Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Show all posts
Showing posts with label Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Show all posts

Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

Siauw Giok Tjhan

Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya. Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi “pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.

Sejak kecil menentang diskriminasi
Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa totok dan peranakan melebur.
Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya, Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.
Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK (Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah Belanda.

Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang, belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya. Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Memperjuangkan kemerdekaan
Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya, seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain. PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan, ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar Snow, Red Star Over China.

Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun 1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat Indonesia.

Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten menentang segala  bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi “peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil ditangkap Belanda.

Kewarganegaraandan Nation-Building
Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa (Baperwatt).

Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya,  di Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan “ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll. Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya, melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas atau kecintaan orang terhadap bangsa.

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep  yang disebut asimilasi. Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi, orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia. berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya, pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya, kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto: “pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk kepentingan ekonomi nasional.

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi. Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim orde baru
Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan turut menjadi korban kekejian orde baru.
4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda untuk berobat.  Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi penyakit jantung yang parah.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia. Ia meninggal dunia di negeri orang.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.

“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”–Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.

Ditulis:
Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasa sepenuhnya, Ia mati sebelum tua. PKI Tak Sempat Tua


Sebelum menjadi partai besar di masanya, PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasa sepenuhnya. Ia mati sebelum tua.

OLEH: HENDRI F. ISNAENI.

 
SEBUAH kado ulangtahun Partai Komunis Indonesia (PKI) ke-45 dipersiapkan Lembaga Sejarah PKI. Bentuknya berupa sebuah buku yang merangkum perjalanan partai tersebut. Konsep penulisannya sudah selesai. Judulnya Sejarah 45 Tahun PKI.

Pada 4 Mei 1965, Busjarie Latif, sekretaris Lembaga Sejarah PKI, berkirim surat kepada “kawan-kawan”-nya menyampaikan manuskrip tersebut. Isinya bersumber dari dokumen-dokumen partai, hasil riset kepustakaan, dan bahan-bahan kuliah Akademi Politik Aliarcham. Kepada “kawan-kawan” itu, yang konon berjumlah 35 orang, dia menyampaikan “penentuan diskusi selanjutnya akan kami beritakan lebih lanjut.”
Namun diskusi tersebut tak pernah terjadi. Sialnya lagi, lima bulan kemudian pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disusul pembantaian massal orang komunis, termasuk Busjarie Latif. Sejak itu, segala hal yang berbau komunis dirampas dan dihancurkan, tak terkecuali manuskrip ini.

Semaun Utomo, 91 tahun, satu-satunya anggota Lembaga Sejarah PKI yang masih hidup, menerima naskah ini dari China tahun 2013. Ultimus, penerbit buku-buku kiri di Bandung, kemudian menerbitkannya menjadi buku.

Selain memuat kiprah PKI, buku ini menjadi semacam otokritik yang mengevaluasi kesalahan-kesalahan partai. Ini bukan naskah pertama yang dihasilkan Lembaga Sejarah PKI. Sebelumnya mereka menyusun dan menerbitkan 40 Tahun PKI (1960) dan Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang diterbitkan tahun 1961. Namun buku ini menjadi penting justru karena ia merangkum perjalanan partai hingga sebelum kejatuhannya.

Anak Zaman

Ketika memperingati harijadi PKI ke-35, DN Aidit, pemimpin PKI pada 1951, melukiskan kelahiran PKI dalam sajak “Kini Ia Sudah Dewasa”: Ia lahir, dengan kesakitan, kelas termaju, sebagai anak zaman, yang akan melahirkan zaman.

“Suatu kelahiran dengan kesakitan, berarti bahwa ia didahului dengan perjuangan ideologi melawan ideologi non-Marxis-Leninis dan anti-Internasionale III,” tulis buku ini.

Kelahiran PKI tak bisa dilepaskan dari Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (ISDV), organisasi Marxis pertama di Indonesia yang didirikan Henk Sneevliet pada 1913. ISDV kemudian mengalami gejolak dengan keluarnya sosial-reformis JE Stokvis yang mendirikan Partai Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDP) dan penolakan pada 1917 dan penolakan Hertogh terhadap perubahan ISDV menjadi partai komunis sesuai keputusan Internasionale III tahun 1919.

“Kemenangan atas dua macam musuh idelogi proletariat inilah, yang membuka jalan dan memungkinkan ISDV menjadi PKI. Dan ini yang membikin dia besar dengan didahului pembersihan ideologi ke dalam.”
PKI didirikan pada 23 Mei 1920 dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Ia partai komunis pertama di Asia. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.

Ketika PKI lahir, dunia tengah diselimuti imperialisme. Namun sudah ada pula kelas buruh dan terbentuk serikat-serikat buruh. Begitu pula sudah terjadi Revolusi Sosialis di Rusia pada Oktober 1971. “PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.”

Kanak-kanak sampai Dewasa

Buku ini menyebut kehidupan PKI dari pembentukannya; pemberontakan PKI 1926-1927, serta Revolusi Agustus 1945 sebagai masa kanak-kanak karena partai belum menguasai teori Marxisme-Leninisme. Dan karena itulah revolusi menemui kegagalan.

Sebagai dampak kegagalan Pemberontakan PKI 1926-1927, pemerintah kolonial melakukan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penindasan, penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Musso, melalui kadernya, Pamudji, menghidupkan kembali PKI pada pertengahan 1938, kendati harus bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal. Program-programnya disalurkan melalui partai kiri legal, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Perlawanan terhadap bahaya fasis Jepang dilakukan dengan mendorong Gerindo dan partai politik lainnya membentuk Gabungan Politik Indonesia. Kader-kader PKI sendiri membentuk Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf). Akibat gerakan ini, tidak kurang dari 300 orang komunis ditangkap tentara Jepang.

Salah satu kegiatan bawah tanah adalah mendengarkan radio, sehingga Aidit mengklaim lebih dulu mendengar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Dia segera mencari Wikana dan mengumpulkan para pemuda untuk menentukan langkah-langkah memproklamasikan kemerdekaan. Dalam rapat 15 Agustus 1945 malam, Aidit mengusulkan agar Sukarno ditetapkan sebagai presiden Indonesia pertama.

Pada masa revolusi, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph (kemudian dilikuidasi), dan Pesindo. Setelah Musso tiba pada 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. “Dari sini PKI mulai dewasa.” Hal ini karena partai mulai memadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktik kongkret revolusi Indonesia.

Namun kembali mereka harus menghadapi “teror putih”. Kali ini dilancarkan pemerintahan Muhammad Hatta, yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. PKI tiarap dan baru muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman.

“Dalam tahun 1951, tahun kelahiran kembali PKI, PKI menjadi dewasa dan dalam Kongres Nasional V 1954 menjadi dewasa sepenuhnya.”

Mati Sebelum Tua

Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan, PKI mengambil strategi “front persatuan nasional”. Dalam rumusan Kongres V pada 1954, partai berniat membangun persekutuan antara “kelas buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional” melawan borjuasi yang bekerjasama dengan kaum imperialis dan tuan tanah feodal. Tujuan akhirnya ialah apa yang disebut “demokrasi rakyat” di mana di dalamnya tersedia cukup ruang untuk “kapitalisme nasional”.

Namun jalan sejarah berkata lain. PKI tidak sempat mewujudkan “demokrasi rakyat” atau melahirkan zaman baru yang dicita-citakannya. Setelah dewasa, PKI tak sempat menjadi tua; ia lebih dulu mati. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diikuti “teror putih” penguasa mengakhir hidup PKI, mungkin, untuk selamanya.

PKI hanya sempat merayakan ulangtahun ke-45, meski tanpa kado yang dipersiapkan Busjarie Latif dkk. Toh PKI menerima kado lain yang sama bobotnya, yakni Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965 yang dikeluarkan Politbiro CC PKI.

Terkait Berita: