Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari
ESTAFET KEPEMIMPINAN UMMAT DI GHADIR KHUM, SUATU FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (penentu keputusan) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (Q.S 4 :65 ).
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).
Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq , Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain. Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq , Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain. Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi penguasa pada
saat perkembangan mazhab tersebut sangat kentara. Kita semua sama-sama
tahu, bahwa para ulama-ulama dikalangan ahlusunnah yang konsisten dan
tidak sefaham dengan penguasa banyak yang ditangkap, disiksa, bahkan
dieksekusi para penguasa, sebut saja Imam Hanafi, Imam Syafii, Ibnu
hazm, dan banyak nama lainnya yang barangkali perlu tulisan tersendiri
untuk membahasnya.
Dalam membahas peristiwa Ghadir Khum ini, kami akan berusaha
mengemukakan hadist-hadist dari kalangan saudara kami ahlussunnah,
karena sebagaimana yang saya alami dulu saat masih menjadi pengikut
ahlussunnah, hadist-hadist syiah tidak berarti apa-apa bagi saya saat
itu. Sama seperti bila kita berhujjah dengan kaum agama lain misalnya,
mana mau mereka menerima hujjah kecuali dari kitab mereka sendiri.
Banyak pula diantara mereka yang walaupun telah dipaparkan dengan
berbagai argumentasi tak terbantahkan darikitab mereka sendiri yang
masih keras kepala, menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran,
mudah-mudahan para pembaca disini tidak termasuk yang demikian, insya
Allah Amin.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.
”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).
Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan hadist-hadist tersebut :
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka) bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).
Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam, katanya ‘”
Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”
Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.
Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV halaman 281 ).
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik – baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).
Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya ,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).
Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).
Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.
Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut, tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan, dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak begitu penting.
Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.
Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang kokoh tak bergeming.
Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,” Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”
Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).
Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun dapat menolaknya.”.
Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda (Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi, “Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .
Hadist serupa juga diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.
Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’ maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).
Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu ? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah dalam alFawaaid,dll.
Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.
Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.
”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).
Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan hadist-hadist tersebut :
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka) bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).
Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam, katanya ‘”
Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”
Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.
Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV halaman 281 ).
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik – baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).
Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya ,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).
Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).
Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.
Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut, tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan, dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak begitu penting.
Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.
Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang kokoh tak bergeming.
Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,” Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”
Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).
Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun dapat menolaknya.”.
Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda (Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi, “Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .
Hadist serupa juga diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.
Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’ maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).
Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu ? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah dalam alFawaaid,dll.
Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.
Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
Ali mengingatkan Thalhah pada perang Jamal
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.
Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.
Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.” Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .” berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka, dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar, diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”
Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan di Ghadir Khum.
Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang yang menentang kepemimpinannya.”.
Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”.
Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.
Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.
Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat, padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini jalur periwayatannya.”.
Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi , dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut terdapat di berbagai kitab hadist sunni.
Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)
Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini, ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.
Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat kebingungan dan berpecah-pecah.
Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?
Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum
wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir
Khum termasuk riwayat mutawatir.[1]
Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah
menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke
rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah
dan Madinah).
Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :
Al Maaidah (QS5:67);
“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “
Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]
Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”.
Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]
Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”
Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:
“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”
Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
QS Ali Imran (3):43:
Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:
“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.
Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:
Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.
Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.
Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
QS Al Maaidah (5):3:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”
Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.
Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.
Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2:
“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”
Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:
“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”
Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?
Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.
Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.
Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.” Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .” berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka, dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar, diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”
Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan di Ghadir Khum.
Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang yang menentang kepemimpinannya.”.
Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”.
Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.
Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.
Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat, padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini jalur periwayatannya.”.
Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi , dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut terdapat di berbagai kitab hadist sunni.
Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)
Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini, ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.
Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat kebingungan dan berpecah-pecah.
Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?
Allah Swt berfirman:
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu
tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).
Peristiwa
pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam
pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.
Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini,
terjadi
pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan
Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa
sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat
terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.
Dalam
sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan
hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat
ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana
beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi
sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man
kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai
pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada
hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al Maidah: 3).
Sebelum
Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan
pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan
posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir
orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:
“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”
Ini adalah
kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan
Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan)
kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia
harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau
kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi
sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran
maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut
yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan
kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”
Sebagaimana
Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur
kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu
menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah
Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang
membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.
Peristiwa
Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan,
namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh
Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng
bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga
karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah
ada dalam lembaran sejarah.
Sementara
itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut,
bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu
maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang
hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan
penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.
Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
agama-Nya.”
Berkenaan
dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting:
Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga
beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh
jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?!
Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan
gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.
Bukankah
menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah
yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang
masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut?
Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi
lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan
imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan
kekaburan pemahaman.
Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah
Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi
hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak
kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya
Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84
perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan
peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan
dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan
hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan
perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).
Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang
kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari
kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari
fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka
perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar
tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan
membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya
mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna
dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan
Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.
Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama:
Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat,
tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun
pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang
meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka
yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk
menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”
atau
“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah
mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus
dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah
mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir
kehidupan beliau?!
Indikasi Kedua:
Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa
Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw
menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?
Indikasi Ketiga:
Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah
Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali
sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah
beliau sia-sia?
Indikasi Keempat:
Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair
dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam
Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw.
Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan
maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus
dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam
Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda
temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67,
dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait
dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn
Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).
Indikasi Kelima:
Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw
menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw
untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah
satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di
imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai
imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit
sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa
turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang
mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang
dibebaskan dll.
Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :
Al Maaidah (QS5:67);
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “
Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]
Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
- Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
- Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
- Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”.
Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]
Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
- Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343.
- Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114.
- Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42.
- Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104.
- Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi.
- Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53.
- Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330.
- Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani Jilid 1 hal 192.
- Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63.
- Ibnu Katsir.
- Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141.
- Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117.
- Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”
Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ
الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ
اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”
Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
QS Ali Imran (3):43:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا
وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ
ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.
Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah
lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.
Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.
Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
- Yanabiul Mawaddah
- Faraidus Shimtain
- Syawahidu Tanzil.
QS Al Maaidah (5):3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”
Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.
Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.
Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
- Faraidus ShiMtain Jilid 1 hal 82.
- Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216.
- Kitab Fushulul Muhimmah hal 42.
- Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi.
- Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji.
Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:
وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”
Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?
Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””
Rujukan:
[1] Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[1] Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3]
Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari
tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara di sana akan terdengar
sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata
Rasul.