Gaza – Kebahagiaan umat Islam Gaza di hari Idul Fitri tak lagi ada. Pasalnya sampai akhir bulan Ramadhan warga Gaza masih mengadapi ancaman maut serdadu Israel yang terus melakukan aksi bombardirnya.
Di tengah ketidak jelasan nasib mereka, dan kebingungan harus melaksanakan shalat Ied, warga Gaza sedikit menemukan harapan kedamaian pada 1 Syawal 1435 Hijiriah dengan melaksanakan shalat Ied di sebuah gereja umat Kristen di tengah gempuran bom dan tumpahan darah, .
Mengutip dari Tempo, Mahmud Khalaf, warga Gaza, hal itu lantaran komunitas Kristen di Gereja Saint Porphyrius mengundangnya untuk beribadah di dalam gereja.
Selain sebagai pelaksanaan Shalat Ied, Gereja itu sekaligus sebagai tempat tinggal pengungsian bagi Khalaf dan keluarga setelah bom Israel meledakkan wilayah tempat tinggalnya di Shaaf, Gaza.
“Mereka mengundang kami untuk beribadah di dalam gereja. Saya sebelumnya tidak mengenal satu orang pun umat Kristen di sini, tapi kini kami telah menjadi saudara,” kata Khalaf, sebagaimana dilansir situs Thenews.com.pk pada 26 Juli lalu.
Saat memasuki gereja, umat Nasrani akan menyambut para muslim dengan ucapan marhaban atau selamat datang. Menurut Khalaf, dia telah mengungsi selama dua pekan di gereja itu. Ritual puasa pada Ramadan pun dilakukannya di sana.
“Umat Kristen tentunya tidak berpuasa. Namun mereka menghormati kami dengan tidak makan dan minum di depan kami. Mereka juga tidak merokok saat berada di sekitar kami yang sedang puasa,” ujar Khalaf.
Awalnya, Khalaf mengaku merasa aneh tatkala harus salat di ruangan yang sama dengan tempat patung Yesus Kristus berada. Namun jemaat gereja itu membantu dia dan pengungsi lainnya dalam beribadah, sehingga mereka merasa nyaman.
Selama Ramadan, menurut Khalaf, dia dan para pengungsi lainnya selalu melakukan saat tarawih berjemaah di dalam gereja itu. “Hal ini mengubah pandangan saya tentang umat Kristen,” kata Khalaf.
Kabar yang dilaporkan liputan6.com, Mahmoud tak sendirian, ia bersama lebih dari 500 muslim lain yang juga mengungsi dalam gereja. “Kami sesama muslim beribadah, salat berjamaah tadi malam. “Di sini kasih antara umat Islam dan Kristen berkembang.”.
Bahkan, seiring banyaknya pengungsi di Gereja Saint Porphyrius, ucapan salam ‘marhaba’ digantikan dengan ‘Assalamualaikum’.
Pastor dan jemaat gereja berusaha menghormati tamu mereka yang beragama Islam selama Ramadan. “Umat Kristen tentu saja tidak berpuasa, namun mereka tidak makan, merokok, atau minum di depan kami,” kata Mahmoud, yang mengaku tak menjalankan ibadah puasa. Teror serangan Israel membuatnya ketakutan dan sangat tegang. Namun, pria itu tetap menjalankan salat 5 waktu.
Ramadan berakhir Senin dengan perayaan Idul Fitri. Namun, di tengah pemboman yang sedang berlangsung, di mana 1.000 lebih orang tewas, hari yang biasanya diliputi kegembiraan itu tak lagi ada.
“Umat Islam dan Kristen mungkin akan merayakan Idul Fitri di sini,” kata Sabreen al-Ziyara, muslimah yang bekerja sebagai petugas bersih-bersih di gereja.
“Namun, tak ada suka cita Lebaran tahun ini, yang ada peringatan untuk para syuhada,” kata dia, dengan penuh rasa hormat pada mereka yang gugur.
Seperti halnya masjid-masjid yang hancur oleh Israel. Gereja Saint Porphyrius juga tak lantas aman dari Bom. Pemakaman Kristen yang letaknya berdekatan terkena mortir Selasa lalu.
Umat Kristen di Gaza berjumlah sekitar 1.500 orang, yang hidup di antara 1,7 juta warga muslim.
Serangan Israel yang membabi buta, perasaan senasib merasakan teror negeri zionis justru rasa persaudaraan.
“Yesus berkata, kasihilah sesamamu, bukan hanya keluarga Anda, tetapi kolega Anda, teman sekelas Anda Muslim Sunni, Muslim Syiah, Hindu, Yahudi,” kata relawan Kristen, Tawfiq Khader. “Kami membuka pintu untuk semua orang.”
Gereja Saint Porphyrius sejauh ini telah menampung 500 pengungsi Gaza yang selamat dari baku tembak antara pasukan Israel dan Hamas.
Sumber: satuislam.org
Post a Comment
mohon gunakan email