Pendahuluan
Tema spiritualitas dan globalisasi sangat urgen
untuk dibincangkan. Selain karena tugas mata kuliah spiritualitas dan
kemodrenan, diskursus ini juga terkait dengan sebuah “era”, di mana kita
hidup di dalamnya, dan kita termasuk makhluk yang menjunjung tinggi
nilai-nilai spiritual.
Apa hakekat globalisasi? Bagaimana sejarahnya? Apa yang dimaksud
dengan spiritualitas? Bagaimana spiritualitas di era global? Deretan
pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.
Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah
yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu
negara menjadi bias.
[1]
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai karakteristik yang sama dengan
internasionalisasi
sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering
menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya
peran negara atau batas-batas negara.
[2]
Kata “globalisasi” diambil dari kata
global, yang maknanya
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (
working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses
sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara
di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan
kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan
batas-batas geografis,
ekonomi dan
budaya masyarakat.
[3]
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara
adikuasa,
sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga
terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang
kuat dan kaya praktis akan mengendalikan
ekonomi
dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu
bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap
perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain
seperti
budaya dan
agama.
[4]
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai konsekwensi modernitas di era global ini, berakhir pada
peniscayaan terhadap ratio yang membuat manusia memandang dan
menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang
sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang
dunia seperti itu diistilahkan dengan
dunia yang telah dilipat (2004).
[5]
Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan
dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan
efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran
berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi,
telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin
sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah
pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan
tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek
jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu.
Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti
memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia
dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil
sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu
dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya.
Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film,
video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang
dikutip sebagaimana dikutip oleh Nurhamzah,
[6]
bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam
sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil,
manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, dan
televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang
tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang
bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di
antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan
teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20
ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal
interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada
sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi
telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri
sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan
India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti
misalnya
jalur sutera maupun jalan laut untuk berdagang.
[7]
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum
muslim di
Asia dan
Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi
Jepang,
Tiongkok,
Vietnam,
Indonesia,
Malaka,
India,
Persia, pantai
Afrika Timur,
Laut Tengah,
Venesia, dan
Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai
agamanya, nama-nama, abjad, arsitek,
nilai sosial dan budaya
Arab ke warga dunia.
[8]
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa
Eropa.
Spanyol,
Portugis,
Inggris, dan
Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya
revolusi industri
yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi
mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini,
seperti
komputer dan
internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap
difusi kebudayaan di dunia.
[9]
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai
perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan
Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia.
Freeport dan
Exxon dari
Amerika Serikat,
Unilever dari
Belanda,
British Petroleum dari
Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
[10]
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika
perang dingin berakhir dan
komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa
kapitalisme
adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia.
Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai
pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi
komunikasi dan
transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.
[11]
Spiritualitas
Spiritualitas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental; dan moral.
[12] Term ini disejajarkan dengan istilah
rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam
Mafahim Islamiyah mendefinisikan “
rúhaniyah” sebagai
idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT).
[13] Sementara al-Farra` dan Abu Haitsam menyebutnya dengan istilah “
ruh”, yaitu substansi kehidupan manusia dan tidak diketahui secara pasti eksestensinya.
[14]
Ruh juga digunakan untuk wahyu, seperti pada surat al-Mukmin ayat 15.
Wahyu ibarat nyawa bagi seorang Muslim, sebagaimana ruh menjadi nyawa
bagi manusia.
Terlepas dari perbedaan istilah spritualitas dalam bahasa Arab,
pendapat Nurcholis Madjid berikut kelihatannya mewakili arti diskursus
ini, yaitu sesuatu yang hanya bisa dipahami dan dialami sendiri,
bersifat individual dan berasal dari fitrah kemanusiaan.
[15]
Sebagai fitrah kemanusiaan, spiritualitas, menurut Yasraf, adalah
sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau
menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat
ketuhanan maupun yang bukan. Dia mengidentikkan spiritualitas sebagai
Sesuatu yang Tidak Diketahui dan Yang Tak Berhingga.
[16]
Dimensi spiritual manusia tersebut dan kecenderungan-kecenderungan
dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan
(spritualitas), dan termasuk salah satu dari empat perasaan yang
populer dan mendasar
yang akhir-akhir ini diintroduksi
oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai dimensi spiritual
manusia, yaitu perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik,
perasaan etik dan perasaan religius (spritualitas).
[17]
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut
sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir
itu mengajak manusia kepada kesadaran akan keberadaan Tuhan, dan
keyakianan akan adanya Sumber Awal Yang
Maha Agung.
Kebutuhan Spritualitas di Era Global
Era global adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai
kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan
alam. Manusia di era global dan sebagai konsekwensi modernisasi,
melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan
(theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia
(antropomorphisme).
Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan
terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern
“Barat” pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup
sendiri.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan
hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia
membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan
pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul
gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada
kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas.
“Organized Religion”
(agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan.
Oleh sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada
orisinalitas
(fundamentalis), kharisma yang dapat menentukan
(cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa
(magic). Sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Hiayat:
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan, pada
dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri.
Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas
transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah
melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin
dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia
adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat
manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia
menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang
disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup
serba kebendaan di zaman modern (era glogal) yang menyebabkan manusia
sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.
[18]
Namun, seperti senantiasa terjadi dalam sejarah kehidupan spiritual
manusia, gagasan tentang spiritualitas yang murni selalu mengalami
distorsi dan materialisasi yang bersifat fetis. Tak heran, spiritualitas
dalam realitas kebudayaan kontemporer pun mengalami distorsi.
[19]
Saat ini, spiritualitas telah mengalami titik balik, yaitu dari nilai
spiritual ke terapi. Dahulu, apabila seseorang gelisah, maka mereka
biasanya mencari penentram jiwanya dalam agama, sedang saat ini manusia
lebih banyak lari ke terapi-terapi yang sifatnya adalah “pengobatan”
sementara. Manusia konsumer, menurut Yasraf, tidak tertarik akan
“keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, melainkan tertarik
terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi; hanyut
dalam berbagai bentuk terapi, seperti, yoga, latihan spiritual kilat,
konser musik rock, astrologi populer, joging, pusat kebugaran, karaoke.
Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai
pospiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur
aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang
permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur.
Permasalahan yang agak pelik dan cukup licin tentang spiritualitas,
apalagi dalam realitas kebudayaan kontemporer, adalah “makna” pengalaman
spiritual itu sendiri. dalam masyarakat kontemporer, suatu pengalaman
yang sifatnya sangat profan dan sekuler pun bisa dimaknai sebagai
pengalaman “spiritual”. Inilah bentuk pos spiritualitas dalam masyarakat
kontemporer. Yasraf, misalnya, mengutip sebuah pernyataan Madonna dari
karya Akbar S. Ahmed, yang bisa merepresentasikan fenomena
pospiritualitas tersebut:
“Saya religius“, “Saya spiritual”, katanya. Namun ketika ditanya
tentang doa tersebut, ia berkata “Ya saya religius…, saya tidak mencoba
membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang
bersi¬keras memisahkan dan itu nonsens.”
[20]
Pembicaraan tentang permasalahan spiritualitas dan apa yang disebut
sebagai “pengalaman” spiritual memang sangat problematis. Selain sulit
untuk diverifikasi—dan juga permasalahan “otoritas”—adalah masalah
keserupaan dan tafsirannya. Misalnya, seseorang yang memakan obat-obatan
psikotropika bisa saja menafsirkan bahwa dia pun “merasakan”
pengalaman spiritual, entah berupa penglihatan, penampakan, atau bahkan
bisikan-bisikan. Bahkan, pada tingkatan filosofis pun, hal tersebut
tetap menjadi permasalahan yang tak terdamaikan, seperti yang
diungkapkan oleh Dodi Salman:
Sufisme diharapkan dapat menjadi mesin “pencerahan” di tengah deru
mesin hasrat kapitalisme dan masyarakat postmodern (era global) yang
berputar tanpa henti. Akan tetapi, derasnya perputaran mesin hasrat
tersebut—yang mewujud di dalam bentuk-bentuk komoditi, citra, gaya
hidup, tontonan—telah menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan sufisme
itu sendiri dapat terperangkap di dalam arus hasrat postmodern sehingga
yang tercipta adalah semacam “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang
terperangkap di dalam pengaruh jagat materi dan gaya hidup masyarakat
postmodern. Inilah misalnya, seorang wanita “sufi”, yang berkunjung ke
sebuah mall mewah, mengendarai sendiri mobil build-up-nya yang terbaru,
mengenakan setelan fesyen mutakhir rancangan Versace, memakai kacamata
sunglass yang gelap; membawa handpone mutakhirnya yang trendi, sambil
menenteng ke mana-mana “sertifikat sufi”, sebagai “citra” dan
“legitimasi” diri di tengah belantara citra budaya postmodern yang
bersifat paradoks.
[21]
Perkembangan Spritualitas di Era Global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di
masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif, termasuk di antaranya aspek
budaya[22] dan spiritualitas.
Era ini, dan merupakan prestasi mutakhir modernisme, telah
mengantarkan manusia pada supremasi rasionalisme, empirisme, dan
positivisme dan dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena
abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan
filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara
rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa
yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah (
scientific method).
[23]
Kesimpulan
Spritualitas merupakan potensi kemanusian yang tidak mungkin hilang
dalam kondisi dan situasi apa pun. Gaung spiritualitas akan tetap
menggema kendatipun manusia telah bertahta di puncak rasionalitas, dan
berada di sebuah “era”, disebut globalisai. Tuntutan spiritualitas
manusia tidak terikat dengan ruang waktu, ia akan tetap eksis dan
menggema dalam setiap situasi.
REFERENSI
Ahmed, Akbar S. and Hastings Donnan (ed.),
Islam Globalization and Post Modernity, London and New York, Routledge, 1994
______________,
Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1992
Armstrong, Karen,
Sejarah Tuhan,. Bandung: Mizan, 2003
Giddens, A.,
The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990
Hidayat, Komaruddin,
Kualifikasi Seorang Kiyai,
http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang,
Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Jakarta: Grasindo, 2004
Maksum, Ali,
Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html, 2008
Mandhur, Ibn,
Lisan al-‘
Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits 2003
Mustafa, Mr.,
Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi, http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008
Nurhamzah
, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, E-mail :
Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009
Pals, Daniel L.
Seven Trories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Pirages, Dennis,
The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, North Scituate, Massachusetts, tt.
Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990
Yakub, Husein, Muhammad,
Mafahim Islamiyah, Kairo: Maktabah Syafa, 2000
Yasraf Amir Pilliang,
Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
_________________,
Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
[1]. Mr. Mustafa, Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi,(http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008/12/31/), h. 1
[2]. Dennis, Pirages,
The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, (North Scituate, Massachusetts, tt.), h. 4-6
[3]. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (ed.),
Islam Globalization and Post Modernity, (London and New York, Routledge, 1994), h. 1-3. Lihat: A. Giddens,
The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), h. 64
[4].
Ibid.
[5]. Yasraf Amir Pilliang,
Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 23
[6]. Nurhamzah
, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, (
E-mail :
Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009), h. 3
[7] . Mr. Mustafa, h. 2
[8].
Ibid.
[9].
Ibid.
[10].
Ibid.
[11].
Ibid.
[12]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990), h. 857
[13]. Muhammad Husein Yakub,
Mafahim Islamiyah, (Kairo: Maktabah Syafa, 2000), h. 17
[14]. Ibn Mandhur,
Lisan al-‘
Arab, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hadits 2003), h. 290
[15] . Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, (Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000), h.1
[16]. Yasraf Amir Piliang,
Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 503-504
[17]. Karen Armstrong,
Sejarah Tuhan,. (Bandung: Mizan, 2003), h. VII
[18]. Komaruddin Hidayat,
Kualifikasi Seorang Kiyai, (
http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009), h. 3
[19]. Dikutip dari prolog Dunia yang Dilipat, Edisi 1, tidak dimuat lagi dalam Edisi II
[20]. Akbar S. Ahmed,
Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 224.
[21].
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang,
Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 204
[22]. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
nilai-nilai (
values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Daniel L. Pals,
Seven Trories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 149
[23]. Ali Maksum,
Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama,