Pesan Rahbar

Home » » Perang Teluk I : Arab Saudi Undang Pasukan Asing Ke Tanah Suci !! Biadab

Perang Teluk I : Arab Saudi Undang Pasukan Asing Ke Tanah Suci !! Biadab

Written By Unknown on Wednesday, 30 July 2014 | 14:04:00

Pesawat tempur AS melintasi kilang minyak yang terbakar.
Tanggal 2 Agustus 199028 Februari 1991
Lokasi Teluk Persia
Hasil Kemenangan mutlak koalisi,
pembebasan Kuwait.
Casus belli Invasi Irak ke Kuwait.
Pihak yang terlibat
Flag of the United Nations.svg
Koalisi PBB
Flag of Iraq, 1991-2004.svg
Irak
Komandan
Flag of the United States.svg Norman Schwarzkopf Flag of Iraq, 1991-2004.svg Saddam Hussein
Kekuatan
660.000 360.000
Jumlah korban
378 tewas,
1.000 terluka
25.000 tewas,
75.000 terluka


Perang Teluk I
Baca juga : Foto Tentara Iran Shalat dan berdo’a Dalam Perang Irak vs Iran 1980 – 1988
Perang Teluk Persia I atau Gulf War disebabkan atas Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak cepat yang langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990, sekalipun Kuwait membalasnya dengan serangan udara kecil terhadap posisi posisi Irak pada tanggal 3 Agustus 1991 dari pangkalan yang dirahasiakan (kemungkinan berada di Arab Saudi.

 Latar belakang.

Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam Perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Irak juga terjerat utang luar negeri dengan beberapa negara, termasuk Kuwait dan Arab Saudi. Irak berusaha meyakinkan kedua negara tersebut untuk menghapuskan utangnya, namun ditolak. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki.

Tengah malam tanggal 2 Agustus 1990 Irak secara resmi menginvasi Kuwait, dengan membombardir ibu kota Kuwait City dari udara. Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha mempertahankan negara, mereka dengan cepat kewalahan. Namun, mereka berhasil memperlambat gerak Irak untuk memaksa keluarga kerajaan Kuwait untuk meloloskan diri ke Arab Saudi, beserta sebagian besar tentara yang masih tersisa. Akibat invasi ini, Kuwait meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.

Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab dan AfrikaUtara kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat, ditambah negara-negara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara AsiaBangladesh dan Korea Selatan. Sementara, dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.

Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara masif atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.

Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan udara, yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut Merah dan Teluk Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Saddam Hussein merupakan titik sentral komando Irak, dan inisiatif di level bawah tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak, semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap. Target ketiga dan yang paling utama adalah instalasi rudal jelajah, terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di daratan untuk mencari, dan bila perlu, menghancurkan instalasi rudal tersebut. serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.

Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot, serta memaksimalkan sorti udara untuk memburu rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan. Irak juga melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto, meskipun Uni Sovyet pada saat itu dikenal sebagai sekutu Irak, terutama dalam hal suplai persenjataan. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.

Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.

Perang Teluk Persia I atau Gulf War disebabkan atas Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak cepat yang langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990, sekalipun Kuwait membalasnya dengan serangan udara kecil terhadap posisi posisi Irak pada tanggal 3 Agustus 1991 dari pangkalan yang dirahasiakan.
Keputusan Presiden Irak yakni Saddam Husein untuk menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990 merupakan awal kehancuran negara Irak. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George H. W. Bush berusaha memukul mundur kekuatan Irak dan menghimpun koalisinya di atas tanah Kuwait dalam rangka menyelamatkan sektor ekonomi Amerika Serikat yang telah terbentuk di tanah Kuwait.

Invasi Irak ke Kuwait menjadi pukulan keras bagi Amerika Serikat yang merupakan ancaman serius bagi kepentingannya di Teluk Persia  guna menjamin terus mengalirnya minyak dunia dan mencegah hegemoni musuh di region Teluk Persia. Amerika Serikat memprediksikan jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka 9% minyak dunia di kuasai Irak dengan saingannya Arab Saudi yang berhasil menguasai 11% produksi minyak global.
Tepat Tiga hari pasca serangan Irak ke Kuwait, Presiden George H. W. Bush mengumumkan pada dunia bahwa invasi Irak ke Kuwait tidak akan berlangsung lama. Tanggal tanggal 17 Januari 1991 Amerika Serikat berhasil memukul mundur Irak dari Kuwait dengan bantuan lebih dari 20 negara dikenal dengan istilah Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun). Tahun 2003 Presiden Amerika Serikat George W. Bush anak dari George H. W. Bush melayangkan tuduhan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang mampu mengguncang kestabilan dunia meskipun sampai saat ini tuduhan tersebut belum bisa terbukti. Amerika Serikat pun mulai melakukan invasinya kembali ke Irak dikenal dengan sebutan “Operasi Pembebasan Irak” yang menyebabkan Presiden Irak Saddam Husein tertangkap tepat di tahun 2006 dan meruntuhkan pemerintahannya. Itulah sekilas dari gambaran latar belakang masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini yang membuat timbulnya pertanyaan dalam pikiran kita mengapa Amerika Serikat bersikukuh mempertahankan fokus geostrateginya di kawasan Timur Tengah, apa saja yang menjadi dalil atas keberanian Presiden Saddam Husein berani menginvasi Kuwait, apa saja yang menjadi penyulut Perang teluk Persia I dan II dan masih banyak lagi polemik-polemik yang bermunculan ketika kita membahas mengenai peperangan yang terjadi antara Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dengan Irak sehingga menimbulkan banyak tanda tanya, akan kita bahas pada bab-bab selanjutnya yang kiranya menjadi wawasan tambahan bagi para pembaca serta penulis khususnya.



Faktor – Faktor Penyebab terjadinya Perang:
  • Terjadinya pelanggaran kuota minyak yang dilakukan oleh Kuwait, Arab dan Uni Emirat Arab sehingga produksi minyak melimpah, akibat harga minyak anjlok. Irak waktu itu mengandalkan pendapatan negara dari sektor  minyak sangat terpukul dengan peristiwa ini. Irak yang waktu itu sedang membangun negaranya yang rusak akibat perang melawan Iran.
  • Ambisi Sadam Husen untuk tampil sebagai orang nomor satu dan dihormati didunia Arab.
  • Kuwait dituduh mencuri minyak Irak di Padang Rumelia yang terletak diperbatasankedua negara (dipersengketakan).
  • Sebab khusus yaitu adanya serangan Irak terhadap Kuwait tanggal 22 Agustus 1990 yang berhasilmenduduki Kuwait.
Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki.

Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.

Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat), serta beberapa negara di kawasan Asia. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.

Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.

Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, serta melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia.

Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.

Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.

Akibat Perang Kuwait :
– Ladang minyak kuwait mengalami kerusakan berat.
– Perekonomian Irak mengalami kehancuran serta terkena blokade ekonomi dan sanksi embargo dari PBB
– Amerika semakin kuat pengaruhnya di Timur Tengah.
– Perpecahan di negara Arab.
– Adanya sikap anti USA.

kuburan massal di Najaf diziarahi.
Sebuah kuburan masal yang ditemukan di markas organisasi Mujahedin-e Khalq (Mujahedin-e Khalq Organization – MKO) di Irak mengungkapkan teka-teki Perang Teluk tahun 1991.Petugas polisi di propinsi Diyalah mengatakan bahwa kuburan masal itu berisi jenazah warga Kuwait yang menjadi korban invasi rezim Baath selama tujuh bulan di Kuwait.

“Kami telah mendapat informasi bahwa sebuah kuburan masal telah ditemukan di Kamp Ashraf. Tentu saja kami tahu ada kuburan di markas MKO, tapi selama ini kami kira itu kuburan anggota MKO sendiri,” ujar Abdulhussein al-Shemri, seorang komandan polisi lokal.

Telah dikonfirmasi, laporan itu akan mengungkapkan keterlibatan MKO dalam perang Saddam Hussein di Kuwait, yang menewaskan lebih dari 3.664 orang Irak dan 1.000 orang Kuwait.

Pemimpin MKO disebutkan telah menyembunyikan keberadaan kuburan itu selama ini dengan tidak mengijinkan tentara Irak masuk ke markasnya.

Penemuan kuburan masal itu bertepatan dengan pemberian ijin kepada koresponden regional oleh pemerintah Irak untuk menyiapkan sebuah laporan dari Kamp Ashraf di mana MKO bermarkas selama lebih dari dua dekade.

Insiden itu mendorong pemerintah Irak untuk menarik ijin yang telah diberikan dan melarang jurnalis melakukan laporan video dari lokasi tersebut.

MKO merupakan salah satu kelompok yang paling ditakuti oleh kaum Syiah Irak maupun Iran.
MKO yang menggabungkan elemen-elemen Marxisme dan Stalinisme, didirikan di Iran tahun 1960an namun dikucilkan 20 tahun kemudian atas tuduhan terorisme.

Kelompok itu mendalangi sejumlah operasi teror di Iran, salah satunya adalah pengeboman gedung kantor Partai Republik Islam tahun 1981 yang menewaskan lebih dari 72 pejabat pemerintah Iran.
Tahun 2007, laporan intelijen Jerman dari Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi telah mengidentifikasi MKO sebagai sebuah organisasi Stalinis, represif, dan bersifat seperti sekte dengan pemujaan terhadap pemimpin mereka, Maryam dan Masoud Rajavi.

Jenazah-jenazah di kuburan markas MKO adalah warga Kuwait yang sebelumnya dinyatakan hilang dan sedang dicari kuburannya oleh pemerintah Kuwait.

Awal bulan Juli ditemukan sebuah kuburan masal di dekat Najaf, Kuwait, namun menurut duta besar Kuwait, Ali Al-Moumen, tidak ditemukan satu pun jenazah warga Kuwait di situ.

Irak dan Kuwait kini sedang menjalin dialog untuk mengakhiri isu-isu yang selama ini mengganjal hubungan antara keduanya, termasuk hutang, kompensasi, dan hilangnya warga Kuwait dalam invasi tahun 1991.
Al-Moumen mengatakan ia telah menjalin kerjasama yang baik dengan pemerintah Irak yang berkeinginan untuk menyelesaikan semua isu antara kedua negara dan memulai hubungan yang baru.

Ia mengatakan luka akibat invasi Irak hanya dapat sembuh bila Irak setuju untuk melunasi hutang dan kewajibannya terhadap Kuwait.

Beberapa hari setelah penemuan kuburan masal di Najaf, juru bicara parlemen Irak, Dr. Iyad Al-Samerraie, mengunjungi Kuwait untuk membahas kerjasama antara kedua negara dengan pejabat pemerintah Kuwait.
Sabtu lalu menandai peringatan 18 tahun invasi Irak ke Kuwait. Tanggal itu selamanya akan diingat oleh generasi Kuwait dan Arab, kini dan mendatang, sebagai titik terendah solidaritas Arab dan pengkhianatan hubungan persaudaraan.

Invasi itu tidak hanya memperlihatkan beberapa orang Arab yang mengkhianati komitmen mereka terhadap persatuan Arab, tapi juga menciptakan transformasi jangka panjang arsitektur keamanan dan pergeseran dalam keseimbangan strategis di kawasan itu bagi generasi mendatang.

Invasi itu diperingati tiap tahun dengan mengenang semua ketakutan yang pernah dialami Kuwait. Penderitaan, martir, dan isu HAM dari para sandera, sisa-sisa jenazah yang kini ditemukan di kuburan masal di Irak. Meski Kuwait kini memegang peran utama dalam “Operasi Pembebasan Irak” dan telah memperbaiki hubungannya dengan Irak, tetap ada ketakutan terhadap ancaman yang berasal dari Irak. Penduduk Kuwait khawatir Irak yang tidak stabil dapat menjadi sarang teroris, sektarianisme, dan pembersihan etnis.

keterlibatan AS dalam Perang Teluk I dan II semata-mata demi mempertahankan pasokan minyak.

 -Bocoran kawat diplomatik milik Kedubes Amerika Serikat di Irak menguatkan dugaan bahwa keterlibatan AS dalam Perang Teluk I dan II semata-mata karena mempertahankan pasokan minyak.
Dalam dokumen WikiLeaks bernomor 90BAGHDAD4237 yang dibuat tanggal 25 Juli 1990, mantan presiden Irak, Saddam Hussein, bertemu empat mata dengan Dubes AS di Irak.

Dalam pertemuan itu, Irak menegaskan mereka ingin bersahabat dengan AS, namun AS justru mencampuri urusan dalam negeri Irak dengan Kuwait.

“Kami mengerti kalau Pemerintah AS sangat berkepentingan terhadap pasokan minyak yang mengalir dari Timur Tengah ke Teluk. Dan Pemerintah AS juga ingin menjaga kemitraannya dengan negara-negara Teluk,” kata Saddam dalam pertemuan itu, seperti dikutip WikiLeaks.

“Namun yang tidak kami mengerti adalah mengapa Pemerintah AS justru ‘mengompori’ konflik Teluk ini dengan menyokong negara-negara yang berlainan pandangan dengan Irak?” kata Saddam.

“Kami, warga Irak, percaya kalau AS ingin kondisi damai di Teluk. Ini sikap yang bagus. Tapi tolong jangan menggunakan cara-cara yang bertolak belakang,” katanya lagi. Ia menambahkan, warga Irak tahu betapa persenjataan AS sangat modern. “AS punya teknologi yang bisa mengirim pesawat dan roket yang menyengsarakan warga Irak,” katanya.

“Tapi meski demikian, kami tidak menganggap AS sebagai musuh. Kami tetap mencoba untuk berteman dengan AS,” katanya.

Saddam menegaskan, Irak tidak meminta Pemerintah AS untuk ambil peranan menyelesaikan konflik internal di Timur Tengah. Saddam mengatakan, solusi konflik Timteng harus dimunculkan oleh warga Arab dan diplomasi bilateral.

Hal lain yang mencemaskan Kuwait adalah pendapat beberapa orang Irak bahwa Kuwait adalah milik Irak, secara historis maupun geografis. Selain itu masih ada isu-isu lain seperti nasib para sandera Kuwait, garis perbatasan, hutang, kompensasi yang disetujui oleh PBB, dan lain-lain.

Kuwait bukan satu-satunya korban invasi Irak. Konsekuensi dari kesalahan perhitungan Saddam itu lebih berdampak terhadap kawasan Teluk dan seluruh dunia Arab, tidak hanya terhadap Kuwait dan Irak sendiri.
Dampak paling permanen dari okupasi Irak, bahkan sebelum tergulingnya Saddam, adalah perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan Teluk dengan kehadiran pasukan Amerika di negara-negara Teluk yang mendirikan basis-basis militer permanen yang sebelumnya ditentang oleh negara-negara Dewan Kerjasama Teluk.

Saat PERANG  TELUK, Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.




Thursday, 1 May 2003 – KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi
AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi.
RIYADH – Amerika Serikat melakukan rangkaian strategi geopolitik baru di Timur Tengah. Selasa lalu, Gedung Putih memutuskan menarik ribuan pasukan militernya dari tanah Arab Saudi, yang telah belasan tahun menjadi basis utama kekuatan Amerika di Jazirah Arab.

Penarikan itu disampaikan Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dalam kunjungan singkatnya ke kerajaan itu, dalam rangkaian tur diplomatik Timur Tengah mendadak yang dilakukannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sejumlah negara yang dianggap ikut mendukung keberhasilan invasi Amerika terhadap Irak.

Baca Selengkapnya di site KoranTempo – AS Kosongkan Pangkalan Militer di Arab Saudi , atau bila sudah menghilang, bisa baca di cache server kami.

Tahun 1987 pernah terbit sebuah tulisan yang berjudul “Kesepakatan yang Mengikat Antara Amerika Serikat dan Negara-Negara dalam Dewan Kerjasama Teluk.” Tulisan tersebut dipersiapkan oleh Husain Musa dan diajukan oleh Said Sayf yang kemudian diterbitkan sebuah media di Beirut. D sini, kami sekedar ingin mengingatkan kembali sebagian isi dan penjelasan mengenai kesepakatan tersebut. Sebab, dalam tulisan tersebut terungkap keserakahan Amerika di wilayah Teluk sejak beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Perang Teluk I dan sebelum Peristiwa II September 2001.

Pada bagian yang paling awal, tulisan tersebut mengungkapkan:
Kehadiran militer Amerika dalam jumlah banyak di Teluk Arab sejak paruh terakhir tahun 1987, yang dibawa oleh sebuah kapal, dan dengan membawa kapal-kapal penyapu ranjau multinasional Eropa, tidak datang secara tiba-tiba; tidak pula karena perkembangan Perang Irak-Iran, atau karena kebutuhan Kuwait untuk menjaga tangki-tangki minyaknya dan berbagai serangan udara. Akan tetapi, kehadiran militer Amerika itu, di satu sisi dimaksudkan sebagai bentuk pengukuhan hubungan Amerika yang bersifat hegemonik atas negara-negara di kawasan ini, dan di sisi lain sebagai pengukuhan markas imperialis.

Kehadiran militer Amerika tersebut juga merupakan implementasi langsung, bukan saja dari sejumlah kesepakatan militer dan keberadaan militer di negara-negara yang ada di kawasan ini, tetapi juga dari sejumlah kesepakatan lain dalam berbagai bentuknya. Kehadiran sejumlah banyak militer imperialis ini didorong oleh sejumlah sebab dan telah menimbulkan berbagai akibat yang buruk.

Sejak Perang Dunia II, muncullah Amerika yang tidak merasa perlu mengikutsertakan Inggris dalam melanjutkan interaksinya dengan Kerajaan Arab Saudi. Sebaliknya, Amerika merasa perlu menghadirkan secara langsung kekuatan militernya setelah berbagai perusahaan minyaknya melemah.
Sebàgaimana diketahui, pada tahun tersebut, yakni pada tahun 1987, di kawasan ini, ‘nyanyian’ tentang adanya senjata pemusnah massal dan senjata biologi tidak pernah terdengar; kekhawatiran atas ancaman Saddarn Hussein terhadap tetangga-tetangganya juga tidak pernah muncul, meskipun saat itu Irak berperang melawan Iran selama 8 tahun. Meskipun demikian, Amerika memobilisasi kekuatan militernya ke wilayah kaya minyak itu. Amerika mulai melatih tentara-tentara marinirnya dan mengerahkan pasukan gerak cepatnya sejak tahun 1980 untuk terlibat dalam Perang Padang Pasir. Amerika juga mulai melakukan sejumlah manuver militer di sekitar Mesir atas nama manuver ‘bintang terang’ dan sebagainya
.
SeLanjutnya, penulis kembali mengingatkan sejumlah kesepakatan yang dibuat Amerika dengan sejumlah negara Teluk, khususnya Arab Saudi sebagai negara yang paling besar di kawasan ini. Penulis menyatakan:
Sesungguhnya kesepakatan pertama yang dibuat Amerika dengan Arab Saudi terjadi pada tahun 1933; berkaitan erat dengan perwakilan diplomatik dan konsulat serta perlindungan hukum, perdagangan, dan pelayaran. Kesepakatan kedua dibuat pada tahun 1951 dengan judul, “Kesepakatan Umum ‘Titik Keempat’ (Point Four) yang Khusus Berkenaan dengan Bantuan Teknis Antara Negara Arab Saudi dan Amerika.” Kesepakatan ketiga juga dibuat pada tahun 1951 bagi pembangunan pangkalan militer Amerika yang pertama kalinya di Dhahran. Pada pasal 5 ayat b terdapat pernyataan:
Ekspedisi Amerika hanya boleh melintasi wllayah Dhahran saja. Ini adalah merupakan tambahan atas apa yang disebutkan pada ayat a, yang berkaitan dengan masalah pesawat-pesawat militer Amerika dan pasukan-pasukan militer Amerika
.
Sementara itu, pada pasal ke-6 ayat a disebutkan: Untuk menjamin Iancarnya berbagai aktivitas dan pelayanan teknis secaro baik dan optimal di Bandara Dhahran, utusan Amerika diperkenankan untuk melakukan perbaikan, pengubahan, dan penggantian— semata-mata demi tujuan perbaikan— berbagai perusahaan dan bangunannya. Amerika juga boleh membuat berbagai bangunan dan berbagai kemudahan lainnya di sejumlah landasan terbang dan tempat-tempat pesawat-pesawat terbang; memasang berbagai alat pengintaian udara (radar) dan berbagai alat intelijen tanpa kabel; menyediakan berbagai bantuan penerbangan udaranya yang dipandang penting demi sejumlah tujuan yang dikehendaki dalam kesepakatan ini.
Di dalam kesepakatan ini terdapat sejumlah pasal lain dengan syarat-syarat yang siap menjadi ‘bom waktu’
.
Pada tahun yang sama, yakni tahun 1951, juga dibuat kesepakatan khusus yang bertema, “Program Bantuan Pertahanan Timbal Balik.” Perhatikanlah penggunaan istilah ‘timbal-balik’ pada kesepakatan tersebut. Padahal, berkaitan dengan kesepakatan yang dilakukan Saudi pada tahun 1951 untuk pertahanan ‘timbal balik’ itu, orang yang berakal pasti memahami bahwa kesepakatan tersebut meniscayakan pihak yang kuat mendominasi pihak yang lemah. Pada pasal ke-2 dalam kesepakatan tersebut antara lain terdapat pernyataan: Pemerintah Arab Saudi menyukai untuk mengambil manfaat berupa bantuan produk senjata dari Amerika dan agar Amerika mengirimkan utusan yang terdiri dari pasukan militer laut dan kekuatan udara sesuai dengan bagian-bagian tertentu dari sejumlah program pelatihan serta membuat satu langkah bagi serah-terima senjata-senjata tersebut.
.
Pada pasal ke-4 disebutkan: Pemerintah Amerika Serikat siap untuk—berdasarkan pengajuan permintaan bantuan senjata— mengutus sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas dari kalangan tentara darat, laut, dan udara Amerika untuk menyelenggarakan pelatihan penggunaan perangkat militer sebagaimana yang diminta dalam kesepakatan.

Pada pasal 5 dinyatakan: Amerika, sejauh mungkin, akan menerima para pelajar Arab Saudi dan kalangan militernya yang dipandang layak untuk belajar dan mengikuti pelatihan di Amerika.
Pada tahun yang sama juga dibuat “Kesepakatan Khusus Program Bantuan Pendapatan Alami”, yakni pendapatan dari minyak, gas, dan barang tambang/mineral.

Sementara itu, pada tanggal 17 Januari 1951, juga telah dibuat, “Kesepakatan Program Persenjataan Massal” antara Amerika dan Arab Saudi. Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa pelaksanaannya disempurnakan melalui utusan kerjasama teknis menteri luar negeri. Pada tahun yang sama, juga ditandatangani, “Kesepakatan Khusus Program Kerjasama Teknis Bidang Pertambangan/Mineral” dan berkaitan dengan pelatihan kerja dan pendidikan.

TanggaL 27 Juni 1953 dibuat kesepakatan di seputar utusan pelatih militer Amerika dan tempat penandatangannya di Makkah. Pasal 4 dari butir-butir kesepakatan tersebut berbunyi: Kewajiban-kewajiban Dewan Penasihat meliputi upaya membantu dan memberikan konsultasi kepada Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Arab Saudi serta bagi kesatuan-kesatuan kekuatan bersenjata Arab Saudi dalam sejumlah perkara tertentu dengan membuat Iangkah-langkah, pengaturan, dasar-dasar administrasi, dan metode pelatihan militer sebagai bentuk implementasi kesepakatan Menteni Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan dengan kepala Dewan Penasihat. Pelatihan mencakup pula penggunaan berbagai macam senjata, strategi militer, dan logistik. Para anggota Dewan Penasihat dibolehkan—dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya—untuk melakukan infeksi dan penyelidikan militer serta melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang disarankan oleh kepala Dewan Penasihat dan disetujui oleh Menteri Pertahanan dan Penerbangan Kerajaan Saudi.

Pada butir ke-5 juga disebutkan: Setiap anggota Dewan Penasihat tidak boleh menyebarluaskan cara apa pun kepada pemerintahan asing atau individu mana pun dan dimana pun tanpa diberi hak untuk melakukan penyelidikan atas topik rahasia atau khusus yang telah ditelaah atau disikapi sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota Dewan Penasihat
.
Sebuah kesepakatan juga telah dibuat berkenaan dengan hak-hak untuk menggunakan Pangkalan Dhahran pada tahun 1957. Pada pasal 1 tercantum pernyataan:
Pemerintah Amerika memahami berbagai penjelasan Yang Mulia Penguasa Saudi kepada Presiden Amerika Eisenhower dan mengakui kebutuhan Kerajaan Saudi untuk memperkuat kekuatan persenjataannya demi tujuan-tujuan pertahanan Kerajaan di Bandara Dhahran.

Selanjutnya, pada awal bulan Maret tahun 1957 dibuat kesepakatan untuk memperluas Pelabuhan ad-Dimam. Pada tanggal 10-13 November tahun 1958 dibuat kesepakatan seputar Pesawat-pesawat terbang Phantom, yang kemudian dibuat sekali lagi pada tanggal 22 Maret tahun 1963. Pada pasal 2 di antaranya terdapat pernyataan: Tujuan dan penyediaan pesawat-pesawat tersebut adalah demi pertahanan resmi tanah-tanah Kerajaan Saudi melawan musuh sesuai dengan yang disepakati dalam Piagam PBB.
TanggaL 24 Mei 1965 dibuat kesepakatan seputar pengembangan militer yang pada masa depan dipimpin oleh para teknisi Amerika
.
TanggaL 4 April tahun 1972 dibuat kesepakatan seputar hak-hak istimewa (previlege) dan perlindungan bagi para pekerja Amerika.

Tanggal 8 Juni 1974 dibuat kesepakatan seputar kerjasasama Amerika-Saudi dalam bidang ekonomi, teknologi, industri, dan suplai bagi Kerajaan sesuai dengan yang dibutuhkan demi tujuan-tujuan pertahanan.
Pada tanggal 4 Juni 1980 dibuat kesepakatan mengenai berbagai kemudahan militer antara Amerika dan penguasa Amman yang mana Amerika memiliki hak untuk menggunakan Pangkalan Amman.

Tahun 1975 dibuat kesepakatan untuk menyewa Pangkalan al-Jafir di Bahrain. Ini adalah untuk memperbarui kesepakatan yang pernah dibuat tahun 1971.

Tanggal 24 Februari 1975, hal-hal yang tidak yang dilanjutkan pada tanggal 15 Juni tahun yang sama, dibuat kesepakatan antara Kuwait dan Amerika dengan nama, ‘Kerjasama Timbal Balik demi Pertahanan, Bantuan Peralatan, Pelayanan bagi Keperluan Pertahanan, dan Pembangunan Kantor Kerjasama.”.

Pada 15-21 Juni 1975 dibuat kesepakatan seputar pembelian senjata dan pelayanan pertahanan antara Amerika dan negara-negara yang tergabung dalam Emirat Arab.
Semua kesepakatan di atas dibuat sebelum Perang Teluk I dan sebelum terjadinya.

Peristiwa 11 September 2001. Sebagaimana diketahui, kesepakatan militer yang terjadi setelah Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001 antara Amerika dan negara-negara Teluk dianggap sebagai bentuk pertahanan negara-negara Teluk dalam melawan Irak atau dipandang demi menjaga negara-negara tersebut dari serangan para teroris pasca Peledakan 11 September 2001. Jika demikian, atas dasar apa dibuat berbagai kesepakatan militer tersebut jauh sebelum Perang Teluk dan Peristiwa 11 September 2001?

Sebab, tidak ada latar belakang atau sebab yang nyata—yang dapat menyesatkan umat Islam—di seputar berbagai kesepakatan tersebut. Oleh karena itulah, mereka berupaya sekuat tenaga agar berbagai kesepakatan tersebut dapat dilangsungkan secara rahasia antara Amerika dan negara-negara tersebut.

Tulisan di atas tidak mencakup seluruh ketamakan Amerika di seputar Teluk dan kesepakatan yang dibuatnya dengan negara-negara Teluk. Akan tetapi, berbagai kesepakatan Amerika dengan negara-negara di wilayah itu serta berbagai pangkaLan militer tersebut merupakan jalan masuk bagi pangkalan-pangkalan berikutnya yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya di Saudi, Qatar, dan lain sebagainya.

Semua kesepakatan dan pangkalan militer yang dibuat di atas adalah sekadar kenyataan yang tersingkap dan tampak ke permukaan. Sementara itu, hal-hal yang tidak tersingkap dari berbagai persekongkolan dan manuver antara Amerika dan para anteknya di negara-negara Teluk adalah jauh lebih besar dan lebih berbahaya.

Oleh karena itu, umat dituntut secara sungguh-sungguh untuk senantiasa terikat dengan agamanya serta menjaga berbagai kepentingannya dalam rangka mencegah bercokolnya terus berbagai pangkalan militer yang bisa menjadi sarana untuk membunuh kaum Muslim di wilayah ini. Umat Islam juga harus bersikap tegas dan keras di hadapan para penguasa antek Amerika tersebut yang telah menyerahkan berbagai wilayah darat, laut, dan udaranya kepada Amerika dan sekutunya hingga mereka menyerahkan tanah-tanah kaum Muslim sejengkal demi sejengkal kepada orang-orang kafir penjajah.

Allahlah Penolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Allah adalah Mahakuat dan Mahaperkasa. (QS al-Hadid [57]: 25).

Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia.

Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah.




Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya.

MEMBERONTAK KEPADA NEGARA ISLAM, BERSEKUTU DENGAN INGGRIS.
Secara resmi, negara ini memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932, Abdul Aziz—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamirkan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Sa‘ud secara terbuka telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Sa‘ud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.

Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa‘ud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810, dengan bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Saud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.

Namun kemudian, beberapa tahun kemudian, Dinasti Sa‘ud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.

Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Sa‘ud sejak misi pertamanya ke Nejed pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930. (Lihat: Goerge Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 351).

Kerjasama Dinasti Sa‘ud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak (ibidem, hlm. 351). Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.

Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding untuk menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan Inggris. Percy Cox mengambil pinsl dan kertas kemudian menentukan (baca: memecah-belah) perbatasan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Inggris juga membantu Ibnu Sa‘ud saat terjadi perlawanan dari Duwaish (salah satu suku Nejed). Suku ini menyalahkan Ibnu Saud yang dianggap terlalu menerima inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, Angkatan Udara Inggris dan Pasukan Ibnu Sa‘ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerjasama mereka yang sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanan ‘sir’ untuk Abdul Aziz bin Abdurrahman.

PERSAHABATAN DENGAN AS.
Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai, “sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang terbesar dalam sejarah dunia (a stupendous source of strategic power and the greatest material prize in the world’s history).”

Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi ‘budak’ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam ‘membangun’ Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.

Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan ‘sukarela’ membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.

Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan membunuh sesama Muslim.

NEGARA ISLAM SEMU.
Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain).

Akan tetapi, citra seperti itu semakin pudar mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama persahabatannya dengan AS yang mengorbankan kaum Muslim. Arab Saudi menjadi pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomi dalam Perang Teluk II. Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan dan berada di sisi Amerika untuk memerangi teroris. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, Saudi, pada 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa aparat keamanannya telah menahan enam orang warga negaranya dan seorang warga Sudan yang didakwa menjadi anggota Al-Qaeda. Tujuh orang itu didakwa berencana untuk menyerang pangkalan militer Amerika dengan rudal SAM 7. Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum—antara lain lewat iklan—bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang antiterorisme.” (K.Com, Newsweek, 03/5/2002).

Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus-menerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat.

Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain:
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT.

Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan.
Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H).

Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu.

Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi.

Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini. [Farid Wajdi]

*NB : bukan sekedar diskusi dan berdebat, tapi mencari kebenaran dari sebuah fakta.


November 2, 2009
Sejarah Pengkhianatan Para Penguasa Arab/Muslim.
  1. Rezim penguasa negeri-negeri Teluk membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz.
  2. Alih-alih membela sikap rakyat Palestina yang menentang keberadaan Negara Israel, Raja Yordania Abdullah malah menyerukan agar Pemerintah Persatuan Palestina yang baru harus mengakui Israel dan meninggalkan tindakan kekerasan bila ingin diakui.
  3. Saudi Arabia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berdamai dengan Israel yang secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap Negara Israel.
  4. Beberapa negara Arab dan negeri-negeri Islam lainnya secara terbuka atau diam-diam berhubungan dengan Israel.
  5. Dari sejarah diketahui Raja Abdullah (Transjordan), Raja Farauk (Mesir), memiliki hubungan yang erat dengan Inggris dan Amerika Serikat.
  6. Ayah Raja Abdullah, Sharif Husein, sebelumnya telah bersekutu dengan Inggris untuk memerangi Khilafah Usmaniah. Kakaknya, Faisal, sebelumnya memiliki hubungan dengan pemimpin Zionis Chaim Weisman. Pembentukan Negara Saudi Arabia tidak lepas dari campur tangan negara-negara Barat, dalam hal ini Inggris. Kerjasama ini telah dilakukan oleh Dinasti Saud (rezim keluarga Saudi Arabia) dengan Inggris sekitar tahun 1782-1810. Pada saat itu, Inggris membantu Dinasti Saud untuk memerangi Daulah Khilafah Islam. Dengan bantuan Inggris, Dinasti Saud berhasil menguasai beberapa wilayah Damaskus. Kerjasama Dinasti Saud dengan Inggris ini semakin jelas saat keduanya melakukan perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Dalam pernjanjian itu Inggris, yang diwakili oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas kemerdekaan lengkap dan mutlak Ibnu Saud, hubungan non agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Saud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk (George Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, hlm 351).
  7. Pola-pola yang hampir mirip terjadi pada negara-negara Arab yang lain.
  8. Pembentukan Negara Kuwait tidak lepas dari pernjanjian Mubarak al-Sabah dengan Inggris pada tahun 1899. Dalam perjanjian itu ditetapkan Kuwait sebagai negara yang merdeka di bawah lindungan Inggris. Negara-negara Arab lainnya juga menjadi rebutan pengaruh negara-negara Besar yang sangat mempengaruhi independensi penguasa negara-negara tersebut.
  9. Negara Mesir dibentuk setelah terjadinya kudeta militer terhadap Raja Farauk (yang dekat dengan Inggris) oleh Gamel Abdul Nasser (yang kemudian banyak dipengaruhi oleh AS).
  10. Tak jauh beda dengan Libya. Libya dibentuk oleh Itali sebagai daerah koloninya pada tahun 1943. Setelah itu Libya menjadi rebutan negara-negara Barat. Terakhir, Raja Idris yang dekat dengan AS dikudeta oleh Khadafi (yang menamatkan pendidikannya di Inggris).
Pengkhianatan negara-negara Arab juga telah menjadi penyebab dirampasnya dengan mudah tanah-tanah Palestina maupun negeri Arab lainnya oleh Israel tanpa ada perlawanan yang berarti. Direkayasa pula berbagai perang dengan Israel dengan berbagai tujuan antara lain untuk menunjukkan kehiraun rezim Arab tersebut terhadap Palestina. Padahal, kenyataan yang sebenarnya adalah pengkhianatan mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Sebenarnya tidak pernah terjadi perang yang habis-habisan. Empat perang yang pernah terjadi—1948, 1956, 1967, 1975—semuanya berakhir cepat dan dihentikan dengan intervensi Internasional. Wilayah kaum Muslim pun diserahkan kepada Israel dengan alasan kalah perang.

Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel tanpa berperang; Gamel Abdul Nasser menyerahkan Gurun Sinai dan Jalur Gaza; Hafedz Assad dari Suriah menyerahkan Dataran Tinggi Golan. Dari kekalahan perang yang direkayasa ini pun dibuat mitos bahwa Israel tidak akan pernah terkalahkan. Hal ini kemudian dijadikan legalisasi rezim-rezim Arab untuk tidak berperang terhadap Israel. Oleh sebab itu, seakan-akan perdamaian dengan Israel adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Padahal nyata-nyata tujuan dari berbagai perdamaian itu justru untuk mengokohkan keberadaan Negara Israel.

PEMBAHASAN.
Nilai Penting Teluk Persia bagi Amerika
Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1914 membawa dunia pada permintaan pasokan minyak yang cukup tinggi terutama disebabkan pada tiap-tiap negara yang berperang merubah kapal-kapal mereka dari penggunaan batu bara beralih pada penggunaan minyak. Setiap negara-negara yang berperang pada saat itu terus meningkatkan angkatan bersenjata mereka dengan menambah truk, tank, serta pesawat. Hal ini menjadi pemicu semakin meningkatnya permintaan minyak dunia sehingga bisa dikatakan minyak merupakan harta karun yang diperebutkan dan diperdagangkan oleh setiap negara hingga saat ini. Layaknya Teluk Persia di asumsikan sebagai ladang minyak baru bagi dunia yang telah memberikan suplai netral bagi pemenuhan pasokan minyak dunia. Di tahun 1909 perusahaan Anglo-Persia (APOC) mulai membangun pipa untuk mentransportasikan minyak dari sumbernya ke pelabuhan terdekat di Teluk Persia.
Hingga pada Perang Dunia II permintaan minyak semakin menunjukan peningkatannya  mencapai 900% dibandingkan 21 tahun yang lalu (Yergin, 1991; Palmer, 1993). 
Mengetahui hal tersebut Amerika menetapkan Teluk Persia sebagai geostrategic pertamanya menjadi wilayah pensuplai minyak yang potensial. Bahkan di tahun 1944 tercatat dalam laporan teknikal pemerintahan Amerika teluk Persia dilabeli sebagai “Pusat Gravitasi” bagi perkembangan minyak (Yergin, 1991) .
Kondisi Internal Irak pasca Perang Delapan Tahun Dengan Iran.
Pasca terlepas dari dominasi pemerintahan Inggris, negara Irak terlibat perang dengan negara tetangganya yaitu Iran di tahun 1980-1988 berkaitan dengan konflik perbatasan wilayah bekas peninggalan Inggris. Di tahun 1990 Irak mengalami inflasi sebesar 40%, impor penduduk meninkat 12 juta triliun, impor militer lima triliun dollar, hutang dengan negara-negara non arab sebesar 6-7 juta dollar pertahun (Polack, 2002) .  
Sementara pendapatan dalam negeri Irak terbesar berasal bergantung dari minyak mentahnya yang kendati terus mengalami kemerosotan harga setelah ditemukan sumber minyak baru di Alaska, Laut Utara, dan negara bekas Uni Soviet¹. Menyebabkan persaingan harga yang begitu ketat antara sumber minyak terbaru tersebut dengan harga yang telah ditetapkan Irak akibatnya Irak harus menurunkan harga minyaknya jauh di bawah harga yang ditetapkan sebelumnya.
Kondisi internal di negara Irak semakin terpuruk ketika para anggota OPEC seperti Kuwait dan United Arab Emirates (UAE) memproduksi minyak dengan kuantitas yang berlebihan dan harga yang relatif rendah dengan tujuan mencapai kebijakan jangka panjang. Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan dunia terhadap minyak mereka seperti halnya Kuwait yang terus maningkatkan produksi minyak mereka sehingga harga minyak dunia pun jatuh dari 22 dollar menjadi 16 dollar perbarel.
Kondisi ini menjadi tekanan bagi negara Irak dimana negara yang penghasilan utamanya 90% berasal dari penjualan minyak tersebut terus menurunkan harga dalam menyeimbangkan harga pasaran minyak dunia dan selain itu Irak juga harus menutupi hutang-hutang pasca peperangannya dengan Iran. 
 
Ladang minyak Irak telah lama di temukan oleh Inggris Raya di tahun 1927.
Presiden Saddam Husein memprediksikan bahwa jatuhnya satu dollar harga minyak dunia akan menyebabkan kerugian sebesar satu dollar bagi pendapatan Irak dan hal tersebut benar-benar terbukti hingga tahun 1990 Baghdad mengalami permasalahan finansial yang teramat parah (Polack, 2002). 
Kemerosotan ekonomi yang dialami Irak menyebabkan Presiden Saddam Husein kehabisan cara untuk menyelamatkan negaranya. Hingga ahirnya Irak berani untuk memutuskan perluasan area penambangan minyaknya sampai ke Kuwait.
Keberanian Presiden Saddam Husein dalam invasinya ke Kuwait didasarkan atas beberapa asumsi yang masih berkaitan dengan Amerika Serikat yaitu :
► Pertama, Irak percaya bahwa koalisi multinasional Amerika Serikat kesemuanya secara politik rentan dan akan kolaps jika tekanan terjadi pada hubungan mereka terutama koalisi anggota negara Arab. Presiden Saddam Husein dan para penasehatnya percaya bahwa banyak negara Arab yang bivalent (mendua) atas nasib Kuwait, tidak menyukai dukungan Amerika Serikat atas Israel serta sensitif atas paksaan ”imperialis” di Timur Tengah (al-Radi, 1998).
Kedua, Presiden Saddam Husein yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan mentoleransi harga minyak Kuwait yang sewaktu-waktu meningkat dan kemudian Amerika Serikat akan meliberalisasi Kuwait. Ia percaya Kuwait tidak begitu penting bagi Barat dan hanya memfokuskan aliran minyak yang terus berjalan serta percaya bahwa pelajaran yang dialami Amerika Serikat di Vietnam dan Lebanon di mana Amerika akan angkat tangan jika unit Amerika mengalami korban yang sangat banyak (al-Radi, 1998).
Ketiga, Presiden Saddam Husein percaya diri dalam perang Irak ke Kuwait, Amerika Serikat akan mengalami kekalahan yang serius sehingga mampu memaksa mereka ke meja bargaining. Sayangnya ia gagal memperhitungkan besarnya “jurang” perbedaan kualitas perlengkapan, taktik dan personel antara militer Irak dan Amerika Serikat (al-Radi, 1998).
Keempat, Presiden Saddam Husein percaya bahwa kekuatan udara akan berperan sedikit dalam perang dengan koalisi. Dalam sebuah siaran radio Presiden Saddam Husein meyakinkan rakyatnya bahwa Amerika Serikat bergantung pada pasukan udara. Dalam sejarah peperangan, pasukan udara tidak pernah menentukan perang. Mereka punya setidaknya 600 pasukan udara, semuanya buatan Amerika Serikat dan pilotnya mendapatkan pelatihan di Amerika Serikat. Mereka terbang ke Baghdad seperti awan hitam, tapi tetap tidak menentukan hasil akhir perang. Amerika Serikat bisa saja menghancurkan kota, pabrik, dan membunuh, namun tidak menentukan hasil akhir peperangan dengan angkatan udara.” (al-Radi, 1998).
Terakhir, pernyataan diplomat Amerika Serikat April Glaspie dalam lawatannya ke Irak yang mengatakan bahwa “kita tidak ingin berkomentar terkait konflik negara-negara Arab sebagaimana masalah perbatasan Anda dengan Kuwait” (Woodward, 212).
Semakin menguatkan asumsi Irak bahwa Amerika Serikat tidak akan mengambil tindakan jika militer Irak menyerang Kuwait. Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan asumsi-asumsinya untuk menjalankan invasi ke Irak. Usaha Organisasi internasional telah diajukan pada Irak. Tercatat pada musim gugur tahun 1990, Amerika Serikat, Liga Arab, Perancis, dan Rusia tiba di Baghdad mencoba melakukan penyelesaian masalah invasi Irak ke Kuwait namun tepat sebulan sebelum Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun) Amerika Serikat ternyata Baghdad segera menolak resolusi yang dilayangkan pihak PBB.
           
Perang Teluk I.
Kedekatan Irak dan Amerika Serikat sebenarnya tidak sebegitu intens. Pada masa kerajaan Persia di Irak pun belum terjalin bilateral di kedua negara tersebut, hingga pada masa pemerintahan Turki Ottoman baru lah tercipta jalinan bilateral di kedua negara tersebut. Jatuhnya kepemimpinan Turki Ottoman pasca Perang Dunia I, menjadikan Irak sebagai negara Irak yang modern dan didominasi oleh negara Inggris bukannya Amerika. Pasca Perang Dunia II, Amerika hanya menaruh minatnya kepada Arab Saudi dan Iran mengingat kedua negara tersebut merupakan negara yang kaya akan potensi minyak. Irak sendiri dipandang Amerika sebagai negara radikal lemah dan memiliki kedekatan dengan Rusia namun tidak begitu mengancam. Barulah di tahun 1980 bilateral antara Irak dan Amerika Serikat mulai terjalin begitu erat. Akibat kemerosotan ekonomi yang dialami negaranya, Irak berencana untuk menginvasi Kuwait. Mengetahui rencana Irak untuk menginvasi wilayah Kuwait, hal tersebut menjadi pukulan keras bagi Presiden Amerika Serikat yaitu Geroge H. W. Bush di mana tindakan Irak menjadi ancaman bagi negara Adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Teluk Persia dan menjamin agar minyak terus mengalir serta mencegah munculnya hegemoni musuh di region Teluk. Sebab apabila Kuwait berhasil di kuasai Irak maka negara Bulan Sabit tersebut akan menguasai 9% dari produksi minyak global yang mampu disaingkan dengan Arab Saudi dengan penguasaan minyak dunia mencapai hampir 11%. Dan apabila kekuatan militer Irak berhasil ditempatkan di Kuwait maka akan mengancam kestabilan Arab Saudi sehingga mengalami “Finlandized” berupa paksaan untuk mengikuti kebijakan harga minyak luar negeri yang didiktatori Baghdad. Dengan kata lain Irak memiliki kapabilitas untuk megatur harga minyak global. 
Pada pada 2 Agustus 1990 Irak melancarkan invasinya ke Kuwait yang dikenal dengan sebutan Perang Teluk Persia I atau Gulf War. Invasi Irak ini dibuka dengan penyerangan oleh dua brigade Pasukan Khusus Republik Irak yang bergerak cepat untuk menguasai istana Amir dan Bank Sentral Kuwait yang ia percaya akan menemukan tumpukan emas di sana yang sayangnya kebanyakan dari warga Kuwait lebih banyak menginvestasikan uang mereka ke luar negeri dibanding melakukan investasi pada Bank Sentral Kuwait oleh karena itu Saddam hanya mendapatkan 2 trilliun dolar billion emas Kuwait (Cigar, 1992 dan Friedman, 1991). Pada hari yang sama Irak membombardir ibukota Kuwait City dari udara. 
Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha mempertahankan negara, namun mereka dengan cepat kewalahan. Selanjutnya Kuwait berhasil memperlambat gerak Irak dan segera menyelamatkan keluarga kerajaan untuk meloloskan diri ke Arab Saudi beserta sebagian besar tentara yang masih tersisa. Invasi membabibuta yang dilakukan Irak membuat Kuwait meminta bantuan kepada Amerika Serikat tepat tanggal 7 Agustus 1990
Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan invasi yang dilakukannya di atas tanah Kuwait hingga pada musim gugur tanggal 6 Agustus 1990  Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi Pada Irak Dan dilanjutkan dengan misi diplomatik antara  James Addison Baker III diplomat Amerika Serikat dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz tanggal 9 Januari 1991 namun tidak membuahkan hasil, Irak menolak permintaan PBB agar menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991.
Dengan segera Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush mengambil tindakan tegas terhadap Irak setelah memperoleh izin untuk menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab dan AfrikaUtara kecuali SyriaLibya, Yordania dan Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (InggrisPerancis dan Jerman Barat ditambah negara-negara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara Asia yaitu Bangladesh dan Korea Selatan. Sementara dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen Khalid bin Sultan. Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun) dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara masif atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.
Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan udara yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut Merah dan Teluk Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Presiden Saddam Hussein yang merupakan titik sentral komando Irak dan inisiatif di level bawah tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak maka semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap. Target ketiga dan yang paling utama adalah instalasi rudal jelajah terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di daratan untuk mencari dan bila perlu menghancurkan instalasi rudal tersebut serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
  Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel AvivHaifa, dan Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Uni Soviet rakitan Irak yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot serta memaksimalkan sortir udara untuk memburu rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan. Irak juga melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Soviet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev namun ditolak oleh Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Uni Soviet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB, meskipun Uni Sovyet pada saat itu dikenal sebagai sekutu Irak terutama dalam hal suplai persenjataan. Selanjutnya Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan. Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dari ivasi Irak dan Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush menyatakan perang telah usai.
2.4 Perang Teluk II (Perang Irak).
Genderang perang bertalu-talu semakin seru pasca melancarkan aksi Perang Teluk Persia I, selanjutnya di bawah kepemimpinan presiden Amerika Serikat George W. Bush anak dari George H. W. Bush menyiapkan perang di Teluk untuk kembali menyerang Irak.
Dengan dalil bahwa Irak adalah negara paling berbahaya dengan 5 gelar yaitu negara diktator, negara teroris, kepemilikan senjata nuklir, kimia dan senjata kuman.
Alasan tersebut dijadikan Amerika Serikat dan Inggris untuk menggulingkan tampuk kepemimpinan Presiden Irak yakni Saddam Husein.  Januari 2003 sebenarnya para pemimpin Arab telah mendesak Saddam Husein untuk segera meninggalkan negerinya demi keselamatan Irak namun usulan tersebut tidak digubris oleh pemimpin Irak tersebut dan tetap bersikukuh untuk tinggal di tanah kepemimpinanya tersebut.
Apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan adapun tujuan terselubung niat Amerika Serikat melakukan rencana serangan Teluk Persia II yakni apabila Amerika Serikat berhasil menaklukan Irak maka akan ada kemudahan negara adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Timur Tengah yakni khususnya memberi pengaruhnya kepada Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa tersebut sudah mampu melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara yang dituduhkan George W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu memberi tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara Teluk membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan posisi Amerika sebagai Penguasa Dunia .
Posisi Irak sangat lemah karena sudah terisolasi lebih dari 10 tahun pasca Perang Teluk Persia I. Maka tanpa bantuan dari sekutupun, Amerika mampu menaklukkan Irak dengan kekuatan militer sendiri. Amerika telah memperhitungkan bahwa dalam aksi perang kali ini tidak ada negara yang berani membantu Irak.
Astrid (2011) . Sejarah Perang-Perang Besar Di Dunia. Yogyakarta : Familia Pustaka Keluarga.
Selanjutnya tim ekspedisi PBB tidak mampu menemukan senjata pemusnah massal yang diungkapkan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Sedangkan negara Rusia, China dan Perancis mendesak agar tim ekspedisi dari PBB memberikan waktu untuk membuktikan tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak.
Bahkan negara Jerman turut angkat bicara bahwa serangan militer terhadap Irak yang memang telah lemah karena embargo PBB bukanlah hal yang bijaksana. Meskipun demikian pihak Amerika tidak menggubris peringatan dari berbagai negara terbukti pada Maret 2003 Amerika mengirimkan sekitar 250.000 tentara ke wilayah Teluk dibantu kerajaan Inggris yang mengirimkan 45.000 tentara ke Irak.
Presiden negara Irak Saddam Husein memperoleh dukungan dari berbagai kalangan internasional yang memandang bahwa Irak menjadi korban rezim penguasa global yang kejam. 15 Februari 2003 terjadi demonstrasi di seluruh penjuru dunia menentang tindakan Amerika Serikat yang akan melakukan penyerangan ke Irak, para demonstran berasumsi bahwa Amerika Serikat merupakan negara penegak nilai-nilai demokrasi namun pada kenyataan Amerika Serikat bersikap kejam dan tidak berprikemanusiaan.
Tanggal 22 Februari 2003 Hans Blix selaku kepala inspeksi senjata PBB memerintahkan Irak untuk menghancurkan rudal Al-Samoud 2 karena dianggap telah melebihi jarak tembak yang hanya boleh mencapai 300 km. Menanggapi perintah inspeksi senjata PBB Irak segera melakukan perintah sesuai yang diamanatkan tanpa melakukan perlawanan. Tanggal 24 Februari 2003 Amerika bersikukuh mengajukan draft resolusi kepada PBB untuk mengultimatum negara Irak. Di luar restu PBB, Amerika dan inggris melancarkan kampanye untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Saddam Husein dari kancah pemerintahannya di Irak. Hingga pada tanggal 17 Maret 2003 Presiden Amerika Serikat George W. Bush memberi ultimatum kepada Presiden Saddam Husein untuk segera meninggalkan negeri yang dipimpinya dalam tempo 48 jam. Peringatan  tersebut tidak diindahkan oleh Presiden Irak tersebut sampai 19 Maret 2003, Amerika Serikat beserta koalisinya melakukan invasinya ke Irak (dikenal dengan istilah “Operasi Pembebasan Irak”) .
Tujuan utama pelaksanaan Operasi Pembebasan Irak oleh Amerika yaitu melucuti senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri dukungan Presiden Saddam Hussein terhadap aksi terorisme, serta memerdekakan rakyat Irak. Tanggal 18 Februari 2003 Amerika kembali mengirimkan 100.000 tentaranya kali ini ke Kuwait serta memaksimalkan dukungan lebih dari 20 negara dan bantuan suku Kurdi di utara Irak untuk memperkuat pertahanan. Kepemimpinan Presiden Saddam Husein berakhir pada tanggal 9 April 2003 ditandai dengan robohnya patung Saddam Husein berada tepat di lapangan Firdaus yang dihancurkan oleh tank Amerika.
Setelah berhasil menguasai istana kepresidenan dan sebagian pangkalan militer Irak maka dengan segera tentara Amerika berhasil menguasai Irak secara keseluruhan. Sementara pasukan Irak yang tergabung dalam Garda Revolusi yang dipimpin oleh anak-anak dari Saddam Husein tidak mampu membendung kekuatan gabungan militer Amerika. Terkepungnya wilayah Rafhafah dan Azhamiyah menjadi tempat terakhir bagi kekuatan militer Irak.
Perang Irak menimbulkan kekacauan dan penjarahan besar-besaran di Baghdad. Setelah berhasil menjatuhkan Baghdad, misi Amerika selanjutnya ialah menangkap Saddam Husein beserta pejabat-pejabat negara Irak yang melakukan perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat. Tanggal 13 Januari Desember 2003, Saddam Husein berhasil ditangkap di sebuah bunker kota Tikrit atas informasi gerilyawan Kurdi.
Tertangkapnya Saddam Husein memberikan kebanggaan tersendiri bagi pihak Amrika Serikat yang merasa telah mampu menumbangkan kepemimpinan yang diktator. Tanggal 1 Maret 2003 perang Teluk Persia II/ Perang Irak dinyatakan telah resmi berakhir dan di atas geladak kapal induk USS, Abraham Lincoln membentangkan spantuk raksasa yang bertuliskan “Mision Accomlished (Misi Selesai). Meski perang telah usai keadaan Irak tidak sepenuhnya damai , 30 September 2006 Saddam Husein dihukum gantung dan dinyatakan bersalah atas kejahatannya terhadap kemanusiaan oleh pengadilan Irak. Tanggal 31 Agustus 2010 Presiden Amerika Serikat pengganti George W. Bush pasca usai masa jabatan yaitu Presiden Barack Hussein Obama menyatakan bahwa perang telah berakhir serta memerintahkan penarikan pasukan Amerika dari irak² .
² Perang Teluk Persia II/ Perang Irak telah menewaskan 2.923 jiwa tentara Amerika dan 150.000 jiwa pihak Irak. 
Breuning (2007) menyatakan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya bersifat memiliki tujuan atau tindakan yang didasari oleh tujuan-tujuan tertentu. Itu artinya, seburuk apapun outcome yang dihasilkan oleh sebuah kebijakan sudah dipastikan memiliki alasan-alasan di balik proses pembuatan keputusan. Dalam kasus kebijakan luar negeri yang diputuskan Presiden Irak yanki Saddam Husein dalam menginvasi Irak terdapat beberapa alasan di balik itu semua kendati dalam proses mencapai tujuannya justru memberikan outcome yang sangat buruk bagi kestabilan negara Irak.
Begitu pula kebijakan luar negeri yang dihasilkan Presiden George H. W. Bush dan anaknya Presiden George W. Bush untuk melakukan invasi sebanyak dua kali di tanah Irak tentu saja memiliki tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negaranya, meskipun secara umum dipaparkan bahwa dalam Perang Teluk Persia I invasi menggunakan alasan atas tindakan invasi Irak atas Kuwait dan dalam  Perang Teluk Persia II beralasan 5 tuduhan yang dilayangkan kepada negara Irak yakni dikatator, pendukung terorisme, kepemilikan senjata nuklir, kimia dan kuman. Yang artiannya tujuan invasi Amerika Serikat secara umum digambarkan demi menjaga kestabilan dunia.
Tetapi kita tidak mengetahui gambaran tersirat bahwa di balik kebijakan luar negeri terkait dua invasi tersebut memiliki kepentingan tersendiri bagi Amerika Serikat. Seperti yang telah dipaparkan dalam uraian Perang Teluk Persia II akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Amerika Serikat apabila ia berhasil menaklukan Irak yaitu kemudahan negara adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Timur Tengah yakni khususnya memberikan pengaruhnya di Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa tersebut sudah mampu melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara yang dituduhkan George W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu memberi tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara Teluk membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan posisi Amerika sebagai Penguasa Dunia .
Secara tidak langsung kita tidak mampu menerjemahkan maksud dari kebijakan luar negeri Amerika serikat namun apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan maka kita akan menyadari bahwa permainan politik dan kepentingan nasional berperan di dalamnya. Oleh sebab itu pentinglah bagi kita untuk mengenal apa itu politik dan bagaimana maksud dan tujuan tersurat maupun tersirat sehingga mampu mempertahankan eksistensi negara kita di kancah percaturan internasional.

(syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: