Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Husein. Show all posts
Showing posts with label Imam Husein. Show all posts

Nasihat Imam Husein as: Jangan Menisbatkan Dosamu Kepada Allah


Jangan Menisbatkan Dosamu Kepada Allah

Imam Husein as berkata:

"Setiap orang yang menisbatkan perbuatan dosanya kepada Allah Swt, berarti ia telah melakukan kebohongan besar tentang Allah." (Mohammad bin Mohsen Alam al-Huda Kashani, Ma'adin al-Hikmah, Qom, Jameeh Modarresin, 1407 Hq, cet 2, jilid 2, hal 45, hadis 103)

Sebagian manusia setiap kali melakukan perbuatan dosa, jiwanya tersiksa dan untuk membebaskan dirinya dari ketersiksaan ini, mereka menisbatkan dosa dan perbuatannya yang salah kepada alam. Mereka menyebut dosa yang dilakukannya sudah merupakan hukum alam. Orang-orang seperti ini terkadang menisbatkan dosa-dosa yang dilakukannya kepada Allah Swt. Mereka mengatakan bahwa kondisi kehidupan yang membuat mereka melakukan dosa dan kesalahan.

Bila orang-orang seperti ini mau sedikit saja berpikir, mereka pasti sampai pada satu kesimpulan bahwa manusia diciptakan bebas berkehendak. Yakni, ia bebas menentukan untuk melakukan satu pekerjaan atau tidak. Oleh karenanya, kondisi sulit kehidupan yang dihadapinya tidak pernah menafikan ikhtiar dari dirinya. Ia dalam kondisi paling sulitpun dapat melindungi dirinya dari perbuatan dosa. Karena tidak benar bahwa manusia terpaksa dalam melaksanakan pekerjaannya. Bila manusia terpaksa dalam perbuatannya, maka tidak bermakna Hari Kiamat, surga dan neraka.

Dengan melihat kenyataan ini, Imam Husein as menasihati agar jangan ada orang yang menisbatkan perbuatan dosanya kepada Allah. Seakan-akan yang menggerakkannya untuk berbuat dosa adalah Allah. Padahal dengan melihat ke dalam dirinya, dengan mudah ia mengetahui dirinya bebas berlaku. Itulah mengapa Imam Husein as mengatakan bahwa menisbatkan dosa kepada Allah merupakan kebohongan paling besar.

Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Nasihat Imam Husein as: Jangan Permalukan Dirimu


Imam Husein as berkata:

"Betapa memalukan bagi seseorang ketika engkau melihatnya menjatuhkan dirinya dari maqam yang tinggi ke posisi yang rendah. Ia begitu berharap melakukan perbuatan yang tidak patut dan tidak suka melakukan perbuatan baik." (Diwan al-Imam al-Husein as, hal 18)

Manusia merupakan ciptaan Allah Swt yang paling mulia. Allah menganugerahkan nikmat paling besar seperti akal kepada manusia. Allah juga mengirim para nabi untuk membimbing manusia. Dengan memanfaatkan dua nikmat ini; akal dan nabi, manusia dapat mencapai kesempurnaan dan meraih maqam yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari para malaikat serta memanfaatkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga di surga.

Betapa memalukannya bila manusia menghinakan dirinya dengan menjatuhkan dirinya dari maqam yang tinggi ini ke posisi yang rendah dengan mengikuti hawa nafsunya. Siapa saja yang telah tertawan oleh hawa nafsunya akan terlihat bermalas-malasan dalam berbuat baik. Sebaliknya, mereka begitu berharap untuk melakukan perbuatan buruk.

Sedemikian buruknya orang yang mengikuti hawa nafsunya, sehingga posisi mereka lebih rendah dari binatang, seperti yang disebut dalam al-Quran.

Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Imam Ali as dan Pertanyaan Usama bin Zuhair


"Sebelum kalian kehilangan aku, tanyakan apa saja yang tidak kalian ketahui. Karena dadaku penuh dengan khazanah rahasia. Ketahuilah, bila saya menginginkan, maka saya akan berbicara tentang setiap dari kalian, dari mana kalian berdiri dan akan pergi ke mana... dan saya akan mengatakan segalanya tentang kalian..."

Imam Ali as berulang kali menyampaikan ucapannya ini kepada masyarakat. Tujuannya untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohan dan dampaknya.

Satu kali Imam Ali as ingin mengulangi kembali ucapannya ini. Di antara yang hadir ada Usamah bin Zuhair. Ia berdiri dan berkata, "Wahai Ali! Katakan kepadaku, di wajah dan kepalaku ada berapa rambut yang tumbuh?!"

Ali as berkata, "Demi Allah! Saya mengetahuinya. Tapi apa yang harus kulakukan? Jawabanku juga tidak akan engkau terima. Sebelum ini saya telah menjawab pertanyaanmu dan saudaraku Rasulullah juga telah berkata kepadaku. Beliau berkata, 'Di setiap akar rambutmu, wahai Usama, ada malaikat yang senantiasa melaknatmu dan ada setan yang senantiasa menyesatkanmu' ... Alasan paling jelas dari ucapanku ini adalah anak yang engkau miliki di rumahmu. Ia akan membunuh keturunan Rasulullah Saw dan mengajak orang lain untuk ikut melakukannya."

Yang dimaksud Imam Ali as dengan anak di rumah itu adalah anak Usamah bin Zuhair yang masih menyusu dan setelah besar bergabung dengan bala tentara Ubaidillah bin Ziyad memerangi Imam Husein as. Anak Usamah ini nantinya yang mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk membunuh Imam Husein as dan ia sendiri ikut dalam perbuatan ini. Ia tidak lain adalah Hashin bin at-Tamim bin Usamah.

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat


Oleh: Mohammad Habri Zen

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”.
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena

 إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  

(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3]

dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih  tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6]

Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ‏ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.

Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …

Dari beberapa sahabat kamidari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah taarudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.


Rujukan:
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29

Lebih dari Empat Ribu Penghafal Al-Quran Hadir di Irak


Lebih dari Empat Ribu Penghafal Al-Quran Hadir di Irak dalam Agenda Tarbiah Ribuan
Agenda tarbiah ribuan penghafal Al-Quran dikenal sebagai salah satu program terbesar kebudayaan Irak, yang diprakarsai oleh Darul Quran makam suci Huseini setelah satu tahun dari berdirinya lembaga tersebut tengah berlangsung dengan diikuti lebih dari 4 ribu partisipan.

Agenda tarbiah ribuan penghafal Al-Quran dikenal sebagai salah satu program terbesar kebudayaan Irak, yang diprakarsai oleh Darul Quran makam suci Huseini setelah satu tahun dari berdirinya lembaga tersebut tengah berlangsung dengan diikuti lebih dari 4 ribu partisipan.

"Agenda kebudayaan ini yang tengah berlangsung ini, mendapat dukungan langsung oleh Ayatullah Mahdi Karbalai, pengurus makam suci Huseini, dengan tujuan berupaya untuk menghidupkan kebudayaan pokok Al-Quran di negara Irak dan diharapkan, di bawah panji rencana ini, akan terealisasi revolusi agung Al-Quran; sebagaimana sekarang ini makam suci Huseini dengan membuka pelbagai program Al-Quran di pelbagai negara, termasuk negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesa, sehingga gerakan kebangkitan agung Al-Quran ini dapat terealisasi dengan baik dan menghantarkannya menuju luar batas Negara Irak," demikian laporan IQNA, seperti dikutip dari Kantor Berita Darul Quran makam suci Huseini.

Dalam hal ini, makam Huseini baru-baru ini telah berupaya menjalankan program-program luar batasan Al-Quran dengan membuka cabang Darul Quran makam suci Huseini di Jakarta dan penyelenggaraan kursus Al-Quran tarbiah pengajar Al-Quran di Indonesia.

Lebih-dari-Empat-Ribu-Penghafal-Al-Quran-Hadir-di-Irak-dalam-Agenda-Tarbiah-Ribuan-Penghafal-Al-Quran.
Agenda tarbiah seribu penghafal Al-Quran juga dilaksanakan dengan tujuan internalisasi kebudayaan hafalan Al-Quran dalam masyarakat Irak secara umum, yang mana dengan berdasarkan hal ini, anak-anak kecil dan para remaja merupakan prioritas utama program-program Darul Quran Huseini.

Lebih-dari-Empat-Ribu-Penghafal-Al-Quran-Hadir-di-Irak-dalam-Agenda-Tarbiah-Ribuan-Penghafal-Al-Quran
Dengan demikian, Darul Quran makam suci Huseini di awal agenda ini telah memprogramkan penyelenggaraan pelbagai pendidikan hafalan untuk para pelajar dan mahasiswa, laki-laki dan perempuan di seluruh penjuru Irak dan sampai sekarang ini jumlah partisipan dalam agenda tarbiah seribu penghafal Al-Quran sudah mencapai 4264 orang dari pelbagai propinsi negara ini.

Lebih-dari-Empat-Ribu-Penghafal-Al-Quran-Hadir-di-Irak-dalam-Agenda-Tarbiah-Ribuan-Penghafal-Al-Quran
Menurut laporan ini, program-program hafalan Al-Quran untuk para partisipan dalam agenda yang beragam; sehingga sampai sekarang ini terdapat 614 orang penghafal lebih dari 10 juz dan separoh dari jumlah ini telah berhasil menghafalkan seluruh Al-Quran dan partisipan sisanya juga sedang menyelesaikan hafalan lengkap.
Lebih-dari-Empat-Ribu-Penghafal-Al-Quran-Hadir-di-Irak-dalam-Agenda-Tarbiah-Ribuan-Penghafal-Al-Quran

Demikian juga, sejalan dengan agenda ini dan dengan tujuan konsilidasi hafalan dan kelanggengan program hafalan, setiap tahun diselenggarakan musabaqoh hafalan dan tilawah Al-Quran dikalangan para partisipan dan dengan penyelenggaraan tour-tour ziarah dan rekreasi untuk para partisipan dalam agenda ini, program-program hafalan Al-Quran secara konsisten disertai dengan kelas-kelas tarbiah dan akhlak terus berlanjut dan akhirnya akan diberikan ijazah hafalan seluruh Al-Quran dengan afirmasi para marja' resmi Irak kepada para partisipan.

Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?



Al-HUSAYN, KARBALA DAN ASYURA
Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang-
Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur dari perut ibunya.
Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251, Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu.

Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,  Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantim, Abubakar dan Umar, Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam.
Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538.

Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku
Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur, mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.

Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58.

Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah
Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah
Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash.

Fatimah dicambuk.
Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk
Talkhis Syafi jilid 3 hal 156

Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang.
Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi hampir  meninggal dunia, sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah
Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1 hal 312.

Semenjak peristiwa Saqifah, begitu banyak serentetan peristiwa yang merupakan hari-hari kelam bagi Umat Islam. Termasuk peritiwa karbala, yang sepertinya sejarah telah menguburnya. Karbala, stigma terbesar dalam sejarah umat Islam, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Spekulasi bisa muncul, mengapa sejarah karbala tidak banyak disinggung oleh sebagian besar umat Islam. Yang muncul sekali-sekali lebih bertendensi kepada persoalan aliran dalam Islam daripada nilai kesejarahan dan faktualitas persoalan. Pada akhirnya yang muncul hanyalah politisasi sejarah. Untuk itu saya berusaha menghindari pemaparan sejarah atas satu pihak saja. Apalagi peristiwa karbala sangat sarat dengan tendensi yang mungkin akan menjebak saya pada pemahaman yang sempit atas sejarah itu sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan peristiwa karbala ?. Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?. Apakah peristiwa karbala semata-mata bertendensi pada Syiah, untuk itu harus dikubur dalam-dalam ?. Semuanya pasti punya jawaban sendiri. Dan menyinggung peristiwa karbala, beberapa ahli sejarah Islam menarik benang merah bahwa peristiwa karbala tidak terjadi spontanitas secara diskrit waktu. Tetapi peristiwa tersebut berkaitan erat dengan peristiwa Saqifah. Karena tidak mungkin bagi kita untuk mendiskusikan sejarah Islam semenjak peristiwa Saqifah hingga peritiwa karbala, maka saya hanya mengambil potongan sejarah setelah kematian Ali bin Abi Thalib.baca selengkapnya

Sejarah Khulafaur Rasyidin berakhir setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib. Sejarah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib meninggal setelah dua hari dari percobaan pembunuhan yang dilakukan kepadanya, tepatnya malam Ahad, 21 Ramadhan 40 H. Setelah kematian Ali, kepemimpinan berganti dengan diangkatnya Al-Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib, oleh orang-orang kuffah sebagai khalifah umat Islam pada saat itu. Tetapi di saat yang bersamaan, Mu’awiyyah, pendiri dinasti Umayyah dan bertindak sebagai gubernur pada saat itu, mulai menyebarkan berita dan propaganda yang isinya memihak Mu’awiyyah untuk menjadi khalifah. Banyak janji dan hadiah yang diberikan Mu’awiyyah bagi para pendukungnya. Tidak hanya itu, Mu’awiyyah juga menyebarkan berita bohong dan menjelek-jelekkan Ali beserta keluarganya dari sejak awal. Yang mungkin tidak terlupakan bagi Syiah ‘Ali adalah perintah Muawiyyah yang memerintahkan para Khatib pada setiap khotbah Jumat untuk mencaci-maki Ali dan bahkan harus mengkafirkannya. Begitu gencarnya propaganda Mu’awiyyah menyebabkan banyak sekali umat Islam yang memberikan dukungan kepadanya. Dengan dukungan yang luas, mulailah Mu’awiyyah datang ke Kuffah untuk memerangi Al-Hasan. Selanjutnya, terjadilah perang antara Al- Hasan dengan pasukan Mu’awiyyah. Namun sayang, banyak dari pasukan Al- Hasan yang berkhianat dan memihak pada Mu’awiyyah. Untuk mencegah pertumpahan darah yang semakin besar diantara kaum muslimin, Al-Hasan terdesak untuk menandatangani perjanjian damai dan membai’at Muawiyyah sebagai khalifah. Di dalam perjanjian tersebut ada beberapa permintaan Al-Hasan, seperti meminta Mu’awiyyah agar menghentikan perintah mencaci-maki ayahanda beliau dan Mu’awiyyah menyanggupinya . Akan tetapi setelah perjanjian itu, Mu’awiyyah justru melanggar janji dengan terus-menerus menyebarkan fitnah dan mencaci Ali. Sementara itu Al-Hasan justru dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya oleh Ja’dah Binti As’ats, istrinya sendiri.

Janji Mu’awiyyah kepada Al-Hasan tidak pernah dilaksanakan. Bahkan tidak kurang dari 70.000 mimbar di bawah kekuasaan Mu’awiyyah melakukan perintah mencaci Ali. Ia bertindak sewenang-wenang. Barang siapa yang mencoba untuk melakukan perlawanan, olehnya langsung dibunuh. Dan tidak pernah ada kebebasan mimbar di masa kepemimpinannya. Salah seorang gubernur yang ditunjuk Mu’awiyyah untuk memerintah kufah adalah Ziyad. Ia terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin. Suatu ketika Hujur bin ‘Ady dan sahabatnya memprotes kebiasaan mencaci Ali. Tetapi yang terjadi, Hujur justru dijatuhi hukuman mati. Ia juga memerintahkan memotong kepala Amr bin Hamk, dan mengarak kepala itu keliling kota, kemudian dilemparkan kepala Amr bin Hamk itu ke pangkuan istrinya.

Kebiadaban ini disaksikan langsung oleh Al Husein. Ia merasa tidak dapat diam begitu saja. Apalagi setelah ia dipaksa untuk membai’at Yazid, putra mahkota Mu’awiyyah. Karena bagaimana mungkin Al-Husein dapat membai’at seorang pemimpin bagi kaum muslimin bila ia pecinta arak dan gila wanita. Akhirnya Al-Husein memutuskan untuk meninggalkan kota madinah yang telah dikuasai oleh Mu’awiyyah. Dan pada tanggal 3 bulan Sya’ban tahun 60 H, Al-Husein sampai di Makkah. Sementara itu di Damaskus Mu’awiyyah meninggal dan secara langsung kepemimpinan digantikan oleh Yazid.

Mendengar kematian Mu’awiyyah dan penolakan Al-Husein kepada Yazid, orang-orang kuffah membulatkan tekad untuk melawan Yazid. Untuk itu mereka mengirim utusan untuk membawa surat kepada Al Husein. Setelah datangnya utusan tersebut kepada Al-Husein, Al Husein segera mengirim utusannya ke Kufah, Muslim bin Aqil. Tetapi disaat yang bersamaan, Yazid menggantikan gubernur kufah yang sebelumnya Nu’man menjadi Ibnu ziyad.

Setelah Muslim sampai ke Kufah, ia disambut dengan baik oleh penduduk kufah. Inilah yang membuat yakin Muslim bahwa penduduk kufah akan mendukung Al-Husein. Untuk itu Muslim mengirim surat kepada Al-Husein agar datang ke Kufah. Segera setelah penggantian itu, Ibnu Ziyad datang ke kufah. Kemudian mengumpulkan penduduk kufah untuk mengingatkan mereka agar patuh pada penguasa tunggal Yazid bin Mu’awiyyah. Ibnu Ziyad melakukan teror kepada penduduk kufah dan ternyata berhasil. Orang-orang kufah pun berbalik, justru mendukung Yazid. Sementara itu Muslim yang telah sampai di Kufah terlebih dahulu sebelum kedatangan Ibnu Ziyad ditangkap dan dijatuhi hukuman penggal.

Surat yang disampaikan Muslim telah sampai kepada Al-Husein. Dan berita kematian Muslim justru belum terdengar. Berangkatlah rombongan Al-Husein menuju kufah. Ketika rombongan Al-Husein sampai di Hijaz, ia mengutus Qays untuk memberitahu penduduk kufah bahwa kedatangannya beberapa hari lagi. Akan tetapi Ibnu Ziyad telah mengirimkan mata-mata, dan karenanya Qays digeledah dan dijatuhi hukuman mati. Al-Husein melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di Tsa’labiyah barulah Al-Husein mendengar kematian Muslim. Keadaan ini tidak membuat rombongan Al-Husein gentar. Mereka melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di sebuah dusun yang bernama Zabalah, Al-Husein mendengar kematian utusannya yang kedua, Qays.

Perjalanan tetap berlanjut. Dan sampailah rombongan Al-Husein di Zulhisam. Di Zulhisam, Al-Husein bertemu dengan utusan Ibnu Ziyad, Hurr bin Yazid yang dikawal dengan 1000 pasukan berkuda. Al-Hurr menyampaikan maksudnya bahwa ia diperintahkan untuk membawa Al-Husein ke kufah.

Pada tanggal 2 Muharram rombongan Al-Husein sampai di sebuah lapangan yang bernama Karbala. Tanggal 3 Muharram Ibnu Ziyad mengirimkan 4000 tentara untuk memperkuat Al-Hurr. Dan 500 tentara berkuda diperintahkan untuk menutup saluran air dengan maksud agar pengikut Al-Husein kehausan. Keesokannya mulailah Al Husein mengatur pasukannya. Dengan 32 orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, selebihnya anak-anak dan wanita, melawan pasukan Umar bin Sa’ad yang berjumlah 5000 dengan senjata lengkap. Berlangsunglah pertempuran itu hingga satu-persatu pasukan Al-Husein gugur. Satu kejadian yang paling kejam adalah ketika seorang bayi kecil yang menangis kehausan membuat iba Al-Husein dan ia menunjukkan kepada musuh untuk memberikan air minum. Yang terjadi justru bayi itu dipanah oleh salah seorang anggota pasukan Umar bin saad dan tepat mengenai perut bayi itu. Pertempuran yang sangat tidak seimbang terus berlangsung hingga Al-Husein pun gugur sebagai Syuhada pada tanggal 10 muharram 61 H setelah kepalanya di penggal oleh Syamir Zul Tawisyan. Berakhirlah perang tersebut dan pada tanggal 11 muharram 61 H, sebanyak 72 kepala ditancapkan di atas tombak. Sementara dibelakangnya diseret para wanita dan anak-anak.

Beberapa kaum muslimin sering mengenang kesyahidan Al-Husein, pada tanggal 10 muharram, yang sering di kenal dengan hari Asyura. Mengenang kegigihan Al-Husein bukanlah semata-mata mengagungkan perjuangan Al-Husein beserta pengikutnya. Tetapi Asyura juga mengingatkan kita akan ketidakberanian kaum muslimin pada saat itu untuk menentang rezim. Sampai saat ini pun kaum muslimin belum berani mengambil barisan terdepan melawan rezim. Wajar bila kaum muslimin saat ini belum dapat diharapkan untuk menjadi lokomotif umat manusia. Tidak hanya itu, Muawiyyah-Mu’awiyyah baru pun juga mulai banyak muncul. Mereka muncul dengan propaganda, topeng, dan fitnah atas nama Allah. Atau mungkin dengan mengubur sejarah dan identitas yang dibungkus ‘apologia sejarah’.

Akhirnya apapun yang saya tulis di sini tentunya ada yang mengalami distorsi. Tetapi banyak analisa yang lebih mendalam mengenai Asyura. Beberapa kajian di antaranya mencoba menghadirkan realitas sosial-politik masyarakat Arab pada saat itu dan bukan sekedar peristiwa karbala. Sehingga dalam hal ini sangat penting bagi saya untuk memberitahukan beberapa literatur sejarah yang saya pakai. Beberapa diantaranya yaitu :
1. Khilafah dan kerajaan , oleh Abul A’la Maududi
2. Kerugian dunia karena kemunduran umat Islam, oleh Abul Hasan an-Nadwi
3. Sejarah umat Islam II, oleh Prof DR. Hamka
4. Khulashah Nurul yaqin, oleh Umar bin Abdul Jabbar
5. Berbagai penyimpangan politik dalam dinasti Bani Umayyah, oleh Abu Riza
6. Tarikh al Umam wa al-Muluk, juz 6, Darul Fikr, oleh Abu Ja’far Al-Thabari
8. Hayat al-Husain, Abdul Hamid Jaudah Al-Sakhar.
9. A Probe Into History of Ashura, Dr. Ibrahim Ayati

Aku tetap akan meneruskan langkahku
Sebab bagi seorang pemuda, mati itu bukan sesuatu yang memalukan
Apabila kebenaran menjadi niatnya dan berjuang sebagai seorang muslim
Kalau aku tetap hidup, aku tak pernah menyesal
Dan kalau aku mati, aku tidak menderita
Cukuplah untuk disebut dengan kehinaan,
bila engkau tetap hidup, tapi dihinakan- Syair Al-Husein
Maqtal Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib
Shallallahu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaika ya Mazlum bi Karbala
Shallallahu ‘alaika ya Syahid bi Karbala
Salam sejahtera bagimu ya Aba ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali (as.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Rasulullah (saw.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Fatimah az-Zahra. (as.)

baca selengkapnya
Pertama-tama marilah kita dengar beberapa sabda Nabi Muhammad saw. tentang Husain “Husainun minni wa ana min Husaini. Ahabballah man ahabba Husaina. Husain sibthun minal asbath. “
(Husain adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu istimewa dari cucu-cucuku”.
Hadis lain, “Innal Hasana wal Husain Sayyida syababi Ahlil Jannah”, Sungguh Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga.

Ibnu Hajar mencatat dalam kitabnya at-Tahzib riwayat Ummu Salamah,: “Suatu hari Hasan dan Husain sedang bermain di rumahku, di hadapan datuknya Rasulullah saw. Tidak lama berselang, malaekat Jibril datang. Dia berkata sambil menunjuk ke arah Husain, “ya Muhammad, kelak ummatmu akan membunuh putramu ini. Mendengar itu Nabi kemudian menangis. Dipanggilnya Husain dan dipeluknya erat-erat ke dadanya. Kemudian Nabi memanggilku, kata Ummu Salamah, dan memberiku sebongkah tanah. Setelah mencium bongkahan tanah itu, Nabi berkata, “ya Ummu Salamah, di tanah ini ada bau Karbun wa Bala’. Kelak apabila ia berubah menjadi darah, ketahuilah bahwa di saat itu putraku ini syahid bermandikan darah.’
Lima puluh tahun setelah wafat baginda Rasulullah saw, tepatnya tanggal10 Muharram tahun 61 Hijriah, tragedi Karbala yang diucapkan oleh Nabi tersebut menjadi kenyataan. la bermula dari keengganan Husain as. untuk memberikan bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah sepeninggal ayahnya.

Kepada al-Walid, gubernur Madinah, Imam Husain berkata, ” Ayyuhal Amir! Kami adalah Keluarga Nabi, Tambang Risalah, Tempat Kunjungan para malaekat, dan pusat rahmat Illahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at…”

Ketika Husain didesak oleh orang-orang Mu.awiyah, terutama oleh Marwan bin Hakam, seorang yang dikatakan oleh Nabi sebagai al-la’in ibnul la’in, dengan nada yang tinggi Husain berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Apabila bai’at ini diberikan kepada Yazid, itu berarti pengkhianatan kepada agama Islam. Bagaimana mungkin ummat ini akan dibiarkan dipimpin oleh orang seperti Yazid.” Husain kemudian berkata: ‘Wahai musuh Allah! Enyahlah engkau dariku. Kami adalah keluarga Rasulullah. Kebenaran ada pada kami. Dan al-haq pasti keluar dari lisan kami. Kudengar sendiri N abi bersabda, “Hak Khilafah adalah haram bagi keluarga Abu Sufyan dan bagi at- Thulaqa. ibnut Thalaqa., (yakni anak keturunan para tawanan Makkah kalian lihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, maka tikamlah perutnya. Demi Allah penduduk kota Madinah telah melihat Mu’awiyah duduk di atas minbar datukku, dan mereka tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Nabinya. Itulah kenapa akhimya mereka ditimpakan oleh Allah bencana anaknya Yazid, Zadahullah fin nari ‘adzaban, (semoga Allah lebih menimpakan adzab yang pedih kepadanya di api neraka).

Suasana mencekam di kota Madinatur Rasul karena ancaman Yazid atas nyawa Husain menyebabkan Husain berpikir untuk pergi ke kota Mekah. Sebelum pergi, Husain as. berkunjung ke pusara datuknya di tengah malam gulita, sambil berkata:
Assalamu ‘alaika ya Rasulallah!
Anal Husain ibnu Fathimah. Ana Farkhuka
wabnu Farkhika…

Salam sejahtera kepadamu wahai Rasulallah Aku adalah Husain putranya Fatimah. Aku adalah anakmu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang kautinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabi Allah bahwa mereka telah menghinaku dan mengabaikan hak-hakku serta tidak memeliharaku. Inilah keluhanku kepadamu hingga kelak aku berjumpa denganmu…”

Kemudian Husain berdiri shalat, ruku’ dan sujud sepanjang malarnnya di samping pusara kekasihnya Rasulullah saw. Usai shalat Husain berdo’a:
Allahumma! Inna hadza qabru nabiyyika Muhammad… YaAllah! Ini adalah pusara Nabi-Mu Muhammad, sementara aku adalah putra dari putrinya Muhammad. Engkau Mahatahu derita yang apa kini datang kepadaku. Allahumma ya Allah! Sungguh aku cinta pada yang ma’ruf dan benci pada yang munkar. Aku bermohon kepada-Mu ya Dzal Jalali wal Ikram, demi pusara ini dan demi penghuninya, agar Kau pilihkan untukku sesuatu yang di dalarnnya Kau redha padaku.””

Menjelang subuh, Husain kemudian meletakkan kepalanya ke pusara datuknya. Di sana kemudian ia sejenak tertidur. Dalam tidur itu ia melihat datuknya datang dengan serombongan malaekat kepadanya. Dipeluknya Husain erat-erat ke dadanya. Diciumnya antara kedua matanya. Kemudian Nabi berkata, “Wahai putraku Husain! Sepertinya sebentar lagi kau akan terbunuh dan tersembelih di sebuah tempat dan bumi karbun wa bala’. Di sana kau dikepung oleh sekumpulan orang dari ummatku, dalam keadaan kau haus dan tidak diberi air minum. Tapi mereka masih mengharapkan syafaatku di hari kiamat. Demi Allah, kelak aku tidak akan memberi mereka syafaat di hari kiamat…”

Setelah kunjungan terakhir ke pusara Rasulullah saw., Husain kemudian berangkat ke kota Mekah bersama seluruh anggota keluarganya. Syaikh Mufid meriwayatkan, di saat Husain meninggalkan kota Mekah, Husain membaca ayat yang ada dalam surah al-Qashas (28) ayat 21, “fa kharaja minha khaifan yataraqqabu, qala rabbi najjini minal qaumidz dzalimin…” (Maka (Musa) keluar dari (kota) itu dengan ketakutan seraya berhati hati. Dia berkata, “ya Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.)

Husain tiba di kota Mekah pada tangga13 Sya’ban tahun 60 H. Di sana beliau dan keluarganya menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan Dzulkaidah.

Sepanjang empat bulan itu Husain berjumpa dengan sebagian dari sahabat-sahabat Rasul yang masih hidup tak terkecuali Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan sebagainya. Kepada mereka Husain sampaikan niatnya untuk tidak memberikan bai’at sedikitpun kepada Yazid, meskipun untuk itu ia akan berhadapan dengan kekerasan. Ketika sebagian dari mereka menasehati Husain untuk berdamai saja dengan Yazid, Husain malah menjawab, “Apakah aku akan berikan bai’at kepada Yazid dan berdamai dengannya, sementara Nabi saw. telah berkata sesuatu yang jelas tentangnya dan tentang ayahnya.”

Ibnu Umar mendesak Husain agar pulang saja ke kota Madinah untuk menghindari pertumpahan darah. ‘fidak perlu Husain memberikan bai’at, tapi juga jangan menentang Yazid. Sebab wajah semulia Husain tidak layak ditumpahkan dan mandi bersimbahkan darah di hadapan Yazid al-mal’un. Tapi Husain menjawab ajakan Ibnu Umar dengan kata-katanya yang terkenal: . “Ya Ibnu Umar! Mereka tidak akan membiarkan aku begitu saja. Mereka akan tetap memaksaku membai’atnya atau membunuhku. Dengarkan baik-baik wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi Allah adalah sebuah tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria dipenggal oleh kaurnnya dan kemudian ia dijadikan sebagai hadiah yang diberikan kepada pemimpin mereka yang zalim. Padahal kepala itu berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujahnya di hadapan mereka semua. Wahai hamba Allah! Jangan engkau lari dari membelaku. Ingatlah aku di saat-saat shalatmu. Demi Allah yang telah membangkitkan datukku Muhammad sebagai Nabi yang bashiran wa nadzira, seandainya ayahmu Umar bin Khattab hidup di zaman ini, niscaya dia akan membelaku seperti dia membela datukku. Wahai putra Umar! Apabila engkau tidak bersedia keluar bersamaku dan berat bagimu ikut bersamaku, maka itu kumaafkan. Namun jangan lupa untuk mendoakan aku setelah shalat-shalatmu. Jauhi mereka dan jangan kau berikan bai’at kepada mereka sampailah segala perkara menjadi jelas.”

Selama Husain berada di Mekah, ratusan bahkan ribuan surat datang kepadanya dari arah Kufah, Bashrah dan sekitarnya memintanya segera datang ke sana untuk dijadikan sebagai Imam mereka dalam menumbangkan kezaliman Yazid.

“Innahu laisa ‘alaina Imam. Fa aqbil la’allaha an yajma ‘ana bika ‘alal haq”, (Kami tidak punya Imam. Datanglah ke mari. Mudah-mudahan Allah akan menyatukan kami denganmu di atas jalan kebenaran)” Begitu yang mereka tulis kepada Imam Husain.

Pada tanggal delapan Dzulhijjah tahun 60 H. Husain meninggalkan kota suci Mekah menuju Irak. Malam sebelumnya ia sempat berjumpa dengan saudaranya Muhammad bin al-Hanafiah. Saudaranya ini mengusulkan kepada Husain agar pergi saja ke tempat lain yang lebih amman, ke Yaman misalnya. Namun Husain meminta waktu untuk memikirkannya. Pada pagi harinya ketika ia berjumpa kembali dengan Husain, Muhammad al-Hanafiah menuntut janji jawaban Husain. Husain kemudian berkata, “Wahai saudaraku! Setelah kita berpisah tadi malam, aku berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Katanya, “ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an yaraka qatilan” (ya Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki melihatmu terbunuh (di jalan-Nya). “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…” Gumam Hanafiah.

Hari kesepuluh dari bulan Muharram tahun 61 Hijriah, adalah hari yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak. Di hari itu pasukan Husain yang berjumlah lebih kurang 78 orang telah dihadang oleh tak kurangdari 30,000 pasukan yang berkuda dan bersenjata lengkap untuk siap membantainya dan menawan putra-putrinya.Di sisi lain, air sungai Furat yang terbentang panjang dan menghidupi makhluk-makhluk padang Karbala, hatta anjing sekalipun, pada hari itu diharamkan bagi putra- putri Nabi yang suci ini.

Sejak pagi Asyura Imam Husain berupaya menyadarkan mereka untuk tidak memerangi keluarga Nabi ini. Dia berusaha maksimal untuk menghentikan petumpahan darah yang akan berakibat fatal bagi kehidupan mereka setelahnya. Sampai-sampai Husain berteriak lantang, “

“Ayyuhan nas! Dengarlah kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri
kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan putra washinya,
orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di syurga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda syurga?”
Kata-kata Husain tidak banyak mengusik hati mereka yang telah beku. Tapi Husain terus berupaya maksimal untuk menyentuh hari nurani mereka. Sampai beliau berkata secara emosional,
“Ayyuhan Nas, ama min mughitsin yughitsu ‘anna…, apakah masih ada orang yang mau membela kami keluarga Rasul. Apakah masih ada orang yang mau menolong kami sebagai keluarga Rasul? Apakah salah kami? Apakah dosa anak-anak dan wanita kami sehingga kalian haramkan mereka dari air Furat itu?
Kata-kata Husain terakhir tiba-tiba mengusik perasaan al-Hur bin Yazid ar-Riyahi, salah seorang dari pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Sejenak ia mundur dan mencari tempat yang tepat, akhirnya ia menyebat kudanya untuk bergabung bersama Husain. Al-Hur dengan suara yang penuh sesal berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bertaubat? Kumohon maafmu ya Husain, karena telah menakut-nakuti hati para kekasih Allah dan putra-putri Nabi Allah” “Na’am. Taballahu ‘alaika. Semoga Allah menerima taubatmu ya Hur. Kata Husain, “Anta hurrun kama waladatka ummuka hurra. Khawatir sahabat-sahabat lain menyusul Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad, pimpinan pasukan musuh melesatkan anak panahnya ke arah Husain sebagai tanda dimulainya perang. Sambil berteriak Umar berkata: “Saksikan di hadapan Amir bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan anak panahnya kepada Husain.” Dan berikutnya ribuan anak panah dilesatkan ke arah Husain, keluarganya dan sahabat- sahabatnya.
Peperangan yang tidak seimbangpun berkobar. Sahabat Husain satu demi satu maju dan kemudian gugur, disusul pula oleh keluargnya. Orang pertama adalah putranya yang bemama Ali al-Akbar, seorang anak remaja yang mempunyai wajah yang betul-betul mirip dengan wajah datuknya Rasulullah saw.
Melihat putranya ini Husain terisak menangis. Dipeluknya erat-erat putra kesayangannya ini. Sambil mengangkat janggutnya yang telah memutih, Husain berdo’a, “ya Allah, saksikanlah betapa tega dan kejamnya kaum ini. Muncul di hadapan mereka seorang yang mempunyai wajah, sifat dan kata-kata yang sangat mirip dengan Rasul-Mu Muhammad. Bahkan ketika kami rindu kepada Rasul-Mu, kami akan memandangi wajah anak ini. Ya Allah, haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Porak- porandakan mereka. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami, tiba-tiba mereka jugalah yang memusuhi kami dan memerangi kami.”

Ali al-Akbar maju ke medan perang dengan sangat tangkas sehingga mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya Ali bin Abi Thalib as. Riwayat berkata, setelah lebih dari seratus orang tewas di tangannya, Ali kembali ke kemah ayahnya dengan luka-luka yang cukup banyak. Dia berkata, “Ya abatah, (duhai ayahanda yang mulia), haus, haus. Rasa haus benar-benar telah mencekikku sehingga terasa benar beratnya besi ini.Adakah sedikit air yang bisa memberiku sedikit tenaga?’

Husain memeluk erat putra kesayangannya ini. Sebentar kemudian dia julurkan lidahnya yang suci ke mulut anaknya yang suci. “Demi Allah, lidah Husain sendiri lebih kering dari ranting-ranting yang kering hadapan yang ada di padang Karbala.” Husain berkata, “Sebentar lagi kau pasti akan berjumpa dengan datukmu Muhammad yang tengah menunggumu dengan segelas air dari telaga al-kautsar. Bersabarlah wahai putraku, bersabarlah…”

Ali al-Akbar kembali ke medan perang. Gerak- geriknya diperhatikan oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Tak lama berselang, tiba-tiba Husain menyaksikan bagaimana anak yang masih muda ini ditikam oleh musuh-musuhnya dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, menusuk dadanya, menikam perutnya, bahkan ada yang melemparkan anak panahnya sehingga jatuh persis ke lehemya. Ali al-Akbar sempat berteriak memanggil-manggil ayahnya,” ya abatah (duhai ayah)’alaika minnis salam. Kini kusaksikan datukku Rasulullah saw, mengucapkan salam kepadamu dan memintamu agar segera datang menemuinya…” Husain mendatangi putranya ini sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke setiap orang yang menghalanginya. Husain memeluk wajah Akbar yang bersimbahkan darah suci. Husain berkata, “qatalallahu qauman qataluka ya bunayya…, semoga Allah membunuh suatu kaum yang telah membunuhmu wahau putraku. Alangkah beraninya mereka terhadap Allah; dan alangkah nekatnya mereka menganiaya keluarga Rasulullah Sungguh, wahai putraku, apalah artinya dunia ini bagiku setelah kepergianmu…”

Kini giliran Husain, tapi sebelum itu dia minta dibawakan bayinya Ali ar-Radhi’. Maksud Husain adalah ingin mencium dan memeluk sebagai pertemuan terakhirnya. Sambil memegang bayi yang tak berdosa ini, Husain terus berteriak:
Apakah masih ada orang bertauhid yang masih takut kepada Allah. Apakah masih ada orang yang mau
menolong kami. Apakah masih ada orang yang mau membela keluarga Rasulullah.
Tengah Husain memeluk dan ingin mengecup anak yang suci ini, tiba-tiba Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke arah leher Ali ar-Radhi’. Demi Allah, anak panah itu menembus lehemya.
Pekikan suara Ali ar-Radhi’ sangat menyayat hati. Husain menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya betapa kejamnya manusia-manusia durjana itu.

Kini Husain benar-benar sendirian. Seluruh keluarga dan sahabatnya gugur syahid satu persatu di hadapannya. Dia berdiri sendirian di kemahnya yang semakin kosong. la bergumam menyebut-nyebut kebesaran Asma’ Allah. Sekali- sekali Husain melihat kemah putri-putrinya, kemudian ia menatap kembali lautan musuh yang tengah menanti untuk menyergapnya. Akhimya Husein melangkahkan kakinya mendatangi kemah wanita untuk melihat putri-putri Fatimah az-Zahra’ as. Suara Husain kini tidak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak menahan napas panjang. Kerongkongannya kering dan panas. Dengan suaranya yang parau dan terbata- bata, dia memanggil satu persatu putri-putri Fatimah az-Zahra’:
” Assalamu alaiki ya Sakinah! Terimalah salamku wahai Sakinah.” ” Assalamu alaiki ya Fatimah! Terimalah salamku wahai Fatimah:’ ” Assalamu Alaiki ya Zainab! Terimalah salamku wahai Zainab.” ” Assalamu Alaiki ya Ummu Kalthum! Terimalah salamku wahai Ummu Kalthum.”

Sakinah yang kecil memeluk erat tubuh ayahnya yang kini kesendirian itu.
“Ya abatah. Ayah! Apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan pergi meninggalkan kami? Apakah ini pertanda perpisahanmu dengan kami?” Husain merangkul putrinya yang mungil ini sambil berbisik:
” Wahai putriku Sakinah! Apakah mungkin maut tidak menjemput orang yang tidak ada pembela dan kesendirian ini. Bersabarlah putriku! Usaplah air matamu. Bersabarlah, kau akan lebih banyak lagi menangis setelah kematianku. Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku meninggalkan badan ini. Kelak setelah aku gugur, menangislah putriku dan menangislah!” Husein memeluk satu persatu putri-putrinya yang tidak berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang bersamanya di Karbala, Zainab dan Ummu Kaltsum. Kemudian dia datang memeluk Ali Zainal Abidin yang sedang berbaring lantaran sakit keras. Mas’udi dalam kitabnya Ithbat al-Washiyyah meriwayatkan, Husain kemudian berwasiat kepada putranya yang sedang sakit ini al-Ism al-A’zam dan peninggalan-peninggalan waris para Nabi. Kemudian Husain juga menyampaikan bahwa ia telah menitipkan ilmu-ilmu, kitab-kitab, mushaf-mushaf dan senjata warisan kepada Ummu Salamah r.a.

Usai pamit dengan keluarganya tercinta, Husain kemudian menunggang kudanya yang membawanya berhadapan dengan musuh-musuhnya yang berjumlah lebih dari tiga puluh ribu serdadu. Husain masih berupaya untuk menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Husain masih tetap ingin meyempumakan hujjahnya kepada orang- orang yang sepertinya sudah ditutupkan oleh Allah hatinya. Tapi hati mereka tak bergeming.

Tiba-tiba Umar bin Sa’ ad berteriak:
“Celaka kalian! Tahukah kalian dengan siapa kalian berperang? Inilah putra singa orang-orang Arab. Inilah putra Ali bin Abi Thalib. Serang dia dari berbagai sisi.”
Perintah Umar bin Sa’ ad kemudian diikuti dengan lemparan empat ribu anak panah yang dilesatkan
untuk menembak Husain.

Dengan gagahnya Husain tetap berdiri kokoh, walaupun sebagian anak panah mengenai badannya yang mulia. “Kalian mengancamku dengan maut; kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah mati adalah lebih mulia ketimbang harus tunduk pada kezaliman. Syahid di jalan Allah lebih mulia ketimbang tunduk pada kehinaan. Husain berkata:
Mati lebih utama ketimbang melakukan keaiban dan lebih utama daripada masuk ke dalam api neraka akulah Husain putra Ali tidak pemah mundur dalam membela kebenaran. Kukan pertahankan keluarga ayahku. Kukan teruskan berjalan di atas agama sang Nabi.

Peperangan yang tak seimbang antara Husain dengan pasukan Umar bin Sa’ ad sudah tak terelakkan lagi. Tidak sedikit dari kalangan pasukan Ibnu Sa’ ad yang tewas di tangan Husain.

Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husain kemudian duduk ingin sejenak beristirahat. Riwayat berkata, tiba-tiba Abul Hatuf membidikkan panahnya yang kemudian jatuh persis mengenai dahinya Husain. Dengan tangannya yang mulai putranya lemah, Husain berupaya mencabut anak panah itu perlahan-lahan. Dahi Husain yang sering digunakannya untuk bersimpuh sujud di hadapan al- Khaliq, kini menyemprotkan darah suci dan segar tentang pada pasir Karbala. Wajah Husain berubah merah. Janggutnya yang putih kemilau kini bermandikan darahnya yang segar. Husain berkata:
Ya Allah! Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambaMu yang durhaka ini
terhadapku.
Ya Allah, hancurkan mereka, habisi mereka, dan jangan Kausisakan satupun dari mereka di atas muka bumi ini, dan jangan juga Kauampuni mereka.

Husain kemudian berdiri lagi meneruskan perlawanannya sampai kemudian dia merasa keletihan lagi. Sejenak ia beristirahat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan ke arah dahinya dan persis mengenai lukanya. Darahnya yang suci kini lebih banyak mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Husain meringis kesakitan. Luka-luka yang mengenai tubuhnya membuatnya tak berdaya. Imam Husain kemudian mengangkat tangannya untuk mengambil ujung bajunya guna mengusap darah yang mengalir di dahinya. Tiba-tiba sebatang anak panah beracun yang bermata tiga dibidikkan persis ke arah dadanya. Dada Husain luka. Jantung Husain robek. Anak panah tembus sampai ke belakang Husain. Husain menundukkan kepalanya sambil memegahg-megang dadanya yang memancurkan darah segar Nabi yang mulia. Dengan suara yang terbatah-batah Husain berdo’ a:
Dengan Asma’ Allah
dengan bantuan Allah
dan di atas agama Rasulullah
Ilahi, Engkau Mahatahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra NabiMu yang masih ada di atas muka bumi ini.

Husain kemudian mencabut anak panah itu dari belakangnya, yang kemudian memuntahkan darah segar nan suci. Perawi berkata, Husain kemudian menampung darah-darahnya itu dengan kedua tangannya, lalu dilemparkan ke arah langit. Demi Allah! Tidak setetespun dari darah itu kemudian kembali ke bumi.
Kemudian Husain menampung lagi darah yang masih mengalir deras dengan kedua tangannya. Kemudian ia usap-usapkan ke wajahnya, janggutnya, dan tubuhnya sambil berkata:
Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah saw dalam keadaan badan ini bersimbah darah Kelak akan kukatakan kepadanya bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan. Melihat Husain tergeletak lemah, Umar bin Sa’ ad berteriak, “Turun kalian dan penggallehemya…” Maka turunlah sebagian makhluk-makhluk durjana itu untuk menghina Husain. sebagian memukuli amamah atau sorban Husain sampai kepalanya luka; sebagian menusukkan pedangnya ke perut Husain; sebagian yang lain menyabetkan pedangnya ke punggung Husain. sedemikian buruk perlakuan mereka kepada Husain yang sudah jatuh lemah itu, sampai Imam Baqir as. berkata, “Hatta kepada anjingpun, mereka dilarang memperlakukannya seumpama itu. Husain telah ditusuk dengan pedang, dipukul dengan tombak, dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat; bahkan dinjak- injak dengan kuda…”

Tidak sekedar itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ ad masih belum puas. Dendam Ibnu Ziyad terhadap Husain masih belum tuntas. Meskipun Husain kini telah tergeletak layu bersimbah darah, dalam keadaan badan nyaris tidak lagi bemyawa, mereka kobarkan api permusuhan sedalam-dalamnya terhadap Husain.

Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk turun menghabisi Husain. Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husain masih terengah-engah meminta air. “Sungguh, aku haus, aku Husain haus!” Kata Husain. Syimir kemudian menendang dengan sepatunya yang keras. Dengan suaranya yang keras dia berkata, “Wahai putra Abu Turab! Bukankah engkau berkata bahwa ayahmu akan memberi air di telaga al-kautsar kepada orang yang dicintainya. Mintalah dari ayahmu…!” Syimir kemudian duduk di dada Husain. Dia pegang janggut Husain yang sudah bermandikan darah. Dengan senyum Husain berkata kepada Syimir, “Apakah engkau tidak kenal aku dan akan membunuhku?” Syimir menjawab, “Ya, Aku mengenalmu dengan baik. Ibumu Fatimah az-Zahra’; ayahmu Ali al-Murtadha, dan datukmu Muhammad al-Mustafa, pembelamu adalah Allah Ta’ala. Aku tidak perduli semua itu…”

Dalam sebuah riwayat, Syimir berusaha memenggal leher Husain dari arah depan. Namun dia gagal. Kemudian dia membalik Husain dengan sangat kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husain…” setiap kali urat leher Husain terpotong, Husain berteriak, “Wa abatah, wa ummah, wa jaddah, wa ‘aliyyah (duhai ayah, duhai ibu az- Zahra’, duhai datukku Mustafa dan duha ayahku Ali…”

Riwayat berikutnya kemudian berkata,
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas setiap barang yang ada di tubuh Husain yang mulia. Bahar bin Ka’ab melucuti celana Husain; Akhnas bin Marthad menarik sorban. Husain; Aswad bin Khalid merampas sandal Husain; Umar bin Sa’ ad mengambil baju perang Husain; Jami’ bin al-Khalq merebut pedang Husain. Yang lebih tragis lagi, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husain. Kata perawi, semula Bajdal mencoba keras menarik-narik cincin Husain. Tapi dia tidak berhasil. Kemudian dia mengambil jalan pintas. Dihunuskan pedangnya ke arah jari-jari Husain, dan … karena sepotong cincin, ia potong jari Husain.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

Ruh; Dimensi Lain Manusia


Oleh: Abdullah Nasri

Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia? Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan  materiel, atau juga membawa hakikat selain materi? Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya? Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan? Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau sebelumnya? Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak?

Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat berikut ini:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian  bersyukur.[1]

Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan melihat.

Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.

Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah menyempurnakan  kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.[2]

Dua poin penting yang ada dalam dua ayat di atas adalah Allah mengatakan,  “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud yang lain lagi?
Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri. Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah rakyat.

Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:
Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya.[3]

Ayat di atas menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia  tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu,  maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.

Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia memperoleh konsep-konsep universal (intiza’-e mafahim-e kulli). Maksud dari universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa diaplikasikan pada banyak objek.  Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husan, Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya.

2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.


Hubungan Ruh dengan Badan
Dalam pembahasan ruh (nafs) ada pertanyaan, “apa hubungan badan dengan ruh? Apa pendapat al-Quran dalam masalah ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ruh dan badan adalah dua hakikat yang berpisah di mana antara keduanya terdapat dualisme, atau al-Quran mengakui pendapat yang lainnya lagi?”
Dalam sejarah filsafat,  Descartes dan pendukungnya memaparkan teorinya bahwa ruh dan badan adalah  dua substansi yang berbeda. Yakni jasmani adalah sesuatu dan ruh adalah sesuatu yang lain lagi. Dan manusia adalah hakikat yang tersusun dari dua paduan yang berbeda. Decart mengatakan bahwa sifat aslinya badan adalah perpanjangan, perluasan. Dan sifat aslinya ruh adalah berpikir. Tentunya, Descartes mengakui bahwa antara badan dan ruh, terdapat suatu hubungan, dan yang menghubungkan keduanya adalah kelenjar (pineal gland) yang ada dalam otak.

Teori lain mengatakan bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh itu sendiri. Wujud manusia bukan komposisi dari badan dan ruh. Yakni, wujud manusia adalah ruhnya itu sendiri, bukan ruh sebagai satu bagian dari wujud manusia. Oleh karenanya, berdasarkan teori ini, antara ruh dan badan ada sejenis hubungan yang disebut dengan hubungan taktis (ertebat-e tadbiri), yang di dalamnya badan sebagai alat dan ruh sebagai pengelola.

Ayat di bawah ini menunjukkan bahwa al-Quran mengakui bahwa wujud manusia sebagai ruh itu sendiri.
Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi mencabut nyawamu akan mematikan kalian (yatawaffakum: mengambil kalian secara keseluruhan)  kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.[4]

Kata “tawaffa” artinya adalah mengambil, dan mengambil secara penuh. Ayat di atas mengatakan bahwa malaikat pencabut nyawa akan mengambil dasar wujud manusia. Kalau memang ruh adalah satu bagian dari wujud manusia, al-Quran tidak mengatakan: “yatawaffakum”, tetapi ia akan mengatakan: “yatawaffa ba’dhakum”. Mengambil sebagian dari kalian berbeda dengan mengambil kalian secara keseluruhan.
Maka dari itu, mengingat bahwa malaikat maut akan mengambil ruh manusia; bukan mengambil badannya. Dan ayat tersebut juga mengatakan bahwa malaikat akan mengambil kalian secara keseluruhan. maka itu jelas bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh, bukan badan. Dengan melihat ayat berikut ini, akan kita dapatkan bahwa wujud manusia adalah ruh, bukan badan.


Jika kamu melihat orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan maut dan para Malaikat merentangkan tangan-tangannya seraya berkata ‘keluarkanlah ruh kalian!’ di hari ini kalian akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar dan kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.[5]

Dua poin penting dalam ayat tersebut adalah kalimat “keluarkanlah ruh kalian” dan kalimat “hari ini kalian akan dibalas” (tujzauna), yang menunjukkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya, dan pembalasan siksa itu berlanjut, maka yang disiksa adalah ruh, karena badan manusia akan rusak dan binasa dengan kematian, ketika itu ia tidak menanggung siksa di alam barzakh.


Bagaimana Kejadian Ruh?
Terdapat banyak teori berkaitan dengan cara kejadian ruh. Hanya saja, di sini kami akan  membahas dua teori yang penting.
1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut (metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut.

2. Teori Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra. Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi, juga tidak turun dari alam malakut ke alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi dari evolusi substansial materi (takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan lain, ruh manusia muncul dari gerak substansial yang disebut dengan nafs natiqah (ruh yang berakal) dan ia abadi dan tidak musnah sepeninggal badan. Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari evolusi natural. Oleh karena itu, kejadian ruh demikian ini disebut dengan jismaniyatul hudus.

Di sini kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini yang diterima oleh al-Quran? Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga memaparkan pendapatnya? Dengan mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran menerima teori  ‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. 

Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6]

Al-Quran melanjutkannya demikian:
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di atas digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana jika kita teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik.
Penjelasannya adalah dua lafaz ini memiliki selisih yang sangat dekat sekali. Artinya, jika selisih antara tahapan hanya dari segi sifat atau selisih substansinya dekat sekali, seperti selisih antara tahapan gumpalan darah dengan gumpalan daging, dan gumpalan daging dengan tulang belulang maka yang digunakan adalah lafazd ‘Fa’.

Sedangkan selisih antara saripati tanah sampai mani dan mani sampai gumpalan darah maka selisih substansinya jauh.

Kalau al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan Akhar’, yaitu kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai penguat makna tersebut di mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya adalah jauh yaitu daging bercampur tulang belulang.

Kata ‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah menciptakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
Dalam tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah sampai daging bercampur tulang belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’ dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk menunjukkan bahwa pada tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia. Dengan kata lain setelah manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu tahapan di mana Allah mewujudkan untuknya ciptaan yang lain.

Oleh karenanya, dengan melihat empat poin di bawah ini maka penyimpulan teori ‘Jismaniyatul hudus-nya ruh  bisa disandarkan pada ayat-ayat di atas:
1. Sekaitan dengan lafazd ‘Tsumma’ dan ‘Fa’. Lafazd Tsumma digunakan untuk tahapan penciptaan sebelum munculnya ruh. Sedangkan lafazd ‘Fa’ (menunjukkan selisih antara tahapan wujud) digunakan pada tahapan terakhir penciptaan manusia ketika ruh sudah bergabung dengan badan.
2. Penggunaan kata ‘Ansya’, menunjukkan penciptaan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya.
3. Dalam penciptaan ruh menggunakan istilah ‘Khalkan Akhar’ artinya penciptaan lain.
4. Pada kata ‘Ansya’nahu’, zamir ‘Hu’ kembali kepada makhluk yang melewati beberapa tahapan dari gumpalan darah sampai daging yang menutupi tulang.


[1] . QS, As-Sajdah: 9.
[2] . QS, Al-Hijr: 29.
[3] . QS, As-Syams: 7-8.
[4] . QS, AS-Sajdah: 11.
[5] . QS, Al-An’am: 93.
[6] . QS, Al-Mukminun: 12-14.
[7] . QS, Al-Mukminun: 14.

Cara Kreatif Mahasiswa Inggris Memperkenalkan Imam Husain As


Apa yang dilakukan mahasiswa Inggris ini menunjukkan bukti, bahwa untuk mencintai al Husain tidak meniscayakan seseorang melakukan tindakan-tindakan irasional dengan menyiksa dan melukai diri dengan senjata-senjata tajam.

Menurut Kantor Berita ABNA, dengan semakin maraknya dakwah Ahlul Bait, terutama dalam memperkenalkan sosok Imam Husain As dan perjuangannya di padang Karbala, yang pantang tunduk pada kezaliman dan kesewenang-wenangan, mata duniapun mulai melirik dan berusaha untuk mengetahuinya. Sayang, tidak sedikit kemudian ada upaya-upaya yang justru menciderai sosok kepahlawanan Imam Husain As tersebut dengan melakukan upacara-upacara duka yang justru bertentangan dengan ajaran Islam dan seruan Imam Husain As sendiri, semisal melukai tubuh hingga berdarah-darah dengan menggunakan senjata tajam seperti pedang dan cambuk besi.

Meski hal tersebut mendapat penentangan dari ulama-ulama Islam, bahkan ulama-ulama Marja Syiah memfatwakan pengharamannya, namun sebagian kelompok masih tetap melakukannya dengan dukungan satu-dua orang yang mengklaim diri sebagai ulama.

Tampilan yang diperlihatkan justru menjauhkan masyarakat dari mengenal hakikat Asyura, bahkan kelompok non muslim mencibir tradisi tersebut dan menyebutkan irasional dan hanya dilakukan oleh-oleh orang-orang yang cenderung pada kekerasan dan pertumpahan darah.

Pecinta al Husain lintas agama dan mazhab di Inggris melakukan hal positif dalam membendung tradisi yang menciderai nama al-Husain As tersebut. Mereka memperkenalkan tradisi bahwa mencintai al Husain As tidak mengharuskan seseorang harus melukai diri dengan berdarah-darah, namun yang ditunjukkan adalah tampilan pesan sesungguhnya  dari perjuangan Imam Husain As di Karbala. Yaitu ajaran kemanusiaan dan cinta pada kehidupan yang damai dan saling memuliakan.

Digerakkan oleh sejumlah mahasiswa muslim Syiah yang kuliah diberbagai Universitas di Inggris yang memperkenalkan Islam yang ramah, mereka membentuk Yayasan Who is Hussain [Siapa al Husain itu?]. Diantara agenda dan program mereka adalah memperkenalkan sosok Imam Husain As dengan cara-cara yang lebih santun dan bermanfaat bagi publik. Diantaranya adalah melakukan aksi amal donor darah, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan, membangun tempat-tempat persinggahan dan pelayanan bagi  anak-anak jalanan, membagikan makanan dan minuman gratis dan amal-amal sosial lainnya.

Dimulai dari sebuah yayasan kecil di Inggris pada tahun 2012, “Who is Hussain?” mendapat simpatik dan dukungan luas masyarakat Eropa. Tahun ini, yayasan ini telah memiliki cabang di beberapa Negara Eropa termasuk di Amerika Serikat, dan melakukan kegiatan amal sosial secara serentak pada bulan Muharram, yaitu bulan terjadinya tragedi memilukan yang menimpa keluarga suci Nabi Muhammad Saw.

Cara kreatif lainnya dalam memperkenalkan sosok Imam Husain dan ajaran-ajaran kemanusiaannya, adalah dengan membuat poster-poster dan baliho-baliho yang berisi kutipan-kutipan Imam Husain atau tokoh-tokoh dunia yang terinspirasi pada semangat perjuangan beliau, di tempat-tempat umum, seperti dihalte bis, dinding-dinding jalan dan di dalam bus kota. Mereka juga membagikan selebaran dan minuman gratis sembari memberikan jawaban atas pertanyaan siapakah Imam Husain itu.

Untuk lebih mengenal yayasan Who is Hussain bisa dilihat pada link: http://www.whoishussain.org/
Berikut di antara foto-foto kegiatan mereka.





Terkait Berita: