Oleh: Dina Sulaiman
Pagi ini saya dapati, berita di Republika tentang adanya ribuan muslim yang jadi tentara Israel, banyak disebar ulang di jejaring sosial. Untung saja yang merilis berita ini Republika. Coba kalau Kompas atau Tempo, pasti sebagian orang langsung teriak-teriak ‘media kafir tukang fitnah!’ Penjelasan dari fenomena ini sebenarnya sederhana saja. Kita tinggal merunut sejarah terbentuknya Israel-Palestina.
Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan resolusi 181 yang membagi tiga wilayah Palestina: 56.5% untuk pendirian negara Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional. Tapi kelak, pada tahun 1967 –setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel—Israel menduduki Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.
Wilayah Palestina saat itu tidak kosong, bangsa Palestina (baik Arab Islam, Arab Kristen, maupun Arab Yahudi) menyebar di seluruh wilayah. Jadi, ketika tanah mereka dibagi tiga, ada yang berada di wilayah yang dijatah untuk Israel, ada yang hidup di wilayah yang dijatah untuk Palestina.
Lalu, orang Yahudinya ada berapa banyak? Orang Yahudi ‘asli’ yang sejak lama hidup berbaur dengan bangsa Arab, memang ada, tapi tidak banyak (dan mereka ini justru dianggap rendahan oleh Israel, sama seperti warga Arab Islam&Kristen). Setelah Theodor Herzl, pada 1896 menyerukan pendirian sebuah negara Yahudi, Jewish Colonization Association (Asosiasi Kolonisasi Yahudi, didirikan 1891 di London) memulai pendanaan dalam mendirikan permukiman Zionis di Palestina.
Pada 1904-1914, gelombang pertama Yahudi datang sebanyak 40,000 orang sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 6% dari total penduduk. Selanjutnya, pengiriman orang-orang Yahudi dari berbagai negara di dunia berbondong-bondong datang ke Palestina. Pada October 1921, sensus penduduk pertama yang dilakukan oleh Inggris menunjukkan populasi di Palstina 78% Muslim Arab, 11% Yahudi, 9,6% Kristen Arab. Akhirnya, pada tahun 1945 (3 tahun sebelum Israel ‘diproklamasikan’) populasi Zionis menjadi 31% dan kepemilikan tanah menjadi 6.0%.
Setelah Resolusi PBB 181 itu, orang-orang Yahudi melakukan aksi ‘pembersihan’ etnis Arab di kawasan Palestina yang menjadi ‘jatah’ Israel. Hingga tahun 1954, total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan ‘jatah’ Israel telah terusir dan hidup di pengungsian hingga kini. Kawasan jatah Israel pun, yang oleh PBB ditetapkan 56,5% kini telah meluas (lihat peta) dan upaya ekspansi terus berlanjut hingga hari ini.
Para pengungsi Palestina melalui musim dingin di tenda-tenda yang disediakan oleh para sularelawan; hampir semua lokasi pengungsian ini akhirnya menjadi tempat tinggal permanen mereka sampai hari ini. Satu-satunya harapan bagi para pengungsi saat itu adalah Resolusi PBB nomor 194 (11 Desember 1948) yang menjanjikan bahwa mereka akan segera dipulangkan ke rumah masing-masing; resolusi itu adalah salah satu dari sekian banyak janji yang dibuat oleh masyarakat internasional untuk bangsa Palestina, yang tidak pernah dilaksanakan hingga hari ini.
Arab-Palestina yang Jadi Warga Israel
Jadi, ada orang-orang Arab yang masih ‘tersisa’ di dalam wilayah yang menjadi jatah Israel. Mereka kini tercatat sebagai warga Israel, meski sangat didiskriminasi. Untuk mencari nafkah, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dilakukan warga Yahudi. Gilad Atzmon, penulis Yahudi yang aktif membela Palestina, menulis dalam bukunya bahwa dia lahir dan besar di Israel, tanpa pernah melihat orang Arab-Palestina. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar di malam hari, membersihkan sampah, dll.
Orang-orang Arab Palestina yang ada di wilayah Israel itu terusir dari tanah mereka yang asli. Tanah dan rumah-rumah mereka diambil alih oleh orang-orang Yahudi. Lihat video rumah-rumah indah milik Palestina yang kini dikuasai Yahudi-Israel di sini (Perampokan Buku di Palestina) Status Arab-Palestina yang jadi warga Israel adalah internally displaced person (baca di sini penjelasannya: Mengungsi tapi Bukan Pengungsi).
Nah, mereka ini tetap manusia kan? Musti makan kan? Mereka menikah, punya anak, jadi musti kasih makan anak kan? Trus kalian pikir, gimana mereka bisa hidup? Biaya hidup di Israel sangat tinggi, konon untuk hidup layak di sana butuh 80-120 Dollar perhari. Jadi, bila ada yang memutuskan untuk bergabung dengan tentara Israel demi gaji dan hidup layak, apa boleh buat. Sebagian dari mereka (yang masih muda) pun sejak lahir sudah jadi warga Israel, mungkin tak kenal sama ulama yang mengajari mereka semangat jihad. Memang, ini ironis sekali.
Isu Agama, Salahkah?
Lalu, apakah salah bila kaum muslim membela Palestina yang dijajah Israel (Yahudi) atas dasar sentimen agama? Bergantung kalian ‘mazhab’ mana deh. Kalau versi kaum radikal yang hobi sekali teriak-teriak jihad di negeri-negeri muslim (anehnya, tidak kirim pasukan ke Israel), isu Palestina adalah isu Islam-Yahudi yang sampai kiamat gak akan bisa berdamai.
Tapi, kalau saya melihatnya secara kontekstual saja. Bahwa Hamas, Jihad Islam, dan para pejuang Palestina lainnya menggunakan sentimen agama untuk meraih kemerdekaan, tentu sah-sah saja. Bukankah Islam memang menyuruh manusia untuk mencintai dan membela negara kita? Masak dijajah diem aja? Cacing aja diinjek memberontak? Dulu di Surabaya, Bung Tomo juga mengobarkan semangat perjuangan rakyat dengan seruan Islam.
Dan buat pejuang Palestina, semangat jihad ini sangat efektif. Para pejuang bertempur tidak takut mati, karena mati akan membawa mereka ke surga. Jangan salahkan keyakinan seperti ini, karena memang ada ayatnya di Quran (sesungguhnya mereka yang berjihad di jalan Allah itu tidak mati, melainkan tetap hidup dan mendapat rizki QS3:169).
Kata Gilad Atzmon, orang-orang Israel pun ‘berjuang’ dengan dicekoki sentimen rasialis . Menurutnya, ideologi anti-non-Yahudi (anti-Gentile) ada secara inheren dalam berbagai wacana politik orang Yahudi, baik itu Yahudi Zionis, Yahudi sekuler, maupun Yahudi ‘kiri’. Karena itulah, orang-orang Yahudi di seluruh dunia memiliki keterikatan batin dengan Israel. Mereka rajin bersedekah untuk kelangsungan hidup Israel (bahkan istilah Ibrani-nya pun tzedakah). Tentu saja ada, orang-orang Yahudi yang ‘tercerahkan’, kayak si Gilad ini.
Jadi, masak disalahkan kalau umat Islam membela Palestina karena kemuslimannya? Hak gue dong ya, jangan dicela-cela. Tapi, sebaliknya, kaum Muslim pun jangan sok-sok merasa paling Muslim dengan memaki-maki Yahudi, tapi sikap-sikapnya sehari-hari malah meniru perilaku Yahudi. Seperti dikatakan Atzmon di atas: orang Yahudi itu secara inheren memang rasis; sikap rasis ini sayangnya banyak saya temui di kalangan akhi-ukhti: kalau elo ga se-fikroh, se-harokah ma gue, maka elo bukan golongan gue. Bahkan saya baca di komen-komen dan tulisan web-web (mengaku) Islami, mereka mengembangkan teori konspirasi kacau-balau yang ahistoris, illogical, fallacy tingkat akut, dan hanya berbasis ilusi, bahwa orang Iran itu sekutu Yahudi. Terakhir bahkan saya baca, broadcast di WhatsApp: Israel menyerang Hamas demi membuat Iran meraih simpati kaum Muslim karena seolah-olah membela Palestina. *tepok jidat*
Terakhir, saran saya, daripada menambah perpecahan di Indonesia karena mulut (jari) yang tak terjaga akibat umpatan kafir-kafiran, lebih baik mempelajari penjajahan Israel ini dari sisi ekonomi-politik internasional. Biar paham bahwa membela Palestina itu hakikatnya perjuangan memerdekakan kita (bangsa Indonesia) dari penjajahan ekonomi kaum Yahudi-Zionis. Bisa baca di sini: Palestina adalah Kita.
Semoga menjadi jelas.
Pagi ini saya dapati, berita di Republika tentang adanya ribuan muslim yang jadi tentara Israel, banyak disebar ulang di jejaring sosial. Untung saja yang merilis berita ini Republika. Coba kalau Kompas atau Tempo, pasti sebagian orang langsung teriak-teriak ‘media kafir tukang fitnah!’ Penjelasan dari fenomena ini sebenarnya sederhana saja. Kita tinggal merunut sejarah terbentuknya Israel-Palestina.
Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan resolusi 181 yang membagi tiga wilayah Palestina: 56.5% untuk pendirian negara Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional. Tapi kelak, pada tahun 1967 –setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel—Israel menduduki Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.
Wilayah Palestina saat itu tidak kosong, bangsa Palestina (baik Arab Islam, Arab Kristen, maupun Arab Yahudi) menyebar di seluruh wilayah. Jadi, ketika tanah mereka dibagi tiga, ada yang berada di wilayah yang dijatah untuk Israel, ada yang hidup di wilayah yang dijatah untuk Palestina.
Lalu, orang Yahudinya ada berapa banyak? Orang Yahudi ‘asli’ yang sejak lama hidup berbaur dengan bangsa Arab, memang ada, tapi tidak banyak (dan mereka ini justru dianggap rendahan oleh Israel, sama seperti warga Arab Islam&Kristen). Setelah Theodor Herzl, pada 1896 menyerukan pendirian sebuah negara Yahudi, Jewish Colonization Association (Asosiasi Kolonisasi Yahudi, didirikan 1891 di London) memulai pendanaan dalam mendirikan permukiman Zionis di Palestina.
Pada 1904-1914, gelombang pertama Yahudi datang sebanyak 40,000 orang sehingga populasi Yahudi di Palestina meningkat jadi 6% dari total penduduk. Selanjutnya, pengiriman orang-orang Yahudi dari berbagai negara di dunia berbondong-bondong datang ke Palestina. Pada October 1921, sensus penduduk pertama yang dilakukan oleh Inggris menunjukkan populasi di Palstina 78% Muslim Arab, 11% Yahudi, 9,6% Kristen Arab. Akhirnya, pada tahun 1945 (3 tahun sebelum Israel ‘diproklamasikan’) populasi Zionis menjadi 31% dan kepemilikan tanah menjadi 6.0%.
Setelah Resolusi PBB 181 itu, orang-orang Yahudi melakukan aksi ‘pembersihan’ etnis Arab di kawasan Palestina yang menjadi ‘jatah’ Israel. Hingga tahun 1954, total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan ‘jatah’ Israel telah terusir dan hidup di pengungsian hingga kini. Kawasan jatah Israel pun, yang oleh PBB ditetapkan 56,5% kini telah meluas (lihat peta) dan upaya ekspansi terus berlanjut hingga hari ini.
Para pengungsi Palestina melalui musim dingin di tenda-tenda yang disediakan oleh para sularelawan; hampir semua lokasi pengungsian ini akhirnya menjadi tempat tinggal permanen mereka sampai hari ini. Satu-satunya harapan bagi para pengungsi saat itu adalah Resolusi PBB nomor 194 (11 Desember 1948) yang menjanjikan bahwa mereka akan segera dipulangkan ke rumah masing-masing; resolusi itu adalah salah satu dari sekian banyak janji yang dibuat oleh masyarakat internasional untuk bangsa Palestina, yang tidak pernah dilaksanakan hingga hari ini.
Arab-Palestina yang Jadi Warga Israel
Jadi, ada orang-orang Arab yang masih ‘tersisa’ di dalam wilayah yang menjadi jatah Israel. Mereka kini tercatat sebagai warga Israel, meski sangat didiskriminasi. Untuk mencari nafkah, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dilakukan warga Yahudi. Gilad Atzmon, penulis Yahudi yang aktif membela Palestina, menulis dalam bukunya bahwa dia lahir dan besar di Israel, tanpa pernah melihat orang Arab-Palestina. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar di malam hari, membersihkan sampah, dll.
Orang-orang Arab Palestina yang ada di wilayah Israel itu terusir dari tanah mereka yang asli. Tanah dan rumah-rumah mereka diambil alih oleh orang-orang Yahudi. Lihat video rumah-rumah indah milik Palestina yang kini dikuasai Yahudi-Israel di sini (Perampokan Buku di Palestina) Status Arab-Palestina yang jadi warga Israel adalah internally displaced person (baca di sini penjelasannya: Mengungsi tapi Bukan Pengungsi).
Nah, mereka ini tetap manusia kan? Musti makan kan? Mereka menikah, punya anak, jadi musti kasih makan anak kan? Trus kalian pikir, gimana mereka bisa hidup? Biaya hidup di Israel sangat tinggi, konon untuk hidup layak di sana butuh 80-120 Dollar perhari. Jadi, bila ada yang memutuskan untuk bergabung dengan tentara Israel demi gaji dan hidup layak, apa boleh buat. Sebagian dari mereka (yang masih muda) pun sejak lahir sudah jadi warga Israel, mungkin tak kenal sama ulama yang mengajari mereka semangat jihad. Memang, ini ironis sekali.
Isu Agama, Salahkah?
Lalu, apakah salah bila kaum muslim membela Palestina yang dijajah Israel (Yahudi) atas dasar sentimen agama? Bergantung kalian ‘mazhab’ mana deh. Kalau versi kaum radikal yang hobi sekali teriak-teriak jihad di negeri-negeri muslim (anehnya, tidak kirim pasukan ke Israel), isu Palestina adalah isu Islam-Yahudi yang sampai kiamat gak akan bisa berdamai.
Tapi, kalau saya melihatnya secara kontekstual saja. Bahwa Hamas, Jihad Islam, dan para pejuang Palestina lainnya menggunakan sentimen agama untuk meraih kemerdekaan, tentu sah-sah saja. Bukankah Islam memang menyuruh manusia untuk mencintai dan membela negara kita? Masak dijajah diem aja? Cacing aja diinjek memberontak? Dulu di Surabaya, Bung Tomo juga mengobarkan semangat perjuangan rakyat dengan seruan Islam.
Dan buat pejuang Palestina, semangat jihad ini sangat efektif. Para pejuang bertempur tidak takut mati, karena mati akan membawa mereka ke surga. Jangan salahkan keyakinan seperti ini, karena memang ada ayatnya di Quran (sesungguhnya mereka yang berjihad di jalan Allah itu tidak mati, melainkan tetap hidup dan mendapat rizki QS3:169).
Kata Gilad Atzmon, orang-orang Israel pun ‘berjuang’ dengan dicekoki sentimen rasialis . Menurutnya, ideologi anti-non-Yahudi (anti-Gentile) ada secara inheren dalam berbagai wacana politik orang Yahudi, baik itu Yahudi Zionis, Yahudi sekuler, maupun Yahudi ‘kiri’. Karena itulah, orang-orang Yahudi di seluruh dunia memiliki keterikatan batin dengan Israel. Mereka rajin bersedekah untuk kelangsungan hidup Israel (bahkan istilah Ibrani-nya pun tzedakah). Tentu saja ada, orang-orang Yahudi yang ‘tercerahkan’, kayak si Gilad ini.
Jadi, masak disalahkan kalau umat Islam membela Palestina karena kemuslimannya? Hak gue dong ya, jangan dicela-cela. Tapi, sebaliknya, kaum Muslim pun jangan sok-sok merasa paling Muslim dengan memaki-maki Yahudi, tapi sikap-sikapnya sehari-hari malah meniru perilaku Yahudi. Seperti dikatakan Atzmon di atas: orang Yahudi itu secara inheren memang rasis; sikap rasis ini sayangnya banyak saya temui di kalangan akhi-ukhti: kalau elo ga se-fikroh, se-harokah ma gue, maka elo bukan golongan gue. Bahkan saya baca di komen-komen dan tulisan web-web (mengaku) Islami, mereka mengembangkan teori konspirasi kacau-balau yang ahistoris, illogical, fallacy tingkat akut, dan hanya berbasis ilusi, bahwa orang Iran itu sekutu Yahudi. Terakhir bahkan saya baca, broadcast di WhatsApp: Israel menyerang Hamas demi membuat Iran meraih simpati kaum Muslim karena seolah-olah membela Palestina. *tepok jidat*
Terakhir, saran saya, daripada menambah perpecahan di Indonesia karena mulut (jari) yang tak terjaga akibat umpatan kafir-kafiran, lebih baik mempelajari penjajahan Israel ini dari sisi ekonomi-politik internasional. Biar paham bahwa membela Palestina itu hakikatnya perjuangan memerdekakan kita (bangsa Indonesia) dari penjajahan ekonomi kaum Yahudi-Zionis. Bisa baca di sini: Palestina adalah Kita.
Semoga menjadi jelas.