Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kajian Riwayat. Show all posts
Showing posts with label Kajian Riwayat. Show all posts

Riwayat-riwayat tentang adanya kesalahan Qur’an dari segi nahwu


1. Dinukil dari Utsman: “Dalam mushaf terdapat beberapa perubahan dalam harakat yang mana orang-orang Arab akan merubahnya sesuai dengan kesesuaiannya dengan lidah mereka.” Lalu ia ditanya: “Mengapa engkau tidak membenarkannya?”
Ia menjawab: “Tinggalkan itu, karena mereka tidak mengharamkan apa yang halal dan tak menghalalkan apa yang haram.”[1]

Ibnu Asytah, lahn yang diisyarahkan hadits dianggap sebagai kesalahan dalam memilih huruf-huruf yang tujuh yang sesuai dan atas apa-apa yang tulisannya bertentangan dengan pelafadzannya. Padahal anggapan itu tidak benar, dan jalan yang terbaik adalah mengingkari riwayat tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan pula oleh Dani, Razi, Neisyaburi, Ibnu Anbari, Alusi, Sakhawi, Khazin, Baqillani, dan sebagian lainnya.
Mereka menjelaskan bahwa dengan riwayat ini tak ada apa-apa yang bisa dibuktikan, karena sanadnya lemah, dan di dalamnya terdapat idhtirab, inqitha’, dan takhlith.

Dari sis lain, Qur’an telah dinukil dari Rasulullah saw secara mutawatir dan tetapnya lahn dalamnya tidaklah mungkin. Selain itu, apa yang ada di tangan semua orang berdasarkan ijma’ seluruh Muslimin adalah kalam Allah, dan di dalam kalam Allah tidak boleh ada lahn atau kesalahan. Seluruh sahabat dan umat meyakini bahwa seluruh lafadz Qur’an adalah benar dan tak memiliki kesalahan. Begitu juga mereka mengingkari riwayat ini dan berdalil: Utsman adalah pemimpin umat. Bagaimana bisa ia melihat sebuah lahn dalam Al-Qur’an dan ia membiarkannya begitu saja sehingga nanti orang-orang Abab yang membenarkannya sesuai dengan bahasa mereka?
Mengapa ia mengakhirkan usaha pembenaran dan menyerahkan hal itu kepada orang lain?
Jika seorang sahabat yang bertugas untuk menulis dan mengumpulkan Qur’an tidak membenarkan kesalahan-kesalahan tersebut, bagaimana mungkin umat setelahnya bisa mengemban tugas itu?
Lebih dari itu, Utsman tidak menulis satu mushaf saja, namun menulis beberapa mushaf dan seluruh mushaf-mushaf itu tidak ada perbedaan satu sama lain, kecuali dalam qira’ah dan tilawah, yang bukan termasuk bentuk tulisan dan perbedaan-perbedaan itu tidak disebut dengan lahn.[2]

Sesuatu yang menambahkan keraguan terhadap riwayat-riwayat seperti ini adalah bahwa riwayat itu dinukil dari Ikrimah. Ia termasuk ketua orang-orang sesat yang berkeyakinan sama dengan khawarij. Ia dikenal dengan pembohong dan penipu. Para pembesar seperti  Ibnu umar, Mujahid, ‘Atha’, Ibnu Sirin, Malik bin Anas, Syafi’i, Sa’ad bin Musayab serta Yahya bin Sa’id menyebutnya sebagai penipu yang tak dapat dipercaya. Muslim mengkritiknya dan Malik menganggap riwayatnya haram.[3]

2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa firman Allah swt yang berbunyi:

حَتَّي تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا[4]

aslinya adalah:

تستأذنوا

dan penulis wahyu salah menulisnya  sehingga menulisnya dengan kata:

تَسْتَأْنِسُوا[5]

Dan maksud dari isti’nas dalam ayat itu adalah isti’lam, yakni memberitahukan penghuni rumah sebelum masuk.

Riwayat ini telah dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan tidak benar; karena dalam seluruh mushaf terdapat kata tasta’nisu dan sejak jaman nabi telah disepakati bahwa yang benar adalah itu. Oleh karenanya kita tidak perlu menghiraukan riwayat seperti ini.

Fakhr Razi menulis: “Ketahuilah bahwa riwayat dari Ibnu Abbas diragukan, karena riwayat itu menuntut adanya kekurangan dalam Al-Qur’an yang padahal telah dinukil secara mutawatir dan juga menuntut kebenaran Qur’an yang dinukil dengan khabar wahid. Jika bab ini dibuka, maka seluruh Qur’an bisa diragukan dan ini jelas batil.”[6]

Abu Hayyan menulis: “Orang yang meriwayatkan riwayat tersebut dari Ibnu Abbas adalah Kafir dan Mulhid, sedang Ibnu Abbas suci dari tuduhan itu.”[7]

3. Urwah bin Zubair meriwayatkan:
Aku bertanya pada Aisyah, tentang firman Allah swt yang berbunyi:

لَّكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ[8]

Lalu aku juga bertanya tentang:

المقيمين

Dan dalam Surah Al-Maidah aku menanyakan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِئونَ[9]

dan :

إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ

Kemudian ia menjawab: “Wahai anak saudaraku, perbedaan-perbedaan ini dikarenakan kesalahan para penulis wahyu. Mereka salah dalam menulis.”[10]

Adapun perkataan Tuhan:

المقيمين

dikarenakan ‘athf maka menjadi:

المقيمون

sebagaimana dalam qira’ah Hasan dan Malik bin Dinar; adapun yang ditulis dalam mushaf dan qira’ah Ubai dan Jumhur adalah:

المقيمين

Sibawaih berkata:
“Dikarenakan pujian maka dia manshub, yakni maksudku المقيمين” Lalu ia membawakan berbagai dalil dari perkataan orang-orang Arab.[11]

Alusi berkata:
“Kita tidak bisa menghiraukan pernyataan orang-orang yang mengkritik dan menyatakan adanya lahn dalam Qur’an seperti dalam masalah المقيمون karena Qur’an yang ada telah dinukil secara mutawatir dan tidak benar jika kita mengatakan telah terjadi lahn dalam Al-Qur’an.”[12]

Dan adapun firman Allah

 و الصابئون 

adalah marfu’ dan ma’thuf kepada mahall ismu inna. Farra’ berkata:
“Hal itu diperbolehkan, ketika ism termasuk yang boleh tidak dinampakkan i’rab-nya, seperti dhamir dan maushul. Sebagaimana seorang syair berkata:

فمن يك أمسي بالمدينة رَحلَه
فإنّي و قيارٌ بها لغريب

Dalam syair tersebut, kata qayyar telah adalah ‘athf pada mahall ism inna marfu’.[13] Orang-orang Kufah dan Bashrah membolehkan rafa’ dalam ayat tersebut dengan beberapa dalil dari perkataan orang-orang Arab.

Shahib Al-Manar menulis:
“Sebagian dari musuh-musuh Islam telah memberanikan diri untuk mengatakan bahwa telah terjadi lahn (kesalahan dalam nahwu) dalam Al-Qur’an, dan rafa’-nya صابئون mereka anggap sebagai salah satu dari kesalahan-kesalahan itu. Ini adalah bukti kebodohan atau berpura-pura bodohnya mereka; karena nahwu diambil dari bahasa, bukannya bahasa diambil dari nahwu.”[14]

Berdasarkan qira’ah jumhur (kebanyakan), firman Allah yang berbunyi: إن هذان لساحران dibaca dengan takhfif pada inna maksuratul hamzah dan dengan demikian dia adalah mukhaffafah dari tsaqilah dan bukan amil kemudian هذان adalah marfu’.

Zamakhsyari menulis:
Ayat: إن هذان لساحران sama seperti kita jika berkata:

 إن زيدٌ لمنطلقٌ.

Di situ lam fariqah supaya in nafiyah dapat dibedakan dari in mukhaffafah minal tsaqilah.[15] Oleh karena itu ayat Qur’an tidak punya masalah apapun dan para penulis wahyu tidak salah.

Fakhrur Razi menulis:
“Karena penukilan qira’ah ini sebagaimana penukilan seluruh Qur’an adalah mutawatir dan masyhur, jika kita berpendapat bahwa Qur’an salah, maka pendapat itu berpengaruh pada seluruh Qur’an, dan akhirnya seluruh Qur’an yang telah dinukil secara mutawatir telah diragukan, dan itu jelas tak benar.”[16]


[1]. Al-Itqan: jil. 2, hal. 320.
[2]. Ruhul Ma’ani: jil. 6, hal. 13.
[3]. Waqtul A’yan: jil. 1, hal. 319; Mizanul I’tidal: jil. 3, hal. 93; Al-Mughni fil Dhu’afa’: jil. 2, hal. 84; Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir: jil. 3, hal. 373; Thabaqat Ibnu Sa’ad: jil. 5, hal. 287; Tadzhibul Kamal: jil. 7, hal. 263.
[4]. Al-Itqan, jil 2, hal. 327; Lubabul Ta’wil: jil 3, hal. 324; Fathul Bari: jil. 11, hal. 7.
[5]. At-Tafsir Al-Kabir: jil. 32, hal. 196.
[6]. Al-Bahrul Muhith: jil. 6, hal. 445.
[7]. An-Nisa’ [4] : 162.
[8]. Al-Maidah [5] : 69.
[9]. Thaha [20] : 63
[10]. Al-Itqan: jil. 2, hal. 320.
[11]. Al-Kitab: jil. 1, hal. 288.
[12]. Ruhul Ma’ani: jil. 6, hal. 13.
[13]. Ma’anil Qur’an: jil. 1, hal. 31; Majma’ul Bayan: jil. 3, hal. 346; Shiyanatul Qur’an Minal Tahrif: hal. 183.
[14]. Tafsir Al-Manar: jil. 6, hal. 478.
[15]. Al-Kasyaf: jil. 3, hal. 72.
[16]. At-Tafsir Al-Kabir: jil. 22, hal. 75.

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

BANTAHAN ATAS TULISAN PENDAPAT SAYYIDINA ALI TERHADAP MUAWIYAH RA


Bagaimana pandangan sayyidina Ali karromallohu wajhah, tentang peperangan antara beliau beserta tentaranya dan sayyidina muawiyah berikut tentaranya?. Di dalam kitab syiah -Nahjul balaghoh- yang menghimpun khotbah sayyidina Ali Kw, di sebutkan bahwa, beliau berkata:

وكان بدء امرنا التقينا والقوم من اهل الشام والظاهر ان ربنا واحد ودعوتنا الى اﻻسﻻم واحد وﻻ نستزيدهم فى اﻻيمان بالله والتصديق برسوله وﻻ يستزيدوننا اﻻ ما اختلفنا فيه من دم عثمان ونحن منه براء

Awal kejadian peristiwa kami, kami mengadakan pertemuan dengan kaum dari penduduk syam. Yang jelas, tuhan kami sama, dakwah kami untuk kejayaan islam juga sama. Kami tidak meminta mereka menambah nambah keimanan dan keyakinan kepada Alloh dan rasulNya. Dan Mereka juga tidak demikian. Hanya saja perseteruan kami mengenai darah utsman sedangkan kami bebas darinya”. [Ibnu abil hadid, Nahjul balaghah: 448].


Oleh sebab itu ja’far shodiq meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya beliau berkata:

ان عليا عليه السﻻم لم يكن ينسب احدا من اهل حربه الى الشرك وﻻ الى النفاق ولكنه يقول هم بغوا علينا

Sesungguhnya Ali as tidak menisbatkan orang orang yang memeranginya kepada kesyirikan, kemunafikan, beliau hanya berkata :”mereka bughot terhadap kepemerintahanku”. [Wasa’il syiah: 11/26]

Pandangan beliau sangat bertolak belakang dengan syiah yang mengkafir kafirkan muawiyah Rodiyallohu anhu. Kenapa syiah bersikokoh mengaku ngaku ikut ahlal bait??
Sumber:  https://generasisalaf.wordpress.com/2014/12/08/pendapat-sayyidina-ali-terhadap-sayyidina-muawiyah-ra/

Sebagai Jawaban:

Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash dari Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121.

عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf dengan dua jalan sanad yaitu

حدثني عبد الله بن صالح حدثني يحيى بن آدم عن شريك عن ليث عن طاووس عن عبد الله بن عمرو

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin Adam dari Syarik dari Laits dari Thawus dari Abdullah bin Amru [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]

حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص

Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].

Sanad pertama semuanya adalah perawi Muslim oleh karena itu Syaikh Al Ghumari menyatakan hadis tersebut shahih dengan syarat Muslim. Tetapi walaupun semuanya perawi Muslim terdapat cacat pada sanadnya yaitu Abdullah bin Shalih dan Laits. Mereka berdua walaupun seorang yang shaduq telah diperbincangkan oleh para ulama mengenai hafalannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam At Taqrib 1/501 kalau Abdullah bin Shalih jujur tetapi banyak melakukan kesalahan dan At Taqrib 2/48 kalau Laits bin Abi Sulaim jujur tetapi mengalami ikhtilath. Jadi sanad pertama itu dhaif.

Sanad kedua telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat yaitu Ishaq, Abddurrazaq, Ma’mar, Ibnu Thawus dan Thawus. Hanya satu orang yang tidak diketahui kredibilitasnya yaitu Bakr bin Al Haitsam tetapi ini tidak menjadi masalah karena ia meriwayatkan hadis ini bersama dengan Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat dan ma’mun.
  • Ishaq adalah Ishaq bin Abi Israil termasuk gurunya Al Baladzuri, ia perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Nasa’i. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 1 no 415, dimana Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Daruquthni, Al Baghawi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/79 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 338 kalau Ishaq bin Abi Israil seorang yang tsiqat ma’mun.
  • Abdurrazaq bin Hammam adalah perawi kutubus sittah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan hadisnya. Ia seorang hafiz yang dikenal tsiqat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/599.
  • Ma’mar adalah Ma’mar bin Rasyd perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 441 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ajli, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i. Dalam At Taqrib 2/202 ia dinyatakan tsiqat tsabit.
  • Abdullah bin Thawus adalah putra Thawus bin Kisan, ia seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 459 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Daruquthni. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/503 menyatakan Ibnu Thawus tsiqat.
  • Thawus bin Kisan Al Yamani adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ia termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/449 menyatakan kalau Thawus tsiqat.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad kedua itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih. Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih. Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang merupakan sanad yang shahih. Sekedar informasi hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh Muhammad bin Aqil Al Alawy dan Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki.

Sudah jelas para Nashibi tidak akan rela dengan hadis ini dan mereka memang akan selalu mencari-cari cara atau dalih untuk melemahkan hadis tersebut. Terus terang kami tertarik melihat dalih-dalih nashibi untuk mencacatkan hadis ini. Kita tunggu saja.

==========================
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Terhadap Salafy
Tidak diragukan kalau Muawiyah pernah menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi hal ini tidak membuatnya menjadi orang suci seperti yang digembar-gemborkan oleh para nashibi. Muawiyah termasuk sahabat yang cukup banyak membuat penyimpangan dalam syari’at. Ini bukan tuduhan atau celaan tetapi fakta yang tertera dalam berbagai kitab hadis yang tidak pernah diungkapkan oleh salafy nashibi dengan dalih “menahan diri dari mencaci sahabat”. Salafy nashibi bisa dibilang cinta mati terhadap sahabat yang suka “memusuhi ahlul bait”. Jika syiah mencela sahabat mereka naik pitam menyesatkan dan teriak sana sini tetapi jika Muawiyah mencela Imam Ali mereka mati-matian membela Muawiyah. 

Dan yah mungkin kita sebagai ahlus sunnah harus mengingat kembali tragedy mengerikan karena ulah anaknya Muawiyah yang bernama Yazid yaitu pembantaian terhadap Ahlul Bait Nabi Imam Husain AS beserta keluarganya. Anehnya dengan fakta ini tahukah para pembaca bahwa di bawah kolong langit hanya ada satu kaum yang dengan getol membela Yazid bahkan membuat-buat “keutamaan Yazid bin Muawiyah” yaitu salafy nashibi.

Keutamaan Muawiyah?
Sebelum membahas lebih rinci hadis ini maka kami katakan terlebih dahulu metode yang benar dalam penilaian adalah tidak hanya bergantung pada satu atau beberapa hadis saja. Apalagi jika membahas kedudukan seorang seperti Muawiyah. Oleh karena itu kami telah banyak membahas berbagai tulisan tentang Muawiyah. Salafy sangat bersemangat dalam membela orang-orang yang menyakiti dan memusuhi Ahlul Bait bahkan dengan dalih-dalih yang naïf terkesan ilmiah bagi orang awam tetapi jika diteliti baik-baik jelas sangat dipaksakan. Dalih pertama yang menggelikan adalah ia mengutip ayat Al Qur’an berikut

لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].

Kami tidak mengerti dari mana datang pikiran yang menyatakan ayat ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah, mengingat Muawiyah bukanlah orang yang ikut berhijrah atau orang dari golongan Muhajirin dan bukan pula orang dari golongan Anshar yang merupakan penduduk Madinah.

Dalihnya yang kedua adalah hadis Ummu Haram dimana salafy nashibi itu ingin menunjukkan keutamaan Muawiyah dan anaknya Yazid. Berikut hadis yang dimaksud

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا

Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan bahwa ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. ‘Umair berkata “Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya [pahala]”. Ummu Haram berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “Ya, kamu termasuk dari mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar [Romawi] akan diberikan ampunan”. Aku katakan : “Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tidak” [Shahih Al-Bukhaariy no. 2924].

Tidak ada pada hadis ini disebutkan bahwa keutamaan itu terkhususkan untuk Muawiyah ataupun Yazid. Mereka salafiyun mengandalkan sejarah bahwa Muawiyah ikut berperang mengarungi lautan dan Yazid orang yang memerangi kota Qaishar. Tetapi tentu saja hujjah seperti ini adalah buntung karena mereka tidak memperhatikan fakta historis lain yang bisa menjungkirbalikkan pendalilan mereka.

Disebutkan dalam sejarah bahwa Yazid bin Muawiyah inilah yang memerintahkan untuk memerangi dan membunuh penduduk Madinah pada peristiwa Al Harrah yang mengerikan padahal terdapat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حسين بن علي الجعفي عن زائدة عن سليمان عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المدينة حرم فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه يوم القيامة عدل ولا صرف

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata menceritakan kepada kami Husain bin ‘Ali Al Ja’fi dari Za’idah dari Sulaiman dari ‘Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “Madinah adalah tanah haram, barangsiapa yang melakukan perbuatan keji di dalamnya atau mendukung orang yang melakukan perbuatan keji tersebut maka untuknya laknat Allah, malaikat-malaikatnya dan manusia seluruhnya, dan tidak diterima taubat dan tebusan baginya” [Shahih Muslim 2/999 no 469].

Perhatikan baik-baik hadis ini dan silakan pikirkan, bagaimana bisa salafy nashibi itu mengklaim keutamaan Yazid padahal dapat dilihat bahwa ia telah melakukan perbuatan keji kepada penduduk Madinah dan berdasarkan hadis shahih akan mendapat laknat dari Allah SWT dan tidak diterima taubatnya. Dari sisi ini saja kita dapat menyatakan bahwa Yazid bin Muawiyah tidak termasuk kedalam golongan mereka yang mendapatkan keutamaan hadis Ummu Haram. Belum lagi jika dimasukkan kekejian lainnya seperti pembantaian keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita katakan kalau mereka yang membela Yazid akan mendapat percikan keburukannya.

Begitu pula halnya dengan Muawiyah, banyak fakta historis yang justru menjungkirbalikkan pemahaman salafy terhadap keutamaan Muawiyah. Bukankah dalam sejarah diketahui kalau Muawiyah ini membunuh Hujr bin ‘Ady padahal ia seorang sahabat Nabi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Nabi SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah kekufuran”. [Shahih Bukhari no 48, no 6044 dan no 7076].

Sejarah membuktikan bahwa Muawiyah telah melakukan keduanya, ia mencela Imam Ali dan memerintahkan orang lain untuk mencela Imam Ali dan ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin Ady radiallahu ‘anhu. Bukankah fakta sejarah menunjukkan kalau Muawiyah memerangi Imam Ali dalam perang Shiffin tanpa alasan yang haq sehingga membuat terbunuhnya sahabat yang mulia Ammar bin Yasir radiallahu’ anhu

ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن

Dan Rasulullah SAW bersabda “kasihan Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka ke surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku berlindung kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال انا أبو حفص وكلثوم بن جبر عن أبي غادية قال قتل عمار بن ياسر فأخبر عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان قاتله وسالبه في النار فقيل لعمرو فإنك هو ذا تقاتله قال إنما قال قاتله وسالبه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah yang berkata menceritakan kepada kami Abu Hafsh dan Kultsum bin Jabr dari Abi Ghadiyah yang berkata “Ammar bin Yasar terbunuh kemudian dikabarkan hal ini kepada Amru bin ‘Ash” [Amru] berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “yang membunuhnya dan merampas miliknya berada di neraka”. Dikatakan kepada Amru “bukankah kamu membunuhnya” ia berkata “sesungguhnya [Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata yang membunuhnya dan merampas miliknya” [Musnad Ahmad 4/198 no 17811 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

Perhatikanlah perkataan Muawiyah dimana ia mengatakan kalau Imam Ali lah yang membunuh Ammar, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membunuh sahabat-sahabat yang syahid pada perang badar dan uhud?, naudzubillah cara berpikir macam apa itu. Bukankah sangat jelas ini adalah celaan yang nyata dari Muawiyah kepada Imam Ali. Kita serahkan hal ini kepada Allah SWT. Tidak diragukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Ammar “ia dibunuh oleh kelompok pembangkang” dan disebutkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “bahwa yang membunuh Ammar dan merampas miliknya akan berada di neraka”. Sejarah membuktikan kalau kelompok yang membunuh Ammar bin Yasir adalah kelompok Muawiyah dalam perang Shiffin. Pernahkah salafy membahas ini dalam keutamaan Muawiyah bin Abu Sufyan? Jawabannya tidak pernah, mereka memang punya kebiasaan pilih-pilih hadis dan mendistorsi hadis-hadis shahih yang tidak sesuai keyakinan mereka.

Kalau kita teruskan pembahasan secara historis ini maka terdapat fakta lain yang cukup mengejutkan. Muawiyah yang dikatakan oleh pengikut salafiyun sebagai sahabat yang mulia ternyata juga meminum khamar.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang  ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”… [Musnad Ahmad 5/347 no 22991 Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].

Tentunya sebagai seorang sahabat yang dikatakan mulia oleh sebagian orang sudah pasti mengetahui dengan jelas bahwa meminum khamar itu haram. Sangat jelas dalam Al Qur’an dan hadis.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد ثنا فليح عن سعد بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لعن الله الخمر ولعن شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad yang menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’d bin ‘Abdurrahman bin Wail Al Anshari dari ‘Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Allah melaknat khamar, dan melaknat yang meminumnya, yang menuangkannya, yang membuatnya dan yang meminta dibuatkan, yang menjualnya, yang mengangkutnya dan yang meminta diangkut dan yang memakan keuntungannya [Musnad Ahmad 2/97 no 5716, Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan jalan-jalannya”].

Kita masih dapat meneruskan fakta historis lain tentang Muawiyah. Tahukah para pembaca pemimpin seperti apa Muawiyah. Hadis Shahih membuktikan dengan jelas pemimpin seperti apa Muawiyah.

حدثنا زهير بن حرب وإسحاق بن إبراهيم ( قال إسحاق أخبرنا وقال زهير حدثنا جرير ) عن الأعمش عن زيد بن وهب عن عبدالرحمن بن عبد رب الكعبة قال دخلت المسجد فإذا عبدالله بن عمرو بن العاص جالس في ظل الكعبة والناس مجتمعون عليه فأتيتهم فجلست إليه فقال كنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في سفر فنزلنا منزلا فمنا من يصلح خباءه ومنا من ينتضل ومنا من هو في جشره إذ نادى منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم الصلاة جامعة فاجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضها وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الي يحب أن يؤتى إليه ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) فدنوت منه فقلت أنشدك الله آنت سمعت هذا من رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فأهوى إلى أذنيه وقلبه بيديه وقال سمعته أذناي ووعاه قلبي فقلت له هذا ابن عمك معاوية يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا والله يقول { يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } [ 4 / النساء / 29 ] قال فسكت ساعة ثم قال أطعه في طاعة الله واعصه في معصية الله

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim (Ishaq berkata telah mengabarkan kepada kami dan Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Jarir) dari ‘Amasy dari Zaid bin Wahb dari Abdurrahman bin Abdi Rabbi Al Ka’bah yang berkata Aku pernah masuk ke sebuah masjid, kulihat Abdullah bin Amr’ bin Ash sedang duduk dalam naungan Ka’bah dan orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Lalu aku mendatangi mereka dan duduk disana, dia berkata “Dahulu kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan kemudian kami singgah di suatu tempat. Diantara kami ada yang memperbaiki tendanya, menyiapkan panah dan menyiapkan makanan hewan tunggangannya. Ketika itu seorang penyeru yang diperintahkan Rasulullah SAW menyerukan “Marilah shalat berjama’ah”. Kami berkumpul menuju Rasulullah SAW dan Beliau bersabda “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumKu kecuali menjadi kewajiban baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya serta memperingatkan mereka akan keburukan yang diketahuinya bagi mereka. Sesungguhnya UmatKu ini adalah umat yang baik permulaannya akan tetapi setelahnya akan datang banyak bencana dan hal-hal yang diingkari. Akan datang suatu fitnah yang membuat sebagian orang memperbudak yang lain. Akan datang suatu fitnah hingga seorang mukmin berkata “inilah kehancuranku”. Kemudian fitnah tersebut hilang dan datanglah fitnah yang lain hingga seorang mukmin berkata “inilah dia, inilah dia”. Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir serta memperlakukan manusia sebagaimana yang ia suka untuk dirinya. Barangsiapa yang membai’at seorang Imam dan setuju dengan sepenuh hati maka hendaklah ia mentaatinya semampunya. Lalu jika yang lain hendak merebutnya maka bunuhlah ia”. Aku mendekatinya seraya berkata “Demi Allah apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah SAW?. Maka dia (Abdullah bin Amr bin Ash) mengisyaratkan dengan tangan pada kedua telinga dan hatinya sambil berkata “Aku mendengar dengan kedua telingaku dan memahaminya dengan hatiku”. Aku berkata kepadanya “Ini Anak pamanmu Muawiyah dia memerintahkan kami untuk memakan harta diantara kami secara bathil dan saling membunuh diantara kami”. Padahal Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu”{An Nisa ayat 29}. Lalu dia diam sejenak dan berkata “Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah dan langgarlah ia dalam bermaksiat kepada Allah ” [Shahih Muslim 3/1472 no 1844].

Ternyata terbukti dalam hadis shahih bahwa Muawiyah adalah seorang pemimpin yang zalim. Dalam pemerintahannya bermunculan celaan dan cacian terhadap Imam Ali baik darinya ataupun para pejabatnya. Ia pula yang memerintahkan membunuh Hujr bin Adi sahabat Nabi yang mulia, tidak takut meminum khamar, memerintahkan untuk memakan harta secara bathil dan membunuh orang-orang muslim. Jadi sangat bisa dimaklumi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda

حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Alaf Al Bashri yang berkata aku telah mendengar dari Sallam Abul Mundzir yang berkata telah berkata Ashim bin Bahdalah yang berkata telah menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu melihat Muawiyah bin Abi Sufyan berkhutbah di mimbarKu maka tebaslah lehernya” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/130 dengan sanad yang hasan].
 
Kami katakan kepada pengikut salafy nashibi pecinta Muawiyah, jangan merasa bahwa cuma kalian orang yang tahu sejarah dan ilmu hadis. Di dunia ini ada banyak manusia yang tidak terikat doktrin salafy nashibi yang mampu membahas sejarah secara objektif. Kami pribadi tidak perlu mencela Muawiyah, bagi kami itu tidak perlu. Cukuplah bagi kami memaparkan apa-apa saja yang telah ia lakukan yang terpampang jelas dalam sejarah dan hadis. Terdapat hadis shahih yang menyebutkan kalau Muawiyah mati tidak di atas agama islam. Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis tersebut dengan syubhat-syubhat yang tidak ilmiah. Salah satu syubhat yang mereka katakan adalah hadis tersebut bertentangan dengan keutamaan Muawiyah dalam hadis Ummu Haram. Kami jawab
  • Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah hadis yang jelas membicarakan tentang pribadi Muawiyah, penunjukkannya sangat jelas sedangkan hadis Ummu Haram tidak jelas membicarakan keutamaan Muawiyah. Tidak ada hal yang patut dipertentangkan, hadis Ummu Haram bersifat umum sedangkan hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam bersifat khusus. Jadi kedua hadis ini masih bisa dikompromikan dalam arti Muawiyah tidak termasuk dalam keutamaan hadis Ummu Haram. Ada banyak sekali pasukan yang ikut bertempur di laut, mereka yang dengan ikhlas bertempur karena Allah SWT dan syahid disana maka wajib atas mereka pahala. Sedangkan mereka yang menginginkan harta dan kekuasaan atau setelah peristiwa itu mereka melakukan keburukan atau maksiat atau menentang Allah SWT dan Rasul-Nya maka tidak ada alasan untuk tetap menyatakan keutamaan mereka.
  • Hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam sangat klop dengan berbagai fakta historis dan hadis-hadis shahih tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Memang sezalim apapun seorang yang mengaku muslim bukan hak kita untuk menyatakan ia kafir tetapi pada kasus Muawiyah terdapat hadis shahih yang dengan jelas menyatakan ia mati tidak dalam agama islam.
Syubhat berikutnya dari salafy nashibi adalah mereka menyatakan matan hadis tersebut idhthirab dan sanadnya memiliki illat. Kami akan tunjukkan bahwa pernyataan mereka hanyalah dalih yang dicari-cari.

Pembahasan Matan Hadis Yang Dikatakan Idhthirab
Inti dari syubhat salafy nashibi adalah mereka membawakan hadis lain dimana mereka mengatakan kalau orang yang dimaksud bukanlah Muawiyah tetapi Hakam bin Abil Ash. Berikut hadis yang mereka jadikan hujjah

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu ‘Amru bin Al-‘Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju untuk menemuiku. Beliau bersabda [sementara kami berada di sisinya ] “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”. Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al Hakam [Musnad Ahmad 2/163 no 6520 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib].

Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”. Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga berbeda

عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120-121].
 
Pada hadis Ahmad tentang Al Hakam disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat” sedangkan pada hadis Al Baladzuri tentang Muawiyah disana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Al Hakam seorang yang dilaknat dan Muawiyah mati tidak dalam agama islam, kedua hadis tersebut benar tidak ada perselisihan matan dan dimana letak idhthirab yang dimaksud?. Kedua hadis tersebut bisa saja merujuk pada dua peristiwa yang berbeda dimana peristiwa yang satu membicarakan Al Hakam dan peristiwa lain membicarakan Muawiyah. Apakah Abdullah bin ‘Amru bin Ash seumur hidupnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya satu kali saja duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?. Atau kedua hadis tersebut merujuk peritiwa yang sama dimana pada bagian pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membicarakan tentang Al Hakam dan setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membicarakan tentang Muawiyah [atau sebaliknya].

Pembahasan Illat Sanad Hadis
Salafy nashibi berusaha melemahkan hadis ini dengan menunjukkan kelemahan pada ‘Abdurrazaq bin Hammam. Logika salafy itu adalah ia menunjukkan adanya idhthirab dan menjadikan idhthirab ini bagian dari kesalahan Abdurrazaq karena ia berubah hafalannya di usia senja. Kami tekankan kembali tidak ada yang namanya idhthirab pada matan hadis tersebut, itu cuma akal-akalan salafy. Kedua hadis baik menyebutkan Al Hakam dan Muawiyah adalah benar. Pertama-tama mari kita lihat kembali sanad hadis tersebut

حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص

Telah menceritakan kepadaku Ishaq dan Bakr bin Al Haitsam yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hamam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Amru bin Ash [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/120].

Abdurrazaq bin Hammam adalah seorang hafizh yang tsiqat, satu-satunya kelemahan yang dituduhkan padanya adalah soal ia berubah hafalannya pada usia senja ketika matanya telah buta.

و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه

Abu Zur’ah ad-Dimsayqi berkata dari Abul Hasan bin Sami’, dari Ahmad bin Shalih al-Mishri yang berkata Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal ”Adakah kau lihat orang yang lebih baik haditsnya daripada ’Abdurrazaq?” beliau menjawab ”tidak”. Abu Zur’ah berkata ”Abdurrazaq adalah salah seorang yang kuat haditsnya.” [Tahdzib Al Kamal 18/56 no 3415].

و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة ثبت .

Ya’qub bin Syaibah berkata, dari ’Ali ibnul Madini yang berkata Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku “Abdurrazaq itu orang yang lebih ’alim dan hafizh daripada kami.” Ya’qub berkata  keduanya [Hisyam bin Yusuf dan ’Abdurrazaq] adalah sama-sama tsiqat tsabit [Tahdzib Al Kamal 18/58 no 3415].

و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .

Abu Bakr bin Abi Khaitsamah berkata aku mendengar Yahya bin Main ketika ada yang berkata padanya ”Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa sesungguhnya ’Ubaidillah bin Musa membantah hadits ’Abdurrazaq dikarenakan tasyayu’-nya.” Lantas Ibnu Ma’in membantah ”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq untuk di sembah melainkan Dia, ’Abdurrazaq itu jauh lebih bernilai darinya berkali-kali lipat. Dan sungguh aku telah mendengar dari ’Abdurrazaq berkali-kali lipat daripada aku mendengar dari ’Ubaidillah.” [Tahdzib Al Kamal 18/59 no 3415]

و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل : كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .

Abu Zur’ah Ad Dimasyq berkata Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal ”Apakah ’Abdurrazaq mengahafal haditsnya Ma’mar?” beliau menjawab : ”iya”. Ada yang bertanya pada beliau ”Mana yang lebih tsabit dari Ibnu Juraij, ’Abdurrazaq atau Muhammad bin Bakr Al Barsaani?” beliau menjawab ”Abdurrazaq”. [Abu Zur’ah berkata] Ahmad bin Hanbal memberitakan kepadaku ”Kami mendatangi ’Abdurrazaq sebelum tahun 200 H dan beliau dalam keadaan sehat matanya. Barangsiapa yang mendengarkan darinya setelah ia buta maka pendengarannya lemah [Tahdzib Al Kamal 18/8 no 3415]

عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .

’Abdurrazaq bin Hammam bin Nafi’ Al Himyari maula mereka Abu Bakr Ash Shan’ani seorang yang tsiqat hafizh penulis [mushannaf] yang terkenal, buta pada akhir usianya maka hafalannya berubah dan ia bertasyayyu’ [At Taqrib 1/599].

Kesimpulannya ’Abdurrazaq bin Hammam seorang hafiz yang tsiqat dan tsabit dalam hadis, sebelum buta ia seorang yang tsiqat mutlak tetapi setelah buta hafalannya berubah sehingga pendengaran hadis setelah ia buta mengandung kelemahan. Mengenai tasyayyu’ Abdurrazaq bin Hammam itu tidaklah membahayakan hadisnya karena ia sendiri mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding Imam Ali bahkan dalam Tahrir At Taqrib dinyatakan bahwa penisbatan tasyayyu’ terhadap ‘Abdurrazaq tidaklah tsabit. [Tahrir At Taqrib no 4064].

Yang meriwayatkan hadis ini dari ‘Abdurrazaq bin Hammam adalah Ishaq bin Abi Israil seorang hafizh yang tinggal di Baghdad dan wafat tahun 246 H. sedangkan ‘Abdurrazaq adalah seorang hafizh yang tinggal di Shan’a wafat tahun 211 H. ‘Abdurrazaq buta matanya pada tahun 200 H atau setelahnya, jadi perawi yang mendengar hadis darinya sebelum tahun 200 H jelas shahih. Ishaq bin ‘Abi Israil pergi ke Shan’a dan mendengar hadis dari para hafizh disana sebelum tahun 200 H. Bukti untuk hal ini adalah Abu Dawud telah meriwayatkan hadis dari Ishaq bin ‘Abi Israil [Abu Ya’qub Al Baghdadi] dari Hisyam bin Yusuf As Shan’ani dimana Ishaq bin ‘Abi Israil meriwayatkan hadis dengan lafal “telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf” [Sunan Abu Dawud 1/607 no 1985]. Hisyam bin Yusuf Ash Shan’ani adalah seorang qadhi di Shan’a yang wafat pada tahun 197 H [At Taqrib 2/268]. Jadi Ishaq bin ‘Abi Israil datang ke Shan’a dan mendengar hadis dari ulama disana seperti Hisyam bin Yusuf dan ‘Abdurrazaq bin Hammam sebelum tahun 197 H. Pada saat itu jelas ‘Abdurrazaq bin Hammam seorang yang hafiz tsiqat tsabit secara mutlak.
Illat [cacat] lain yang ditunjukkan salafy adalah pernyataan Al Khallal yang dikutip oleh Ibnu Qudamah bahwa ‘Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan hadis ini dari Ma’mar dari Ibnu Thawus yang mendengar dari Furkhaasy dari ayahnya Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin ‘Amru

وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم رجل من أهل النار”، فطلع معاوية  قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو.

Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.Ahmad berkata “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Abdulah bin ‘Amru atau selainnya, ia [Thawus] ragu-ragu dalam penyebutannya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia [Ibnu Thawuus] berkata Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [Al Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136].

Salafy mengatakan bahwa hadis ini mengandung idhthirab pada sanadnya karena Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya tanpa perantara dan Ibnu Thawus meriwayatkan dari ayahnya melalui perantara Furkhaasy seorang yang majhul, sehingga nampak adanya idhthirab pada sanad tersebut yang mungkin bersumber dari ‘Abdurrazaq bin Hammam.

Pernyataan salafy ini ma’lul, sangat jelas keliru bagi mereka yang meneliti sanad hadis tersebut dengan baik. Hadis yang tsabit sanadnya adalah riwayat Ishaq bin ‘Abi Israil dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Sedangkan pernyataan Al Khallal bahwa ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Furkhaasy dari ayah Ibnu Thawus dari ‘Abdullah bin ‘Amru jelas tidak tsabit atau inqitha’. Al Khallal lahir pada tahun 234 H [As Siyar 14/297 no 193] sedangkan ‘Abdurrazaq bin Hammam wafat pada tahun 211 H [At Taqrib 1/599]. Ketika Al Khallal lahir ‘Abdurrazaq bin Hammam sudah lama wafat, sanadnya inqitha’ [terputus] sedangkan Ibnu Abi Israil meriwayatkan langsung dari ‘Abdurrazaq. Jadi periwayatan Ishaq bin Abi Israil dari ‘Abdurrazaq lebih tsabit sedangkan pernyataan Al Khallal inqitha’ atau terputus sanadnya. Bagaimana mungkin dikatakan sanadnya idhthirab kalau yang satu tsabit dan yang satunya inqitha’. Jelas sekali berdasarkan metode ilmu hadis bahwa sanad yang tsabit lebih rajih.

Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh. Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Disebutkan kalau ia seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.

Syubhat salafy yang lainnya adalah ia membawakan hadis keutamaan Imam Hasan sebagai Sayyid yang akan mendamaikan dua kelompok kaum muslimin.

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid [pemimpin] dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin” [Shahih Bukhaariy no 3746]

Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.

Ada logika salafy yang lebih parah, ia mengatakan mungkinkah Imam Hasan akan berdamai pada orang yang nantinya mati bukan diatas agama islam. Dari dulu penyakit salafy adalah mereka jadi pura-pura bodoh kalau terkait dengan pembelaan terhadap Muawiyah. Kalau mau diperhatikan dengan baik Muawiyah itu sudah salah dari sisi manapun. Khalifah yang sah pada saat itu sudah jelas Imam Hasan dan apa dasarnya Muawiyah menentang, tidak lain itu disebabkan Muawiyah memang menginginkan kursi kekhalifahan makanya ia tidak mau taat kepada Imam Hasan. Bukannya itu yang dilihat salafy eh malah mereka memuliakan Muawiyah dengan alasan Imam Hasan telah berdamai dengannya. Apa salafy itu buta kalau awalnya Imam Hasan memerangi Muawiyah?. Imam Hasan berdamai dengan Muawiyah untuk menyelamatkan darah kaum muslimin karena Beliau tidak suka melihat lebih banyak lagi darah kaum muslimin yang tertumpah dalam masalah ini. Lagipula pada saat itu Muawiyah menampakkan keislaman dan tentu seseorang itu dinilai berdasarkan apa yang nampak darinya, soal perkara mau jadi apa ia nanti itu urusannya dengan Allah SWT.

Bukankah terdapat hadis Rasulullah SAW yaitu Hadis Al Haudh dimana Rasulullah SAW menjelaskan kalau diantara sahabatnya aka ada yang murtad sepeninggal Beliau sehingga tertolak di Al Haudh. Apakah pernah Rasulullah SAW menghisab atau menghukum sahabat-sahabat tersebut ketika Beliau masih hidup?. Apakah pernah Rasulullah SAW menyebut para sahabat itu dengan kata-kata “kafir” atau “murtad”?. Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan perlakuan terhadap mereka?. Jelas tidak, manusia tidak dihukum atas apa yang belum ia lakukan.

Mengapa pula salafy itu mengherankan Imam Hasan yang berdamai dengan kelompok pembangkang yaitu Muawiyah dan pengikutnya. Dengar baik-baik wahai salafy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja pernah berdamai dengan orang-orang kafir di Hudaibiyah. Semua itu mengandung hikmah yang diketahui oleh orang-orang yang mengetahuinya. Jadi logika pincang ala skizoprenik seperti itu tidak usah dipamerkan dalam tulisan ilmiah. Sebenarnya tidak ada ruang bagi salafy untuk menolak riwayat Al Baladzuri tersebut dengan syarat mereka melihat rangkaian hadis-hadis tentang Muawiyah, tidak hanya apa yang kami paparkan disini tetapi juga hadis-hadis lain yang menunjukkan apa saja yang telah ia lakukan baik dalam sejarah maupun hadis.

Di kalangan ulama yang terpercaya ternyata ada juga yang mengakui kalau Muawiyah tidak mati di atas agama Islam. Ulama yang dimaksud adalah Ali bin Ja’d Abu Hasan Al Baghdadi

سمعت أبا عبد الله، وقال له دلويه: سمعت علي بن الجعد يقول: مات والله معاوية على غير الإسلام

Aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad bin Hanbal] yang berkata Dalluwaih berkata aku mendengar dari ‘Ali bin Ja’d yang berkata “demi Allah, Muawiyah mati bukan dalam agama islam” [Masa’il Ahmad bin Hanbal riwayat Ishaq bin Hani no 1866]

Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz 3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”. Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.

Apakah para pendengki dan pengingkar itu mau menerima kebenaran ini? Sepertinya tidak karena pengalaman membuktikan salafy nashibi tidak akan pernah mau menerima hal-hal yang bertentangan dengan doktrin mahzab mereka. Mereka sok berkata “jangan bertaklid” padahal diri sendiri penuh dengan taklid. Kesimpulannya : Hadis Al Baladzuri bahwa Muawiyah mati tidak dalam agama islam adalah shahih. Akhir kata kami akan mengutip perkataan salafy
Sebagaimana tergambar pada omongan seorang Raafidliy sebelum membawakan riwayat Al Balaadzuriy :
Terdapat hadis yang mungkin akan mengejutkan sebagian orang terutama akan mengejutkan para nashibi pecinta berat Muawiyah yaitu hadis yang menyatakan kalau Muawiyah mati tidak dalam agama Islam. Kami akan mencoba memaparkan hadis ini dan sebelumnya kami ingatkan kami tidak peduli apapun perkataan [baca: cacian] orang yang telah membaca tulisan ini. Apa yang kami tulis adalah hadis yang tertulis dalam kitab. Jadi kami tidak mengada-ada.
Kita katakan : Kami tidak pernah terkejut dengan tulisan Anda – walhamdulillah – , karena memang itulah tabiat Anda dan orang-orang yang sepemahaman dengan Anda semenjak beratus-ratus tahun lalu, tidak ada perubahan – kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah ta’ala.
Baguslah kalau anda sekarang mengakui kalau diri anda termasuk “nashibi pecinta berat Muawiyah”. Dan bicara soal tabiat, justru tabiat anda dan orang-orang sepemahaman dengan anda inilah yang melahirkan banyak perpecahan di kalangan kaum muslim. Kelompok seperti anda yang suka merendahkan kelompok muslim lain dengan gelar-gelar ejekan memang sudah ada dari berates-ratus tahun lalu, malah semakin parah di zaman sekarang. Semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada anda dan yang lainnya untuk menerima kebenaran.
 
Pembelaan Nashibi Terhadap Muawiyah
Seperti biasa seorang nashibi punya kecenderungan berlebihan untuk memuliakan Muawiyah, membela kesalahan dan keburukannya. Salah satu contohnya adalah pembelaan seseorang yang menanggapi tulisan kami mengenai hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhla ia”. Komentarnya dapat pembaca lihat di blognya tentang keutamaan Muawiyah. Tentu saja komentar tersebut berupa pembelaan buta yang dibuat seolah-olah ilmiah. Ia menyatakan hadis tersebut palsu dengan membawakan hujjah-hujjah yang rapuh. Berikut adalah tanggapan kami terhadap komentarnya yang kami quote dan  cetak biru.

Kami sebelumnya menyatakan bahwa hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhla ia” adalah hadis yang hasan. Diantaranya kami membawakan riwayat Al Baladzuri berikut

حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Allaf Al Bashri yang berkata telah mendengar Sallam Abul Mundzir berkata Ashim bin Bahdalah berkata telah menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata Rasulullah SAW bersabda. [Ansab Al Asyraf 5/130].

Riwayat ini sanadnya hasan karena Sallam Abul Mundzir dan Ashim bin Bahdalah. Sallam seorang yang shaduq hasanul hadis dan Ashim seorang yang tsiqah hasanul hadis. Saudara nashibi itu mengkritik kedua orang perawi tersebut yaitu Sallam dan Ashim sehingga ia berkesimpulan bahwa dengan adanya dua orang tersebut maka mana mungkin hadis tersebut sanadnya hasan lidzatihi.

Pembahasan Sanad Riwayat Al Baladzuri
Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir
Saudara Nashibi itu berkata:
Namanya : Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Muzanniy Al-Bashriy. Ibnu Ma’iin berkata : “Laa ba’sa bihi”. Dalam riwayat yang lain : “Laa syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Abu Haatim : “Shaduuq shaalihul-hadiits”. Al-‘Uqailiy memasukkannya ke dalam Adl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Haditsnya tidak ada mutaba’ah-nya”. [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/177 no. 3345].
Yang ingin kami tanggapi dari kutipan di atas adalah pencacatan Al Uqaili yang memasukkan Sallam dalam kitabnya Adh Dhu’afa merupakan pencacatan yang tidak berdasar. Dalam Ad Dhu’afa Al Uqaili no 666, ia menyebutkan tentang Sallam dengan perkataan “hadisnya tidak ada mutaba’ahnya”. Kemudian ia membawakan dua buah hadis Sallam sebagai bukti. Padahal kedua hadis yang dibawakan Al Uqaili adalah hadis Sallam yang ternyata memiliki mutaba’ah. Hadis yang pertama adalah hadis hasan dan yang kedua adalah hadis shahih. Jadi bagaimana mungkin melemahkan Sallam dengan berdasarkan kedua hadis tersebut.
Untuk perkataan Ibnu Ma’iin : “Laa ba’sa bihi” ; maka ini tidak ada asal penukilannya. Dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (4/biografi no. 1119) disebutkan : Telah berkata Abu Bakr bin Abi Khaitsamah : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin ditanya tentang As-Sallaam Abul-Mundzir, maka ia berkata : “Laa syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Dan inilah yang tsabt dari perkataan Ibnu Ma’iin. Wallaahu a’lam [ta’liq Tahdziibul-Kamaal, 12/289]. Ini diperkuat dari riwayat : Telah berkata Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Al-Junaid : Aku bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin tentang Sallaam Abul-Mundzir, apakah ia seorang yang tsiqah ?. Maka ia menjawab : “Tidak” [Tahdziibul-Kamaal, 12/289].
Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah tidak setiap perkataan jarh wat ta’dil memiliki asal penukilan. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab seperti At Tahdzib Ibnu Hajar dan Mizan Al ‘Itidal Adz Dzahabi. Kedua kitab tersebut banyak menukil perkataan ulama terdahulu tanpa menyebutkan asal penukilannya. Diantara para ulama yang menisbatkan perkataan Ibnu Ma’in “la ba’sa bihi” kepada Sallam Abul Mundzir adalah
  • Al Mizzi dalam Tahdzib Al Kamal 12/289 no 2657
  • Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 4 no 499
  • Adz Dzahabi dalam Mizan Al ‘Itidal juz 2 no 3345, Al Mughni no 2497 dan Tarikh Al Islam 11/137
  • Ahmad bin Abdullah Al Khazraji dalam Khulasah Tadzhyb Tahdzib Al Kamal hal 160
  • Muhammad bin Alwi Al Husaini dalam Tadzkirah Ma’rifat Ar Rijal no 2668
Silahkan saja jika saudara nashibi itu ingin menafikan penukilan mereka semua. Dalam hal ini kita tidak perlu menolak perkataan la ba’sa bihi walaupun kita tidak menemukan asal penukilannya. Sedangkan kutipan yang disebutkan dari Ibnu Abi Khaitsamah dan Ibnu Junaid masih bisa dikompromikan dengan perkataan laba’sa bihi Ibnu Main.

Abu Bakar bin Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Main yang berkata tentang Sallam Abul Mundzir “Laa syai’(tidak ada apa-apanya)”. Perkataan ini terkhusus bagi Ibnu Ma’in tidak mesti bersifat jarh (cacat). Perkataan laa syai’ atau laisa bi syai’ (tidak ada apa-apanya) dari Ibnu Main terhadap seorang perawi menunjukkan kalau perawi tersebut tidak memiliki banyak hadis atau sedikit hadisnya sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qattan [lihat Hady As Sari Ibnu Hajar 1/421, Fathul Mughits As Sakhawi 1/371, dan Rafu’ wa Takmil 1/212].

Jadi jika kita menggabungkan semua perkataan Ibnu Ma’in terhadap Sallam Abul Mundzir maka Sallam adalah seorang yang tidak begitu kuat untuk dikatakan tsiqah tetapi tidak ada masalah dengannya dan ia sedikit meriwayatkan hadis. Perkataan la ba’sa bihi, laisa bisyai’, dan laisa bitsiqah Ibnu Main bisa saja bergabung sekaligus pada seorang perawi.
  • Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 683 Ibnu Main menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur dengan “laisa bi syai’(tidak ada apa-apanya)”.
  • Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 786 Ibnu Main menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur dengan “laisa bi tsiqah(tidak tsiqah)”
  • Dalam Tarikh Ibnu Main riwayat Ad Dawri no 1011 Ibnu Main kembali menyebutkan tentang Zakaria bin Manzhur tetapi dengan sebutan “la ba’sa bihi(tidak ada masalah dengannya)”.
Kemudian saudara itu berkata
Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam jajaran perawi lemah (lihat Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 1/421 no. 2497 dan Dzail Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 36 no. 43].
Pernyataan saudara nashibi ini patut diberikan catatan. Adz Dzahabi cukup banyak menulis kitab tentang perawi hadis dan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Adz Dzahabi mengenai Sallam Abul Mundzir maka dapat disimpulkan kalau Adz Dzahabi sendiri memberikan predikat ta’dil padanya.

سلام بن سليمان أبو المنذر المزني البصري المقرئ شيخ يعقوب سمع من ثابت وطبقته قال ابن معين لا بأس به وبعضهم لم يحتج به وقال أبو حاتم صدوق

Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir Al Muzanni Al Bashri Al Muqri, Guru (Syaikh) Ya’qub mendengar dari Tsabit dan yang satu thabaqah dengannya. Ibnu Ma’in berkata “la ba’sa bihi”(tidak ada masalah). Sebagian orang tidak berhujjah dengannya, Abu Hatim berkata “shaduq”. [Al Mughni no 2497]

سلام أبو المنذر ت س عن ثابت البناني ثبت في القراءة لا بأس به في الحديث وبعضهم لم يحتج به في الحديث

Sallam Abul Mundzir, meriwayatkan dari Tsabit Al Banani. Tsabit dalam qira’ah dan la ba’sa bihi (tidak ada masalah) dalam hadis. Sebagian orang tidak berhujjah dengan hadisnya. [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwattsaq no 139]

Adz Dzahabi memang menuliskan nama Sallam Abul Mundzir dalam kitabnya Diwan Ad Dhu’afa no 1682, tetapi anehnya dalam kitab tersebut Adz Dzahabi justru menyatakan kalau Sallam bin Sulaiman Abul Mundzir tsiqah.
 

Sallam Abul Mundzir Diwan Ad Dhu’afa
Al-Haafidh berkata tentangnya : “Shaduuq yahimu (jujur, kadang salah)” [At-Taqriib]. Jika perkatan Ibnu Hajar ini ‘dikoreksi’ dengan : “shaduuq hasanul-hadiits” – maka dari sisi mana penafikan “kadang tersalah” yang ada pada Sallaam bin Sulaiman ini ? Padahal As-Saajiy telah menjelaskan makna “yahimu” di sini menunjukkan kekurangan sifat mutqin pada diri Sallaam. Dan telah jelas bahwa Sallaam ini dipermasalahkan dari sisi hapalannya.
Saudara Nashibi ini hanya menyandarkan hujjahnya kepada As Saji dan lucunya ia tidak memperhatikan perkataan para ulama lain yang lebih mu’tabar disbanding As Saji. Bukankah Abu Hatim dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir sebagai shaduq shalihul hadits (jujur dan hadisnya baik) [Al Jarh wat Ta’dil 4/259 no 1119]. Bukankah Abu Dawud dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir laisa bihi ba’sun (tidak ada masalah) [At Tahdzib juz 4 no 499]. Bukankah Adz Dzahabi dengan jelas menyatakan Sallam Abul Mundzir la ba’sa bihi fil hadits (tidak ada masalah dalam hadisnya) [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwattsaq no 139].

Bagaimana bisa dikatakan Sallam Abu Mundzir dipermasalahkan hafalannya. Al Bukhari telah menulis biografi Sallam Abul Mundzir dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 2230 dan menukil pujian Hammad bin Salamah terhadapnya. Hammad bin Salamah mengatakan kalau Sallam lebih hafal hadis Ashim daripada Hammad bin Zaid. Al Haitsami menyatakan Sallam Abul Mundzir tsiqah [Majma’ Az Zawaid 7/523 no 12126]. Al Hafizh Ibnul Jazari menyatakan Sallam Abul Mundzir seorang tsiqah dan mulia [Ghayah Al Nihayah Fi Thabaqat Al Qurra’ 1/136 no 1360]. Yaqub Al Hadhrami murid Sallam Abul Mundzir berkata “tidak ada pada masanya yang lebih alim darinya” [Tarikh Al Islam 11/137]. Tentu saja ulama-ulama ini lebih dapat dijadikan pegangan daripada As Saji oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengoreksi Ibnu Hajar dan menyatakan kalau Sallam Abul Mundzir shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 2705]
Selain itu kutipan As Saji yang dijadikan hujjah oleh Nashibi itu berasal dari Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib At Tahdzib padahal Adz Dzahabi [yang termasuk lebih terdahulu dari Ibnu Hajar, dimana ketika Adz Dzahabi wafat Ibnu Hajar baru berusia lebih kurang 12 tahun] dalam kitabnya Ma’rifat Al Qurra’ Al Kibar juga mengutip pujian As Saji mengenai Sallam bin Sulaiman tanpa adanya celaan terhadap Sallam ataupun kata-kata “laisa bimutqin”

وقال زكريا بن يحيى الساجي سلام أبو المنذر صدوق كان صاحب سنة وكان يؤم بجامع البصرة

Zakaria bin Yahya As Saji berkata “Sallam Abul Mundzir shaduq[jujur], seorang yang berpegang teguh pada sunnah dan dia Imam masjid Bashrah” [Ma’rifat Al Qurra’ Al Kibar 1/133 no 49]
Tentu jika mau memilih kutipan yang lebih rajih maka kutipan As Saji dari Adz Dzahabi lebih rajih karena Adz Dzahabi termasuk ulama rijal yang lebih terdahulu dibanding Ibnu Hajar. Jadi mungkin saja dalam hal ini Ibnu Hajar keliru dan sebenarnya As Saji justru memuji Sallam Abul Mundzir.

Ashim bin Bahdalah
Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan hapalannya. An-Nasaa’iy berkata : “Laisa bi-haafidh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Pada hapalan ‘Aashim ada sesuatu (fii hifdhi ‘Aashim syai’)”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran”. Ibnu Khiraasy berkata : “Dalam haditsnya ada pengingkaran (fii hadiitsihi nukrah)”. Ahmad dan Abu Zur’ah berkata : “Tsiqah”. Di lain tempat Ahmad berkata : “Tsiqah, aku memilih qira’atnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, namun ia banyak salah dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Hasanul-hadiits” [Miizaanul-I’tidaal, 2/356-357].
Sebelumnya mari kita perhatikan dulu siapa yang menta’dilkan Ashim bin Bahdalah
  • Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqah [At Tahdzib juz 5 no 67]
  • Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqah laba’sa bihi [Al Jarh wat Ta’dil 6/340 no 1887, Ats Tsiqat Ibnu Syahin no 831, At Tahdzib juz 5 no 67]
  • Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 807]
  • Abu Zar’ah menyatakan ia tsiqah [Al Jarh wat Ta’dil 6/340 no 1887]
  • Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 9952]
  • Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 830]
  • An Nasa’i menyatakan Ashim la ba’sa bihi (tidak ada masalah) [At Tahdzib juz 5 no 67]
Diantara mereka yang membicarakan Ashim bin Bahdalah adalah Yahya Al Qattan, Ibnu Ulayyah, Al Uqaili dan Daruquthni. Mereka membicarakan hafalannya tetapi tidaklah benar menyatakan kalau Ashim hafalannya buruk. Abu Hatim walaupun mengetahui kalau Ashim diperbincangkan hafalannya, ia tetap menyatakan Ashim sebagai “tempat kejujuran dan hadisnya baik” [Al Jarh wat Ta’dil 6/340 no 1887]. Hal ini justru membuktikan kalau keraguan terhadap Ashim tidak membuatnya jatuh ke derajat dhaif tetapi menunjukkan kalau Ashim seorang yang hadisnya hasan [tidak sampai ke taraf shahih].
Menurut beberapa ulama Ashim melakukan kekeliruan dalam hadis oleh karena itu mereka meragukan hafalannya. Dalam suatu hadis lain Ashim terkadang meriwayatkan dari Zirr dan terkadang meriwayatkan dari Abu Wail. sebagian ulama mengatakan kalau Ashim melakukan kesalahan dan ada yang menyatakan kalau terjadi idhthirab. Tentu saja ini hanya sebuah keraguan yang masih perlu dibuktikan dan diteliti karena masih mungkin Ashim meriwayatkan hadis tersebut baik dari Zirr maupun Abu Wail karena keduanya adalah gurunya Ashim. Ashim telah ditetapkan bahwa ia mendapat predikat ta’dil dari para ulama, tidak ada yang menyatakan ia dhaif bahkan beberapa ulama yang meragukannya tetap menyatakan ia tsiqah seperti Ibnu Sa’ad dan Yaqub bin Sufyan.
Ada alasan lain yang menunjukkan Ashim bisa dijadikan hujjah. Ashim bin Bahdalah adalah ulama qira’at yang merupakan salah satu dari qira’at sab’ah. Kita umat islam mengenal apa yang disebut qira’at Ashim. Ulama bersepakat kalau Ashim adalah hujjah dalam qira’at. Nah bagaimana mungkin bisa dikatakan kalau Ashim ini hafalannya lemah atau buruk, padahal hafalannya mengenai qira’at justru dijadikan hujjah. Jika ada yang mau berdalih bahwa hafalannya yang buruk hanya terbatas pada hadis sedangkan dalam qira’at tidak. Dalih ini jelas tidak ada nilainya baik hadis maupun qira’at sama-sama huruf atau kata atau kalimat, dan yang membedakan hanya isinya. Kalau Ashim hafalannya kuat dan dijadikan hujjah soal qira’at yang begitu banyaknya maka mengapa pula ia harus sulit menghafal hadis-hadis yang ia dapat padahal hadisnya itu tidak begitu banyak.
Kesimpulannya mereka yang membicarakan hafalan Ashim karena mereka menganggap adanya kesalahan pada hadis Ashim padahal kesalahannya itu tidak terbukti dan seandainya Ashim terbukti pernah melakukan kesalahan maka itu tidak menjadi alasan untuk mendhaifkannya. Cukup banyak perawi yang dikenal tsiqat tetapi pernah melakukan kesalahan seperti Syu’bah, Yahya bin Sa’id dan yang lainnya dan kesalahan tersebut tidak pernah dijadikan alasan untuk mendhaifkan mereka. Begitu pula hadis Ashim bin Bahdalah, Adz Dzahabi yang walaupun mengetahui ulama-ulama yang mempermasalahkan Ashim tetap menyatakan kalau Ashim seorang yang shaduq dan hasanul hadis [Man Tukullima Fihi wa Huwa Muwatstsaq no 171 dan Mizan Al I’tidal 2/356-357].

Al Hafiz Az Zarkali berkata tentang Ashim bin Bahdalah

كان ثقة في القراآت، صدوقا في الحديث

Dia seorang yang tsiqat dalam qira’at dan shaduq dalam hadis [Al A’lam 3/248]
Ibnu Imad Al Hanbali berkata:

عاصم بن أبي النجود الكوفي في الأسدي مولاهم أحد القراء السبعة كان حجة في القرآت صدوقاً في الحديث

Ashim bin Abi Najuud Al Kufi termasuk Al Asadi mawla mereka, salah seorang dari tujuh ulama qira’at. Ia seorang yang menjadi hujjah dalam qira’at dan shaduq dalam hadis. [Syadzratu Dzahab 1/175]
Pemutlakan tsiqah oleh Abu Zur’ah di atas ditentang oleh Abu Haatim, karena Ibnu ‘Ulayyah memperbincangkannya hapalannya. [Tahdziibul-Kamaal, 13/477].
Kita telah menunjukkan kalau Abu Zar’ah tidak menyendiri dalam menyatakan tsiqah terhadap Ashim. Bersama Abu Zar’ah ada Ahmad bin hanbal, Ibnu Ma’in, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin. Lagipula walaupun Abu Hatim tidak menyatakan Ashim tsiqah, ia sendiri tetap beranggapan Ashim seorang yang hadisnya baik dan merupakan tempat kejujuran. Bukankah ini bukti yang menguatkan pernyataan kami bahwa Ashim hadisnya hasan.
Jika kita lihat para perawinya, maka pembicaraan ada pada Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir dan ‘Aashim bin Bahdalah (‘Aashim bin Abin-Nujuud). Kedua-duanya dibicarakan dalam hal hapalan. ‘Aashim lebih baik daripada Sallaam, dan ia (‘Aashim) haditsnya hasan selama tidak ada pertentangan dan pengingkaran. Adapun Sallaam, yang raajih ia adalah perawi dla’if
Walaupun terdapat pembicaraan tetap saja tidak menjatuhkan mereka ke dalam derajat dhaif. Justru dengan tsabitnya penta’dilan terhadap mereka maka hadis mereka walaupun tidak shahih tetap berderajat hasan. Baik Ashim maupun Sallam adalah seorang yang hadisnya hasan dan pendapat inilah yang rajih dan diikuti oleh para pentahqiq sedangkan ucapan nashibi ini yang mendhaifkan Sallam adalah omong kosong yang tidak ada buktinya karena tidak ada satu pun ulama yang tsabit menyatakan dhaif terhadap Sallam. Sudah jelas hadis tersebut bersanad hasan lidzatihi. Para pentahqiq telah menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah.
  • Syaikh Syu’aib Al Arnauth menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Musnad Ahmad 3/481-482 no 15995 dan 15996
  • Syaikh Husain Salim Asad menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Musnad Abu Ya’la 9/29 no 5096 dan 5097
  • Syaikh Al Albani menghasankan hadis Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah dalam tahqiq Sunan Tirmidzi 5/391-392 no 3273 dan 3274.
Jadi dapat disimpulkan kalau sanad hadis tersebut memang benar hasan lidzatihi dan pengingkaran nashibi itu hanya menunjukkan talbisnya untuk mengelabui orang awam yang tidak paham ilmu hadis.
Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa hadits ini adalah hasan li-dzaatihi ? Apalagi dalam hal ini para imam jarh wa ta’dil mengingkari hadits ini seperti Ayyuub As-Sikhtiyaaniy (Al-Kaamil oleh Ibnu ‘Adiy 5/101 dan yang lainnya), Ahmad bin Hanbal (Al-‘Ilal oleh Al-Khallaal, 138), Abu Bakr bin Abi Syaibah, Abu Zur’ah Ar-Raaziy (Adl-Dlu’afaa’, 2/427), Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (1/157, 250 & 2/172), Al-Bukhariy (At-Taariikh Al-Ausath 1/256), Al-‘Uqailiy (1/259), Ibnu ‘Adiy (2/146, 209 & 5/101, 200, 314 & 7/83), dan yang lainnya. Aneh bukan kesimpulannya ?
Lihat saja, inikan alasan basa-basi yang tidak mengena sama sekali. Hadis tersebut secara sanad memang hasan lidzatihi. Tidak ada gunanya nashibi itu mengutip pengingkaran para ulama mengenai hadis ini. Asal tahu saja ya, semua ulama yang disebutkan nashibi itu tidak ada satupun yang menyebutkan hadis tersebut dengan sanad dari Sallam Abul Mundzir dari Ashim bin Bahdalah. Kebanyakan mereka hanya menyebutkan sanad Amru bin Ubaid, sanad Ali bin Zaid dan sanad Mujalid. Bisa jadi para ulama tersebut memang tidak mengetahui kalau terdapat sanad yang jayyid seperti sanad Sallam dari Ashim [riwayat Al Baladzuri]. Atau bisa jadi menurut mereka matan hadis tersebut bathil sehingga apapun sanadnya hadis tersebut mesti ditolak.
Ayyub As Sakhtiyani misalnya ia menolak hadis ini dan menyatakan kalau Amru bin Ubaid yang memalsu hadis ini. Padahal Amru bin Ubaid hanya meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al Basri dan sebenarnya hadis Hasan itu sendiri mursal. Terburu-buru sekali Ayyub mengatakan kalau Amru bin Ubaid berdusta atas nama Hasan Al Bashri. Kenyataannya hadis tersebut memang tsabit dari Hasan Al Basri, Amru bin Ubaid tidak menyendiri meriwayatkan dari Hasan artinya Amru bin Ubaid tidak memalsukan hadis ini, hadis tersebut memang hadis Hasan Al Basri. Bukankah dari sini saja kita bisa melihat kalau Ayyub As Sakhtiyani itu sudah keliru dan ini menunjukkan sikap ulama yang mencari kambing hitam untuk menolak hadis yang tidak mereka sukai.

Pembahasan Hadis Abu Sa’id Al Khudri
Adapun hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy yang ia bawakan dalam dua jalur, yaitu (Pertama) jalur Mujaalid dari Abul-Wadaak dari Abu Sa’iid, dan (Kedua) jalur ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’iid; maka ia juga tidak bisa dijadikan hujjah. Berikut keterangannya :
kedua hadis ini telah kami sebutkan walaupun sanadnya dhaif keduanya saling menguatkan sehingga kedudukannya adalah hasan lighairihi. Justru keterangan-keterangan yang diajukan oleh nashibi itu adalah keterangan lemah yang dicari-cari. Mari kita lihat.
.
Riwayat Mujalid bin Sa’id
1. ‘Aliy bin Al-Mutsannaa
Disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat, dan beberapa perawi tsiqaat meriwayatkan darinya [Tahdziibul-Kamaal, 21/114-116]. Namun Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia didla’ifkan oleh Al-Azdiy [Miizaanul-I’tidaal, 3/152 no. 5918]. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib]. Wafat : 256 H.
Ali bin Mutsanna telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban sehingga pendhaifan Al Azdi disini tidak bisa dijadikan hujjah kecuali ia menyebutkan alasan jarhnya dengan jelas. Bukankah dalam ulumul hadis jika seorang perawi telah dinyatakan tsiqat maka jarh terhadapnya harus bersifat mufassar, jika tidak maka jarh tersebut tidak diterima. Lucu juga kalau nashibi itu tidak mengetahui kaidah dasar seperti ini. Lagipula Al Azdi bukan ulama yang dapat dijadikan pegangan pencacatannya. Ia seperti yang dikatakan Adz Dzahabi suka berlebihan dalam mengkritik perawi hadis. Selain itu cukup dikenal kalau Al Azdi seringkali mendhaifkan para perawi tsiqat. Jadi jika Al Azdi menyendiri dalam mencacatkan perawi dan bertentangan dengan penta’dilan ulama lain maka pencacatannya tidak diterima.
2. Al-Waliid bin Al-Qaasim bin Al-Waliid Al-Hamdaaniy
Ia ditsiqahkan oleh Ahmad, namun didlaifkan oleh Yahya bin Ma’iin. Ibnu ‘Adiy berkata : “Apabila ia meriwayatkan dari perawi tsiqah, maka tidak mengapa dengannya” – (tapi sayangnya di sini ia meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi dla’iif). Wafat : 203 H [Miizaanul-I’tidaal, 4/344 no. 9395 dan Al-Jarh wat-Ta’diil 9/13 no. 58]. Ibnu Qaani’ berkata : “Shaalih” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/146].
Disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan Walid bin Qasim tsiqah dan Ibnu Qani’ menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 11 no 245]. Imam Tirmidzi telah menghasankan hadis Walid bin Qasim [Sunan Tirmidzi 5/575 no 3590]. Adz Dzahabi juga menyatakan Walid bin Qasim tsiqah [Al ‘Ibar Fi Khabar Man Ghabar 1/268]. Ibnu Imad Al Hanbali berkata:

الوليد بن القسم الهمذاني الكوفي روى عن الأعمش وطبقته وكان ثقة

Walid bin Qasim Al Hamdani Al Kufi meriwayatkan dari ‘Al Amasy dan yang satu thabaqah dengannya, dia seorang yang tsiqah.[Syadzratu Dzahab 2/8].

Pendhaifan Ibnu Ma’in terhadap Walid bin Qasim jelas tidak bisa diterima karena Ibnu Ma’in tidak menyebutkan alasan yang jelas soal pencacatannya [jarh mubham]. Telah jelas penta’dilan terhadap Walid bin Qasim oleh karena itu jarh(cacat) yang dikenakan padanya harus bersifat mufassar jika tidak maka jarhnya tidak diterima.
Al-Mizziy menukil perkataan Ibnu ‘Adiy : “Apabila ia meriwayatkan dari perawi tsiqah dan meriwayatkan darinya perawi tsiqah, maka tidak apa dengannya (idzaa rawaa ‘an tsiqah wa rawaa ‘anhu tsiqah, falaa ba’sa bihi)” [Tahdziibul-Kamaal, 31/67]. Dan memang begitulah yang terdapat dalam Al-Kaamil (8/368).
Kami tidak keberatan kalau Walid dikatakan “la ba’sa bihi”. Tetapi ada yang aneh dari pernyataan Ibnu Ady. Seandainya Walid bin Qasim meriwayatkan hadis dari perawi yang dhaif maka hadis itu dhaif tetapi letak kedhaifannya ya terletak pada perawi yang dhaif tersebut bukannya Walid bin Qasim. Begitu pula jika seorang perawi dhaif meriwayatkan hadis dari Walid bin Qasim maka hadis itu dhaif dan lagi-lagi letak kedhaifannya ya pada perawi dhaif tersebut bukannya Walid bin Qasim. Apakah mungkin hanya karena Walid bin Qasim meriwayatkan dari perawi yang dhaif maka kedudukannya lantas menjadi dhaif pula? Atau hanya karena ada perawi dhaif meriwayatkan dari Walid maka Walid jadi ikutan dhaif pula?. Kaidah ngawur dari mana itu. Banyak perawi shahih yang meriwayatkan hadis dari perawi dhaif dan banyak pula perawi dhaif yang meriwayatkan hadis dari perawi shahih tersebut. semua itu tidak membuat perawi shahih tersebut menjadi dhaif
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yukhthi’ (jujur, terkadang salah)” [At-Taqriib]. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/500 no. 6881]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ (no. 664). Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun bersamaan dengan itu ia juga memasukkannya dalam Al-Majruuhiin.
Sikap Adz Dzahabi yang memasukkan nama Walid bin Qasim dalam Mughni Adh Dhu’afa bukan berarti Adz Dzahabi menganggap Walid dhaif tetapi Adz Dzahabi hanya menyebutkan kalau ada ulama yang menyatakan Walid dhaif. Kami telah menyebutkan pendapat Adz Dzahabi sendiri yang menyatakan kalau Walid bin Qasim tsiqah. Pokok permasalahan disini adalah apakah jarh atau pendhaifan kepada Walid bin Qasim itu memiliki dasar atau tidak karena Walid telah dita’dilkan oleh ulama yang mu’tabar seperti Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Ibnu Qani’ dan yang lainnya. Baik Ibnu Hibban maupun Ibnu Syahin tidak menyebutkan alasan yang jelas mengenai pendhaifan Walid jadi jarhnya tidak diterima apalagi pencacatan tersebut terkesan kontradiktif seperti Ibnu Hibban yang terkadang memasukkannya dalam Ats Tsiqat tetapi juga menyatakan ia dhaif. Nashibi itu berhujjah dengan perkataan Ibnu Hibban yang menyebutkan kalau Walid meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan perawi tsiqah sehingga tidak memenuhi syarat sebagai hujjah. Pernyataan ini jelas perlu dibuktikan, silakan tunjukkan hadis Walid yang bertentangan dengan perawi tsiqah [bisa saja ini cuma kekeliruan Ibnu Hibban] lagipula tidak setiap pertentangan dengan perawi tsiqah membuat kedudukan seseorang menjadi dhaif. Cukup dikenal dalam ilmu hadis perawi tsiqat bisa meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan perawi tsiqat lain.
Perkataan pertengahan mengenai Al-Waliid adalah perkataan Ibnu ‘Adiy. Di sini ia meriwayatkan dari Mujaalid, seorang perawi dla’iif, sehingga haditsnya ini adalah dla’if
Perkataan pertengahan mengenai Walid adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahrir At Taqrib no 7447 bahwa Walid bin Qasim shaduq hasanul hadis. Kami tidak keberatan menyatakan bahwa hadis ini dhaif tetapi letak kedhaifannya terletak pada Mujalid yaitu seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar dan hadisnya menjadi hasan lighairihi jika dikuatkan oleh perawi yang setingkat atau lebih tinggi darinya.
Ibnu ‘Adiy berkata : “Sebagian huffaadh berkata : Mujaalid mencuri hadits ini dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu ia menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak”. Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Adiy, juga disebutkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Al-Maudluu’aat (2/26). Salah satu sumber perkataan Ibnu ‘Adiy dan Ibnul-Jauziy adalah perkataan Al-Jurqaaniy dimana ia berkata : “Mujaalid ini adalah dla’iif, munkarul-hadiits. Ia telah mencuri hadits ini dari ‘Amr bin ‘Ubaid, lalu menceritakan dengannya dari Abul-Wadaak, dari Abu Sa’iid dengan lafadh ini” [lihat Al-Abaathiil, 1/354].
Tentu saja perkataan Mujalid mencuri hadis ini dari Amru bin Ubaid adalah mengada-ada. Hal ini jelas bagian dari kecenderungan ahli hadis untuk mencari kambing hitam untuk melemahkan atau menyatakan palsu hadis yang ingin mereka tolak. Tidak ada satupun ulama terdahulu yang menyatakan kalau Mujalid pernah mencuri hadis. Kedhaifan yang ada pada Mujalid semata-mata karena hafalannya yang buruk. Yang aneh bin ajaib adalah mengapa ada orang yang mengatakan kalau Mujalid mencuri hadis tersebut dari Amru bin Ubaid? Mengapa tidak dikatakan kalau Amru bin Ubaid yang mencuri hadis tersebut dari Mujalid?. Saya yakin orang itu tidak akan mampu menjawabnya karena memang perkataan tersebut hanya mengada-ada. Silakan perhatikan hadis Amru bin Ubaid yang dimaksud [riwayat ibnu Ady]

حدثنا محمد قال ثنا أبو الأحوص قال حدثني خالد قال سمعت حماد بن زيد يقول أو حدثني سليمان بن حرب قال قيل لأيوب إن عمرو بن عبيد يقول عن الحسن إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه فقال أيوب كذب عمرو

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid yang berkata telah mendengar dari Hammad bin Zaid yang mengatakan atau telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dikatakan kepada Ayub bahwa Amru bin Ubaid mengatakan dari Hasan “jika kamu melihat Muawiyah di mimbarku maka bunuhlah ia”. Ayub berkata “Amru berdusta”. [Al Kamil Ibnu Ady 5/101]
Nah mungkin sekarang bisa jadi jelas persoalannya. Amru bin Ubaid dituduh memalsukan hadis ini oleh karena itu Mujalid dituduh mencuri hadis ini dari Amru bin Ubaid. Kami tidak menafikan kedudukan Amru bin Ubaid yang dhaif matruk tetapi kenyataannya hadis tersebut memang tsabit diriwayatkan dari Hasan Al Basri, jadi tidak ada alasan untuk menuduh Amru bin Ubaid yang memalsukan hadis ini. Begitu pula tidak ada gunanya menuduh Mujalid mencuri hadis ini dari Amru bin Ubaid, tidak diketahui apakah memang Mujalid pernah bertemu dengan Amru bin Ubaid atau tidak. Lagipula hadis Mujalid itu riwayat Abu Sa’id sedangkan hadis Amru adalah hadis Hasan Al Basri dan hadis Abu Sa’id tidak hanya diriwayatkan oleh Mujalid tetapi juga diriwayatkan oleh Ali bin Zaid. Jadi menuduh Mujalid mencuri hadis ini sungguh mengada-ada. Kenyataan yang sebenarnya adalah Mujalid memang meriwayatkan hadis dari Abul Waddak dari Abu Sa’id dan Amru bin Ubaid memang meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al Basri.

حدثنا يوسف بن موسى وأبو موسى إسحاق الفروي قالا حدثنا جرير بن عبد الحميد حدثنا إسماعيل والأعمش عن الحسن قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa dan Abu Musa Ishaq Al Farawi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail dan ‘Amasy dari Hasan yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kalian melihat Muawiyah di Mimbarku maka bunuhlah ia”. [Ansab Al Asyarf Al Baladzuri 2/121]
Semua perawi hadis ini adalah tsiqat dan perawi shahih. Yusuf bin Musa adalah gurunya Bukhari yang dinyatakan tsiqat oleh Maslamah dan Ibnu Hibban. Ibnu Ma’in dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq. An Nasa’i berkata “laba’sa bihi” [At Tahdzib juz 11 no 731]. Ibnu Hajar member predikat shaduq [At Taqrib 2/346]. Abu Musa Ishaq bin Musa adalah seorang perawi Muslim yang dinyatakan tsiqat [At Taqrib 1/85]. Jarir bin Abdul Hamid perawi kutubus sittah yang dinyatakn tsiqat [At Taqrib 1/158]. Ismail adalah Ibnu Abi Khalid perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/93]. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/392] dan Hasan Bashri seorang tabiin yang tsiqat [At Taqrib 1/202]. Kalau ada yang mau mempermasalahkan ‘Amasy dan Ismail seorang mudallis maka dijawab mereka berdua adalah mudallis martabat kedua yaitu orang yang ‘an ‘anah-nya dijadikan hujjah dalam kitab shahih[Bukhari Muslim]. Riwayat Al Baladzuri ini bukti kalau hadis tersebut memang tsabit dari Hasan Al Bashri.
Kesimpulan penghukuman hadits dari jalur ini dla’iif karena Al-Waliid bin Al-Qaasim dan Mujaalid. Apalagi telah ternukil bahwa dalam hadits ini Mujaalid mencuri hadits dari ‘Amr bin ‘Ubaid. Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan i’tibar.
Hadis tersebut dhaif karena Mujalid sedangkan Walid bin Qasim seorang yang shaduq dan Mujalid tidak mencuri hadis ini dari Amru bin Ubaid. Dhaifnya hadis ini karena Mujalid yang diperbincangkan hafalannya, hadisnya walaupun dhaif dapat dijadikan i’tibar.
.
.
Riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an
Kesimpulannya, ia seorang perawi dla’iif. Pada asalnya, haditsnya ditulis dan dapat digunakan sebagai i’tibar. Sebagian ulama mutaqaddimiin – sebagaimana telah kita lihat – telah mensifatinya dengan tasyayyu’, bahkan Ibnu ‘Adiy menjarhnya dengan sifat ghulluw (berlebih-lebihan). Jarh atas sifat bid’ah tasyayyu’ yang disematkan padanya mempengaruhi sifat ‘adalah-nya. Oleh karena itu, hadits-haditsnya yang condong pada bid’ah tasyayyu’ (Syi’ah/Raafidlah), maka tidak diterima. Hadits ini salah satu di antaranya, karena sudah menjadi pengetahuan umum bagi Ahlus-Sunnah tentang kebencian Syi’ah terhadap Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ‘anhu. Jadi, cacat yang ada pada diri ‘Aliy bin Zaid bukan sekedar dari sisi hapalan saja.
Salah satu keanehan (baca : kelicikan) salafy nashibi adalah mereka tidak bisa atau pura-pura tidak bisa membedakan apa itu tasyayyu’ dan rafidhah. Apalagi menghubungkan antara tasyayyu’ dengan kebencian terhadap Muawiyah dan menjadikannya cacat. Sungguh pencacatan yang dibuat-buat. Lucunya tasyayyu’ yang disebut oleh nashibi ini sebagai bid’ah ternyata memiliki landasan dari hadis-hadis shahih. Lagipula Ibnu Ady bisa menyatakan Ali bin Zaid ghuluw dalam bertasyayyu’ pasti dengan melihat hadis-hadis yang diriwayatkan Ali bin Zaid dan salah satunya hadis ini. Bayangkan saja
  • Hadis ini dijadikan salah satu alasan bahwa Ali bin Zaid ghuluw dalam tasyayyu’
  • Karena Ali bin Zaid ghuluw dalam tasyayyu’ maka hadis ini dhaif
Kembali lagi ke logika sirkuler yang menyesatkan. Kasusnya hampir sama dengan perawi-perawi yang dinyatakan syiah karena mereka sering kali meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait [dan menurut salafy keutamaan tersebut berlebihan atau mungkar]. Setelah mereka dinyatakan syiah maka hadis-hadis mereka tentang keutamaan Ahlul Bait harus dikatakan termasuk bid’ah syiah dan mesti dinyatakan dhaif.
Satu-satunya cacat dalam hadis ini adalah hafalan Ali bin Zaid dan tidak ada hubungannya dengan tasyayyu’ atau tidak. Bukankah Mujalid bin Sa’id juga meriwayatkan hadis Abu Sa’id ini dan dia tidak bertasyayyu’ apalagi mau dikatakan rafidhah.
Konsekuensi dari hal di atas, hadits yang ia bawakan tidak bisa dijadikan i’tibar (baik sebagai muttabi’ ataupun syaahid). Tidaklah mengherankan jika Ibnu Hajar mengatakan hadits dalam bahasan ini termasuk hadits yang diingkari oleh para ulama.
Hadis ini dhaif karena Ali bin Zaid yang dipermasalahkan hafalannya tetapi ia telah dikuatkan oleh Mujalid bin Sa’id. Mereka bersama-sama saling menguatkan dan mengangkat derajat hadisnya menjadi hasan lighairihi. Para ulama mengingkari hadis ini karena mereka menolak matan hadis tersebut. Jika matan hadis tersebut bicara soal lain dan tidak merendahkan serang sahabat tertentu maka mereka tidak akan berkeras itu mengingkarinya. Intinya para ulama itu meyakini kalau Muawiyah termasuk sahabat yang utama sehingga hadis apapun yang merendahkan Muawiyah tidak lain adalah bid’ah dan palsu. Bukankah mereka para ulama itu juga terjebak dalam subjektifitas keyakinan ketika menilai hadis. Mereka dengan mudah menyatakan bid’ah setiap hadis yang menyelisihi akidah mereka sehingga tidak diragukan hadis-hadis tersebut harus diingkari. Dan jika ada diantara ulama yang menerima hadis itu maka ulama inipun sudah terjerat bid’ah dan mesti dicacat juga. Ada banyak contoh subjektivitas seperti itu dan diketahui oleh mereka yang memang menggeluti ilmu hadis.
Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan :
” Pada dasarnya para ulama mengingkari hadis tersebut dan cukup dengan melihat matannya mereka menyatakan hadis itu bathil. Oleh karenanya harus ada yang bertanggung jawab untuk kebatilan hadis di atas dan tuduhan disematkan pada Ali bin Zaid”.
adalah perkaaan yang ngawur, asal-asalan, lagi tidak intelek.
Jika kalangan Rafidlah tidak menerima jarh di sisi ini, tidak mengherankan bagi kita. Seekor serigala tentu akan melindungi anaknya.
Apa yang dimaksudkan oleh Nashibi itu dengan intelek?. Apakah ilmu hadisnya itu yang mau ia katakan intelek?. Rasanya yang suka ngawur dan asal-asalan itu ya nashibi ini. Tidak ada gunanya ia sok membela, sebelumnya telah dibuktikan bagaimana seorang ulama kenamaan seperti Ayub As Sakhtiyani menuduh dusta kepada Amru bin Ubaid karena meriwayatkan hadis tersebut dari Hasan Al Bashri, padahal memang terdapat hadis yang tsabit dari Hasan Al Bashri. Ayub pasti menganggap matan hadis ini batil dan Hasan Bashri tidak mungkin meriwayatkannya oleh karena itu kambing hitam mesti disematkan kepada Amru bin Ubaid. Tetapi sayang sekali fakta justru membuktikan kalau Amru bin Ubaid tidak berdusta.
Kita bisa memberikan contoh lain terkait hadis ini. Asy Syaukani dalam Fawaid Al Majmu’ah no 163 juga membawakan hadis ini dan ia menyatakan hadis ini maudhu’ karena Abbad bin Yaqub Ar Rawajini seorang rafidhah pendusta. Tentu saja tuduhan ini hanya dicari-cari, Abbad bin Yaqub adalah salah satu guru Bukhari yang dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Ibnu Khuzaimah. Daruquthni berkata “seorang syiah yang shaduq” [At Tahdzib juz 5 no 183]. Tidak ada satupun ulama terdahulu yang menyatakan Abbad pendusta, baru setelah ia meriwayatkan hadis yang dikatakan maudhu’ ini maka seorang Asy Syaukani menuduhnya pendusta. Saudara nashibi itu mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tetapi sikapnya yang menunjukkan gaya sok intelek itu memang cukup mengherankan. Yah seekor serigala tentu akan melindungi anaknya.

Pembahasan Matan Hadis dan Hadis Keutamaan Muawiyah
Apalagi jika kita lihat secara keseluruhan matan haditsnya, ia jelas-jelas bertentangan dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
اللهم اجْعَلْه هادياً مَهْدياً، واهْدِ به
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk. Berikanlah petunjuk padanya dan petunjuk (bagi umat) dengan keberadaannya”.
Ini adalah hadits shahih tanpa ada keraguan.
Tidak heran kalau seorang nashibi bersikeras menshahihkan hadis keutamaan Muawiyah di atas karena dari Muawiyahlah mereka para nashibi mengambil petunjuk. Hadis tersebut tidaklah shahih dan kami telah menjelaskan panjang lebar kelemahan hadis tersebut. Tulisan saudara nashibi itu justru menguatkan hujjah kami akan kelemahan hadis tersebut. Kelemahan hadis tersebut terletak pada idhthirab hadis tersebut yang berupa kekacauan mengenai orang yang dinyatakan sebagai sahabat yaitu Abdurrahman. Terkadang ia disebut Abdurrahman bin Abi Amiirah [Umairah dalam beberapa referensi yang ada pada kami], terkadang Abdurrahman bin Amiirah, terkadang Abdurrahman bin Amiir, terkadang ia dikatakan Al Azdi dan terkadang dikatakan Al Muzanni. Semua kekacauan ini semuanya diriwayatkan pada sanad yang berujung pada Sa’id bin Abdul Aziz. Sa’id bin Abdul Aziz walaupun dikenal tsiqat tetapi diriwayatkan kalau ia mengalami ikhtilat, sehingga sangat mungkin kekacauan ini berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz.

Saudara nashibi itu justru tidak memahami ta’lil terhadap Sa’id bin Abdul Aziz. Pencacatan Sa’id dalam hadis ini bukan berarti pencacatan mutlak untuk setiap hadis Sa’id bin Abdul Aziz. Dengan mengumpulkan semua hadis ini maka akan ditemukan kekacauan seperti yang telah kami sebutkan dan kekacauan tersebut tidak bisa dinafikan oleh argumen basa basi saudara nashibi yang tampak dalam tulisannya. Contohnya:
  • Nashibi itu ketika mengomentari penamaan Abdurrahman bin Abi Amiirah dan Abdurrahman bin Amiirah, ia menyebutkan kalau kedua nama itu merujuk pada satu orang yang sama. Kata-kata ini menunjukkan ia tidak memahami ta’lil yang dimaksudkan. Perbedaan nama itu memang tsabit adanya dan keduanya berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz begitu pula kekacauan yang lain. Walaupun mau dikatakan merujuk pada orang yang sama, orang yang sama itu sendiri tidak jelas, apakah Ibnu Abi Amiirah atau Ibnu Amiirah?. Tidak ada alasan untuk menafikan salah satu karena keduanya memang diriwayatkan melalui sanad yang tsabit sampai Sa’id bin Abdul Aziz. Sehingga bisa dikatakan kalau sumber kekacauan ini berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz.
  • Begitu pula ketika mengomentari soal kekacauan Al Azdi dan Al Muzanni, saudara nashibi itu dengan mudahnya bertaklid pada ulama yang lebih memilih Al Muzanni seperti Ibnu Asakir dan Al Mizzi. Padahal ulama lain seperti Ahmad bin Hanbal dengan jelas menyatakan Al Azdi [dalam Musnadnya]. Tidak ada alasan untuk menafikan salah satu. Baik Al Azdi dan Al Muzanni keduanya memang diriwayatkan melalui sanad yang tsabit sampai Sa’id bin Abdul Aziz. Sehingga bisa dikatakan kalau sumber kekacauan ini berasal dari Sa’id bin Abdul Aziz.
Kekacauan itu yang menunjukkan berasal dari satu orang yaitu Sa’id bin Abdul Aziz. Dan ternyata dia ini diriwayatkan juga mengalami ikhtilat sebelum wafat. Maka sangat beralasan untuk meragukan status persahabatan Abdurrahman karena dari Sa’id bin Abdul Aziz lah diketahui bahwa Abdurrahman seorang sahabat Nabi, padahal dalam hadis ini Sa’id tersebut terbukti mengalami kekacauan. Itulah cacat yang kami maksudkan dan tidak dipahami oleh saudara nashibi tersebut.

Lagipula kalau matan hadis tersebut benar-benar diperhatikan maka didalamnya terdapat kemungkaran yang nyata. Bagaimana mungkin Muawiyah dikatakan memperoleh petunjuk dan memberikan petunjuk jika pada kenyataannya ia banyak melakukan penyimpangan dalam agama?. Kami telah cukup banyak menulis tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah. Yah tentu saja lain ceritanya jika salafy nashibi menganggap penyimpangan itulah petunjuk dari Muawiyah, maka kita umat islam berlepas diri dari mereka.
Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai sahabat Ammar bin Yasir RA

ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن

Dan Rasulullah SAW bersabda “kasihan Ammar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang. Ia mengajak mereka ke surga, mereka malah mengajaknya ke neraka. Ammar berkata “Aku berlindung kepada Ar Rahman dari fitnah”. [Musnad Ahmad 3/90 no 11879 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Bukankah yang membunuh Ammar bin Yasir adalah kelompok Muawiyah. Perhatikanlah baik-baik Rasulullah SAW tidak menyebut kata “orang yang membunuhnya” tetapi Rasulullah SAW menggunakan kata “kelompok”. Yang membunuh Ammar bin Yasir adalah Abu Ghadiyah dan dia berasal dari kelompok Muawiyah. Maka sudah jelas kelompok pembangkang  yang mengajak ke neraka adalah kelompok Muawiyah. Bukankah kelompok Muawiyah jelas mengikuti Muawiyah dan merujuk pada hadis yang dishahihkan nashibi itu maka Muawiyah itu mendapat petunjuk dan pemberi petunjuk. Padahal kelompok Muawiyah itu malah disebut pembangkang dan menyeru ke neraka. Itukah yang disebut petunjuk [mungkin petunjuk bagi nashibi]. Sudah jelas hadis petunjuk Muawiyah itu benar-benar mungkar dan bertentangan dengan kabar yang shahih bahwa Muawiyah termasuk kelompok pembangkang yang mengajak ke neraka.
Dan lihatlah bagaimana seorang Muawiyah yang merupakan sumber petunjuk salafy nashibi berkelit dan berbasa-basi dalam pembelaannya [persis seperti salafy nashibi sekarang]

عن عبد الله بن الحرث قال اني لأسير مع معاوية في منصرفه من صفين بينه وبين عمرو بن العاص قال فقال عبد الله بن عمرو بن العاصي يا أبت ما سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعمار ويحك يا بن سمية تقتلك الفئة الباغية قال فقال عمرو لمعاوية ألا تسمع ما يقول هذا فقال معاوية لا تزال تأتينا بهنة أنحن قتلناه إنما قتله الذين جاؤوا به

Dari Abdullah bin Al Harits yang berkata “Aku berjalan bersama Muawiyah dan Amru bin Ash selepas perang shiffin. Abdullah bin Amru bin Ash berkata “wahai Ayahku tidakkah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ammar “kasihan engkau Ibnu Sumayyah, engkau dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Amru berkata kepada Muawiyah”tidakkah engkau mendengar perkataannya”. Muawiyah berkata ”apakah kita yang membunuh Ammar, sesungguhnya yang membunuhnya adalah orang yang membawanya” [Musnad Ahmad 2/161 no 6499 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Jadi menurut petunjuk Muawiyah maka yang membunuh Ammar bin Yasir adalah orang yang membawanya ke medan perperangan yaitu Imam Ali. Muawiyah ingin membuat takwil terhadap hadis tersebut sehingga ia membuat dalih dengan menunjukkan kalau kelompok pembangkang itu adalah kelompok yang membawa Ammar yaitu kelompok Imam Ali. Yah siapapun yang berlogika baik pasti tahu kalau perkataan yang diucapkan Muawiyah itu cuma berkelit, dalih atau hujjah basa-basi untuk menafsirkan secara batil hadis yang jelas menyudutkannya. Cara-cara berdalil gaya Muawiyah inilah yang dijadikan panutan oleh salafy nashibi sekarang ini.
Apakah mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membunuh Mu’awiyyah padahal ia berdoa agar ia diberikan petunjuk dan dapat memberikan petunjuk bagi orang lain ?
Bagi kami hadis tersebut jelas lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Sanadnya mudhtharib ghairu tsabit dan matannya mungkar [bertentangan dengan riwayat shahih]. Sedangkan hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” sanadnya hasan dan matannya telah kami bahas panjang lebar dalam tulisan yang khusus : Pembahasan matan hadis “jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah Ia”.
Apalagi Mu’awiyyah juga seorang sekretaris Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Haditsnya shahih, walau ini juga diingkari oleh Syi’ah seperti kebiasaan mereka terhadap Mu’awiyyah. Semoga satu saat nanti saya dimudahkan untuk menulis bahasannya. Hanya saja, dalam kitab mereka (Syi’ah) juga tertulis riwayat sebagai berikut (yang dinisbatkan pada Abu Ja’far Al-Baaqir) :
Muawiyah pernah menulis untuk Nabi tetapi tidak jelas apakah itu menulis wahyu atau menulis surat. Walaupun begitu jelas saja ini tidak ada hubungannya. Sangat wajar Rasulullah SAW meminta seseorang yang bisa menulis untuk menuliskan sesuatu. Lagipula bahkan seorang penulis wahyu bisa saja mendapat laknat dari Allah SWT. Silakan cari hujjah yang lebih relevan, dan gak perlu berhujjah pakai kitab syiah.
Dan juga riwayat-riwayat shahih lainnya tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhuma.
Ada juga riwayat-riwayat shahih lain tentang celaan terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan.
Maka, sangat sulit dipahami jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan (jika berdiri di atas mimbarnya) dengan data-data valid seperti di atas. Lha wong kepada gembong munaafiq yang sudah jelas kemunafiqannya yang bernama Ibnu Saluul saja beliau tidak memerintahkan membunuhnya, apalagi kepada Mu’aawiyyah !! Semua itu hanya dapat dipahami dengan logika ala Syi’ah saja…….
Seorang nashibi memang cuma bisa berpikir dengan logika ala nashibi saja. Memangnya orang munafik itu bisa dibunuh seenaknya, bahkan orang kafir saja tidak bisa dibunuh sesuka hati. Tetapi jika memang ada alasannya maka tidak hanya kafir dan munafik,orang islam pun bisa saja diperintahkan untuk dibunuh misalnya saja jika terbukti orang tersebut dengan sengaja membunuh orang lain maka berlaku hukum bunuh untuknya.
Seorang Nabi memang memiliki pengetahuan khusus dari Allah SWT [silakan baca kisah Nabi Khidir]. Rasulullah SAW terkadang memiliki alasan khusus yang mendasari apa yang Beliau katakan. Rasulullah SAW pernah memerintahkan membunuh seseorang yang sedang shalat dimana para sahabat ternyata tidak mampu untuk memenuhi perintah Nabi SAW tersebut. Kemudian Nabi SAW menyebutkan alasannya bahwa orang tersebut dan keturunannya akan memecah belah kaum mukmin [mereka ini yang disebut khawarij].
Jadi tidak ada susahnya untuk dikatakan kalau Rasulullah SAW bisa saja mengetahui ketika Muawiyah berada di mimbar Nabi [dalam arti memegang kekuasaan atas kaum muslim] maka ia melakukan banyak penyimpangan yang membuat dirinya layak untuk dihukum bunuh. Perkara orang-orang atau sahabat tidak mau atau tidak mampu melakukannya [di masa Muawiyah berkuasa] itu cerita lain, sama halnya dengan para sahabat yang tidak mampu membunuh seseorang yang sedang shalat[seperti yang kami katakan sebelumnya].
Seharusnya hadis “jika kamu melihat Muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” dipahami dalam arti umat islam seyogianya tidak mendukung Muawiyah dalam meraih kekuasaan karena hadis tersebut menyiratkan betapa buruknya pemerintahan yang akan dipimpin Muawiyah nanti. Sama seperti hadis Nabi SAW tentang khawarij.

يخرج قوم في آخر الزمان سفهاء الأحلام أحداث أو قال حدثاء الأسنان يقولون من خير قول الناس يقرؤون القرآن بألسنتهم لا يعدو تراقيهم يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية فمن أدركهم فليقتلهم فإن في قتلهم أجرا عظيما عند الله لمن قتلهم

Akan muncul di akhir zaman kaum yang akalnya dangkal, muda atau beliau berkata yang berusia muda, mereka mengucapkan sebaik-baik perkataan manusia, mereka membaca Al Qur’an dengan lisan mereka tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Barangsiapa mendapati mereka maka bunuhlah mereka karena terdapat pahala yang besar di sisi Allah bagi yang membunuh mereka. [Musnad Ahmad 1/404 no 3831 shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Bukankah hadis di atas dengan jelas memerintahkan membunuh kaum khawarij bagi siapa yang mendapati mereka. Tetapi lihatlah bagaimana Imam Ali dan sahabat lain memperlakukan kaum khawarij. Mereka tidak langsung begitu saja membunuh kaum khawarij ketika bertemu dengan mereka. Mereka tetap menyampaikan dakwah, nasehat dan peringatan kepada kaum khawarij, tidak main asal bunuh dengan seenaknya. Berarti hadis di atas tidak mesti harus diartikan “langsung membunuh” begitu saja. Hadis di atas justru sedang menunjukkan betapa buruknya kaum khawarij tersebut dan betapa perbuatan mereka membuat mereka layak untuk dihukum bunuh.
Begitupula dengan para ulama. Rasanya mereka juga tidak pernah menyatakan kalau khawarij itu orang kafir mereka tetap menyebut khawarij itu orang islam tetapi melakukan bid’ah. Walaupun hadis di atas menyebutkan khawarij itu keluar dari islam seperti anak panah lepas dari busur. Tentu yang dimaksudkan adalah perbuatan-perbuatan mereka tidak mencerminkan keislaman bahkan sangat bertentangan dengan ajaran islam walaupun secara zahir mereka mengaku islam. Lihat saja cukup banyak para perawi hadis yang khawarij justru dijadikan hujjah oleh para ahli hadis seperti yang tertera dalam Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Para ulama itu ketika bertemu dengan perawi khawarij mereka malah mengambil hadis darinya bukannya langsung membunuh perawi khawarij tersebut. [walaupun patut disayangkan khawarij yang sangat buruk sekali kedudukannya tetap dijadikan sumber hadis bagi para ahli hadis]
Terakhir penulis nashibi itu juga melakukan talbis lain yaitu menuduh kami melakukan inkonsistensi. Lucu sekali, ia berkata
CATATAN KECIL :
Coba kita perhatikan tulisan yang antum tunjukkan itu. Pada tulisannya, penulis Rafidlah itu berkata saat membicarakan ‘Aliy bin Al-Mutsannaa :
”Pernyataan ini lebih tepat karena Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat”.
Dari awal kami tidak pernah merendahkan taustiq Ibnu Hibban, tidak seperti salafy nashibi yang seenaknya merendahkan tautsiq Ibnu Hibban tetapi anehnya ia sendiri malah berhujjah dengan tautsiq Ibnu Hibban untuk membela keyakinannya. Sejauh ini kami telah berdiskusi dengan nashibi itu soal dua buah hadis yaitu hadis Malik Ad Daar dan hadis Ru’yah. Pada pembahasan hadis Malik Ad Daar kami justru menjadikan tautsiq Ibnu Hibban sebagai hujjah. Hanya pada pembahasan hadis ru’yah Abdurrahman bin ‘Aaisy kami menolak tautsiq Ibnu Hibban karena disini Ibnu Hibban dengan jelas menyatakan Ibnu ‘Aaisy itu sebagai sahabat. Hal ini telah kami buktikan kekeliruannya. Ibnu ‘Aaisy bukanlah sahabat Nabi seperti yang dikatakan Ibnu Hibban. Jadi dimana letak inkonsistensinya, tentu saja lain ceritanya kalau nashibi ini tidak mengerti pembahasan panjang lebar yang sudah kami tulis. Seperti biasa, ia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Selain itu ternyata nashibi yang menyedihkan itu juga menuduh kami tidak konsisten dalam pembahasan hadis ru’yah mengenai perawi Khalid bin Al Lajlaaj. Seperti biasa nashibi itu berulang kali menunjukkan ketidakmampuannya memahami hujjah orang lain. Kami pernah berkata soal Khalid
“Khalid bin Al Lajlaaj disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. Hal ini menunjukkan bahwa Khalid tidak dikenal kredibilitasnya atau walaupun ia adil tetapi bisa saja bermasalah dalam hal kedhabitannya (hafalannya)“.
Disini kami tidak sedang menolak ta’dil terhadap Khalid tetapi kami sedang mengira-ngira siapa sebenarnya sumber kekacauan hadis ru’yah tersebut apakah Ibnu ‘Aaisy atau Khalid?. Disini kami cuma menunjukkan kemungkinan bahwa Khalid bisa saja tertuduh [tetapi pada akhirnya kami tetap berpandangan sumber kekacauan itu adalah Ibnu “Aaisy]. Tetapi sayang sekali nashibi itu tidak mengerti atau pura-pura tak mengerti, kami tidak menolak ta’dil terhadap Ibnu ‘Aaisy buktinya dengan jelas kami bahkan menuliskan
“Khalid bin Al Lajlaaj hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Khalid bin Al Lajlaaj dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 4 no 2513 dan berkata “dia tergolong orang yang utama di zamannya”. Kami tidak menolak predikat ta’dil terhadap Khalid bin Al Lajlaaj tetapi jika Walid bin Muslim yang tsiqah saja bisa dikatakan salah oleh para ulama maka apalagi Khalid bin Al Lajlaaj yang hanya mendapat predikat shaduq dari Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/262. Tidak menutup kemungkinan Khalid bin Al Lajlaaj melakukan kesalahan dan jika bukan dia maka yang melakukan kesalahan adalah Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami sendiri
Kenyataannya justru yang tidak konsisten ya nashibi itu, sering kali ia tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban dalam tulisan-tulisannya tetapi ketika ia terpojok dan hadis yang memuat keyakinan atau bid’ahnya ternyata tidak memiliki dasar maka dengan tidak malu-malu ia berhujjah dengan tautsiq Ibnu Hibban. Menuduh orang lain padahal diri sendiri yang sebenarnya tertuduh, begitulah tabiat nashibi
Juga saat membicarakan Mujaalid bin Sa’iid :
” Disebutkan dalam At Tahdzib juz 10 no 65 bahwa dia salah satu perawi Muslim yang berarti Muslim memberikan predikat ta’dil padanya”.
Perlu diingatkan, perkataan di atas bukanlah hujjah bagi kami karena kami sendiri menyebutkan kalau hadis Mujalid tersebut dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad lain sehingga menjadi hasan lighairihi. Jika kami menjadikan pernyataan di atas sebagai hujjah maka kami akan dengan mudah menyatakan Mujalid tsiqah, tetapi kami tidak melakukannya. Ini menunjukkan kalau pernyataan di atas hanya sekedar perincian semata. Jika pernyataan kami yang ia kutip tersebut ditolak atau tidak benar maka itu tidak akan merubah apapun dalam tulisan kami. Hadis Mujalid tetaplah seperti yang kami katakan.
Berbeda halnya dengan kasus Ibnu ‘Aaisy, jika pembaca ingat sebelumnya nashibi ini dengan seenaknya menyatakan Ibnu ‘Aaisy tsiqah dengan dasar pentashihan Bukhari terhadap hadis Ibnu ‘Aaisy [padahal hadis yang dishahihkan Bukhari itu terbukti mudhtharib]. Jelas-jelas ia menjadikan pentashihan hadis tersebut sebagai hujjah bukti tsiqahnya Ibnu ‘Aaisy berbeda halnya dengan kami yang hanya menyebutkan saja mengenai penta’dilan Muslim terhadap Mujalid. Jadi dimana letak inkonsistensinya, tentu saja lain ceritanya kalau nashibi ini tidak bisa memahami dengan baik hujjah orang lain.
Satu hal yang harus kami luruskan adalah kami tidak pernah menolak kaidah penta’dilan dengan dasar penshahihan tetapi bagi kami kaidah tersebut tidak bisa seenaknya digunakan sesuka hati. Lihat baik-baik kami sebelumnya berkata
Siapa yang menolak kaidah yang saudara sampaikan, pembahasan saya justru menunjukkan kalau kaidah tersebut tidak relevan dijadikan hujjah untuk menta’dil Ibnu ‘Aaisy. Kalau ia bersikeras berpegang pada penshahihan Bukhari, orang lain juga dapat berpegang pada pernyataan Bukhari bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Anehnya sejak kapan hadis mudhtharib itu menjadi hadis shahih.
Jadi disini hadis yang dishahihkan oleh Ibnu ‘Aaisy itu adalah hadis yang terbukti mudhtharib dan sumber kekacauannya adalah Ibnu ‘Aaisy itu sendiri. Jadi hadis itu sebenarnya dhaif dan penshahihan Bukhari itu ternyata keliru. Memang terdapat penukilan pendapat Bukhari yang menshahihkan hadis ru’yah tetapi Bukhari sendiri menuliskan dalam biografi Ibnu ‘Aaisy kalau ia seorang perawi yang hanya memiliki satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib. Kita bisa saja menjamak kedua pernyataan Bukhari tersebut. Mungkin pada awalnya Bukhari menyatakan hadis tersebut shahih karena ia belum melihat seluruh jalan sanad Ibnu ‘Aaisy tetapi setelah ia meneliti semua jalan sanad Ibnu ‘Aaisy maka ia menemukan adanya idhthirab yang bersumber pada Ibnu ‘Aaisy oleh karena itulah ia menyatakan kalau hadisnya Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Jadi bisa saja Bukhari rujuk dari pandangannya menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dan dalam kitabnya sendiri ia menuliskan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Jadi kaidah penta’dilan dengan dasar penshahihan tidak bisa dipakai disini dengan kata lain sangat tidak relevan. Apalagi hadis yang menjadi dasar penta’dilan dan hadis yang mau dinyatakan shahih itu adalah hadis yang sama dan ini membawa kepada lingkaran setan yang menyesatkan. kami sebelumnya juga berkata
Hadis Ibnu ‘Aaisy ini jelas mudtharib dan tidak ada gunanya penshahihan yang tidak memiliki dasar. Aneh bin ajaib justru penshahihan tidak berdasar itu dijadikan hujjah akan penta’dilan Ibnu ‘Aaisy yang ujungnya nanti dijadikan hujjah untuk menshahikan hadis tersebut. Ini lingkaran setan yang tidak pernah bisa dipahami oleh salafy yang memang tidak mempelajari logika berpikir dengan baik. Ia hanya sibuk dengan kitab-kitab rijal dan perkataan ulama ini itu tanpa menelaahnya dengan kritis
Sebenarnya semua pembahasan kami tentang hadis ru’yah sudah cukup jelas tetapi sayang sekali orang nashibi itu tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami tulisan orang lain. Seperti yang sudah kami katakan berulangkali, nashibi itu terlalu asyik dengan pikirannya sendiri. Jika sudah berurusan dengan keyakinan atau bid’ah yang ia yakini maka  ia tidak tertarik dengan kebenaran hujjah orang lain, apapun yang dikatakan orang lain tidak ada nilainya menurut pandangannya. Yah sejak kapan nashibi mau mengakui kalau keyakinannya [bid’ahnya] itu salah. harap maklum sajalah
Bagi yang sering mengikuti diskusi saya dengan Penulis Rafidlah tersebut di Blog ini tentu akan mengetahui inkonsistensi pernyataan di atas dengan bahasan-bahasan lain yang ia tulis di Blognya. Atau dengan bahasa sederhana, manhajnya dalam jarh dan ta’dil tidak jelas. Mengambil perkataan yang hanya mendukung bid’ah Rafidlahnya saja…..
Berhentilah untuk mengelabui orang. Manhaj jarh wat ta’dil siapa yang menurut anda jelas?. Manhajnya ibnu Ma’in [yang diriwayatkan banyak pertentangan dari murid-muridnya], manhajnya Abu Hatim [yang dikatakan banyak mencacat para perawi shahih], manhajnya Ibnu Hibban [yang dikatakan salafy sering mentsiqahkan perawi majhul], manhajnya Al Jauzjani [yang mendhaifkan banyak perawi tasyayyu’] atau manhaj Syaikh Al Albani [yang mengandung banyak kontradiksi dalam kitabnya]. Pernahkah anda wahai nashibi menyebut manhaj-manhaj mereka dengan sebutan tidak jelas.
Padahal nashibi ini sendiri malah sangat tidak jelas manhajnya. Silakan pembaca perhatikan dengan baik tulisannya soal hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”, ia dengan gampangan menyatakan hadis tersebut hasan lighairihi padahal hadis tersebut kualitas sanadnya dhaif dan kalau mau dibandingkan, hadis “jika kamu melihat muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia” lebih kuat sanadnya dibanding hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”.
  • Hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya” diriwayatkan dengan dua jalan sanad. Sanad pertama terdapat Al Ifriqi yang dhaif dan kedudukannya tidak beda dengan Ali bin Zaid dan Mujalid. Sedangkan sanad kedua terdapat Abdullah bin Sufyan yang dhaif majhul dan jelas kedudukannya lebih rendah dari Al Ifriqi. Al Ifriqi dan Abdullah bin Sufyan yang lebih rendah dari Al Ifriqi tidak akan mengangkat hadis tersebut ke derajat hasan lighairihi.
  • Hadis “jika kamu melihat muawiyah di mimbarKu maka bunuhlah ia ” diriwayatkan dengan 4 sanad [yang kami bahas] yaitu sanad pertama Ali bin Zaid dhaif  [kedudukannya sama dengan Al ifriqi] sanad kedua Mujalid [kedudukannya sama dengan Al ifriqi]. Hadis Ali dan Mujalid ini saja jika digabungkan bisa saling menguatkan dan bisa dikatakan hasan lighairihi. Hadis ketiga riwayat Hasan bashri [shahih mursal] dan riwayat Al Baladzuri yaitu Ashim dari Zirr [sanad yang hasan]. Jika digabungkan hadis ini jelas jauh lebih kuat sanadnya daripada hadis Iftiraq Al Ummah “Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”.
Jadi sepertinya manhajnya nashibi itu sangat tidak jelas, ia dengan mudah mengambil perkataan yang dapat mendukung keyakinannya atau mendukung bid’ah nashibinya saja. Akhir kata selamat merenungkan, beruntunglah mereka yang mendengar perkataan dan mengambil yang paling baik di antaranya.

Salam Damai.

Terkait Berita: