Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Baqillani. Show all posts
Showing posts with label Baqillani. Show all posts

Riwayat-riwayat tentang adanya kesalahan Qur’an dari segi nahwu


1. Dinukil dari Utsman: “Dalam mushaf terdapat beberapa perubahan dalam harakat yang mana orang-orang Arab akan merubahnya sesuai dengan kesesuaiannya dengan lidah mereka.” Lalu ia ditanya: “Mengapa engkau tidak membenarkannya?”
Ia menjawab: “Tinggalkan itu, karena mereka tidak mengharamkan apa yang halal dan tak menghalalkan apa yang haram.”[1]

Ibnu Asytah, lahn yang diisyarahkan hadits dianggap sebagai kesalahan dalam memilih huruf-huruf yang tujuh yang sesuai dan atas apa-apa yang tulisannya bertentangan dengan pelafadzannya. Padahal anggapan itu tidak benar, dan jalan yang terbaik adalah mengingkari riwayat tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan pula oleh Dani, Razi, Neisyaburi, Ibnu Anbari, Alusi, Sakhawi, Khazin, Baqillani, dan sebagian lainnya.
Mereka menjelaskan bahwa dengan riwayat ini tak ada apa-apa yang bisa dibuktikan, karena sanadnya lemah, dan di dalamnya terdapat idhtirab, inqitha’, dan takhlith.

Dari sis lain, Qur’an telah dinukil dari Rasulullah saw secara mutawatir dan tetapnya lahn dalamnya tidaklah mungkin. Selain itu, apa yang ada di tangan semua orang berdasarkan ijma’ seluruh Muslimin adalah kalam Allah, dan di dalam kalam Allah tidak boleh ada lahn atau kesalahan. Seluruh sahabat dan umat meyakini bahwa seluruh lafadz Qur’an adalah benar dan tak memiliki kesalahan. Begitu juga mereka mengingkari riwayat ini dan berdalil: Utsman adalah pemimpin umat. Bagaimana bisa ia melihat sebuah lahn dalam Al-Qur’an dan ia membiarkannya begitu saja sehingga nanti orang-orang Abab yang membenarkannya sesuai dengan bahasa mereka?
Mengapa ia mengakhirkan usaha pembenaran dan menyerahkan hal itu kepada orang lain?
Jika seorang sahabat yang bertugas untuk menulis dan mengumpulkan Qur’an tidak membenarkan kesalahan-kesalahan tersebut, bagaimana mungkin umat setelahnya bisa mengemban tugas itu?
Lebih dari itu, Utsman tidak menulis satu mushaf saja, namun menulis beberapa mushaf dan seluruh mushaf-mushaf itu tidak ada perbedaan satu sama lain, kecuali dalam qira’ah dan tilawah, yang bukan termasuk bentuk tulisan dan perbedaan-perbedaan itu tidak disebut dengan lahn.[2]

Sesuatu yang menambahkan keraguan terhadap riwayat-riwayat seperti ini adalah bahwa riwayat itu dinukil dari Ikrimah. Ia termasuk ketua orang-orang sesat yang berkeyakinan sama dengan khawarij. Ia dikenal dengan pembohong dan penipu. Para pembesar seperti  Ibnu umar, Mujahid, ‘Atha’, Ibnu Sirin, Malik bin Anas, Syafi’i, Sa’ad bin Musayab serta Yahya bin Sa’id menyebutnya sebagai penipu yang tak dapat dipercaya. Muslim mengkritiknya dan Malik menganggap riwayatnya haram.[3]

2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa firman Allah swt yang berbunyi:

حَتَّي تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا[4]

aslinya adalah:

تستأذنوا

dan penulis wahyu salah menulisnya  sehingga menulisnya dengan kata:

تَسْتَأْنِسُوا[5]

Dan maksud dari isti’nas dalam ayat itu adalah isti’lam, yakni memberitahukan penghuni rumah sebelum masuk.

Riwayat ini telah dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan tidak benar; karena dalam seluruh mushaf terdapat kata tasta’nisu dan sejak jaman nabi telah disepakati bahwa yang benar adalah itu. Oleh karenanya kita tidak perlu menghiraukan riwayat seperti ini.

Fakhr Razi menulis: “Ketahuilah bahwa riwayat dari Ibnu Abbas diragukan, karena riwayat itu menuntut adanya kekurangan dalam Al-Qur’an yang padahal telah dinukil secara mutawatir dan juga menuntut kebenaran Qur’an yang dinukil dengan khabar wahid. Jika bab ini dibuka, maka seluruh Qur’an bisa diragukan dan ini jelas batil.”[6]

Abu Hayyan menulis: “Orang yang meriwayatkan riwayat tersebut dari Ibnu Abbas adalah Kafir dan Mulhid, sedang Ibnu Abbas suci dari tuduhan itu.”[7]

3. Urwah bin Zubair meriwayatkan:
Aku bertanya pada Aisyah, tentang firman Allah swt yang berbunyi:

لَّكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ[8]

Lalu aku juga bertanya tentang:

المقيمين

Dan dalam Surah Al-Maidah aku menanyakan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِئونَ[9]

dan :

إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ

Kemudian ia menjawab: “Wahai anak saudaraku, perbedaan-perbedaan ini dikarenakan kesalahan para penulis wahyu. Mereka salah dalam menulis.”[10]

Adapun perkataan Tuhan:

المقيمين

dikarenakan ‘athf maka menjadi:

المقيمون

sebagaimana dalam qira’ah Hasan dan Malik bin Dinar; adapun yang ditulis dalam mushaf dan qira’ah Ubai dan Jumhur adalah:

المقيمين

Sibawaih berkata:
“Dikarenakan pujian maka dia manshub, yakni maksudku المقيمين” Lalu ia membawakan berbagai dalil dari perkataan orang-orang Arab.[11]

Alusi berkata:
“Kita tidak bisa menghiraukan pernyataan orang-orang yang mengkritik dan menyatakan adanya lahn dalam Qur’an seperti dalam masalah المقيمون karena Qur’an yang ada telah dinukil secara mutawatir dan tidak benar jika kita mengatakan telah terjadi lahn dalam Al-Qur’an.”[12]

Dan adapun firman Allah

 و الصابئون 

adalah marfu’ dan ma’thuf kepada mahall ismu inna. Farra’ berkata:
“Hal itu diperbolehkan, ketika ism termasuk yang boleh tidak dinampakkan i’rab-nya, seperti dhamir dan maushul. Sebagaimana seorang syair berkata:

فمن يك أمسي بالمدينة رَحلَه
فإنّي و قيارٌ بها لغريب

Dalam syair tersebut, kata qayyar telah adalah ‘athf pada mahall ism inna marfu’.[13] Orang-orang Kufah dan Bashrah membolehkan rafa’ dalam ayat tersebut dengan beberapa dalil dari perkataan orang-orang Arab.

Shahib Al-Manar menulis:
“Sebagian dari musuh-musuh Islam telah memberanikan diri untuk mengatakan bahwa telah terjadi lahn (kesalahan dalam nahwu) dalam Al-Qur’an, dan rafa’-nya صابئون mereka anggap sebagai salah satu dari kesalahan-kesalahan itu. Ini adalah bukti kebodohan atau berpura-pura bodohnya mereka; karena nahwu diambil dari bahasa, bukannya bahasa diambil dari nahwu.”[14]

Berdasarkan qira’ah jumhur (kebanyakan), firman Allah yang berbunyi: إن هذان لساحران dibaca dengan takhfif pada inna maksuratul hamzah dan dengan demikian dia adalah mukhaffafah dari tsaqilah dan bukan amil kemudian هذان adalah marfu’.

Zamakhsyari menulis:
Ayat: إن هذان لساحران sama seperti kita jika berkata:

 إن زيدٌ لمنطلقٌ.

Di situ lam fariqah supaya in nafiyah dapat dibedakan dari in mukhaffafah minal tsaqilah.[15] Oleh karena itu ayat Qur’an tidak punya masalah apapun dan para penulis wahyu tidak salah.

Fakhrur Razi menulis:
“Karena penukilan qira’ah ini sebagaimana penukilan seluruh Qur’an adalah mutawatir dan masyhur, jika kita berpendapat bahwa Qur’an salah, maka pendapat itu berpengaruh pada seluruh Qur’an, dan akhirnya seluruh Qur’an yang telah dinukil secara mutawatir telah diragukan, dan itu jelas tak benar.”[16]


[1]. Al-Itqan: jil. 2, hal. 320.
[2]. Ruhul Ma’ani: jil. 6, hal. 13.
[3]. Waqtul A’yan: jil. 1, hal. 319; Mizanul I’tidal: jil. 3, hal. 93; Al-Mughni fil Dhu’afa’: jil. 2, hal. 84; Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir: jil. 3, hal. 373; Thabaqat Ibnu Sa’ad: jil. 5, hal. 287; Tadzhibul Kamal: jil. 7, hal. 263.
[4]. Al-Itqan, jil 2, hal. 327; Lubabul Ta’wil: jil 3, hal. 324; Fathul Bari: jil. 11, hal. 7.
[5]. At-Tafsir Al-Kabir: jil. 32, hal. 196.
[6]. Al-Bahrul Muhith: jil. 6, hal. 445.
[7]. An-Nisa’ [4] : 162.
[8]. Al-Maidah [5] : 69.
[9]. Thaha [20] : 63
[10]. Al-Itqan: jil. 2, hal. 320.
[11]. Al-Kitab: jil. 1, hal. 288.
[12]. Ruhul Ma’ani: jil. 6, hal. 13.
[13]. Ma’anil Qur’an: jil. 1, hal. 31; Majma’ul Bayan: jil. 3, hal. 346; Shiyanatul Qur’an Minal Tahrif: hal. 183.
[14]. Tafsir Al-Manar: jil. 6, hal. 478.
[15]. Al-Kasyaf: jil. 3, hal. 72.
[16]. At-Tafsir Al-Kabir: jil. 22, hal. 75.

Terkait Berita: