Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Belanda. Show all posts
Showing posts with label Belanda. Show all posts

Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

Siauw Giok Tjhan

Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya. Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi “pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.

Sejak kecil menentang diskriminasi
Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa totok dan peranakan melebur.
Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya, Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.
Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK (Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah Belanda.

Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang, belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya. Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Memperjuangkan kemerdekaan
Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya, seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain. PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan, ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar Snow, Red Star Over China.

Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun 1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat Indonesia.

Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten menentang segala  bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi “peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil ditangkap Belanda.

Kewarganegaraandan Nation-Building
Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa (Baperwatt).

Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya,  di Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan “ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll. Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya, melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas atau kecintaan orang terhadap bangsa.

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep  yang disebut asimilasi. Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi, orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia. berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya, pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya, kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto: “pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk kepentingan ekonomi nasional.

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi. Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim orde baru
Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan turut menjadi korban kekejian orde baru.
4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda untuk berobat.  Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi penyakit jantung yang parah.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia. Ia meninggal dunia di negeri orang.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.

“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”–Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.

Ditulis:
Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Setelah Perancis, Kini Belanda Juga Larang Pemakaian Cadar di Tempat Umum


Pemerintah Belanda setuju untuk melarang secara parsial pemakaian cadar di wajah, termasuk burqa, di tempat umum. Kementerian Dalam Negeri Belanda mengumumkan persetujuan itu dalam sebuah pernyataan (22/5).
Sebelumnya, aturan itu baru berupa proposal. Harus ada persetujuan dari parlemen sebelum itu menjadi hukum yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat di Belanda. Kini pemerintah telah menyetujui pelarangan sebagian busana itu.

Diberitakan Reuters, pelarangan itu sebenarnya tidak berhubungan dengan agama tertentu. Peraturan akan diterapkan bukan hanya bagi umat muslim yang sering kali mengenakan burqa, tetapi juga seluruh cadar yang menutup wajah.

Dalam proposal yang diajukan, pelarangan juga berlaku bagi pemakaian busana apa pun, termasuk masker ski dan helm apabila berada di alat transportasi publik, sekolah, rumah sakit, maupun kantor pemerintahan.

Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan, “Di negara bebas seperti Belanda, semua orang punya hak berbusana seperti yang mereka inginkan, tak peduli apa kata orang lain. Kebebasan itu hanya terbatas dengan situasi jika itu sangat penting bagi orang untuk saling melihat satu sama lain.”

Meski ada tambahan kata-kata bahwa aturan itu tidak memandang agama tertentu, tetap saja cadar identik dengan pakaian muslim. Perempuan muslim yang mengenakan hijab dan cadar atau burqa di Belanda sendiri jumlahnya tak banyak.

Meski hanya ada beberapa ratus perempuan muslim yang mengenakan hijab, Rutte menegaskan aturan itu diperlukan untuk menegakkan nilai-nilai kemasyarakat di Belanda.

Politisi oposisi yang anti-Islam, Geert Wilders memenangkan dukungan publik Belanda secara luas. Menurutnya, telah lama Belanda membutuhkan larangan mengenakan cadar. Sebelumnya, pelarangan serupa juga pernah terjadi di Perancis. Negara Menara Eiffel itu melarang penggunaan cadar penuh pada wajah sejak 2010, dan ditegaskan kembali tahun lalu melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa.

Sumber: Eramuslim.com

Kebenaran Syi’ah Imamiyah Ditengah SPRITUALITAS DAN GLOBALISASI

Pendahuluan
Tema spiritualitas dan globalisasi sangat urgen untuk dibincangkan. Selain karena tugas mata kuliah spiritualitas dan kemodrenan, diskursus ini juga terkait dengan sebuah “era”, di mana kita hidup di dalamnya, dan kita termasuk makhluk yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Apa hakekat globalisasi? Bagaimana sejarahnya? Apa yang dimaksud dengan spiritualitas? Bagaimana spiritualitas di era global? Deretan pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.


Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[1]

Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.[2]

Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.[4]

Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai konsekwensi modernitas di era global ini, berakhir pada peniscayaan terhadap ratio yang membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004).[5] Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.

Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi,  jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.

Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip sebagaimana dikutip oleh Nurhamzah,[6] bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, dan televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.

Sejarah globalisasi

Banyak sejarawan menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera maupun jalan laut untuk berdagang.[7]

Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.[8]

Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.[9]

Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.[10]

Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.[11]


Spiritualitas
Spiritualitas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental; dan moral.[12] Term ini disejajarkan dengan istilah rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan “rúhaniyah” sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT).[13] Sementara al-Farra` dan Abu Haitsam menyebutnya dengan istilah “ruh”, yaitu substansi kehidupan manusia dan tidak diketahui secara pasti eksestensinya.[14]

Ruh juga digunakan untuk wahyu, seperti pada surat al-Mukmin ayat 15. Wahyu ibarat nyawa bagi seorang Muslim, sebagaimana ruh menjadi nyawa bagi manusia.
Terlepas dari perbedaan istilah spritualitas dalam bahasa Arab, pendapat Nurcholis Madjid berikut kelihatannya mewakili arti diskursus ini, yaitu sesuatu yang hanya bisa dipahami dan dialami sendiri, bersifat individual dan berasal dari fitrah kemanusiaan.[15]

Sebagai fitrah kemanusiaan, spiritualitas, menurut Yasraf, adalah sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang bukan. Dia mengidentikkan spiritualitas sebagai Sesuatu yang Tidak Diketahui dan Yang Tak Berhingga.[16]

Dimensi spiritual manusia tersebut dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang  atas kefitrahan kepercayaan (spritualitas), dan termasuk salah satu dari empat perasaan yang populer dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai dimensi spiritual manusia, yaitu perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius (spritualitas).[17]

Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada kesadaran akan keberadaan Tuhan, dan  keyakianan akan adanya Sumber Awal Yang Maha Agung.


Kebutuhan Spritualitas di Era Global
Era global adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia di era global dan sebagai konsekwensi modernisasi, melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern “Barat” pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup sendiri.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. “Organized Religion” (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Oleh sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang dapat menentukan (cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic). Sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Hiayat:
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan,  pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern (era glogal) yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.[18]

Namun, seperti senantiasa terjadi dalam sejarah kehidupan spiritual manusia, gagasan tentang spiritualitas yang murni selalu mengalami distorsi dan materialisasi yang bersifat fetis. Tak heran, spiritualitas dalam realitas kebudayaan kontemporer pun mengalami distorsi.[19]

Saat ini, spiritualitas telah mengalami titik balik, yaitu dari nilai spiritual ke terapi. Dahulu, apabila seseorang gelisah, maka mereka biasanya mencari penentram jiwanya dalam agama, sedang saat ini manusia lebih banyak lari ke terapi-terapi yang sifatnya adalah “pengobatan” sementara. Manusia konsumer, menurut Yasraf, tidak tertarik akan “keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, melainkan tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi; hanyut dalam berbagai bentuk terapi, seperti, yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer, joging, pusat kebugaran, karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai pospiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur.

Permasalahan yang agak pelik dan cukup licin tentang spiritualitas, apalagi dalam realitas kebudayaan kontemporer, adalah “makna” pengalaman spiritual itu sendiri. dalam masyarakat kontemporer, suatu pengalaman yang sifatnya sangat profan dan sekuler pun bisa dimaknai sebagai pengalaman “spiritual”. Inilah bentuk pos spiritualitas dalam masyarakat kontemporer. Yasraf, misalnya, mengutip sebuah pernyataan Madonna dari karya Akbar S. Ahmed, yang bisa merepresentasikan fenomena pospiritualitas tersebut:
“Saya religius“, “Saya spiritual”, katanya. Namun ketika ditanya tentang doa tersebut, ia berkata “Ya saya religius…, saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersi¬keras memisahkan dan itu nonsens.”[20]

Pembicaraan tentang permasalahan spiritualitas dan apa yang disebut sebagai “pengalaman” spiritual memang sangat problematis. Selain sulit untuk diverifikasi—dan juga permasalahan “otoritas”—adalah masalah keserupaan dan tafsirannya. Misalnya, seseorang yang memakan obat-obatan psikotropika bisa saja menafsirkan bahwa dia pun “merasakan” pengalaman spiritual, entah berupa penglihatan, penampakan, atau bahkan bisikan-bisikan. Bahkan, pada tingkatan filosofis pun, hal tersebut tetap menjadi permasalahan yang tak terdamaikan, seperti yang diungkapkan oleh Dodi Salman:
Sufisme diharapkan dapat menjadi mesin “pencerahan” di tengah deru mesin hasrat kapitalisme dan masyarakat postmodern (era global) yang berputar tanpa henti. Akan tetapi, derasnya perputaran mesin hasrat tersebut—yang mewujud di dalam bentuk-bentuk komoditi, citra, gaya hidup, tontonan—telah menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan sufisme itu sendiri dapat terperangkap di dalam arus hasrat postmodern sehingga yang tercipta adalah semacam “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang terperangkap di dalam pengaruh jagat materi dan gaya hidup masyarakat postmodern. Inilah misalnya, seorang wanita “sufi”, yang berkunjung ke sebuah mall mewah, mengendarai sendiri mobil build-up-nya yang terbaru, mengenakan setelan fesyen mutakhir rancangan Versace, memakai kacamata sunglass yang gelap; membawa handpone mutakhirnya yang trendi, sambil menenteng ke mana-mana “sertifikat sufi”, sebagai “citra” dan “legitimasi” diri di tengah belantara citra budaya postmodern yang bersifat paradoks.[21]

Perkembangan Spritualitas di Era Global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif, termasuk di antaranya aspek budaya[22] dan spiritualitas.

Era ini, dan merupakan prestasi mutakhir modernisme, telah mengantarkan manusia pada supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dan dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah (scientific method).[23]

Kesimpulan
Spritualitas merupakan potensi kemanusian yang tidak mungkin hilang dalam kondisi dan situasi apa pun. Gaung spiritualitas akan tetap menggema kendatipun manusia telah bertahta di puncak rasionalitas, dan berada di sebuah “era”, disebut globalisai. Tuntutan spiritualitas manusia tidak terikat dengan ruang waktu, ia akan tetap eksis dan menggema dalam setiap situasi.



REFERENSI
Ahmed, Akbar S. and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, London and New York, Routledge, 1994
______________, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1992
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan,.  Bandung: Mizan, 2003
Giddens, A., The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990
Hidayat, Komaruddin, Kualifikasi Seorang Kiyai, http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Jakarta: Grasindo, 2004
Maksum, Ali, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html, 2008
Mandhur, Ibn, Lisan al-Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits 2003
Mustafa, Mr., Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi, http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008
Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009
Pals, Daniel L. Seven Trories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Pirages, Dennis, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, North Scituate, Massachusetts, tt.
Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990
Yakub, Husein, Muhammad, Mafahim Islamiyah, Kairo: Maktabah Syafa, 2000
Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
_________________, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004


[1].  Mr. Mustafa, Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi,(http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008/12/31/), h. 1

[2]. Dennis, Pirages, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, (North Scituate, Massachusetts, tt.), h. 4-6
[3]. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, (London and New York, Routledge, 1994), h. 1-3. Lihat: A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), h. 64
[4]. Ibid.
[5]. Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 23
[6]. Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, (E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009), h. 3
[7] . Mr. Mustafa, h. 2
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.
[12]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990), h. 857
[13]. Muhammad Husein Yakub, Mafahim Islamiyah, (Kairo: Maktabah Syafa, 2000), h. 17
[14]. Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hadits 2003), h. 290
[15] . Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, (Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000), h.1
[16]. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 503-504
[17]. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,.  (Bandung: Mizan, 2003), h. VII
[18]. Komaruddin Hidayat, Kualifikasi Seorang Kiyai, (http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009), h. 3
[19]. Dikutip dari prolog Dunia yang Dilipat, Edisi 1, tidak dimuat lagi dalam Edisi II
[20]. Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 224.
[21]. “Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 204
[22]. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Daniel L. Pals, Seven Trories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 149
[23]. Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama,



Kisah Para Malim Tanah Batak

Ulos

Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam agama baru yang dibawa Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda.


Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Si Singamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing. Dalam perkembangannya, gerakan yang menempatkan Si Singamangaraja sebagai pemimpin tertinggi tersebut telah memicu perlawanan politik dalam bentuk pertempuran-pertempuran kecil di berbagai kawasan Batak Toba, sekaligus perlawanan teologis terhadap zending. Gerakan ini pun terus melakukan perlawanan pascakematian Si Singamangaraja XII.

Berbagai stigma lalu dilekatkan Belanda kepada pengikut Parmalim untuk mengerem laju gerakan ini, mulai dari sebutan kaum pembangkang, penyembah pagan, hingga pelaku kanibalisme atau pemakan sesama manusia. Para penganut Parmalim diburu. Berbagai upacara keagamaan mereka pun dilarang.

Pada tahun 1895 (tujuh tahun setelah kematian Si Singmangaraja XII), Guru Somalaing ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan pada tahun berikutnya. Gerakan Parmalim pun mulai memudar walau tidak habis. Raja Mulia Naipospos, tokoh spiritual, yang disebut-sebut mendapat restu dari Si Singamangaraja XII, kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim.

Gerakan Parmalim pun kembali memusatkan diri pada spiritual dan tata cara hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan ini diwariskan turun-temurun dan kini dipegang oleh Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia.

Saat ini pusat kegiatan keberagamaan kaum Parmalim dipusatkan di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu maupun Minangkabau, yang berarti pemuka agama Islam.

Mualim
Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab mualim yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Parmalim juga berkonotasi dengan para malim atau sekumpulan orang yang pengetahuan agamanya luas.

Munculnya kosakata parmalim ditengarai karena adanya interaksi antara Guru Somalaing dengan orang-orang Melayu dan Aceh, yang banyak membantu peperangan Si Singamangaraja XII melawan Belanda.

Parmalim sendiri, menurut Raja Marnakkok Naipospos yang saat ini menjadi Raja Ihutan atau pemimpin tertinggi kaum Parmalim, adalah ajaran tradisional Batak. Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Batak, nenek moyang kami telah memiliki ajaran kepercayaan tersendiri. Inti ajaran kami adalah bagaimana bisa mempersembahkan hidup kepada Mula Jadi Nambolon (Tuhan), dan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan baik. Prinsip-prinsip ajaran kami diajarkan oleh Raja Si Singamangaraja, katanya.
Menurut Monang Naipospos, salah seorang tokoh Parmalim yang lain, ciri khas dari kepercayaan Parmalim adalah kearifan lokal mereka dalam menjaga alam. Para pengikut Parmalim dilarang menebang pohon, kecuali menanam tunas baru dengan jumlah lebih banyak. Mereka juga tidak boleh merusak tunas-tunas kecil saat merobohkan pohon besar. Manusia telah diberi hak untuk mengelola alam. Kita telah didukung alam untuk hidup, maka kita juga harus mendukung alam untuk hidup, katanya.

Namun, hingga kini prinsip- prinsip kepercayaan Parmalim sering disalahtafsirkan oleh masyarakat luas. Parmalim masih dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Hingga kini, para pengikut Parmalim belum bisa memperoleh akta catatan sipil sebagaimana warga negara yang lain. Mereka tak mendapatkan akta catatan sipil untuk kelahiran dan pernikahan sehingga kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem kemasyarakatan yang ada.

Monang Naipospos mengatakan, upaya diskriminasi terhadap pengikut Parmalim awalnya dilakukan oleh penjajah karena Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sejak itulah Belanda mendiskreditkan kami dengan citra buruk, termasuk disebutkan kami sebagai orang tidak beradab yang makan manusia. Padahal, makan babi, anjing, atau darah saja dilarang, katanya.

Selama ini kami menjadi warga negara yang terpinggirkan karena hak-hak kami selaku warga negara belum terpenuhi. Pemerintah Kabupaten Tobasa (Toba Samosir) tidak mau memberikan catatan sipil kepada kami, dengan alasan pencatatan terhadap warga penghayat kepercayaan tidak ada dalam perundang-undangan, seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Padahal, golongan Tionghoa sudah bisa mendapatkannya, katanya.

Marnakkok mengatakan, jumlah pengikut Parmalim di Tobasa mencapai 1.500 keluarga atau sekitar 6.000 jiwa. Sebagian besar pengikut Parmalim itu belum mendapat akta catatan sipil. Pengikut Parmalim yang mendapatkan akta kelahiran biasanya harus mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah dalam identitas mereka. Kami dikerdilkan sistem yang masih diskriminatif, katanya.
Proses keberagamaan negara ini agaknya memang belum selesai….

Pelopor Kelahiran Bandung

Dalam buku Bandoeng Tempo Doeloe karya almarhum Haryoto Kunto, disebutkan peranan tiga orang Eropa, cikal bakal manusia yang akan menjadi warga Bandung. Setelah tiga orang tsb, mulailah mengalir bangsa Eropa terutama Belanda yang mulai membuka hutan, diikuti oleh para pribumi.

Pieter Engelhard

Tersebutlah Johan van Hoorn dan Hendrik Zwaardecroon, dua orang Belanda yang pertama mencoba menanam kopi di daerah Batavia dan Priangan, kira-kira th. 1700. Iklim dan bibit yang kurang baik, membuat usaha penanaman komoditi langka di pasaran Eropa itu tidak berhasil baik.

Upaya serupa lalu dilakukan Pieter Engelhard. Ia membuka perkebunan kopi didaerah selatan lereng Gunung Tangkuban Parahu, beberapa puluh pal dari kota Bandung. Lokasi perkebunan itu tepatnya di tanjakan Jl. Setiabudhi sekarang (Ledeng-UPI). Penanaman kopi yang dimulai th. 1789 itu berhasil baik. Hasil yang paling memuaskan baru diperoleh th. 1807, setelahEngelhard mengerahkan ratusan penduduk pribumi. Kopi Tangkuban Parahu itu dikenal di Eropa sebagai Javakoffie dan langsung mendapat pasaran tinggi. Javakoffie juga menggantikan kopi pait-buruk dan tidak enak yang banyak dihidangkan le mauvais Cafe de Batavia (kopi buruk di Batavia) di awal abad ke-18.

Bibit kopi Engelhar kemudia menyebar luas ke perkebunan kopi lainnya di lereng Gunung Patuha, Mandalawangi, Galunggung, dan Gunung Malabar. Sejak itu banyak penduduk pribumi Priangan yang beralih kerja dari sawah ke perkebunan kopi.


Andries de Wilde
Dokter Andries de Wilde adalah seorang tuan tanah pertama di daerah Priangan, Sebetulnya ia seorang ahli bedah (Chirurg) yang berdinas pada pasukan artileri tentara Belanda. Kemudian ia diangkat menjadi pembantu utama Herman Wilem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Ketika Inggris berkuasa di Hindia Belanda, Andries de Wilde sempat mengikat persahabatan dengan Luitenant Gouverneur Thomas Stamford Raffles(Gubernur Inggris untuk Indonesia). De Wilde bahkan diangkat sebagai Assistant to the Resident at Bandong (Residen Bandung) pada 10 Agustus 1812. Tapi jabatan itu tidak lama dipegangnya karena berselisih pendapat dengan Residen Macquoid, yang lalu memecatnya. Tapi Raffles mengangkatnya kembali sebagai pengawas penanaman kopi (“Koffie Opziener) yang berkedudukan di Tarogong – Garut.

Pada masa Daendels, de Wilde telah memiliki tanah yang luas di jasinga-Bogor dan Cimelati-Sukabumi. Ketika menjadi “Koffie Opziener” de Wilde mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda agar diizinkan menukar tanahnya di Bogor dan Sukabumi dengan sebidang tanah di Bandung Utara. Tanah pengganti itu meliuti wilayah yang luas memanjang, dari Cimahi di Barat sampai Cibeusi di timur. Sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Parahu, sedangkan selatan dibatasi jalan raya pos. Berarti, setengah dari luas Kab. Bandung sekarang, dimiliki Andries de Wilde seorang. Selain bertanam kopi, de Wilde juga beternak sapi, dengan puluhan budak belian sebagai pekerja kebunnya.

Dokter Andries de Wilde menikah dengan mojang Priangan dan mendirikan vila indah di “Kampung Banong”. Kira-kira di daerah Dago Atas. Di tanah bekas gudang kopi miliknya didirikan Gedong Papak yang sekarang kita kenal sebagai kantor Pemerintah Kota Bandung (Balai Kota).

Perjalanan hidup de Wilde ternyata tidak mulus. Masa Gubernur Jenderal Van der Capellen kepemilikan tanahnya dibatalkan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam keadaan bangkrut ia pulang ke Negeri Belanda untuk mengadu kepada raja Willem.

Franz Wilhelm Junghuhn
Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang penjelajah keturunan Jerman yang dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan tanaman kina. Orang pertama yang membawa kina ke P. Jawa adalah Blume, th 1829. Selama jangka th. 1830-1837, usaha penanaman kina (Chincona-latin), telah dilakukan Korthals, Reinwaldt, Fritze, dan Junghuhn, namun gagal.

Gubernur Jenderal Pahud menginstruksikan Junghuhn agar mencari benih kina varietas unggul ke Amerika Selatan, pekerjaan ini dilakukan Dr. Hasskarl Desember 1854. Pengembangan tanaman kina dari bibit yang dibawa Hasskarl mencapai hasil yang memuaskan. F.W. Junghuhn adalah orang yang mengangkat nama Bandung dikenal sebagai penghasil bubuk kina utama di dunia. Pada masa sebelum perang dunia ke-2, lebih dari 90% kebutuhan kina dunia, dicukupi oleh perkebunan dan pabrik kina di wilayah sekitar Bandung.

Dunia ilmiah mencatat Junghuhn sebagai ilmuwan, penyelidik alam, petualang, pengembara, dan pecinta alam sejati. Ia adalah seorang yang selalumenganjurkan agar manusia bergaul dengan alam, mencintainya dan mencari kebahagiaan di dalamnya. Ia menulis tentang itu saat berusia 26 tahun, di atas kapal yang membawanya ke P. Jawa tahun 1835. Lewat hasil penyelidikannya tentang flora dan fauna, geografi, geologi, iklim, dan sosiografi penduduk P. Jawa, terutama daerah Priangan, para pengusaha Belanda dapat menentukan lokasi yang tepat untuk daerah perkebunan dengan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungannya. Hasil penyelidikan Junghuhn dibukukan dalam 4 jilid berjudul Java, Gravenhage 1853.

Selain ketiga orang itu, ada beberapa nama lain yang patut dikenal karena mereka pelopor usaha perkebunan teh. Para theeplanters (pengusaha teh) ini suka disebut “de theenjonkers van Preanger” (para Pangeran Kerajaan teh di Priangan). Keluarga ini banyak menurunkan intelektual yang menguasai kebudayaan Indonesia. Beberapa nama yang cukup dikenal, antara lain : Van der Huchts, de Kerkhovens, de Holles, Van Motmans, de Bosscha’s, Families Mundts, Denninghoff Stelling, dan Van Heeckeren van Walien.

Karena mereka hidup di pegunungan teh, mereka lebih akrab bergaul dengan bangsa pribumi, para kuli perkebunan. Karel Frederik Holle, anak sulung keluarga Holle, semula seorang Komis di Kantor Karesidenan Priangan di Cianjur. Ia selalu menggunakan bahasa Sunda. Begitu fasihnya sampai temannya mengatakan “Dia bicara bahasa Sunda seperti orang Sunda”. Th. 1857, K.F.Holle ditunjuk sebagai kuasa perkebunan teh di Cikajang – Garut, dan disini mendalami kebudayaan dan sejarah kuno Sunda. Sebuah patung peringatan didirikan orang di Alun-alun Garut, untuk mengabadikan jasa-jasanya. Adik Karel Holle, Herman Hendrik Holle tak kurang seriusnya dalam menelaah kenudayaan Sunda. Sehari-hari ia memakai sarung dan baju kampret dan peci. Ia sering lesehan di pendopo Kab. Sumedang sambil menggesek rebab. Kegilaannya pada gamelan, terkadang mebuatnya lupa beristirahat dan memainkan instrumen mulai pk. 8 pagi sampai pk. 24 malam.

Keluarga Kerkhoven dan Bosscha dikenal warga Bandung sebagai donatur berdirinya Technische Hoogeschool (ITB sekarang) di Bandung. Laboratorium IPA di TH dan Bosscha Sterrenwacht (Peneropongan Bintang) di Lembang, merupakan saksi abadi yang menunjukkan betapa besar sumbangan mereka terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di Bandung.

Sedangkan keluarga Van Heeckeren memberikan andil bagi pengembangan ilmu pengetahuan sejarah di Indonesia. Salah satu putra keluarga Heeckeren, menjadi sarjana sejarah purbakala Indonesia bertaraf Internasional.

(EL/GM/Bandoeng Tempo Doeloe)
(Sumber foto : wikipedia )

Perkebunan Kina Tempo Doeloe di Bandung Selatan


Perkebunan kina di Bandung Selatan Jawa Barat tahun 1954. Koleksi Tropenmuseum
Tempo doeloe dizaman kolonial Belanda perkebunan-perkebunan teh dan kina di Bandung Selatan sangatlah terkenal.

Dan tentunya bukan hanya terkenal karena kawasan Bandung Selatan yang sejuk, tapi karena dari hasil perkebunan kina dan teh mendatangkan kekayaan beribu bahkan berjuta gulden bagi pemilik perkebunan tersebut.

Tuan-tuan Belanda pemilik perkebunan menjadi kaya raya, makanya mereka bisa mencari hiburan dengan keluarga pergi ke Bandoeng menonton di Societeit Concordia, atau shoping ke Braga weg, atau belanja di mall-nya Londo Toko “De Vries” yang terletak di dekat  Societeit Concordia atau bahkan pulang berlibur ke negeri leluhur Holland.

Bagaimana tidak akan begitu karena saat abad ke 19 sampai awal abad ke 20, misal pada tahun 1939 Holland-Indische tercatat merupakan pemasok 90% kebutuhan kina dunia, dimana jumlah produksinya sebanyak  11.000 ton kulit kina kering per tahun.


Pekerja perkebunan teh dan kina di Ramawatia Priangan 1900 . Koleksi Tropenmuseum
Di pegunungan wilayah Bandung Selatan diatas ketinggian 1000 dpl yang bersuhu udara dingin, perkebunan kina dan teh didirikan.

Perpaduan antara udara sejuk dan kemolekan tanah Priangan telah melahirkan ide para pembuat cerita tentang kisah cinta. Kisah-kisah romantis, terutama ditulis dalam bahasa Sunda, menceritakan tentang kehidupan di kaki gunung Malabar dimana tuan-tuan Belanda atau indo banyak yang kepincut anak gadis pemetik teh. Atau cerita tentang mandor kebun  yang memperebutkan mojang pekerja di Perkebunan kina.

Nama Kina konon diambil dari nama anak gadis di Amerika Latin bernama Comtessa Del Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria. Dan secara tidak sengaja diobati oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu hingga sembuh. Maka kemudian pohon itu dinamakan chinchona atau kina.


Tuan Belanda dan anjingnya di perkebunan kina 1909. COLLECTIE TROPENMUSEUM.

Berbicara tentang kulit kina, bahwa kulit tersebut dibutuhkan dunia karena berguna untuk bahan obat terutama untuk penyakit malaria, penyakit jantung, depuratif, influenza, disentri, diare, minuman tonik, bahan baku kosmetika, dan industry penyamakan.

Perkebunan Kina
Di Indonesia lokasi penanaman adalah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra Barat. Pohon kina tumbuh di daerah lembab dan relatif dingin. Tumbuh optimum di ketinggian 1400 – 1700 dpl
Jika Anda ingin mengetahui adak detil dalam hal penanaman pohon kina,  bahwa pembibitannya itu dengan cara stek sambung.

Pemeliharaan tanaman dengan penyulaman, penyiangan, pembubunan, dan pemupukan. Jangan lupa disetiap usaha pertanian selalu ada hama untuk kina adalah ulat dan penggerek, tentu ada cara pembasmiannya.
Tentang cara pemanenan, bagian yang dipanen adalah kulit batang, dahan, cabang dan ranting. Bahwa panen dengan cara tebang ketika pohon kina sudah berumur 9 – 11 tahun. yaitu caranya secara berurutan mulai penebangan, terus diambil kulitnya yaitu dengan cara kulit dilepas dari batang dengan cara dipukul-pukul.
Kemudian dilakukan pencucian kulit kina, lalu dijemur dibawah terik matahari, atau memakai pemanasan dengan oven. Kemudian dilakukan penyortiran dari kotoran-kotoran yang menempel.

Lanjutnya, kulit kering dikemas dalam karung atau wadah lain, tulis identitas di bagian luar wadah mengenai nama bahan, kulit bagian mana, nama dan lokasi, kemudian juga jumlah beratnya.


Tuan Belanda diatas punggung kuda di Perkebunan 1860 – 1900, COLLECTION TROPENMUSEUM

Kinine Fabriek
Pabrik Kina terlahir dengan nama “Bandoengsche Kinine Fabriek”, pada zaman pendudukan Jepang namanya berubah menjadi “Rikugun Kinine Seisohjo”, setelah merdeka perusahaan ini tahun 1958 dinasionalisasi, di bawah nama PN. Farmasi dan Alat Kesehatan.

Tahun 1971 namanya diganti menjadi PT (Persero) Kimia Farma, dimana Pabrik Kina Bandung menjadi unit Produksi Bandung.

Pembangunan pabrik ini tidak terlepas dari berkembangnya perkebunan kina di wilayah Jawa Barat pada akhir 1800-an. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang dokter ahli botani, yang pertama kali mengembangkan bibit tanaman kina di Priangan.


Pekerja perkebunan kina dan teh di Sedep Priangan siap untuk memuat potongan kayu kina 1920 – 1940 COLLECTIE TROPENMUSEUM.


Seorang pegawai sedang membuka kulit pohon kina dengan memakai bendo, riangan, 1945 – 1950. COLLECTIE TROPENMUSEUM.


Drying shed and packing house on a chinchona plantation, before 1930. COLECTIE TROPENMUSEUM.


Labourers packing chinchona bark for the medical industry 1940. COLLECTIE TROPENMUSEUM.


The quinine factory in Bandung, West-Java, 1900 – 1910. COLLECTIE TROPENMUSEUM.

Saat ini, tanaman kina yang dikelola PTPN VIII  seluas 3.004,29 Ha yang tersebar di 13 perkebunan. Kulit kina kering ini diproses menjadi SQ-7 yaitu garam kina yang mengandung quinine sulphate, quinine bisulphate, dan kandungan lain. Kini produksinya dilakukan oleh PT. Sinkona Indonesia Lestari (PT.SIL) sebagai anak perusahaan PTPN VIII. Produk perusahaan ini diekspor ke benua Eropa, Kanada dan Amerika
Bacaan:
Immage from KIT
Pdf Kina – Warintek  
Pekebunan Nusantara VIII 
Pangalengan Apa Adanya
Blog Prasetijo
Catatan Ide

Jawa di bawah Kekaisaran Perancis

 William V
 
Pada akhir abad ke 18, tepatnya pada tahun 1785, terjadi kerusuhan di Negeri Belanda antara kelompok “Orangists” yang mengingkan langgengnya kekuasaan William V dan kelompok “Patriot” yang menginginkan tegaknya demokrasi di pemerintahan, kelompok ini sangat terpengaruh dan terinspirasi dengan revolusi di Amerika. Namun demikian kedudukan William V sangat kuat karena didukung oleh Kerajaan Inggris yang kemudian meminta bantuan sekutunya di Eropa, Prusia, untuk membantu mengatasi kerusuhan yang terjadi dan menangkapi orang-orang “Patriot”. Karena kejadian tersebut hampir sekitar 40.000 anggota “Patriot” melarikan diri ke Perancis.
 Tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis dan kemudian berujung kepada aneksasi Perancis ke Negeri Belanda pada tahun 1795. Pasukan Perancis tidak menemui banyak kesulitan mengalahkan Belanda bahkan William V pun melarikan diri ke Inggris. Kemenangan Perancis atas Belanda sekaligus mendukung kaum “Patriot” untuk membuat sistem pemerintahan baru yang sejiwa dengan revolusi Perancis. Pada tahun yang sama kaum “Patriot” medirikan “Republik Batavia”.

Tetapi pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte merubah “Republik Batavia” menjadi “Kerajaan Hollandia” sebagai kerajaan satelit bagi Perancis dengan menempatkan adiknya Louis Bonaparte sebagai rajanya. Karena Louis Bonaparte tidak begitu cakap memimpin Hollandia, maka pada bulan Juli tahun 1810, Napoleon menurunkan saudaranya itu dan menggabungkan Hollandia dengan Kekaisaran Perancis.

Kabar penggabungan Hollandia dengan Kekaisaran Perancis terdengar oleh Gubernur Jenderal Daendles di Pulau Jawa (Herman Willem Daendles tiba di Pulau Jawa pada Januari 1808) pada Januari 1811, kemudian ia memutuskan untuk segera menaikkan bendera Perancis di gedung-gedung pemerintah di Batavia.

“Periode Perancis” di Jawa tepatnya hanya berlangsung tujuh bulan, yaitu dari Februari hingga Agustus 1811.
Pada dasarnya saat itu Kekaisaran Perancis hanya memiliki satu koloni saja di nusantara, yaitu Pulau Jawa, yang menurut Benard de Saxe Weimar Eisenbach adalah, “Satu-satunya yang tegak di Samudera Hindia seperti menantang kekuasaan Inggris”. Sementara itu koloni-koloni yang lain telah jatuh ke tangan Inggris sebagai akibat perpanjangan dari perperangan Perancis dan Inggris di Benua Eropa, diantaranya :
(a) Ambon jatuh ke tangan Inggris pada tanggal 19 Februari 1810
(b) Menado pada tanggal 24 Juni 1810
(c) Ternate pada tanggal 26 Agustus 1810
(d) dan lainnya.

Inggris sendiri mendarat di Cilincing pada Agustus 1811 di bawah pimpinan Jenderal Sir Auchmuty. Tentara Belanda mundur sampai ke Striswijk (Salemba) serta Meester Cornelis (Jatinegara) dan akhirnya pasukan Kekaisaran Perancis itu menyerah setelah pertempuran di sekitar daerah Kramat.. Kekuasaan Kekaisaran Perancis di Pulau Jawa secara resmi berakhir pada tanggal 13 September 1811.

Pada tahun 1839, M. Mijer menuliskan, “Suatu kesalahan politik yang dilakukan Daendles yang tidak dapat dimaafkan adalah kepercayaannya yang terlalu berlebihan terhadap keampuhan dan jiwa besar Kaisar Perancis. Kalau saja ia mempertahankan pulau itu untuk negerinya sendiri, dia akan mendapatkan kejayaan yang abadi dimata rekan-rekannya, dimata generasi penerus …”

Pustaka :
(1) Orang Indonesia & Orang Perancis. Bernard Dorleans. Kepustakaan Populer Gramedia. 2006.
(2) http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Netherlands

Kisah Sukarno dan Jakarta Yang Bercerita

Sebuah kota bukan sekedar tembok-tembok beton, ia adalah susunan narasi..sebuah penceritaan

Minggu ini warga DKI Jakarta akan mencari Gubernurnya, saya rasa sudah cukuplah kita memahami siapa yang akan memimpin Jakarta sesuai dengan pilihan kita dan aturan demokrasi yang fair, mungkin yang terbaik di hari minggu yang rileks ini kita bercerita bagaimana sebuah kota menjadi tata ruang yang bercerita.

Dari seluruh pemimpin-pemimpin Indonesia sepanjang negeri ini berdiri. Mungkin yang paling terobsesi dengan Jakarta adalah Sukarno, Dia-lah yang mengubah wajah Jakarta yang tadinya hanya berpusat sebagai tempat kongkow sosialita Hindia Belanda yang berpusar di Harmoni Societet, menjadi skup Jakarta yang meluas, sebuah Jakarta yang tidak terbatas hanya Harmoni Societet, tetapi Jakarta yang hidup di jantung degup rakyat banyak, sebuah etalase bagi panggung kerakyatan. Bila di masa De Jonge, Batavia adalah role model keberhasilan kolonial dalam pemerintahan tata kota dengan pembangunan perumahan elite bagi juragan-juragan perkebunan, jenderal-jenderal Hindia Belanda dan pejabat tinggi Gubernemen, maka bagi Sukarno : “Jakarta bukan saja kemenangan rakyat untuk berdaulat, tapi juga menceritakan pada dunia bagaimana rakyat hidup di tengah kota, budaya urban rakyat kecil tidak digusur oleh pemodal”Sukarno, sendiri secara terus terang berkata “Aku menyukai orang-orang mencuci di sepanjang kanal Gadjah Mada-Hayam Wuruk”

Bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah penceritaan kemenangan, sebuah titik nol kilometer nyawa yang dibangun untuk menghidupkan sebuah bangsa. -Bila di akhir masa kekuasaannya, ia diledek oleh para mahasiswa KAMI sebagai orang tua pikun “Patung dikira celana”. Maka sesungguhnya, Bung Karno menangis melihat tingkah anak muda Indonesia yang gagap memahami seni, gagal mencintai kebudayaan.
Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang pada awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia memiliki nilai sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia menggambar sesuatu ia tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar bagaimana objek itu bergerak dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar suatu yang beku dan mati, ia menafsirkan dengan amat lugas, ia paham ruang dialektik suatu karya.

Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi Rusia pada medio tahun 1950-an,  Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan Amerika Serikat, sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju langit, disitu Sukarno terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir “dari patung inilah Jefferson memulai pemikirannya, seluruh bangsa bergerak menuju pembebasannya”. Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia berdiri di depan Piramida, lalu ia mengunjungi sungai Nil bersama Gamal Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa Mesir baru tak perlu bikin monumen karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.

Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional.  Konsep Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia terobsesi dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh karena Presiden De Gaulle memusuhinya dan tak mengundangnya ke Paris, padahal ia amat ingin ke Paris dan melihat Eiffel, Sukarno pernah membaca satu cerita yang ditulis pada sebuah koran tentang bagaimana berkebudayaannya kota Paris, sehingga ketika pasukan NAZI Jerman masuk, salah seorang komandan pasukannya menangis karena harus mengebom sisi-sisi kota. -Bagaimana bisa saya menghancurkan kebudayaan. Kata komandan Pasukan NAZI Jerman itu, seorang Kolonel Angkatan Darat-. Sukarno menceritakannya ini pada satu pagi di tahun 1953, dengan seorang arsitek ternama bernama Silaban. Tapi rencana ini ditunda karena kisruh politik, soal Parlemen yang melebar ke pengusiran warga Belanda sampai pada pemberontakan daerah.

Lalu Bung Karno berkhayal dan berimajinasi,  ”Apakah kita bisa menjadikan Jakarta sebagai ‘Tweede de Eiffel?’ apakah bisa Eiffel yang nyawa orang Perancis bisa dibangun dalam nyawa orang Jakarta, dengan apa rakyat Indonesia mengenangnya. “Silaban, saya paham setiap manusia pasti mengenang dimana ia berasal, dimana ia lahir, orang Amerika Serikat mengenang negaranya dengan Gedung Putih dan gedung-gedung yang tinggi itu, orang Perancis mengenang menara Eiffel, bagaimana dengan orang Indonesia? dengan apa ia mengenang negaranya? ‘ Sukarno menatap mata Silaban dengan amat tajam.

Saat itu tahun 1953sebagai Presiden RI ia tidak begitu sibuk, karena pekerjaan sebagai pemimpin praktis diambil Perdana Menteri di Kabinet, ia tidak lagi memegang ruang eksekusi pemerintahan. Ia hanya sekedar pralambang dari kepemimpinan politik. Saat itu Indonesia menganut Demokrasi Parlementer. – Di tahun 1954 diadakan sayembara membangun Monumen Nasional. Sukarno sudah mendapatkan data-data bahwa kemungkinan Jepang akan membayar biaya ganti rugi Perang. Sementara di Parlemen sendiri Konferensi Medja Bundar 1949 digugat oleh kelompok Murba, mereka minta dibatalkan. Sukarno mengambil kesempatan politik : -Mengusir Belanda, menjadikan Proyek perebutan Irian Barat sebagai politik diam-diam menendangi pantat orang Parlemen dan menjadikan Revolusi Nasional pengalihan aset sebagai pusat perjuangan baru. Sukarno berhitung dana Pampasan Jepang akan cukup membiayai proyek-proyek baru tersebut. Ia juga akan menjadikan Jakarta sebagai kota lambang Revolusi.

Pada tahun 1960, sudah masuk sekitar 100-an karya konsep Monumen Nasional, namun panitia sama sekali tak ada yang meloloskan. -Akhirnya dengan sedikit putus asa, panitia menunjuk Silaban untuk membuat gambarnya, namun Silaban membuat gambar dengan nada spektukular, sangat luar biasa besar. Ketika diajukan kepada Bung Karno, Bung Karno menggeleng-geleng “Biayanya terlalu tinggi, ekonomi kita tidak cukup biayai ini” kata Bung Karno. Silaban membalasnya dengan agak ketus “Ya, tunggu saja Pak sampai ekonomi kita membaik”. Sukarno melotot dan berkata “Aku bukan orang yang diciptakan untuk menunggu, kerjakan tapi sesuaikan dengan keadaan”


Akhirnya Silaban tetap mengerjakan dengan dibantu RM Soedarsono sebuah monumen bergaya minimalis tapi begitu bernyawa, di atas lahan 80 hektar. Sukarno menggunakan kebiasaan tata ruang kabupaten untuk membangun tata ruang kota DKI. Dalam tata ruang kabupaten ada ciri pokok yang dikenal : Alun-Alun, Masjid Agung di sebelah barat Alun-Alun, Keraton Kadipaten di sebelah utara Alun-Alun dan Kantor Kepatihan Kadipaten dan Karesidenan di sebelah selatan Kadipaten. -Nuansa ini diikuti Bung Karno, ia memerintahkan tanah Ikada 80 Hektar adalah Alun-Alun Indonesia, sebuah lapangan kebudayaan.

Pembangunan Monas Medio tahun 1960-an (Sumber Photo : LIFE)

Monas adalah ‘Lapangan Kebudayaan’ disitu Bung Karno bermimpi besar, akan ada panggung teater, Museum dan seluruh pergerakan kesenian rakyat bermula disitu, kemudian dari titik garis lurus Monas akan bertemu dengan Gelora Bung Karno yang melambangkan ‘Suasana Gerak Olah Raga Rakyat’ Bung Karno bermimpi : Kelak disuatu hari bangsa ini akan menjadi bangsa besar, dimana Rakyatnya yang bebas merdeka  membangun kehidupan, menguasai olahraga dunia”.  Stadion Gelora Bung Karno Senayan di masanya adalah Stadion paling besar sedunia.

Bung Karno juga membangun patung-patung, namun ada ciri khas Bung Karno yaitu bila ia membangun Patung, ia membangun sebuah penceritaan, sudut-sudut kota bernarasi. Seperti misalnya Patung Selamat Datang, ia membuat dua orang melambai, ‘Datanglah datang di Tanah Jakarta, Tanah Gerbang Indonesia”. Begitu kata M. Yamin, salah seorang Menteri Sukarno yang amat gandrung dengan Kebudayaan,  melihat Hotel Indonesia dan meninjau rencana pembuatan Patung Selamat Datang, tak lama kemudian M Yamin meninggal sebelum sempat pembukaan Hotel Indonesia dan peresmian Patung Selamat Datang.

Di Cikini ada hadiah Patung yang teramat cantik dari Pemerintahan Moskow,   Patung ini dibuat oleh ayah anak Matvel Manizer dan Otto Manizer, seorang ahli pahat dari Sovjet Uni. Patung ini bercerita seorang anak bangsa dari kaum tani berjuang pergi bertempur dan ibunya menangis. Bung Karno karena patung bukan sekedar sosok, tapi Patung adalah sebuah media reflektif yang dihentikan oleh waktu sebagai cermin bagaimana kenangan disimpan di laci-laci langit pikiran banyak orang.

Konflik Sukarno-Suharto membuat Jakarta terkepung tentara (Sumber Photo : LIFE)

Di akhir pemerintahannya ketika pasukan tak dikenal mengepung Istana Negara, Gubernur DKI yang juga teman ngobrol Bung Karno, Henk Ngantung ditangkap tentara Pro Suharto karena ia bagian dari Lekra, seluruh kawan-kawan Bung Karno satu persatu diciduk. Bung Karno sendirian dalam ruang sunyi-nya. Ia memilih Ali Sadikin sebagai ganti Sudiro, Sukarno tak begitu suka dengan Sudiro yang terlalu birokratis, ia ingin Ali paham bagaimana cara pikir Sukarno.

Soeharto tahu bahwa pengangkatan Ali Sadikin adalah ‘bargain’ diam-diam dengan Sukarno bahwa Angkatan Darat akan berhadapan ‘head to head’ dengan Angkatan Laut, apalagi di Surabaya Panglima KKo Hartono sudah siap perang dengan Soeharto. “Tinggal tunggu perintah Bung Karno”.  Tapi Soeharto tak terpancing untuk mendongkel Ali, bahkan Ali didiamkan sampai tahun 1977.

Justru Jakarta di Jaman Ali Sadikin inilah, mengalami lompatan luar biasa.  Ali Sadikin dijadikan barometer untuk mengukur tingkat keberhasilan memimpin Jakarta. Ali bukanlah pemimpin DKI yang sekedar nge boss, tapi ia benar-benar membawa Jakarta melompati sejarah, dari sekedar The Big Village menjadi kota modern yang berkebudayaan sesuai dengan apa yang diinginkan Sukarno.

Di tangan Ali, Jakarta dibawa sebagai kota dengan warganya bergerak. Ia membangun gelanggang-gelanggang kesenian, ia membangun pasar-pasar rakyat, ia membangun jalan-jalan. Di tengah masa kekuasaan Suharto yang tak begitu menyukainya dan Ali disuruh nyari duit sendiri untuk pembangunan DKI padahal Pemerintah Pusat baru saja dapat bantuan besar dari negara maju. Ali Jalan terus!…ia pakai dana judi untuk bangun Jakarta dan ini ia bertarung dengan banyak orang. Sikap keras Ali dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer kepemimpinan DKI.

Tugu Tani, Landmark terbesar DKI setelah Monas Pernah terancam digusur karena dangkalnya penafsiran sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo : LIFE)

Setelah era Sukarno dan mundurnya Ali Sadikin di tahun 1977, Jakarta hanya sekedar kota yang bergerak tanpa arah.  Manusia Indonesia gagal mengapresiasi sejarah. Ada cerita soal Patung-Patung di Jakarta yang menarik,  saat itu di akhir tahun 1982 Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo berkata dalam sebuah wawancara yang momennya waktu itu adalah ‘Peringatan hari kesaktian Pancasila’. Sarwedi berkata : “Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan,” Lalu ucapan itu dibumbui kalimat provokatif : “Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia-organisasi PKI Red), apa haru kita pasang terus?”. Cetusan Sarwedi saat itu menjadi polemik yang amat menarik dan berita di koran-koran. Berbondong-bondong pejabat lain menjilat ucapan Sarwedi, seperti Daoed Joesoef yang katanya orang berbudaya itu ia berkata : “. “Kalau benar patung Pak Tani dan istrinya itu melambangkan petani bersenjata seperti dalam pikiran negara-negara komunis, sudah jelas untuk zaman sekarang sudah tidak tepat lagi,”

Untung ucapan-ucapan penggusuran Patung Pak Tani di counter oleh Adam Malik, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI, bung Kancil yang terkenal dengan prinsip hidupnya ’semua bisa diatur’.  berkata keras :
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima,” kata Wapres. Menurut Adam Malik, tatkala mengunjungi Uni Soviet sekitar 1960, Bung Karno memintanya–waktu itu ia menjabat Dubes di Moskow –mencari pematung terkenal Rusia, Manizer, untuk membuat patung perjuangan pembebasan Irian Barat. “Dengan demikian patung tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri,”
(Majalah Tempo, 16 Oktober 1982)

Soeharto tentu berhati-hati melihat polemik ini, waktu itu Gubernur DKI R Suprapto juga tidak menanggapi ucapan emosional Sarwo Edhie Wibowo soal patung Pak Tani itu.  Dan sampai sekarang Patung Pak Tani tetap menjadi simbol prapatan Cikini, sebuah landmark kota Jakarta yang tak tergusur.

Tapi apakah kemudian Patung Pak Tani yang selamat, tentu tidak dimasa setelah Ali Sadikin banyak patung yang dipindah, yang paling terkenal adalah pemindahan patung Diponegoro karya pematung Italia yang sudah amat terkenal di Monas dipindah ke Jalan Diponegoro tanpa memperhatikan konteks.

Di masa Sutiyoso pernah ada ide bahwa setiap jalan yang bernama Pahlawan akan dibuatkan patung-nya,  ide Sutiyoso ini kelak jadi tertawaan banyak orang karena selain berbiaya besar, bagaimana patung adalah penceritaan bukan hanya membangun sosok yang kaku. Di masa Orde Baru yang terkenal dengan sikap ‘Anti Intelektual’ terhadap kebudayaan yang menyangkut ruang kekuasaan maka Patung-Patung yang didirikan di masa itupun berkisar soal sosok, soal perkelahian seperti pejuang yang mengangkat bambu runcing, jarang dibangun patung yang bercerita, satu-satunya patung yang bercerita dan menjadi landmark di masa Orde Baru adalah patung Arjuna Wijaya yang dibangun Nyoman Nuarta, Suharto menggambarkan dirinya di masa pertarungan maraton dengan Bung Karno, selain semar yang jadi idola Suharto, Suharto yang gemar berpuasa itu selalu mengindentikkan dirinya dengan Arjuna, sementara Bung Karno diidentikkan dengan Adipati Karno, pertarungan Arjuna dengan Adipati Karno dimana di pihak Arjuna kusir kudanya adalah Kresna dan dipihak Adipati Karno kusir kudanya adalah Prabu Salya.  Suharto mendeskripsikan puncak Mahabharata adalah pertarungan antara Arjuna dan saudara kandung lain bapak, Adipati Karno. Dan sejarah memang mencatat Suharto memenangkan pertempurannya 1966/1967 sementara Sukarno di internir di wisma Yaso, terpuruk dan menua, seperti Patung Pancoran yang dilibas dua baris jalan layang.

Anton DH Nugrahanto.

(Dimuat pertama kali di Kompasiana, bila mencopas harus ditulis nama penulis dan media kompasiana sebagai media pertama pemuatan tulisan).




Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830–1870



a. Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
 
Johanes van den Bosch

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut:
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut:
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.

d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.

1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.

e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini:

1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.

2) Baron Van Hoevel


Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.

3) Eduard Douwes Dekker
 
 
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.

Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan. 

Terkait Berita: