Argumen bahwa pencabutan subsidi BBM memang perlu dilakukan, sudah banyak ditulis. Saya juga pernah
menulis bagaimana Iran
yang jauh lebih kaya minyak daripada Indonesia juga mencabut subsidi
BBM-nya (namun prosesnya sangat panjang, rakyat Iran diberi berbagai
fasilitas untuk berpindah ke bahan bakar gas dulu, baru harga bensin
naik).
Pertanyaannya, mengapa sekarang? Mengapa baru sebulan setelah
dilantik, Presiden Jokowi sudah menaikkan harga BBM (apapun istilahnya:
pengurangan subsidi, pengalihan subsidi, dll)? Mengapa tidak dilakukan
dulu hal-hal kreatif untuk menambah pundi-pundi APBN (misalnya,
menyingkirkan Mafia Migas dulu,
menghentikan subsidi bunga o
bligasi rekap perbankan sisa “warisan” BLBI era krisis moneter 1997/98 atau melakukan subsidi silang harga BBM)?
Rizal Ramli menulis, keputusan itu diambil karena tekanan
Bank Dunia. Berita yang dirilis
Antara
pada Maret 2014 juga menegaskan bahwa Bank Dunia merekomendasikan
kenaikan BBM Rp2000. Soal Bank Dunia ini yang akan saya tulis secara
singkat.
Sebenarnya bukan fakta baru bahwa Indonesia ini berada di bawah tekanan berbagai lembaga donor. Ketika Anda berhutang banyak,
sangat banyak,
pada lembaga-lembaga rente, mau tak mau Anda harus menuruti kemauan
mereka. Jadi, siapapun presidennya, opsi pencabutan subsidi BBM pasti
diambil (Prabowo pun pernah menyatakan dukungan atas pencabutan subsidi
BBM dan menyebut subsidi BBM = membakar uang. Sila tonton rekamannya di
youtube).
Ada 10 lembaga donor terbesar Indonesia (=lembaga yang memberi hutang
kepada Indonesia), yaitu: Asian Development Bank (jumlah utang: 96T),
Bank Dunia (jumlah utang: 122 T) , Japan International Cooperation
Agency (jumlah utang: 226T), Australian Agency for International
Development, Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, Agence
Française de Développement, United States Agency for International
Development, United Nations, Millennium Challenge Corp. dan Federal
Ministry for Economic Cooperation and Development (
data tahun 2012). Total utang pemerintah Indonesia: 123M USD (sekitar 1476T). Total utang swasta kepada asing: 146M USD (1752T).
Lalu, apa yang disarankan oleh Bank Dunia kepada Indonesia? Sama
sekali tidak mengagetkan, sama saja dengan yang disarankan oleh IMF yang
memberikan ‘pertolongan’ kepada Pak Harto saat Indonesia hampir kolaps
diterjang krisis moneter 1998: privatisasi, pencabutan subsidi,
deregulasi (demi kenyamanan investor asing). Bukan cuma Bank Dunia,
lembaga-lembaga donor (=renternir) lainpun punya resep yang
senada-seirama dengan IMF. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca tulisan
saya sebelumnya :
Kejamnya Liberalisme Ekonomi).
Mari kita baca dokumen
STRATEGI KEMITRAAN
Bank Dunia untuk Indonesia tahun fiskal 2013-2015. Minimalnya, ada
lima kalimat yang senada “subsidi BBM menyerap sebagian besar anggaran
yang sebetulnya dapat digunakan bagi infrastruktur dan perlindungan
sosial” (meskipun redaksi tidak persis).
Dalam tabel saya kutip dari dokumen itu, terlihat sekali kemiripan program Bank Dunia dengan program Jokowi:
Tujuan Jangka Panjang Indonesia |
Kendala |
Kelompok Bank Dunia akan Berkontribusi pada: |
Tonggak Pembangunan Indikatif Jangka Menengah |
Mode Keterlibatan Kelompok Bank Dunia |
Infrastruktur
Meningkatkan taraf dan efisiensi investasi publik dan swasta dalam
infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan dan memperkuat daya saing |
Kurangnya investasi infrastruktur; tidak mungkin didukung oleh investasi publik saja |
-Peningkatan kilometer efektif jalan nasional yang akan
dipelihara dan dibangun-mengurangi hambatan infrastruktur kelistrikan
untuk memenuhi kebutuhan-meningkatkan investasi swasta pada
infrastruktur |
-mengurangi kebutuhan subsidi PLN
-dibentuknya mekanisme dana pendamping pemerintah [kartu indonesia sehat, dll?]
-setidaknya satu transaksi Kemitraan Publik Swasta untuk proyek air baku |
Pembiayaan
untuk: Transportasi kawasan timur Indonesia, Proyek perbaikan jalan
kawasan barat Indonesia, pemeliharaan aset jalan, DPL konektivitas,
Pembangunan transmisi I&II, Energi terbarukan untuk Listrik, ..
investasi oleh IFC pada listrik, air, pelabuhan, perkapalan, dan
logistik, telekomunikasi, minyak,dan gasPengetahuan: Kajian Industri Konstruksi Jalan, Layanan Konsultasi mengenai layanan dan subsidi energi, Dana Pendamping Pemerintah, dll |
Secara umum, kelihatannya program-program tersebut baik-baik saja.
Tentu saja, saat ini masih terlalu pagi untuk menilai bagaimana Jokowi
melaksanakan janjinya (bahwa subsidi dialihkan untuk infrastruktur dan
peningkatan kesejahteraan rakyat). Meskipun, berdasarkan
track record
kinerja Bank Dunia selama ini (baik di Indonesia maupun di negara Dunia
Ketiga lainnya), bisa diprediksikan bagaimana hasilnya.
Anggoro,
peneliti dari Institute of Global Justice (2008) menulis, kerugian yang
diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia antara lain:
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan
mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses
pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
transnational partner Bank Dunia).
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan
dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan
negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena
Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing,
yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak
bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga
penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi
kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas
pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan
infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon. (selengkapnya, baca
tulisan saya:
Peran Bank Dunia dalam Kemunduran Ekonomi Indonesia)
___________________________
©Dina Y. Sulaeman
Sejarah Bank Dunia.
Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural
berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank
Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods
yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44
negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank
Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia
adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu
negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak tahun 1960-an, pemberian pinjaman difokuskan kepada
negara-negara non-Eropa untuk membiayai proyek-proyek yang bisa
menghasilkan uang, supaya negara yang bersangkutan bisa membayar kembali
hutangnya, misalnya proyek pembangunan pelabuhan, jalan tol, atau
pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank Dunia banyak dikucurkan
kepada negara-negara Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal untuk
mengentaskan kemiskinan di negara-negara tersebut. Pada era itu,
pinjaman negara-negara Dunia Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20%
setiap tahunnya.
Peran Bank Dunia dalam Ekonomi dan Politik Global.
Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia
mengubah konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang
perekonomian antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu,
seiring dengan merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah
negara berkembang semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut
distribusi kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan
negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana
pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis keuangan Bank Dunia adalah modal yang diinvestasikan oleh
negara anggota bank ini yang berjumlah 186 negara. Lima pemegang saham
terbesar di Bank Dunia adalah AS, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Kelima negara itu berhak menempatkan masing-masing satu Direktur
Eksekutif dan merekalah yang akan memilih Presiden Bank Dunia. Secara
tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang AS karena AS adalah pemegang
saham terbesar. Sementara itu, 181 negara lain diwakili oleh 19
Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi wakil dari
beberapa negara).
Bank Dunia berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi
liberal pasca Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41).
Pembangunan kembali tatanan ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS dengan
rancangan utama mendirikan sebuah tatanan perdagangan dunia liberal.
Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan moneter yang
berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan Zangl
(2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara
untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan
mempertahankan standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF
(International Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for
Reconstruction dan Development). IBRD inilah yang kemudian sering
disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti
oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia melalui lembaga bernama GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Pada tahun
1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade Organization).
Meskipun tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun
dalam prakteknya, Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena
hampir semua negara di dunia menjadi penerima hutang dari Bank Dunia.
Sejak awal beroperasinya, Bank Dunia sudah mempengaruhi politik dalam
negeri negara yang menjadi penghutangnya. Penerima hutang pertama Bank
Dunia adalah Perancis, yaitu pada tahun 1947, dengan pinjaman sebesar $
987 juta. Pinjaman itu diberikan dengan syarat yang ketat, antara lain
staf dari Bank Dunia mengawasi penggunaan dana itu dan menjaga agar
Perancis mendahulukan membayar hutang kepada Bank Dunia daripada
hutangnya kepada negara lain. AS juga ikut campur dalam proses pencairan
hutang ini. Kementerian Dalam Negeri AS meminta Perancis agar
mengeluarkan kelompok komunis dari koalisi pemerintahan. Hanya beberapa
jam setelah Perancis menuruti permintaan itu, pinjaman pun cair.
Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan
politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP (Structural Adjustment
Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia
memerintahkan agar negera penerima hutang melakukan “perubahan
kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal
menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan
kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas,
privatisasi, dan deregulasi.
Karena adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia
terhadap politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia juga sangat besar,
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Kinerja Bank Dunia di Indonesia.
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga
saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program
pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725
triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The
World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah
digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi,
industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi
selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada
masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7
Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai
pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia.
Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on
Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang
dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI “membantu” pembangunan di
Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik
untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal.
Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi
kepentingan negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar,
bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank
Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan
privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan
jasa secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat
bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara
pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya
kepada Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program
Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk
melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM).
Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga
harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya.
Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah
mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja
daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri
(27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari
total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut,
anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan
sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk
pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya
beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi
juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan
belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working
for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun
beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari
Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di
Indonesia.
Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis,
kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank
Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan
mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses
pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
transnational partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan
dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan
negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena
Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing,
yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak
bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga
penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi
kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas
pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan
infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
- Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung
kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang
dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum
yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga
keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya
dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun
peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam
bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar
300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN,
sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman
400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam
menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan
hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya,
“Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang
bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan
teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek
insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal dari
hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu, Perkins (2004: 13-16) menulis, “…saya
mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify)
kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan
disalurkan melalui Main dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya
(seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui
proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus
bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor
Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh
para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu
akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita
kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau
akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Dalam wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan,
“Pekerjaan utama saya adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam
pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar,
jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu
syarat dari hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk
negara seperti Indonesia atau Ecuador—negara ini harus memberikan 90%
dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur,
misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah
perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun
jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani
segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di
sana akan terjebak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa
mereka bayar.”
Untuk kasus Ekuador, Perkins menulis, negara itu kini harus
memberikan lebih dari 50% pendapatannya untuk membayar hutang. Hal itu
tentu tak mungkin dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS meminta
Ekuador agar memberikan ladang-ladang minyaknya kepada
perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon
yang kaya minyak.
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002
mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak
bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”.
Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi
tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal
tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga
kestabilan ekonomi.
Melihat kinerja seperti ini, menurut Anggoro (2008), Bank Dunia
sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang menyebutkan, “to employ
international machinery for the promotion of the economic and social
advancement of all peoples”. Dengan kata lain, Bank Dunia sebagai salah
satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan operasinya
pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan
multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan
hutang tak berkesudahan.[]
Tulisan terkait:
Tentang Liberalisme Ekonomi (1): Sri Mulyani Itu Orang Baik Kok!
_______________________________
Kompas hari ini menurunkan tulisan Sindhunata yang memuji-muji Sri
Mulyani. Kebetulan, saat browsing, saya ketemu grup facebook “Kami
Percaya Integritas Sri Mulyani”. Di sana, banyak yang memuji2 SMI dengan
kata “Saya percaya pada integritas SMI”, “Saya percaya Bu Sri orang
baik.”
Sebelum saya komentari, saya mau cerita dulu. Dalam sebuah diskusi di
kelas, saya mengkritik liberalisme. Dosen saya, seorang profesor
senior, membela liberalisme dan mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi
menghindar dari liberalisme yang sudah sedemikian mengglobal. Yang harus
dilakukan Indonesia adalah menyiasati ‘hidup’ dalam liberalisme yang
sudah menjadi keniscayaan. Diskusi kami baik-baik saja, tidak ada yang
tersinggung. Kami berbeda pendapat, tapi tidak saling memaksakan. Tapi
ada satu hal yang saya catat: pada sebagian orang, bahkan setingkat
profesor sekalipun, memang sangat mungkin sedemikian yakinnya pada
liberalisme. Bukan berarti orang yang yakin pada kebenaran liberalisme
adalah orang jahat; justru saya sangat yakin dosen saya ini hatinya
baik. Sikapnya yang santun dan tidak tersinggung saat saya kritik,
membuktikan hal itu.
Jadi, melihat begitu banyak orang yang
sedemikian percaya bahwa SMI orang baik, saya yang tidak kenal SMI,
merasa perlu juga percaya bahwa dia memang baik, tidak korup, punya
semangat membenahi Depkeu, dll (seperti kata orang-orang itu). Tapi
teman, problemnya BUKAN pada kepribadian SMI, tapi pada keyakinannya
(atau bahkan ‘keimanannya’) bahwa liberalisme adalah ideologi yang bisa
menyejahterakan manusia. Melalui ekonomi liberal, kata para liberalis,
dunia akan makmur dan manusia akan mencapai kemuliaannya. Kalaupun dalam
proses liberalisasi ada banyak yang menjadi korban, kata liberalis,
itu adalah resiko. Setiap keberhasilan perlu menerjang resiko. Biarlah
segelintir orang mati kelaparan asal mayoritas orang bisa terselamatkan
dan hidup makmur, begitu prinsip mereka. Percayalah, kata liberalis,
setelah semua krisis terlalui, dunia akan mencapai kemakmuran dan
perdamaian abadi.
[Sebentar..sebentar.. mungkin ada yang nanya, “Kata siapa SMI
liberal?” Jawabannya rada panjang. Jadi, buat yang belum percaya bahwa
SMI adalah pendukung ekonomi liberal, silahkan cari sendiri. Saya tidak
tuliskan di sini karena terlalu panjang, nanti gak fokus.]
Lanjut. Masalahnya, ideologi liberalisme adalah alat bagi segelintir
orang haus darah dan uang untuk menghisap darah dan uang umat manusia,
demi menumpuk uang sebanyak-banyaknya (mungkin inilah representasi yang
dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah
emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua ; seandainya ia memiliki
lembah emas kedua, ia ingin memiliki lembah emas yang ketiga. Baru puas
nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan menerima taubat
orang yang mau kembali kepada-Nya.” –hadis riwayat Bukhori Muslim)
Orang-orang baik pembela liberalisme mungkin tidak menyadari bahwa
sesungguhnya mereka diperalat para vampire ini. Mereka (mungkin) dengan
keyakinan baik, menyebarkan ideologi liberalisme ke seantero dunia.
Bahkan para ahli ekonomi yang (konon) baik hati seperti SMI, yang sudah
digembleng habis-habisan dalam lembaga-lembaga pendidikan liberal,
mempraktekkan liberalisme untuk menangani perekonomian negara
masing-masing.
Ketika liberalisme mengglobal, negara-negara dunia ketiga (Indonesia
dan teman-teman senasibnya) terpuruk, kekayaannya habis untuk membayar
hutang kepada para renternir berbaju sinterklas (Bank Dunia, IMF, dan
geng-nya), mungkin memang bukan orang-orang baik inilah yang mendapat
keuntungan (selain gaji bulanan yang lumayan). Mungkin orang-orang baik
ini memang tidak korup dan bahkan berusaha memberantas korupsi.
Lalu, kemana perginya uang dalam jumlah giga-raksasa yang dihisap
dari negara-negara dunia ketiga itu? Tentu saja, masuk ke rekening para
vampire ini.
Sekarang, soal integritas. Apa sih integritas itu sebenarnya? Kalau
menurut saya, integritas artinya punya watak baik yang integral,
menyatu, tidak setengah-setengah, tidak ambigu. Karena itu, menilai
seorang pejabat itu memang harus dari sisi integritasnya. Dia harus baik
secara integral. Kita tidak bisa menyebut seorang pejabat itu baik
karena dia sederhana, low profile, atau rajin sholat SAJA. Dia harus
punya kebaikan yang bisa dirasakan oleh mayoritas rakyat. Kasus SMI,
mungkin dia baik, mungkin dia punya semangat memberantas korupsi di
Depkeu. Tapi dia berusaha memperbaiki perekonomian di Indonesia dengan
percaya pada keampuhan HUTANG dan resep-resep ekonomi liberal. That’s
the problem.
Analoginya, kayak seorang dokter di kampung saya, dia baik
dan dermawan, tapi dia memberi antibiotika overdosis pada anak kecil
yang hanya flu biasa. Akhirnya, anak itu masuk RS.
Pertanyaan selanjutnya, di manakah letak kesalahan liberalisme?
Insya Allah saya tulis lain waktu, mohon doanya.
—–
Daftar Pustaka
Volker Rittberger dan Bernard Zangl, 2006, International Organization, New York:Palgrave MacMillan.
Ponny Anggoro, Why Does World Bank Control Indonesia, dimuat di jurnal Global Justice Update, Volume VI, 1st Edition, May 2008,
http://www.globaljust.org/index.php?option=com_content&task=view&id=187&Itemid=133
John Perkins, Economic Hit Man (edisi terjemahan), Jakarta: Abdi Tandur.
http://en.wikipedia.org/wiki/World_Bank
http://en.wikipedia.org/wiki/Structural_adjustment
http://www.antara.co.id/berita/1247296978/pengamat-lipi-data-kemiskinan-bps-jadi-tertawaan
Rizal Ramli, Membangun dengan Lilitan Utang, sebagaimana diberitakan dalam
http://www.news.id.finroll.com/articles/75304-____membangun-bangsa-dengan-lilitan-hutang-(2)-oleh-yudhi-mahatma____.html
Transkrip wawancara dengan John Perkins
http://www.democracynow.org/2004/11/9/confessions_of_an_economic_hit_man
Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 T
(Liputan diskusi dengan Managing Director World Bank)
http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/01/30/20/79590/20/total-utang-ri-ke-world-bank-rp243-7-t
Website resmi PBB,
http://www.un.org/