Pesan Rahbar

Home » » Profil dan Nasab Ubaidillah Bin Ziyad (Ubaidillah Bin Ziyad Bin Abihi) Dalam Pustaka Islam (Terlibat Pembunuhan Imam Husain Sa)

Profil dan Nasab Ubaidillah Bin Ziyad (Ubaidillah Bin Ziyad Bin Abihi) Dalam Pustaka Islam (Terlibat Pembunuhan Imam Husain Sa)

Written By Unknown on Sunday 13 November 2016 | 01:36:00

Ilustrasi Perang Imam Husain

Ubaidillah bin Ziyad bin Abihi(Bahasa Arab: عبیدالله بن زیاد) (Kufah 33-67 M.), adalah seorang panglima komandan bani umayyah yang terkenal dan gubernur Kufah ketika terjadinya peristiwa Asyura, dia adalah penyebab utama kesyahidan Imam Husain As dan para sahabatnya.

Ubaidillah sebelumnya menjabat sebagai gubernur kota Basrah namun Yazid memberikannya tugas kepadanya untuk menjadi gubernur Kufah pada tahun 60 H.

Setelah terjadinya pergolakan di kota tersebut dengan jabatan yang sama dengan tujuan menguasai kota tersebut dan meringkus revolusi Imam Husain As.

Ubaidillah termasuk orang-orang yang dibenci oleh orang-orang Syiah, karena peranannya dalam peristiwa Karbala.


Biodata dan Karakter 

Kelahiran dan Keluarga

Abu Hafs, Ubaidillah bin Ziyad bin Abihi, terlahir dari seorang budak perempuan bernama Marjanah[1] yang kemudian menikah dengan Shiroyeh orang dari Iran dan Ubaidullah dibesarkan di rumah tersebut.

Dituturkan bahwa dengan sebab inilah terjadi ketidakstabilan dalam percakapannya, dan sebagian dari huruf-huruf Arab tidak mampu diucapkan dengan baik. [2]

Terkadang Ibnu Ziyad digoda dengan panggilan yang dinisbatkan kepada ibunya, “Ibnu Marjanah” yaitu putra Marjanah," yang hal itu menceritakan tentang ketidaksucian pada kelahirannya dan dalam beberapa sumber dijelaskan bahwa dia terkenal dengan pemilik nama buruk dan pezina yang tersohor. [3]

Ayahnya, Ziyad bin Abihi, adalah seorang panglima perwira para penguasa Bani Umayyah yang dalam menekan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah kawasan Muslim, dan dia terkenal dengan kekejaman dan kebrutalan.

Dalam keturunan Ziyad bin Abihi juga terdapat perselisihan dan tidak ada satupun yang tahu siapa ayahnya. Oleh karena itu, dia disebut dengan Ibnu Abihi yaitu (anak ayahnya).

Dikatakan bahwa Abu Sufyan mengaku bahwa Ziyad adalah hasil pergaulan bebas antara dia dan Sumayah ibunda Ziyad dan oleh karena itu, Muawiyah menyebut Ziyad sebagai saudaranya. [4]


Karakter Moral dan Perbuatan

Dikatakan bahwa dia dia sangat keras, kejam dan berani. Beberapa sejarawan menulis mennyebutnya sebagai "tiran"[5]

Sebagaimana yang telah dikutip ketika menangkap para Khawarij di Basrah dia menunjukkan tindakan kekerasannya yang sangat mengejutankan. [6]

Ibnu Hkislat Ubaidillah adalah faktor penyebab sehingga dalam peperangan melawan para non muslim pada penaklukan dan pembukaan negara-negara juga mencapai kesuksesan-kesuksesan. [7]


Jabatan-jabatan Politik dan Kekuasaan

Dari jabatan-jabatan dan aktifitas-aktifitas politik Ubaidillah di awal masa mudanya tidak ada sumber yang memuat laporan tentangnya; akan tetapi menurut perkataan para peneliti sepertinya dia berada dalam kekuasaan ayahnya Ziyad bin Abihi sebagai gubernur Kufah dan Basrah, yang tidak lepas dalam urusan keperintahan. [8]

Setelah meninggalnya Ziyad, Muawiyah menobatkan Ubaidillah menjadi penguasa Khurasan pada usia 25 tahun. [9]


Periode Muawiyah

Ubaidillah sangat memiliki peran yang penting dalam menaklukan Timur dan Timur Laut Iran pada periode Muawiyah.

Setelah dia dilantik oleh Muawiyah menjadi gubernur Khurasan, untuk pertama kalinya dia berhasil menguasai tempat-tempat seperti Ramitsan, [10] Nasaf dan Baykand[11] termasuk kota-kota Bukhara dengan mengarungi sungai Aru Darya atau Oxus[12] dan mendesak mundur ratu Bukhara yang kaya Qabj Khatun dan pasukan Turki.

Muawiyah mencabutnya dari kekuasaan Khurasan dan melantiknya menjadi gubernur Basrah menggantikan posisi Abdullah bin Amr bin Ghilan pada tahun 55, 56 atau 57 H. [13]

Ubaidillah dalam pemerintahan Basrah, berhadapan dengan kerusuhan yang datang dari arah kaum. Kerusuhan pada tahun 58 H. telah mencapai puncaknya dan dia akhirnya dengan kekerasan yang menakjubkan, dapat menekan dan membunuh sebagian besar dari mereka. [14]


Periode Yazid

Yazid, setelah kematian Mu'awiyah pada tahun 60 H. / 680 M. telah berniat mencabut jabatan Ubaidillah dari pemerintah Basrah, tetapi seakan-akan situasi politik di Basrah dan Kufah tidak membiarkannya melakukan niat tersebut.

Dengan dimulainya kebangkitan Imam Husain As dan pengutusan delegasinya Muslim bin Aqil ke Kufah, Ubaidillah dan ayahnya yang memiliki sejarah kekerasan dan kekejaman dan tersohor dalam menekan kerusuhan dan gerakan, pada tahun 60 H. dengan mempertahankan jabatannya dia diangkat sebagai gubernur Kufah.

Dikatakan bahwa, Yazid melakukan tindakan perlawanan terhadap kebangkitan yang dilakukan Imam Husain As, semua itu atas usulan Sargon seorang kristiani yang ketika itu menjadi penasehat Yazid. [15]


Ubaidillah di Kufah

Orang-orang Kufah pada tahun 60 H. menyatakan persetujuan mereka untuk berbaiat dengan Imam Husain As dan ketika itu tengah menunggu kedatangan Imam di Kufah.

Ibnu Ziyad dengan muka tertutup memasuki kota kufah dan penduduk menduga bahwa dia adalah Husain As yang dinanti dan mereka menyambutnya namun segera mereka faham bahwa yang datang adalah Ubaidillah. Tindakan pertama yang dilakukan Ubaidillah adalah mencari keberadaan Muslim bin Aqil. [16]

Ibnu Ziyad sejenak setelah memasuki Kufah, telah mengecam para penentang Yazid dengan keras dalam sebuah pidatonya dan menjanjikan perlakukan yang kejam kepada orang-orang yang mengikuti langkahnya. [17]

Menurut riwayat Yakubi, Hani bin ‘Urwah telah mengenal Ibnu Ziyad dari sebelumnya dan ketika Ubaidillah memasuki Kufah dia dalam keadaan sakit, dan dia mengira bahwa Ubaidillah sesampainya di Kufah akan menjenguknya.

Oleh karena itu, ia dengan Muslim bin Aqil merencanakan pembunuhan Ibnu Ziyad di rumahnya. [18]

Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Syarik bin A’war, salah seorang pemuka Syiah di Kufah, sedang sakit dan dirawat di rumah Hani dan telah merencanakan dengan Muslim bahwa ketika Ibnu Ziyad datang menjenguknya maka Muslim menyerang dan membunuhnya. [19]

Dengan semuanya ini seakan-akan Hani tidak menyukai peristiwa itu terjadi di rumahnya, kemudian mencegah Muslim untuk melakukan itu dan jiwa Ibnu Ziyad pun selamat. [20]

Adapun menurut laporan Thabari, Ibnu Ziyad sesaat setelah memasuki kota Kufah telah mengetahui tempat persembunyian Muslim bin Aqil secara licik.

Kemudian ia memanggil Hani ke Darul Imarah tempat kekuasaannya dan kemudian memasukkannya ke dalam penjara dan juga sesaat kemudian Muslim bin Aqil ditangkap dan membunuh keduanya dan kemudian mengirim kepala mereka ke hadapan Yazid. [21]

Ubaidillah setelah mengancam dan menyuap orang-orang Kufah, mengutus al-Hur bin Yazid dan memerintahkan kepadanya untuk menghadang perjalanan Husain bin Ali As dan juga melarangnya untuk tidak mendirikan perkemahan di daerah yang dengan air. Kemudian, mengutus Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqas menuju ke arah Imam dengan tentara pasukan. [22]

Umar bin Saad sebelum itu, telah dilantik oleh Ibnu Ziyad untuk menjabat sebagai gubernur kota Rey dan ketika itu ia hendak berangkat ke sana; namun Ibnu Ziyad telah memerintahkannya untuk mengambil baiat Imam Husain untuk Yazid atau perang dengannya, dan karena Umar meminta kepadanya untuk tidak melakukan hal itu dalam artian menolaknya, Ibnu Ziyad akhirnya memberikan Syarat bahwa kekuasaan Rey tidak akan ia berikan kecuali Umar bin Sa’ad harus berhadapan dengan Husain bin Ali As. [23]

Umar bin Sa’ad setelah berunding dengan Husain bin Ali As, dikabarkan kepda Ibnu Ziyad bahwa Husain As akan kembali ke rumahnya, oleh karena itu tidak perlu lagi mengadakan pertempuran.

Seakan-akan Ibnu Ziyad pada mulanya senang dengan kabar tersebut; namun Syimr bin Dzil Jausyan memaksanya untuk melakukan damai.

Kemudian Ibnu Ziyad menulis dalam suratnya kepada Umar bin Sa’ad, jika dia menggambil baiat dari Husain, maka utus dia ke Kufah dan jika tidak maka perangi dia, jika tidak mau berperang dengan Husain, maka jabatan panglima perang akan aku berikan kepada Syimr. [24]


Menyandra Keluarga Imam Husain As

Setelah kesyahidan Imam Husain As, Ibnu Ziyad memerintahkan untuk menyandera keluarganya yang tersisa dan membawa mereka ke Kufah. Masuknya Ahlulbait Nabi Saw ke Kufah dalam keadaan tersandera, adalah peristiwa-peristiwa nyata yang dicatat dalam sumber-sumber sejarah.

Salah satu di antaranya adalah peristiwa-peristiwa ini, berhadap-hadapan dan perdebatan Ibnu Ziyad dengan Sayidah Zainab Sa dan jawaban-jawabannya kepada Ibnu Ziyad yang dicatat oleh sumber-sumber sejarah, yang telah memberikan pengaruh kepada para pendengar dan orang-orang yang hadir di tempat tersebut.

Salah satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kufah pada waktu itu adalah dibawanya kepala suci Imam Husain As ke dalam majelis Ibnu Ziyad. Menurut penukilan sejarah, dia dengan kayu yang ada di tangannya, telah menyentuh bibir dan gigi Imam Husain As dan tidak menghormatinya sama sekali. Zaid bin Arqam salah seorang sahabat Nabi yang hadir di majelis menangis karena melihat tindakan tersebut dan berkata: Angkat kayu itu dari bibir Husain. Aku bersumpah demi Allah, sudah berkali-kali aku melihat Rasulullah meletakkan bibirnya mencium bibir Husain. Ubaidillah Marah dan berkata: Semoga Allah menangisimu, atas hal apa engkau menangis? Atas kemenangan Tuhan?! Demi Allah jika kamu bukan orang tua dan aku tidak tahu bahwa otakmu sudah hilang pasti tentu aku penggal lehermu. Mendengar hal itu, Zaid kemudian meninggalkan majelis. [25]


Berdebat dengan Zainab

Setelah masuknya Ahlulbait As ke Kufah, mereka dibawa ke istana Ubaidillah yang menjadi penguasa ketika itu. Sesuai penukilan sejarah, Sayidah Zainab Sa dengan mengenakan kain yang lusuh dan tanpa mengacuhkan Ubaidillah dan majelis dia langsung duduk di salah satu sudut ruangan.

Ubaidillah bertanya kepadanya sebanyak tiga kali: “Siapa engkau?” akan tetapi tidak mendengar jawaban. Akhirnya salah seorang dari majelis berkata: “Zainab, putri Ali bin Abi Thalib.” Ibnu Ziyad tampak murka dengan ketidakacuhan Sayidah Zainab. Dengan menyindir dia berkata: “Puji syukur kepada Allah yang telah membongkar kedok kalian, dan menampakkan kebohongan kalian.”

Sayidah Zainab menjawab: “Puji syukur kepada Allah yang telah memuliakan kami dengan NabiNya, dan menyucikan dan membersihkan kami dari kecemaran dan kekejian. Orang yang berdosa dan orang yang berbuat jahatlah yang akan terbongkar kebohongannya karena berkata bohong dan dia bukanlah kami.” Ibnu Ziayad berkata: “Lihatlah dirimu sendiri, akhirnya Allah telah berbuat apa terhadap kalian?” Sayidah Zainab menjawab: “Dari Allah aku tidak melihat kecuali keindahan dan kebaikan. Allah telah menentukan kepada keluarga kami kesyahidan dan mereka dengan segala keberanian telah berlari menunju tempat kematian mereka. Dan Allah segera akan mengumpulkan mereka dan kamu saling berdampingan sehingga di sisiNya Allah menghakimi kalian. Ketika itu akan kamu lihat kebahagian sejati milik siapa? Wahai anak Marjanah ibumu duduk sambil bertakziah menangisimu.”

Ibnu Ziayd marah dan dikatakan bahwa dia telah berniat untuk membunuh Zainab dan dengan perantara Umar bin Huraits akhirnya niat itu diurungkan dan berkata: “Allah telah memberikan ketentraman dalam hatiku dengan terbunuhnya saudara pembangkangmu dan para pemberontak lainnya dan seluruh pengikut keluargamu.”

Sayidah Zainab berkata: “Demi Allah engkau telah membunuh pembesarku, ranting dan daunku kau potong, nasab dan keturunanku telah kau cabut. Maka jika hatimu dapat sembuh dengan ini semua, maka telah kau raih kesembuhan tersebut.” Ibnu Ziyad berkata: “Dia juga seperti ayahnya menyusun kata dengan sajak dan berkata seperti dia dengan sajak.” [26]


Setelah Kematian Yazid

Ubaidillah setelah peristiwa Asyura tetap menjabat sebagai gubernur kota Kufah dan Basrah dengan menggunakan kuasa kekuatannya; tetapi dengan matinya Yazid bin Muawiyah dia jatuh terguncang. Menurut penukilan Thabari dan Abu Ali Miskawaih dia sepeninggal Yazid berpidato yang pada malam sebelumnya, dia telah menarik dan melakukan loby kepada para tokoh pembesar Basrah.

Dan setelah itu mereka bangkit dan menginginkannya untuk meneruskan keperintahannya namun sejenak setelah itu masyarakat berpaling darinya dan menginginkan untuk berbaiat dengan Abdullah bin Zubair. [27]

Menurut penukilan Baladzuri, setelah Yazid mati, Ibnu Ziyad yang ketika itu berada di Basrah, meminta kepada masyarakat untuk sementara waktu berbaiat dengannya, sampai pada saat kaum muslimin memilih seorang khalifah secara serentak dengan cara bermufakat. Ketika orang-orang Basrah membaiatnya, ia juga mengirim beberapa orang untuk mengambil baiat orang-orang Kufah, tetapi mereka tidak menerima dan menolaknya dan akhirnya orang-orang Basrah juga menentang dan tidak menerima kekuasaannya. [28]


Baiat dengan Marwan bin Hakam

Ketika Abdullah bin Zubair mendapatkan kekuasaan di Madinah-sebagaimana sebagian orang di Syam juga menyetujui pada kekhalifhaannya dan bahkan Marwan bin Hakam pergi ke Hijaz demi mengucapkan baiat kepadanya- Ibnu Ziyad bertemu dengan Marwan di Batsaniyah dan dia menahan Marwan untuk tidak melakukan hal itu, dan berjanji kepadanya jika ia mengaku tentang kekhalifahan, maka pasti akan ia dukung. Marwan kembali dan Ibnu Ziyad juga pergi ke Damaskus dan Dhahak bin Qais y ang mengambil baiat untuk Ibnu Zubair dari para penduduk kota pun ditipu dan diusir, dikeluarkan dari kota dan mengambil baiat untuk Marwan.

Dalam peperangan yang terjadi antara para pengikut Marwan dengan Dhahak bin Qais di Marju Rahith dekat Damaskus yang akhirnya Dhahak kalah dalam perang tersebut, Ibnu Ziyadlah yang bertanggung jawab menjadi panglima perang pasukan berkendaraan Marwan. [29]

Pada periode kekuasaan Marwan, Ubaidillah juga berada di Damaskus. Kelompok Thawwabin yang dipimpin oleh Sulaiman bin Surad al-Khuzai bangkit demi membalas darah Imam Husain As yang tertumpah. Marwan bin Hakam, mengutus Ibnu Ziyad untuk menghadapi kebangkitan tersebut dan kepemerintahan Irak akan diberikan kepadanya dengan syarat dia mampu mengalahkan mereka. [30]

Ketika Ubaidillah sampai di tempat bernama Jazirah, dia mendapat kabar tentang kematian Marwan (65 H./685 M.), namun ia terus melanjutkan pada kemajuannya. Sulaiman bin Surad memasang perkemahannya di sebuah tempat bernama Ainul Wardah dan sebelum itu, dia mengutus Musayib bin Najbah Fazari untuk berhadapan dengan Syarhabil bin Dzilkala’ yang datang untuk berperang atas perintah Ibnu Ziyad dan Musayib bin Najbah Fazari berhasil membunuh Syarhabil bin Dzilkala’. [31]

Ibnu Ziyad mengutus Hashin bin Namir untuk pergi menghadapi Sulaiman, pada awalnya Hashin mengalami kekalahan, namun Ibnu Ziyad mengirim pasukan untuk membantunya dan pada peperangan berdarah yang terjadi di tempat bernama Ainul Wardah ini (pada akhir Jumadi Awal tahun 65) Sulaiman dan pengikutnya mengalami kekalahan yang fatal dan terbunuh. [32]

Ibnu Ziyad kemudian sibuk membangun kota-kota Jazirah yang sebelum itu dia telah melakuakn baiat kepada Ibnu Zubair dan tidak ikut campur dengan urusan Mukhtar Tsaqafi di Irak yang bangkit melawan penguasa Bani Umaiyah demi membalas darah Husain bin Ali As.

Namun pada akhirnya dia menyerang Mosul sebagai salah satu kaki tangan Mukhtar. Para pengikut Mukhtar mundur ke kota Tikrit dan Mukhtar diberi kabar tentang serangan Ibnu Ziyad. Mukhtar juga akhirnya mengirim pasukan untuk menghadang pasukan Ibnu Ziyad. Dan pasukan Mukhtar berhasil memporak-porandakan pasukan yang dikirim oleh Ibnu Ziyad. (10 Dzulhijjah 66). [33]


Kematian Ibnu Ziyad

Setelah kemenangan pasukan laskar Mukhtar, Ibnu Ziyad sendiri datang menuju ke arahnya dengan beberapa pasukan dan pasukan Mukhtar duduk mundur. Mukhtar yang pada dasarnya sengaja mencari-cari kehancuran dan kebinasaan Ibnu Ziyad dan orang-orang lain yang memiliki andil dalam peristiwa Karbala, telah mengutus Ibrahim bin Malik bin Asytar bersama pasukan untuk berhadapan dengan Ibnu Ziyad.

Ibrahim yang hendak bertemu dengan Ibnu Ziyad sebelum masuknya dia ke tanah Irak, telah berhadapan dengan laskar pasukan Syam di pinggir sungai Khazar di dekat sebuah desa bernama Barbitsa pada 16 km kota Mosul.

Perang sengit yang terjadi antara orang-orang Irak dan orang-orang Syam telah dimulai, Ibnu Ziyad kalah (Muharram 67) dan terbunuh bersama para pengikutnya. Berdasarkan sebuah riwayat dari Abu Mihnaf, dikatakan bahwa Ibrahim bin Asytar dia dalam perang satu lawan satu dan Ibnu Ziyad mati di tangannya.[34]


Keyakinan Kaum Syiah Tentang Ubaidillah

Tindakan Ubaidillah terhadap Imam Husain dan terjadinya peristiwa Asyura, telah menjadikan namanya menjadi buruk dan membuat kebencian kepadanya dari sejak awal dan telah membangkitkan kemarahan sebagian besar kaum muslimin kepadanya khususnya orang-orang Kufah; sebagaimana yang telah dinukil oleh sebagian sumber bahwa Abdullah bin Afif Azdi, di pertengahan pidato pertama Ibnu Ziyad setelah peristiwa terjadi dia bangkit dan dengan keras menjelek-jelekkan dia dan Yazid. [35] Dan bahkan dikatakan bahwa ibunya Marjanah sangat mengecamnya. [36]

Ubaidillah karena mempunyai peran dalam peristiwa Asyura telah menjadi salah satu tokoh sejarah Islam yang paling dibenci oleh orang-orang Syiah selama berabad-abad.

Namanya dimuat dalam beberapa doa Ziarah yang terkenal seperti doa Ziarah Asyura, dan ia dalam doa ziarah ini telah dilaknat. [37]


Catatan kaki:

1. Baladzuri Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, jld.4, hlm. 75.
2. jahiz Amr, al-Bayān wa al-Tabyin, jld.1, hlm.76.
3. Mufid, al-Ikhtishāsh, hlm. 73.
4. Lihat: Al-Isti’āb, jld.2, hlm.525.
5. Zarkuli, al-A’lām, jld.4, hlm.193.
6. Dainuri, Akhbār al-Thiwāl, jld.1, hlm. 269-270; Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 185-187.
7. lihat: Zarkuli, al-A’lām, jld.4, hlm.193.
8. Abu Ali Maskawaih Ahmad, Tajārub al-Umam, jld.2. hlm, 28.
9. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 166-167.
10. Yakubi, Tārikh, jld.2, hlm.236.
11. Abu Ali Maskawaih Ahmad, Tajārub al-Umam, jld.2. hlm, 32; Baladzuri Ahmad, Futuh al-Buldān, jld.1, hlm. 410.
12. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 169.
13. Yakubi, Tārikh, jld.2, hlm.238; Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 172.
14. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 185-187 dan jld. 7, hlm.228.
15. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 227.
16. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 229.
17. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 97.
18. Yakubi, Tārikh, jld.2, hlm.243.
19. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 248.
20. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 98-99.
21. Thabari,Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 229-231 dan 270.
22. Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 308.
23. Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 5, hlm.168; Dainuri, Akhbār al-Thiwāl, jld.1, hlm. 253.
24. Lihat: Thabari, Tārikh Thabari, jld.7, hlm. 315-316; Mufid, al-Irsyād, jld.1, hlm.253.
25. Mufid, al-Irsyād, jld.2, hlm.114-115.
26. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 315-316; Mufid, al-Irsyād, jld.1, hlm.438.
27. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 439; Abu Ali Maskawaih Ahmad, Tajārub al-Umam, jld.2. hlm, 83-84.
28. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.4, hlm. 79.
29. Ibnu Sa’ad, Thabaqāt al-Kubrā, jld. 5, hlm.40-42; Thabari, Tārikh al-Thabari, jld.7, hlm. 476-479.
30. Yakubi, Tārikh, jld.2, hlm.257.
31. Abu Ali Maskawaih Ahmad, Tajārub al-Umam, jld.2. hlm, 95-110.
32. Thabari, Tārikh al-Thabari, jld.7, hlm. 557-560.
33. Ibid, hlm. 643,646,649 dan 707-713.
34. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 557-560.
35. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 373-374; Ibnu Thawus Ali, al-Luhuf fi Qathla al-Thufuf, jld.1, hlm.71-72.
36. Thabari, Tārikh, jld.7, hlm. 408.
37. Kāmil Ziyārāt, hlm.176.


Daftar Pustaka:

1. Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh al- Umam wa al-Muluk, jld.7, dar al-Thurast, Beirut, 1387.
2. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār al-Jami’ah lidurai al-Akhbār al-Aimah al-Athhar, Dar Ihya al-Thurats al-Arabi, Beirut, 1403 H.
3. Ibnu Qulawaih, Ja’far bin Muhammad, Kāmil al-Ziyarat, Dar al-Murtadhawiah, Najaf Asyraf, 1356 S.
4. Muhammad bin Sa’ad Bashri, Thabaqāt al-Kubrā, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1410 H.
5. Ahmad bin ‘Atsam Kufi, al-Futuh, Dar al-Adwa’, Beirut, 1411 H.
6. Ibnu Thawus Ali, al-Luhuf fi Qathla al-Thufuf, Najaf, 1369 H.
7. Balazduri Ahmad, Ansāb al-Asyraf, riset: Ihsan Abbas, Beirut, 1400 H.
8. Jahiz Amr, al-Bayān wa al-Tabyin, Cairo, 1351 H.
9. Abu Ali Maskawaih Ahmad, tajārub al-Umam, Tehran, 1366 S.
10. Yakubi Ahmad, Tārikh, Beirut, Dar Shadir.
11. Dainuri Ahmad, Akhbār al-Thiwāl, riset: Abdul Mun’im ‘Āmir, Baghdad, 1379 H.
12. Abu al-Faraj Isfahani, Maqatil al-Thalibin, riset: Ahmad Shaqar, Cairo, 1368 H.
13. Ibin Sa’ad Muhammad Bashri, Thabaqāt

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: