keduanya
6. Wasiat terkenal beliau mengenai ketidakridhaannya orang-orang yang melawan beliau untuk hadir dalam acara penguburan jenazahnya
Sayid Muhammad Baqir Shadr juga menulis terkait dengan sebab Sayyidah Fatimah yang memulai pergerakan itu, bukan Imam Ali juga menulis dalam bukunya. [39]
Permulaan pergerakan yang dimotori Sayidah Fatimah Sa memiliki dua unsur penting dan positif: Salah satu unsurnya adalah unsur emosional karena beliau adalah putri Nabi, sehingga akan memancing emosi masyarakat dan akan memunculkan lagi kenangan-kenangan pada masa kehidupan Nabi dan satunya lagi unsur politik karena apabila Imam Ali As yang memulai perlawanan itu, kemungkinan besar akan terjadi perang di antara mereka dan akan menyulut kemarahan kaum Muslimin sehingga akan meletus peperangan dengan penguasa.
Nampaknya, hal inilah yang menjadi sebab bagi Imam Ali tidak meminta tanah Fadak pada masa kekhilafahannya, karena Fadak menjadi simbol perlawanan dan pemberian kekuatan kepada pemiliknya dan setelah kekuasaan kembali kepada pemiliknya, maka tidak lagi membutuhkan perlawanan untuk mendapatkan haknya.
Sayid Ja’far Syahidi dalam menganalisa khutbah Fadakiyyah Sayidah Fatimah Zahra menulis: Jelaslah bahwa mereka mengabaikan perkataan Sayidah Fatimah As sehingga mereka menilai berkenaan dengan warisan. Beliau tidak menginginkan pohon-pohon kurma dan gandum-gandum itu.
Keluarga yang membiarkan kerongkongan mereka sendiri selalu kehausan dan mengenyangkan perut dengan kemiskinan bahkan mereka tidak meneteskan air mata untuk perut anak-anak mereka, tidak hanya berkeinginan maneambil alih tanah sengan beberapa batang pohon kurma.
Sejatinya, yang tetap ingin dijaganya adalah sunat dan tegaknya keadilan. Beliau khawatir jika kebodohan yang ditutupi jubah Islam terlelap dan membanggakan suku bangkit kembali. Hari ini Bani Taim berada di depan, kemudian giliran Bani ‘Adi setelah itu keluarga Bani Umayah dan Abu Sufyan di mana mereka selama memiliki kekuatan memerangi Islam dan karena tidak ada lagi cara lain yang bisa mereka tempuh, maka mereka melawan Islam dengan menggunakan lidah kaum Muslimin. [40]
Penulis A’lam al-Nisa menukil dari Ali bin Mahna Alawi: Tujuan Abu Bakar dan Umar mengambil Fadak dari Fatima Sa adalah supaya Ali As tidak akan memperoleh kekuatan dari pendapatan Fadak sehingga akan terjadi konflik dalam kekhalifahannya. [41]
Fadak pada masa Kekhalifahan Imam Ali As
Ketika Imam Ali As pada tahun ke 35 H menerima kekhalifahan secara lahir yang dipaksakan oleh masyarakat, Imam Ali As tidak mengambil tindakan untuk mengambil kembali tanah Fadak.
Dalam riwayat disebutkan tentang sebab Imam Ali As tidak menuntut tanah Fadak adalah meninggalnya dua pihak yang saling memperebutkan tanah Fadak, yaitu Sayidah Fatimah As dan Abu Bakar. [42]
Menurut riwayat yang lain disebutkan bahwa penggunaan Fadak oleh pihak-pihak selain Ahlulbait As adalah sebuah tindakan ghasab (perampasan) dan penghakimannya diserahkan kepada Allah Swt. [43]
Fadak pada masa Dinasti Umawi
Menurut sumber sejarah, Fadak pada masa periode Umawi berada di tangan penguasa Umawi. Ketika pemerintahan sampai kepada Umar bin Abdul Aziz, ia mengembalikan pendapatan tanah Fadak kepada keluarga Nabi Muhammad Saw. [44]
Namun kepemilikannya tidak dikembalikan kepada mereka.
Nampaknya, pengembalian pendapatan Fadak atas perintah Umar bin Abdul Aziz kepada keluarga dan cucu Nabi Saw membuat tidak senang pihak Bani Umayah.
Oleh itu, Umar Abdul Aziz menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Saw, “Fadak adalah milik pribadi Nabi. Putrinya menginginkan Fadak menjadi miliknya, namun Nabi tidak menerimanya. Nabi menggunakan pendapatan Fadak untuk memenuhi keperluan keluarganya dan Bani Hasyim, sebagiannya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Nabi.
Kemudian Abu Bakar dan Umar juga demikian dan menggunakan pendapatan Fadak untuk keperluan Bani Hasyim. Namun setelah mereka, kebiasaan itu berubah dan penggunaan pendapatan Fadak hanya digunakan untuk keperluan-keperluan yang tidak dimaksudkan oleh Nabi dan aku dengan mengembalikan pendapatan Fadak kepada pemiliknya, pada dasarnya mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.” [45]
Fadak pada masa Pemerintahan Abbasi
Fadak pada masa kekuasaan Abbasi (Rabiul Awwal 132 H-Dzulhijah 232 H/Oktober 749 M-Juli 847 M) tidak berada di tangan Ahlulbait sampai pada tahun 210 H pada masa pemerintahan Makmun Abbasi ketika ia mengeluarkan keputusan resmi dan menyatakan bahwa kepemilikan tanah Fadak dikembalikan kepada anak keturunan Sayidah Fatimah Sa. [46]
Dalam perintahnya yang ia tujukan kepada Qatsam bin Ja’far, Gubernur Madinah dikatakan bahwa Makmun berdasarkan urusan agama dan pemerintahan dan kekerabatan dengan Rasulullah Saw, menyerukan bahwa lebih baik mengikuti mengikuti sunah Rasul dan melaksanakan perintahnya dari pada mengikuti dan menjalankan sunah dan perintah orang lain.
Oleh itu Fadak dikembalikan kepada keluarga Nabi Saw dan ahli waris Sayidah Fatimah Sa. [47]
Setelah Makmun, Mutawakil memerintahkan Fadak dikembalikan kepada kondisi sebelum perintah Makmun. [48]
Dan setelah itu Fadak tidak pernah lagi berada di tangan keluarga Rasulullah. Sayid Ja’far Syahidi, seorang peneliti dan penulis buku Tarikh Islam berkeyakinan bahwa dari perintah Makmun untuk mengembalikan Fadak dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada masa-masa hari pertama setelah wafatnya Nabi hanyalah masalah kebijakan politik dan kebijakan ini telah mengubah sunah yang ada.
Apabila tujuan Makmun hanyalah ingin menyenangkan keluarga Ali As dan menarik simpati kaum Syiah saja, maka ia harus mengambil tindakan seperti yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yaitu ia hanya memberikan pendapatan Fadak kepada keturunan Fatimah As sehingga tidak perlu terlibat dalam kesalahan para pendahulunya. [49]
Menurutnya, penuntutan kembali masalah Fadak oleh Sayidah Fatimah As dan setelah meninggalnya beliau untuk mencegah ijtihad di hadapan nash sehingga pada masa depan masyarakat Islam tidak akan perubahan yang tidak sesuai dengan sunah Nabi Saw. [50]
Catatan Kaki:
1. Kulaini, jld. 1, hlm. 543; Mufid, hlm. 289 dan 290, Syahidi, hlm. 97.
2. Mu’jam al-Buldān, jld. 4, hlm. 238; Marāshad al-Ithlā’, jld. 3, hlm. 1020; Lisān al-Arab, Ibnu Mandzur, jld. 10, hlm. 437.
3. Mu’jam Ma’ālim al-Hijāz (Al-Haith), jld. 2, hlm. 205-206, Fadak , jld. 7, hlm. 23.
4. Subhani, 1346, hlm. 14.
5. Marjani, jld. 1, hlm. 438.
6. Site Muhafadzah al-Haith al-Rasmi.
7. Ja’fariyan, hlm. 396.
8. Silahkan lihat: Mu’jam al-Buldān, jld. 4, hlm. 238; Lisān al-Arab, Ibnu Mandzur, jld. 10, hlm. 437.
9. Silahkan lihat: Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 16, hlm. 236.
10. Al-Saqifah wa Fadak, Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Jauhari, hlm. 98.
11. Qutb Rawandi, jld. 1, hlm. 113; Ibnu Thawus, Kasyf al-Mahjabah; hlm. 124; menukil dari Safra Furusyani, Fadak, Dānesy Nāmeh Fatimi, jld. 1, hlm. 297.
12. Syahidi, Sayid Ja’far, Fatimah, Dukhtare Muhammad Saw, Cet. 3, Tehran: Ketab Furusyi Hafidz, menukil dari: Ustadi, Fadak hlm. 390-391.
13. Amtā’ al-Asmā’, jld. 1, hlm. 326.
14. Silahkan lihat: Fahr al-Razi, jld. 29, 506; Thabathabai, jld. 19, hlm. 203.
15. Baladzuri, hlm. 41.
16. Kulaini, jld. 1, hlm. 543; Mufid, hlm. 289 dan 290; Syahidi, hlm. 96-97.
17. Thusi, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, jld. 6, hlm. 468.
18. Thabarsi, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, jld. 6, hlm. 633-634.
19. Huskani, Syawāhid al-Tanzil li Qawāid al-Tafdhil, jld. 1, hlm. 438-439.
20. Suyuthi, Al-Dur al-Mantsur, jld. 4, hlm. 177.
21. Kulaini, Al-Kāfi, jld. 1, hlm. 538.
22. Baladzuri, hlm. 40 dan 41.
23. Kulaini, jld. 1, hlm. 543.
24. Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 36; Insāb al-Asyrāf, hlm. 519; Menukil dari Syahidi, Zendegi Fatimah Zahra, hlm. 155.
25. Muruj al-Dzahab, Sirah Halabi, jld. 3, hlm. 40.
26. Tafsir surah al-Hasyr, jld. 8, hlm. 125.
27. Baladzuri, hlm. 43.
28. Majlisi, jld. 8, hal 93 dan 105.
29. Majlisi, jld. 8, hal 93 dan 105.
30. Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 211.
31. Subhani, 1355, hlm. 12.
32. Silahkan lihat: Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 36.
33. Al-Ma’arif, hlm. 84; Tārikh Abul Fada, jld. 1, hlm. 168; Sunan Baihaqi, jld. 6, hlm. 301; Al-Aqd al-Farid, jld. 5, hlm. 33; Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 198; Al-Ghadir, jld. 8, hlm. 236-238; Syahidi, Zendegani Fatimah Zahra, hlm. 116.
34. Silahkan lihat: Baladzuri, hal, 40.
35. Hlm. 49, Menukil dari Muntazheri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak hlm. 395 (catatan kaki).
36. Hlm. 50, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak hlm. 395 (catatan kaki).
37. Hlm. 87, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak hlm. 395-396 (catatan kaki).
38. Hlm. 86, Menukil dari Muntadzeri, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak hlm. 396 (catatan kaki).
39. Syahidi, Ali az Zabān Ali, hlm. 37.
40. Kahhalah, A’lām al-Nisā, jld. 4, hlm. 124.
41. Shaduq, jld. 1, hlm. 154-155.
42. Silahkan lihat: Ustadi, Fadak, hlm. 391-392, menukil dari Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah jld. 16, hlm. 208.
43. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah jld. 16, hlm. 208.
44. Silahkan lihat: Ibnu Asakir, jld. 45, hlm. 178-179; Baladzuri, hlm. 41; Katib Baghdadi, hlm. 259 dan 260.
45. Silahkan lihat: Ibnu Asakir, jld. 45, hlm. 178-179; Baladzuri, hlm. 41; Katib Baghdadi, hlm. 259 dan 260.
46. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 37 dan 38.
47. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 37-38; Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 116-117; Silahkan lihat: Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 55-56.
48. Baladzuri, Futuh al-Buldān, jld. 1, hlm. 38.
49. Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 118.
50. Syahidi, Zendegāni Fātimah Zahrā, hlm. 119.
Daftar Pustaka
1. Ibnu ‘Asakir, Ali bin Hasan, Tārikh Madinah Dimasyq, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1, 1415.
2. Ibnu Thawus, Sayid Ali bin Musa, Kasyf al-Mahjah li Tsamarah al-Mahjah, Najaf, Al-Mathbu’ah al-Haidariyah, 1370.
3. Ustadi, Ridha, Fadak, Dar Dānesy Nāmeh Imām Ali bin Ab Thalib As, jld. 8, Ali Akbar Rasyad, Tehran: 4. Markaz Nasyar Atsar Pazuhesygah Farhang wa Andisyeh Islami, 1380.
5. Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Futuh al-Buldān, jld. 1, Riset: Salahuddin al-Munjid, Al-Qahirah: Maktabah al-Misriyah, 1956.
6. Syahidi, Sayid Ja’far, Zendegāni Fātimah Zahrā As, Tehran: Daftar Nasyar Islami, 1362.
7. Suyuthi, Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, jld. 4, Beirut: Dar al-Ma’rifah lil Mathbu’ah wa al-Nasyr, tanpa tahun.
8. Huskani, Abdullah bin Ahmad, Syawāhid al-Tanzil li Qawāid al-Tafdhil, Riset: Muhammad Baqir Mahmudi: Tehran: Sazman Cab wa Intisyarat Wezarat Irsyad Islami, 1411.
9. Subhani, Ja’far, Farazhāi Hasas az Zendegāni Amiral Mukminin As, Maktab Islam, tahun ke-18, Vol. 4, Farwardin 1355 S, dan Vol. 5, Urdibehesy 1355 S.
10. Al-Shadr, Muhammad Baqir, Fadak fi al-Tārikh, Tehran: Muasasah al-Bi’tsah, Markaz Al-Thaba’ah wa al-Nasyar, 1424/2003/1393.
11. Shaduq, Ilal al-Syarayi’, Mansyurat al-Maktabah al-Haidariyah wa Mathbu’atih, Al-Najaf al-Asyraf, 1385-1966.
12. Safri Furusyani, Ni’matullah wa ‘Alami; Ali Ridha, Fadak, Dānesy Nāmeh #Fathimi Sa, jld. 1, Tehran: Pazuhesygah Farhang wa Andisye Islami, 1393.
13. Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizān, Intisyarat Jamiah Mudarisin, Qum 1417.
14. Fahkr Razi, Muhammad bin Umar, Mafātih al-Ghaib, Dar Ihya al-Arabi, sewum, Beirut, 1420.
15. Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, Tehran: Nashir Khosro, 1372.
16. Quth Rawandi, Sa’id bin Habutallah, al-Jaraih wa al-Jaraih, Qum, Muasasah Imam Mahdi, 1409 H.
17. Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, Beirut: Dar Ihya al-Tsurat al-Arabi, tanpat tahun.
18. Kulaini, Muhammad Ya’qubi, Ushul Kāfi, Terjemah Jawan Mustafawi, Masyhad, Hauzah Ilmiyah Islamiyah, 1342.
19. Katib Baghdadi, Qadamah bin Ja’far, Al-Haraj wa Shana’ah al-Kitābah, Dar al-Rasyid li Nasyr, Baghdad, cet. 1, 1981.
20. Marjani, Abdullah bin Abdul Malik, Bahjah al-Nufus wa al-Asrār fi Tārikh Hijrah Nabi al-Mukhtar, Dar al-Gharb al-Islami, Beirut, Cet. 1, 2002.
21. Mufid, Al-Muqni’ah, Muasasah al-Nasyr al-Islami Cet. 2, Qum, 1410.
22. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Masyhad, Dar al-Kitab Ilmiyah, 1354.
23. Muntazheri, Husain Ali, Khutbah Hadhrat Fātimah Zahrā As wa Mājarāe Fadak, Tehran: Muasasah Farhanggi Khurd Awa, 1387.
24. Nahj al-Balāghah, terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Ilmi wa Farhanggi, 1378.
Referensi Lain Untuk Telaah Lebih Jauh
1. Husaini, Jalali, Sayid Muhammad Baqir, Fadak wa al’Awali au al-Hawaith al-Sab’ah fi al-Kitāb wa al-Sunah wa al-Tārikh wa al-Adab, Qum, Konggere Mirats Ilmi wa Ma’nawi Hadhrat Fatimah, 1384 S.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email