Al-HUSAYN, KARBALA DAN ASYURA
Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang-
Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang
pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur
dari perut ibunya.
Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251, Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu.
Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat
pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah
berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,
Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantim, Abubakar
dan Umar, Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan
memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia
teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam.
Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538.
Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku
Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali
tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang
dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan
menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya
untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur,
mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku
tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali
mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan
saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.
Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab
menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam
kitab Al Awalim jilid 2 hal 58.
Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah
Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian
tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan
kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di
tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian
tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak
menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah
Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash.
Fatimah dicambuk.
Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk
Talkhis Syafi jilid 3 hal 156
Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang.
Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi hampir meninggal dunia,
sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian
mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku
lebih hina dibanding Ali dan Fatimah
Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin
Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1
hal 312.
Semenjak peristiwa Saqifah, begitu banyak serentetan peristiwa yang
merupakan hari-hari kelam bagi Umat Islam. Termasuk peritiwa karbala,
yang sepertinya sejarah telah menguburnya. Karbala, stigma terbesar
dalam sejarah umat Islam, tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Spekulasi bisa muncul, mengapa sejarah karbala tidak banyak disinggung
oleh sebagian besar umat Islam. Yang muncul sekali-sekali lebih
bertendensi kepada persoalan aliran dalam Islam daripada nilai
kesejarahan dan faktualitas persoalan. Pada akhirnya yang muncul
hanyalah politisasi sejarah. Untuk itu saya berusaha menghindari
pemaparan sejarah atas satu pihak saja. Apalagi peristiwa karbala sangat
sarat dengan tendensi yang mungkin akan menjebak saya pada pemahaman
yang sempit atas sejarah itu sendiri.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan peristiwa karbala ?.
Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi
mengenangnya) ?. Apakah peristiwa karbala semata-mata
bertendensi pada Syiah, untuk itu harus dikubur dalam-dalam ?. Semuanya
pasti punya jawaban sendiri. Dan menyinggung peristiwa karbala, beberapa
ahli sejarah Islam menarik benang merah bahwa peristiwa karbala tidak
terjadi spontanitas secara diskrit waktu. Tetapi peristiwa tersebut
berkaitan erat dengan peristiwa Saqifah. Karena tidak mungkin bagi kita
untuk mendiskusikan sejarah Islam semenjak peristiwa Saqifah hingga
peritiwa karbala, maka saya hanya mengambil potongan sejarah setelah
kematian Ali bin Abi Thalib.baca selengkapnya
Sejarah Khulafaur Rasyidin berakhir setelah meninggalnya Ali bin Abi
Thalib. Sejarah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib meninggal setelah
dua hari dari percobaan pembunuhan yang dilakukan kepadanya, tepatnya
malam Ahad, 21 Ramadhan 40 H. Setelah kematian Ali, kepemimpinan
berganti dengan diangkatnya Al-Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib, oleh
orang-orang kuffah sebagai khalifah umat Islam pada saat itu. Tetapi di
saat yang bersamaan, Mu’awiyyah, pendiri dinasti Umayyah dan bertindak
sebagai gubernur pada saat itu, mulai menyebarkan berita dan propaganda
yang isinya memihak Mu’awiyyah untuk menjadi khalifah. Banyak janji dan
hadiah yang diberikan Mu’awiyyah bagi para pendukungnya. Tidak hanya
itu, Mu’awiyyah juga menyebarkan berita bohong dan menjelek-jelekkan Ali
beserta keluarganya dari sejak awal. Yang mungkin tidak terlupakan bagi
Syiah ‘Ali adalah perintah Muawiyyah yang memerintahkan para Khatib
pada setiap khotbah Jumat untuk mencaci-maki Ali dan bahkan harus
mengkafirkannya. Begitu gencarnya propaganda Mu’awiyyah menyebabkan
banyak sekali umat Islam yang memberikan dukungan kepadanya. Dengan
dukungan yang luas, mulailah Mu’awiyyah datang ke Kuffah untuk memerangi
Al-Hasan. Selanjutnya, terjadilah perang antara Al- Hasan dengan
pasukan Mu’awiyyah. Namun sayang, banyak dari pasukan Al- Hasan yang
berkhianat dan memihak pada Mu’awiyyah. Untuk mencegah pertumpahan darah
yang semakin besar diantara kaum muslimin, Al-Hasan terdesak untuk
menandatangani perjanjian damai dan membai’at Muawiyyah sebagai
khalifah. Di dalam perjanjian tersebut ada beberapa permintaan Al-Hasan,
seperti meminta Mu’awiyyah agar menghentikan perintah mencaci-maki
ayahanda beliau dan Mu’awiyyah menyanggupinya . Akan tetapi setelah
perjanjian itu, Mu’awiyyah justru melanggar janji dengan terus-menerus
menyebarkan fitnah dan mencaci Ali. Sementara itu Al-Hasan justru
dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya oleh Ja’dah
Binti As’ats, istrinya sendiri.
Janji Mu’awiyyah kepada Al-Hasan tidak pernah dilaksanakan. Bahkan
tidak kurang dari 70.000 mimbar di bawah kekuasaan Mu’awiyyah melakukan
perintah mencaci Ali. Ia bertindak sewenang-wenang. Barang siapa yang
mencoba untuk melakukan perlawanan, olehnya langsung dibunuh. Dan tidak
pernah ada kebebasan mimbar di masa kepemimpinannya. Salah seorang
gubernur yang ditunjuk Mu’awiyyah untuk memerintah kufah adalah Ziyad.
Ia terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin. Suatu ketika Hujur bin
‘Ady dan sahabatnya memprotes kebiasaan mencaci Ali. Tetapi yang
terjadi, Hujur justru dijatuhi hukuman mati. Ia juga memerintahkan
memotong kepala Amr bin Hamk, dan mengarak kepala itu keliling kota,
kemudian dilemparkan kepala Amr bin Hamk itu ke pangkuan istrinya.
Kebiadaban ini disaksikan langsung oleh Al Husein. Ia merasa tidak
dapat diam begitu saja. Apalagi setelah ia dipaksa untuk membai’at
Yazid, putra mahkota Mu’awiyyah. Karena bagaimana mungkin Al-Husein
dapat membai’at seorang pemimpin bagi kaum muslimin bila ia pecinta arak
dan gila wanita. Akhirnya Al-Husein memutuskan untuk meninggalkan kota
madinah yang telah dikuasai oleh Mu’awiyyah. Dan pada tanggal 3 bulan
Sya’ban tahun 60 H, Al-Husein sampai di Makkah. Sementara itu di
Damaskus Mu’awiyyah meninggal dan secara langsung kepemimpinan
digantikan oleh Yazid.
Mendengar kematian Mu’awiyyah dan penolakan Al-Husein kepada Yazid,
orang-orang kuffah membulatkan tekad untuk melawan Yazid. Untuk itu
mereka mengirim utusan untuk membawa surat kepada Al Husein. Setelah
datangnya utusan tersebut kepada Al-Husein, Al Husein segera mengirim
utusannya ke Kufah, Muslim bin Aqil. Tetapi disaat yang bersamaan, Yazid
menggantikan gubernur kufah yang sebelumnya Nu’man menjadi Ibnu ziyad.
Setelah Muslim sampai ke Kufah, ia disambut dengan baik oleh penduduk
kufah. Inilah yang membuat yakin Muslim bahwa penduduk kufah akan
mendukung Al-Husein. Untuk itu Muslim mengirim surat kepada Al-Husein
agar datang ke Kufah. Segera setelah penggantian itu, Ibnu Ziyad datang
ke kufah. Kemudian mengumpulkan penduduk kufah untuk mengingatkan mereka
agar patuh pada penguasa tunggal Yazid bin Mu’awiyyah. Ibnu Ziyad
melakukan teror kepada penduduk kufah dan ternyata berhasil. Orang-orang
kufah pun berbalik, justru mendukung Yazid. Sementara itu Muslim yang
telah sampai di Kufah terlebih dahulu sebelum kedatangan Ibnu Ziyad
ditangkap dan dijatuhi hukuman penggal.
Surat yang disampaikan Muslim telah sampai kepada Al-Husein. Dan
berita kematian Muslim justru belum terdengar. Berangkatlah rombongan
Al-Husein menuju kufah. Ketika rombongan Al-Husein sampai di Hijaz, ia
mengutus Qays untuk memberitahu penduduk kufah bahwa kedatangannya
beberapa hari lagi. Akan tetapi Ibnu Ziyad telah mengirimkan mata-mata,
dan karenanya Qays digeledah dan dijatuhi hukuman mati. Al-Husein
melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di Tsa’labiyah barulah
Al-Husein mendengar kematian Muslim. Keadaan ini tidak membuat rombongan
Al-Husein gentar. Mereka melanjutkan perjalanan kembali dan ketika
sampai di sebuah dusun yang bernama Zabalah, Al-Husein mendengar
kematian utusannya yang kedua, Qays.
Perjalanan tetap berlanjut. Dan sampailah rombongan Al-Husein di
Zulhisam. Di Zulhisam, Al-Husein bertemu dengan utusan Ibnu Ziyad, Hurr
bin Yazid yang dikawal dengan 1000 pasukan berkuda. Al-Hurr menyampaikan
maksudnya bahwa ia diperintahkan untuk membawa Al-Husein ke kufah.
Pada tanggal 2 Muharram rombongan Al-Husein sampai di sebuah lapangan
yang bernama Karbala. Tanggal 3 Muharram Ibnu Ziyad mengirimkan 4000
tentara untuk memperkuat Al-Hurr. Dan 500 tentara berkuda diperintahkan
untuk menutup saluran air dengan maksud agar pengikut Al-Husein
kehausan. Keesokannya mulailah Al Husein mengatur pasukannya. Dengan 32
orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, selebihnya anak-anak dan wanita,
melawan pasukan Umar bin Sa’ad yang berjumlah 5000 dengan senjata
lengkap. Berlangsunglah pertempuran itu hingga satu-persatu pasukan
Al-Husein gugur. Satu kejadian yang paling kejam adalah ketika seorang
bayi kecil yang menangis kehausan membuat iba Al-Husein dan ia
menunjukkan kepada musuh untuk memberikan air minum. Yang terjadi justru
bayi itu dipanah oleh salah seorang anggota pasukan Umar bin saad dan
tepat mengenai perut bayi itu. Pertempuran yang sangat tidak seimbang
terus berlangsung hingga Al-Husein pun gugur sebagai Syuhada pada
tanggal 10 muharram 61 H setelah kepalanya di penggal oleh Syamir Zul
Tawisyan. Berakhirlah perang tersebut dan pada tanggal 11 muharram 61 H,
sebanyak 72 kepala ditancapkan di atas tombak. Sementara dibelakangnya
diseret para wanita dan anak-anak.
Beberapa kaum muslimin sering mengenang kesyahidan Al-Husein, pada
tanggal 10 muharram, yang sering di kenal dengan hari Asyura. Mengenang
kegigihan Al-Husein bukanlah semata-mata mengagungkan perjuangan
Al-Husein beserta pengikutnya. Tetapi Asyura juga mengingatkan kita akan
ketidakberanian kaum muslimin pada saat itu untuk menentang rezim.
Sampai saat ini pun kaum muslimin belum berani mengambil barisan
terdepan melawan rezim. Wajar bila kaum muslimin saat ini belum dapat
diharapkan untuk menjadi lokomotif umat manusia. Tidak hanya itu,
Muawiyyah-Mu’awiyyah baru pun juga mulai banyak muncul. Mereka muncul
dengan propaganda, topeng, dan fitnah atas nama Allah. Atau mungkin
dengan mengubur sejarah dan identitas yang dibungkus ‘apologia sejarah’.
Akhirnya apapun yang saya tulis di sini tentunya ada yang mengalami
distorsi. Tetapi banyak analisa yang lebih mendalam mengenai Asyura.
Beberapa kajian di antaranya mencoba menghadirkan realitas
sosial-politik masyarakat Arab pada saat itu dan bukan sekedar peristiwa
karbala. Sehingga dalam hal ini sangat penting bagi saya untuk
memberitahukan beberapa literatur sejarah yang saya pakai. Beberapa
diantaranya yaitu :
1. Khilafah dan kerajaan , oleh Abul A’la Maududi
2. Kerugian dunia karena kemunduran umat Islam, oleh Abul Hasan an-Nadwi
3. Sejarah umat Islam II, oleh Prof DR. Hamka
4. Khulashah Nurul yaqin, oleh Umar bin Abdul Jabbar
5. Berbagai penyimpangan politik dalam dinasti Bani Umayyah, oleh Abu Riza
6. Tarikh al Umam wa al-Muluk, juz 6, Darul Fikr, oleh Abu Ja’far Al-Thabari
8. Hayat al-Husain, Abdul Hamid Jaudah Al-Sakhar.
9. A Probe Into History of Ashura, Dr. Ibrahim Ayati
Aku tetap akan meneruskan langkahku
Sebab bagi seorang pemuda, mati itu bukan sesuatu yang memalukan
Apabila kebenaran menjadi niatnya dan berjuang sebagai seorang muslim
Kalau aku tetap hidup, aku tak pernah menyesal
Dan kalau aku mati, aku tidak menderita
Cukuplah untuk disebut dengan kehinaan,
bila engkau tetap hidup, tapi dihinakan- Syair Al-Husein
Maqtal Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib
Shallallahu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaika ya Mazlum bi Karbala
Shallallahu ‘alaika ya Syahid bi Karbala
Salam sejahtera bagimu ya Aba ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali (as.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Rasulullah (saw.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Fatimah az-Zahra. (as.)
baca selengkapnya
Pertama-tama marilah kita dengar beberapa sabda Nabi Muhammad saw.
tentang Husain “Husainun minni wa ana min Husaini. Ahabballah man ahabba
Husaina. Husain sibthun minal asbath. “
(Husain adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri
Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain
adalah cucu istimewa dari cucu-cucuku”.
Hadis lain, “Innal Hasana wal Husain Sayyida syababi Ahlil Jannah”, Sungguh Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga.
Ibnu Hajar mencatat dalam kitabnya at-Tahzib riwayat Ummu Salamah,:
“Suatu hari Hasan dan Husain sedang bermain di rumahku, di hadapan
datuknya Rasulullah saw. Tidak lama berselang, malaekat Jibril datang.
Dia berkata sambil menunjuk ke arah Husain, “ya Muhammad, kelak ummatmu
akan membunuh putramu ini. Mendengar itu Nabi kemudian menangis.
Dipanggilnya Husain dan dipeluknya erat-erat ke dadanya. Kemudian Nabi
memanggilku, kata Ummu Salamah, dan memberiku sebongkah tanah. Setelah
mencium bongkahan tanah itu, Nabi berkata, “ya Ummu Salamah, di tanah
ini ada bau Karbun wa Bala’. Kelak apabila ia berubah menjadi darah,
ketahuilah bahwa di saat itu putraku ini syahid bermandikan darah.’
Lima puluh tahun setelah wafat baginda Rasulullah saw, tepatnya
tanggal10 Muharram tahun 61 Hijriah, tragedi Karbala yang diucapkan oleh
Nabi tersebut menjadi kenyataan. la bermula dari keengganan Husain as.
untuk memberikan bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah sepeninggal ayahnya.
Kepada al-Walid, gubernur Madinah, Imam Husain berkata, ” Ayyuhal
Amir! Kami adalah Keluarga Nabi, Tambang Risalah, Tempat Kunjungan para
malaekat, dan pusat rahmat Illahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan
mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik,
peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan
melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan
memberinya bai’at…”
Ketika Husain didesak oleh orang-orang Mu.awiyah, terutama oleh
Marwan bin Hakam, seorang yang dikatakan oleh Nabi sebagai al-la’in
ibnul la’in, dengan nada yang tinggi Husain berkata, “Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un… Apabila bai’at ini diberikan kepada Yazid, itu
berarti pengkhianatan kepada agama Islam. Bagaimana mungkin ummat ini
akan dibiarkan dipimpin oleh orang seperti Yazid.” Husain kemudian
berkata: ‘Wahai musuh Allah! Enyahlah engkau dariku. Kami adalah
keluarga Rasulullah. Kebenaran ada pada kami. Dan al-haq pasti keluar
dari lisan kami. Kudengar sendiri N abi bersabda, “Hak Khilafah adalah
haram bagi keluarga Abu Sufyan dan bagi at- Thulaqa. ibnut Thalaqa.,
(yakni anak keturunan para tawanan Makkah kalian lihat Mu’awiyah berada
di atas mimbarku, maka tikamlah perutnya. Demi Allah penduduk kota
Madinah telah melihat Mu’awiyah duduk di atas minbar datukku, dan mereka
tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Nabinya. Itulah
kenapa akhimya mereka ditimpakan oleh Allah bencana anaknya Yazid,
Zadahullah fin nari ‘adzaban, (semoga Allah lebih menimpakan adzab yang
pedih kepadanya di api neraka).
Suasana mencekam di kota Madinatur Rasul karena ancaman Yazid atas
nyawa Husain menyebabkan Husain berpikir untuk pergi ke kota Mekah.
Sebelum pergi, Husain as. berkunjung ke pusara datuknya di tengah malam
gulita, sambil berkata:
Assalamu ‘alaika ya Rasulallah!
Anal Husain ibnu Fathimah. Ana Farkhuka
wabnu Farkhika…
Salam sejahtera kepadamu wahai Rasulallah Aku adalah Husain putranya
Fatimah. Aku adalah anakmu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang
kautinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabi Allah bahwa mereka
telah menghinaku dan mengabaikan hak-hakku serta tidak memeliharaku.
Inilah keluhanku kepadamu hingga kelak aku berjumpa denganmu…”
Kemudian Husain berdiri shalat, ruku’ dan sujud sepanjang malarnnya
di samping pusara kekasihnya Rasulullah saw. Usai shalat Husain berdo’a:
Allahumma! Inna hadza qabru nabiyyika Muhammad… YaAllah! Ini adalah
pusara Nabi-Mu Muhammad, sementara aku adalah putra dari putrinya
Muhammad. Engkau Mahatahu derita yang apa kini datang kepadaku.
Allahumma ya Allah! Sungguh aku cinta pada yang ma’ruf dan benci pada
yang munkar. Aku bermohon kepada-Mu ya Dzal Jalali wal Ikram, demi
pusara ini dan demi penghuninya, agar Kau pilihkan untukku sesuatu yang
di dalarnnya Kau redha padaku.””
Menjelang subuh, Husain kemudian meletakkan kepalanya ke pusara
datuknya. Di sana kemudian ia sejenak tertidur. Dalam tidur itu ia
melihat datuknya datang dengan serombongan malaekat kepadanya.
Dipeluknya Husain erat-erat ke dadanya. Diciumnya antara kedua matanya.
Kemudian Nabi berkata, “Wahai putraku Husain! Sepertinya sebentar lagi
kau akan terbunuh dan tersembelih di sebuah tempat dan bumi karbun wa
bala’. Di sana kau dikepung oleh sekumpulan orang dari ummatku, dalam
keadaan kau haus dan tidak diberi air minum. Tapi mereka masih
mengharapkan syafaatku di hari kiamat. Demi Allah, kelak aku tidak akan
memberi mereka syafaat di hari kiamat…”
Setelah kunjungan terakhir ke pusara Rasulullah saw., Husain kemudian
berangkat ke kota Mekah bersama seluruh anggota keluarganya. Syaikh
Mufid meriwayatkan, di saat Husain meninggalkan kota Mekah, Husain
membaca ayat yang ada dalam surah al-Qashas (28) ayat 21, “fa kharaja
minha khaifan yataraqqabu, qala rabbi najjini minal qaumidz dzalimin…”
(Maka (Musa) keluar dari (kota) itu dengan ketakutan seraya berhati
hati. Dia berkata, “ya Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.)
Husain tiba di kota Mekah pada tangga13 Sya’ban tahun 60 H. Di sana
beliau dan keluarganya menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal
dan Dzulkaidah.
Sepanjang empat bulan itu Husain berjumpa dengan sebagian dari
sahabat-sahabat Rasul yang masih hidup tak terkecuali Ibnu ‘Abbas, Ibnu
Umar, Ibnu Zubair dan sebagainya. Kepada mereka Husain sampaikan niatnya
untuk tidak memberikan bai’at sedikitpun kepada Yazid, meskipun untuk
itu ia akan berhadapan dengan kekerasan. Ketika sebagian dari mereka
menasehati Husain untuk berdamai saja dengan Yazid, Husain malah
menjawab, “Apakah aku akan berikan bai’at kepada Yazid dan berdamai
dengannya, sementara Nabi saw. telah berkata sesuatu yang jelas
tentangnya dan tentang ayahnya.”
Ibnu Umar mendesak Husain agar pulang saja ke kota Madinah untuk
menghindari pertumpahan darah. ‘fidak perlu Husain memberikan bai’at,
tapi juga jangan menentang Yazid. Sebab wajah semulia Husain tidak layak
ditumpahkan dan mandi bersimbahkan darah di hadapan Yazid al-mal’un.
Tapi Husain menjawab ajakan Ibnu Umar dengan kata-katanya yang terkenal:
. “Ya Ibnu Umar! Mereka tidak akan membiarkan aku begitu saja. Mereka
akan tetap memaksaku membai’atnya atau membunuhku. Dengarkan baik-baik
wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi
Allah adalah sebuah tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria
dipenggal oleh kaurnnya dan kemudian ia dijadikan sebagai hadiah yang
diberikan kepada pemimpin mereka yang zalim. Padahal kepala itu
berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujahnya di hadapan mereka
semua. Wahai hamba Allah! Jangan engkau lari dari membelaku. Ingatlah
aku di saat-saat shalatmu. Demi Allah yang telah membangkitkan datukku
Muhammad sebagai Nabi yang bashiran wa nadzira, seandainya ayahmu Umar
bin Khattab hidup di zaman ini, niscaya dia akan membelaku seperti dia
membela datukku. Wahai putra Umar! Apabila engkau tidak bersedia keluar
bersamaku dan berat bagimu ikut bersamaku, maka itu kumaafkan. Namun
jangan lupa untuk mendoakan aku setelah shalat-shalatmu. Jauhi mereka
dan jangan kau berikan bai’at kepada mereka sampailah segala perkara
menjadi jelas.”
Selama Husain berada di Mekah, ratusan bahkan ribuan surat datang
kepadanya dari arah Kufah, Bashrah dan sekitarnya memintanya segera
datang ke sana untuk dijadikan sebagai Imam mereka dalam menumbangkan
kezaliman Yazid.
“Innahu laisa ‘alaina Imam. Fa aqbil la’allaha an yajma ‘ana bika
‘alal haq”, (Kami tidak punya Imam. Datanglah ke mari. Mudah-mudahan
Allah akan menyatukan kami denganmu di atas jalan kebenaran)” Begitu
yang mereka tulis kepada Imam Husain.
Pada tanggal delapan Dzulhijjah tahun 60 H. Husain meninggalkan kota
suci Mekah menuju Irak. Malam sebelumnya ia sempat berjumpa dengan
saudaranya Muhammad bin al-Hanafiah. Saudaranya ini mengusulkan kepada
Husain agar pergi saja ke tempat lain yang lebih amman, ke Yaman
misalnya. Namun Husain meminta waktu untuk memikirkannya. Pada pagi
harinya ketika ia berjumpa kembali dengan Husain, Muhammad al-Hanafiah
menuntut janji jawaban Husain. Husain kemudian berkata, “Wahai
saudaraku! Setelah kita berpisah tadi malam, aku berjumpa dengan datukku
Muhammad saw. Katanya, “ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an
yaraka qatilan” (ya Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki
melihatmu terbunuh (di jalan-Nya). “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un…” Gumam Hanafiah.
Hari kesepuluh dari bulan Muharram tahun 61 Hijriah, adalah hari yang
paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak. Di hari itu
pasukan Husain yang berjumlah lebih kurang 78 orang telah dihadang oleh
tak kurangdari 30,000 pasukan yang berkuda dan bersenjata lengkap untuk
siap membantainya dan menawan putra-putrinya.Di sisi lain, air sungai
Furat yang terbentang panjang dan menghidupi makhluk-makhluk padang
Karbala, hatta anjing sekalipun, pada hari itu diharamkan bagi putra-
putri Nabi yang suci ini.
Sejak pagi Asyura Imam Husain berupaya menyadarkan mereka untuk tidak
memerangi keluarga Nabi ini. Dia berusaha maksimal untuk menghentikan
petumpahan darah yang akan berakibat fatal bagi kehidupan mereka
setelahnya. Sampai-sampai Husain berteriak lantang, “
“Ayyuhan nas! Dengarlah kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru
ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana
kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri
kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi
kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku.
Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan putra washinya,
orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu
para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki
dua sayap di syurga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah
mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini
adalah pemuka pemuda syurga?”
Kata-kata Husain tidak banyak mengusik hati mereka yang telah beku.
Tapi Husain terus berupaya maksimal untuk menyentuh hari nurani mereka.
Sampai beliau berkata secara emosional,
“Ayyuhan Nas, ama min mughitsin yughitsu ‘anna…, apakah masih ada
orang yang mau membela kami keluarga Rasul. Apakah masih ada orang yang
mau menolong kami sebagai keluarga Rasul? Apakah salah kami? Apakah dosa
anak-anak dan wanita kami sehingga kalian haramkan mereka dari air
Furat itu?
Kata-kata Husain terakhir tiba-tiba mengusik perasaan al-Hur bin
Yazid ar-Riyahi, salah seorang dari pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad.
Sejenak ia mundur dan mencari tempat yang tepat, akhirnya ia menyebat
kudanya untuk bergabung bersama Husain. Al-Hur dengan suara yang penuh
sesal berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah masih ada kesempatan
bagiku untuk bertaubat? Kumohon maafmu ya Husain, karena telah
menakut-nakuti hati para kekasih Allah dan putra-putri Nabi Allah”
“Na’am. Taballahu ‘alaika. Semoga Allah menerima taubatmu ya Hur. Kata
Husain, “Anta hurrun kama waladatka ummuka hurra. Khawatir
sahabat-sahabat lain menyusul Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad, pimpinan
pasukan musuh melesatkan anak panahnya ke arah Husain sebagai tanda
dimulainya perang. Sambil berteriak Umar berkata: “Saksikan di hadapan
Amir bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan anak panahnya
kepada Husain.” Dan berikutnya ribuan anak panah dilesatkan ke arah
Husain, keluarganya dan sahabat- sahabatnya.
Peperangan yang tidak seimbangpun berkobar. Sahabat Husain satu demi
satu maju dan kemudian gugur, disusul pula oleh keluargnya. Orang
pertama adalah putranya yang bemama Ali al-Akbar, seorang anak remaja
yang mempunyai wajah yang betul-betul mirip dengan wajah datuknya
Rasulullah saw.
Melihat putranya ini Husain terisak menangis. Dipeluknya erat-erat
putra kesayangannya ini. Sambil mengangkat janggutnya yang telah
memutih, Husain berdo’a, “ya Allah, saksikanlah betapa tega dan kejamnya
kaum ini. Muncul di hadapan mereka seorang yang mempunyai wajah, sifat
dan kata-kata yang sangat mirip dengan Rasul-Mu Muhammad. Bahkan ketika
kami rindu kepada Rasul-Mu, kami akan memandangi wajah anak ini. Ya
Allah, haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Porak- porandakan
mereka. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami,
tiba-tiba mereka jugalah yang memusuhi kami dan memerangi kami.”
Ali al-Akbar maju ke medan perang dengan sangat tangkas sehingga
mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya Ali bin Abi Thalib as.
Riwayat berkata, setelah lebih dari seratus orang tewas di tangannya,
Ali kembali ke kemah ayahnya dengan luka-luka yang cukup banyak. Dia
berkata, “Ya abatah, (duhai ayahanda yang mulia), haus, haus. Rasa haus
benar-benar telah mencekikku sehingga terasa benar beratnya besi
ini.Adakah sedikit air yang bisa memberiku sedikit tenaga?’
Husain memeluk erat putra kesayangannya ini. Sebentar kemudian dia
julurkan lidahnya yang suci ke mulut anaknya yang suci. “Demi Allah,
lidah Husain sendiri lebih kering dari ranting-ranting yang kering
hadapan yang ada di padang Karbala.” Husain berkata, “Sebentar lagi kau
pasti akan berjumpa dengan datukmu Muhammad yang tengah menunggumu
dengan segelas air dari telaga al-kautsar. Bersabarlah wahai putraku,
bersabarlah…”
Ali al-Akbar kembali ke medan perang. Gerak- geriknya diperhatikan
oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Tak lama berselang, tiba-tiba
Husain menyaksikan bagaimana anak yang masih muda ini ditikam oleh
musuh-musuhnya dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, menusuk
dadanya, menikam perutnya, bahkan ada yang melemparkan anak panahnya
sehingga jatuh persis ke lehemya. Ali al-Akbar sempat berteriak
memanggil-manggil ayahnya,” ya abatah (duhai ayah)’alaika minnis salam.
Kini kusaksikan datukku Rasulullah saw, mengucapkan salam kepadamu dan
memintamu agar segera datang menemuinya…” Husain mendatangi putranya ini
sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke setiap orang yang
menghalanginya. Husain memeluk wajah Akbar yang bersimbahkan darah suci.
Husain berkata, “qatalallahu qauman qataluka ya bunayya…, semoga Allah
membunuh suatu kaum yang telah membunuhmu wahau putraku. Alangkah
beraninya mereka terhadap Allah; dan alangkah nekatnya mereka menganiaya
keluarga Rasulullah Sungguh, wahai putraku, apalah artinya dunia ini
bagiku setelah kepergianmu…”
Kini giliran Husain, tapi sebelum itu dia minta dibawakan bayinya Ali
ar-Radhi’. Maksud Husain adalah ingin mencium dan memeluk sebagai
pertemuan terakhirnya. Sambil memegang bayi yang tak berdosa ini, Husain
terus berteriak:
Apakah masih ada orang bertauhid yang masih takut kepada Allah. Apakah masih ada orang yang mau
menolong kami. Apakah masih ada orang yang mau membela keluarga Rasulullah.
Tengah Husain memeluk dan ingin mengecup anak yang suci ini,
tiba-tiba Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke arah leher Ali
ar-Radhi’. Demi Allah, anak panah itu menembus lehemya.
Pekikan suara Ali ar-Radhi’ sangat menyayat hati. Husain
menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya betapa kejamnya
manusia-manusia durjana itu.
Kini Husain benar-benar sendirian. Seluruh keluarga dan sahabatnya
gugur syahid satu persatu di hadapannya. Dia berdiri sendirian di
kemahnya yang semakin kosong. la bergumam menyebut-nyebut kebesaran
Asma’ Allah. Sekali- sekali Husain melihat kemah putri-putrinya,
kemudian ia menatap kembali lautan musuh yang tengah menanti untuk
menyergapnya. Akhimya Husein melangkahkan kakinya mendatangi kemah
wanita untuk melihat putri-putri Fatimah az-Zahra’ as. Suara Husain kini
tidak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak
menahan napas panjang. Kerongkongannya kering dan panas. Dengan suaranya
yang parau dan terbata- bata, dia memanggil satu persatu putri-putri
Fatimah az-Zahra’:
” Assalamu alaiki ya Sakinah! Terimalah salamku wahai Sakinah.” ”
Assalamu alaiki ya Fatimah! Terimalah salamku wahai Fatimah:’ ” Assalamu
Alaiki ya Zainab! Terimalah salamku wahai Zainab.” ” Assalamu Alaiki ya
Ummu Kalthum! Terimalah salamku wahai Ummu Kalthum.”
Sakinah yang kecil memeluk erat tubuh ayahnya yang kini kesendirian itu.
“Ya abatah. Ayah! Apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan pergi
meninggalkan kami? Apakah ini pertanda perpisahanmu dengan kami?” Husain
merangkul putrinya yang mungil ini sambil berbisik:
” Wahai putriku Sakinah! Apakah mungkin maut tidak menjemput orang
yang tidak ada pembela dan kesendirian ini. Bersabarlah putriku! Usaplah
air matamu. Bersabarlah, kau akan lebih banyak lagi menangis setelah
kematianku. Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku meninggalkan
badan ini. Kelak setelah aku gugur, menangislah putriku dan
menangislah!” Husein memeluk satu persatu putri-putrinya yang tidak
berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang bersamanya di Karbala, Zainab dan
Ummu Kaltsum. Kemudian dia datang memeluk Ali Zainal Abidin yang sedang
berbaring lantaran sakit keras. Mas’udi dalam kitabnya Ithbat
al-Washiyyah meriwayatkan, Husain kemudian berwasiat kepada putranya
yang sedang sakit ini al-Ism al-A’zam dan peninggalan-peninggalan waris
para Nabi. Kemudian Husain juga menyampaikan bahwa ia telah menitipkan
ilmu-ilmu, kitab-kitab, mushaf-mushaf dan senjata warisan kepada Ummu
Salamah r.a.
Usai pamit dengan keluarganya tercinta, Husain kemudian menunggang
kudanya yang membawanya berhadapan dengan musuh-musuhnya yang berjumlah
lebih dari tiga puluh ribu serdadu. Husain masih berupaya untuk
menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Husain masih
tetap ingin meyempumakan hujjahnya kepada orang- orang yang sepertinya
sudah ditutupkan oleh Allah hatinya. Tapi hati mereka tak bergeming.
Tiba-tiba Umar bin Sa’ ad berteriak:
“Celaka kalian! Tahukah kalian dengan siapa kalian berperang? Inilah
putra singa orang-orang Arab. Inilah putra Ali bin Abi Thalib. Serang
dia dari berbagai sisi.”
Perintah Umar bin Sa’ ad kemudian diikuti dengan lemparan empat ribu anak panah yang dilesatkan
untuk menembak Husain.
Dengan gagahnya Husain tetap berdiri kokoh, walaupun sebagian anak
panah mengenai badannya yang mulia. “Kalian mengancamku dengan maut;
kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah mati adalah
lebih mulia ketimbang harus tunduk pada kezaliman. Syahid di jalan Allah
lebih mulia ketimbang tunduk pada kehinaan. Husain berkata:
Mati lebih utama ketimbang melakukan keaiban dan lebih utama daripada
masuk ke dalam api neraka akulah Husain putra Ali tidak pemah mundur
dalam membela kebenaran. Kukan pertahankan keluarga ayahku. Kukan
teruskan berjalan di atas agama sang Nabi.
Peperangan yang tak seimbang antara Husain dengan pasukan Umar bin
Sa’ ad sudah tak terelakkan lagi. Tidak sedikit dari kalangan pasukan
Ibnu Sa’ ad yang tewas di tangan Husain.
Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husain kemudian duduk
ingin sejenak beristirahat. Riwayat berkata, tiba-tiba Abul Hatuf
membidikkan panahnya yang kemudian jatuh persis mengenai dahinya Husain.
Dengan tangannya yang mulai putranya lemah, Husain berupaya mencabut
anak panah itu perlahan-lahan. Dahi Husain yang sering digunakannya
untuk bersimpuh sujud di hadapan al- Khaliq, kini menyemprotkan darah
suci dan segar tentang pada pasir Karbala. Wajah Husain berubah merah.
Janggutnya yang putih kemilau kini bermandikan darahnya yang segar.
Husain berkata:
Ya Allah! Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambaMu yang durhaka ini
terhadapku.
Ya Allah, hancurkan mereka, habisi mereka, dan jangan Kausisakan
satupun dari mereka di atas muka bumi ini, dan jangan juga Kauampuni
mereka.
Husain kemudian berdiri lagi meneruskan perlawanannya sampai kemudian
dia merasa keletihan lagi. Sejenak ia beristirahat, tiba-tiba sebuah
batu besar dilemparkan ke arah dahinya dan persis mengenai lukanya.
Darahnya yang suci kini lebih banyak mengalir membasahi seluruh
tubuhnya. Husain meringis kesakitan. Luka-luka yang mengenai tubuhnya
membuatnya tak berdaya. Imam Husain kemudian mengangkat tangannya untuk
mengambil ujung bajunya guna mengusap darah yang mengalir di dahinya.
Tiba-tiba sebatang anak panah beracun yang bermata tiga dibidikkan
persis ke arah dadanya. Dada Husain luka. Jantung Husain robek. Anak
panah tembus sampai ke belakang Husain. Husain menundukkan kepalanya
sambil memegahg-megang dadanya yang memancurkan darah segar Nabi yang
mulia. Dengan suara yang terbatah-batah Husain berdo’ a:
Dengan Asma’ Allah
dengan bantuan Allah
dan di atas agama Rasulullah
Ilahi, Engkau Mahatahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra NabiMu yang masih ada di atas muka bumi ini.
Husain kemudian mencabut anak panah itu dari belakangnya, yang
kemudian memuntahkan darah segar nan suci. Perawi berkata, Husain
kemudian menampung darah-darahnya itu dengan kedua tangannya, lalu
dilemparkan ke arah langit. Demi Allah! Tidak setetespun dari darah itu
kemudian kembali ke bumi.
Kemudian Husain menampung lagi darah yang masih mengalir deras dengan
kedua tangannya. Kemudian ia usap-usapkan ke wajahnya, janggutnya, dan
tubuhnya sambil berkata:
Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah saw dalam
keadaan badan ini bersimbah darah Kelak akan kukatakan kepadanya bahwa
yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan. Melihat Husain tergeletak lemah,
Umar bin Sa’ ad berteriak, “Turun kalian dan penggallehemya…” Maka
turunlah sebagian makhluk-makhluk durjana itu untuk menghina Husain.
sebagian memukuli amamah atau sorban Husain sampai kepalanya luka;
sebagian menusukkan pedangnya ke perut Husain; sebagian yang lain
menyabetkan pedangnya ke punggung Husain. sedemikian buruk perlakuan
mereka kepada Husain yang sudah jatuh lemah itu, sampai Imam Baqir as.
berkata, “Hatta kepada anjingpun, mereka dilarang memperlakukannya
seumpama itu. Husain telah ditusuk dengan pedang, dipukul dengan tombak,
dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat; bahkan dinjak-
injak dengan kuda…”
Tidak sekedar itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ ad masih belum puas.
Dendam Ibnu Ziyad terhadap Husain masih belum tuntas. Meskipun Husain
kini telah tergeletak layu bersimbah darah, dalam keadaan badan nyaris
tidak lagi bemyawa, mereka kobarkan api permusuhan sedalam-dalamnya
terhadap Husain.
Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk turun menghabisi Husain.
Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husain
masih terengah-engah meminta air. “Sungguh, aku haus, aku Husain haus!”
Kata Husain. Syimir kemudian menendang dengan sepatunya yang keras.
Dengan suaranya yang keras dia berkata, “Wahai putra Abu Turab! Bukankah
engkau berkata bahwa ayahmu akan memberi air di telaga al-kautsar
kepada orang yang dicintainya. Mintalah dari ayahmu…!” Syimir kemudian
duduk di dada Husain. Dia pegang janggut Husain yang sudah bermandikan
darah. Dengan senyum Husain berkata kepada Syimir, “Apakah engkau tidak
kenal aku dan akan membunuhku?” Syimir menjawab, “Ya, Aku mengenalmu
dengan baik. Ibumu Fatimah az-Zahra’; ayahmu Ali al-Murtadha, dan
datukmu Muhammad al-Mustafa, pembelamu adalah Allah Ta’ala. Aku tidak
perduli semua itu…”
Dalam sebuah riwayat, Syimir berusaha memenggal leher Husain dari
arah depan. Namun dia gagal. Kemudian dia membalik Husain dengan sangat
kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husain…” setiap kali
urat leher Husain terpotong, Husain berteriak, “Wa abatah, wa ummah, wa
jaddah, wa ‘aliyyah (duhai ayah, duhai ibu az- Zahra’, duhai datukku
Mustafa dan duha ayahku Ali…”
Riwayat berikutnya kemudian berkata,
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas
setiap barang yang ada di tubuh Husain yang mulia. Bahar bin Ka’ab
melucuti celana Husain; Akhnas bin Marthad menarik sorban. Husain; Aswad
bin Khalid merampas sandal Husain; Umar bin Sa’ ad mengambil baju
perang Husain; Jami’ bin al-Khalq merebut pedang Husain. Yang lebih
tragis lagi, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husain. Kata perawi,
semula Bajdal mencoba keras menarik-narik cincin Husain. Tapi dia tidak
berhasil. Kemudian dia mengambil jalan pintas. Dihunuskan pedangnya ke
arah jari-jari Husain, dan … karena sepotong cincin, ia potong jari
Husain.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…